Disusun Oleh:
Kelompok 5
Salomina Wambrauw K1A113074
Muhammad Rizal K1A114030
Nurul Dwi Ratih K1A114103
Meildy Susanty Samuddin K1A115025
Sasqia Pratiwi Iqbal K1A115040
Zurriyati Isra Marfu’ah K1A115050
Asri Nurul Afifah K1A115060
Risna Yuliani K1A115070
Mujahidah Yunus K1A115090
Prabowo Saputra Yuwana K1A115105
Wilda Lestari Ayu K1A115128
Andi Zilfiah Lantani K1A115159
III. Skenario 2
Wanita 45 tahun datang ke rumah sakit dengan keluhan massa pada leher, berbenjol-benjol
dirasakan sejak 3 bulan lalu. Benjolan dirasakan semakin membesar, berat badan menurun.
Dua minggu terakhir timbul benjolan serupa pada lipatan paha dan ketiak.
IV. Kata / Kalimat Kunci
1. Wanita, 45 tahun
2. Massa pada leher, berbenjol-benjol sejak 3 bulan yang lalu
3. Berat badan menurun
4. Benjolan dirasakan semakin membesar
5. Timbul benjolan pada lipatan paha dan ketiak 2 minggu terakhir
V. Pertanyaan
1. Jelaskan anatomi kelenjar limfe dan batas-batas leher!
2. Jelaskan patogenesis terjadinya benjolan pada leher!
3. Jelaskan penyakit-penyakit dengan gejala benjolan pada leher!
4. Jelaskan langkah-langkah diagnosis!
5. Jelaskan DD dan DS!
VI. Jawaban pertanyaan
1. Anatomi kelenjar limfe dan batas-batas leher!
2
Faring
Adalah suatu tabung fibro-muscular yang meluas mulai dari basis cranii sampai pada
tepi caudal cartilago cricoidea, yaitu setinggi vertebra cervicalis ke 6, dan melanjutkan diri
menjadi oesophagus. Tabung ini mempunyai ukuran panjang kira-kira 12,5 cm dengan
diameter pada ujung cranialis kurang lebih 5 cm dan ujung caudalis kira-kira 2,5 cm (berbentuk
kerucut). Pharynx berfungsi meneruskan aliran udara dari cavum nasi menuju ke larynx dan
makanan dari cavum oris menuju ke oesophagus. Bagian cranialis selalu berada dalam keadaan
terbuka yang emmungkinkan udara dengan bebas masuk kedalam larynx, yang berada pada
dinding anterior pharynx. Bagian caudalis berbentuk flat anterior-posterior yang hanya
membuka bilamana dilalui oleh bolus makanan.
Dinding lateral pharynx mengadakan perlekatan berturut-turut dari cranial ke caudal pada
lamina pterygoideus medialis, sisi lingua, permukaan dalam mandibula, os hyoideum, cartilago
thyreoidea dan cartilago cricoidea. Tuba auditiva bermuara ke dalam cavum pharyngis dan
berada pada bagian cranilais dinding lateral pharynx. Ke arah lateral pharynx mempunyai
hubungan dengan pembuluh-pembuluh darah besar dan nervus pada regio colli, dan juga pada
processus styloideus bersama dengan otot yang melekat padanya.
Dinding posterior pharynx mengadakan perlekatan pada basiocciput dan terletak di sebelah
ventral ke enam corpus vertebrae cervicalis bagian atas (V.C. 1 – 6 ) dan dipisahkan dari corpus
vertebrae tersebut oleh ligamentum longitudinale anterius, otot-otot prevertebralis dan fascia
prevertebralis. Antara dinding posterior pharynx dan fascia prevertebralis terdapat spatium
retropharyngealis yang berisi jaringan ikat dan lymphonodus retropharyngealis sehingga
pharynx bebas bergerak terhadap columna vertebralis.
Cavum pharyngis dibagi oleh palatum molle menjadi bagian cranial, disebut
nasopharynx, dan bagian caudal yang terdiri atas cropharynx (dibelakang cavum oris)
dan laryngopharynx (dibelakang larynx).
Nasopharynx
Merupakan bagian yang paling luas dari cavum pharyngis. Terletak di belakang
cavum nasi dan cranialis dari palatum molle (palatum molle dapat dianggap membentuk
lantai nasopharynx). Ruangan ini dapat dipisahkan sama sekali dari oropharynx dengan
mengangkat palatum molle ke arah dinding posterior pharynx. kE arah anterior
berhubungan dengan cavum nasi dengan melalui choanae. Bagian ini semata-mata
dilalui oleh udara respirasi. Pada setiap dinding lateral nasopharynx terdapat muara dari
tuba auditiva (tuba pharyngotympanica). Lubang ini terletak ssetinggi concha nasalis
3
inferior dan dibatasi di sebelah postero-superior oleh torus tubarius, yaitu suatu
penonjolan yang disebabkan oleh pars medialis dari tuba auditiva. Di sebelah dorsal
dari tonjolan ini terdapat recessus pharyngeus (rosenmuelleri) yang berjalan vertikal.
Pada ostium pharyngeum tubae auditivae terbentuk labium anterius dan labium
posterior, dan labium posterius melanjutkan diri ke caudal pada plica
salpingopharyngealis, yaitu suatu plica yang dibentuk oleh membrana mucosa yang
membungkus m.salpingo pharyngeus.
Di bagian cranialis dinding posterior nasopharynx terdapat tonsilla pharyngea, yang
bertumbuh sampai usia anak 6 tahun, lalu mengalami retrogresi. Bilamana terjadi
hypetrophi maka nasopharynx dapat tertutup dan memberi gangguan respirasi. Di
sebelah dorsal tuba auditiva terdapat kumpulan jaringan lymphoid yang membentuk
tonsilla tubaria. Pembesaran dari tonsilla ini dapat menekan tuba auditiva dan
menghalangi aliran udara yang menuju ketelinga bagian tengah. Pembesaran dari
tonsilla pharyngea dan tonsilla tubaria akan membentuk adenoid.
