Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN TUTORIAL SISTEM ONKOLOGI

“MODUL BENJOLAN PADA LEHER”

TUTOR : dr. PATMA AYUNITA

Disusun Oleh:

Kelompok 5
Salomina Wambrauw K1A113074
Muhammad Rizal K1A114030
Nurul Dwi Ratih K1A114103
Meildy Susanty Samuddin K1A115025
Sasqia Pratiwi Iqbal K1A115040
Zurriyati Isra Marfu’ah K1A115050
Asri Nurul Afifah K1A115060
Risna Yuliani K1A115070
Mujahidah Yunus K1A115090
Prabowo Saputra Yuwana K1A115105
Wilda Lestari Ayu K1A115128
Andi Zilfiah Lantani K1A115159

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2017
I. Tujuan Pembelajaran
Setelah mempelajari modul ini mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan tentang
penyakit-penyakit dengan gejala benjolan pada leher, patomekanisme terjadinya, cara
diagnosis dan penanganan penyakit-penyakit yang bersangkutan.
II. Sasaran Pembelajaran
Setelah pembelajaran dengan modul ini mahasiswa diharapkan dapat:

1. Menjelaskan penyakit-penyakit dengan gejala benjolan pada leher

2. Menjelaskan patogenesis terjadinya benjolan leher

3. Menyebutkan batas-batas anatomi leher

4. Menjelaskan tentang letak anatomi kelenjar limfa leher

5. Menjelaskan cara melakukan anamnesis terhadap kasus dengan benjolan dileher

6. Menjelaskan pemeriksaan yang diperlukan untuk menentukan penyebab benjolan di


leher

III. Skenario 2
Wanita 45 tahun datang ke rumah sakit dengan keluhan massa pada leher, berbenjol-benjol
dirasakan sejak 3 bulan lalu. Benjolan dirasakan semakin membesar, berat badan menurun.
Dua minggu terakhir timbul benjolan serupa pada lipatan paha dan ketiak.
IV. Kata / Kalimat Kunci
1. Wanita, 45 tahun
2. Massa pada leher, berbenjol-benjol sejak 3 bulan yang lalu
3. Berat badan menurun
4. Benjolan dirasakan semakin membesar
5. Timbul benjolan pada lipatan paha dan ketiak 2 minggu terakhir
V. Pertanyaan
1. Jelaskan anatomi kelenjar limfe dan batas-batas leher!
2. Jelaskan patogenesis terjadinya benjolan pada leher!
3. Jelaskan penyakit-penyakit dengan gejala benjolan pada leher!
4. Jelaskan langkah-langkah diagnosis!
5. Jelaskan DD dan DS!
VI. Jawaban pertanyaan
1. Anatomi kelenjar limfe dan batas-batas leher!

2
 Faring

Adalah suatu tabung fibro-muscular yang meluas mulai dari basis cranii sampai pada
tepi caudal cartilago cricoidea, yaitu setinggi vertebra cervicalis ke 6, dan melanjutkan diri
menjadi oesophagus. Tabung ini mempunyai ukuran panjang kira-kira 12,5 cm dengan
diameter pada ujung cranialis kurang lebih 5 cm dan ujung caudalis kira-kira 2,5 cm (berbentuk
kerucut). Pharynx berfungsi meneruskan aliran udara dari cavum nasi menuju ke larynx dan
makanan dari cavum oris menuju ke oesophagus. Bagian cranialis selalu berada dalam keadaan
terbuka yang emmungkinkan udara dengan bebas masuk kedalam larynx, yang berada pada
dinding anterior pharynx. Bagian caudalis berbentuk flat anterior-posterior yang hanya
membuka bilamana dilalui oleh bolus makanan.

Dinding lateral pharynx mengadakan perlekatan berturut-turut dari cranial ke caudal pada
lamina pterygoideus medialis, sisi lingua, permukaan dalam mandibula, os hyoideum, cartilago
thyreoidea dan cartilago cricoidea. Tuba auditiva bermuara ke dalam cavum pharyngis dan
berada pada bagian cranilais dinding lateral pharynx. Ke arah lateral pharynx mempunyai
hubungan dengan pembuluh-pembuluh darah besar dan nervus pada regio colli, dan juga pada
processus styloideus bersama dengan otot yang melekat padanya.

Dinding posterior pharynx mengadakan perlekatan pada basiocciput dan terletak di sebelah
ventral ke enam corpus vertebrae cervicalis bagian atas (V.C. 1 – 6 ) dan dipisahkan dari corpus
vertebrae tersebut oleh ligamentum longitudinale anterius, otot-otot prevertebralis dan fascia
prevertebralis. Antara dinding posterior pharynx dan fascia prevertebralis terdapat spatium
retropharyngealis yang berisi jaringan ikat dan lymphonodus retropharyngealis sehingga
pharynx bebas bergerak terhadap columna vertebralis.

Cavum pharyngis dibagi oleh palatum molle menjadi bagian cranial, disebut
nasopharynx, dan bagian caudal yang terdiri atas cropharynx (dibelakang cavum oris)
dan laryngopharynx (dibelakang larynx).
 Nasopharynx

Merupakan bagian yang paling luas dari cavum pharyngis. Terletak di belakang
cavum nasi dan cranialis dari palatum molle (palatum molle dapat dianggap membentuk
lantai nasopharynx). Ruangan ini dapat dipisahkan sama sekali dari oropharynx dengan
mengangkat palatum molle ke arah dinding posterior pharynx. kE arah anterior
berhubungan dengan cavum nasi dengan melalui choanae. Bagian ini semata-mata
dilalui oleh udara respirasi. Pada setiap dinding lateral nasopharynx terdapat muara dari
tuba auditiva (tuba pharyngotympanica). Lubang ini terletak ssetinggi concha nasalis

3
inferior dan dibatasi di sebelah postero-superior oleh torus tubarius, yaitu suatu
penonjolan yang disebabkan oleh pars medialis dari tuba auditiva. Di sebelah dorsal
dari tonjolan ini terdapat recessus pharyngeus (rosenmuelleri) yang berjalan vertikal.
Pada ostium pharyngeum tubae auditivae terbentuk labium anterius dan labium
posterior, dan labium posterius melanjutkan diri ke caudal pada plica
salpingopharyngealis, yaitu suatu plica yang dibentuk oleh membrana mucosa yang
membungkus m.salpingo pharyngeus.
Di bagian cranialis dinding posterior nasopharynx terdapat tonsilla pharyngea, yang
bertumbuh sampai usia anak 6 tahun, lalu mengalami retrogresi. Bilamana terjadi
hypetrophi maka nasopharynx dapat tertutup dan memberi gangguan respirasi. Di
sebelah dorsal tuba auditiva terdapat kumpulan jaringan lymphoid yang membentuk
tonsilla tubaria. Pembesaran dari tonsilla ini dapat menekan tuba auditiva dan
menghalangi aliran udara yang menuju ketelinga bagian tengah. Pembesaran dari
tonsilla pharyngea dan tonsilla tubaria akan membentuk adenoid.
 Oropharynx
Terletak di sebelah dorsal cavum oris, di sebelah caudal dari palatum molle dan
di sebelah cranialis aditus laryngis. Mempunyai hubungan dengan cavum oris melalui
isthmus oropharyngeum (= isthmus faucium).
Batas lateral isthmus faucium dibentuk oleh arcus palatoglossus, yang melekat dari
palatum molle menuju ke sisi lidah (kira-kira di bagian posterior pertengahan lidah). Di
sebelah posteriornya lagi terdapat arcus palatopharyngeus yang berasal dari tepi
posterior palatum molle menuju ke caudo-dorsal mencapai dinding lateral pharynx.
Arcus palatopharyngeus, arcus palatopharyngeus dan bagian posterior sisi lingua
membentuk fossa tonsillaris yang ditempati oleh tonsilla palatina.
 Laryngopharynx
Bagian ini berada di sebelah dorsal larynx. Ke arah cranialis berhubungan dengan
oropharynx (hubngan bebas) dan ke arah caudalis melanjutkan diri menjadi
oesophagus. Aditus laryngis terletak pada dinding anterior laryngopharynx. Facies
posterior dari cartilago arytaenoidea dan cartilago cricoidea membentuk dinding
anterior laryngopharynx.
SISTEM ALIRAN LIMFA LEHER

Sekitar 75 buah kelenjar limfa terdapat pada setiap sisi leher, kebanyakan
berada pada rangkaian jugularis interna dan spinalis asesorius. Kelenjar limfa yang
selalu terlibat dalam metastasis tumor adalah kelenjar limfa pada rangkaian jugularis

4
interna, yang terbentang antara klavikula sampai dasar tengkorak. Rangkaian jugularis
interna ini dibagi dalam kelompok superior, media dan inferior. Kelompok kelenjar
limfe yang lain adalah submental, submandibula, servikalis superfisial, retrofaring,
paratrakeal, spinalis asesorius, skalenus anterior dan supraklavikula.

