Anda di halaman 1dari 52

LAPORAN TUTORIAL

BLOK THT SKENARIO III


SUARAKU HILANG!

KELOMPOK VII
AMAZIA AURORA KUSUMA
ARUM DESSY RAHMA SARI
CHOIROTUN HISAN
FARIZCA NOVANTIA W
LUKLUK AL ULYA
MUH FARIZA AUDI P
MUHAMMAD TAUFIQ HIDAYAT
NAILA IZZATUS S
PETER DARMAATMAJA SETIABUDI
QONIATUNNISA NUZULUL FALAKHI
VICTORIA HUSADANI PERMATA S
YOSA ANGGA OKTAMA

G 0013023
G 0013041
G 0013063
G 0013093
G 0013141
G 0013157
G 0013163
G 0013169
G 0013187
G 0013191
G 0013229
G 0013239

TUTOR : NOVIANTO ADI NUGROHO, dr


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
TAHUN 2015
BAB I
PENDAHULUAN
SKENARIO 3
SUARAKU HILANG!

Seorang anak laki laki, usia 40 tahun pekerjaan penyanyi kafe, datang ke
poliklinik THT dengan keluhan suara serak dan makin lama makin hilang. Keluhan
sudah dirasakan sejak 4 bulan terakhir. Keluhan disertai dengan tenggorokan terasa
kering terutama pada pagi hari, kadang dirasakan nyeri telan, kadang disertai batuk.
Tidak didapatkan keluhan sulit menelan. Pasien mempunyai hobi menyanyi dan sejak
timbul keluhan tersebut pasien sudah tidak dapat bernyanyi lagi. Pasien merokok,
setiap hari menghabiskan 1/2 bungkus rokok. Pasien juga mempunyai kebiasaan
mengkonsumsi goreng-gorengan, es, dan makanan instant.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan: kesadaran compos mentis, tekanan darah
120/80 mmHg, denyut nadi 80x/menit, suhu 36C. Pada pemeriksaan tenggorok
didapatkan: tonsil T1-T1, granulasi (+) di dinding faring posterior, hiperemis (+).
Dari pemeriksaan laringoskopi indirek didapatkan epiglotis edema(-), plika
aryepiglottica edema (-), aritenoid edema (+), mukosa hiperemis, plika vocalis edema
(+), gerakan plika vocalis sulit dievaluasi. Pada pemeriksaan hidung dan telinga tidak
didapatkan kelainan. Pemeriksaan kelenjar getah bening leher tidak didapatkan
lymphadenophaty.

BAB II
DISKUSI DAN TINJAUAN PUSTAKA
A. Langkah I: Membaca skenario dan memahami pengertian beberapa istilah
dalam skenario
Dalam skenario pertama ini kami mengklarifikasi beberapa istilah sebagai
berikut:
1

Nyeri telan : Disebut sebagai odinofagi yaitu nyeri tenggorok oleh karena

kelainan/peradangan di nasofaring, orofaring, hipofaring.


Granulasi : jaringan fibrosa yang terbentuk dari bekuan darah sebagai bagian
dari proses penyembuhan luka, sampai matang menjadi jaringan parut

Laringoskop indirek :. melihat laring tidak langsung dengan bantuan cermin


yang disinari dengan cahaya

Plica aryepiglottica : lipatan yang disokong oleh cartilago cuneiformis yaitu


dua cartilago kecil berbentuk batang yang terletak sedemikian rupa sehingga
masing-masing terdapat di dalan satu plica aryepiglottica, bertempat di
cartilago corniculata.

Aritenoid edema : cartilago kecil, dua buah, dan berbentuk pyramid.


Keduanya terletak di belakang larynx, pada pinggir atas lamina cartilago

cricoidea yang mengalam edema


Suara serak : disebut disfonia merupakan istilah umum untuk setiap
gangguan suara yang disebabkan oleh kelainan pada organorgan fonasi,
terutama laring baik yang bersifat organik maupun fungsional. Disfonia bukan
merupakan suatu penyakit, tetapi merupakan gejala penyakit atau kelainan
pada laring. Setiap keadaan yang menimbulkan gangguan dalam getaran,
gangguan dalam ketegangan serta gangguan dalam pendekatan (aduksi) kedua

pita suara kiri dan kanan akan menimbulkan disfoni


Plica vocalis : suatu lipatan pada laring yang akan membentuk rima glottidis,
akan bergetar ketika berbicara.

B. Langkah II: Menentukan/ mendefinisikan permasalahan


Permasalahan pada skenario pertama antara lain:

1
2
3
4
5

Bagaimana anatomi pharynx dan larynx?


Bagaimana fisiologi berbicara dan menelan pada manusia?
Mengapa suara serak, menghilang, tenggorok kering terutama pada pagi hari ?
Mengapa ada tanda inflamasi pada pemeriksaan tetapi tidak demam ?
Bagaimana patofisiologi kasus pada skenario ?
C. Langkah III : Menganalisis permasalahan dan membuat pertanyaan

sementara mengenai permasalahan (tersebut dalam langkah II)


1. Anatomi pharynx dan larynx
Pharynx merupakan suatu tubulus musculo membranosa, yang di
bagian dalamnya dilapisi oleh tunica mucosa. Pharynx merupakan bagian dari
systema digestivus, terletak di belakang dari cavum nasi, cavum oris dan
larynx.
Pharynx panjangnya kira-kira 12 cm, yang membentang dari
tuberculum pharyngeum sampai setinggi tepi bawah cartilago cricoidea atau
skeletopis setinggi Vc6. Ke arah caudal, pharynx berperan ganda baik untuk
proses deglutisi maupun untuk respirasi. Oleh karena itu pharynx dapat
berfungsi jalan makanan maupun udara pernafasan.
Batas-batas dari pharynx dapat ditetapkan sebagai berikut:
a. Cranial : corpus ossis sphenoidalis dan pars basilaris ossis occipitalis
b. Caudal : (melanjutkan diri ke dalam) oesophagus
c. Ventral :

melalui choanae akan berhubungan dengan cavum nasi.

melalui isthmus faucium akan berhubungan dengan cavum oris

melalui aditus laryngis akan berhubungan dengan larynx

d. Dorsal : fascia preventebralis dan musculi prevertebralis serta VC1-6


e. Lateral : processus styloideus dengan otot-otot yang melekat disini,
m.pterygoideus medialis, vagina carotica, glandula thyreoidea, dan ostium
pharyngeum tubae auditivae Eustachii(optae)
Berdasarkan letaknya, pharynx dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu:
a. NASOPHARYNX
Nasopharynx disebut juga sebagai epipharynx. Nasopharynx merupakan
bagian dari pharynx yang terletak paling cranial, tepatnya di bagian
belakang dari cavum nasi. Baik cavum nasi maupun nasopharynx
keduanya secara fungsional berperan dalam systema respiratoria.
Nasopharynx

berhubungan

dengan

oropharynx

melalui

isthmus

pharyngeus atau hiatus nasopharyngeus, yang dibatasi oleh palatum molle,


arcus palatopharyngeus dan dinding dorsal pharynx. Isthmus pharyngeus
ini akan menutup pada saat menelan. Choanae adalah lubang penghubung
antara nasopharynx dengan cavum nasi.
Seperti halnya cavum nasi, ruangan di nasopharynx selalu terbuka oleh
karena dindingnya (kecuali palatum molle) selalu dalam keadaan tetap.
Atap dari nasopharynx disebut pula sebagai fomix pharyngis, dan dinding
posterior nasopharynx akan melekat pada facies inferior corpus ossis
sphenoidalis dan pars basilaris ossis occipitalis. Suatu massa jaringan
lymphoid yang terdapat di membrana mucosa dinding posterior
nasopharynx

disebut

sebagai

tonsilla

pharyngealis

(adenoidea).

Pembesaran dari tonsilla pharyngea ini dikenal sebagai hipertrofi adenoid


yang dapat membuat buntu tractus respiratorius sehingga menyebabkan
bernafas melalui mulut dan mempengaruhi pertumbuhan wajah.

Tonsilla pharyngealis ini banyak terlihat pada anak-anak dan akan


mengecil saat pubertas. Di setiap dinding lateral nasopharynx dijumpai
adanya ostium pharyngeum tubae auditivae. Lubang ini terletak kira-kira
1-1 cm :

Di bawah atap dari nasopharynx

Di depan dari dinding posterior pharynx

Di atas dari palatum dan

Di belakang dari concha nasalis inferior dan septum nasi


Ostium phryngeum tubae auditivae ini dibatasi di sebelah atas dan

belakangnya oleh suatu peninggian yang disebut torus tubarius. Torus tubarius
dibentuk oleh pars cartilaginea tubae. Plica dari membrana mucosa yang
berjalan descendens dari torus tubarius ini menuju ke palatum, disebut sebagai
plica salpingopalatina.
Sedangkan plica torus levatorius adalah plica yang disebabkan oleh
adanya m.levator veli palatini, yang berjalan dari osteum pharyngeum tubae
auditivae menuju ke palatum molle. Bagian dari cavum pharyngis yang
terletak di sebelah dorsal dari torus tubarius disebut sebagai recessus
pharyngeus. Recessus pharyngeus ini membentang ke arah dorsal dan lateral,
terletak antara m. longus capitis disebelah medial dan m. levator veli palatini
di sebelah lateral. Jaringan limphoid yang kadang-kadang terdapat di
membrana mucosa di recessus pharyngeus ini disebut sebagai tonsilla tubaria.
Tuba

Auditiva

Eustachius

disebut

juga

sebagai

tuba

pharyngotympanicus, yaitu suatu liang penghubung antara nasopharynx dan


cavum tympani. Tuba auditiva ini berfungsi untuk menyeimbangkan tekanan
udara luar dengan tekanan di dalam cavum tympani. Membrana mucosa di

tuba auditiva ini merupakan lanjutan dari membrana mucosa pharynx, yang
kemudian akan melanjutkan ke dalam cavum tympani.Oleh karenanya, infeksi
dari pharynx dapat merembet ke dalam auris media dengan melalui tuba
auditiva ini. Tuba auditiva ini membentang ke dorsolateral atas kira-kira 3 - 4
cm panjangnya. Tuba auditiva ini dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu :

Pars

Pars cartilaginea tubae


cartilaginea

tubae

ini

dapat

disebut

sebagai

diverticulum

pharyngeum. Pars cartilaginea tubae ini terletak di facies inferior dari


basis cranii, terletak dalam suatu cekungan antara alae magna ossis
sphenoidalis dan pars petrosa ossis temporalis. Membrana mucosa dari
pars cartilaginea tubae ini tersusun atas epithel pseudocomplex columnair
bercilia. Tuba ini di sebelah lateral berbatasan dengan m. tensor veli
palatini, n. mandibularis dan a. meningea media. Di sebelah medial
berbatasan dengan m. levator veli palatini dan recessus pharyngeus.
Pars cartilaginea tubae ini selalu dalam keadaan tertutup, yang mungkin
disebabkan oleh adanya jaringan elastis di situ.Tetapi pada saat menelan
dan bersin, pars cartilaginea tubae ini baru terbuka untuk mencegah
kenaikan tekanan di auris media.Mekanisme perubahan dari pars
cartilaginea tubae terjadi secara pasif maupun secara musculair. Apabila
bersifat musculair, hal ini terjadi oleh kerja dari m. tensor veli palatini.
Tuba auditiva ini (terutama yang pars cartilaginea) dapat tertutup sama
sekali oleh adanya oedema dari membrana mucosa, misalnya terjadi pada
influenza.
Dalam suatu ketinggian tertentu, misalnya saat mendaki gunung atau saat
naik pesawat terbang tekanan udara menjadi menurun, sehingga udara di
dalam cavum tympani menjadi mengembang, yang menyebabkan
membrana tympani terdorong ke lateral. Dalam keadaan tidak menelan,

kenaikan tekanan udara di dalam auris media dapat mendorong


membukanya tuba auditiva dengan ditandai munculnya suara klik.
Sebaliknya pada saat berjalan turun, tekanan udara menjadi semakin
tinggi, sehingga akan mempengaruhi atau menekan membrana tympani,
sehingga pendengaran untuk sementara terganggu. Tekanan udara yang
terdapat di sebelah luar dari membrana tympani yang tinggi tersebut dapat
diseimbangkan dengan tindakan menelan atau bersin yang dapat
membukakan tuba auditiva.