Oropharynx
Terletak di sebelah dorsal cavum oris, di sebelah caudal dari palatum molle dan
di sebelah cranialis aditus laryngis. Mempunyai hubungan dengan cavum oris melalui
isthmus oropharyngeum (= isthmus faucium).
Batas lateral isthmus faucium dibentuk oleh arcus palatoglossus, yang melekat dari
palatum molle menuju ke sisi lidah (kira-kira di bagian posterior pertengahan lidah). Di
sebelah posteriornya lagi terdapat arcus palatopharyngeus yang berasal dari tepi
posterior palatum molle menuju ke caudo-dorsal mencapai dinding lateral pharynx.
Arcus palatopharyngeus, arcus palatopharyngeus dan bagian posterior sisi lingua
membentuk fossa tonsillaris yang ditempati oleh tonsilla palatina.
Laryngopharynx
Bagian ini berada di sebelah dorsal larynx. Ke arah cranialis berhubungan dengan
oropharynx (hubngan bebas) dan ke arah caudalis melanjutkan diri menjadi
oesophagus. Aditus laryngis terletak pada dinding anterior laryngopharynx. Facies
posterior dari cartilago arytaenoidea dan cartilago cricoidea membentuk dinding
anterior laryngopharynx.
SISTEM ALIRAN LIMFA LEHER
Sekitar 75 buah kelenjar limfa terdapat pada setiap sisi leher, kebanyakan
berada pada rangkaian jugularis interna dan spinalis asesorius. Kelenjar limfa yang
selalu terlibat dalam metastasis tumor adalah kelenjar limfa pada rangkaian jugularis
4
interna, yang terbentang antara klavikula sampai dasar tengkorak. Rangkaian jugularis
interna ini dibagi dalam kelompok superior, media dan inferior. Kelompok kelenjar
limfe yang lain adalah submental, submandibula, servikalis superfisial, retrofaring,
paratrakeal, spinalis asesorius, skalenus anterior dan supraklavikula.
Kelenjar limfa jugularis interna media menerima aliran limfa yang berasal
langsung dari subglotik laring, sinus piriformis bagian inferior dan daerah krikoid
posterior. Juga menerima aliran limfa yang berasal dari kelenjar limfa jugularis interna
superior dan kelenjar limfa retrofaring bagian bawah.
5
Kelenjar limfa paratrakea, menerima aliran limfa yang berasal dari laring
bagian bawah, hipofaring, esofagus bagian servikal, trakea bagian atas dan tiroid.
Pembuluh eferen mengalirkan limfa ke kelenjar limfa jugularis interna inferior atau
kelenjar limfa mediastinum superior.
II. Kelenjar yang terletak di 1/3 atas dan termasuk kelenjar limfa jugular superior, ke
6
III. Kelenjar limfa jugularis di antara bifurkasio karotis dan persilangan M. Omohioid
Benjolan pada leher dapat timbul akibat berbagai faktor, seperti hormon,infeksi,
neoplasma, tumor dan kelainan herediter. Tiap faktor bekerja dengan cara yang
berbeda dalam menimbulkan benjolan. Tidak semua benjolan yang ada pada leher
timbul karena kelainan yang ada pada leher. Tidak jarang kelainan berasal dari
kelainan sistemik seperti limpoma. Hampir semua struktur yang ada pada leher dapat
mengalami benjolan. Daerah ini meliputi kelenjar tiroid, paratiroid dan getah bening.
Benjolan dapat berasal dari struktur jaringan lain seperti lemak, otot dan tulang.
Infeksi dapat menimbulkan benjolan pada leher melalui beberapa cara diantaranya
berupa benjolan yang berasal dari invasi bakteri langsung pada jaringan yang
terserang secara langsung maupun benjolan yang timbul sebagai efek dari kerja
imunitas tubuh yang bermanifestasi pada pembengkakan kelenjar getah bening.
7
Sedangkan mekanisme timbulnya benjolan akibat neoplasma dari otot, sel limfoid,
tulang maupun kelenjar secara umum hampir sama. Pada paparan awal akan terjadi
displasia dan metaplasia pada sel matur akibat berbagai faktor sehingga diferensiasi
sel tidak lagi sempurna. Displasia pada sel menimbulkan kelainan fisiologis molekuler
berupa peningkatan laju pembelahan sel dan inaktifasi mekanisme apoptosis sel. Hal
ini berakibat pada proliferasi sel tak terkendali yang bermanifestasi pada timbulnya
benjolan pada jaringan.
Berbagai faktor dari lingkungan seperti bahan kimiawi, radiasi dan virus dapat
menyebabkan kerusakan DNA pada sel- sel yang normal. Dalam keadaan yg normal,
setiap kerusakan DNA akan diperbaiki oleh gen repair. Namun, dalam hal ini gen
repair gagal memperbaiki DNA sehingga kerusakan DNA menetap. Kegagalan
perbaikan ini disebabkan oleh mutasi yang juga menyerang gen- gen perbaikan dan
gen yang mempengaruhi apoptosis. Kerusakan gen berlanjut menjadi mutasi sel
somatik. Mutasi ini menyebabkan aktivasi onkogen yang akan meningkatkan
pertumbuhan, Inaktivasi gen suppressor tumor, dan mengganti gen yang mengatur
apoptosis. Akibat dari aktivasi onkogen dan inaktivasi suppressor tumor, sel
mengalami proliferasi yang tidak terkendali dan penurunan apoptosis karena
kerusakan gen yang mengaturnya. Akibatnya terjadi ekspansi klonal yang ditunjang
angiogenesis dan pertahanan terhadap imunitas, pertambahan mutasi (progresi) dan
akhirnya heterogeneitas dari sel- sel yang akhirnya membentuk neoplasma ganas yang
lama kelamaan akan mengalami invasi dan metastasis
1. Kelainan kongenital
Kelainan kongenital adalah kelainan yang dibawa sejak lahir, benjolannya dapat
berupa benjolan yang timbul sejak lahir atau timbul pada usia kanak-kanak
bahkan terkadang muncul setelah usia dewasa. Pada kelainan ini, benjolan yang
paling sering terletak di leher samping bagian kiri atau kanan di sebelah atas juga
8
di tengah-tengah leher. Ukuran benjolan bisa kecil beberapa cm bisa juga besar
sepertibola tenis. Kelainan kongenital yang sering terjadi di daerah leher antara
lain adalah hygroma colli , kista branchial , kista ductus thyroglosu. Hygroma
colli adalah kelainan bawaan lahir akibat adanya gangguan saluran limfe,
biasanya muncul setelah lahir dan makin bertambah besar dengan bertambahnya
usia, bahkan bisa sampai ukuran bola tenis atau bisa lebih, biasanya benjolan agak
lunak.
