Anda di halaman 1dari 16

TUGAS MAKALAH

IMPLEMENTASI PROGRAM GIZI


“KEKURANGAN ENERGI PROTEIN (KEP) PADA BALITA”

OLEH :

NUR ZIANA
1909200413211004
PUTU RADA AYU NINGSIH
1909200413211012

DOSEN PENGAMPU
ANDI MUHRIFAN,SST.,M.Kes

PROGRAM STUDI S1 GIZI


FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN (FIIK)
INSTITUT TEKNOLOGI DAN KESEHATAN AVICENNA
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
hanya dengan rahmat-Nyalah kami akhirnya bisa menyelesaikan makalah yang
berjudul “Kekurangan Energi Protein pada Balita” ini dengan baik tepat pada
waktunya. Tidak lupa kami menyampaikan rasa terima kasih kepada dosen mata
kuliah yang telah memberikan banyak bimbingan serta masukan yang bermanfaat
dalam proses penyusunan makalah ini.
Meskipun kami sudah mengumpulkan banyak referensi untuk menunjang
penyusunan makalah ini, namun kami menyadari bahwa di dalam makalah yang
telah kami susun ini masih terdapat banyak kesalahan serta kekurangan. Sehingga
kami mengharapkan saran serta masukan dari para pembaca demi tersusunnya
makalah lain yang lebih lagi. Akhir kata, kami berharap agar Makalah ini bisa
memberikan banyak manfaat bagi pembaca.

