Anda di halaman 1dari 34

MAKALAH ASUHAN KEBIDANAN ANAK SAKIT

Oleh Kelompok I:

Luh Gede Yuni Handayani (P07124217 003)

Ni Putu Astariani Prajasari (P07124217004)

Ririn Handayani Sukmadewi (P07124217 005)

Kadek Rini Gustiana (P07124217 008)

Ni Made Opy Sutariani (P07124217009)

L May Heleen (P07124217010)

Ni Komang Ayu Sudiartini (P07124217022)

Ni Made Krismonita Dwi Sujani (P07124217 033)

Ni Nengah Tantri Diarsani (P07124217 045)

Ni Luh Putu Mia Aprilia Dewi (P07124217 070)

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR
PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN
JURUSAN KEBIDANAN
SEMESTER VI
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena berkat
rahmat-Nya makalah mata kuliah Asuhan Kebidanan Anak Sakit dapat diselesaikan
sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Kami sangat berharap makalah ini
dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan para pembaca.

Penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun yang


nantinya dapat dipergunakan untuk menyempurnakan laporan selanjutnya. Dengan
demikin laporan ini penulis susun semoga dapat memberikan manfaat bagi
perkembangan ilmu pengetahuan. Semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa selalu
melimpahkan rahmat-Nya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan
dan menyelesaikan makalah ini.

Denpasar, Februari 2020

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i

DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ......................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah .................................................................................... 2
C. Tujuan ...................................................................................................... 2
D. Manfaat .................................................................................................... 2
BAB II KAJIAN TEORI
A. Pengertian Gangguan Pertumbuhan ....................................................... 3
B. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Gangguan Pertumbuhan Anak .... 5
C. Jenis – Jenis Gangguan Pertumbuhan Anak ........................................... 7
BAB III KAJIAN TEORI
A. Data Subjektif ......................................................................................... 9
B. Data Objektif ........................................................................................ 10
C. Analisis ................................................................................................. 12
D. Penatalaksanaan ................................................................................... 12
BAB IV PEMBAHASAN ..................................................................................... 12
BAB IV PENUTUP
A. Simpulan .............................................................................................. 18
B. Saran .................................................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Menurut WHO definisi anak adalah dihitung sejak seseorang di dalam
kandungan sampai dengan usia 19 tahun. Menurut Undang-Undang Republik
Indnesia nomor 23 tahun 2002 pasal 1 ayat 1 tentang perlindungan anak, anak
adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk juga yang masih di dalam
kandungan. Anak merupakan aset bangsa yang akan meneruskan perjuangan suatu
bangsa, sehingga harus diperhatikan pertumbuhan dan perkembangannya (Depkes
RI, 2014).
Pertumbuhan adalah perubahan fisik dan peningkatan ukuran. Pertumbuhan
dapat diukur secara kuantitatif. Indikator pertumbuhan meliputi: tinggi badan, berat
badan, ukuran tulang, dan pertumbuha gigi. Pola pertumbuhan fisiologis sama
untuk semua orang, akan tetapi laju pertumbuhan bervariasi pada tahap
pertumbuhan berbeda (Kozier, Erb, Berman & Synder, 2011).
Banyak factor yang mempengaruhi pertumbuhan anak. Secara garis besar
faktor-faktor tersebut dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu factor dalam (internal)
yang terdiri dari perbedaan ras/etnik atau bangsa, keluarga, umur, jenis kelamin,
kelainan genetic, dan kelainan kromosom dan factor luar (eksternal/lingkungan)
yang terdiri dari gizi, stimulasi, psikologis, dan sosial ekonomi (Soetjiningsih,
2013).
Gangguan pertumbuhan fisik meliputi gangguan pertumbuhan diatas normal
dan gangguan pertumbuhan di bawah normal. Pemantauan berat badan
mengunakan KMS (Kartu Menuju Sehat). Menurut Soetjiningsih (2013) bila grafik
berat badan naik lebih dari 120% kemungkinan anak mengalami obesitas atau
kelainan hormonal. Sedangkan apabila grafik berat badan di bawah normal
kemungkinan anak mengalami kurang gizi, menderita penyakit kronis atau kelainan
hormonal. Lingkar kepala juga menjadi salah satu ukuran parameter yang penting.
Ukuran lingkar kepala menggambarkan isi kepala termasuk otak dan cairan
serebrospinal. Lingkar kepala yang lebih dari normal dapat dijumpai pada anak
yang menderita hidrosefalus, megasefali, tumor otak. Sedangkan apabila lingkar
kepala kurang dari normal dapat diduga anak mengalami malnutrisi kronis.
Gigantisme adalah pertmbuhan berlebih akibat pelepasan hormone
pertumbuhan/ Growth Hormone (GH) berlebih, terjadi pada masa anak-anak.
Keadaan ini meyebabkan pertumbuhan longitudinal pasien sangat cepat dan pasien
akan menjadi seperti raksasa (Melmed S, Kleinberg D, 2011).
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah asuhan kebidanan pada anak dengan gangguan petumbuhan
gigantisme?
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu memahami cara memberikan asuhan kebidanan pada
anak dengan gangguan pertumbuhan.
2. Tujuan Khusus
Setelah study kasus mahasiswa diharapkan mampu memahami :
a. Melakukan asuhan kebidanan pada anak meliputi pengumpulan data
dasar, interpretasi data dasar, mengidentifikasi diagnosa atau masalah
potensial, mengidentifikasi dan menetapkan kebutuhan segera,
merencanakan asuhan menyeluruh, melaksanakan perencanaan, evaluasi.
b. Melakukan pendokumentasian (SOAP) pada asuhan kebidanan pada
anak dengan gangguan pertumbuhan gigantisme.
D. Manfaat
1. Manfaat Teoritis
Untuk perkembangan ilmu dan memahami penerapan asuhan kebidanan pada
anak dengan gangguan pertumbuhan
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Institusi
Sebagai bahan kajian serta referensi bagi mahasiswa terhadap materi
asuhan kebidanan pada anak dengan gangguan pertumbuhan.
b. Bagi Penulis
Untuk memahami cara memberikan asuhan kebidanan pada anak dengan
gangguan pertumbuhan.
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Pengertian Gangguan Pertumbuhan