2. Infeksi
Infeksi pada daerah leher dapat berupa acut atu infeksi menahun. Biasanya infeksi
acut disertai dengan adanya gejala panas badan, rasa sakit dan warna kemerahan
pada benjolan tersebut.
Yang paling sering ditemukan penyakit TBC kelenjar. Benjolan kecil ukuran
beberapa millimeter sampai ukuran beberapa centimeter. Bisa hanya satu buah
namun dapat juga langsung beberapa buah dan paling sering terletak di samping
leher kiri dan kanan, bahkan kadang di saping leher kiri dan kanan.
3. Neoplasma
9
4. Trauma
Trauma di daerah leher akibat benturan benda tumpul sehingga terjadi bekuan
darah atau hematom dan membentuk benjolan seperti tumor.
5. Kelainan lain
B. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik harus menitikberatkan perhatian pada jumlah, ukuran,
bentuk, konsistensi, mobilitas, permukaan licin atau tidak, ada tidak nyeri tekan,
apakah bergerak turun naik sesuai gerakan menelan, kelenjar limfe leher
membesar, dan lain-lain
Pemeriksaan umum
1) Inspeksi
- Lihat bentuk dan warna leher (simetris/asimetris, tampak kemerahan)
- Apakah terdapat penonjolan vena-vena jugularis?
- Apakah terlihat adanya tumor (soliter/multiple, unilateral/bilateral,
konfluens/diseminata
- Adakah tortikolis?
2) Palpasi
- Bagaimana pulsasi arteri karotis? (normal/abnormal)
- Adakah kaku kuduk?
- Adakah pembesaran tiroid?
- Bagaimana posisi trakea? (ditengah, terdorong kesatu sisi)
3) Auskultasi
- Adakah bruit pada arteri karotis atau tiroid?
Pemeriksaan kelenjar getah bening
10
1) Inspeksi
- Adakah pembesaran kelenjar getah bening leher? (jika ya,
unilateral/bilateral, jumlah KGB yang membesar, tentukan lokasi)
2) Palpasi (menggunkan jari telunjuk dan jari tengah)
- Tentukan ukuran KGB yang membesar
- Nilai konsistensi, mobilitas, permukaan
- Adakah nyeri tekan?
- Lakukan palpasi pada daerah:
- Preaurikula, aurikula posterior, oksipital, tonsiliar, submandibular,
submental, servikal superfisial, servikal posterior, deep cervical chain,
supraklavikula.
Kelenjar tiroid
- Pasien berada di posisi depan dari pemeriksa
- Kedua tangan pemeriksa meraba kelenjar tiroid dari arah belakang
- Hal yang perlu dinilai:
- Ukuran
- Bentuk (normal, nodular, difus)
- Soliter/multiple
- Solitermultiple
- Minta pasien menelan ludah, apakah kelenjar tersebut ikut bergerak sesuai
dengan gerakan menelan?
- Konsistensi (kenyal, keras, kistik)
- Permukaan (rata, berbenjol-benjol)
- Adakah nyeri tekan?
- Adakah bruit pada auskultasi
Kelenjar Liur
- Kelenjar submandibula
- Palpasi bimanual menggunakan 1 jari pada mulut dan jari lain di leher
- Kelenjar parotis
- Palpasi daerah periaurikuler
- Periksa duktus parotid pada mukosa pipi disekitar gigi molar 2 atas
C. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan serologi
Terutama mencakup pemeriksaan fungsi tiroid, kadar kalsitonin serum,
dll. Semua pasien dengan tumor tiroid harus diperiksa fungsi tiroid, termasuk
TSH, T4, T3 serum, dll. Sebagian terbesar pasien kanker tiroid memiliki fungsi
tiroid normal. Bila pasien dengan tumor tiroid memiliki kadar kalsitonin serum
meninggi, dapat didiagnosis sebagai karsinoma medular tiroid.
2) Pemeriksaan USG
Mencakup USG biasa dan dopler warna, USG merupakan cara cukup
sensitif untuk memeriksa ukuran dan jumlah tumor tiroid, dapat menunjukkan
ada tidaknya tumor, sifatnya padat atau kistik, ada tidaknya kalsifikasi, dll.
Dopler warna dapat mengetahui situasi aliran darah di dalam tumor dan
11
kelenjar limfe, sangat membantu dalam diagnosis banding lesi jinak atau
ganas.
3) Pemeriksaan radioisotop
Sebagian besar karsinoma berdiferensiasi tiroid memiliki fungsi
mengambil iodium, tampak sebagai nodul hangat. Jika terdapat perubahan
kistik, maka seluruhnya atau sebagian tampak sebagai nodul sejuk atau dingin.
Pemeriksaan ini belakangan secara bertahap diganti oleh USG dan CT.
4) Pemeriksaan sinar X
Termasuk foto trakea anteroposterior dan lateral, foto barium esofagus,
foto toraks, dll. Foto AP dan lateral trakea dapat menunjukkan kalsifikasi
dalam tumor tiroid, kondisi desakan, pergeseran posisi dan penyempitan
trakea, serta bayangan jaringan lunak prevertebral, juga dapat menunjukkan
kondisi batas inferior tumor berekstensi ke posterior sternum dan
mediastinum. Pemeriksaan esofagus menelan barium dapat mengetahui
adanya desakan, infiltrasi ke esofagus.
