Pendahuluan
Tuberkulosis peritoneal merupakan suatu peradangan peritoneum parietal atau
visceral yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis, dan terlihat penyakit
ini juga sering mengenai seluruh peritoneum, alat-alat system gastroinbtestinal,
mesenterium dan organ genetalia interna (1)
Penyakit ini jarang bersiri sendiri dan biasanya merupakan kelanjutan proses
tuberkulosa di tempat lain terutama dari tuberkulosa paru, namun sering ditemukan
bahwa pada waktu diagnosa ditegakkan proses tuberkulosa di paru sudah tidak
kelihatan lagi. Hal ini bisa terjadi karena proses tuberkulosa di paru mungkin sudah
menyembuh terlebih dahulu sedangkan penyebaran masih berlangsung di tempat lain
(2).
Di Negara yang sedang berkembang tuberculosis peritoneal masih sering
dijumpai termasuk di Indonesia, sedangkan di negara Amerika dan Negara Barat
lainnya walaupun sudah jarang ada kecendrungan meningkat dengan meningkatnya
jumlah penderita AIDS dan Imigran. Karena perjalanan penyakitnya yang
berlangsung secara perlahan-lahan dan sering tanpa keluhan atau gejala yang jelas maka
diagnosa sering tidak terdiagnosa atau terlambat ditegakkan (3)
Tidak jarang penyakit ini mempunyai keluhan menyerupai penyakit lain seperti
sirosis hati atau neoplasma dengan gejala asites yang tidak terlalu
menonjol(2)
2.Insidensi
Tuberkulosis peritoneal lebih sering dijumpai pada wanita disbanding pria
dengan perbandingan 1,5:1 dan lebih sering decade ke 3 dan 4 (4,5)
Tuberkulosis peritoneal dijumpai 2 % dari seluruh Tuberkulosis paru dan
59,8% dari tuberculosis Abdominal.(5) Di Amerika Serikat penyakit ini adalah
keenam terbanyak diantara penyakit extra paru sedangkan peneliti lain menemukan hanya
5-20% dari penderita tuberkulosis peritoneal yang mempunyai TB paru yang aktif (6,7)
Pada saat ini dilaporkan bahwa kasus tuberculosis peritoneal di negara maju
semakin meningkat dan peningkatan ini sesuai dengan meningkatnya insiden AIDS di
negara maju (1).
Dia Asia dan Afrika dimana tuberculosis masih banyak dijumpai, tuberculosis
peritoneal masih merupakan masalah yang penting. Manohar dkk melaporkan di
Rumah Sakit King Edward III Durban Afrika selatan menemukan 145 kasus
tuberculosis peritoneal selamaperiode 5 tahun (1984-1988) sedangkan dengan cara
peritonoskopi(5) Daldiono menemukan sebanyak 15 kasus di Rumah Sakit Cipto
mangunkusumo Jakarta selama periode 1968-1972 dan Sulaiman di rumah sakit yang
sama periode 1975-1979 menemukan sebanyak 30 kasus tuberkulosa peritoneal begitu
juga Sibuea dkk melaporkan ada 11 kasus Tuberkulosis peritoneal di Rumah sakit
Tjikini Jakarta untuk periode 1975-1977.(7) sedangkan di Medan Zain LH melaporkan
ada 8 kasus selama periode 1993-1995 (8)
1. Patogenesis
Peritoneum dapat dikenai oleh tuberculosis melalui beberapa cara (9)
1. Melalui penyebaran hematogen terutama dari paru-paru
2. Melalui dinding usus yang terinfeksi
3. Dari kelenjar limfe mesenterium
4. Melalui tuba falopi yang terinfeksi
2
3
Pada kebanyakan kasus tuberkulosis peritoneal terjadi bukan sebagai akibat penyebaran
perkontinuitatum tapi sering karena reaktifasi proses laten yang terjadi pada peritoneum
yang diperoleh melalui penyebaran hematogen proses primer terdahulu (infeksi laten
Dorman infection)(2)
Seperti diketahui lesi tuberkulosa bisa mengalami supresi dan menyembuh.
