Anda di halaman 1dari 11

MITRAL STENOSIS

1. Definisi
Mitral stenosis merupakan keadaan dimana terjadi gangguan aliran darah dari atrium
kiri melalui katup mitral oleh karena obstruksi pada level katup mitral. Kelainan struktrur
mitral ini menyebabkan gangguan pembukaan sehingga timbul gangguan pengisian
ventrikel kiri pada saat diastol.1

2. Etiologi
Penyebab tersering adalah endokarditis reumatika, akibat reaksi progresif dari
demam reumatik oleh infeksi streptokokus. Penyebab lain walaupun jarang dapat juga
stenosis mitral kongenital, deformitas parasut mitral, vegetasi Systemic lupus
erythematosus (SLE), karsinosis sistemik, deposit amiloid, akibat obat
fenfluramin/phentamin, rhematoid arthritis (RA), serta kalsifikasi annulus maupun daun
katup pada usia lanjt akibat proses degeneratif.1
Beberapa keadaan juga dapat menimbulkan obstruksi aliran darah ke ventrikel kiri
seperti cor triatrium, miksoma atrium serta trombus sehingga menyerupai stenosis
mitral.1

3. Patologi
Pada mitral stenosis akibat demam reumatik akan terjadi proses peradangan
(valvulitis) dan pembentukan nodul tipis di sepanjang garis katup. Proses ini akan
menimbulkan fibrosis dan penebalan daun katup, kalsifikasi, fusi komisura, fusi serta
pemendekan korda atau kombinasi dari proses tersebut. Keadaan ini akan menimbulkan
distorsi dari aparatus mitral yang nomal, mengecilnya area katup mitral menjadi seperti
bentuk mulut ikan (fish mouth) atau lubang kancing (button hole).1
Fusi dari komisura akan menimbulkan penyempitan dari orifisium primer,
sedangkan fusi korda mengakibatkan penyempitan dari orifisium sekunder.1
Pada endokarditis reumatika, daun katup dan khorda akan mengalami sikatrik dan
kontraktur bersamaan dengan pemendekan korda sehingga menimbulkan penarikan daun
katup menjadi funnel shaped.1
Kalsifikasi biasanya terjadi pada usia lanjut dan biasanya lebih sering pada
perempuan dibanding pria serta lebih sering pada keadaan gagal ginjal kronik.1
Proses perubahan patologi sampai terjadinya gejala klinis (periode laten) biasnya
memakan waktu bertahun-tahun (10-20 tahun).1