Pertumbuhan (growth) adalah hal yang berhubungan dengan perubahan
jumlah, ukuran atau dimensi tingkat sel, organ, maupun individu yang dapat diukur
dengan ukuran berat (gram, pound, kilogram), ukuran panjang (cm, meter), umur
tulang dan keseimbangan metabolic (retensi kalsium dan nitrogen tubuh). Jadi dapat
disimpulkan bahwa pertumbuhan mempunyai dampak terhadap aspek fisik
(Soetjiningsih, 2013).
Gangguan pertumbuhan fisik meliputi gangguan pertumbuhan diatas normal
dan gangguan pertumbuhan di bawah normal. Pemantauan berat badan
mengunakan KMS (Kartu Menuju Sehat). Menurut Soetjiningsih (2013) bila grafik
berat badan naik lebih dari 120% kemungkinan anak mengalami obesitas atau
kelainan hormonal. Sedangkan apabila grafik berat badan di bawah normal
kemungkinan anak mengalami kurang gizi, menderita penyakit kronis atau kelainan
hormonal. Lingkar kepala juga menjadi salah satu ukuran parameter yang penting.
Ukuran lingkar kepala menggambarkan isi kepala termasuk otak dan cairan
serebrospinal. Lingkar kepala yang lebih dari normal dapat dijumpai pada anak
yang menderita hidrosefalus, megasefali, tumor otak. Sedangkan apabila lingkar
kepala kurang dari normal dapat diduga anak mengalami malnutrisi kronis.
Gangguan Pertumbuhan adalah terdapat suatu masalah dalam proses
pertumbuhan. Oleh karna itu maka yang akan berakibat terhambatnya anak
mencapai tingkat tumbuh kembang yang sesuai dengan usianya. Apabila gangguan
ini berlanjut maka akan menjadi suatu bentuk kecacatan yang menetap pada anak
(Chamidah, 2011).
B. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Gangguan Pertumbuhan Anak
Menurut Soetjningsih (2012) faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan
anak secara umum digolongkan menjadi dua yaitu:
1. Faktor genetik
Faktor genetik merupakan modal dasar dalam pencapaian hasil akhir
proses pertumbuhan anak. Termasuk faktor genetic antara lain adalah berbagai
faktor bawaan yang normal dan patologik, jenis kelamin, suku bangsa atau bangsa.
2. Faktor lingkungan
Lingkungan merupakan faktor yang sangat menentukan tercapainya atau
tidaknya potensi bawaan. Lingkungan yang baik akan memungkinkan tercapainya
potensi bawaan, sedangkan yang kurang baik akan menghambatnya. Lingkungan
ini merupakan lingkungan bio psiko sosial yang mempengaruhi individu setiap hari,
mulai dari konsepsi sampai akhir hayatnya.
Faktor lingkungan ini secara garis besar faktor-faktor tersebut dapat dibagi
menjadi dua golongan, yaitu faktor yang mempengaruhi anak pada waktu masih di
dalam kandungan (faktor prenatal) meliputi: gizi ibu pada waktu hamil, mekanis,
toksin/zat kimia, endokrin, radiasi, infeksi stress, imun, imunitas, dan anoksia
embrio.
Kemudian faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan anak setelah
lahir (faktor postnatal). Faktor postnatal secara umum digolongkan menjadi empat,
yaitu: lingkungan biologis meliputi ras/suku bangsa, jenis kelamin, umur, gizi,
perawatan kesehatan, kepekaan terhadap penyakit, penyakit kronis, fungsi
metabolisme, dan hormon. Hal ini ditandai dengan dengan anak yang terlahir dari
suatu ras tertentu, misalnya bangsa Eropa memiliki kecenderungan lebih besar atau
tinggi daripada bangsa Asia yang cenderung lebih pendek dan kecil (Arifin, 2015).
C. Jenis-Jenis Gangguan Pertumbuhan Pada Anak
1. Gigantisme
a. Pengertian
Gigantisme seringkali terjadi akibat dari sekresi GH (Growth Hormone)
berlebihan. Gigantisme biasanya menyerang pada anak-anak umur 6-15 tahun.
Mmeningkatkan penguraian asam lemak dan jaringan adipose dan kadar glukosa
darah. Gigantisme terjadi pada periode anak-anak ketika skleton masih berpotensi
untuk tumbuh, atau pada pra pubertas ( Melmed S, Kleinberg D, 2011).
b. Etiologi
Gigantisme disebabkan oleh sekresi GH yang berlebihan. Keadaan ini dapat
diakibatkan tumor hipofisis yang menyekresi GH atau karena kelainan hipotalamus
yang mengarah pada pelepasan GH secara berlebihan. Gigantisme dapat terjadi bila
keadaan kelebihan hormone pertumbuhan terjadi sebelum lempeng epifisis tulang
menutup atau masih dalam masa pertumbuhan. Penyebab kelebihan produksi
hormone pertumbuhan terutama adalah tumor pada sel-sel somatotrop yang
menghasilkan hormone pertumbuhan. Penyebab gingantisme yang paling sering
adalah adenoma kelenjar pituitary (Lamesson, 2013).
c. Gambaran klinis gigantisme
Menurut E.Eugster (2018) adapun ciri-ciri dari gigantisme adalah :
1) Berperawakan tinggi lebih dari 2 meter, dengan proporsi tubuh yang
normal. Hal ini terjadi karena jaringan lunak seperti otot cepat tumbuh.
2) Hidung lebar, lidah membesar dan wajah kasar
3) Mandibula tumbuh berlebihan
4) Gigi menjadi terpisah-pisah
5) Jari dan ibu jari tumbuh menebal
6) Kelemahan dan sensasi semutan di lengan dan kaki akibat perbesaran
jaringan dan saraf yang tertekan.
7) Kehilangan penglihatan pada pemeriksaan lapang pandang secara
seksama karena khiasma optikum saraf mata tertekan.
8) Sakit kepala akibat tekanan dari tumor yang menyebabkan kenaikan
tekanan intracranial
9) Endocrinopathies (misalnya hipogonodisme, diabetes dan
hiperprolaktinemia)
d. Penanganan gigantisme
Menurut penanganan gigantisme Pongoh (2013) penanganan gigantisme lebih
kompleks. Iridiasi hipofisis, pembedahan kelenjar hipofisis untuk
mengangkat tumor hipofisis, atau kombinasi keduanya, dapat mengakibatkan
penurunan atau perbaikan penyakit. Pengobatan medis dengan menggunakan
ocreotide, suatu analog somatostatin, juga tersedia. Ocreotide dapat
menurunkan supresi kadar GH dan IGF-1, mengecilkan ukuran tumor, dan
memperbaiki gambaran klinis. Terapi yang paling tepat untuk kelebihan
hormone pertumbuhan tak lain adalah tumor pa hipofisis sedini mungkin
untuk mencegah efek negatif darinya.