5) Pemeriksaan CT-scan
Dapat menunjukkan lokasi, jumlah tumor, ada tidaknya kalsifikasi,
kondisi struktur internalnya, keteraturan batasnya, dll. Sangat membantu
dalam diagnosis lokasi tumor tiroid.
6) Pemeriksaan MRI
Dapat menampilkan potongan koronal, sagital, transversal, dengan lapisan
multiple, sangat baik dalam diagnosis lokalisasi karsinoma tiroid dan
hubungannya dengan organ, vaskular dan jaringan sekitarnya.
7) Pemeriksaan PET
Dalam diagnosis lesi tiroid jinak atau ganas memiliki akurasi relatif
tinggo, tapi ini bukan cara diagnosis pasti, biayanya relatif sangat tinggi.
8) Pemeriksaan sitologi aspirasi jarum halus (FNAC)
FNAC merupakan cara diagnosis sifat yang tersering dipakai pra-operasi.
Kelebihannya aman, praktis, murah dan akurasinya relatif tinggi.
DEFINISI
12
Di Indonesia, karsinoma nasofaring merupakan salah satu jenis keganasan yang
sering ditemukan, berada pada urutan ke-4 kanker terbanyak di Indonesia setelah
kanker payudara, kanker leher rahim, dan kanker paru.
EPIDEMIOLOGI
Secara global ditemukan sekitar 65.000 kasus baru KNF dengan 38.000
kematian pada tahun 2000. Sementara pada sebagian besar tempat di dunia jarang
dijumpai (dengan angka kejadian sekitar 1 dari 105 atau 0,6% dari seluruh kanker),
pada populasi tertentu insidensinya lebih tinggi pada ras China, Asia Tenggara
(seperti Thailand, Philippina, dan Vietnam), Afrika Utara (seperti Algeria dan
Maroko), demikian juga wilayah Arctic (seperti Canada dan Alaska). Insidensi
tertinggi dari karsinoma nasofaring telah lama diamati di Hongkong, di mana 1 dari
40 laki-laki menderita karsinoma nasofaring sebelum usia 75 tahun.
ETIOLOGI
Faktor Genetik
KNF merupakan keganasan yang jarang di sebagian besar tempat di dunia,
namun KNF merupakan salah satu kanker tersering di Asia Tenggara dengan
insidensi berkisar 10-53 kasus per 100.000 penduduk. Insidensinya juga tinggi di
Alaska, Greenland dan Tunisia dengan kisaran 15-20 per 100.000 penduduk.
Terdapat risiko familial yang tinggi pada populasi Kanton dan pada orang-orang
dengan riwayat KNF pada keluarga. Banyak penelitian yang membuktikan adanya
kelainan pada kromosom antara lain translokasi, amplifikasi, dan delesi 3p, 5p dan
3q juga pada kromosom lain yang bervariasi pada masing-masing kasus. Inaktivasi
gen supresor tumor pada 9p, 11q, 14q, dan 16q serta perubahan onkogen pada
13
kromosom 8 dan 12 juga ditemukan pada KNF. Beberapa studi menunjukkan
bahwa delesi kromosom 3p merupakan kelainan genetik yang paling sering
ditemukan pada KNF. Beberapa studi lain juga menunjukkan adanya polimorfik
dalam gen yang memetabolisme karsinogen yang berhubungan dengan KNF.
Cytochrome P450 2E1 (CYP2E1) dan Cytochrome P450 2A6 (CYP2A6)
merupakan grup cytochrome P450 yang respon terhadap aktivasi metabolik
nitrosamin dan karsinogen lain. Gen-gen ini diduga berperan dalam timbulnya
KNF. Salah satu studi di Cina pada keluarga penderita KNF dijumpai adanya lokus
yang rentan pada regio HLA (human leukocyte antigen). Studi dari kerentanan
HLA pada orang-orang Cina menunjukkan bahwa orang-orang dengan HLA
A*0207 atau B*4601 tetapi tidak pada A*0201 memiliki resiko yang meningkat
untuk terkena karsinoma nasofaring.12,23 Studi oleh Goldsmith et al menyatakan
adanya hubungan pada risiko KNF dengan HLA-A2, HLA-B14, dan HLA-B46.
Faktor Lingkungan
Adanya hubungan antara faktor kebiasaan makan dengan terjadinya KNF
dipelajari oleh Ho dkk. Ditemukan kasus KNF dalam jumlah yang tinggi pada
mereka yang gemar mengkonsumsi ikan asin yang dimasak dengan gaya Kanton
(Cantonese-style salted fish). Risiko terjadinya KNF sangat berkaitan dengan
lamanya mereka mengkonsumsi makanan ini. Banyak studi case-control pada
berbagai populasi (Kanton, Cina Selatan lainnya, Cina Utara dan Thailand)
menunjukkan bahwa makanan gaya Kanton mengandung nitrosodimethyamine
(NDMA), N-nitrospyrrolidene (NPYR), dan N-nitrospiperidine (NPIP) dalam
jumlah besar yang dapat menjadi faktor karsinogenik terhadap KNF.
Paparan ikan asin sejak usia muda merupakan resiko tinggi KNF pada populasi
Cina Selatan. Di beberapa bagian negeri Cina makanan ini mulai digunakan
sebagai pengganti air susu ibu pada saat menyapih. Peneliti lainnya mencoba
menghubungkannya dengan makanan yang diawetkan menggunakan garam
lainnya seperti udang asin, telur asin. Pada penelitian terhadap hewan percobaan
diketahui bahwa tumor nasal dan nasofaringeal dapat diinduksi pada tikus dengan
memberi ikan asin dalam makanan mereka. Pajanan di tempat kerja seperti asap,
paparan formaldehyde dan debu kayu juga telah diketahui merupakan faktor risiko
bagi timbulnya KNF. Belakangan ini penelitian dilakukan terhadap pengobatan
14
alami (Chinese Herbal Medicine = CHM). Hildesheim et al memperoleh hubungan
yang erat antara terjadinya KNF, infeksi EBV dan penggunaan CHM.