4. Patofisiologi
Mitral stenosis menghalangi aliran darah dari atrium kiri ke ventrikel kiri selama
fase diastolik ventrikel. Untuk mengisi ventirkel dengan adekuat dan mempertahankan
curah jantung, atrium kiri harus menghasilkan tekanan yang lebih besar untuk
mendorong darah melampaui katup yang menyempit. Oleh karena itu, terjadi
peningkatan perbedaan tekanan antara kedua ruang tersebut. Dalam keadaan normal
perbedaan tekanan tersebut minimal.2
Otot atrium kiri mengalami hipertrofi untuk meningkatkan kekuatan pemompaan
darah. Makin lama kontraksi atrium makin berperan aktif sebagai faktor pembantu
pengisian ventrikel. Atrium kiri kini tidak lagi berfungsi primer sebagai penampung pasif
tetapi berfungsi mengalirkan darah ke ventrikel. Dilatasi atrium terjadi karena volume
atrium kiri meningkat akibat ketidakmampuan atrium untuk mengosongkan diri secara
normal.2
Peningkatan tekanan dan volume atrium kiri dipantulkan ke belakang ke dalam vena
pulmonalis- tekanan dalam vena pulmonalis dan kapiler meningkat. Akibanya terjadi
kongesti paru-paru, mulai dari kongesti vena yang ringan sampai edema interstisial yang
kadang-kadang disertai transudasi cairan ke dalam alveoli.2
Pada akhirnya, tekanan arteri pulmonalis harus meningkat akibat peningkatan kronis
resistensi vena pulmonalis. Respons ini memastikan perbedaan tekanan yang memadai
untuk mendorong darah melalui pembuluh paru-paru. Namun demikian, hipertensi
pulmonalis meningkatkan resistensi ejeksi ventrikel kanan menuju arteri pulmonalis.
Ventrikel kanan berespons terhadap peningkatakn beban tekanan ini dengan hipertrofi
otot.2
Pembuluh darah paru mengalami perubahan anatomi yang tampaknya bertujuan
melindungi kapiler paru-paru terhadap tekanan venrikel kanan dan aliran darah paru
yang meninggi. Terjadi perubahan struktur- hipertrofi lapian media dan penebalan
lapisan intima- pada dinding arteri kecil dan arteriola. Mekanisme yang menimbulkan
respon anatomi ini masih belum diketahui passti. Perubahan-perubahan ini
menyempitkan lumen pembuluh dan meningkatkan resistensi pembuluh paru. Konstriktif
arteriolar ini (atau hipertensi pulmonal reaktif) jelas meningkatkan tekanan arteri
pulmonalis. Tekanan pulmonalis dapat meningkat progresif sampai setinggi tekanan
sistemik.2
Ventrikel kanan tidak dapat memenuhi tugas sebagai pompa bertekanan tinggi
untuk jangka waktu yang lama. Oleh karena itu, ventrikel kanan akhirnya tidak dapat
berfungsi lagi sebagai pompa. Kegagalan ventrikel kanan dipantulkan ke belakang ke
dalam sirkulasi sitemik, menimbulkan kongesti pada vena sistemik dan edema perifer.
Gagal jantung kanan dapat disertai oleh regurgitasi fungsional katup trikuspidalis akibat
pembesaran ventrikel kanan.2
Derajat berat ringannya mitral stenosis, selain berdasarkan gradien transmitral, dapat
juga ditentukan oleh luasnya area katup mitral, serta hubungan antara lamanya waktu
antara penutupan katup aorta dan kejadian opening snap. Berdasarkan luasnya area katup
mitral derajat mitral stenosis sebagai berikut:1
1. Minimal : bila area >2,5 cm2
2. Ringan : bila area 1,4-2,5 cm2
3. Sedang : bila area 1-1,4 cm2
4. Berat : bila area <1,0 cm2
5. Reaktif : bila area < 1,0 cm2
keluhan dan gejala mitral stenosis mulai akan muncul bila luas area katup mitral
menurun sampai seperdua normal (<2-2,5 cm2). Hubungan antara gradien dan luasnya
area katup serta waktu pembukaan katup mitral dapat dilihat tabel dibawah ini.1
Hubungan antara gradien dan luasnya area katup serta waktu pembukaan katup mitral
Derajat stenosis A2-OS interval Area Gradien
Ringan >110 msec >1,5 cm2 < 5 mmHg
Sedang 80-110 msec > 1 dan <1,5 cm2 5-10 mmHg
Berat < 80 msec < 1 cm2 > 10 mmHg
A2-OS : waktu antara penutupan katup aorta dan pembukaan katup mitral