Pars ossea tubae

Pars ossea tubae ini merupakan pelebaran ke depan dari cavum tympani
yang sering disebut sebagai protympanum. Pars ossea tubae ini berada di
daerah semicanalis pars petrosa ossis temporalis dan karenanya pars ossea
tubae ini sering dianggap sebagai bagian dari area pneumatisasi ossis
temporalis. Pars ossea tubae ini dapat dijumpai di bagian bawah dari
cranium yang terletak antara pars petrosa ossis temporalis dan lanjutan ke
bawah dari tegmen tympani. Pars ossea tubae ini akan dilapisi oleh
membrana mucoperiosteum, yang tersusun atas epithel cuboid tak bercilia.
Pars ossea tubae ini di sebelah cranial berbatasan dengan semicanalis m.
tensoris tympani, dan sebelah anterolateral berbatasan dengan pars
tympanica ossis temporalis sedang arah posteromedial berbatasan dengan
canalis caroticus.
b. OROPHARYNX
Oropharynx disebut pula sebagai mesopharynx. Oropharynx membentang
dari setinggi palatum molle di sebelah cranial sampai ke tepi atas dari
epiglottis di sebelah caudal. Oropharynx ini ke ventral akan berhubungan
dengan cavum oris melalui isthmus faucium, yang dibatasi oleh :

Cranial : palatum molle

Lateral : arcus palatoglossus

Caudal : radix linguae

Di daerah isthmus faucium, terlihat adanya suatu lingkaran jaringan


lymphoid yang tersusun atas rangkaian dari:

Cranial : tonsilla pharyngealis (adenoidea)

Lateral : tonsilla palatina

Caudal : tonsilla lingualis

Lingkaran jaringan lymphoid ini sering kali dianggap sebagai barrier


terhadap perembetan proses infeksi, tetapi fungsi yang sesungguhnya dari
jaringan lymphoid ini masih belum banyak diketahui. Membrana mucosa
yang menutupi epiglottis akan melanjutkan diri untuk melapisi radix
linguae.

Membrana

ini

kemudian

disebut

sebagai

membrana

glossoepiglottica. Penebalan dari membrana glossoepiglottica di linea


mediana

membentuk

plica

glossoepiglottica

mediana,

sedangkan

penebalan di sebelah lateral kanan dan kiri disebut sebagai plica


glossoepiglottica laterale.Plica yang terakhir ini sering disebut sebagai
plica pharyngo epiglottica oleh karena membrana dari epiglottis ini
menuju ke dinding lateral pharynx. Suatu cekungan yang dibatasi antara
plica glosso-epiglottica mediana dan plica glossoepiglottica laterale kanan
dan kiri disebut vallecula epiglottica. Ke arah posterior, oropharynx
berbatasan dengan corpus vertebrata cervicalis ke - 2 dan ke -3.
Setiap dinding lateral oropharynx di jumpai arcus palatoglossus dan
arcus palatopharyngeus atau sering disebut pula sebagai pilar anterior dan

pilar posterior dari isthmus faucium. Arcus tersebut di atas disebabkan


oleh adanya otot di bawah membrana mucosa. Otot-otot tersebut ialah m.
palatoglossus dan m. palatopharyngeus. Daerah triangulair yang terletak
antara arcus palatoglossus dan arcus palatopharyngeus disebut fossa
tonsillaris yang akan ditempati oleh tonsilla palatina.Tonsilla palatina
adalah sekelompok jaringan lymphoid yang terdapat di fossa tonsillaris
yang ditutupi oleh membrana mucosa yang berhubungan dengan
membrana mucosa di pharynx. Fungsi tonsilla palatina ini masih belum
jelas.
Facies medialis tonsilla palatina adalah bebas, yang di sebelah atasnya
dijumpai fossa supratonsillaris. Pada permukaan ini dijumpai juga
lubang-lubang buntu yang disebut cryptae tonsillares. Cryptae ini
membentuk celah-celah lurus dengan epithel squamous, yang di sebelah
dalamnya dijumpai folikel lymphaticus. Cel-cel lymphocyt dapat
dijumpai di epithel dan dilepaskan bersama-sama dengan saliva, disebut
corpusculum salivarius.
Facies lateralis dari tonsilla palatina terletak lebih profunda yang
dilapisi oleh capsula fibrosa yang ke arah lateral akan berhubungan
dengan fascia pharyngobasilaris, v.paratonsillaris, m.constrictor pharyngis
superior,

m.palatopharyngeus,

m.palatoglossus,

ligamentum

stylohyoideum, m.styloglossus, m.stylopharyngeus, n.glossopharyngeus,


m. pterygoideus medialis dan regio di angulus mandibulae.
Tonsilla palatina mendapat vascularisasi dari a. carotis externa
terutama oleh r. tonsillaris a.facialis, yang menembus m. constrictor
pharyngis superior dan masuk ke bagian caudal dari facies lateralis
tonsilla palatina. Perdarahan saat tonsillektomi berasal dari v. palatina
externa atau dari v. paratonsillaris yaitu suatu vena yang berjalan
descendens dari palatum molle, di sebelah lateral dari tonsilla palatina

dengan menembus m. constrictor pharyngis superior dan berakhir di v.


facialis.Pada umur pubertas, secara fisiologis, tonsilla palatina mengalami
kemunduran.Tonsilla menjadi lebih kecil bila dibandingkan dengan saat
anak-anak.
c. LARYNGOPHARYNX
Laryngopharynx membentang dari setinggi tepi atas cartilago epiglottica
sampai ke tepi bawah dari cartilago cricoidea, kemudian akan melanjutkan
diri ke dalam oesophagus. Laryngopharynx disebut juga sebagai
hypopharynx. Di sebelah anterior dari laryngopharynx dijumpai aditus
laryngis, bagian dorsal dari cartilago arytaenoidea dan cartilago cricoidea.
Sedang di sebelah posterior laryngopharynx berbatasan dengan corpus
vertebrae cervicalis ke - 4 sampai ke - 6.
Recessus piriformis atau fossa piriformis adalah bagian dari
laryngopharynx yang terletak di kanan dan kin dari aditus laryngis. Fossa
piriformis ini terletak di antara membrana hyothyreoidea dan cartilago
thyreoidea di sebelah lateral sedangkan di sebelah medial terletak di antara
cartilago cricoidea dan plica aryepiglottica serta cartilago arytaenoidea.
Cabang-cabang dari n. laryngeus internus dan a/v. laryngea superior
berada di bawah membrana mucosa dari fossa piriformis ini.Oleh karena
fossa piriformis ini berbentuk kantong, maka corpus alienum dapat
tertahan di sini.
2. Fisiologi berbicara dan menelan pada manusia
Percakapan digunakan untuk berkomunikasi antar individu. Proses bicara
melibatkan beberapa sistem dan fungsi tubuh, melibatkan sistem pernapasan,
pusat khusus pengatur bicara di otak dalam korteks serebri, pusat respirasi di
dalam batang otak dan struktur artikulasi, resonansi dari mulut serta rongga

hidung. Untuk menyempurnakan proses percakapan ini, diperlukan aktivitas


otot. Bagian penting dalam percakapan dan bahasa adalah cerebral cortex
yang berkembang sejak lahir dan memperlihatkan perbedaan pada orang
dewasa. Perbedaan ini memperlihatkan bahwa pengalaman phonetic bukan hal
yang perlu untuk perkembangan area pusat saraf dalam sistem percakapan.
Otot-otot yang mengkomando organ bicara diatur oleh motor nuclei di otak,
dengan produksi suara diatur oleh kontrol pusat di bagian rostral otak.
Proses bicara diawali oleh sifat energi dalam aliran dari udara. Pada
bicara yang normal, aparatus pernapasan selama ekshalasi menyediakan aliran
berkesinambungan dari udara dengan volume yang cukup dan tekanan (di
bawah kontrol volunteer adekuat) untuk fonasi. Aliran dari udara dimodifikasi
dalam fungsinya dari paru-paru oleh fasial dan struktur oral dan memberikan
peningkatan terhadap simbol suara yang dikenal sebagai bicara.
a. Struktur Fungsional Organ Pengucapan, Suara, dan Bicara
Bicara adalah pembentukan dan pengorganisasian suara menjadi simbol
atau lambang yang merupakan interaksi sejumlah organ yang terdiri dari:

Organ Respirasi
Terdiri dari trakea, bronkus, dan paru-paru. Aliran udara
respirasi merupakan sumber kekuatan yang diperlukan untuk
mencetuskan suara dan diatur tekanannya mulai dari paru-paru.

Organ Fonasi
Laring dengan otot-otot instrinsik dan ekstrinsiknya dan pita suara
yang merupakan bagian terpenting laring. Laring merupakan
penghubung antara faring dan trakea, didesain untuk memproduksi
suara (fonasi). Laring ini terdiri dari 9 kartilago, 3 kartilago yang

berpasangan, dan 3 yang tidak berpasangan. Organ ini terletak pada


midline di depan cervikal vertebra ke 3 sampai 6.
Organ ini dibagi ke dalam 3 regio:
-

Vestibule

Ventricle

Infraglotitic

Vocal fold (true cord) dan vestibular fold (false cord) terletak pada
regio ventricle.Pergerakan pita suara (abduksi, adduksi dan tension)
dipengaruhi oleh otot-otot yang terdapat disekitar laring, dimana
fungsi otot-otot tersebut adalah:
-

M. Cricothyroideus menegangkan pita suara

M. Tyroarytenoideus (vocalis) relaksasi pita suara

M. Cricoarytenoideus lateralis adduksi pita suara

M. Cricoarytenoideus posterior abduksi pita suara

M. Arytenoideus transversus menutup bagian posterior rima glotidis

Setelah udara meninggalkan paru-paru, udara mengalir melalui laring


yang berfungsi sebagai vibrator yang diperankan oleh pita suara.Pita
suara diregangkan serta diatur posisinya oleh beberapa otot khusus
laring, dengan adanya perbedaan regangan dan ruang yang dibentuknya,
maka terbentuk celah dengan macam-macam ukuran yang menghasilkan
suara sebagai berikut:

Voiceless, yaitu pita suara membuka penuh waktu inspirasi, pita


suara saling menjauh, sehingga udara bebas lewat di antaranya.

Voiced, yaitu pita suara bergetar ke arah lateral. Udara mendorong


pita suara saling menjauh, aliran udara lewat dengan cepat yang
menarik kembali pita suara untuk asling mendekat, proses ini
berlangsung berulang-ulang sehingga terjadi getaran pita suara.
Suara yang dihasilkan oleh proses fonasi memiliki nada (frekuensi),
kekerasan (intensitas), dan kualitas lemah. Suara hasil produksi
laring yang hanya berkaitan dengan bicara disebut fonasi-suarabisikan, sebaliknya suara lain yang diproduksi laring yang tidak
berkaitan dengan bicara tidak dapat disebut suara fonasi (batuk,
berdehem, tertawa).