Kendari, 17 Desember 2022

Penulis
DAFTAR ISI

SAMPUL
KATA PENGANTAR ..........................................................................................ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Balakang........................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah...................................................................................3
1.3. Tujuan......................................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN
2.1. Pengertian KEP pada Balita....................................................................4
2.2. Etiologi KEP pada Balita........................................................................5
2.3. Faktor-faktor penyebab KEP pada Balita...............................................8
....................................................................................................................................
BAB III PENUTUP
3.1. Kesimpulan..............................................................................................11
3.2. Saran........................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................12
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Masalah Kurang Energi Protein (KEP) sebagai salah satu masalah gizi
utama yang terjadi pada balita sangat berpengaruh pada proses tumbuh
kembang anak. Kurang gizi erat hubungannya dengan kemunduran
kecerdasan anak dan menyebabkan rendahnya perkembangan kognitif. Jika
kondisi KEP tersebut tidak diperbaiki sebelum usia tiga tahun (batita), maka
dikemudian hari akan terjadi penurunan kualitas fisik dan mental yang akan
menghambat prestasi belajar dan produktivitas kerja (Husaini, 2004).
Mahendra dan Saputra (2006) menyatakan perkembangan motorik
sangat dipengaruhi oleh gizi, status kesehatan, dan perlakuan gerak yang
sesuai dengan masa perkembangannya. Jadi secara anatomis, perkembangan
akan terjadi pada struktur tubuh individu yang berubah secara proporsional
seiring dengan bertambahnya usia seseorang. Status gizi yang kurang akan
menghambat laju perkembangan yang dialami individu, akibatnya proporsi
struktur tubuh menjadi tidak sesuai dengan usianya yang pada akhirnya
semua itu akan berimplikasi pada perkembangan aspek lain.
Periode penting dalam tumbuh kembang anak adalah masa balita. Hal
ini karena pada masa itu akan mempengaruhi dan menentukan perkembangan
anak selanjutnya. Perkembangan motorik anak yang terlambat, secara sosial
akan dipandang sebagai anak yang “terbelakang” dan dapat dikucilkan di
kelompok sosialnya. Selain itu, keterlambatan perkembangan motorik kasar
memungkinkan anak tumbuh menjadi manusia kerdil, karena komposisi serat
otot yang terlibat dalam pergerakan kontraksi tulang kurang berkembang.
Usia 3-18 bulan merupakan periode kritis dalam pertumbuhan dan
perkembangan anak karena pada periode tersebut anak sedang tumbuh dan
berkembang pesat, terutama perkembangan motorik kasarnya (Soetjiningsih,
2004).
Salah satu cermin dari perkembangan anak adalah perkembangan
motorik kasar atau motorik milestone. Perkembangan motorik milestone
berarti perkembangan pengendalian gerakan jasmaniah melalui kegiatan pusat
syaraf, urat syaraf, dan otot yang terkoordinasi. Perkembangan tersebut
berasal dari perkembangan refleksi dan kegiatan massa yang ada pada waktu
lahir. Sebelum perkembangan tersebut terjadi, anak akan tetap tidak berdaya.
Meskipun dalam aspek yang luas perkembangan motorik mengikuti pola yang
serupa untuk semua balita, dalam rincian pola tersebut terjadi perbedaan
individu. Hal ini mempengaruhi umur pada waktu perbedaan individu
tersebut mencapai tahap yang berbeda. Beberapa kondisi yang mempengaruhi
laju perkembangan motorik diantaranya sifat dasar genetika, kondisi pralahir,
kelahiran yang sukar, kesehatan dan status gizi di awal kehidupan pasca lahir,
rangsangan dorongan dan kesempatan dari lingkungan untuk pergerakan
semua bagian tubuh (Dwi Purnomosari, 2008).
Balita adalah anak usia dibawah lima tahun yang ditandai dengan
proses pertumbuhan dan perkembangan yang terjadi sangat pesat yaitu
pertumbuhan fisik dan perkembangan psikomotorik, mental dan sosial