Epstein–Barr Virus
Hubungan dekat yang konstan antara EBV dan KNF, terlepas dari latar belakang
etnis, menunjukkan kemungkinan peran onkogenik virus dalam pembentukan
tumor ini. Bukti-bukti mencakup:
1. Meningkatnya titer antibodi, khususnya IgA, terhadap EBV (yang tersering viral
capsid antigen dan early antigen) pada kebanyakan penderita KNF dibandingkan
kontrol normal dan penderita kanker lainnya.
2. Tingginya titer IgA antibodi terhadap EBV pada penderita dengan tumor yang
besar;
3. Adanya DNA atau RNA EBV dalam hampir semua sel KNF
4. Adanya EBV dalam bentuk episomal klonal, menunjukkan bahwa virus telah
berada di dalam sel tumor sebelum ekspansi klonal
5. Adanya EBV dalam lesi prekursor KNF, tetapi tidak pada epitel nasofaring normal.
Bukti dianggap cukup untuk menyatakan bahwa EBV adalah karsinogenik oleh the
International Agency for Research on Cancer (IARC) pada tahun 1997.
Hubungan antara EBV dan KNF pertama kali ditemukan oleh Old et al pada
tahun 1966 dengan menggunakan metode in situ hybridization dan the
anticomplement immunofluorescent (ACIF). Studi lainnya menunjukkan ekspresi
gen laten EBV yaitu Epstein–Barr virus nuclear antigen (EBNA), latent membrane
protein-1 (LMP-1), LMP-2, dan EBV encoded small RNAs (EBER) dalam sel-sel
KNF untuk mengkonfirmasi adanya infeksi EBV dalam sel-sel tumor. Sekitar 90%
penderita undifferentiated nasopharyngeal carcinomas dewasa di seluruh dunia
positif mengandung EBV secara serologi. Beberapa studi menemukan bahwa KNF
dengan EBV tumbuh lebih cepat dan lebih cenderung untuk bermetastasis
dibanding yang tidak mengandung EBV.
MANIFESTASI KLINIS
Karena lokasi anatomisnya maka rongga nasofaring sulit untuk dilihat dan
tumor yang tumbuh sering tidak diketahui dan sedikit yang memberikan gejala
pada fase awal. Gejala sering hanya sedikit memberikan gejala pada waktu yang
lama dengan pola mirip dengan kelainan umum di hidung dan nasofaring. Kadang-
15
kadang mukosa nasofaring terlihat normal walaupun telah terjadi penyebaran
tumor ke KGB regional atau bahkan sudah menjalar ke intrakranial.
Penemuan penderita pada stadium I dan II (kasus dini), dimana belum terjadi
metastasis regional sangat sulit dicapai baik di Indonesia maupun di luar negeri.
Gejala KNF dapat dibedakan antara gejala dini dan gejala lanjut. Gejala dini
merupakan gejala yang timbul sewaktu tumor masih tumbuh dalam batas
nasofaring (gejala setempat disebabkan oleh tumor primer), berupa gejala-gejala
hidung dan gejala-gejala telinga). Gejala lanjut merupakan gejala yang timbul
karena tumor telah tumbuh keluar dari nasofaring, baik infiltrasi tumor ke jaringan
sekitarnya maupun metastasis.
Gejala telinga timbul akibat penyumbatan tuba Eustachius oleh massa tumor antara
lain tinnitus, rasa tidak nyaman di telinga, rasa tersumbat, berkurangnya
pendengaran dan sering otitis media. Jika seseorang dengan suku/ras Cina datang
dengan kemungkinan otitis media serosa maka ahli THT harus mempertimbangkan
kemungkinan dia menderita KNF.
Gejala hidung yang biasanya muncul adalah epistaksis ringan dan obstruksi
hidung. Perdarahan hidung dapat terjadi berulang-ulang, sedikit-sedikit dan
bercampur dengan ingus. Gejala obtruksi hidung biasanya menetap dan bertambah
berat akibat massa tumor yang menutupi koana.
16
Bila mengenai N III dan IV akan timbul ptosis dan oftalmoplegia. Lebih lanjut
lagi akan mengenai N IX, X, XI dan XII.
Pembesaran KGB leher yang merupakan gejala lanjut KNF, merupakan keluhan
yang paling sering yang menyebabkan penderita datang berobat. Pembesaran KGB
leher adalah akibat penyebaran KNF secara limfogen. Lokasi kas KGB leher yang
membesar adalah daerah yang terletak di bawah angulus mandibula di dalam otot
strenokleidomastoideus, di mana kelenjar teraba keras, tidak nyeri bila ditekan,
tidak mudah digerakkan karena biasanya juga telah mengenai jaringan otot di
bawahnya.
Sebagai pedoman adanya KNF bila dijumpai kumpulan gejala yang disebut
sebagai TRIAS yaitu : I. Pembesaran KGB leher, gejala telinga, gejala hidung. II.
Pembesaran KGB leher, gejala intrakranial (saraf dan mata), gejala hidung dan
telinga. III. Gejala intrakranial, gejala hidung dan telinga.
PEMERIKSAAN
Pada kasus yang dicurigai suatu KNF, maka perlu dilakukan pemeriksaan
menyeluruh daerah kepala dan leher terutama nasofaring, termasuk memeriksa
adanya pembesaran KGB di leher. Pemeriksaan dengan menggunakan
nasofaringoskop kaku (rigid nasopharyngoscopy) atau lentur (flexible
nasopharyngoscopy) sehingga tumor kecil dapat tampak lebih jelas. Dengan
nasofaringoskopi biopsi nasofaring dapat langsung dilakukan di bawah anestesi
lokal atau biopsi di bawah anestesi umum. Biopsi jaringan nasofaring mutlak
dilakukan untuk konfirmasi diagnosis dan menentukan subtipe histologi.