Organ Resonansi
Terdiri dari rongga faring, rongga hidung, dan sinus paranasalis.
Sumber suara fonasi pada pita suara intensitasnya lemah, tidak
berwarna dan sulit dikenal. Dengan adanya alat-alat resonansi yang
berfungsi sebagai resonator, maka suara tersebut mendapat variasi pada
frekuensi tertentu, intensitasnya meningkat, demikian juga pada
kualitasnya (warna suara) dan idenitasnya, tetapi suara yang sudah
diresonansi ini masih bukan merupakan suara bicara. Ciri-ciri resonansi
sangat bervariasi pada setiap orang dan merupakan aspek yang sangat
penting bagi efektivitas bicara.

Organ Artikulasi
Tersusun atas:
-

Bibir, berfungsi untuk memberndung udara pada pembentukan suara


letup.

Palatum mole-durum merupakan permukaan sensitif bagi lidah


untuk

mengawasi

proses

artikulasi,

menghalangi

dan

membentukaliran udara turbulen dan sebagai kompas bagi lidah


bahwa suara terbaik sudah dihasilkan.
-

Lidah, membentuk suara dengan mengangkat, menarik, menyempit,


menipis, melengkung, menonjol, atau mendatar.

Pipi membendung udara di bagian bukal.

Gigi berfungsi menahan aliran udara dalam membentuk konsonan


labio-dental dan apiko-alveolar.

Mandibula membuka dan menutup waktu bicara

Vocal Tract
Vocal tract pada manusia merupakan acoustic tube dari cross section
dengan panjang sekitar 17 cm dari vocal fold hingga bibir. Area cross
section ini bervariasi dari 0-20 cm2 dengan penempatan bibir, rahang,
lidah, dan velum (palatum lunak). Perangkap (trap-door action) yang
dibuat sepasang velum pada vocal tract membuat secondary cavity
yang berpartisipasi dalam speech production- nasal tract. Kavitas
nasalis memiliki panjang sekitar 12 cm dan luas 60 cm3.Untuk bunyi
suara, sumber rangsang adalah velocity volume dari udara yang
melewati vocal cords. Vocal tract bertindak pada sumber ini sebagai
filter dengan frekuensi yang diinginkan, berkorespondensi dengan
resonansi akustik dari vocal tract.

Voiced Sounds

Suara diproduksi dengan meningkatkan tekanan udara di paru-paru dan


menekan udara untuk bergerak ke glottis (lubang antara vocal cords),
sehingga vocal cords bergetar. Getaran tersebut mengganggu aliran
udara dan menyebabkan getaran broad spectrum quasi-periodic yang
berada di vocal tract. Ligament yang bergetar dari vocal cords memiliki
panjang 18 mm dan glottal yang secara khusus bervariasi dalam area
dari 0-20 mm2. Otot laryngeal yang mengatur vocal folds dibagi
menjadi tensors, abductors, dan adductors. Naik dan turunnya pitch dari
suara dikontrol oleh aksi dari tensor cricothyroid dan otot vocalis.
Variasi dalam tekanan subglottal juga penting untuk mengatur derajat
getaran laryngeal.

Artikulasi dan Resonansi


Ketika suara dasar dihasilkan oleh vocal tract, suara tersebut
dimodifikasi untuk menghasilkan suara yang jelas dengan proses
artikulasi dan resonansi. Artikulasi adalah proses penghasilan suara
dalam berbicara oleh pergerakan bibir, mandibula, lidah, dan
mekanisme palatopharyngeal dalam kordinasi dengan respirasi dan
fonasi.
Dengan kegunaan sifat-sifat resonant dari vocal tract, bunyi suara dasar
disaring. Kualitas akhir dari suara tergantung dari ukuran dan bentuk
berbagai kavitas yang berhubungan dengan mulut dan hidung. Bentuk
dari beberapa kavitas ini bisa diubah oleh berbagai macam aktivitas
bagian yang dapat bergerak dari faring dan kavitas oral. Kavitas yang
berhubungan dengan dengan hidung adalah kavitas nasal, sinus, dan
nasofaring. Nasofaring dengan cepat berubah-ubah dan variasi ini
dihasilkan oleh kontraksi otot-otot pharyngeal dan gerakan dari palatum
lunak.

Kavitas yang berhubungan dengan mulut adalah kavitas oral dan


oropharynx. Kedua kavitas ini bisa diubah-ubah oleh kontraksi dari
otot-otot. Semua kavitas ini mengambil dan memperkuat suara
fundamental yang dihasilkan oleh getaran dari vocal cords. Fungsi ini
dikenal dengan sebutan resonansi. Pergerakan dari palatum lunak,
laring, dan faring membuat manusia dapat mencapai keseimbangan
yang baik antara resonansi oral dan nasal yang akhirnya menjadi
karakteristik dari suara tiap-tiap individu.
Fungsi dari mekanisme pengucapan adalah untuk mengubah bentuk
dari tonsil laryngeal dan untuk membuat suara dalam rongga mulut.
Suara yang penting terbentuk adalah pengucapan konsonan, yang
ditekankan sebagai iringan suara oleh gesekan bunyi. Konsonan
dibentuk dari gelombang udara yang berkontak dari arah yang
berlawanan. Misalnya pada kontak antara dua bibir saat pengucapan
huruf p dan b. Contoh lainnya juga pada lidah yang menyentuh gigi
dan palatum saat pengucapan huruf t dan d.
Tanpa kemampuan (kapasitas) pengucapan, suara yang dihasilkan
hanya berupa faktor kekuatan, volume, dan kekuatan, seperti suara
yang hanya dihasilkan oleh huruf vocal. Hal ini terbukti secara klinis
ketika kemampuan berbicara seseorang hilang pada penderita paralytic
stroke. Kemampuan berbicaranya hanya seperti pengucapan huruf
vocal saja dengan sedikit konsonan.
Di samping menyuarakan suara-suara, sistem vokal dapat menghasilkan
dua macam suara-suara yang tak terdengar: fricative sounds dan
plosive sounds. Fricative sounds dicontohkan oleh konsonan s, sh, f,
dan th, yang dihasilkan ketika vocal tract setengah tertutup pada
beberapa titik dan udara tertekan melewati konstriksi pada kecepatan
yang cukup tinggi untuk menghasilkan turbulensi. Konsonan fricative

membutuhkan sangat sedikit penyesuaian pada artikulator, dan sering


terdengar tidak sempurna pada kasus maloklusi atau penggunaan
denture. Plosive sounds, konsonan p, t, dan k, diproduksi ketika vocal
tract tertutup seluruhnya (biasanya dengan bibir atau lidah),
membiarkan tekanan udara meningkat saat menutup, dan kemudian
membuka dengan tiba-tiba. Untuk beberapa suara, seperti fricative
consonant v dan z yang terdengar, adanya kombinasi dari dua sumber
suara.
Pembentukan pada pergerakan untuk kemampuan bicara berkaitan
dengan fungsi kontinyu dari sensorik informasi dari reseptor otot dan
mechanoreceptor cutaneous yang didistribusikan sepanjang sistem
respiratori, laringeal, dan sistem orofacial.
b. Mekanisme Neurologis Bicara
Salah satu perbedaan terpenting antara manusia dan binatang adalah
adanya fasilitas pada manusia untuk berkomunikasi dengan sesamanya.
Selanjutnya, karena tes neurologik dapat dengan mudah menaksir
seberapa besar kemampuan seseorang untuk berkomunikasi satu sama
lain, maka kita dapat mengetahui lebih banyak tentang sistem sensorik dan
motorik yang berkaitan dengan proses komunikasi daripada mengenai
fungsi segmen kortikal lainnya.
Untuk berbicara, manusia menerima rangsang baik melalui oragan
reseptor umum maupun oragan reseptor khusus, impulsnya dihantarkan
melalui saraf otak atau saraf spinal atau SSO dan dilanjutkan ke SSP area
sensorik. Pengaruh sensorik disampaikan ke area motorik unutk kembali
turun ke SST dan akhirnya sampai ke efektor yang menghasilkan aktivitas
bicara.

Organ reseptor umum (eksteroreseptif, interoreseptif, propioreseptif)


dan organ reseptor khusus (penglihatan, pendengaran, keseimbangan,
penghidung, pengecap) menerima rangsang.

Saraf Aferen
Saraf otak I-XII dan saraf spinal menghantarkan impuls saraf ke pusat
pemrosesan di SSP

SSP
SSP area Broca (area motorik bicara), area Wernicke (area auditif),

pusat ideamotor (pusat refleks dalam memilih kata dan


kalimat) merupakan pusat-pusat yang terlibat dalam proses
bicara.

Saraf Eferen
Saraf eferen dari SSP ke SST menyampaikan sinyal saraf kepada
efektor untuk melakukan aktivitas bicara.

Terdapat dua aspek untuk dapat berkomunikasi, yaitu: aspek sensorik (input bahasa),
melibatkan telinga dan mata, dan kedua, aspek motorik (output bahasa) yang
melibatkan vokalisasi dan pengaturannya.
Bahasa melibatkan integrasi dua kemampuan berbeda yaitu ekspresi (kemampuan
bicara) dan pemahaman. Pusat Bahasa pada manusia dibagi menjadi dua bagian yaitu
pusat bahasa reseptif (pemahaman bahasa) dan pusat bahasa ekspresif (kemampuan
bicara). Pusat bahasa reseptif terdapat pada area Wernicke (area 41 dan 42 terletak di
korteks kiri di pertemuan antara lobus parietalis, temporalis, dan oksipitalis) yang
berfungsi sebagai pusat bahasa auditori-leksik, mengurus pengenalan dan pengertian
bahasa verbal/ lisan. Selain itu, daerah Wernicke bertanggung jawab dalam

memformulasikan pola koheren bicara yang disalurkan melalui berkas-berkas serat ke


daerah Broca melalui fasciculus arcuatus, yang akan mengontrol artikulasi bicara.
Daerah Wernicke menerima input dari korteks penglihatan di lobus oksipitalis suatu
jalur yang penting untuk memahami tulisan dan menjelaskan benda yang dilihat, serta
dari korteks auditorius di lobus temporalis, suatu jalur yang esensial untuk memahami
bahasa lisan. Lalu daerah Wernicke juga menerima input dari korteks somatosensorik
yang penting untuk pemahaman membaca Braille. Pusat bahasa reseptif yang kedua
terdapat pada area 39 yang berperan dalam pusat bahasa visuo-leksik, mengurus
pengenalan dan pengertian bahasa tulisan. Proses :
a. Proses pembentukan bicara setelah stimulus visual. Stimulus penglihatan
diterima corpus geniculatorius lateral, selanjutnya dikirim ke area visual
primer. Dari area visual primer stimulus disampaikan ke area 18, lalu ke
39 sebelum sampai ke Area Wernicke. Di area Wernick terjadi interpretasi
dan proses pemilihan kata. Stimulus ini disampaikan ke area Brocca untuk
menciptakan pola motorik sebelum menuju area motor primer untuk
mengaktifkan otot-otot wajah dan lidah yang sesuai yang akan
menghasilkan kata-kata yang diinginkan.
b. Kemudian terdapat pusat bicara ekspresif yang terletak di area Brocca
terletak pada girus frontalis inferior di antara ramus ascendens anterior dan
ascendens posterior fisura lateralis (area brodmann 44 dan 45). Area Broca
berfungsi dalam mengendalikan kemampuan bicara. Selanjutnya proses
bicara dihasilkan oleh vibrasi dari pita suara yang dibantu oleh aliran
udara dari paruparu,sedangkan bunyi dibentuk oleh gerakan bibir, lidah
dan palatum (langit-langit).Syarat terjadinya suara yaitu :
a. Aliran udara yang cukup,