(Merryana Adriani,2016). Pada masa ini tumbuh kembang sel-sel otak anak
begitu pesat sehingga membutuhkan asupan nutrisi dan stimulus yang
mendukung secara optimal. Balita sangat rentan terhadap kelainan gizi karena
pada saat ini mereka membutuhkan nutrisi yang optimal untuk pertumbuhan
dan perkembangannya. Selain itu juga balita sangat pasif terhadap asupan
makannya sehingga balita akan sangat bergantung pada orang tuanya
(Setyawati & Hartini,2018).
Gizi atau nutrisi merupakan suatu komponen yang paling penting
dalan menunjang keberlangsungan proses pertumbuhan dan perkembangan
dimana gizi merupakan elemen yang terdapat dalam makanan dan dapat
dimanfaatkan secara langsung oleh tubuh (Gizi et al., 2018). Salah satu
masalah gizi yang terjadi pada anak balita adalah gizi kurang. Gizi kurang
adalah gangguan kesehatan akibat kekurangan atau ketidakseimbangan zat
gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan, aktivitas berpikir, dan semua hal
yang berhubungan dengan kehidupan (Iskandar et al., 2013).
Menurut (WHO, 2012), jumlah penderita gizi kurang di dunia
mencapai 104 juta anak dan keadaan gizi kurang masih menjadi penyebab
sepertiga dari seluruh penyebab kematian anak di seluruh dunia. Asia Selatan
merupakan daerah yang memiliki prevalensi gizi kurang terbesar di dunia,
yaitu sebesar 46%, disusul sub Sahara Afrika 28%, Amerika Latin/Caribbean
7%, dan yang paling rendah terdapat di Eropa Tengah, Timur, dan
Commonwealth of Independent States (CEE/CIS) sebesar 5%. Menurut
(World Health Organization, 2016) sekitar 7,7% atau 52 juta anak di bawah 5
tahun secara global mengalami kejadian gizi kurang, persentasi anak di
bawah 5 tahun dengan status gizi kurang tertinggi terdapat di Southern Asia
sebesar 15,4%, di osceania sebesar 9,4%, di Asia Tenggara sebesar 8,9%, di
Afrika Barat Sebesar 8,5% dan persentasi anak di bawah 5 tahun dengan
status gizi kurang terendah terdapat di Amerika Utara sebesar 0,5%. Keadaan
gizi kurang pada anak balita juga dapat di jumpai di Negara berkembang,
salah satunya termasuk di Negara Indonesia (UNICEF Indonesia 2013).
Indonesia merupakan salah satu negara berkembang dengan
permasalahan gizi yang kompleks. Prevalensi gizi kurang balita di Indonesia
pada tahun 2013 terdapat balita dengan gizi kurang sebesar 19,6% , balita
dengan gizi buruk sebesar ,5,7% dan balita dengan gizi lebih sebesar 4,5%.
Jika dibandingkan dengan angka prevalensi nasional balita gizi kurang tahun
2007 sebesar (18,4 %) dan tahun 2010 sebesar (17,9 %), prevalensi gizi
kurang pada balita tahun 2013 terlihat meningkat (Kemenkes RI, 2013).
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar Indonesia (RISKESDAS) tahun
2018, prevalensi kejadian gizi kurang di Indonesia tahun 2018 sebesar 17,7%,
tetapi angka ini belum memenuhi target Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) 2019 yaitu 17,0% (Kemenkes RI, 2018). Hasil
Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 oleh Depkes RI menunjukkan bahwa
sekitar 18% anak usia balita di Indonesia berstatus gizi buruk, 37%
mengalami gizi kronis, dan 14% mengalami permasalahan gizi akut.
Sedangkan pada kelompok gizi kurang terdapat 53,6% memiliki
perkembangan normal dan 46,4% perkembangan yang terhambat. Hal ini
menunjukkan bahwa status gizi normal dan status gizi kurang memiliki
perbedaan perkembangan (motorik kasar, motorik halus, bahasa, dan
kepribadian). Penelitian lain yang dilakukan oleh (Schmidt, 2004)
membuktikan bahwa pemberian nutrisi penting untuk perkembangan anak.
Wanita hamil yang diberikan vitamin A dan zat besi setelah anaknya lahir
menunjukkan adanya perbedaan perkembangan motorik yang signifikan.
Artinya nutrisi sangat penting bagi perkembangan motorik kasar anak.
Berbagai usaha perlu dilakukan untuk mencegah timbulnya generasi
yang “retarded” atau terbelakang. Salah satu upaya yang bisa dilakukan
antara lain melalui pemberian makanan pada bayi dan anak dengan pola
konsumsi makanan yang tepat, sesuai dengan kebutuhan anak, dan dengan
menggunakan bahan makanan lokal yang mudah didapat. Selain itu stimulus
dari keluarga dan orang tua sangat penting untuk merangsang perkembangan
motorik anak (Dwi Purnomosari, 2008).