Kelenjar limfa jugularis interna superior menerima aliran limfa yang


berasal dari daerah palatum mole, tonsil, bagian posterior lidah, dasar lidah, sinus
piriformis dan supraglotik laring. Juga menerima aliran limfa yang berasal dari
kelenjar limfa retrofaring, spinalis asesorius, parotis, servikalis superfisial dan
kelenjar limfa submandibula.

Kelenjar limfa jugularis interna media menerima aliran limfa yang berasal
langsung dari subglotik laring, sinus piriformis bagian inferior dan daerah krikoid
posterior. Juga menerima aliran limfa yang berasal dari kelenjar limfa jugularis interna
superior dan kelenjar limfa retrofaring bagian bawah.

Kelenjar limfa jugularis interna inferior menerima aliran limfa yang


berasal langsung dari glandula tiroid, trakea, esofagus bagian servikal. Juga menerima
aliran limfa yang berasal dari kelenjar limfa jugularis interna superior dan media, dan
kelenjar limfa paratrakea.

Kelenjar limfa submental, terletak pada segitiga submental di antara


platisma dan M. Omohioid di dalam jaringan lunak. Pembuluh aferen menerima
alairan limfa yang berasal dari dagu, bibir bawah bagian tengah, pipi, gusi, dasar mulut
bagian depan dan 1/3 bagian bawah lidah. Pembuluh eferen mengalirkan limfa ke
kelenjar limfa submandibula sisi homolateral atau kontra lateral, kadanga-kadang
dapat langsung ke rangakaian kelenjar limfa jugularis interna.

Kelenjar limfa submandibula, terletak di sekitar kelenjar liur submandibula


dan di dalam kelenjar liurnya sendiri. Pembuluh aferen menerima aliran limfa yang
berasal dari kelenjar liur submandibula, bibir atas, bagian lateral bibir bawah, rongga
hdung, bagian anterior rongga mulut, bagian medial kelopak mata, palatum mole, dan
2/3 depan lidah. Pembuluh eferen mengalirkan limfa ke kelenjar jugularis interna
superior.

Kelenjar limfa servikal superfisial, terletak disepanjang vena jugularis


eksterna, menerima aliran limfa yang berasal dari kulit muka, sekitar kelenjar parotis,
daerah retroaurikula, kelenjar parotis dan kelenjar limfa oksipital. Pembuluh eferen
mengalirkan limfa ke kelenjar limfa jugularis interna superior.

Kelenjar limfa retrofaring, terletak diantara faring dan fasia prevertebra,


mulai dari dasar tengkorak sampai ke perbatasan leher dan toraks. Pembuluh aferen
menerima aliran limfa dari nasofaring, hipofaring, telinga tengah dan tuba Eustachius.
Pembuluh eferen mengalirkan limfa ke kelenjar limfa jugularis interna dan kelenjar
limfa spinal asesoris bagian superior.

5
Kelenjar limfa paratrakea, menerima aliran limfa yang berasal dari laring
bagian bawah, hipofaring, esofagus bagian servikal, trakea bagian atas dan tiroid.
Pembuluh eferen mengalirkan limfa ke kelenjar limfa jugularis interna inferior atau
kelenjar limfa mediastinum superior.

Kelenjar limfa spinal asesoris, terletak di sepanjang saraf spinal asesoris,


menerima aliran limfa yang berasal dari kulit kepala bagian parietal dan bagian
belakang leher. Kelenjar limfa parafaring menerima lairan limfa dari nasofaring,
orofaring dan sinus paranasal. Pembuluh eferen mengalirkan limfa ke kelenjar limfa
supraklavikula.

Rangkaian kelenjar limfa jugularis interna mengalirkan limfa ke trunkus


jugularis dan selanjutnya masuk ke duktus torasikus untuk sebelah kiri dan untuk sisi
sebelah kanan masuk ke duktus limfatikus kanan atau langsung ke sistem vena pada
pertemuan vena jugularis interna dan vena subklavia. Juga duktus torasikus dan
duktus limfatikus kanan menerima aliran limfa dari kelenjar supraklavikula.

Gambar : Sistem Limfa Leher

DAERAH KELENJAR LIMFA LEHER

Letak kelenjar limfa leher menurut Sloan Kattering Memorial Cancer


Classification dibagi dalam lima daerah penyebaran kelompok kelenjar, yaitu daerah
:

I. Kelenjar limfa yang terletak di segitiga submental dan submandibula

II. Kelenjar yang terletak di 1/3 atas dan termasuk kelenjar limfa jugular superior, ke

kelenjar digastrik dan kelenjar servikal posterior superior.

6
III. Kelenjar limfa jugularis di antara bifurkasio karotis dan persilangan M. Omohioid

dengan M. Sternokleidomastoid dan batas posterior M. Sternokleidomastoid.

IV. Grup kelenjar di daerah jugularis inferior dan supraklavikula.

V. Kelenjar yang berada di segitiga posterior servikal.

Gambar : Daerah Kelenjar Limfa Leher

2. Jelaskan patogenesis terjadinya benjolan pada leher!

Benjolan pada leher dapat timbul akibat berbagai faktor, seperti hormon,infeksi,
neoplasma, tumor dan kelainan herediter. Tiap faktor bekerja dengan cara yang
berbeda dalam menimbulkan benjolan. Tidak semua benjolan yang ada pada leher
timbul karena kelainan yang ada pada leher. Tidak jarang kelainan berasal dari
kelainan sistemik seperti limpoma. Hampir semua struktur yang ada pada leher dapat
mengalami benjolan. Daerah ini meliputi kelenjar tiroid, paratiroid dan getah bening.
Benjolan dapat berasal dari struktur jaringan lain seperti lemak, otot dan tulang.

Infeksi dapat menimbulkan benjolan pada leher melalui beberapa cara diantaranya
berupa benjolan yang berasal dari invasi bakteri langsung pada jaringan yang
terserang secara langsung maupun benjolan yang timbul sebagai efek dari kerja
imunitas tubuh yang bermanifestasi pada pembengkakan kelenjar getah bening.

7
Sedangkan mekanisme timbulnya benjolan akibat neoplasma dari otot, sel limfoid,
tulang maupun kelenjar secara umum hampir sama. Pada paparan awal akan terjadi
displasia dan metaplasia pada sel matur akibat berbagai faktor sehingga diferensiasi
sel tidak lagi sempurna. Displasia pada sel menimbulkan kelainan fisiologis molekuler
berupa peningkatan laju pembelahan sel dan inaktifasi mekanisme apoptosis sel. Hal
ini berakibat pada proliferasi sel tak terkendali yang bermanifestasi pada timbulnya
benjolan pada jaringan.

Berbagai faktor dari lingkungan seperti bahan kimiawi, radiasi dan virus dapat
menyebabkan kerusakan DNA pada sel- sel yang normal. Dalam keadaan yg normal,
setiap kerusakan DNA akan diperbaiki oleh gen repair. Namun, dalam hal ini gen
repair gagal memperbaiki DNA sehingga kerusakan DNA menetap. Kegagalan
perbaikan ini disebabkan oleh mutasi yang juga menyerang gen- gen perbaikan dan
gen yang mempengaruhi apoptosis. Kerusakan gen berlanjut menjadi mutasi sel
somatik. Mutasi ini menyebabkan aktivasi onkogen yang akan meningkatkan
pertumbuhan, Inaktivasi gen suppressor tumor, dan mengganti gen yang mengatur
apoptosis. Akibat dari aktivasi onkogen dan inaktivasi suppressor tumor, sel
mengalami proliferasi yang tidak terkendali dan penurunan apoptosis karena
kerusakan gen yang mengaturnya. Akibatnya terjadi ekspansi klonal yang ditunjang
angiogenesis dan pertahanan terhadap imunitas, pertambahan mutasi (progresi) dan
akhirnya heterogeneitas dari sel- sel yang akhirnya membentuk neoplasma ganas yang
lama kelamaan akan mengalami invasi dan metastasis

3. Jelaskan penyakit-penyakit dengan gejala benjolan pada leher!


Secara umum benjolan di daerah leher, disebabkan oleh lima kelaianan atau
penyebab utama yaitu :
1. Kelainan kongenital
2. Infeksi
3. Neoplasma
4. Trauma
5. Kelainan lainnya

1. Kelainan kongenital
Kelainan kongenital adalah kelainan yang dibawa sejak lahir, benjolannya dapat
berupa benjolan yang timbul sejak lahir atau timbul pada usia kanak-kanak
bahkan terkadang muncul setelah usia dewasa. Pada kelainan ini, benjolan yang
paling sering terletak di leher samping bagian kiri atau kanan di sebelah atas juga

8
di tengah-tengah leher. Ukuran benjolan bisa kecil beberapa cm bisa juga besar
sepertibola tenis. Kelainan kongenital yang sering terjadi di daerah leher antara
lain adalah hygroma colli , kista branchial , kista ductus thyroglosu. Hygroma
colli adalah kelainan bawaan lahir akibat adanya gangguan saluran limfe,
biasanya muncul setelah lahir dan makin bertambah besar dengan bertambahnya
usia, bahkan bisa sampai ukuran bola tenis atau bisa lebih, biasanya benjolan agak
lunak.