Suara terjadi bila ada perbedaan tekanan udara di atas dan di


bawah glottis. Tinggi-rendah, panjang-pendek suara ditentukan oleh
volume dan aliran udara (dalam rongga dada).
b. Generator atau sumber suara,
Generator atau sumber suara terjadi di laring yaitu pada plika
vokalis. Di dalam plika vokalis terjadi beberapa proses yaitu tension,
aproksimasi dan fibrasi (gerakan sendi krikotiroid merentang dan
memendekkan ligamentum vokalis, gerakan kartilago aritenoid dengan
otot intrinsic, membrane yang menutupi otot intrinsic plika vokalis).
c. Resonator,
Resonator ada di tiga tempat yaitu rongga faring (pembentukan
suara), rongga hidung (pembentukan nada suara), dan rongga mulut
(pembentukan warna suara).
d. Fungsi koordinasi dan kontrol : terjadi di otak dan saraf perifer.
3. Suara serak, menghilang, tenggorok kering terutama pada pagi hari
Disfonia merupakan istilah umum untuk setiap gangguan suara yang
disebabkan oleh kelainan pada organorgan fonasi, terutama laring baik yang
bersifat organik maupun fungsional. Disfonia bukan merupakan suatu
penyakit, tetapi merupakan gejala penyakit atau kelainan pada laring. Setiap
keadaan yang menimbulkan gangguan dalam getaran, gangguan dalam
ketegangan serta gangguan dalam pendekatan (aduksi) kedua pita suara kiri
dan kanan akan menimbulkan disfoni.2
Keluhan gangguan suara tidak jarang ditemukan dalam klinik.
Gangguannya dapat berupa suara terdengar kasar (roughness) dengan nada

lebih rendah dari biasanya, suara lemah (hipofonia), hilang suara (afonia),
suara tegang dan susah keluar (spatik), suara terdiri dari beberapa nada
(diplofonia), nyeri saat bersuara (odinofonia) atau ketidakmampuan mencapai
nada atau intensitas tertentu.
Disfonia dapat disebabkan oleh adanya radang, tumor, paralisis otot
laring, dan sebab-sebab lain. Ada suatu keadaan yang disebut disfonia
ventrikular, yaitu keadaan plika ventrikular yang mengambil alih fungsi fonasi
dari pita suara, misalnya sebagai akibat pemakaian suara yang terus menerus
pada pasien dengan laringitis akut. Radang laring dapat akut atau kronik.
Radang akut biasanya disertai gejala lain seperti demam, malaise, nyeri
menelan atau berbicara, batuk, disamping gangguan suara. Radang kronik non
spesifik, dapat disebabkan oleh sinusitis kronik, bronkitis kronik, atau karena
penggunaan suara yang salah dan berlebihan (vocal abuse) seperti sering
berteriak atau berbicara keras.
Vocal abuse juga sering terjadi pada pengguna suara profesional
seperti penyanyi,guru, penceramah, operator telepon, dan lain-lain. Radang
kronik spesifik misalnya tuberkulosis. Gejalanya selain gangguan suara,
terdapat juga gejala penyakit penyebab. Tumor laring dapat jinak maupun
ganas. Gejala yang timbul tergantung lokasi tumor. Tumor pita suara juga
dapat terjadi. Paralisis otot laring dapat disebabkan oleh gangguan persarafan,
baik sentral maupun perifer, dan biasanya paralisis motorik bersama dengan
paralisis sensorik. Paralisis pita suara juga dapat terjadi dan sering dijumpai
dalam klinik.
Faktor Peredisposisi proses radang kronik di faring ini adalah rinitis
kronik, sinusitis, iritasi kronik oleh rokok, minum alkohol, inhalasi uap yang
merangsang mukosa faring dan debu. Faktor lain penyebab terjadinya
faringitis kronik adalah pasien yang biasa bernafas melalui mulut karena
hidungnya tersumbat. Jika dikaitkan dengan skenario, bernafas melalui mulut

inilah yang membuat tenggorokan pasien terasa kering terutama saat pagi hari.
Karena saat pagi hari, adalah akumulasi iritan yang masuk melalui mulut
karena bernafas melalui mulut, sehingga manifestasi tenggorokan kering
terutama pada pagi hari.
Penyebab disfonia dapat bermacam-macam yang prinsipnya menimpa
laring dan sekitarnya. Penyebab paling sering disfoni umumnya adalah infeksi
pada tenggorok, biasanya karena infeksi saluran nafas atas, lesi jinak pita
suara dan gangguan suara fungsional. Perlu diwaspadai apabila suara serak
lebih dari 2 minggu harus segera diperiksakan untuk menilai gangguan pada
pita suara
4. Ada tanda inflamasi pada pemeriksaan tetapi tidak demam
Pada skenario, terdapat inflamasi tetapi tidak demam disebabkan oleh
adanya iritan, baik rokok, makanan berminyak, dan es, bukan disebabkan
adanya bakteri/virus dimana bakteri/virus menjadi trigger dalam system
imunitas tubuh yang salah satu manifestasinya adalah dengan adanya demam.
5. Patofisiologi kasus pada skenario
Pada kasus skenario tiga ini, kemungkinan besar pasien mengalami
suatu penyakit peradangan yang disebut laryngitis. Laryngitis dapat dibedakan
menjadi dua jenis berdasarkan onsetnya,, laryngitis akut dan laryngitis kronis.
Laryngitis akut biasanya diakibatkan oleh virus dan bacteri. Sementara
laryngitis kronis biasanya karena vocal abuse akibat pemakaian suara
berlebihan dan juga karena irritant, seperti rokok, makanan berminyak dan
juga makanan instant serta es.
Pada

skenario

ini,

pekerjaan

pasien

yang

penyanyi

akan

mengakibatkan penggunaan aktivitas plica vocalis yang berlebih sehingga


akan terjadi hipertrofi dari plica vocalis dan akan menghambat vibrasi dari

plica vocalis sehingga suara akan serak hingga hilang sama sekali. Gaya hidup
pasien yang mengkonsumsi makanan makanan yang dapat mengiritasi plica
vocalis juga akan memperparah kondisi laryngitis kronis.
D. Langkah IV : Menginventarisasi permasalahan secara sistematis dan
pernyataan sementara mengenai permasalahan

pada

langkah III

KELUHAN

MEKANISME

RPS:
Suara serak
Makin menghilang
Tenggorok kering
Nyeri telan
Batuk
Batuk pilek
Telinga sakit

FAKTOR RISIKO

MERADANG

Pemeriksaan fisik & penunjang


Indikasi
Kontraindikasi
Interpretasi
Interpretasi

E. Langkah V : Merumuskan tujuan pembelajaran


PHARYNX
Tujuan
pembelajaran (learning objectives) pada skenario pertama ini adalah
Diagnosis & diagnosis banding
LARYNX
1 Apa indikasi, kontraindikasi, dan interpretasi dariEdukasi
pemeriksaan fisik,
Tatalaksana
pemeriksaan tenggorok, laringoskopi indirek, pemeriksaan
hidung telinga, dan
Komplikasi
pemeriksaan kelenjar getah bening leher ?
Prognosis
Anatomi
2 Apa kaitan Fisiologi
faktor resiko usia, rokok, dan kebiasaan dengan kasus pada
3
4
5

skenario?
Apa fungsi dari plica vestibularis ?
Mengapa pasien nyeri telan namun tidak didapatkan sulit menelan ?
Apa diagnosis, diagnosis banding, langkah edukasi, langkah preventif dan
komplikasi pada kasus tersebut?

F. Langkah VI: Mengumpulkan informasi baru


Masing-masing anggota kelompok kami telah mencari sumber sumber
ilmiah dari beberapa buku referensi maupun akses internet yang sesuai dengan
topik diskusi tutorial ini secara mandiri untuk disampaikan dalam pertemuan
berikutnya.

G. Langkah VII: Melaporkan, membahas, dan menata kembali informasi baru


yang diperoleh
1 Indikasi, kontraindikasi, dan interpretasi dari pemeriksaan fisik,
pemeriksaan tenggorok, laringoskopi indirek, pemeriksaan hidung
telinga, dan pemeriksaan kelenjar getah bening leher
Laryngoscopy
Pemeriksaan yang digunakan untuk melihat laring. Ada dua jenis laringoskopi
yaitu laringoskopi indirek (tidak langsung) dan laringoskopi direk (langsung).
Pemeriksaan laringoskopi ini menggunakan alat yang disebut dengan
laringoskop. Ada dua jenis laringoskop yang umum dipakai yaitu laringoskop
bentuk lengkung (macintosh) dan bentuk lurus (miller). Laringoskop
digunakan untuk melihat laring dan struktur yang berdekatan dengan laring,
paling sering digunakan dengan tujuan memasukkan pipa endotrakea kedalam
trakea. Tujuan lainnya yaitu untuk pemasangan gastric tube, melihat benda
asing, dan menilai saluran pernafasan bagian atas. Bentuknya bervariasi, dari
yang dilengkapi dengan bola lampu sederhana hingga menggunakan
perangkat serat optik yang kompleks. Laringoskopi indirek dilakukan dengan
menggunakan kaca laring (laryngeal mirror) atau flexible fiberoptic
endoscope atau juga menggunakan teleskop laring baik yang kaku (rigid
telescope) atau serat optic teleskop (fiberoptic telescope). Penggunaan
teleskop ini dapat dihubungkan dengan alat video (video laringoskopi)

sehingga akan memberikan visualisasi laring yang lebih jelas baik dalam
keadaan diam maupun pada saat bergerak. Indikasi laringoskopi indirek
adalah batuk kronis, dsypnea, disfonia, stridor, perubahan suara, sakit
tenggorokkan kronis, otalgia persisten, disfagia, epistaksis, aspirasi, merokok
dan alkoholisme lama, skrining karsinoma nasofaring, kegawatdaruratan
(angioedema, trauma kepala-leher). Kontraindikasi laringoskopi indirek
adalah epiglotitis. Sementara laringoskopi direk digunakan untuk biopsy
tumor dan menentukan perluasannya (staging) atau bila diperlukan tindakan
bagian-bagian tertentu laring seperti aritenoid, plika vokalis, plika
ventrikularis, daerah komisura anterior atau subglotik. Visualisasi laring dan
pita suara secara dinamis akan lebih jelas dengan menggunakan stroboskop di
mana gerakan pita suara dapat diperlambat (slowmotion) sehingga dapat
terlihatgetaran (vibrasi) pita suara dan gelombang mukosanya sehingga
diagnosis anatomis dan fungsional menjadi lebih akurat. (FK UNS, 2012)
a. Laryngoscopy indirect
Indikasi :kegawatdaruratan (angioedema dan trauma kepala-leher)
Kontra indikasi : epiglotitis karena pada pasien dengan epiglotitis
rawan terjadi trauma, yang nantinya akan menggnggu proses penelanan
dan pernapasan.
Pemeriksaan Laryngoscopy indirect memungkinkan pemeriksa dapat
melihat keadaan laring melalui kaca laring.
Syarat pemeriksaan: jalan harus lebar, lidah dikeluarkan, penderita
bernapas dengan mulut, semprotkan xylocaine 1% agar tidak muntah.
b. Laryngoscopy direct
Biasanya laringoskopi direk digunakan untuk biopsy dan staging tumor.