1.2 Rumusan Masalah


a. Apa yang dimaksud dengan KEP pada Balita?
b. Apa yang di maksud dengan Etiolgi KEP Pada Balita?
c. Apa yang di maksud dengan faktor-faktor penyebab KEP pada Balita?

1.2 Tujuan
a. Untuk mengetahui pengertian KEP pada Balita
b. Untuk mengetahui etiologi KEP pada Balita
c. Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab KEP pada Balita
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Kekurang Energi Protein (KEP)


KEP merupakan keadaan kurang gizi yang disebabkan oleh
rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari-hari sehingga
tidak memenuhi kecukupan yang dianjurkan (Adriani dan Wijatmadi, 2012).
Kurang Energi Protein (KEP). KEP (Kurang Energi Protein) juga merupakan
salah satu penyakit gangguan gizi yang penting di Indonesia maupun di
negara yang sedang berkembang lainnya. Prevalensi tertinggi terdapat pada
anak-anak balita, ibu yang sedang mengandung dan menyusui. Penderita KEP
memiliki berbagai macam keadaan patologis yang disebabkan oleh
kekurangan energi maupun protein dalam proporsi yang bermacam-macam.
Akibat kekurangan tersebut timbul keadaan KEP pada derajat yang ringan
sampai yang berat (Adriani dan Wijatmadi,2012).
Penyakit KEP diberi nama seara internasional yaitu Calory Protein
Malnutrition (CPM), kemudian diubah menjadi Protein Energy Malnutrition
(PEM). Penyakit ini mulai banyak diselidiki di Afrika, dan di benua tersebut
KEP dikenal dengan nama lokal kwashiorkhor yang berarti penyakit rambut
merah. Masyarakat di tempat tersebut menganggap kwashiorkhor sebagai
kondisi yang biasa terdapat pada anak kecil yang sudah mendapat adik
(Adrianidan Wijatmadi,2012).
Menurut Arisman (2004) Kurang Energi Protein (KEP) akan
terjadi disaat kebutuhan tubuh akan kalori, protein, atau keduanya tidak
tercukupi oleh diet. Kedua bentuk defisiensi ini tidak jarang berjalan
bersisian,meskipun salah satu lebih dominan daripada yang lain. Sedangkan
menurut Merryana Adriani dan Bambang Wijatmadi (2012) KEP merupakan
keadaan kurang gizi yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan
protein dalam makanan sehari-hari sehingga tidak memenuhi kecukupan yang
dianjurkan.
Menurut Kemenkes RI, klasifikasi KEP didasarkan pada indeks
berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), berat
badan menurut tinggi badan (BB/TB), dan indeks masa tubuh berdasarkan
umur(IMT/U). Kategori dan ambang batas status gizi anak adalah
sebagaimana Yang terdapat pada tabel dibawah ini:
Tabel 1. Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak
Berdasarkan Indeks
Ambang Batas (z-
Indeks Kategori Status Gizi
score)
Gizi Buruk <-3 SD
Berat Badan menurut
Gizi Kurang -3 SD s/d <- 2 SD
Umur(BB/U) Anak
Gizi Baik -2 SD s/d2 SD
Umur0–60 Bulan
Gizi Lebih > 2 SD
Panjang Badan Sangat pendek < -3 SD
menurut Umur (PB/U) Pendek -3 SD s/d < -2 SD
atau Tinggi Badan Normal -2 SD s/d 2 SD
menurut Umur (TB/U)
Anak Umur0–60 Tinggi > 2 SD
Bulan
BeratBadanmenurut Sangat kurus < -3 SD
PanjangBadan(BB/PB Kurus -3 SD s/d < -2 SD
) atau Berat Badan Normal 2 SD s/d 2 SD
menurut Tinggi Badan
(BB/TB) Anak Umur Gemuk > 2 SD
0–60 Bulan
Indeks Massa Tubuh Sangat kurus < -3 SD
menurut Umur Kurus -3 SD s/d < -2 SD
(IMT/U) Anak Umur Normal 2 SD s/d 2 SD
0–60 Bulan Gemuk >2 SD
Sumber: Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor:
1995/MENKES/SK/XII/2010 tentang Standar Antropometri Penilaian Status
Gizi Anak.