2. Infeksi
Infeksi pada daerah leher dapat berupa acut atu infeksi menahun. Biasanya infeksi
acut disertai dengan adanya gejala panas badan, rasa sakit dan warna kemerahan
pada benjolan tersebut.
Yang paling sering ditemukan penyakit TBC kelenjar. Benjolan kecil ukuran
beberapa millimeter sampai ukuran beberapa centimeter. Bisa hanya satu buah
namun dapat juga langsung beberapa buah dan paling sering terletak di samping
leher kiri dan kanan, bahkan kadang di saping leher kiri dan kanan.

3. Neoplasma

 neoplasma adalah penyakit pertumbuhan sel.


 Neoplasma terdiri dari sel-sel baru yang mempunyai bentuk, sifat dan
kinetika berbeda dari sel normal asalnya.
 Pertumbuhannya liar, autonom dan terlepas dari kendali pertumbuhan sel
normal
 Neoplasma sendiri ada yang bersifat jinak : tumor jinak di daerah leher yang
paling sering adalah tumor jinak kelenjar gondok dan yang bersifat ganas
atau kanker
 Kanker pada daerah leher bisa dibedakan 3 macam berdasarkan asal
pertumbuhan yaitu :
a. Kanker yang asal pertumbuhannya memang berawal dari leher itu
sendiri, misalnya yang sering adalah kanker kelenjar gondok,
kanker jaringan lunak.
b. Kanker yang terjadi didaerah leher namun sebenarnya kanker
induknya atau asalnya ada ditempat lain atau merupakan metastasis
tumor dari kanker di tempat lain yang letaknya bukan di leher,
contohnya :
 Kanker nasofaring, kanker di daerah kepala, kanker didaerah rongga
mulut yang umunya menyebabkanmetastasis berupa adanya
benjolan dileher samping atas sedikit dibawah telinga kiri atau
kanan
 Juga kanker-kanker dari organ yang jauh seperti kanker paru, kanker
saluran pencernaan, kanker saluran kemih, kanker payudara, kanker
alat genitalia wanita yang dapat memberikan metastasis berupa
adanya benjolan diregio leher.

9
4. Trauma

Trauma di daerah leher akibat benturan benda tumpul sehingga terjadi bekuan
darah atau hematom dan membentuk benjolan seperti tumor.

5. Kelainan lain

 Kelainan lain didaerah leher dapat di sebabkan misalnya oleh kelainan


pembuluh darah di daerah leher.
 Ada juga kelainan di leher yaitu pada kelenjar gondok yang disebakan
kekuranga yodium di tubuh terutama di daerah endemis gondok

4. Jelaskan langkah-langkah diagnosis!


A. Anamnesis
Dalam anamnesis harus menitikberatkan pada:
- Usia pasien
- Jenis kelamin
- Ada tidaknya riwayat paparan radiasi daerah kepala dan leher
- Ukuran dan laju pertumbuhan tumor di leher
- Ada tidaknya gejala desakan atau infiltrasi lokal
- Ada tidaknya riwayat keluarga adenoma tiroid, karsinoma tiroid, dan lain-
lain

B. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik harus menitikberatkan perhatian pada jumlah, ukuran,
bentuk, konsistensi, mobilitas, permukaan licin atau tidak, ada tidak nyeri tekan,
apakah bergerak turun naik sesuai gerakan menelan, kelenjar limfe leher
membesar, dan lain-lain
Pemeriksaan umum
1) Inspeksi
- Lihat bentuk dan warna leher (simetris/asimetris, tampak kemerahan)
- Apakah terdapat penonjolan vena-vena jugularis?
- Apakah terlihat adanya tumor (soliter/multiple, unilateral/bilateral,
konfluens/diseminata
- Adakah tortikolis?
2) Palpasi
- Bagaimana pulsasi arteri karotis? (normal/abnormal)
- Adakah kaku kuduk?
- Adakah pembesaran tiroid?
- Bagaimana posisi trakea? (ditengah, terdorong kesatu sisi)
3) Auskultasi
- Adakah bruit pada arteri karotis atau tiroid?
Pemeriksaan kelenjar getah bening

10
1) Inspeksi
- Adakah pembesaran kelenjar getah bening leher? (jika ya,
unilateral/bilateral, jumlah KGB yang membesar, tentukan lokasi)
2) Palpasi (menggunkan jari telunjuk dan jari tengah)
- Tentukan ukuran KGB yang membesar
- Nilai konsistensi, mobilitas, permukaan
- Adakah nyeri tekan?
- Lakukan palpasi pada daerah:
- Preaurikula, aurikula posterior, oksipital, tonsiliar, submandibular,
submental, servikal superfisial, servikal posterior, deep cervical chain,
supraklavikula.
Kelenjar tiroid
- Pasien berada di posisi depan dari pemeriksa
- Kedua tangan pemeriksa meraba kelenjar tiroid dari arah belakang
- Hal yang perlu dinilai:
- Ukuran
- Bentuk (normal, nodular, difus)
- Soliter/multiple
- Solitermultiple
- Minta pasien menelan ludah, apakah kelenjar tersebut ikut bergerak sesuai
dengan gerakan menelan?
- Konsistensi (kenyal, keras, kistik)
- Permukaan (rata, berbenjol-benjol)
- Adakah nyeri tekan?
- Adakah bruit pada auskultasi
Kelenjar Liur
- Kelenjar submandibula
- Palpasi bimanual menggunakan 1 jari pada mulut dan jari lain di leher
- Kelenjar parotis
- Palpasi daerah periaurikuler
- Periksa duktus parotid pada mukosa pipi disekitar gigi molar 2 atas

C. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan serologi
Terutama mencakup pemeriksaan fungsi tiroid, kadar kalsitonin serum,
dll. Semua pasien dengan tumor tiroid harus diperiksa fungsi tiroid, termasuk
TSH, T4, T3 serum, dll. Sebagian terbesar pasien kanker tiroid memiliki fungsi
tiroid normal. Bila pasien dengan tumor tiroid memiliki kadar kalsitonin serum
meninggi, dapat didiagnosis sebagai karsinoma medular tiroid.
2) Pemeriksaan USG
Mencakup USG biasa dan dopler warna, USG merupakan cara cukup
sensitif untuk memeriksa ukuran dan jumlah tumor tiroid, dapat menunjukkan
ada tidaknya tumor, sifatnya padat atau kistik, ada tidaknya kalsifikasi, dll.
Dopler warna dapat mengetahui situasi aliran darah di dalam tumor dan

11
kelenjar limfe, sangat membantu dalam diagnosis banding lesi jinak atau
ganas.
3) Pemeriksaan radioisotop
Sebagian besar karsinoma berdiferensiasi tiroid memiliki fungsi
mengambil iodium, tampak sebagai nodul hangat. Jika terdapat perubahan
kistik, maka seluruhnya atau sebagian tampak sebagai nodul sejuk atau dingin.
Pemeriksaan ini belakangan secara bertahap diganti oleh USG dan CT.
4) Pemeriksaan sinar X
Termasuk foto trakea anteroposterior dan lateral, foto barium esofagus,
foto toraks, dll. Foto AP dan lateral trakea dapat menunjukkan kalsifikasi
dalam tumor tiroid, kondisi desakan, pergeseran posisi dan penyempitan
trakea, serta bayangan jaringan lunak prevertebral, juga dapat menunjukkan
kondisi batas inferior tumor berekstensi ke posterior sternum dan
mediastinum. Pemeriksaan esofagus menelan barium dapat mengetahui
adanya desakan, infiltrasi ke esofagus.
5) Pemeriksaan CT-scan
Dapat menunjukkan lokasi, jumlah tumor, ada tidaknya kalsifikasi,
kondisi struktur internalnya, keteraturan batasnya, dll. Sangat membantu
dalam diagnosis lokasi tumor tiroid.
6) Pemeriksaan MRI
Dapat menampilkan potongan koronal, sagital, transversal, dengan lapisan
multiple, sangat baik dalam diagnosis lokalisasi karsinoma tiroid dan
hubungannya dengan organ, vaskular dan jaringan sekitarnya.
7) Pemeriksaan PET
Dalam diagnosis lesi tiroid jinak atau ganas memiliki akurasi relatif
tinggo, tapi ini bukan cara diagnosis pasti, biayanya relatif sangat tinggi.
8) Pemeriksaan sitologi aspirasi jarum halus (FNAC)
FNAC merupakan cara diagnosis sifat yang tersering dipakai pra-operasi.
Kelebihannya aman, praktis, murah dan akurasinya relatif tinggi.