Infeksi masih dalam fase laten dimana ia bisa menetap laten selama hidup namun
infeksi tadi bisa berkembang menjadi tuberkulosa pada setiap saat. Jika organisme
intrasseluler tadi mulai bermutiplikasi secara cepat (2)
Patologi
Terdapat 3 bentuk peritonitis tuberkulosa (2,3)
1. Bentuk eksudatif
Bentuk ini dikenal juga sebagai bentuk yang basah atau bentuk asites yang banyak, gejala
menonjol ialah perut membesar dan berisi cairan (asites). Pada bentuk ini perlengketan
tidak banyak dijumpai. Tuberkel sering dijumpai kecil-kecil berwarna putih kekuning-
kuningan milier, nampak tersebar di peritoneum atau pada alat-alat tubuh yang berada di
rongga peritoneum.
Disamping partikel yang kecil-kecil yang dijumpai tuberkel yang lebih besar sampai
sebesar kacang tanah. Disekitar tuberkel terdapat reaksi jaringan peritoneum berupa
kongesti pembuluh darah. Eksudat dapat terbentuk cukup banyak, menutupi tuberkel
dan peritoneum sehingga merubah dinding perut menjadi tegang, Cairan asites kadang-
kadang bercampur darah dan terlihat kemerahan sehingga mencurigakan kemungkinan
adanya keganasan. Omentum dapat terkena sehingga
terjadi penebalan dan teraba seperti benjolan tumor.
2. Bentuk adhesif
Disebut juga sebagai bentuk kering atau plastik dimana cairan tidak banyak
dibentuk. Pada jenis ini lebih banyak terjadi perlengketan. Perlengketan yang luas
antara usus dan peritoneum sering memberikan gambaran seperti tumor, kadang-
kadang terbentuk fistel. Hal ini disebabkan karena adanya perlengketan-
perlengketan.
Kadang-kadang terbentuk fistel, hal ini disebabkan karena perlengketan dinding usus dan
peritoneum parintel kemudian timbul proses necrosis. Bentuk ini sering menimbulkan
keadaan ileus obstruksi . Tuberkel-tuberkel biasanya lebih besar.
3. Bentuk campuran
Bentuk ini kadang-kaadang disebut juga kista, pembengkakan kista terjadi
melalui proses eksudasi bersama-sama dengan adhesi sehingga terbentuk cairan
dalam kantong-kantong perlengketan tersebut.
Beberapa penulis menganggap bahwa pembagian ini lebih bersifat untuk
melihat tingkat penyakit, dimana pada mulanya terjadi bentuk exudatif dan
kemudian bentuk adhesif (2).
3
4
4
5
Gejala Klinis
Gejala klinis bervariasi, pada umumnya keluhan dan gejala timbul perlahan-
lahan sampai berbulan-bulan, sering penderita tidak menyadari keadaan ini. Pada
penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Dr.Cipto Mangunkusumo lama keluhan
berkisar dari 2 minggu s/d 2 tahun dengan rata-rata lebih dari 16 minggu (1,2,10)
Keluhan terjadi secara perlahan-lahan sampai berbulan-bulan disertai nyeri
perut, pembengkakan perut, disusul tidak nafsu makan, batuk dan demam
(1,2,10,11,12,13)
Pada yang tipe plastik sakit perut lebih terasa dan muncul manisfestasi seperti sub
obstruksi (2)
Pada pemeriksaan jasmani gejala yang sering dijumpai adalah asites, demam,
pembengkakan perut, nyeri perut, pucat dan kelelahan, tergantung lamanya keluhan.
Keadaan umum pasien bisa masih cukup baik sampai keadaan kurus dan kahexia,
pada wanita sering dijumpai tuberkulosa peritoneum disertai oleh proses tuberculosis
pada ovarium atau tuba, sehingga pada alat genital bisa ditemukan tanda-tanda
peradangan yang sering sukar dibedakan dengan kista ovari (1,2)
Gejala yang lebih rinci dapat dilihat pada table 2 dibawah ini :
Tabel 2 : pemeriksaan jasmani pada 30 penderita peritonitis tuberkulosa di rumah sakit
Dr.Cipto mangunkusumo Jakarta tahun 1975-11979 (2,10)
Gejala Persentase
Diagnosis :
Laboratorium :
Pemeriksaan Penunjang :
Pemeriksaan Ronsen :
Pemeriksaan sinar tembus pada system pencernaan mungkin dapat
membantu jika didapat kelainan usus kecil atau usus besar (2)
Ultrasonografi :
Pada pemeriksaan ultrasonografi (USG) dapat dilihat adanya cairan dalam
rongga peritoneum yang bebas atau terfiksasi (dalam bentuk kantong-kantong)
menurut Rama & Walter B, gambaran sonografi tuberculosis yang sering dijumpai
antara lain cairan yang bebas atau terlokalisasi dalam rongga abdomen, abses dalam
rongga abdomen, masa didaerah ileosaecal dan pembesaran kelenjar limfe
retroperitoneal, adanya penebalan mesenterium, perlengketan lumen usus dan
penebalan omentum, mungkin bisa dilihat dan harus diperiksa dengan seksama (1)
Mizzunoe dkk berhasil menggunakan USG sebagai alat Bantu biopsy secara
tertutup dalam menegakkan diagnosa peritonitis tuberkulosa (24).