2.2 Etiologi Kekurang Energi Protein Pada Balita


Berdasarkan etiologi, KEP dibagi menjadi dua jenis, yaitu KEP
ringan dan KEP berat. Kejadian KEP ringan lebih banyak terjadi di
masyarakat, KEP ringan sering terjadi pada anak-anak pada masa
pertumbuhan. Gejala klinis yang muncul diantaranya adalah pertumbuhan
linier terganggu atau terhenti, kenaikan berat badan berkurang atau terhenti,
ukuran lingkar lengan atas (LILA) menurun, dan maturasi tulang terhambat.
Nilai z-skor indeks berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) juga
menunjukkan nilai yang normal atau menurun, tebal lipatan kulit normal atau
berkurang, dan biasanya disertai anemia ringan. Selain itu, aktivitas dan
konsentrasi berkurang serta kadang disertai dengan kelainan kulit dan rambut
(Par’i,2016).
Keadaan patologi dapat menujukkan perubahan nyata pada
komposisi tubuh seperti akan muncul edema karena penderita memiliki lebih
banyak cairan ekstraselular. Konsentrasi kalium tubuh menurun sehingga
menimbulkan gangguan metabolik tubuh. Kelainan yang ditunjukkan pada
organ tubuh penderita KEP diantaranya permukaan organ pencernaan
menjadi atrofis sehingga pencernaan makanan menjadi terganggu dan dapat
timbul gangguan absorbsi makanan dan sering mengalami diare. Pada
jaringan hati terdapat timbunan lemak sehingga hati terlihat membesar.
Pankreas tampak mengecil, akibatnya produksi enzim pankreas mengalami
gangguan. Pada ginjal terjadi atrofis sehingga terjadi perubahan fungsi ginjal
seperti berkurangnya filtrasi. Pada sistem endokrin, biasanya sekresi insulin
rendah.
Ada tiga tipe KEP, yaitu kwashiorkor, marasmus, dan marasmus-
kwashiorkhor. Tipe kwashiorkor terjadi akibat kekurangan protein, marasmus
akibat kekurangan energi, sedangkan marasmus-kwashiorkor merupakana
gabungan dari keduanya. KEP berat terdiri dari tiga tipe, yaitu kwashiorkor,
marasmus, danmarasmik-kwashiorkor.
a. Kwashiorkor (Kurang Protein)
Kwashiorkor adalah keadaan yang diakibatkan oleh kekurangan
makanan sumber protein. Tipe ini banyak dijumpai pada anak usia 1
sampai 3 tahun. Gejala utama kwashiorkor adalah pertumbuhan terhalang
dan badan bengkak, tangan, kaki, serta ajah tambak sembab dan ototnya
kendur. Wajah tampak bengong dan pandangan kosong, tidak aktif dan
sering menangis. Rambut menjadi berwarna lebih terang atau coklat
tembaga. Perut buncit, serta kaki kurus dan bengkok. Karena adanya
pembengkakan, maka tidak terjadi penurunan berat badan, tetapi
pertambahan tinggi terhambat. Lingkar kepala mengalami penurunan.
Serum albumin selalu rendah, bila turun sampai 2,5 ml atau lebih rendah,
mulai terjadi pembengkakan (Budiyanto,2002).
Gejala klinis kwashiorkor adalah penampilan anak seperti anak
gemuk (sugar baby), tetapi pada bagian tubuh lain terutama pantat terlihat
atrofi. Pertumbuhan tubuh mengalami gangguan yang ditunjukkan dengan
nilai zskor indeks BB/U berada di bawah -2 SD, pada tinggi badan anak
juga mengalami keterlambatan. Mental anak mengalami perubahan
mencakup banyak menangis dan pada stadium yang lanjut anak sangat
apatis. Penderita kwashiorkor diikuti dengan munculnya edema dan
terkadang menjadi asites. Selain itu juga terjadi atrofi otot sehingga
penderita terlihat lemah (Par’i,2016).
b. Marasmus (Kurang Energi)
Marasmus adalah gejala kelaparan yang hebat karena makanan
yang dikonsumsi tidak menyediakan energi yang cukup untuk
mempertahankan hidupnya sehingga badan menjadi sangat kecil dan
tinggal kulit pembalut tulang. Marasmus biasanya terjadi pada bayi berusia
setahun pertama. Hal ini terjadi apabila ibu tidak dapat menyusui karena
produksi ASI sangat rendah atau ibu memutuskan untuk tidak menyusui
bayinya. Tanda-tanda marasmus yaitu: (a) Berat badan sangat rendah, (b)
Kemunduran pertumbuhan otot (atrophi), (c) Wajah anak seperti orang tua
(old face), (d) Ukuran kepala tidak sebanding dengan ukuran tubuh, (e)
Cengeng dan apatis (kesadaran menurun), (f) Mudah terkena penyakit
infeksi, (g) Kulit kering dan berlipat-lipat karena tidak ada jaringan lemak
di bawah kulit, (h) Sering diare, (i) Rambut tipis dan mudahrontok
(Budiyanto,2002).
c. Marasmus-kwashiorkor
Marasmus-kwashiorkor disebabkan karena makanan sehari-hari
kekurangan energi dan juga protein. Berat badan anak sampai di bawah -3
tahun SD sehingga telihat kurus, tetapi ada gejala edema, kelainan rambut,
kulit mengering dan kusam, otot menjadi lemah, menurunnya kadar
protein (albumin)dalamdarah(Par’i,2016).