Pemeriksaan Kelenjar Getah Bening


KGB dan daerah sekitarnya harus diperhatikan. Kelenjar getah bening
harus diukur untuk perbandingan berikutnya. Harus dicatat ada tidaknya nyeri
tekan, kemerahan, hangat pada perabaan, dapat bebas digerakkan atau tidak
dapat digerakkan, apakah ada fluktuasi, konsistensi apakah keras atau kenyal.
Ukuran : normal bila diameter <1cm (pada epitroclear >0,5cm dan lipat paha
>1,5cm dikatakan abnormal). Nyeri tekan : umumnya diakibatkan peradangan
atau proses perdarahan. Konsistensi : keras seperti batu mengarahkan kepada
keganasan, padat seperti karet mengarahkan kepada limfoma; lunak
mengarahkan kepada proses infeksi; fluktuatif mengarahkan telah terjadinya
abses/pernanahan. Penempelan/bergerombol : beberapa KGB yang menempel
dan bergerak bersamaan bila digerakkan. Dapat akibat tuberkulosis,
sarkoidosis, keganasan.
Pembesaran KGB leher bagian posterior (belakang) terdapat pada
infeksi rubela dan mononukleosis. Supraklavikula atau KGB leher bagian
belakang memiliki risiko keganasan lebih besar daripada pembesaran KGB
bagian anterior. Pembesaran KGB leher yang disertai daerah lainnya juga
sering disebabkan oleh infeksi virus. Keganasan, obat-obatan, penyakit
kolagen umumnya dikaitkan degnan pembesaran KGB generalisata. Pada
pembesaran KGB oleh infeksi virus, KGB umumnya bilateral (dua sisikiri/kiri dan kanan), lunak dan dapat digerakkan. Bila ada infeksi oleh bakteri,
kelenjar biasanya nyeri pada penekanan, baik satu sisi atau dua sisi dan dapat
fluktuatif dan dapat digerakkan. Adanya kemerahan dan suhu lebih panas dari
sekitarnya mengarahkan infeksi bakteri dan adanya fluktuatif menandakan
terjadinya abses. Bila limfadenopati disebabkan keganasan tanda-tanda
peradangan tidak ada, KGB keras dan tidak dapat digerakkan (terikat dengan
jaringan di bawahnya).

Pada infeksi oleh mikobakterium pembesaran kelenjar berjalan


minguan-bulan, walaupun dapat mendadak, KGB menjadi fluktuatif dan kulit
diatasnya menjadi tipis, dan dapat pecah dan terbentuk jembatan-jembatan
kulit di atasnya. Pembesaran kelenjar getah bening pada dua sisi leher secara
mendadak biasanya disebabkan oleh infeksi virus saluran pernapasan bagian
atas. Pada infeksi oleh penyakit kawasaki umumnya pembesaran KGB hanya
satu sisi saja. Apabila berlangsung lama (kronik) dapat disebabkan infeksi
oleh mikobakterium, toksoplasma, ebstein barr virus atau citomegalovirus.

2 Kaitan faktor resiko usia, rokok, dan kebiasaan dengan kasus


a. Pekerjaan:

pasien

adalah

seorang

penyanyi

yang

memungkinkan

penggunaan suara secara berlebihan dan penyalahgunaan suara (vocal


abuse). Pada awalnya terdapat edema dan vasodilatasi(diatesis prenodular)
pada pita suara, sehingga menyebabkan penambahan massa namun tidak
terlalu memengaruhi ketegangan pita suara. Vocal abusemenjelaskan
perlakuan suara (vocalbehaviour) yang berhubungan dengan kualitas suara
normal

yang

menghasilkan

seringkalimenyebabkan
disfonia.

Vibrasi

yang

abnormalitas

pita

berkepanjangan

suara
atau

dan

terlalu

dipaksakan dapat menyebabkan kongesti vaskular setempat dengan edema


bagian tengah membranosa pita suara, tempat kontak tekanan paling besar.
Akumulasi cairan pada submukosa akibat vocal abuse menyebabkan
pembengkakan submukosa (terkadang disebut insipien atau nodul awal).
Voice abuse yang lama dapatmengakibatkan hialinisasi Reinkes spacedan
penebalan epitelium dasar. Perubahan massa mukosa mengurangi
kemampuan ketegangan pita suara dan penutupan glotis yang tidak
sempurna.
b. Kebiasaan merokok: Iritasi laring yang menetap terutama akibat merokok,
dapat berakibat timbulnya suatu daerah keputih-putihan. Secara klinis,

daerah putih ini disebut sebagai leukoplakia. Tiap daerah laring dapat
terlihat, namun biasanya korda vokalis paling sering terserang. Keluhan
umumnya berupa suara serak. Biopsi daerah ini memperlihatkan
hyperkeratosis (abnormalitas mukosa di mana orthokeratin terakumulasi
pada permukaan mukosa).
c. Beberapa zat kandungan rokok dikenal mempunyai kandungan yaitu
sianida, benzene, cadmium, metanol (alkohol kayu), setilena, amonia,
formaldehida, hidrogen sianida dan arsenik (Aditama, 2011). Sianida
merupakan senyawa kimia yang mengandung kelompok cyano, benzene
juga dikenal sebagai bensol atau senyawa kimia organik yang mudah
terbakar dan cairan tidak berwarna, cadmium sebuah logam yang sangat
beracun dan radioaktif yang ditemukan baterai. Metanol (alkohol kayu)
adalah alkohol yang paling sederhana yang juga dikenal sebagai metal
alcohol, setilena (bahan bakar yang digunakan dalam obor las) merupakan
senyawa kimia tak jenuh yang juga merupakan hidrokarbon alkuna yang
paling sederhana. Selain kandungan itu ada lagi kandungan lain seperti
amonia ditemukan di mana-mana di lingkungan tetapi sangat beracun dalam
kombinasi dengan unsur-unsur tertentu, formaldehida cairan yang sangat
beracun yang digunakan untuk mengawetkan mayat, hidrogen sianida
adalah racun yang digunakan sebagai fumigan untuk membunuh semut. Zat
ini juga digunakan sebagai zat pembuat plastik dan pestisida dan arsenik
adalah bahan yang terdapat dalam racun tikus. Sedangkan asap yang
dihasilkan rokok mengandung tar. Tar itu sendiri mengandung banyak
bahan beracun ke dalam tubuh. Ini adalah substansi, tebal lengket, dan
ketika menghirup itu melekat pada rambut-rambut kecil di paru-paru. Organ
ini melindungi paru-paru dari kotoran dan infeksi, tapi ketika tertutup tar
organ ini tidak dapat melakukan fungsinya. Tar juga melapisi dinding sistem
respirasi secara keseluruhan, mempersempit tabung yang transportasi udara
(bronchiolus) dan mengurangi elastisitas paru-paru yang pada akhirnya

menyebabkan kanker paru-paru dan penyakit pernafasan kronis. Selain itu


asap ini juga mengandung karbon monoksida. Karbon monoksida adalah
bahan kimia beracun ditemukan dalam asap buangan mobil. Hal inilah yang
kemudian bisa menurunkan jumlah oksigen dalam darah dan menghalangi
semua kinerja organ pensuplai oksigen di dalam tubuh. Karena tubuh
kurang oksigen membuat jantung mengalami penebalan dan bekerja lebih
keras memompa darah. Inilah penyebab utama seorang perokok bisa
mengalami serangan jantung secara mendadak. Nikotin terdapat juga
didalam asap rokok dan akan merangsang hormon adrenalin yang dapat
menyebabkan jantung berdebar debar, tekanan dan kadar kolestrol
didalam darah akan meningkat yang erat hubunganya dengan serangan
jantung (S. Ronald, 2008).
d. Kebiasaan suka minum es dan makan gorengan juga akan memperburuk
penyakit yang dialami pasien. Es sifatnya dingin akan menyebabkan
mukosa faring menjadi lembab sehingga bakteri akan suka tinggal dan
berkembang biak di situ.
3 Fungsi dari plica vestibularis
Plica vestibularis memang tidak sering digunakan untuk pembentukan
suara, akan tetapi plica vestibularis memiliki peranan untuk mencegah korpus
alineum masuk ke saluran napas, dengan cara merangsang mekanisme batuk,
karena pada plica vestibularis banyak terdapat reseptor batuk.
Memang penggunaan plica vestibularis untuk pembentukan suara tidak
dominan, akan tetapi untuk penyanyi metal dan senorita, membutuhkan suara
yang terbentuk dari plica vestibularis ini. Pada kondisi dimana plica vocalis
tidak bisa bekerja maksimal, maka plica vestibuli ini akan mengambil alih
tugas plica vocalis.

4 Pasien nyeri telan namun tidak didapatkan sulit menelan


Kemungkinan

besar

pernyataan

ini

menegaskan

bahwa

ada

peradangan pada larynx maupun pharynx akan tetapi tidak ada pertumbuhan
neoplastik yang menyumbat saluran makanan (oesophagus) sehingga tidak
ada gejala sulit menelan.Peradangan pharynx dan larynx pada kasus tersebut
disebabkan oleh karena bahan-bahan iritan.Asap rokok yang dihirup oleh
perokok dapat menyebabkan kerusakan mukosa pada laring dan faring,
sementara makanan gorengan juga dapat menyebabkan peradangan pada
faring dan laring. Peradangan pada laring oleh karena minyak pada makanan
gorengan ada yang sebagian masuk ke dalam laring sehingga dapat
menyebabkan peradangan pada laring.

5 Diagnosis, diagnosis banding, langkah edukasi, langkah preventif dan


komplikasi pada kasus tersebut
a. Diagnosis Banding
- Laringitis
Laringitis merupakan salah satu penyakit yang sering dijumpai pada daerah
laring yang dapat terjadi akut atau kronik. Laringitis akut biasanya terjadi
mendadak dan berlangsung dalam kurun waktu kurang lebih 3 minggu.
Bila gejala telah lebih dari 3 minggu dinamakan laringitis kronis. Penyebab
dari laringitis akut dan kronis dapat bermacam-macam bisa disebabkan
karena kelelahan yang berhubungan dengan pekerjaan maupun infeksi
virus. Pita suara adalah suatu susunan yang terdiri dari tulang rawan, otot,
dan membran mukos yang membentuk pintu masuk dari trakea. Biasanya
pita suara akan membuka dan menutup dengan lancar, membentuk suara
melalui pergerakan. Bila terjadi laringitis, maka pita suara akan mengalami
proses peradangan, pita suara tersebut akan membengkak, menyebabkan
perubahan suara. Akibatnya suara akan terdengar lebih serak. Berdasarkan
hasil studi laringitis terutama menyerang pada usia 18-40 tahun untuk

dewasa sedangkan pada anak-anak umumnya terkena pada usia diatas 3


tahun.
Etiologi
Hampir setiap orang dapat terkena laringitis baik akut maupun kronis.
Laringitis biasanya berkaitan dengan infeksi virus pada traktus respiratorius
bagian atas. Akan tetapi inflamasi tesebut juga dapat disebabkan oleh
berbagai macam sebab diantaranya adalah :
Tabel 1. Laringitis akut dan kronis
Laringitis Akut
Rhinovirus

Laringitis Kronis
Infeksi bakteri

Parainfluenza virus

Infeksi tuberkulosis

Adenovirus

Sifilis

Virus mumps

Leprae

Varisella zooster virus

Virus

Penggunaan asma inhaler

Jamur

Penggunaan suara berlebih dalam pekerjaan :