5. Jelaskan DD dan DS!


A. Karsinoma Nasofaring

DEFINISI

Karsinoma Nasofaring (KNF) merupakan keganasan yang muncul pada daerah


nasofaring (area di atas tenggorok dan di belakang hidung). Karsinoma ini
terbanyak merupakan keganasan tipe sel skuamosa. Kanker nasofaring sangat
jarang ditemukan di daerah Eropa dan Amerika Utara dengan angka kejadian
sekitar <1/100.000 penduduk.

12
Di Indonesia, karsinoma nasofaring merupakan salah satu jenis keganasan yang
sering ditemukan, berada pada urutan ke-4 kanker terbanyak di Indonesia setelah
kanker payudara, kanker leher rahim, dan kanker paru.

EPIDEMIOLOGI

Secara global ditemukan sekitar 65.000 kasus baru KNF dengan 38.000
kematian pada tahun 2000. Sementara pada sebagian besar tempat di dunia jarang
dijumpai (dengan angka kejadian sekitar 1 dari 105 atau 0,6% dari seluruh kanker),
pada populasi tertentu insidensinya lebih tinggi pada ras China, Asia Tenggara
(seperti Thailand, Philippina, dan Vietnam), Afrika Utara (seperti Algeria dan
Maroko), demikian juga wilayah Arctic (seperti Canada dan Alaska). Insidensi
tertinggi dari karsinoma nasofaring telah lama diamati di Hongkong, di mana 1 dari
40 laki-laki menderita karsinoma nasofaring sebelum usia 75 tahun.

Bukti epidemiologik lain adalah angka kejadian kanker ini di Singapura.


Persentase terbesar yang dikenai adalah masyarakat keturunan Tionghoa (18,5 per
100.000 penduduk), disusul oleh keturunan Melayu (6,5 per 100.000) dan terakhir
adalah keturunan Hindustan (0,5 per 100.000).3 Prevalensi penderita KNF 4,7
orang per 100.000 penduduk pertahun yang diambil dari data resmi Departemen
Kesehatan tahun 1980.

ETIOLOGI

Etiologi KNF dinyatakan berhubungan dengan interaksi yang kompleks dari


faktor lingkungan dan faktor genetik serta infeksi Epstein-Barr virus.

 Faktor Genetik
KNF merupakan keganasan yang jarang di sebagian besar tempat di dunia,
namun KNF merupakan salah satu kanker tersering di Asia Tenggara dengan
insidensi berkisar 10-53 kasus per 100.000 penduduk. Insidensinya juga tinggi di
Alaska, Greenland dan Tunisia dengan kisaran 15-20 per 100.000 penduduk.
Terdapat risiko familial yang tinggi pada populasi Kanton dan pada orang-orang
dengan riwayat KNF pada keluarga. Banyak penelitian yang membuktikan adanya
kelainan pada kromosom antara lain translokasi, amplifikasi, dan delesi 3p, 5p dan
3q juga pada kromosom lain yang bervariasi pada masing-masing kasus. Inaktivasi
gen supresor tumor pada 9p, 11q, 14q, dan 16q serta perubahan onkogen pada

13
kromosom 8 dan 12 juga ditemukan pada KNF. Beberapa studi menunjukkan
bahwa delesi kromosom 3p merupakan kelainan genetik yang paling sering
ditemukan pada KNF. Beberapa studi lain juga menunjukkan adanya polimorfik
dalam gen yang memetabolisme karsinogen yang berhubungan dengan KNF.
Cytochrome P450 2E1 (CYP2E1) dan Cytochrome P450 2A6 (CYP2A6)
merupakan grup cytochrome P450 yang respon terhadap aktivasi metabolik
nitrosamin dan karsinogen lain. Gen-gen ini diduga berperan dalam timbulnya
KNF. Salah satu studi di Cina pada keluarga penderita KNF dijumpai adanya lokus
yang rentan pada regio HLA (human leukocyte antigen). Studi dari kerentanan
HLA pada orang-orang Cina menunjukkan bahwa orang-orang dengan HLA
A*0207 atau B*4601 tetapi tidak pada A*0201 memiliki resiko yang meningkat
untuk terkena karsinoma nasofaring.12,23 Studi oleh Goldsmith et al menyatakan
adanya hubungan pada risiko KNF dengan HLA-A2, HLA-B14, dan HLA-B46.

 Faktor Lingkungan
Adanya hubungan antara faktor kebiasaan makan dengan terjadinya KNF
dipelajari oleh Ho dkk. Ditemukan kasus KNF dalam jumlah yang tinggi pada
mereka yang gemar mengkonsumsi ikan asin yang dimasak dengan gaya Kanton
(Cantonese-style salted fish). Risiko terjadinya KNF sangat berkaitan dengan
lamanya mereka mengkonsumsi makanan ini. Banyak studi case-control pada
berbagai populasi (Kanton, Cina Selatan lainnya, Cina Utara dan Thailand)
menunjukkan bahwa makanan gaya Kanton mengandung nitrosodimethyamine
(NDMA), N-nitrospyrrolidene (NPYR), dan N-nitrospiperidine (NPIP) dalam
jumlah besar yang dapat menjadi faktor karsinogenik terhadap KNF.

Paparan ikan asin sejak usia muda merupakan resiko tinggi KNF pada populasi
Cina Selatan. Di beberapa bagian negeri Cina makanan ini mulai digunakan
sebagai pengganti air susu ibu pada saat menyapih. Peneliti lainnya mencoba
menghubungkannya dengan makanan yang diawetkan menggunakan garam
lainnya seperti udang asin, telur asin. Pada penelitian terhadap hewan percobaan
diketahui bahwa tumor nasal dan nasofaringeal dapat diinduksi pada tikus dengan
memberi ikan asin dalam makanan mereka. Pajanan di tempat kerja seperti asap,
paparan formaldehyde dan debu kayu juga telah diketahui merupakan faktor risiko
bagi timbulnya KNF. Belakangan ini penelitian dilakukan terhadap pengobatan

14
alami (Chinese Herbal Medicine = CHM). Hildesheim et al memperoleh hubungan
yang erat antara terjadinya KNF, infeksi EBV dan penggunaan CHM.

 Epstein–Barr Virus
Hubungan dekat yang konstan antara EBV dan KNF, terlepas dari latar belakang
etnis, menunjukkan kemungkinan peran onkogenik virus dalam pembentukan
tumor ini. Bukti-bukti mencakup:

1. Meningkatnya titer antibodi, khususnya IgA, terhadap EBV (yang tersering viral
capsid antigen dan early antigen) pada kebanyakan penderita KNF dibandingkan
kontrol normal dan penderita kanker lainnya.
2. Tingginya titer IgA antibodi terhadap EBV pada penderita dengan tumor yang
besar;
3. Adanya DNA atau RNA EBV dalam hampir semua sel KNF
4. Adanya EBV dalam bentuk episomal klonal, menunjukkan bahwa virus telah
berada di dalam sel tumor sebelum ekspansi klonal
5. Adanya EBV dalam lesi prekursor KNF, tetapi tidak pada epitel nasofaring normal.
Bukti dianggap cukup untuk menyatakan bahwa EBV adalah karsinogenik oleh the
International Agency for Research on Cancer (IARC) pada tahun 1997.
Hubungan antara EBV dan KNF pertama kali ditemukan oleh Old et al pada
tahun 1966 dengan menggunakan metode in situ hybridization dan the
anticomplement immunofluorescent (ACIF). Studi lainnya menunjukkan ekspresi
gen laten EBV yaitu Epstein–Barr virus nuclear antigen (EBNA), latent membrane
protein-1 (LMP-1), LMP-2, dan EBV encoded small RNAs (EBER) dalam sel-sel
KNF untuk mengkonfirmasi adanya infeksi EBV dalam sel-sel tumor. Sekitar 90%
penderita undifferentiated nasopharyngeal carcinomas dewasa di seluruh dunia
positif mengandung EBV secara serologi. Beberapa studi menemukan bahwa KNF
dengan EBV tumbuh lebih cepat dan lebih cenderung untuk bermetastasis
dibanding yang tidak mengandung EBV.