2. Rakitis
Rakitis adalah pelunakan tulang pada anak-anak karena kekurangan
atau gangguan metabolisme vitamin D, magnesium, fosfor atau kalsium,
berpotensi menyebabkan patah tulang dan kelainan bentuk. Rakitis adalah
salah satu penyakit anak yang paling sering di banyak negara berkembang.
Penyebab utama adalah kekurangan vitamin D, namun kekurangan kalsium
yang memadai dalam diet juga dapat menyebabkan rakitis (kasus diare berat
dan muntah dapat menjadi penyebab kekurangan). Meskipun dapat terjadi
pada orang dewasa, sebagian besar kasus terjadi pada anak-anak menderita
gizi buruk, biasanya akibat kelaparan atau kelaparan selama tahap awal
masa kanak-kanak. Osteomalacia adalah istilah yang digunakan untuk
menggambarkan kondisi serupa terjadi pada orang dewasa, umumnya
karena kekurangan vitamin D. "Rakitis" berasal dari kata dialek Inggris
Kuno 'wrickken', memelintir. Kata berasal Yunani "rachitis" (ραχίτις, yang
berarti "peradangan tulang belakang") kemudian diadopsi sebagai istilah
ilmiah untuk rakitis, terutama karena kesamaan kata-kata dalam suara.
a. Penyebab Rakitis
Penyebab utama dari rakitis adalah kekurangan vitamin D. Vitamin
D diperlukan untuk penyerapan kalsium dari usus. Sinar Matahari, sinar
ultraviolet terutama, memungkinkan sel-sel kulit manusia mengkonversi
vitamin D dari nonaktif ke keadaan aktif, dengan tidak adanya vitamin D,
kalsium tidak benar diserap, mengakibatkan hipokalsemia, menyebabkan
cacat tulang dan gigi dan neuromuskuler gejala, misalnya hyperexcitability.
Makanan yang mengandung vitamin D termasuk mentega, telur,
minyak hati ikan, margarin, susu dan jus, dan ikan berminyak seperti tuna,
ikan herring, dan salmon. Suatu bentuk yang jarang dominan terkait-X ada
yang disebut rakitis Vitamin D tahan. Kasus telah dilaporkan di Inggris
dalam beberapa tahun terakhir dari rakitis pada anak-anak dari latar
belakang sosial yang disebabkan oleh ketidakmampuan untuk membuat
vitamin D karena sinar ultraviolet matahari tidak mencapai kulit karena
penggunaan terus-menerus dari tabir surya yang kuat, atau terlalu banyak
"yang mencakup up "di bawah sinar matahari, atau menghabiskan waktu di
dalam ruangan terlalu banyak.
b. Pengobatan dan Pencegahan Rakitis :
Pengobatan dan pencegahan rakitis dikenal sebagai antirachitic. Jika
kekurangan vitamin D, dokter mungkin akan meresepkan suplemen vitamin
D atau meminta untuk meningkatkan asupan vitamin D , seperti sereal, jus
jeruk , ikan dan susu olahan.
Berikut penanganan yang biasanya dilakukan pada penderita
rakhitis berdasarkan penyebabnya :

1) Jika kekurangan kalsium.

Jalan satu-satunya memperbanyak konsumsi unsur kalsium sehingga


memperkuat kerja sel osteoblas (pembentuk tulang). Oleh sebab itu,
makanan seperti sayur-sayuran, buah, tahu, tempe, ikan teri, daging, yogurt,
sangatlah disarankan. Suplemen kalsium dapat ditambahkan baik yang
berbentuk sirup atau tablet dengan konsumsi 1,5 gram per hari. Kekurangan
kalsium juga menyebabkan mudah mengalami kram pada otot tangan dan
kaki serta terganggunya tekanan darah.

2) Jika kekurangan vitamin D.

Ada dua sumber vitamin D :

a) Terkena sinar matahari


Kulit memproduksi vitamin D ketika itu terkena sinar matahari.
b) Makanan
Usus menyerap vitamin D yang ditemukan secara alami dalam
makanan yang dimakan, atau ditambahkan ke dalamnya selama
pemrosesan, atau dari suplemen atau multivitamin yang dikonsumsi.
Perbanyak mengonsumsi makanan seperti ikan salmon, kuning telur,
minyak ikan, dan susu. Bisa juga dengan sering berjemur di bawah sinar
matahari karena akan membantu pembentukan vitamin D dalam tubuh.
Waktu yang tepat untuk berjemur sekitar pukul 7 - 9 pagi dan sore pada
pukul 16 -17. Berjemur di luar waktu tersebut justru berbahaya karena
matahari banyak mengeluarkan sinar ultraviolet yang dapat menyebabkan
kanker kulit dan katarak.
c) Jika karena gangguan ginjal atau hati

Langkah pertama adalah menyembuhkan dulu gangguan/penyakit tersebut.


Biasanya terapi yang dilakukan lebih lama karena gangguan ginjal maupun
hati mengganggu metabolisme penyerapan kalsium.

d) Jika karena pengaruh atau efek samping dari obat-obatan seperti steroid.

Maka konsumsi obat itu harus segera dikurangi atau kalau bisa diganti
dengan obat yang bisa menyerap kalsium.

e) Jika sudah telanjur mengalami patah tulang.

Mau tak mau harus dilakukan tindakan seperti gips untuk patah tulang di
bagian lengan. Kalau patah tulang di bagian tungkai atau tulang paha
dilakukan dengan biopsi. Berbeda patah tulang pada anak-anak relatif
mudah tersambung kembali, yakni sekitar tiga bulanan. Tindakan
selanjutnya upaya rehabilitasi atau fisioterapi untuk melatih kemampuan
atau keterampilan gerak. Misalnya, melatih keseimbangan duduk, berdiri,
dan berjalan. (Aditomo, Fiftin, 2015)