Menyanyi,

Berbicara

dimuka

Actinomycosis

umum

Penggunaan suara berlebih

Mengajar
Alergi

Alergi

Streptococcus grup A

Faktor lingkungan seperti asap,

Moraxella catarrhalis
Gastroesophageal refluks

debu
Penyakit

sistemik

granulomatosis, amiloidosis
Alkohol
Gatroesophageal refluks
Patogenesis

wegener

Bila jaringan cedera karena terinfeksi oleh kuman, maka pada jaringan ini
akan terjadi rangkaian reaksi yang menyebabkan kematian agen yang
membahayakan jaringan atau yang mencegah agen ini menyebar lebih luas.
Rekasi-reaksi ini kemudian juga menyebabkan jaringan yang cedera
diperbaiki. Rangkaian reaksi yang terjadi pada tempat jaringan cedera ini
dinamakan radang. Laringitis akut merupakan proses inflamasi pada
mukosa pita suara dan laring yang berlangsung kurang dari 3 minggu. Bila
etiologi dari laringitis akut disebabkan oleh adanya suatu infeksi, maka sel
darah putih akan bekerja membunuh mikroorganisme selama proses
penyembuhan. Pita suara kemudian akan menjadi tampak edema, dan
proses vibrasi juga umumnya ikut mengalami gangguan. Hal ini juga dapat
memicu timbulnya suara yang parau disebabkan oleh gangguan fonasi.
Membran yang meliputi pita suara juga terlihat berwarna kemerahan dan
membengkak. Penyalahgunaan suara, inhalasi uap toksik, dan infeksi
menimbulkan laringitis akut. Infeksi biasanya tidak terbatas pada laring,
namun merupakan suatu pan-infeksi yang melibatkan sinus, telinga, laring
dan tuba bronkus. Virus influenza, adenovirus dan streptokokus merupakan
organisme penyebab yang tersering. Difteri harus selalu dicurigai pada
laringitis, terutama bila ditemukan suatu membran atau tidak adanya
riwayat imunisasi. Pemeriksaan dengan cermin biasanya memperlihatkan
suatu eritema laring yang difus. Biakan tenggorokan sebaiknya diambil.
Diagnosis
Diagnosis laringitis akut dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemerinksaan penunjang. Pada anamnesis biasanya didapatkan
gejala demam, malaise, batuk, nyeri telan, ngorok saat tidur, yang dapat
berlangsung selama 3 minggu, dan dapat keadaan berat didapatkan sesak
nafas, dan anak dapat biru-biru. Pada pemeriksaan fisik, anak tampak sakit
berat, demam, terdapat stridor inspirasi, sianosis, sesak nafas yang ditandai
dengan nafas cuping hidung dan/atau retraksi dinding dada, frekuensi nafas
dapat meningkat, dan adanya takikardi yang tidak sesuai dengan

peningkatan suhu badan merupakan tanda hipoksia. Pemeriksaan dengan


laringoskop direk atau indirek dapat membantu menegakkan diagnosis.
Dari pemeriksaan ini plika vokalis berwarna merah dan tampak edema
terutama dibagian atas dan bawah glotis. Pemeriksaan darah rutin tidak
memberikan hasil yang khas, namun biasanya ditemui leukositosis.
Pemeriksaan usapan sekret tenggorok dan kultur dapat dilakukan untuk
mengetahui kuman penyebab, namun pada anak seringkali tidak ditemukan
kuman patogen penyebab. Proses peradangan pada laring seringkali juga
melibatkan seluruh saluran nafas baik hidung, sinus, faring, trakea dan
bronkus, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan foto.
Penatalaksanaan
Terapi pada laringitis akut berupa mengistirahatkan pita suara, antibiotik,
mnambah kelembaban, dan menekan batuk. Obat-obatan dengan efek
samping yang menyebabkan kekeringan harus dihindari. Penyayi dan para
profesional yang mengandalkan suara perlu dinasehati agar membiarkan
proses radang mereda sebelum melanjutkan karier mereka. Usaha bernyayi
selama proses radang berlangsung dapat mengakibatkan perdarahan pada
laring dan perkembangan nodul korda vokalis selanjutnya.
Prognosis
Laringitis akut umunya bersifat self limited. bila terapi dilakukan dengan
baik maka prognosisnya sangat baik.
-

Faringitis
Faringitis adalah inflamasi atau infeksi dari membran mukosa faring atau
dapat juga tonsilopalatina. Faringitis akut biasanya merupakan bagian dari
infeksi akut orofaring yaitu tonsilofaringitis akut atau bagian dari influenza
(rinofaringitis). Faringitis akut adalah infeksi pada faring yang disebabkan
oleh virus atau bakteri, yang ditandai oleh adanya nyeri tenggorokan, faring
eksudat dan hiperemis, demam, pembesaran kelenjar getah bening leher
dan malaise.

Etiologi
Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang disebabkan oleh
virus (4060%), bakteri (540%), alergi, trauma, iritan, dan lain-lain.
Faringitis bisa disebabkan oleh virus maupun bakteri. Virus yaitu
Rhinovirus, Adenovirus, Parainfluenza, Coxsackievirus, Epstein Barr
virus, Herpes virus. Bakteri yaitu, Streptococcus hemolyticus group A,
Chlamydia,

Corynebacterium

diphtheriae,

Hemophilus

influenzae,

Neisseria gonorrhoeae. Jamur yaitu Candida jarang terjadi kecuali pada


penderita imunokompromis yaitu mereka dengan HIV dan AIDS, Iritasi
makanan yang merangsang sering merupakan faktor pencetus atau yang
memperberat.
Faktor Risiko
Faktor risiko lain penyebab faringitis akut yaitu udara yang dingin,
turunnya daya tahan tubuh yang disebabkan infeksi virus influenza,
konsumsi makanan yang kurang gizi, konsumsi alkohol yang berlebihan,
merokok dan seseorang yang tinggal di lingkungan kita yang menderita
sakit tenggorokan atau demam.
Epidemiologi
Setiap tahunnya 40 juta orang mengunjungi pusat pelayanan kesehatan
karena faringitis. Anak-anak dan orang dewasa umumnya mengalami 35
kali infeksi virus pada saluran pernafasan atas termasuk faringitis.
Frekuensi munculnya faringitis lebih sering pada populasi anak-anak. Kirakira 1530% kasus faringitis pada anak-anak usia sekolah dan 10% kasus
faringitis pada orang dewasa. Biasanya terjadi pada musim dingin yaitu
akibat dari infeksi Streptococcus hemolyticus group A. Faringitis jarang
terjadi pada anak-anak kurang dari tiga tahun.
Klasifikasi
1.

Faringitis Akut
Faringitis akut ada beberapa macam berdasarkan penyebabnya :

Faringitis viral
Dapat disebabkan oleh Rinovirus, Adenovirus, Epstein Barr Virus
(EBV), Virus influenza, Coxsachievirus, Cytomegalovirus dan lainlain. Gejala dan tanda biasanya terdapat demam disertai rinorea,
mual, nyeri tenggorok, sulit menelan. Pada pemeriksaan tampak
faring dan tonsil hiperemis. Virus influenza, Coxsachievirus dan
Cytomegalovirus tidak menghasilkan eksudat. Coxsachievirus dapat
menimbulkan lesi vesikular di orofaring dan lesi kulit berupa
maculopapular rash. Pada adenovirus juga menimbulkan gejala
konjungtivitis terutama pada anak. Epstein bar virus menyebabkan
faringitis yang disertai produksi eksudat pada faring yang banyak.
Terdapat pembesaran kelenjar limfa di seluruh tubuh terutama
retroservikal dan hepatosplenomegali. Faringitis yang disebabkan
HIV-1 menimbulkan keluhan nyeri tenggorok, nyeri menelan, mual
dan demam. Pada pemeriksaan tampak faring hiperemis, terdapat
eksudat, limfadenopati akut di leher dan pasien tampak lemah.

Faringitis bakterial
Infeksi Streptococcus hemolyticus group A merupakan penyebab
faringitis akut pada orang dewasa (15%) dan pada anak (30%).
Gejala dan tanda biasanya penderita mengeluhkan nyeri kepala yang
hebat, muntah, kadang-kadang disertai demam dengan suhu yang
tinggi, jarang disertai batuk. Pada pemeriksaan tampak tonsil
membesar, faring dan tonsil hiperemis dan terdapat eksudat
dipermukaannya. Beberapa hari kemudian timbul bercak petechiae
pada palatum dan faring. Kelenjar limfa leher anterior membesar,
kenyal dan nyeri apabila ada penekanan. Faringitis akibat infeksi
bakteri Streptococcus hemolyticus group A dapat diperkirakan
dengan menggunakan Centor criteria, yaitu : Demam, Anterior
Cervical lymphadenopathy, Eksudat tonsil, Tidak adanya batuk. Tiap
kriteria ini bila dijumpai di beri skor satu. Bila skor 01 maka pasien

tidak mengalami faringitis akibat infeksi Streptococcus hemolyticus


group A, bila skor 13 maka pasien memiliki kemungkian 40%
terinfeksi Streptococcus hemolyticus group A dan bila skor empat
pasien memiliki kemungkinan 50% terinfeksi Streptococcus
hemolyticus group A.

Faringitis fungal
Candida dapat tumbuh di mukosa rongga mulut dan faring. Gejala
dan tanda biasanya terdapat keluhan nyeri tenggorok dan nyeri
menelan. Pada pemeriksaan tampak plak putih di orofaring dan
mukosa faring lainnya hiperemis. Pembiakan jamur ini dilakukan
dalam agar sabouroud dextrosa.

Faringitis gonorea
Hanya terdapat pada pasien yang melakukan kontak orogenital.

2.

Faringitis Kronik
Faringitis kronik hiperplastik
Pada faringitis kronik hiperplastik terjadi perubahan mukosa dinding
posterior faring. Tampak kelenjar limfa di bawah mukosa faring dan
lateral hiperplasi. Pada pemeriksaan tampak mukosa inding posterior
tidak rata, bergranular. Gejala dan tanda biasanya pasien mengeluh
mula-mula tenggorok kering dan gatal dan akhirnya batuk yang
bereak.

Faringitis kronik atrofi


Faringitis kronik atrofi sering timbul bersamaan dengan rhinitis
atrofi. Pada rhinitis atrofi, udara pernafasan tidak diatur suhu serta
kelembapannya sehingga menimbulkan rangsangan serta infeksi pada
faring. Gejala dan tanda biasanya pasien mengeluhkan tenggorokan
kering dan tebal serta mulut berbau. Pada pemeriksaan tampak
mukosa faring ditutupi oleh lendir yang kental dan bila diangkat
tampak mukosa kering.

3. Faringitis Spesifik

Faringitis tuberkulosis
Merupakan proses sekunder dari tuberkulosis paru. Pada infeksi
kuman tahan asam jenis bovinum dapat timbul tuberkulosis faring
primer. Cara infeksi eksogen yaitu kontak dengan sputum yang
mengandung kuman atau inhalasi kuman melalui udara. Cara infeksi
endogen yaitu penyebaran melalui darah pada tuberkulosis miliaris.
Bila infeksi timbul secara hematogen maka tonsil dapat terkena pada
kedua sisi dan lesi sering ditemukan pada dinding posterior faring,
arkus faring anterior, dinding lateral hipofaring, palatum mole dan
palatum durum. Kelenjar regional leher membengkak, saat ini
penyebaraan secara limfogen. Gejala dan tanda biasanya pasien
dalam keadaan umum yang buruk karena anoreksi dan odinofagia.
Pasien mengeluh nyeri yang hebat di tenggorok, nyeri di telinga atau
otalgia serta pembesaran kelenjar limfa servikal.