5. Manifestasi klinis
Kebanyakan pasien dengan keluhan mitral stenosis bebas keluhan, dan biasanya
keluhan utama berupa sesak napas, dapat juga fatigue. Pada stenosis mitral yang
bermakna dapat mengalami sesak pada aktivitas sehari-hari, paroksismal nokturnal
dispnea, oropnea atau edema paru yang tegas. Hal ini dicetuskan oleh berbagai keadaan
meningkatnya aliran darah melalui mitral atau menurunnya waktu pengisian diastol,
termasuk latihan, emosi, infeksi respirasi, demam, aktifitas seksual, kehamilan serta
fibrilasi atrium dengan respons ventrikel cepat.1
Aritmia atrial berupa fibrilasi atrium juga merupakan kejadian yang sring terjadi
pada mitral stenosis yaitu 30-40%. Kejadian ini sering terjadi pada umur yang lebih
lanjut atau distensi atrium yang menyolok akan merubah sifat elektrofisiologi dari atrium
kiri hal ini berhubungan dengan derajat stenosis. Fibrilasi atrium yang tidak dikontrol
akan meningmbulkan keluhan sesak atau kongesti yang lebih berat, karena hilangnya
peran kontrasi atrium dalam pengisian ventrikel (1/4 dari isi sekuncup) serta
memendeknya waktu pengisian diastol. Dan seterusnya akan menimbulkan gradien
transmitral dan kenaikan tekanan atrium kiri.1
Kadang-kadang pasien mengeluh terjadi hemoptisi karena:(1) apopleksi pulmonal
akibat rupturnya vena bronkial yang melebar, (2) sputum dengan bercak darah pada saat
serangan paroksismal nokturnla dispnea, (3) sputum seperti karat (pink frothy) oleh
karena edema paru yang jelas, (4) infark paru, (5) bronkitis kronis oleh karena edmea
mukosa bronkus.1
Manifestasi klinis juga dapat berupa komplikasi stenosis mitral, seperti
tromboemboli, infektif endokarditis atau simtom karena kompresi akibat besarnya atrium
kiri seperti disfagia dan suara serak.1
Emboli sistemik terjadi pada 10-20% pasien dengan mitral stenosis dengan distribusi
75% serebral, 33% perifer dan 6% viseral. Risiko embolisasi tergantung umur dan ada
tidaknya fibrilasi atrium, 80% kejadian emboli terjadi pada fibrilasi atrium. Sepertiga
dari kejadian emboli terjadi dalam 3 bulan dari fibrilasi atrium, sedangkan 2/3 terjadi
dalam 1 tahun. Jika embolisasi terjadi pada pasien dengan irama sinus, harus
dipertimbangkan suatu endokarditis infektif. Kejadian emboli tampaknya tidak
tergantung dengan berat ringannya stenosis, curah jantung, ukuran atrium kiri serta ada
tidaknya gagal jantung. Oleh karena itu kejadian emboli dapat berupa manifestasi awal
mitral. Pada kejadian emboli angka rekuren dapat sampai 15-40 kejadian dalam 100
pasien/bulan.1
Dapat juga terjadi trombus masif dalam atrium kiri ‘pedunculated ball-valve
trombus’ yang dapat memperberat keluhan obstruksi bahkan dapat terjadi kematian
mendadak.1

6. Langkah-langkah diagnosis
a. Anamnesis
Banyak gejala dapat bersumber dari kelainan kardiovaskular tetapi gejala
umumnya berkaitan dengan KV adalah nyeri dada, sesak napas yang dipicu oleh
aktivitas fisik, otropnu, paroxysmal nocturnal dyspneu, kaki bengkak, palpitasi,
sinkop, kaludikasio intermitten dan fatigue (kelelahan). menggali ciri-ciri gejala-
gejala utama (misalnya onset, progresivitas, derajat).3
 Sesak napas ( dispnea) Gejala penyakit jantung yang paling umum. Tentukan
apakah sesak napas timbul saat istirahat, saat aktivitas (berjalan, menaiki tangga),
saat berbaring (ortopnea; membaik bila tidur dengan bantal tambahan), atau saat
malam hari. Tentukan kecepatan onset (mendadak, bertahap), apakah baru saja
terjadi? Dispnea akibat pulmonal (gagal jantung) dapat menyebabkan keluhan
terbangun dari tidur secara tiba-tiba.3
 Nyeri dada
 Kualitas – Nyeri seperti diremas, menahan beban berat, mencekik atau adanya
rasa tidak nyaman di dada. Angina biasanya tidak bersifat tajam sepeti ditusuk
dan tidak berubah kualitasnya bila ada perubahan posisi atau respirasi. 3
 Durasi – Episode angina biasanya hilang timbul, berlangsung selama beberapa
menit. Nyeri yang konstan dan berlangsung terus-menerus selama beberapa
jam biasanya bukan angina.3
 Lokasi – Biasanya substernal, namun sering disertai penjalaran ke leher,
rahang, epigastrium, atau lengan. Nyeri yang berlokasi di atas mandibula,
bawah epigastrium atau pada daerah lateral dinding dada biasanya bukan
angina. 3
 Pemicu – angina biasanya dicetuskan oleh aktivitas fisik atau stres emosional
dan nyeri akan berkurang dengan istirahat. Nitrat sublingual juga akan
mengurangi nyeri pada angina dalam 30 detik sampai beberapa menit. 3
 Palpitasi
Kesadaran yang meningkat mengenai denyut jantung, dengan sensasi yang
berlebihan. Mintalah pasien untuk menentukan iramanya; apakah konstan atau
intermiten? Denyut premature dan ekstrasistol memberikan sensasi denyutan
yang menghilang. 3
 Lain-lain
Rasa pusing, sinkop, kelelahan-gagal jantung, aritmia, dan obat-obatan (beta
blocker). 3
Riwayat penyakit dimasa lalu, kondisi sebelumnya (termasuk masa kanak-
kanak) dan terkini, seperti infark miokard (MI), hipertensi, diabetes, demam reumatik.
Informasi resep dan obat lainnya, serta kepatuhan pasien. Tinjau kembali tekanan
darah, kadar lipid, rontgen toraks, dan EKG sebelumnya. 3