3. Sindroma Turner
Sindroma Turner (Disgenesis Gonad) adalah suatu keadaan pada anak
perempuan, dimana salah satu dari kromosom Xnya hilang sebagian atau hilang
seluruhnya.
a. Patofisiologi
Sindrom turner, yang ditandai dengan hipogonadisme primer pada fenotipe
perempuan, terjadi akibat monosomi parsial atau total lengan pendek kromosom
X. Pada sekitar 57% pasien, kromosom X utuh hilang sehingga terbentuk
kariotipe 45,X. Pasien ini mengidap penyakit paling parah, dan diagnosis sering
dapat ditegakkan saat lahir atau pada awal masa anak. Gambaran klinis khas
pada Sindrom Turner 45,X adalah retardasi pertumbuhan yang mencolok
sehingga tubuh pendek (kurang dari persentil ketiga), membengkakknya
tungkai akibat pelebaran saluran limfatik (pada masa bayi yang tampak sebagai
leher bersayap pada anak yang lebih tua, garis rambut posterior yang rendah,
kubitus valgus (meningkatnya sudut angkat lengan ), dada mirip tameng dengan
puting payudara terpisah jauh, lengkung langit-langit yang tinggi, limfedema
tangan dan kaki, serta berbagai kelainan kongenital, seperti ginjal tapal- kusa,
katup aorta bikuspid, dan koarktasio aorta. Anak perempuan yang terkena gagal
membentuk tanda-tanda seks sekunder, genetalia tetap infertil, perkembangan
payudara minimal, dan rambut pubis tipis. Sebagian besar mengalami amenorea
primer, dan pemeriksaan morfologik memperlihatkan transformasi ovarium
menjadi jaringan putih stroma fibroid tanpa tetapi folikel. Status mental para
pasien ini biasanya normal, tetapi pernah dilaporkan kelaianan ringan pada
proses pengolahan informasi visual-spasial nonverbal. Yang menarik, pada
25% sampai 30% pasien ditemukan hipotiroidisme akibat autoantivodi,
terutama pada perempuan dengan isokromosom Xp. Pada pasien dewasa,
kombinasi tubuh pendek dan amenorea primer seyogianya menjadi tanda kuat
adanya sindrom turner. Diagnosis dipastikan dengan penentuan karioptipe.
Sekitar 43% pasien dengan sindrom turner bersifat mosaik ( salah satu
turunan sel memiliki genoitipe 45,X) atau memperlihatkan kelainan struktural
di kromosom X. Yang sering adalah delesi lengan pendek sehingga terbentuk
sebuah isokromosom lengan panjang, 46,X,i(x)(10). Efek akhir kelaianan
struktural terkait adalah terbentuknya monosomi parsial kromosm X.
Kombinasi delesi dan mosaikisme juga pernah dilaporkan. Kita perlu
menyadari adanya heterogenitas kariotipe pada sindrom turnear karena hal
tersebut merupakan penyebab perbedaan fenotipe yang signifikan. Berbeda
dengan pasien manosomi X, meareka yang bersifat mosaik atau mengidap
variasi delesi mungkin memiliki penampakan yang hampir normal dan hanya
bergejala amenorea primer.
Kita perlu mengingat kembali hipotesis Lyon dalam konteks sindrom turner.
Apabila diperlukan hanya satu kromosom X aktif untuk perkembangan normal
perempuan, pasien yang kehilangan secara parsial atau total satu kromosom X
tidak akan memperlihatkan stigmata sindrom turner. Berdasarkan inkosistensi
ini dan pengalaman lain, hipotesi Lyon kemudian dimodifikasi. Sekarang
diketahui inaktivitasi disemua sel sewaktu embriogenesis, kromosom tersebut
mengalami reaktivitasi secara selektif pada sel germinativum sebelum
pembelahan meiotik pertama. Selain itu, gen tertentu kromosom X tampaknya
tetap aktif di kedua kromosom X pada banyak sel somatik perempuan normal.
Oleh karena itu, untuk gametogenesis normal dan perkembangan perempauan,
diperlukan dua salinan dari sebagian gen yang terletak di kromosom X.
Sebagian gen ini yang terletak kromosom X. Sebagian gen ini telah mulai
teridentifikasi. Sebagai contoh, sebuah gen homeobox yang secara tepat diberi
nama short stature homeobox (SHOX), terletak di Xp 22.332, tampaknya
berperan dalam pertumbuhan vertikel. Ini adalah satu gen yang tetap aktif pada
dua salinan kromosom X.

b. Masalah pada Anak


Pendengaran dan Penglihatan Tuba Eustachius, yang menghubungkan
bagian belakang tenggorokan dengan telinga tengah berfungsi sebagai
drainase. Pada sebagian besar anak perempuan dengan Sindrom Turner tuba
ini tidak berfungsi optimal. Infeksi telinga tengah sering terjadi dan fungsi
pendengaran dapat terganggu. Saat anak perempuan tersebut memasuki usia
menjelang sekolah, infeksi telinga berulang dapat menjadi gangguan dan
beberapa anak membutuhkan Grommets. Grommets adalah sebuah tabung
kecil yang dimasukkan ke gendang telinga untuk membuang cairan dari telinga
tengah. Uji pendengaran harus dilakukan secara rutin untuk memeriksa
gangguan pendengaran. Mata perlu diperiksa untuk mengetahui ada/ tidaknya
rabun dekat, kerdipan dan ptosis (kelopak mata cenderung tertutup terus).
Adanya kerdipan dan ptosis di salah satu mata membutuhkan penanganan
dokter spesialis untuk memastikan perkembangan penglihatan normal pada
mata tersebut.
1) Pertumbuhan
Perawakan pendek merupakan gambaran klinis khas pada Sindrom
Turner. Anak perempuan dengan Sindrom Turner sering berperawakan
kecil saat lahir namun sebagian besar tumbuh normal hingga rentang usia
3-7 tahun. Di usia tersebut pertumbuhan melambat dan perbedaan dengan
teman sebaya mulai tampak jelas. Bila tidak diterapi tinggi rata-rata
perempuan dengan Sindrom Turner sekitar 147 cm, namun hal ini
tergantung pada tinggi kedua orangtuanya. Penderita dengan orangtua yang
tinggi, cenderung lebih tinggi daripada penderita dengan orangtua pendek.
Penyebab dari gangguan pertumbuhan ini disebabkan oleh beberapa faktor,
yaitu antara lain gangguan pertumbuhan saat kandungan, tidak adanya pacu
tumbuh saat pubertas pada anak yang tidak diterapi, serta kemungkinan
abnormalitas tulang. Anak dengan Sindrom Turner umumnya memiliki
kadar hormon pertumbuhan yang normal. “Perawakan pendek merupakan
gambaran klinis khas pada Sindrom Turner.” Pemberian hormon
pertumbuhan untuk meningkatkan pertumbuhan dan tinggi biasanya
diberikan di masa kanak-kanak. Tinggi akhir dapat ditingkatkan sampai
sekitar 5-7 cm dengan penggunaan hormon pertumbuhan. Hasil tinggi akhir
juga ditentukan oleh faktor lain, seperti tinggi orangtua dan usia dimulainya
terapi hormon pertumbuhan dan/ atau estrogen.
2) Perilaku
Beberapa orangtua menyadari kalau anak perempuan mereka sulit
memahami instruksi atau ‘seperti tidak mendengar’ sehingga pemeriksaan
pendengaran sangatlah penting. Jika memang tidak ada gangguan
pendengaran, cobalah untuk mengulangi instruksi dan perjelas. Instruksi
seringkali harus disusun dengan baik sehingga tugas dan hasil yang
diharapkan dapat dipahami anak.
3) Koordinasi
Beberapa anak perempuan dengan Sindrom Turner sulit mengikuti
aktivitas yang membutuhkan ketangkasan dan koordinasi seperti
menangkap bola. Dengan latihan dan kesabaran kemampuan di bidang ini
dapat ditingkatkan, seiring dengan bertambahnya usia anak.
4) Sekolah dan Perkembangan
Intelegensi anak penderita Sindrom Turner normal. Kemajuan di
sekolah umumnya baik dan malah pada sebagian anak sangat baik, meski
beberapa memiliki kesulitan belajar tertentu. Usia dapat membaca
seringkali lebih awal sedangkan usia dapat menulis kadang terlambat.
Gangguan dalam kemampuan spasial dialami pada beberapa anak, sehingga
mereka mengalami kesulitan dengan mata pelajaran matematika dan
geometri. Bila diduga ada gangguan dalam perkembangan anak perempuan
dengan Sindrom Turner sebaiknya hal tersebut didiskusikan dengan guru-
guru mereka di sekolah untuk mengetahui bantuan dan dukungan apa yang
dibutuhkan. (Wiyasa. 2013)