Pemeriksaan ini merupakan baku emas diagnosis KNF.
17
kontras dapat menentukan batas tumor dan dapat menilai kelenjar limfe dan
pembuluh darah.
Pemeriksaan untuk menentukan diagnosis ini adalah biopsi aspirasi jarum halus.
Karena teknik ini mudah diagnosis dapat dibuat dalam waktu singkat dengan
akurasi yang cukup tinggi, maka di banyak sentra biopsi aspirasi sering digunakan
sebagai pilihan pertama pada penatalaksanaan metastasis KNF.
KLASIFIKASI
18
Klasifikasi karsinoma nasofaring berdasarkan WHO:
Pembesaran KGB leher bagian atas merupakan gejala tersering dari KNF.1
Lebih dari 90% dari metastasis KGB yang didiagnosis dengan aspirasi awal. Salah
satu bantuan yang sangat penting dalam penanganan tumor di leher, dan bagi
onkologi kepala dan leher secara umum adalah melihat tingkat KGB leher yang
terlibat.7 Insidensi lokasi metastasis KNF pada KGB leher diteliti oleh Ho et al
dapat dilihat pada gambar Hasil meta-analisis dari 13 uji klinis menggunakan MRI
untuk diagnosis dan penentuan stadium untuk KNF mengungkapkan bahwa KGB
leher yang paling sering terlibat meliputi KGB retrofaringeal lateral dan KGB
tingkat II dengan kemungkinan metastasis masingmasing 69,4% & 70,4%.
Selanjutnya kelompok KGB diikuti oleh tingkat III, VA, dan IV, dengan
kemungkinan masing-masing sebesar 44,9%, 26,7%, 11,2%. Beberapa kelompok
KGB leher, termasuk tingkat I, tingkat VI, parotis dan kelenjar supraklavikula
memiliki risiko yang sangat rendah untuk metastasis KNF. Sebuah temuan penting
adalah bahwa penyebaran limfatik di KGB leher berlangsung berantai secara
teratur dari KNF primer. Terdapat risiko yang sangat rendah sekitar 0,5% untuk
skip metastasis. Pemeriksaan sitologi biopsi aspirasi jarum halus pada KGB leher
yang membesar merupakan pemeriksaan yang sangat bernilai untuk mendiagnosis
19
metastasis KNF, juga sebagai diagnosis awal dan untuk menentukan stadium.
Diagnosis dapat dikonfirmasi dengan imunositokimia dengan sitokeratin dan insitu
hybridization untuk EBER baik pada apusan atau pada sel blok.1
Stadium Klinik
20
Satdium 0 : Tis, N0, M0
Stadium IIB : T1, N1, M0; atau T2a, N1, M0; atau T2B, N0,N1, M0
Stadium III : T1, N2, M0; atau T2a, T2b, N2 M0; atau T3, N0, N1, N2, M0
TERAPI
PROGNOSIS
Angka ketahanan hidup dipengaruhi oleh usia (lebih baik pada pasien usia
muda), staging klinik dan lokasi dari metatasis regional (lebih baik pada yang
21
homolateral dibandingkan pada metastasis kontralateral dan metastasis yang
terbatas pada leher atas dibandingkan pada leher bawah).
B. Limfoma Malignan
PENGERTIAN
Limfoma adalah sekumpulan keganasan primer pada kelenjar getah bening dan
jaringan limfoid. Berdasarkan tipe histologiknya, limfoma dapat dibagi menjadi
dua kelompok besar, yaitu Limfoma Non Hodgkin dan Hodgkin. Pada protokol ini
hanya akan dibatasi pada limfoma non-Hodgkin.
EPIDEMIOLOGI
LNH merupakan keadaan klinis yang kompleks dan bervariasi dalam hal
patobiologi maupun perjalanan penyakit. Insidennya berkisar
63.190 kasus pada tahun 2007 di AS dan merupakan penyebab kematian utama
pada kanker pada pria usia 20-39 tahun1. Di Indonesia, LNH bersama-sama dengan
limfoma Hodgkin dan leukemia menduduki urutan peringkat keganasan ke-6
MANIFESTASI KLINIS
Gejala yang sering ditemukan pada penderita limfoma pada umumnya non-
spesifik, diantaranya:2
22
Pembesaran kelenjar getah bening yang terlibat
Dapat pula ditemukan adanya benjolan yang tidak nyeri di leher, ketiak atau
pangkal paha (terutama bila berukuran di atas 2 cm); atau sesak napas akibat
pembesaran kelenjar getah bening mediastinum maupun splenomegali.
Tiga gejala pertama harus diwaspadai karena terkait dengan prognosis yang
kurang baik, begitu pula bila terdapatnya Bulky Disease (KGB berukuran >
PROSEDUR DIAGNOSTIK
Anamnesis:
Pembesaran KGB
Kelainan/pembesaran organ (hati/limpa)
Performance status: ECOG atau WHO/Karnofsky
DIAGNOSIS BANDING
1. Infeksius
23
Mikobakterium (tuberkulosis)
Parasit (toxoplasma)
2. Autoimun
Sindrom Sjögren
Derivatif Hidantoin
3. Granulomatosis
Sarkoidosis
4. Neoplasma
Penyakit Hodgkin
Histiositosis maligna
Melanoma
5. Kondisi lainnya
Granulomatosis limfomatoid
Limfadenopati dermatopati
Limfadenopati angioimunoblas
Penyakit Castleman
KLASIFIKASI STADIUM
24
Penetapan stadium penyakit harus dilakukan sebelum pengobatan dan setiap lokasi
jangkitan harus didata dengan cermat baik jumlah dan ukurannya serta digambar
secara skematis.Hal ini penting dalam menilai hasil pengobatan.Disepakati
menggunakan sistem staging menurut Ann-Arborr.