Faringitis luetika
Treponema pallidum (Syphilis) dapat menimbulkan infeksi di daerah
faring, seperti juga penyakit lues di organ lain. Gambaran klinik
tergantung stadium penyakitnya. Kelainan stadium primer terdapat
pada lidah, palatum mole, tonsil dan dinding posterior faring
berbentuk bercak keputihan. Apabila infeksi terus berlangsung akan
timbul ulkus pada daerah faring seperti ulkus pada genitalia yaitu
tidak nyeri dan didapatkan pula pembesaran kelenjar mandibula yang
tidak nyeri tekan. Kelainan stadium sekunder jarang ditemukan,
namun dapat terjadi eritema pada dinding faring yang menjalar ke
arah laring. Kelainan stadium tersier terdapat pada tonsil dan
palatum, jarang ditemukan pada dinding posterior faring. Pada
stadium tersier biasanya terdapat guma, guma pada dinding posterior
faring dapat meluas ke vertebra servikal dan apabila pecah akan

menyebabkan kematian. Guma yang terdapat di palatum mole,


apabila sembuh akan membentuk jaringan parut yang dapat
menimbulkan gangguan fungsi palatum secara permanen. Diagnosis
dilakukan dengan pemeriksaan serologik, terapi penisilin dengan
dosis tinggi merupakan pilihan utama untuk menyembuhkannya.
Patofisiologi
Pada faringitis yang disebabkan infeksi, bakteri ataupun virus dapat secara
langsung menginvasi mukosa faring dan akan menyebabkan respon
inflamasi lokal. Kuman akan menginfiltrasi lapisan epitel, lalu akan
mengikis epitel sehingga jaringan limfoid superfisial bereaksi dan akan
terjadi pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit polimorfonuklear.
Pada stadium awal terdapat hiperemis, kemudian edema dan sekresi yang
meningkat. Pada awalnya eksudat bersifat serosa tapi menjadi menebal dan
kemudian cenderung menjadi kering dan dapat melekat pada dinding
faring. Dengan keadaan hiperemis, pembuluh darah dinding faring akan
melebar. Bentuk sumbatan yang berwarna kuning, putih atau abu-abu akan
didapatkan di dalam folikel atau jaringan limfoid. Tampak bahwa folikel
limfoid dan bercak-bercak pada dinding faring posterior atau yang terletak
lebih ke lateral akan menjadi meradang dan membengkak. Infeksi
streptococcal memiliki karakteristik khusus yaitu invasi lokal dan
pelepasan extracelullar toxins dan protease yang dapat menyebabkan
kerusakan jaringan yang hebat karena fragmen M protein dari
Streptococcus hemolyticus group A memiliki struktur yang sama dengan
sarkolema pada miokard dan dihubungkan dengan demam reumatik dan
kerusakan

katub

jantung.

Selain

itu

juga

dapat

menyebabkan

glomerulonefritis akut karena fungsi glomerulus terganggu akibat


terbentuknya kompleks antigen-antibodi.
Tanda dan Gejala
Tanda

dan

gejala

mikroorganisme

yang

yang

ditimbulkan

menginfeksi.

faringitis

Secara

garis

tergantung
besar

pada

faringitis

menunjukkan tanda dan gejala umum seperti lemas, anorexia, demam,


suara serak, kaku dan sakit pada otot leher.
Gejala khas berdasarkan jenisnya, yaitu:
a. Faringitis viral (umumnya oleh rhinovirus): diawali dengan gejala
rhinitis dan beberapa hari kemudian timbul faringitis. Gejala lain
demam disertai rinorea dan mual.
b. Faringitis bakterial: nyeri kepala hebat, muntah, kadang disertai demam
dengan suhu yang tinggi, jarang disertai batuk.
c. Faringitis fungal: terutama nyeri tenggorok dan nyeri menelan.
d. Faringitis kronik hiperplastik: mula-mula tenggorok kering, gatal dan
akhirnya batuk yang berdahak.
e. Faringitis atrofi: umumnya tenggorokan kering dan tebal serta mulut
berbau.
f. Faringitis tuberkulosis: nyeri hebat pada faring dan tidak berespon
dengan pengobatan bakterial non spesifik.
g. Bila dicurigai faringitis gonorea atau faringitis luetika, ditanyakan
riwayat hubungan seksual.
Penegakan Diagnosis
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang bila diperlukan.
-

Anamnesis:
Anamnesis harus sesuai dengan mikroorganisme yang menginfeksi.
Secara garis besar pasien faringitis mengeluhkan lemas, anorexia,
demam, suara serak, kaku dan sakit pada otot leher.

- Pemeriksaan Fisik
a. Faringitis viral, pada pemeriksaan tampak faring dan tonsil
hiperemis, eksudat (virus influenza, coxsachievirus, cytomegalovirus
tidak

menghasilkan

eksudat).

Pada

coxsachievirus

dapat

menimbulkan lesi vesikular di orofaring dan lesi kulit berupa


maculopapular rash.
b. Faringitis bakterial, pada pemeriksaan tampak tonsil membesar, faring
dan tonsil hiperemis dan terdapat eksudat dipermukaannya. Beberapa
hari kemudian timbul bercak petechiae pada palatum dan faring.
Kadang ditemukan kelenjar limfa leher anterior membesar, kenyal
dan nyeri pada penekanan.
c. Faringitis fungal, pada pemeriksaan tampak plak putih di orofaring
dan pangkal lidah, sedangkan mukosa faring lainnya hiperemis.
d. Faringitis kronik hiperplastik, pada pemeriksaan tampak kelenjar
limfa di bawah mukosa faring dan lateral hiperplasi. Pada
pemeriksaan tampak mukosa dinding posterior tidak rata dan
bergranular (cobble stone).
e. Faringitis kronik atrofi, pada pemeriksaan tampak mukosa faring
ditutupi oleh lendir yang kental dan bila diangkat tampak mukosa
kering.
f. Faringitis tuberkulosis, pada pemeriksaan tampak granuloma
perkijuan pada mukosa faring dan laring.
g. Faringitis luetika tergantung stadium penyakit.
- Stadium primer
Pada lidah palatum mole, tonsil dan dinding posterior faring
berbentuk bercak keputihan. Bila infeksi berlanjut timbul ulkus
pada daerah faring seperti ulkus pada genitalia yaitu tidak nyeri.
Juga didapatkan pembesaran kelenjar mandibula.
- Stadium sekunder
Stadium ini jarang ditemukan. Pada dinding faring terdapat
eritema yang menjalar ke arah laring.
-

Stadium tersier
Terdapat guma. Predileksi pada tonsil dan palatum

Pemeriksaan Penunjang
Faringitis didiagnosis dengan cara pemeriksaan tenggorokan (kultur apus
tenggorokan). Pemeriksaan kultur memiliki sensitivitas 9095% dari
diagnosis, sehingga lebih diandalkan sebagai penentu penyebab faringitis
yang diandalkan.
Kultur tenggorokan merupakan suatu metode yang dilakukan untuk
menegaskan suatu diagnosis dari faringitis yang disebabkan oleh bakteri
Group A Beta-Hemolytic Streptococcus (GABHS). Group A BetaHemolytic Streptococcus (GABHS) rapid antigen detection test merupakan
suatu metode untuk mendiagnosa faringitis karena infeksi GABHS. Tes ini
akan menjadi indikasi jika pasien memiliki risiko sedang atau jika seorang
dokter memberikan terapi antibiotik dengan risiko tinggi untuk pasien. Jika
hasil yang diperoleh positif maka pengobatan diberikan antibiotik dengan
tepat namun apabila hasilnya negatif maka pengobatan antibiotik
dihentikan kemudian dilakukan follow-up. Rapid antigen detection test
tidak sensitif terhadap Streptococcus Group C dan G atau jenis bakteri
patogen lainnya. Untuk mencapai hasil yang akurat, pangambilan apus
tenggorok dilakukan pada daerah tonsil dan dinding faring posterior.
Spesimen diinokulasi pada agar darah dan ditanami disk antibiotik. Kriteria
standar untuk penegakan diagnosis infeksi GABHS adalah persentase
sensitifitas mencapai 9099%. Kultur tenggorok sangat penting bagi
penderita yang lebih dari sepuluh hari.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dari penyakit faringitis harus sesuai dengan penyebabnya.
Tujuan Penatalaksanaan
Mengatasi gejala secepat mungkin, membatasi penyebaran infeksi serta
membatasi komplikasi.
Terapi Pokok
Penatalaksanaan komprehensif penyakit faringitis akut, yaitu:

1. Istirahat cukup
2. Minum air putih yang cukup
3. Berkumur dengan air yang hangat
4. Pemberian farmakoterapi:
a. Topikal
Obat kumur antiseptik
- Menjaga kebersihan mulut
- Pada faringitis fungal diberikan nystatin 100.000400.000 2
kali/hari.
- Faringitis kronik hiperplastik terapi lokal dengan melakukan
kaustik faring dengan memakai zat kimia larutan nitras argentin
25%.
b. Oral sistemik
- Anti virus metisoprinol (isoprenosine) diberikan pada infeksi virus
dengan dosis 60100 mg/kgBB dibagi dalam 46 kali
pemberian/hari pada orang dewasa dan pada anak kurang dari lima
tahun

diberikan

50

mg/kgBB

dibagi

dalam

46

kali

pemberian/hari.
- Faringitis akibat bakteri terutama bila diduga penyebabnya
Streptococcus group A diberikan antibiotik yaitu penicillin G
benzatin 50.000 U/kgBB/IM dosis tunggal atau amoksisilin 50
mg/kgBB dosis dibagi 3 kali/hari selama sepuluh hari dan pada
dewasa 3x500 mg selama 610 hari atau eritromisin 4x500
mg/hari. Selain antibiotik juga diberikan kortikosteroid karena
steroid telah menunjukkan perbaikan klinis karena dapat menekan
reaksi

inflamasi.

Steroid

yang

dapat

diberikan

berupa

deksametason 3x0,5 mg pada dewasa selama tiga hari dan pada


anak-anak 0,01 mg/kgBB/hari dibagi tiga kali pemberian selama
tiga hari.

- Faringitis gonorea, sefalosporin generasi ke-tiga, Ceftriakson 2 gr


IV/IM single dose.
- Pada faringitis kronik hiperplastik, jika diperlukan dapat diberikan
obat batuk antitusif atau ekspektoran. Penyakit hidung dan sinus
paranasal harus diobati.
- Faringitis kronik atrofi pengobatan ditujukan pada rhinitis atrofi.
- Untuk kasus faringitis kronik hiperplastik dilakukan kaustik sekali
sehari selama 35 hari.
Konseling dan Edukasi :
1.

Memberitahu keluarga untuk menjaga daya tahan tubuh dengan


mengkonsumsi makan bergizi dan olahraga teratur.

2.

Memberitahu keluarga untuk berhenti merokok.

3.

Memberitahu keluarga untuk menghindari makan-makanan yang


dapat mengiritasi tenggorok.

4.

Memberitahu keluarga dan pasien untuk selalu menjaga


kebersihan mulut.

5.
-

Memberitahu keluarga untuk mencuci tangan secara teratur

Contact granuloma
Contact granuloma adalah terbentuknya masa granuloma pada plica focalis
yang nanti akan menimbulkan gejala disfonia hingga afonia.

Chondronecrosis
Chondronecrosis biasanya terjadi karena didahului trauma yang nantinya akan
menimbulkan necrosis pada kartilagines laryngis.

Epiglotitis
Epiglotitis adalah radang pada epiglottis yang biasanya keluhan utama pasien
adalah sesak nafas, bukan disfonia. Pada kasus ini jarang disertai batuk

b. Diagnosis
Laringitis kronis merupakan suatu proses inflamasi yang menunjukkan adanya
peradangan pada mukosa laring yang berlangsung lama (lebih dari 3
minggu). Pada laringitis kronis proses peradangan dapat tetap terjadi
meskipun faktor penyebabnya sudah tidak ada. Proses inflamasi akan
menyebabkan kerusakan pada epitel bersilia pada laring, terutama pada
dinding belakang laring. Hal ini akan menyebabkan gangguan dalam
pengeluaran sekret dari traktus trakeobronkial. Bila hal ini terjadi, sekret akan
berada tetap pada dinding posterior laring dan sekitar pita suara menimbulkan
reaksi timbulnya batuk. Adanya sekret pada daerah pita suara dapat
menimbulkan laringospasme. Perubahan yang berarti juga dapat terjadi pada
epitel dari pita suara berupa hiperkeratosis, diskeratosis, parakeratosis dan
akantosis. Beberapa pasien mungkin telah mengalami serangan laringitis akut
berulang, terpapar debu atau asap iritatif atau menggunakan suara tidak tepat
dalam konteks neuromuskular. Merokok dapat menyebabkan edema dan
eritema laring. Laringitis kronis dibedakan menjadi laringitis kronis non
spesifik dan laringitis kronis spesifik. Laringitis kronis non spesifik sering
merupakan radang kronis yang disebabkan oleh infeksi pada saluran
pernapasan, seperti selesma, influensa, bronkhitis atau sinusitis. Akibat
paparan zat-zat yang membuat iritasi, seperti asap rokok, alkohol yang
berlebihan, asam lambung atau zat-zat kimia yang terdapat pada tempat kerja.
Terlalu banyak menggunakan suara, dengan terlalu banyak bicara, berbicara
terlalu keras atau menyanyi (vokal abuse). Pada peradangan ini seluruh
mukosa laring hiperemis, permukaan yang tidak rata dan menebal. Gejala
klinis yang sering timbul adalah berdehem untuk membersihkan tenggorokan.
Selain itu ada juga suara serak, Perubahan pada suara dapat berfariasi
tergantung pada tingkat infeksi atau iritasi, bisa hanya sedikit serak hingga
suara yang hilang total, rasa gatal dan kasar di tenggorokan, sakit
tenggorokan, tenggorokan kering, batuk kering, sakit waktu menelan. Gejala
berlangsung beberapa minggu sampai bulan. Pada pemeriksaan ditemukan

mukosa yang menebal, permukaannya tidak rata dan hiperemis. Bila terdapat
daerah yang dicurigai menyerupai tumor, maka perlu dilakukan

biopsi.