4. Makrosefali
Ada sebagian bayi yang karena kelainan memiliki lingkar kepala lebih besar
ketimbang bayi lainnya, dan disebut makrosefali. Makrosefali merupakan
kebalikan dari mikrosefali (lingkar kepala bayi kecil). Anak yang menderita
kelainan ini, memiliki ukuran lingkar kepala yang lebih besar dari rata-rata anak
normal seusianya. Kadang-kadang, tulang tengkorak bayi penderita makrosefali
mengalami penebalan dan sambungan antar tulang tengkoraknya, banyak
mengalami penebalan. Namun demikian, tidak semua anak dengan kelainan
makrosefali memiliki ukuran otak yang lebih besar dari normal. Tak jarang,
penderita makrosefali justru mempunyai ukuran otak yang kecil tetapi kepalanya
tampak lebih besar, karena di dalam kepalanya terdapat banyak cairan.
Makrosefali dengan ubun-ubun terbuka dapat disebabkan hidrosefalus atau
atrofi otak. Makrosefali disertai ubun-ubun menutup biasanya disebabkan atrofi
otak. Adanya hidrosefalus menandakan penumpukan cairan otak yang dapat
disebabkan oleh berbagai sebab, antara lain malformasi struktur otak (malformasi
Chiari, Dandy Walker, aqueduct stenosis), radang otak, tumor otak, atau kelainan
metabolisme bawaan.
Pemantauan lingkar kepala sebaiknya dilakukan bersama dengan ukuran
ubun-ubun besar. Lingkar kepala diukur dengan pita ukur yang tidak elastis,
melingkar dari bagian atas alis, melewati bagian atas telinga, sampai bagian paling
menonjol di belakang kepala. Kebanyakan pembesaran kepala disebabkan oleh
peninggian TIK, konsekuensinya makrosefali mungkin memerlukan tindakan.
Makrosefali diklasifikasikan berdasar etiologi kedalam :
1) Kelainan aliran CSS dan kelainan rongga CSS. Akumulasi CSS
abnormal akibat kelainan aliran CSS mungkin menimbulkan
peninggian TIK. Hidrosefalus adalah contoh khas kelainan aliran CSS.
Disgenesis parenkhim otak atau hilangnya parenkhim otak yang telah
berkembang sebelumnya bisa mengakibatkan terbentuknya rongga
CSS yang abnormal. Bila keadaan ini bersamaan dengan gangguan
sirkulasi CSS dan sebagai akibat pembesaran rongga tersebut, terjadi
makrosefali.
2) Lesi massa intrakranial. Sesuai lokasinya, lesi ini diklasifikasikan
sebagai ekstraserebral atau intraserebral. Pada yang pertama, lesi
ditemukan paling sering sebagai penimbunan cairan subdural, seperti
hematoma subdural, efusi subdural, higroma subdural dan hidroma
subdural, serta sista arakhnoid. Lesi massa intraserebral termasuk tumor
otak dan abses otak.
3) Penambahan volume otak. Penambahan volume parenkhim otak
disebut megalensefali. Lesi ini berbeda dari edema otak, dimana yang
bertambah adalah volume air otak. Megalensefali biasanya tidak
merupakan kandidat untuk operasi bedah saraf. Ada dua jenis:
megalensefali anatomi, disebabkan pertambahan ukuran dan jumlah
neuron, serta megalensefali metabolik, disebabkan akumulasi me-
tabolit abnormal sekitar neuron akibat kelainan otak intrinsik.
Kebanyakan megalensefali metabolik adalah dominan autosom dan
ditemukan pada akhondroplasia, neu- rofibromatosis, sklerosis
tuberosa, serta keadaan lain yang serupa. Biasanya normotensif dan
memperlihatkan perkembangan yang normal. Pada keadaan yang
jarang mungkin bersamaan dengan gigantisme, dwarfisme, pseudo-
hermafroditisme pria, dan hipoparatiroidisme-hipoadre- nokortisisme.
Megalensefali metabolik disebabkan oleh kelainan penimbunan seperti
gangliosidosis, mukopolisakharidosis, sulfatidosis, sindroma Hurler,
dan sindroma Hunter. Kebanyakan hipertensif dan memperlihatkan
perjalanan perkembangan yang retrogresif. Edema otak dapat
disebabkan oleh intoksikasi, kelainan endokrin, galaktosemia, dan
keadaan lainnya. Pseudotumor serebri, atau hipertensi intrakranial
jinak, terhindar dari edema otak dengan sebab yang tak diketahui.
Sistema ventrikel kolaps akibat peninggian volume air parenkhim otak.
Keadaan ini kadang-kadang memerlukan operasi dekompresi.
4) Penebalan abnormal tengkorak. Pada keadaan yang jarang, pembesaran
kepala mungkin disebabkan penebalan kranium akibat anemia,
displasia kranioskeletal dan sejenisnya. ( Tjandrajani. 2016).
5. Gagal tumbuh atau FTT

Gagal tumbuh atau failure to thrive (FTT) adalah suatu keadaan


terjadinya keterlambatan pertumbuhan fisik pada bayi dan anak, dimana
terjadi kegagalan penambahan berat badan yang sesuai dengan grafik
pertumbuhan normal, dibandingkan dengan tinggi badan. Gagal tumbuh
didefinisikan sebagai pertumbuhan yang berada di bawah kurva persentil 3
atau persentil 5 dan atau terjadinya perubahan pada kurva pertumbuhan yang
melewati dua kurva persentil mayor dalam dua waktu pengamatan. Seorang
anak dikatakan mengalami failure to thrive jika posisi BBnya di grafik
pertumbuhan mengalami penurunan lebih dari 2 persentil utama (3, 10, 25,
50, 75, 90, 97). Failure to thrive bukanlah suatu diagnosis tetapi merupakan
gejala dari pelbagai penyakit yang dikelompokkan sebagai gangguan asupan
makanan, gangguan absorbsi makan, serta penggunaan energi yang
berlebihan.

Gagal tumbuh awalnya ditandai dengan adanya penurunan berat badan


yang tidak diketahui dengan jelas penyebabnya atau kurangnya penambahan
berat badan pada bayi dan anak yang akan diikuti dengan pertambahan tinggi
badan yang tidak sesuai dengan umur. Gagal tumbuh dibagi berdasarkan
penyebab organik dan non organik. Penyebab organik mewakili 30% dari
semua gagal tumbuh, yang disebabkan proses penyakit mayor atau disfungsi
organ. Sedangkan gagal tumbuh yang non organik disebabkan oleh pengaruh
lingkungan, kurangnya asuhan fisik dan emosional sebesar 70%.

Adapun penyebab yang organik adalah gangguan nutrisi, gangguan


sistem saluran pencernaan, penyakit infeksi, penyakit kardiovaskular,
penyakit pernafasan, penyakit ginjal, gangguan endokrin, kelainan
kongenital, dan penyakit susunan saraf pusat.