Keterangan :
C : Keterlibatan ekstranodal
KLASIFIKASI HISTOLOGIK
TATALAKSANA
Pilihan terapi bergantung pada beberapa hal, antara lain: tipe limfoma (jenis
histologi), stadium, sifat tumor (indolen/agresif), usia, dan keadaan umum pasien.
Namun umumnya:
25
Standar pilihan terapi:
1. Iradiasi
2. Kemoterapi dilanjutkan dengan radiasi
3. Kemoterapi (terutama pada stadium ≥2 menurut kriteria GELF)
4. Kombinasi kemoterapi dan imunoterapi
5. Observasi
DUKUNGAN NUTRISI
Status gizi merupakan salah satu faktor yang berperan penting pada kualitas
hidup pasien kanker.
atau paliatif.
EDUKASI
26
2. Nutrisi Edukasi jumlah nutrisi , jenis dan cara
pemberian nutrisi sesuai dengan kebutuhan
PROGNOSIS
C. Karsinoma Tyroid
DEFINISI
Karsinoma tiroid merupakan lesi keganasan pada kelenjar tiroid, tumor ini
banyak menyerang usia dewasa muda. Karsinoma berinsiden relatif rendah dan
memiliki banyak tipe patologik. Tumor dengan tipe patologik berbeda memiliki
manifestasi klinis, metode terapi, prognosis, dll, yang berbeda signifikan.
EPIDEMIOLOGI
Insiden kanker tiroid bervariasi menurut negara dan kawasan yang berbeda. Di
Eslandia dan hawaii, insiden kankr tiroid sangat tinggi. Pria/wanita 1:2. Insiden
puncak tergantung histologi (papiler : dewasa muda; folikuler: usia pertengahan;
anaplastik: usia lanjut; meduler : semua usia).
ETIOLOGI
Etiologi kanker tidoid masih belum jelas, pada umunya beranggapan karsinoma
tiroid berkaitan dengan banyak faktor (multifaktorial) sebagai berikut:
a) Radiasi ionisasi
Papaaran radiasi khususnya terhadap anak dan remaja, merupakan faktor resiko
seumur hidup bagi timbulnya nodul jinak maupun ganas tiroid. Ada ahli
berpendapat, kontak dengan radiasi merupakan satu-satunya karsinogen terhadap
27
tiroid yang telah terbukti dewasa ini. Penelitian mnunjukan pada populasi terpapar
sinar X dan radiasi ᵞ, insiden karisnoma papilar dan folikular tiroid lebih tinggi.
Ada panalitian yang menemukan bahwa pada kelenjar tiroid normal, tumor
jinak dan tumor ganas tiroid terdapat reseprot esterogen dalam jumlah yang
bervariasi. Pada jaringan karsinoma papilar tiroid kandungan reseptor esterogen
(ER) dan reseptor progesteron (PR) tertinggi, disimpulkan bahwa ER, dan PR
merupakan faktor penting yang mempengaruhi insiden karsinoma tiroid pada
wanita.
d) Faktor diet
Penyakit hiperplasia jinak tiroid, seperti struma nodosa dan adenoma tiroid; dapat
bertransformasi ganas menjadi karsinoma.
TIPE PATOLOGI
Tipe patologi yang sering ditemukan pada karsinoma tiroid adalah karsinoma
papilar, karsinoma folikular, karsinoma medular, dam karsinoma tak
berdiferensiasi. Karsinoma papilar dan karsinoma folikuler secara bersama disebut
sebagai karsinoma tiroid berdiferensiasi.
a) Karsinoma Papilar
28
Karsinoma papilar memiliki subtype histologist yaitu mikrokarsinoma papilar,
folikular, sel tinggi, sel torak, skelorosis difus, dll.
b) Karsinoma folikular
Usia rata-rata timbulnya karsinoma folikular lebih besar 10 tahun dibandingkan
karsinoma papilar, umumnya ditemukan pada usia 45-50 tahun. Karsinoma
folikular dapat dibagi menjadi dua sub tipe, yaitu infiltrasi mikro dan infiltrasi luas.
c) Karsinoma medular
Karsinoma medular familiar merupakan suatu penyakit genetik kromosomal
dominan, menempati 10-20% dari karsinoma medular, dapat timbul tersendiri atau
bersama dengan tumor endokrin lain.
MANIFESTASI KLINIS
1. Tumor atau nodul tiroid: gejala yang sering ditemukan, sejak dini dapat diketahui
adanya nodul keras dalam kelenjar tiroid, bergerak naik turun sesuai gerakan
menelan.
2. Gejala infiltrasi dan desakan local: Ketika tumor membesar sampai batas tertentu,
Sering mendesak trakea hingga posisinya berubah, disertai gangguan bernafas yang
bervariasi intensitasnya. Ketika tumor menginfiltrasi trakea, dapat timbul dispnea
atau hemoptoe: bila tumor mendesak esofagus bisa timbul disfagia, bila tumor
menginfiltrasi nervus laringeus rekuren dapat timbul suara serak.
3. pembesaran kelenjar limfe leher: ketika tumor mengalami metastasis kelenjar
limfe, sering teraba pembeseran kelenjar limfe leher profunda superior, media,
inferior.
kanker tiroid dengan tipe patologik berbeda memiliki kekhususan klinisnya
sendiri:
A. Karsinoma papilar: paling sering ditemukan, lebih banyak wanita dan berusia di
bawah 40 tahun. tingkat keganasan relatif rendah, progresi relatif lambat, interval
antara ditemukan benjuolan dan datang berkonsultasi yang terlama dapat mencapai
lebih dari 20 tahun. Tumor umumnya soliter, lesi primer mungkin sangat kecil.
Frekuensi metastasis kelenjar linmfe leher tinggi, terjadi awal, lingkupnya luas,
29
progresi lambat, dapat disertai transformasi kistik
B. Karsinoma folikular: kedua tersering ditemukan, usia timbul penyakit rata-rata
lebih tinggi dan karsinoma papilar, umunya pada wanita setengah baya. Derajat
keganasan relatif tinggi, mudah metastasis jauh, terutama hematogen, sering ke
paru dan tulang, lesi primer umumnya agak membesar, umumnya satu sisi.