2.3 Faktor-faktor penyebab Kekurang Energi Protein (KEP) Pada Balita


Penyebab langsung dari KEP adalah defisiensi kalori maupun protein,
yang berarti kurangnya konsumsi makanan yang mengandung kalori maupun
protein, hambatan utilisasi zat gizi. Adanya penyakit infeksi dan investasi
cacing dapat memberikan hambatan absorpsi dan hambatan utilisasi zat-zat
gizi yang menjadi dasar timbulnya KEP. penyebab KEP yaitu penyebab
langsung dan penyebab tidak langsung. Adapun contoh penyebab langsung
KEP dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Penyakit infeksi
Penyakit infeksi yang dapat menyebabkan KEP yaitu cacar air,
batuk rejang, TBC, malaria, diare, dan cacing, misalnya cacing Ascaris
lumbricoides dapat memberikan hambatan absorbsi dan hambatan utilisasi
zat-zat gizi yang dapat menurunkan daya tahan tubuh yang semakin lama
dan tidak diperhatikan akan merupakan dasar timbulnya KEP.
b. Konsumsi makanan
KEP sering dijumpaipada anak usia6 bulan hingga 5 tahun dimana
pada usia tersebut tubuh memerlukan zat gizi yang sangat tinggi, sehingga
apabila kebutuhan zat gizi tidak terpenuhi maka tubuh akan menggunakan
cadangan zat gizi yang ada di dalam tubuh, yang berakibat semakin lama
cadangan semakin habis dan akan menyebabkan terjadinya kekurangan
yang menimbulkan perubahan pada gejala klinis.
c. Kebutuhan energi
Kebutuhan energi tiap anak berbeda-beda. Hal ini ditentukan oleh
metabolisme basal tubuh, umur, aktivitas, fisik, suhu, lingkungan serta
kesehatannya. Energi yang dibutuhan seseorang tergantung pada beberapa
faktor, yaitu jenis kelamin,umur,aktivitasfisik,dan kondisi psikologis.
d. Kebutuhan protein
Protein merupakan zat gizi penting karena erat hubungannya
dengan kehidupan.
e. Tingkat pendidikan dan pengetahuan ibu
Pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor yang penting
dalam tumbuh dan kembang anak, karena dengan pendidikan yang baik
maka orang tua dapat menerima segala informasi dari luar terutama
tentang cara pengasuhan anak yang baik. Seorang ibu dengan pendidikan
yang tinggi akan dapat merencanakan menu makan yang sehat dan bergizi
bagi dirinya dan keluarganya. Pengetahuan ibu tentang cara
memperlakukan bahan pangan dalam pengolahan dengan tujuan
membersihkan kotoran, tetapi sering kali dilakukan berlebihan sehingga
merusak dan mengurangi zat gizi yang dikandungnya.
f. Tingkat pendapatan dan pekerjaan orang tua
Pendapatan keluarga yang memadai akan menunjang tumbuh
kembang anak, karena orangtua dapat menyediakan semua kebutuhan anak
baik yang primer seperti makanan maupun yang sekunder. Tingkat
pendapatan juga ikut menentukan jenis pangan apa yang akan dibeli.
Keluarga yang pendapatannya rendah membelanjakan sebagian besar
untuk serealia, sedangkan keluarga dengan pendapatan yang tinggi
cenderung membelanjakan sebagian besar untuk hasil olah susu. Jadi,
penghasilan merupakan faktor penting bagi kuantitas dan kualitas
makanan. Antara penghasilan dan gizi jelas ada hubungan yang
menguntungkan. Pengaruh peningkatan penghasilan terhadap perbaikan
kesehatan dan kondisi keluarga lain yang mengadakan interaksi dengan
status gizi yang berlaku hampir universal.
g. Besar anggota keluarga
Jumlah anak yang banyak pada keluarga yang keadaan sosial
ekonominya cukup akan mengakibatkan berkurangnya perhatiandan
kasihsayang yang diterima anak, lebih-lebih kalau jarak anak terlalu dekat.
Adapun pada keluarga dengan keadaan sosial ekonomi yang kurang,
jumlah anak yang banyak akan mengakibatkan kurangnya kasih saying
dan perhatian pada anak juga kebutuhan primer seperti makanan, sandang,
papan tidak terpenuhi.
Penyebab langsung dari KEP adalah defisiensi kalori maupun