Sebelum diagnosis gagal tumbuh ditegakkan, seorang dokter harus


mengetahui kecepatan tumbuh dan peningkatan berat badan yang normal.
Kecepatan pertumbuhan yang normal pada usia 0-6 bulan sebesar 32
cm/tahun, 6-12 bulan sebesar 16 cm/tahun, 1-2 tahun sebesar 10 cm/tahun, 3-
4 tahun sebesar 7-8 cm/tahun dan 5-10 tahun sebesar 5-7 cm/tahun. Bayi
cukup bulan pada awalnya akan kehilangan 5-10% berat badan waktu lahir,
tetapi akan meningkat kembali pada hari ke 7 sampai ke 10. Penambahan berat
mencapai dua kali berat lahir pada usia 4-5 bulan dan tiga kali berat lahir pada
usia 1 tahun. Selama 3 bulan pertama bayi harus mencapai penambahan berat
25-30 g/hari. Pada usia 3-6 bulan bayi harus mencapai penambahan berat
badan 20 g/hari dan pada 6 bulan sampai 1 tahun penambahan berat badan 12
g/hari.

Gagal tumbuh paling sering didiagnosis pada usia 1-2 tahun dimana
tidak ada peningkatan berat badan maupun panjang badan, yang bila kita
masukkan didalam kuva pertumbuhan tampak berada dibawah persentil 3
sehingga akhirnya dapat didiagnosis dengan perawakan pendek.

Perawakan pendek yang proporsional dengan rasio berat badan


terhadap tinggi badan yang meningkat dapat dicurigai adanya kelainan
endokrin. Hal ini disebabkan oleh adanya defisiensi growth hormon,
hipotiroid, hiperkortisolemia dan pseudohipoparatiroid. Sedangkan
perawakan pendek yang tidak proporsional dapat disebabkan oleh adanya
kelainan skeletal dan kelainan dismorfik. Kelainan skeletal yang dapat
menyebabkan terjadinya perawakan pendek adalah akondroplasia atau
hipokondroplasia, penyakit rickets dan spondilodisplasia. Perawakan pendek
yang disebabkan oleh kelainan dismorfik anatara lain adalah adanya kelainan
kromosom seperti trisomi 21, sindroma turner dan sindrom-sindrom lain
seperti Prader-Willi, Fetal alcohol, RusselSilver, Noonan dan yang lainnya.

Gangguan growth hormon yang terjadi pada anak-anak baik karena


kelainan growth hormon itu sendiri, kelainan pada reseptor GH-releasing
hormon dan kelainan pada reseptor growth hormon dapat memberikan gejala
klinis yang bervariasi baik ditandai dengan adanya perawakan pendek dengan
derajat yang bervariasi beratnya dan pertumbuhan yang lambat.

Anak-anak yang mengalami defisiensi growth hormon memiliki


proporsi tubuh yang pendek dan tampak lebih gemuk. Mereka memiliki
maturasi tulang yang terhambat.

Hormon tiroid sangat diperlukan untuk mencapai pertumbuhan yang


normal. Dengan adanya kekurangan hormon tiroid (hipotiroidism) maka laju
pertumbuhan berjalan sangat lambat, dan bila diberikan terapi pengganti
hormon tiroid maka laju pertumbuhan akan terkejar dengan cepat. Meskipun
diagnosis hipotiroidisme seringkali hanya berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang khas, serta pada pemeriksaan antropometri tinggi dan
berat badannya dibawah garis persentil 3.

Pada kasus terjadinya hormon glukokortikoid yang berlebihan seperti


pada sindroma cushing atau penyakit cushing, hampir selalu didapatkan
kegagalan pertumbuhan sebagai gambaran klinis. Demikian juga dengan
adanya hipokortisolisme pada adrenal hiperplasia kongenital menyebabkan
perlambatan laju pertumbuhan yang lebih awal yang akhirnya mengakibatkan
perawakan pendek.

Kelainan skeletal terdiri dari gangguan yang heterogen, yang


menyebabkan terjadinya perawakan pendek yang tidak proporsional.
Osteokondrodisplasia merujuk pada suatu kelainan pada pertumbuhan dan
perkembangan tulang atau kartilago. Terbagi atas (1) adanya defek pada
pertumbuhan tulang-tulang tubuler dan atau tulang belakang yang sering
disebut sebagai kondrodisplasia seperti akondroplasia (2) adanya
perkembangan yang tidak terorganisir dari kartilago dan komponen fibrosa
rangka tulang (3) adanya kelainan kepadatan atau struktur korteks diafisis dan
atau adanya modeling dari metafisis seperti osteogenesis imperfekta.

Anamnesis yang perlu ditekankan pada anak dengan gagal tumbuh


adalah mengenai berat dan panjang badan lahir, lingkar kepala, tinggi badan
orang tua untuk menilai tinggi potensial genetik anak, waktu pubertas pada
orang tua, data pertumbuhan sebelumnya dan status umum kesehatan anak
untuk menilai apakah terdapat penyakit kronis atau adanya gangguan gizi
sebagai penyebab dari gagal tumbuh. Pemeriksaan fisik yang perlu dilakukan
untuk menilai adanya suatu gagal tumbuh adalah pemeriksaan tinggi badan,
berat badan, lingkar kepala, proporsi tubuh, adanya tanda dismorfik, status
pubertas.

Bila ditemukan seorang anak perempuan dengan gangguan


pertumbuhan dalam hal ini perawakan pendek dengan adanya tanda-tanda
kelainan dismorfik seperti web neck, cubitus valgus, garis rambut yang
rendah, lengkung palatum yang tinggi, metakarpal keempat yang pendek dan
adanya nevi multipel maka kita pikirkaan bahwa ini adalah suatu syndrome
tunner.

Pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lain yang perlu


dilakukan untuk menegakan diagnosis gagal tumbuh adalah:

1. Darah perifer lengkap serta laju endap darah


2. Urin
3. fases
4. Serum elektrolit
Kadar bikarbonat yang rendah menunjukan suatu asidosis tubular
ginjal yang dapat menyebabkan gagal tumbuh
5. Tiroid stimulating hormon (TSH), tiroksin (T4)
Untuk menyingkirkan hipotiroidime dan untuk menyering adanya
suatu panhipotuitarisme sebagai penyebab dari perawakan pendek dan gagal
tumbuh.
6. Hormone gonadotropin (FSH, LH, sex steroid)
7. IGF-1 dan IGFBP-3, GH
IGF-1 dan protein pengikat IGFBP-3 tergantung padaa growth
hormone. Nilai yang rendah menunjukan adanya suatu defisiensi growth
hormon.
8. Pemeriksaan kariotip
Dilakukan pada anak perempuan dengan perawakan pendek yang tidak
dapat dijelaskan untuk menyingkirkan suatu sindroma turner
9. MRI kepala
10. Bone Age
Terapi ditunujkan pada penyebab dasar yang menyebabkan gagal
tumbuh. Bila anak didiagnosis dengan hipotiroidisme maka diperlukan terapi
pengganti hormone tiroid. Demikian pula bila anak didiagnosis kekurangan
growth hormone, maka diperlukan terapi pengganti hormon pertumbuhan.
Prognosis untuk mencapai pertumbuhan dewasa tergantung dari
penyebab gagal kumbuh itu sendiri. Intervensi dini sangat penting dilakukan
sebelum terjadinya penutupan epifisis yang mengakibatkan berakhirnya
proses pertumbuhan. (Wijayanti, 2016)
BAB III