CT Scan :
Pemeriksaan CT Scan untuk peritoneal tuberculosis tidak ada ditemui suatu
gambaran yang khas, namun secara umum ditemui adanya gambaran peritoneum
yang berpasir dan untuk pembuktiannya perlu dijumpai bersamaan dengan adanya
gejala klinik dari tuberculosis peritoneal (25)
Rodriguez E dkk yang melakukan suatu penelitian yang membandingkan tuberculosis
peritoneal dengankarsinoma peritoneal dan karsinoma peritoneal dengan melihat
gambaran CT Scan terhadap peritoneum parietalis.
Adanya peritoneum yang licin dengan penebalan yang minimal dan
pembesaran yang jelas menunjukkan suatu peritoneum tuberculosis sedangkan
adanya nodul yang tertanam dan penebalan peritoneum yang teratur menunjukkan suatu
perintoneal karsinoma (26)
Peritonoskopi (Laparoskopi)
Biopsi dapat ditujukan pada tuberkel-tuberkel secara terarah atau pada jaringan lain
yang tersangka mengalami kelainan dengan menggunakanalat biopsy khusus sekaligus
cairan dapat dikeluarkan.
Walupun pada umumnya gambaran peritonoskopi peritonitis tuberculosis dapat
dikenal dengan mudah, namun gambaran gambarannya bisa menyerupai penyakit lain
seperti peritonitis karsinomatosis, karena itu biopsy harus selalu diusahakan dan
pengobatan sebaiknya diberikan jika hasil pemeriksaan patologi anatomi menyokong suatu
peritonitis tuberkulosa.
Peritonoskopi tidak selalu mudah dikerjakan dan dari 30 kasus, 4 kasus tidak
dilakukan peritonoskopi karena secara tehnis dianggap mengandung bahaya dan sukar
dikerjakan.
Adanya jaringan perlengketan yang luas akan merupakan hambatan dan
kesulitan dalam memasukkan trokar dan lebih lanjut ruangan yang sempit di dalam
rongga abdomen juga menyulitkan pemeriksaan dan tidak jarang alat peritonoskopi
terperangkap didalam suatu rongga yang penuh dengan perlengketan, sehingga sulit untuk
mengenal gambaran anatomi alat-alat yang normal dan dalam keadaan demikian maka
sebaiknya dilakukan laparotomi diagnostik (1)
Laparatomi
Dahulu laparotomi eksplorasi merupakan tindakan diagnosa yangs erring
dilakukan, namunsaat ini banyak penulis menganggap pembedahan hanya dilakukan
jika dengan cara yang lebih sederhana tidak meberikan kepastian diagnosa atau jika
dijumpai indikasi yang mendesak seperti obstruksi usus, perforasi, adanya cairan
asites yang bernanah (2,29)
Pengobatan :
Pada dasarnya pebngobatan sama dengan pengobatan tuberculosis paru, obat-
obat seperti streptomisin,INH,Etambutol,Ripamficin dan pirazinamid
memberikan hasil yang baik, dan perbaikan akan terlihat setelah 2 bulan pengobatan dan
lamanya pengobatan biasanya mencapai sembilan bulan sampai 18 bulan atau lebih
(1,30)
Beberapa penulis berpendapat bahwa kortikosteroid dapat mengurangi
perlengketan peradangan dan mengurangi terjadinya asites. Dan juga terbukti bahwa
kortikosteroid dapat mengurangi angka kesakitan dan kematian,namun pemberian
kortikosteroid ini harus dicegah pada daerah endemis dimana terjadi
resistensi terhadap Mikobakterium tuberculosis (31,32)
Alrajhi dkk yang mengadakan penelitian secara retrospektif terhadap 35 pasien
dengan tuberculosis peritoneal mendapatkan bahwa pemberian kortikosteroid sebagai
obat tambahan terbukti dapat mengurangi insidensi sdakit perut dan
sumbatan pada usus (32,33)
Pada kasus-kasus yang dilakukan peritonoskopi sesudah pengobatan terlihat
bahwa partikel menghilang namun di beberapa tempat masih dilihat adanya
perlengketan (1).