Laringitis kronis spesifik terdiri dari dua macam yaitu laringitis tuberculosis
dan laringitis luetika. Laringitis tuberkulosis hampir selalu akibat tuberkulosis
paru. Biasanya pasca pengobatan, tuberkulosis paru sembun tetapi laringitis
tuberkulosis menetap. Hal ini terjadi karena struktur mukosa laring yang
melekat pada kartilago serta vaskularisasinya yang tidak sebaik paru sehingga
bila infeksi sudah mengenai kartilago maka tatalaksananya dapat berlangsung
lama. Secara klinis manifestasi laringitis tuberkulosis terdiri dari 4 stadium
yaitu :
-

Stadium infiltrasi, mukosa laring posterior membengkak dan hiperemis,


dapat mengenai pita suara. Terbentuk tuberkel pada submukosa sehingga
tampak bintik berwarna kebiruan. Tuberkel membesar dan beberapa
tuberkel berdekatan bersatu sehingga mukosa diatasnya meregang

sehingga suatu saat akan pecah dan terbentuk ulkus.


Stadium ulserasi, ulkus yang timbul pada akhir stadium infiltrasi
membesar. Ulkus diangkat, dasarnya ditutupi perkejuan dan dirasakan

sangat nyeri.
Stadium perikondritis, ulkus makin dalam sehingga mengenai kartuilago
laring terutama kartilago aritenoid dan epiglotis sehingga terjadi kerusakan

tulang rawan.
Stadium pembentukan tumor, terbentuk fibrotuberkulosis pada dinding
posterior, pita suara dan subglotik.

Laringitis luetika merupakan radang menahun ini jarang dijumpai Dalam 4


stadium lues yang paling berhubungan dengan laringitis kronis ialah lues
stadium tersier dimana terjadi pembentukan gumma yang kadang menyerupai
keganasan laring. Apabila guma pecah akan timbul ulkus yang khas yaitu ulkus
sangat dalam, bertepi dengan dasar keras, merah tua dengan eksudat
kekuningan. Ulkus ini tidak nyeri tetapi menjalar cepat. Pada laringitis kronis
diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis dapat ditanyakan :

a. Kapan pertama kali timbul serta faktor yang memicu dan mengurangi
gejala
b. Kondisi kesehatan secara umum
c. Riwayat pekerjaan, termasuk adanya kontak dengan bahan yang dapat
memicu timbulnya laringitis seperti debu, asap.
d. Penggunaan suara berlebih
e. Penggunaan obat-obatan seperti diuretik, antihipertensi, antihistamin yang
dapat menimbulkan kekeringan pada mukosa dan lesi pada mukosa.
f. Riwayat merokok
g. Riwayat makan
h. Suara parau atau disfonia
i. Batuk kronis terutama pada malam hari
j. Stridor karena adanya laringospasme bila sekret terdapat disekitar pita
suara
k. Disfagia dan otalgia
Pada gambaran makroskopis nampak permukaan selaput lendir kering dan
berbenjol-benjol sedangkan pada mikroskopik terdapat epitel permukaan
menebal

dan

opaque,

serbukan

sel radang

menahun

pada

lapisan

submukosa. Pemeriksaan laboratorium dilakukan pemeriksaan darah, kultur


sputum, hapusan mukosa laring, serologik marker. Pada laringitis kronis juga
dapat dilakukan foto radiologi untuk melihat apabila terdepat pembengkakan.
CT scanning dan MRI juga dapat digunakan dan memberikan hasil yang lebih
baik. Pemeriksaan lain yang dapat digunakan berupa uji tes alergi.
Penatalaksanaan
Terapi pada laringitis kronis terdiri dari menghilangkan penyebab, koreksi
gangguan yang dapat diatasi, dan latihan kembali kebiasaan menggunakan
vokal dengan terapi bicara. Antibiotik dan terapi singkat steroid dapat
mengurangi proses radang untuk sementara waktu, namun tidak bermanfaat
untuk rehabilitasi jangka panjang. Eliminasi obat-obat dengan efek samping

juga dapat membantu. Pada pasien dengan gastroenteriris refluks dapat


diberikan reseptor H2 antagonis, pompa proton inhibitor.Juga diberikan
hidrasi, meningkatkan kelembaban, menghindari polutan. Terapi pembedahan
bila terdapat sekuester dan trakeostomi bila terjadi sumbatan laring. Laringitis
kronis yang berlangsung lebih dari beberapa minggu dan tidak berhubungan
dengan penyakit sistemik, sebagian besar berhubungan dengan pemajanan
rekuren dari iritan. Asap rokok merupakan iritan inhalasi yang paling sering
memicu laringitis kronis tetapi laringitis juga dapat terjadi akibat menghisap
kanabis atau inhalasi asap lainnya. Pada kasus ini, pasien sebaiknya dijauhkan
dari faktor pemicunya seperti dengan menghentikan kebiasaan merokok.
Prognosis
Prognosis pada laringitis kronis bergantung kepada penyebab dari laringitis
kronis tersebut. Tetapi biasanya prognosisnya baik karena tidak menyebabkan
kematian.
c. Langkah Edukasi dan Preventif
Untuk mencegah kekeringan atau iritasi pada pita suara :
-

Jangan merokok, dan hindari asap rokok dengan tidak menjadi perokok
tidak langsung. Rokok akan membuat tenggorokan kering dan

mengakibatkan iritasi pada pita suara. 2.


Minum banyak air. Cairan akan membantu menjaga agar lendir yang

terdapat tenggorokan tidak terlalu banyak dan mudah untuk dibersihkan.


Batasi penggunaan alkohol dan kafein untuk mencegah tenggorokan

kering . Bila mengalami langiritis, hindari kedua zat tersebut diatas.


Jangan berdehem untuk membersihkan tenggorokan. Berdehem tidak akan
berakibat baik, karena berdehem akan menyebabkan terjadinya vibrasi
abnormal peda pita suara dan meningkatkan pembengkakan. Berdehem
juga akan menyebabkan tenggorokan memproduksi lebih banyak lendir
dan merasa lebih iritasi , membuat ingin berdehem lagi. Pada laringitis
kronis akibat alergi, pasien biasanya memiliki onset bertahap dengan
gejala yang ringan. Pasien dapat mengeluhkan adanya akumulasi mukus
berlebih dalam laring. Dalam pemeriksaan laringoskopi biasa dijumpai

sekresi mukus endolaringeal tebal dalam kadar ringan hingga sedang,


eritema dan edema lipatan pita suara serta inkompetensi glotis episodik
-

selama fase fonasi.


Pada kasus laringitis kronis alergi, tatalaksana meliputi edukasi kepada
pasien untuk menghindari faktor pemicu. Medikasi antihistamin loratadine
atau fexofenadine dipilih karena tidak memiliki efek samping dehidrasi.
Sekresi mukus yang tebal dan lengket dapat di atasi dengan pemberian
guaifenesin.

BAB III
KESIMPULAN

Dari diskusi tutorial pada skenario tiga ini dapat diambil kesimpulan bahwa
pasien mengalami laringitis kronis yang ditandai dengan onset waktu yang telah
berlangsung selama empat bulan. Namun pada kasus ini penyebab terjadinya
laringitis bukanlah oleh agen infeksi seperti bakteri, virus, jamur. Penyakit yang
diderita oleh pasien dikarenakan faktor pekerjaan pasien sebagai penyanyi yang dapat
menyebabkan vocal abuse (penyalahgunaan suara), serta kebiasaan pasien yang suka
mengonsumsi makanan gorengan, makanan instant, minum es serta kebiasaan
merokok di mana setiap hari menghabiskan 1/2 bungkus rokok. Seluruh hal tersebut
merupakan bahan iritant yang dapat menyebabkan reaksi peradangan pada laring
serta faring. Selain itu dari pemeriksaan tenggorok dan laringoskopi indirek juga
membantu menguatkan diagnosis.

BAB IV
SARAN

Saran untuk pasien pada kasus di skenario sebaiknya untuk sementara waktu pasien
mengistirahatkan penggunaan vokalnya untuk menghindari penyalahgunaan suara.
Selain itu pasien juga sebaiknya mengurangi makanan gorengan, makanan instant,
dan minum es yang merupakan bahan irritant terhadap struktur-struktur yang terdapat
dalam tenggorok. Kemudian yang terpenting juga menghentikan kebiasaan merokok
untuk mencegah semakin parahnya kondisi laring pasien.
Saran untuk kelompok tutorial, setiap mahasiswa diharapkan untuk tetap
mempertahankan keaktifannya dalam menyampaikan pendapat agar diskusi tetap
hidup dan berjalan menarik. Selain itu, lebih mengefisiensikan waktu yang diberikan
oleh KBK sehingga lebih banyak informasi yang didapat dan tujuan pembelajaran
skenario dapat tercapai semua.
Saran untuk tutor kelompok, semoga melalui diskusi tutorial yang kami
jalankan Dokter mendapat informasi baru yang diharapkan dapat membantu Dokter
ketika melakukan pemeriksaan kepada pasien serta memberi penjelasan kepada
pasien. Selain itu, sebaiknya Dokter juga bisa datang tepat waktu di lain kesempatan
sehingga bisa menikmati jalannya diskusi yang menarik dari awal hingga akhir.
Semangat terus untuk Dokter Novianto, menjadi berkat untuk banyak orang. Tuhan
memberkati.

DAFTAR PUSTAKA

Prof. Dr. Efiaty Arsyad Soepardi, et. all. 2012. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga,
Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher, edisi 7. Jakarta : Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Raymond H. Feierabend, MD, and Shahram N. Malik, MD. 2009. Hoarseness in
Adults. http://www.aafp.org/afp/2009/0815/p363.html - diakses September
2015.
American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery. 2015. Hoarseness.
http://www.entnet.org/content/hoarseness - diakses September 2015.
Dokter Dwi Antono, Sp. THT-KL. 2013. Kuliah Laringologi. Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro.
Bagian Ilmu Kesehatan THT-KL FK UNS/ RS dr Moewardi Surakarta. 2015.
Keterampilan Pemeriksaan Telinga Hidung Tenggorok.
Fauci AS, Kasper DL, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, et al.
Harrisons Principles of Internal Medicine. Ed ke-17. Philadelphia: McGrawHill; 2008.
Smeltzer SC, Bare BG, Hinkle JL, Cheever KH. Brunner and Suddarths Textbook of
Medical-Surgical Nursing. Ed ke-12. Philadelphia: Lippincott; 2009; h. 530.
Harold C, Hemphill BJ, Kovach P. Professional Guide to Diseases. Ed ke-9.
Philadelphia: Lippincott; 2009; h.727-728.

Anda mungkin juga menyukai