TINJAUAN KASUS

A. Data subjektif
1. Identitas pasien
a. Anak

Nama : Anak “GG”

Umur : 12 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Anak Ke- :1

b. Orang Tua Ibu Ayah

Nama : Ny”R” Tn”R”

Umur : 25 tahun 27tahun

Agama : Kristen Kristen

Pekerjaan : IRT Swasta

Alamat : San Fransisco st, Brasil

Suku Bangsa : Eropa

Jaminan Kesehatan : Tidak Ada

2. Keluhan

Anak “GG’ mengeluh sakit dan nyeri pada kakinya serta nyeri pada punggung
karena bungkuk, sakit kepala hebat dan pusing, lemah serta merasa kesemutan pada
lengan dan kaki. Ibu merasa anaknya mengalami ketidaknormalan pertumbuhan
tinggi anaknya dibanding teman sebayanya.
3. Riwayat Prenatal

a. Riwayat ANC Ibu

Ibu memeriksakan kehamilan 5 kali di Klinik kesehatan dan 4 kali di Dokter


SpOG.

1) Imunisasi TT

TT5

2) Obat-obatan yang dikonsumsi ibu

SF, Vit C, Kalk, B6

3) Kebiasaan buruk yang berpengaruh terhadap kondisi kehamilan

Tidak ada

4) Penyakit/komplikasi yang dialami

Tidak ada

5) Tindakan Pengobatan atau perawatan untuk mengatasi penyulit


komplikasi

Tidak ada

b. Riwayat Intranatal

1) Masa gestasi saat dilahirkan

2) Kala I

Tidak ada penyulit dan komplikasi yang dialami

3) Kala II

a) Penyakit dan komplikasi yang dialami

Tidak ada

b) Penolong persalinan

Dokter
c) Cara bersalin

Spontan

d) Kondisi anak saat dilahirkan

Sehat, Gerak aktif dan tangis kuat

c. Riwayat Pascanatal

1) Rawat Gabung

Dilakukan

2) Antropometri baru lahir

BB : 3100 gram, PB : 53cm, LK : 34cm, LD : 35cm

d. Penyakit yang pernah atau sedang diderita anak termasuk komplikasi serta
tindakan orang tua terkait penyakit anak

Tidak ada

e. Riwayat Imunisasi

Imunisasi lengkap

f. Data bio-psiko-sosial-spiritual

1) Bernafas

Tidak ada kelainan

2) Nutrisi

a) Jenis Minuman : air mineral, susu, jus buah

b) Jenis Makanan : Nasi, Kentang, Roti, Daging, Pasta, Salad buah dan sayur

3) Eliminasi

a) Buang Air Besar

1 x sehari, konsistensi lembek warna kecoklatan, tidak ada keluhan


b) Buang Air Kecil

5 x sehari, warna kuning jernih, tidak ada keluhan

4) Istirahat

Tidur 10 jam per hari, tidak ada keluhan

5) Psikologi

Tidak ada kelainan

6) Sosial

a) Hubungan intern keluarga

Baik

b) Pengambilan keputusan dalam keluarga

Orang tua

c) Sibling

Tidak ada

d) Kebiasaan orang tua yang berpengaruh pada tumbuh kembang anak

Tidak ada

e) Kepercayaan yang berhubungan dengan pertumbuhan dan perkembangan


anak

Tidak ada

f) Jaminan kesehatan

Tidak ada

7) Pengetahuan Orang tua

a) Tanda anak sakit


Orang tua mengetahui jika anak demam, diare, mual muntah akan segera
membawa ke fasilitas kesehatan.

b) Asuhan dasar anak

Menjamin kesahatan anak dengan memenuhi kebutuhan nutrisi,


memberikan kasih sayang, pendidikan kepada anak

c) Tumbuh kembang anak

Orang tua mengetahui cara memeriksakan pertumbuhan dan perkembangan


ke fasilitas kesehatan, dan mengetahui cara mengukur pertumbuhan dapat
dengan menimbang berat badan dan mengukur tinggi badan

B. Data Objektif
1. Pemeriksaan Umum
a. Keadaan umum
Baik
b. Kesadaran
Compos Mentis
c. Tanda vital
Suhu 36,50C, RR 25x/menit, HR 78x/menit
d. Pengukuran Antropometri
1) Berat badan
190kg
2) Panjang badan
230cm
e. Pemeriksaan fisik

1) Kepala dan leher

a) Muka

Simetris, kulit wajah kasar


b) Rambut

Tidak kering, tidak ada kelainan

c) Ubun-ubun

Tidak ada kelainan

d) Kelainan kongenital pada kepala

Tidak ada kelainan

e) Mata

Simetris, sclera putih, konjungtiva merah muda, tidak ada kelainan

f) Hidung

Bentuk hidung melebar

g) Mulut

Mukosa bibir lembab, jarak gigi lebih lebar,

h) Telinga

Simetris, Tidak ada kelainan

i) Leher

Tidak ada pembengkakan kelenjar tiroid, kelenjar limfe dan pelebaranvena


jugularis

j) Dada dan aksila

Simetris, tidak ada kelainan

k) Abdomen

Terdapat gerakan peristaltic usus, tidak ada kelainan

l) Anogenetalia

Tidak ada kelainan


m) Ekstremitas atas

Jari dan ibu jari menebal, kuku jari merah muda

n) Ekstremitas bawah
Kaki simetris, kuku jari merah muda

o) Punggung

Tidak ada kelainan

C. Analisis

Anak”GG” usia 12 tahun dengan Gigantisme

D. Penatalaksanaan

1. Menginformasikan hasil pemeriksaan kepada orang tua, orang tua paham


akan kondisi anaknya.

2. Menyarankan pasien untuk mengurangi aktivitas dan meningkatkan istirahat


di tempat tidur, ibu paham

3. Menganjurkan ibu untuk memberikan kenyamanan pada anaknya seperti


sentuhan atau masase, ibu bersedia melakukannya

4. Menganjurkan pasien untuk memberikan perawatan pada kulit, ibu paham

5. Menganjurkaan ibu untuk memriksakan anaknya untuk tes Growth Hormon,


ibu bersedia melakukannya.