MANIFESTASI KLINIS

Karena lokasi anatomisnya maka rongga nasofaring sulit untuk dilihat dan
tumor yang tumbuh sering tidak diketahui dan sedikit yang memberikan gejala
pada fase awal. Gejala sering hanya sedikit memberikan gejala pada waktu yang
lama dengan pola mirip dengan kelainan umum di hidung dan nasofaring. Kadang-

15
kadang mukosa nasofaring terlihat normal walaupun telah terjadi penyebaran
tumor ke KGB regional atau bahkan sudah menjalar ke intrakranial.

Penemuan penderita pada stadium I dan II (kasus dini), dimana belum terjadi
metastasis regional sangat sulit dicapai baik di Indonesia maupun di luar negeri.

Gejala KNF dapat dibedakan antara gejala dini dan gejala lanjut. Gejala dini
merupakan gejala yang timbul sewaktu tumor masih tumbuh dalam batas
nasofaring (gejala setempat disebabkan oleh tumor primer), berupa gejala-gejala
hidung dan gejala-gejala telinga). Gejala lanjut merupakan gejala yang timbul
karena tumor telah tumbuh keluar dari nasofaring, baik infiltrasi tumor ke jaringan
sekitarnya maupun metastasis.

Gejala telinga timbul akibat penyumbatan tuba Eustachius oleh massa tumor antara
lain tinnitus, rasa tidak nyaman di telinga, rasa tersumbat, berkurangnya
pendengaran dan sering otitis media. Jika seseorang dengan suku/ras Cina datang
dengan kemungkinan otitis media serosa maka ahli THT harus mempertimbangkan
kemungkinan dia menderita KNF.

Gejala hidung yang biasanya muncul adalah epistaksis ringan dan obstruksi
hidung. Perdarahan hidung dapat terjadi berulang-ulang, sedikit-sedikit dan
bercampur dengan ingus. Gejala obtruksi hidung biasanya menetap dan bertambah
berat akibat massa tumor yang menutupi koana.

Pada keadaan lanjut tumor tumbuh ekspansif ke depan mengisi nasofaring


menutup koana sehingga timbul gejala hidung tersumbat secara unilateral atau
bilateral. Bila tumor tumbuh ke bawah maka palatum mole akan terdesak sehingga
timbul gangguan menelan atau sesak. Bila tumor tumbuh ke atas, menjalar melalui
formen laserum dan foramen ovale masuk ke intrakranial dan mengenai dura maka
akan timbul sakit kepala hebat. Selanjutnya akan mengenai saraf kranial. Keluhan
saraf yang tersering adalah adalah paresis saraf abdusen (N VI) dengan keluhan
diplopia dan strabismus, dan paresis saraf trigeminus (N V) dengan keluhan baal
di pipi dan wajah atau timbul gejala neuralgia Trigeminal (nyeri hebat pada daerah
wajah, sekitar mata, hidung, rahang atas, rahang bawah dan lidah), biasanya secara
unilateral.

16
Bila mengenai N III dan IV akan timbul ptosis dan oftalmoplegia. Lebih lanjut
lagi akan mengenai N IX, X, XI dan XII.

Pembesaran KGB leher yang merupakan gejala lanjut KNF, merupakan keluhan
yang paling sering yang menyebabkan penderita datang berobat. Pembesaran KGB
leher adalah akibat penyebaran KNF secara limfogen. Lokasi kas KGB leher yang
membesar adalah daerah yang terletak di bawah angulus mandibula di dalam otot
strenokleidomastoideus, di mana kelenjar teraba keras, tidak nyeri bila ditekan,
tidak mudah digerakkan karena biasanya juga telah mengenai jaringan otot di
bawahnya.

Metastasis jauh terjadi secara hematogen maupun limfogen, biasanya ke tulang,


paru, ginjal, limpa dan hati dengan gejala sesuai dengan organ yang terkena.

Sebagai pedoman adanya KNF bila dijumpai kumpulan gejala yang disebut
sebagai TRIAS yaitu : I. Pembesaran KGB leher, gejala telinga, gejala hidung. II.
Pembesaran KGB leher, gejala intrakranial (saraf dan mata), gejala hidung dan
telinga. III. Gejala intrakranial, gejala hidung dan telinga.

PEMERIKSAAN

Pada kasus yang dicurigai suatu KNF, maka perlu dilakukan pemeriksaan
menyeluruh daerah kepala dan leher terutama nasofaring, termasuk memeriksa
adanya pembesaran KGB di leher. Pemeriksaan dengan menggunakan
nasofaringoskop kaku (rigid nasopharyngoscopy) atau lentur (flexible
nasopharyngoscopy) sehingga tumor kecil dapat tampak lebih jelas. Dengan
nasofaringoskopi biopsi nasofaring dapat langsung dilakukan di bawah anestesi
lokal atau biopsi di bawah anestesi umum. Biopsi jaringan nasofaring mutlak
dilakukan untuk konfirmasi diagnosis dan menentukan subtipe histologi.
Pemeriksaan ini merupakan baku emas diagnosis KNF.

Pemeriksaan radiologik untuk mendeteksi tumor di nasofaring, juga dapat


digunakan sebagai penuntun biopsi serta untuk menentukan luas penyebaran
tumor.

CT-scan nasofaring merupakan pemeriksaan yang mempunyai nilai diagnostik


tinggi, di mana tumor dini pada fossa Rosenmuller dapat terlihat. CTscan dengan

17
kontras dapat menentukan batas tumor dan dapat menilai kelenjar limfe dan
pembuluh darah.

MRI (Magnetic resonance imaging) merupakan pemeriksaan pilihan untuk


melihat perluasan regional karena sensitivitasnya untuk mendeteksi metastasis ke
retrofaring. MRI lebih baik dibanding CT-scan dalam membedakan jaringan tumor
dari jaringan lunak di sekitarnya. KGB leher profunda dan keterlibatan sumsum
tulang secara dini.

Pemeriksaan patologik KNF dapat dilakukan dengan pemeriksaan sitologik.


Sediaan sitologik dari nasofaring diperoleh dengan beberapa cara antara lain
kerokan (scrapping), sikatan (brushing), usapan (swab) atau dengan biopsi aspirasi
jarum halus dengan penuntun. Akan tetapi hasilnya sering meragukan sehingga
kurang dipergunakan dalam diagnosis KNF.

Sebagian besar KNF ditemukan dengan pembesaran KGB di leher. Metastasis


karsinoma ke KGB leher bukan hanya berasal dari nasofaring tetapi juga dari
beberapa jaringan lain di sekitar kepala dan leher, bahkan dengan gambaran yang
hampir sama, oleh karena itu perlu dibuktikan bahwa pembesaran KGB leher
benar-benar merupakan metastasis KNF.

Pemeriksaan untuk menentukan diagnosis ini adalah biopsi aspirasi jarum halus.
Karena teknik ini mudah diagnosis dapat dibuat dalam waktu singkat dengan
akurasi yang cukup tinggi, maka di banyak sentra biopsi aspirasi sering digunakan
sebagai pilihan pertama pada penatalaksanaan metastasis KNF.

Pemeriksaan serologik dilakukan untuk mendeteksi adanya infeksi EBV


sebagai salah satu faktor penyebab berkembangnya KNF. Titer antibodi terhadap
EBV seperti IgA (Antibodi terhadap VCA-viral capsid antigen, maupun EA-early
antigen), antigen EBV rekombinan seperti EBV nuclear antigens (EBNA)yang
paling sering dipergunakan. Hasil pemeriksaan serologi positif untuk EBV
ditemukan pada hampir 100% nonkeratinizing carcinoma, sedangkan keratinizing
squamous cell carcinoma cenderung kurang membawa EBV dibanding
nonkeratinizing carcinoma.