Prognosis :
Peritonitis tuberkulosa jika dapat segera ditegakkan dan mendapat pengobatan
umumnya akan menyembuh dengan pengobatan yang adequate,(1)
Kesimpulan :
1. Tuberkulosis peritoneal biasanya merupakan proses kelanjutan tuberkulosa
ditempat lain
2. Oleh karena itu gejala klinis yang bervariasi dan timbulnya perlahan-lahan sering
diagnosa terlambat baru diketahui.
3. Dengan pemeriksaan diagnostik, laboratorium dan pemeriksaan penunjang
lainnya dapat membantu menegakkan diagnosa
4. Dengan pemberian obat anti tuberkulosa yang adekuat biasanya pasien akan
sembuh.
Daftar Pustaka
1. Zain LH. Tuberkulosis peritoneal. Dalam : Noer S ed. Buku ajar ilmu penyakit
dalam Jakarta Balai penerbit FKUI, 1996: 403-6
2. Sulaiman A. Peritonitis tuberkulosa. Dalam : Sulaiman A, Daldiyono, Akbar N,
Rani A Buku ajar gartroenterologi hepatologi Jakarta : Infomedika 1990: 456-61
3. Ahmad M. Tuberkulosis peritonitis : fatality associated with delayed diagnosis.
South Med J 1999:92:406-408.
4. Sandikci MU,Colacoglus,ergun Y.Presentation and role of peritonoscopy and
diagnosis of tuberculous peritonitis. J Gastroenterol hepato 1992;7:298-301
5. Manohar A,SimjeeAE,Haffejee AA,Pettengell E.Symtoms and investigative
findings in year period.Gut,1990;31:1130-2
6. Marshall JB.Tuberculosis of the gastrointestinal tract and peritoneum,AMJ
Gastroenterol 1993;88:989-99
7. Sibuea WH,Noer S,Saragih JB,NapitupuluJB.Peritonitis tuberculosa di RS DGI
Tjikini (abstrak) KOPAPDI IV Medan; 1978:131
8. Zain LH.Peran analisa cairan asites dan serum Ca 125 dalam mendiagnosa TBC
peritoneum Dalam : Acang N, Nelwan RHH,Syamsuru W ed.Padang : KOPAPDI
X,1996:95
9. Spiro HM. Peritoneal tuberculosis : clinical gastroenterologi 4th ed New York ; Mc
Graw hill INC 1993 : 551-2
10. Sulaiman A. Peritonisis tuberculosa dalam : Hadi S, Thahir G, Daldiyono,Rani
A,Akbar N. Endoskopi dalam bidang Gastroentero Hepatologi Jakarta : PEGI
1980:265-70
11. Small Pm,Seller UM. Abdominal tuberculosis in : Strickland GT ed Hunters tropical
medicine and emerging infection disease. 8th Philadelpia : WB Sounders Company
2000 : 503-4
12. Mc Quid KR,Tuiberculous peritonitis in : Tierny LM,Mc Phee SJ,Papadakis
MA. Current medical diagnosis & treatment 38th London Prentice hall
Internastional 1999 : 561-62
13. Lyche KD.Miscelaneous disease of the peritoneum & mesentery in : Grendell
Jh,Mc Quaid KR, Friedman sl ed Current diagnosis & treatment Gastroenterologi
New York : Prentice Hall international 1996 : 144-5
14. Lombrana S,Vega dl, Linares et al.Tuberculous peritonitis ; Diagnostic value of
ascitic flid PH and lactat. Scandinavian Journal Gastroenterology,1995;30:87-91
15. Voight,Kalvaria I,Trey C, Berman P. Lombard C, Kirsdi PE, Diagnostic value of
ascitites adenosin deaminase in tuberculous peritonitis Lancet 1989; 1:751-4
16. Hafta A Adenosin deaminase activity in the diagnosis of peritoneal tuberculosis
with cirrhosis http://wwwcu.edu.tr/fakulteler/tf/tfd/97-2-9.htm
17. Fathy EM, EL Salam FA,Lashin AH et al A Comparative study of different
procedures for diagnosis of tuberculous ascites : http: member, tripod.
Com/ejimunology/prviuous/jan 99/jan99-9.html