Riwayat keluarga, pekerjaan dan social, riwayat keluarga dengan hipertensi,


stroke, diabetes, atau kematian dini. Merokok, termasuk lama dan jumlahnya
(1pak/hari untuk 1 tahun) dan konsumsi alcohol. Pekerjaan; stress, kurang bergerak
atau aktif. 3

b. Pemeriksaan fisis
Temuan klasik pada mitral stenosis adalah ‘opening snap’ dan bising diastol
kasar (‘diastolic rumble’) pada daerah mitral. Tetapi sering pada pemeriksaan rutin
sulit bahkan tidak ditemukan rumbel diastol dengan nada rendah, apalagi bila tidak
dilakukan dengan hati-hati. Pada kasus-kasus ringan harus dicurigai mitral stenosis
bila teraba dan terdangar S1 yang keras. S1 mengeras oleh karena pengisian yang
lama membuat tekanan ventrikel kiri meningkat dan menutup katup sebelum katup
itu kembali ke posisinya. Di apeks rumbel diastolik ini dapat diraba sebagai thrill.1
Katup mitral ditutup dengan tekanan yang keras secara mendadak, pada keadaan
dimana katup mengalami kalsifikasi dan kaku maka penutupan katup mitral tidak
menimbulkan bunyi S1 yang keras. Demikian pula bila terdengar bunyi P2 mengeras
sebagai petunjuk hipertensi pulmonal, harus dicurigai adanya bising diastol pada
mitral.1
Beberapa usaha harus dilakukan untuk mendengar bising diastol antara lain
posisi lateral dekubitus, gerakan-gerakan atau latihan ringan, menahan napas dan
menggunakan bell dengan meletakkan pada dinding dada tanpa tekanan keras.1
Derajat dari bising diastol tidak menggambarkan beratnya stenosis tetapi waktu
atau lamanya bising dapat menggambarkan derajat stenosis. Pada stenosis ringan
bising halus dan pendek, sedangkan pada yang berat holodiastol dan aksentuasi
presistolik. Waktu dari A2-OS juga dapat menggambarkan berat ringannya stenosis,
bila pendek stenosis lebih berat.1
Bising diastol pada mitral stenosis dapat menjadi halus oleh karena obesitas,
PPOM, edema paru, atau status curah jantung yang rendah. Beberapa keadaan yang
dapat menimbulkan bising diastol antara lain aliran besar melalui trikuspid seperti
pada ASD, atau aliran besar melalui mitral seperti VSD, atau regurgitasi mitral. Pada
AR juga dapat terjadi bising diastol pada daerah mitral akibat tertutupnya katup
mitral anterior oleh aliran balik dari aorta (murmur Austin-flint). Bising diastol pada
RM atau AR akan menurun intensitasnya bila diberikan amil nitril karena
menurunnya after load dan berkurangnya derajat regurditasi.1

c. Pemeriksaan foto toraks


Gambaran klasik dari foto toraks adalah pembesaran atrium kiri serta
pembesaran arteri pulmonalis (terdapat hubungan yang bermakna antara besarnya
ukuran pembuluh darah dan resistensi vaskular pulmonal). Edema intertisial berupa
garis kerley terdapat pada 30% pasien dengan tekanan atrium kiri <20 mmHg, pada
70% bila tekanan atrium kiri >20 mmHg. Temuan lain dapat berupa garis Kerley A
serta kalsifikasi pada daerah katup mitral.1