Metastasis kelenjar limfe umumnya terjadi lebih lanjut, biasanya pertanda stadium
lanjut.
C. Karsinoma medular: relatif jarang ditemukan, umum penderita datang dengan
keluhan benjolan tiroid, sebagian pasien datang dengan keluhan pembesaran
kelenjar limfe leher, lama perjalanan penyakit bervariasi. Umumnya pasien tidak
menderita ketidak nyamanan spesifik, sebagian dapat menderita distagia, suara
serkak, batuk, sesa napas dll. sebagian kecil bergejala metatasis jauh. Karena sel
kanker berasal dari sel parafolikular tiroid (sel C) maka dapat menghasilkan
kalsitonin (CT), prostaglandin (PG), serosonin (5-HT), peptida vasoaktif pada
intestinal (VIP), dll sehingga sebagian pasien dapat menderita diare refrakter, muka
merah dan banyak berkeringat dll. yang dikenal dengan sindrom karsinoid.
D. Karsinoma tak berdiferensiasi: merupakan tumor yang sangat ganas. usia Rata-rata
timbulnya biasanya di atas 60 tahan, progresi penyakit yang cepat merupakan ciri
klinis utamanya. Tumor dengan cepat mengenai jaringan organ sekitarnya
menimbulkan suara serak, batuk, disfagia dan sakit leher dan gejala lain. Pada
waktu pemeriksaan ditemukan massa tumor besar padat difus di tiroid dan leher,
konsistensi keras, terfiksasi, batas tak jelas, luas menginfiltrasi jaringan sekitarnya.
TERAPI
Terapi kanker tiroid terutama dibagi menjadi cara operasi dan non operasi
a. Terapi operatif
Kecuali karsinoma tak berdiferensiasi, terapi kanker tiroid terutama dengan
operasi. Menurut jenis patologi dan lingkup infiltrasi yang berbeda, dipilih model
operasi yang berbeda. Berdasarkan ukutan tumor primer, jenis pathologic, lingkup
infiltrasi ke jaringan sekitrar, ada tidaknya metastasis dan lingkup metastasis,
ditetapkan model operasinya.
30
(bila hasil pemeriksaan pra operasi adalah lesi di satu lobus, ekplorasi
intraoperasi menemukan lesi lobus bilateral, maka ditangani menurut lesi
bilateral) semua lesi yang tidak lebih dari T2 dapat dilakukan lobektomi
unilateral dan ismektomi.
(2) Tiroidektomi total atau sub total: bila lesi tiroid mengenai kedua lobus, atau
kanker tiroid sudah memiliki metastasis jauh, memerlukan terapi dengan isotop
pasca operasi, harus ter;ebih dahulu dilakukan tiroidektomi. Ketika melakukan
tiroidektomi, harus sedapat mungkin meninggalkan satu kelenjar pada tiroid.
(3) Reseksi diperluas lobus residual unilateral: terhadap tumor tiroid dengan sifat
tak jelas dilakukan eksisi local tumor, pasca operasi pathologic ternyata,
dilakukan operasi lagi untuk mengangkat lobus residual, angka kanker residul
adalah 29,2-60%
2. Penanganan terhadap kelenjar limfe regional.
Metastasis kelenjar limfe regional dari kanker tiroid mencakup kelenjar limfe
region leher dan mediastinum superior, secara klinis lebih sering ditemukan
metastasis kelenjar limfe leher.
31
TSH sehingga mengurangi rekurensi dan metastasis karsinoma tiroid
berdiferensiasi.
3. Kemoterapi
Terhadap pasien karsinoma tiroid berdiferensiasi, dewasa ini masih belum ada
kemoterapi yang efektif, maka secara klinis kemoterapi hanya dipakai secara
selektif untuk pasien stadium lanjut yang tidak dapat dioperasi atau pasien
dengan metastasis jauh, atau dipakai bersama metode terapi lainnya.
PROGNOSIS
Prognosis karsinoma tiroid bervariasi besar, ada yang tumbuh lambat, sangat
sedikit membawa kematian, ada yang tumbuh cepat, angka kematian tinggi. Factor
yang berpengaruh menonjol terhadap prognosis karsinoma tiroid terutama
mencakup: jenis pathologic, stadium dan metastasis jauh. Menurut data dari RS
Kanker Universitas Kedokteran Zhongshan, pada karsinoma tiroid berdiferensiasi,
angka survival 5 tahun dan 10 tahun, masing-masing adalah 93,6% dan 87,5%.
Karsinoma medular dan karsinoma tak berdiferensiasi memiliki survival 5 tahun
masing-masing 68,75% dan 16,81%; survival 5 tahun karsinoma tiroid stadium I,
II, III,dan IV masing-masing adalah 98,98%, 88,92%, 79,50%, dan 41,51%. Selain
itu usia, jenis kelamin, ukuran lesi dan stadium T juga berpengaruh pada prognosis
karsinoma tiroid.
DAFTAR PUSTAKA
Japeries W, Desen W. 2013. Buku Ajar Onkologi Klinis edisi 2 FK UI.Jakarta: Badan Penerbit
FK UI
Desen, Wan & Willie Japaries. 2015. Buku Ajar Onkologi Klinis. Jakarta: Penerbit UI
Setiati, S., Nafrialdi., Alwi, I., Syam, AF., Simadibrata, M. 2015. Anamnesis & Pemeriksaan
Fisis Komprehensif. Jakarta: Interna Publishing
Roezin, A. 2012. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher.
Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
32
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Panduan Penatalaksanaan Limfoma Non-
Hodgkins. Jakarta
Soepardi, Efiaty Arsyad & Nurbaiti Iskandar. (2000). Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT. Edisi
kekempat. FKUI : Jakarta.
33