KLASIFIKASI

18
Klasifikasi karsinoma nasofaring berdasarkan WHO:

1. Keratinizing squamous cell carcinoma ICDO 8071/3.


Tipe KNF ini menunjukkan diferensiasi skuamous dengan adanya
intercellular bridges, dan keratin dalam gambaran histologinya;
2. Nonkeratinizing carcinoma (ICDO 8072/3) yang mencakup tipe
berdiferensiasi dan tipe tidak berdiferensiasi (undifferentiated). Tumor ini
umumnya lebih radiosensitif dan mempunyai hubungan yang kuat dengan
EBV.
A. Differentiated nonkeratinizing carcinoma. Sel-sel tumor menunjukkan
diferensiasi dengan maturasi sel skuamous.
B. Undifferentiated carcinoma. Sel-sel tumor dengan bentuk inti oval atau
bulat vesikular dengan anak inti menonjol. Batas antar sel tidak jelas dan
dengan hubungan antar sel yang sinsitial;
3. Basaloid squamous cell carcinoma (ICDO 8083/3). Merupakan tipe histologi
yang jarang, terdiri dari komponen basaloid dan komponen skuamous.
Metastasis Karsinoma Nasofaring Pada Kelenjar Getah Bening Leher

Pembesaran KGB leher bagian atas merupakan gejala tersering dari KNF.1
Lebih dari 90% dari metastasis KGB yang didiagnosis dengan aspirasi awal. Salah
satu bantuan yang sangat penting dalam penanganan tumor di leher, dan bagi
onkologi kepala dan leher secara umum adalah melihat tingkat KGB leher yang
terlibat.7 Insidensi lokasi metastasis KNF pada KGB leher diteliti oleh Ho et al
dapat dilihat pada gambar Hasil meta-analisis dari 13 uji klinis menggunakan MRI
untuk diagnosis dan penentuan stadium untuk KNF mengungkapkan bahwa KGB
leher yang paling sering terlibat meliputi KGB retrofaringeal lateral dan KGB
tingkat II dengan kemungkinan metastasis masingmasing 69,4% & 70,4%.
Selanjutnya kelompok KGB diikuti oleh tingkat III, VA, dan IV, dengan
kemungkinan masing-masing sebesar 44,9%, 26,7%, 11,2%. Beberapa kelompok
KGB leher, termasuk tingkat I, tingkat VI, parotis dan kelenjar supraklavikula
memiliki risiko yang sangat rendah untuk metastasis KNF. Sebuah temuan penting
adalah bahwa penyebaran limfatik di KGB leher berlangsung berantai secara
teratur dari KNF primer. Terdapat risiko yang sangat rendah sekitar 0,5% untuk
skip metastasis. Pemeriksaan sitologi biopsi aspirasi jarum halus pada KGB leher
yang membesar merupakan pemeriksaan yang sangat bernilai untuk mendiagnosis

19
metastasis KNF, juga sebagai diagnosis awal dan untuk menentukan stadium.
Diagnosis dapat dikonfirmasi dengan imunositokimia dengan sitokeratin dan insitu
hybridization untuk EBER baik pada apusan atau pada sel blok.1

Stadium Klinik

Penentuan stadium dilakukan berdasarkan atas kesepakatan antara UICC


(Union Internationale Centre Cancer ) dan AJCC (Americant Joint Committe on
Cancer). Untuk karsinoma nasofaring pembagian TNM adalah sebagai berikut :

T menggambarkan keadaan tumor primer, besar dan perluasannya :

T1 : Tumor terbatas pada nasofaring

T2 : Tumor meluas ke orofaring dan/atau fossa nasal

T2a : Tanpa perluasan ke parafaring

T2b : Dengan perluasan ke parafaring

T3 : Invasi ke struktur tulang dan atau sinus paranasal

T4 : Tumor meluas ke intrakranial dan atau mengenai saraf otak, fossa


infratemporal, hipofaring atau orbita.

N menggambarkan keadaaan kelenjar limfe regional :

N0 : Tidak ada pembesaran kelenjar

N1 : Terdapat pembesaran kelenjar ipsilateral < 6 cm

N2 : Terdapat pembesaran kelenjar bilateral < 6 cm

N3 : Terdapat pembesaran kelenjar > 6 cm atau ekstensi ke supraklavikula

M menggambarkan metastasis jauh :

M0 : Tidak ada metastasis jauh

M1 : Terdapat metastasis jauh

Berdasarkan TNM tersebut di atas, stadium penyakit dapat ditentukan :

20
Satdium 0 : Tis, N0, M0

Stadium I : T1, N0, M0

Stadium IIA : T2a, N0, M0

Stadium IIB : T1, N1, M0; atau T2a, N1, M0; atau T2B, N0,N1, M0

Stadium III : T1, N2, M0; atau T2a, T2b, N2 M0; atau T3, N0, N1, N2, M0

Stadium IVA : T4, N0, N1, N2, M0

Stadium IVB : Tiap T, N3, M0

StadiumIVC : Tiap T, Tiap N, M1

TERAPI

Terapi baku dengan menggunakan radioterapi, dengan angka ketahan hidup


sekitar 50-70%, tetapi beberapa penulis menganjurkan untuk mengkombinasikan
dengan kemoterapi. Undifferentiated Cacinoma lebih radiosensitif sedangkan
keratinizing squamous cell carcinoma merupakan yang paling tidak
radiosensitif.10 KNF mempunyai sensitivitas yang tinggi terhadap radiasi
dibanding kanker pada kepala dan leher lain. Radioterapi pada KNF stadium dini
(I dan II) merupakan terapi pilihan, sedangkan pada stadium lanjut (III dan IV)
dikombinasikan dengan kemoterapi. Kemoterapi diberikan pada KNF dengan
indikasi metastasis ke KGB leher, metastasis jauh dan kasus residif. Pemberian
kemoterapi dikombinasikan dengan radioterapi. Kemoterapi dapat diberikan
sebelum radioterapi (neoadjuvant), selama radioterapi (concurrent/concomitant)
atau setelah radioterapi (adjuvant). Terapi bedah kurang dipakai dalam
penalaksanaan KNF, terbatas pada diseksi leher untuk mengontrol KGB yang
radioresisten dan metastasis leher setelah radioterapi. Terapi bedah juga dilakukan
pada kasus relaps di nasofaring atau di KGB tanpa metastasis jauh

PROGNOSIS

Angka ketahanan hidup dipengaruhi oleh usia (lebih baik pada pasien usia
muda), staging klinik dan lokasi dari metatasis regional (lebih baik pada yang

21
homolateral dibandingkan pada metastasis kontralateral dan metastasis yang
terbatas pada leher atas dibandingkan pada leher bawah).

B. Limfoma Malignan

PENGERTIAN

Limfoma adalah sekumpulan keganasan primer pada kelenjar getah bening dan
jaringan limfoid. Berdasarkan tipe histologiknya, limfoma dapat dibagi menjadi
dua kelompok besar, yaitu Limfoma Non Hodgkin dan Hodgkin. Pada protokol ini
hanya akan dibatasi pada limfoma non-Hodgkin.

Limfoma Non Hodgkin (LNH) merupakan sekumpulan besar keganasan primer


kelenjar getah bening dan jaringan limfoid ekstra nodal, yang dapat berasal dari
limfosit B, limfosit T, dan sel NK

*”natural killer”. Saat ini terdapat 36 entitas penyakit yang dikategorikan


sebagai LNH dalam klasifikasi WHO.

EPIDEMIOLOGI

LNH merupakan keadaan klinis yang kompleks dan bervariasi dalam hal
patobiologi maupun perjalanan penyakit. Insidennya berkisar

63.190 kasus pada tahun 2007 di AS dan merupakan penyebab kematian utama

pada kanker pada pria usia 20-39 tahun1. Di Indonesia, LNH bersama-sama dengan
limfoma Hodgkin dan leukemia menduduki urutan peringkat keganasan ke-6

MANIFESTASI KLINIS

Gejala yang sering ditemukan pada penderita limfoma pada umumnya non-

spesifik, diantaranya:2

 Penurunan berat badan >10% dalam 6 bulan


 Demam 38 derajat C >1 minggu tanpa sebab yang jelas
 Keringat malam banyak
 Cepat lelah
 Penurunan nafsu makan

22
 Pembesaran kelenjar getah bening yang terlibat
 Dapat pula ditemukan adanya benjolan yang tidak nyeri di leher, ketiak atau
pangkal paha (terutama bila berukuran di atas 2 cm); atau sesak napas akibat
pembesaran kelenjar getah bening mediastinum maupun splenomegali.
Tiga gejala pertama harus diwaspadai karena terkait dengan prognosis yang
kurang baik, begitu pula bila terdapatnya Bulky Disease (KGB berukuran >

6-10 cm atau mediastinum >33% rongga toraks).2

PROSEDUR DIAGNOSTIK

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan


laboratorik, dan Patologi Anatomik.