d. Ekokardiografi Doppler
Merupakan modalitas pilihan yang paling sensitif dan spesifik untuk diagnosis
mitral stenosis. Dengan ekokardiografi dapat dilakukan evaluasi struktur dari katup,
pliabilitas dari daun katup, ukuran dari area katup dengan planimetri (mitral valve
area), struktur dari aparatus subvalvular, juga dapat ditentukan fungsi ventrikel.1
Sedangkan dengan doppler dapat ditentukan gradies dari mitral, serta ukuran
dari area mitral dengan cara mengukur ‘pressure half time’ terutama bila struktur
katup sedemikian jelek karena kalsifikasi, sehingga pengukuran dengan planimetri
tidak dimungkinkan. Selain dari pada itu dapat diketahui adanya regurgitasi mitral
yang sering menyertai mitral stenosis.1
Derajat berat ringannya mitral stenosis berdasarkan eko doppler ditentukan
antara lain oleh gradien transmitral, area katup mitral, serta besarnya tekanan
pulmonal.1
Selain itu dapat juga ditentukan perubahan hemodinamik pada latihan atau
pemberian beban dengan dobutamin, sehingga dapat ditentukan derajat stenosis pada
kelompok pasien yang tidak menunjukkan beratnya stenosis pada saat istirahat.1

e. Ekokardiografi Transsofageal
Merupakan pemeriksaan ekokardiografi dengan menggunakan tranduser
endoskop, sehingga jendela ekokardiografi akan lebih luas, terutama untuk struktur
katup, atrium kiri atau apendiks atrium. Selama ini eko transsofageal bukan
merupakan prosedur valvulotomi balon atau pertimbangan antikoagulan sebaiknya
dilakukan.1

f. Kateterisasi
Kateterisasi merupakan standar baku untuk diagnosis dan menentukan berat
ringan mitral stenosis. Walaupun demikian pada keadaan tertentu masih dikerjakan
setelah prosedur eko yang lengkap. Saat ini kateterisasi dipergunakan secara primer
untuk suatu prosedur pengobatan intervensi non bedah yaitu valvulotomi dengan
balon.1

7. Penatalaksaan
a. Pendekatan klinis
Pada setiap pasien mitral stenosis, anamnesis dan pemeriksaan fisik lengkap
harus dilakukan. Prosedur penunjang seperti EKG, foto toraks, ekokardiografi harus
dilakukan secara lengkap.1
Pada kelompok pasien mitral stenosis yang asimtomatik, tindakan lanjutan
sangat tergantung dengan hasil pemeriksaan eko.1

b. Pendekatan medis
1. Prinsip umum
Mitral stenosis merupakan kelainan mekanik, oleh karena itu obat bersifat
suportif atau simtomatik terhadap gangguan fungsional jantung, atau
pencegahan terhadap infeksi.1
Beberapa obat-obatan seperti antibiotik golongan penisilin, eritromisin,
sulfa, sefalosporin untuk demam reumatik atau pencegahan endokarditis sering
dipakai. Obat-obat inotropik seperti β-blocker atau Co-blocker, dapat memberi
manfaat pada pasien dengan irama sinus yang memberi keluhan pada saat
frekuensi jantung meningkat seperti pada latihan. Retriksi gara, atau pemberian
diuretik secara intermiten bermanfaat jika terdapat bukti adanya kongesti
vaskuler paru.1
Pada mitral stenosis dengan irama sinus, digitalis tidak bermanfaat, kecuali
terdapat disfungsi ventrikel baik kiri atau kanan. Latihan fisik tidak dianjurkan,
kecuali ringan hanya untuk menjaga kebugaran, karena latihan akan
meningkatkan frekuensi jantung dan memperpendek fase diatstol dan seterusnya
akan meningkatkan gradien transmitral.1

2. Fibrilasi atrium
Pravalensi 30-40%, akan muncul akibat hemodinamik yang bermakna
karena hilangnya kontribusi atrium terhadap pengisian ventrikel serta frekuensi
ventrikel yang cepat.1
Pada kedaan ini pemakain digitalis merupakan indikasi, dapat
dikombinasikan dengan penyekat beta atau antagonis kalsium. Penyakit beta
atau anti aritmia juga dapat dipakai untuk mengontrol frekuensi jantung, atau
pada keadaan tertentu untuk mencegah terjadinya fibrilasi atrial paroksismal.
Bila perlu pada keadaan tertentu dimana terdapat gangguan hemodinamik dapat
dilakukan kardioversi elektrik, dengan pemberian heparin intarvenous sebelum
pada saat ataupun sesudahnya.1

3. Pencegahan embolisasi sistemik


Antikoagulan warfarin sebaiknya dipakai pada mitral stenosis dengan
fibrilasi atrium atau irama sinus dengan kecenderungan pembentukan trombus
untuk mencegah fenomena tromboemboli.1