6. Melakukan kolaborasi dengan dokter untuk terapi selanjutnya, anak dirujuk


ke dokter spesialis anak.
BAB IV

PEMBAHASAN

Tinjauan kasus “GG” umur 12 tahun dengan suku bangsa Eropa yang
datang klinik bersama ibunya. Menurut WHO definisi anak adalah dihitung sejak
seseorang di dalam kandungan sampai dengan usia 19 tahun. Menurut Undang-
Undang Republik Indnesia nomor 23 tahun 2002 pasal 1 ayat 1 tentang
perlindungan anak, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk
juga yang masih di dalam kandungan. Usia “GG” 12 tahun menunjukkan bahwa
masih termasuk dalam kategori anak. Anak “GG” merupakan suku bangsa Eropa
dimana menurut Arifin (2015) terdapat faktor lingkungan yang mempengaruhi
pertumbuhan anak setelah lahir (faktor postnatal). Faktor postnatal secara umum
digolongkan menjadi empat, yaitu: lingkungan biologis meliputi ras/suku bangsa,
jenis kelamin, umur, gizi, perawatan kesehatan, kepekaan terhadap penyakit,
penyakit kronis, fungsi metabolisme, dan hormon. Hal ini ditandai dengan dengan
anak yang terlahir dari suatu ras tertentu, misalnya bangsa Eropa memiliki
kecenderungan lebih besar atau tinggi daripada bangsa Asia yang cenderung lebih
pendek dan kecil.
Berdasarkan keluhan anak “GG” keluhan sakit dan nyeri pada kakinya serta
nyeri pada punggung karena bungkuk, sakit kepala hebat dan pusing, lemah serta
merasakan kesemutan pada lengan dan kaki. Ibu merasa anaknya mengalami
ketidaknormalan pertumbuhan tinggi anaknya dibanding teman sebayanya.
Menurut Eugster (2018) bahwa salah satu gejala klinis yaitu kelemahan dan sensasi
kesemutan di lengan dan kaki akibat perbesaran jaringan dan saraf yang tertekan.
Data objektif yang didapat dari pemeriksaan anak “GG” didapat
ketidaknormalan pada antopometri dan pemeriksaan fisik yaitu Tinggi badan 230
cm, dan berat badan 190 kg. Pada pemeriksaan fisik didapatkan kulit wajah anak
“GG” kasar, betuk hidung melebar, jarak pada gigi melebar, serta jari tangan
menebal. Dari hasil pemeriksaan tersebut menurut Eugster (2018) bahwa gejala
klinis dari gangguan tumbuh kembang Gigantisme yaitu berperawakan tinggi lebih
dari 2 meter, dengan proporsi tubuh yang normal. Hal ini terjadi karena jaringan
lunak seperti otot cepat tumbuh, Hidung lebar, lidah membesar dan wajah kasar,
Mandibula tumbuh berlebihan, Gigi menjadi terpisah-pisah serta Jari dan ibu jari
tumbuh menebal.
Setelah melakukan pengkaijian data subjektif dan objektif maka didapatkan
analisis bahwa anak “GG” mengalami Gigantisme. Maka dari itu dilakukan
penatalaksanaan yaitu : menyarankan pasien untuk mengurangi aktivitas dan
meningkatkan istirahat di tempat tidur, ibu paham; menganjurkan ibu untuk
memberikan kenyamanan pada anaknya seperti sentuhan atau masase, ibu bersedia
melakukannya; menganjurkan pasien untuk memberikan perawatan pada kulit, ibu
paham; menganjurkaan ibu untuk memriksakan anaknya untuk tes Growth
Hormon, ibu bersedia melakukannya; melakukan kolaborasi dengan dokter untuk
terapi selanjutnya, anak dirujuk ke dokter spesialis anak.
Dalam kasus ini bidan tidak berwenang dalam melakukan penanganan pada
anak “GG” secara mandiri sehingga pentingnya kolaborasi dengan Dokter Spesialis
Anak. Hal ini berkaitan dengan fungsi bidan dalam kolaborasi.
BAB V

PENUTUP

A. Simpulan
Gangguan pertumbuhan adalah suatu kondisi perkembangan anak dari segi
tinggi badan, berat badan, kematangan organ seksual, serta sisi lainnya yang tidak
sesuai dengan anak seusianya. Pertumbuhan yang terlalu lambat atau justru terlalu
cepat umumnya menandakan adanya gangguan kelenjar atau penyakit lain. Pada
beberapa kasus, gangguan pertumbuhan dapat langsung terlihat segera
setelah anak lahir.Salah satu gejala utama dari kondisi ini adalah
pertumbuhan tinggi badan anak yang tidak mencapai 5cm pada tahun pertama
setelah ia memasuki usia tiga tahun. Gejala lain yang muncul dapat
menyerupai gejala penyakit lain, sehingga Anda perlu mengonsultasikannya
lebih jauh dengan dokter untuk mengetahuinya secara pasti. Dalam kasus ini
bidan tidak berwenang dalam melakukan penanganan pada anak “GG” secara
mandiri sehingga pentingnya kolaborasi dengan Dokter Spesialis Anak. Hal ini
berkaitan dengan fungsi bidan dalam kolaborasi.

B. Saran

a. Bagi mahasiswa:
Diharapkan makalah ini dapat menambah pengtahuan mahasiswa
dalam memberikan pelayanan kebidanan secara dini mengenai
kegawatdaruratan maternal dan neonatal sesuai dengan wewenang bidan
dan dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.

b. Bagi petugas kesehatan


Diharapkan dengan makalah ini dapat meningkatkan pelayanan
kesehatan khususnya dalam bidang kebidanan sehingga dapat
memaksimalkan kita untuk memberikan health education dalam
pencegahan dan penanganan kasus tentang Gangguan Pertumbuhan
terhadap anak.
DAFTAR PUSTAKA

Aditomo, Arif dan Fiftin Noviyanto. 2015. Visualisasi Tiga Dimensi Gangguan
Fisiologis Pada Tulang Manusia. Universitas Ahmad Dahlan

Depkes RI. 2014. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5.


Jakarta : Depkes RI

Eugster, Erica. 2018. Gigantisme. University School Of Medicine, Indianapoli,


Indiana.

Konzier, Erb, Berman & Synder. 2011. Buku Ajar Fundamental Keperawatan:
Konsep, Proses &Praktik. Jakarta: EGC

Saanin, saiful. 2014. “Kepala”. Diakses pada 6 Januari 2020 pukul 16.50 wita
(http://www.angelfire.com/nc/neurosurgery/Kepala.html). UNAND, Padang

Soetjiningsih. 2013. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta : EGC

Tjandrayani, Anna. 2016. Keluhan Utama Pada Keterlambatan Perkembangan Umur di


Klinik Khusus Tumbuh Kembang RSAB Harapan Kita. Universitas Indonesia.

Wijayanti Rahmadiani & Sri Sumarni. 2016. Pertumbuhan Anak Dari Ibu Yang Mendapat
Suplemen Multi-Mikronutrien Dan Anak Dari Ibu Yang Mendapat Suplemen Besi
Folat Selama Hamil. Universitas Airlangga

Wiyasa, Arsana IW. 2013. Sindroma Tunner. Universitas Brawijaya.

Anda mungkin juga menyukai