Anamnesis:

 Pembersaran kelenjar getah bening (KGB) atau organ


 Malaise umum
Berat badan menurun >10% dalam waktu 3 bulan

 Demam tinggi 38˚C selama 1 minggu tanpa sebab
Keringat malam

 Keluhan anemia (lemas, pusing, jantung berdebar)
Penggunaan obat-obatan tertentu

 Penyakit imun, kelainan darah, penyakit infeksi (TB, Toxoplasma, dsb.),
kelainan defisiensi imun
Pemeriksaan Fisik:

 Pembesaran KGB
 Kelainan/pembesaran organ (hati/limpa)
 Performance status: ECOG atau WHO/Karnofsky
DIAGNOSIS BANDING

1. Infeksius

Bakteri (sifilis, brucellosis)

Virus (mononukleosis infeksius, sitomegalovirus, HIV, cat scratch fever)

23
Mikobakterium (tuberkulosis)

Parasit (toxoplasma)

2. Autoimun

Lupus eritrematosus sistemik

Sindrom Sjögren

Derivatif Hidantoin

3. Granulomatosis

Sarkoidosis

4. Neoplasma

Penyakit Hodgkin

Leukemia limfositik kronik

Karsinoma sel kecil paru

Histiositosis maligna

Melanoma

Neoplasma sel germinal

5. Kondisi lainnya

Hiperplasia limfoid reaktif

Granulomatosis limfomatoid

Limfadenopati dermatopati

Limfadenopati angioimunoblas

Penyakit Castleman

KLASIFIKASI STADIUM

24
Penetapan stadium penyakit harus dilakukan sebelum pengobatan dan setiap lokasi
jangkitan harus didata dengan cermat baik jumlah dan ukurannya serta digambar
secara skematis.Hal ini penting dalam menilai hasil pengobatan.Disepakati
menggunakan sistem staging menurut Ann-Arborr.

Keterangan :

A : Tanpa gejala konstitusional

B : Dengan gejala konstitusional

C : Keterlibatan ekstranodal

KLASIFIKASI HISTOLOGIK

Penggolongan histologik Limfoma Non Hodgkin merupakan masalah yang rumit.


Perkembangan terkhir klasifikasi yang banyak digunakan dan diterima oleh pusat-
pusat kesehatan adalah berdasarkan /WHO terbaru (2008).

TATALAKSANA

Pilihan terapi bergantung pada beberapa hal, antara lain: tipe limfoma (jenis
histologi), stadium, sifat tumor (indolen/agresif), usia, dan keadaan umum pasien.

Namun umumnya:

25
Standar pilihan terapi:

1. Iradiasi
2. Kemoterapi dilanjutkan dengan radiasi
3. Kemoterapi (terutama pada stadium ≥2 menurut kriteria GELF)
4. Kombinasi kemoterapi dan imunoterapi
5. Observasi

DUKUNGAN NUTRISI

Status gizi merupakan salah satu faktor yang berperan penting pada kualitas
hidup pasien kanker.

REHABILITASI MEDIK PADA PASIEN KANKER LIMFOMA NON-


HOGDKIN

Rehabilitasi medik bertujuan untuk mengoptimalkan pengembalian gangguan


kemampuan fungsi dan aktivitas kehidupan sehari-hari serta meningkatkan
kualitas hidup pasien dengan cara aman & efektif, sesuai kemampuan fungsi
yang ada.

Pendekatan rehabilitasi medik dapat diberikan sedini mungkin sejak sebelum


pengobatan definitif diberikan dan dapat dilakukan pada berbagai tahapan &
pengobatan penyakit yang disesuaikan dengan tujuan penanganan rehabilitasi
kanker: preventif, restorasi, suportif

atau paliatif.

EDUKASI

Kondisi Informasi dan Anjuran saat


Edukasi

1. Kemoterapi Efek samping kemoterapi yang mungkin


muncul (CPIN,dsb) Latihan yang perlu
dilakukan untuk menghindari gangguan
kekuatan otot (lihat prinsip rehabilitasi medik

26
2. Nutrisi Edukasi jumlah nutrisi , jenis dan cara
pemberian nutrisi sesuai dengan kebutuhan

3. Lainnya Anjuran untuk kontrol rutin pasca


pengobatan Anjuran untuk menjaga pola
hidup yang sehat

PROGNOSIS

Angka kesintasan 5-tahun keseluruhan menurut SEER berdasarkan data yang

diambil dari 2006 - 2012 untuk LNH adalah 70,7%.16

C. Karsinoma Tyroid
DEFINISI

Karsinoma tiroid merupakan lesi keganasan pada kelenjar tiroid, tumor ini
banyak menyerang usia dewasa muda. Karsinoma berinsiden relatif rendah dan
memiliki banyak tipe patologik. Tumor dengan tipe patologik berbeda memiliki
manifestasi klinis, metode terapi, prognosis, dll, yang berbeda signifikan.

EPIDEMIOLOGI

Insiden kanker tiroid bervariasi menurut negara dan kawasan yang berbeda. Di
Eslandia dan hawaii, insiden kankr tiroid sangat tinggi. Pria/wanita 1:2. Insiden
puncak tergantung histologi (papiler : dewasa muda; folikuler: usia pertengahan;
anaplastik: usia lanjut; meduler : semua usia).

ETIOLOGI

Etiologi kanker tidoid masih belum jelas, pada umunya beranggapan karsinoma
tiroid berkaitan dengan banyak faktor (multifaktorial) sebagai berikut:

a) Radiasi ionisasi

Papaaran radiasi khususnya terhadap anak dan remaja, merupakan faktor resiko
seumur hidup bagi timbulnya nodul jinak maupun ganas tiroid. Ada ahli
berpendapat, kontak dengan radiasi merupakan satu-satunya karsinogen terhadap

27
tiroid yang telah terbukti dewasa ini. Penelitian mnunjukan pada populasi terpapar
sinar X dan radiasi ᵞ, insiden karisnoma papilar dan folikular tiroid lebih tinggi.

b) Genetik dan onkogn

Seperti luas diketahui bahwa sebagian karsinoma medular tiroid bersifat


Harediter familial. Timbulnya karsinoma medular tiroid familial berkaitan dengan
mutasi gen RET pada kromosom nomor 10. Lebih dari 95% penderita medular
tiroid familial memiliki mutasi titik proto-onkogin RET.

c) Jenis kelamin dan hormonal

Ada panalitian yang menemukan bahwa pada kelenjar tiroid normal, tumor
jinak dan tumor ganas tiroid terdapat reseprot esterogen dalam jumlah yang
bervariasi. Pada jaringan karsinoma papilar tiroid kandungan reseptor esterogen
(ER) dan reseptor progesteron (PR) tertinggi, disimpulkan bahwa ER, dan PR
merupakan faktor penting yang mempengaruhi insiden karsinoma tiroid pada
wanita.

d) Faktor diet

Defisiensi iodium selma ini dianggap sebagai berkaitan dengan timbulnya


tumor tiroid termasuk karsinoma tiroid. Dua tipe utama karsinoma tiroid ( tipe
papilar dan tipe folikuller) mungkin secara terpisah berkaitan dengan diet kaya
iodium dan miskin iodium.

e) Lesi jinak tiroid

Penyakit hiperplasia jinak tiroid, seperti struma nodosa dan adenoma tiroid; dapat
bertransformasi ganas menjadi karsinoma.

TIPE PATOLOGI

Tipe patologi yang sering ditemukan pada karsinoma tiroid adalah karsinoma
papilar, karsinoma folikular, karsinoma medular, dam karsinoma tak
berdiferensiasi. Karsinoma papilar dan karsinoma folikuler secara bersama disebut
sebagai karsinoma tiroid berdiferensiasi.

a) Karsinoma Papilar

28
Karsinoma papilar memiliki subtype histologist yaitu mikrokarsinoma papilar,
folikular, sel tinggi, sel torak, skelorosis difus, dll.

b) Karsinoma folikular
Usia rata-rata timbulnya karsinoma folikular lebih besar 10 tahun dibandingkan
karsinoma papilar, umumnya ditemukan pada usia 45-50 tahun. Karsinoma
folikular dapat dibagi menjadi dua sub tipe, yaitu infiltrasi mikro dan infiltrasi luas.

c) Karsinoma medular
Karsinoma medular familiar merupakan suatu penyakit genetik kromosomal
dominan, menempati 10-20% dari karsinoma medular, dapat timbul tersendiri atau
bersama dengan tumor endokrin lain.

d) Karsinoma tak berdiferensiasi


Umumnya dianggap timbul dari tumor jinak atau dari karsinoma berdiferensiasi.