4. Valvotomi mitral perkutan dengan balon


Pertama kali diperkenalkan oleh Inoue pada tahun 1984 dan pada tahun
1994 diterima sebagai prosedur klinik. Mulanya dilakukan dengan dua balon,
tetapi akhir-akhir ini dengan perkembangan dalam teknik pembuatan balon,
prosedur valvotomi cukup memuaskan dengan prosedur 1 balon.1

5. Intervensi bedah, reparasi atau ganti katup


Konsep komisurotomi mitral pertama kali diajukan oleh Brunton pada
tahun 1902, dan berhasil pertama kali pada tahun 1920. Sampai dengan tahun
1940 prosedur yang dilakukan adalah komisurotomi bedah tertutup. Tahun 1950
sampai dengan 1960 komisurotomi bedah tertutup dilakukan dengan trasatrial
serta transventrikel.1
Akhir-akhir ini komisurotomi bedah dilakukansecara terbuka karena adanya
mesin jantung-paru. Dengan cara ini katup terlihat dengan jelas, pemisahan
komisura, atau korda, otot papilaris, serta pembersihan kalsifikasi dapat
dilakukan dengan lebih baik. Juga dapat ditentukan tindakan yang akan diambil
apakah itu reparasi atau penggantian katup mitral dengan protesa. Perlu diingat
bahwa sedapat mungkin diupayakan operasi bersifat reparasi oleh karena
dengan protesa akan timbul risiko antikoagulasi, trombosis pada katup, infeksi
endokarditis, malfungsi protesa serta kejadian trombo emboli.1

8. Komplikasi
Hipertensi pulmonal merupakan komplikasi yang sering terjadi pada mitral stenosis,
dengan patofisiologi yang kompleks. Pada awalnya kenaikan tekanan atau hipertensi
pulmonal terjadi secara pasif akibat kenaikan tekanan atrium kiri. Demikian pula terjadi
perubahan vaskular paru berupa vasokonstriksi akibat bahan neurohumoral seperti
endotelin, atau perubahan anatomik yaitu remodel akibat hipertrofi tunika media dan
penebalan intima (reactive hypertension). Kenaikan resistensi arteriolar paru ini
sebenarnya merupakan mekanisme adaptif untuk melindungi paru dan kongesti. Dengan
meningkatnya hipertensi pulmona ini akan menyebabkan kenaikan tekanan dan volume
akhir diastol, regurgitasi trikuspid dan pulmoal sekunder, dan seterusnya sebagai gagal
jantung kanan dan kongesti sistemik.1

9. Prognosis
Mitral stenosis merupakan sauatu proses progresif kontinyu dan penyakit seumur
hidup. Merupakan penyakit ‘a disease of plateus’ yang pada mulanya hanya ditemui
tanda dari stenosis mitral yang kemudian dengan kurun waktu (10-20 th) akan diikuti
dengan keluhan, fibrilasi atrium dan akhirnya keluhan disabilitas.1
Angka 10 tahun survival pada mitral stenosis yang tidak diobati berkisar 50%-60%,
bila tidak disertai keluhan atau minimal angka meningkat 80%. Dari kelompok 60%
tidak menunjukkan progresi penyakitnya. Tetapi bila simtom muncul biasnya ada fase
plateu selama 5-20 tahun sampai keluhan ini benar-benar berat, menimbulkan disabilitas.
Pada kelompok pasien dengan kelas III-IV progresif jelek dimana angka hidup dalam 10
tahun <15%.1
Apabila timbul fibrilasi atrium prognosisnya kurang baik (25% angka harapan hidup
10 th) dibanding pada kelompok irama sinus (46% agka harapan hidup 10 th). Risiko
terjadinya emboli arterial secara bermakna meningkat pada fibrilasi atrium.1
Sumber:
1. Setiati, siti, Idrus Alwi, Aru W. Sudoyo, Marcellus Simadibrata K, Bambang
Setiyohadi, Ari fahrial Syam. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi
VI. Jakarta: InternaPublishing.
2. Price, Sylvia A dan Lorraine M. Wilson. 2015. Patofisiologi Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit. Jakarta: Buku Kedokteran EGC
3. Setiati, siti, Nafrialdi, Idrus Alwi, Ari Fahrial Syam, Marcellus Simadibrata.
2015. Panduan sistematis untuk diagnosis fisis Anamnesi & pemeriksan fisi
komprehensif. Jakarta: Interna Publishing.

Anda mungkin juga menyukai