MANIFESTASI KLINIS

1. Tumor atau nodul tiroid: gejala yang sering ditemukan, sejak dini dapat diketahui
adanya nodul keras dalam kelenjar tiroid, bergerak naik turun sesuai gerakan
menelan.
2. Gejala infiltrasi dan desakan local: Ketika tumor membesar sampai batas tertentu,
Sering mendesak trakea hingga posisinya berubah, disertai gangguan bernafas yang
bervariasi intensitasnya. Ketika tumor menginfiltrasi trakea, dapat timbul dispnea
atau hemoptoe: bila tumor mendesak esofagus bisa timbul disfagia, bila tumor
menginfiltrasi nervus laringeus rekuren dapat timbul suara serak.
3. pembesaran kelenjar limfe leher: ketika tumor mengalami metastasis kelenjar
limfe, sering teraba pembeseran kelenjar limfe leher profunda superior, media,
inferior.
kanker tiroid dengan tipe patologik berbeda memiliki kekhususan klinisnya
sendiri:

A. Karsinoma papilar: paling sering ditemukan, lebih banyak wanita dan berusia di
bawah 40 tahun. tingkat keganasan relatif rendah, progresi relatif lambat, interval
antara ditemukan benjuolan dan datang berkonsultasi yang terlama dapat mencapai
lebih dari 20 tahun. Tumor umumnya soliter, lesi primer mungkin sangat kecil.
Frekuensi metastasis kelenjar linmfe leher tinggi, terjadi awal, lingkupnya luas,

29
progresi lambat, dapat disertai transformasi kistik
B. Karsinoma folikular: kedua tersering ditemukan, usia timbul penyakit rata-rata
lebih tinggi dan karsinoma papilar, umunya pada wanita setengah baya. Derajat
keganasan relatif tinggi, mudah metastasis jauh, terutama hematogen, sering ke
paru dan tulang, lesi primer umumnya agak membesar, umumnya satu sisi.
Metastasis kelenjar limfe umumnya terjadi lebih lanjut, biasanya pertanda stadium
lanjut.
C. Karsinoma medular: relatif jarang ditemukan, umum penderita datang dengan
keluhan benjolan tiroid, sebagian pasien datang dengan keluhan pembesaran
kelenjar limfe leher, lama perjalanan penyakit bervariasi. Umumnya pasien tidak
menderita ketidak nyamanan spesifik, sebagian dapat menderita distagia, suara
serkak, batuk, sesa napas dll. sebagian kecil bergejala metatasis jauh. Karena sel
kanker berasal dari sel parafolikular tiroid (sel C) maka dapat menghasilkan
kalsitonin (CT), prostaglandin (PG), serosonin (5-HT), peptida vasoaktif pada
intestinal (VIP), dll sehingga sebagian pasien dapat menderita diare refrakter, muka
merah dan banyak berkeringat dll. yang dikenal dengan sindrom karsinoid.
D. Karsinoma tak berdiferensiasi: merupakan tumor yang sangat ganas. usia Rata-rata
timbulnya biasanya di atas 60 tahan, progresi penyakit yang cepat merupakan ciri
klinis utamanya. Tumor dengan cepat mengenai jaringan organ sekitarnya
menimbulkan suara serak, batuk, disfagia dan sakit leher dan gejala lain. Pada
waktu pemeriksaan ditemukan massa tumor besar padat difus di tiroid dan leher,
konsistensi keras, terfiksasi, batas tak jelas, luas menginfiltrasi jaringan sekitarnya.
TERAPI

Terapi kanker tiroid terutama dibagi menjadi cara operasi dan non operasi

a. Terapi operatif
Kecuali karsinoma tak berdiferensiasi, terapi kanker tiroid terutama dengan
operasi. Menurut jenis patologi dan lingkup infiltrasi yang berbeda, dipilih model
operasi yang berbeda. Berdasarkan ukutan tumor primer, jenis pathologic, lingkup
infiltrasi ke jaringan sekitrar, ada tidaknya metastasis dan lingkup metastasis,
ditetapkan model operasinya.

1. Penanganan terhadap kanker primer


(1) Lobektomi unilateral plus ismektomi: bila tumor terbatas pada satu sisi tiroid

30
(bila hasil pemeriksaan pra operasi adalah lesi di satu lobus, ekplorasi
intraoperasi menemukan lesi lobus bilateral, maka ditangani menurut lesi
bilateral) semua lesi yang tidak lebih dari T2 dapat dilakukan lobektomi
unilateral dan ismektomi.
(2) Tiroidektomi total atau sub total: bila lesi tiroid mengenai kedua lobus, atau
kanker tiroid sudah memiliki metastasis jauh, memerlukan terapi dengan isotop
pasca operasi, harus ter;ebih dahulu dilakukan tiroidektomi. Ketika melakukan
tiroidektomi, harus sedapat mungkin meninggalkan satu kelenjar pada tiroid.
(3) Reseksi diperluas lobus residual unilateral: terhadap tumor tiroid dengan sifat
tak jelas dilakukan eksisi local tumor, pasca operasi pathologic ternyata,
dilakukan operasi lagi untuk mengangkat lobus residual, angka kanker residul
adalah 29,2-60%
2. Penanganan terhadap kelenjar limfe regional.
Metastasis kelenjar limfe regional dari kanker tiroid mencakup kelenjar limfe
region leher dan mediastinum superior, secara klinis lebih sering ditemukan
metastasis kelenjar limfe leher.

b. Terapi non operatif


1. Radioterapi
(1) Radioterapi eksternal: kanker tiroid berdiferensiasi tidak peka terhadap
radioterapi rutin, selain itu organ sekitarnya seperti kartilago tirodea, trakea,
medulla spinal, dan lain-lain. Kurang tahan terhadap radiasi, sehingga pada
umumnya tidak dianjurkan radioterapi eksternal murni dan radioterapi
adjuvant rutin pasca operasi. Indikasi radioterapi umunya dianggap
mencakup karsinoma tak berdiferensiasi, karsinoma tiroid berdiferensiasi
pasca operasi dengan remnan local, lesi yang tidak mengambil I-131,
metastasis otak dll.
(2) Raddioterapi internal: radiasi I-131 berefek distruktif terhadap jaringan
tiroid, sedangkan sebagian besar karsinoma tiroid berdiferensiasi bersifat
mengambil I-131.
2. Terapi hormonal
Pasca operasi karsinoma tiroid berdiferensiasi pasien pada dasarnya secara rutin
diberikan tiroksin. Dasar teorinya adalah tiroksin dapat menghambat sekresi

31
TSH sehingga mengurangi rekurensi dan metastasis karsinoma tiroid
berdiferensiasi.

3. Kemoterapi
Terhadap pasien karsinoma tiroid berdiferensiasi, dewasa ini masih belum ada
kemoterapi yang efektif, maka secara klinis kemoterapi hanya dipakai secara
selektif untuk pasien stadium lanjut yang tidak dapat dioperasi atau pasien
dengan metastasis jauh, atau dipakai bersama metode terapi lainnya.

PROGNOSIS

Prognosis karsinoma tiroid bervariasi besar, ada yang tumbuh lambat, sangat
sedikit membawa kematian, ada yang tumbuh cepat, angka kematian tinggi. Factor
yang berpengaruh menonjol terhadap prognosis karsinoma tiroid terutama
mencakup: jenis pathologic, stadium dan metastasis jauh. Menurut data dari RS
Kanker Universitas Kedokteran Zhongshan, pada karsinoma tiroid berdiferensiasi,
angka survival 5 tahun dan 10 tahun, masing-masing adalah 93,6% dan 87,5%.
Karsinoma medular dan karsinoma tak berdiferensiasi memiliki survival 5 tahun
masing-masing 68,75% dan 16,81%; survival 5 tahun karsinoma tiroid stadium I,
II, III,dan IV masing-masing adalah 98,98%, 88,92%, 79,50%, dan 41,51%. Selain
itu usia, jenis kelamin, ukuran lesi dan stadium T juga berpengaruh pada prognosis
karsinoma tiroid.

DAFTAR PUSTAKA

Japeries W, Desen W. 2013. Buku Ajar Onkologi Klinis edisi 2 FK UI.Jakarta: Badan Penerbit
FK UI

Desen, Wan & Willie Japaries. 2015. Buku Ajar Onkologi Klinis. Jakarta: Penerbit UI

Setiati, S., Nafrialdi., Alwi, I., Syam, AF., Simadibrata, M. 2015. Anamnesis & Pemeriksaan
Fisis Komprehensif. Jakarta: Interna Publishing

Roezin, A. 2012. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher.
Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

32
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Panduan Penatalaksanaan Limfoma Non-
Hodgkins. Jakarta

Diktat anatomy collifaciallis unhas,hal 55-56

Fujin,Chen.dkk.2011.Buku ajar onkologi klinis Edisi 2. Jakarta. Badan Penerbit FKUI

Soepardi, Efiaty Arsyad & Nurbaiti Iskandar. (2000). Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT. Edisi
kekempat. FKUI : Jakarta.

Kumar.dkk.2007.Buku Ajar Patologi Robbins Ed.7.Vol.II. Jakarka : EGC

33

Anda mungkin juga menyukai