protein, yang berarti kurangnya konsumsi makanan yang mengandung
kalori maupun protein, hambatan utilisasi zat gizi. Adanya penyakit infeksi
dan investasi cacing dapat memberikan hambatan absorpsi dan hambatan
utilisasi zat-zat gizi yang menjadi dasar timbulnya KEP
(AdrianidanWijatmadi,2012).
Penyebab tidak langsung dari KEP ada beberapa hal yang dominan,
antara lain pendapatan yang rendah sehingga daya beli terhadap makanan
terutama makanan berprotein rendah. Penyebab tidak langsung dari KEP
ada beberapa hal yang dominan, antara lain pendapatan yang rendah
sehingga daya beli terhadap makanan terutama makanan berprotein
rendah. Penyebab tidak langsung yang lain adalah ekonomi negara, jika
ekonomi negara mengalami krisis moneter akan menyebabkan kenaikan
harga barang, termasuk bahan makanan sumber energy dan protein seperti
beras, ayam, daging, dan telur. Penyebab lain yang berpengaruh terhadap
defisiensi konsumsi makanan berenergi dan berprotein adalah rendahnya
pendidikan umum dan pendidikan gizi sehingga kurang adanya
pemahaman peranan zat gizi bagi manusia. Atau mungkin dengan adanya
produksi pangan yang tidak mencukupi kebutuhan, jumlah anak yang
terlalu banyak, kondisi higiene yang kurang baik, sistem perdagangan dan
distribusi yang tidak lancer serta tidak merata (Adrianidan
Wijatmadi,2012).
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
KEP (Kurang Energi Protein) juga merupakan salah satu penyakit
gangguan gizi yang penting di Indonesia maupun di negara yang sedang
berkembang lainnya. Prevalensi tertinggi terdapat pada anak-anak balita, ibu
yang sedang mengandung dan menyusui. Berdasarkan etiologi, KEP dibagi
menjadi tiga tipe KEP, yaitu kwashiorkor, marasmus, dan marasmus-
kwashiorkhor, untuk faktor penyebab KEP yaitu terdiri dari penyebab
langsung dan penyebab tidak langsung, penyebab langsung dari KEP adalah
defisiensi kalori maupun protein, yang berarti kurangnya konsumsi makanan
yang mengandung kalori maupun protein. Adapun contoh penyebab langsung
KEP yaitu penyakit infeksi, konsumsi makanan, kebutuhan energy,
kebutuhan protein, tingkat pendidikan dan pengetahuan ibu, tingkat
pendapatan dan pekerjaan orang tua, besar anggota keluarga. Sedangkan
Penyebab tidak langsung yaitu ekonomi negara, jika ekonomi negara
mengalami krisis moneter akan menyebabkan kenaikan harga barang,
termasuk bahan makanan sumber energy dan protein seperti beras, ayam,
daging, dan telur.
3.2 Saran
Pentingnya mengetahui kekurangan energy protein agar dapat
melakukan pencegahan sedini mungkin sehingga dapat menurunkan
prevalensi gizi kurang dan gizi buruk serta dapat melakukan pencegahan
dengan memutus faktor penyebab langsung atau tidak langsung melalui upaya
penyuluhan kesehatan mengenai konsumsi gizi seimbang serta pencegahan
penyakit infeksi. Upaya penanggulangan KEP diprioritaskan pa kelompok
balita karena merupakan kelompok yang paling rentan terhadap kekurangan
gizi.
DAFTAR PUSTAKA

Akhmadi. Hubungan antara pola asuh keluarga dan kejadian kurang energi protein
anak balita.yogyakarta: UGM;2004.
Paryanto E. Gizi Dalam Masa Tumbuh Kembang. Jakarta: Buku Kedokteran
ECG; 1997.
Dinkes. Gizi Buruk , Kwasiorkor atau Marasmus Kwasiorkor.2008
Bosnak, M. et al. 2010. Oxidative Stress in Marasmic Children: Relationship with
Leptin. Journal of General Medicine, 1 (7).
Ghone, R. A. et al. 2013. A Study of Oxidative Stress Biomarkers and Effect of
Oral Antioxidant Supplementation in Severe Acut Malnutrition. Journal
of Clinical and Diagnostic Research, 7 (10).
Jain, A. et al. 2008. Serum Zinc and Malondialdehyde Concentrations and Their
Relation to Total Antioxidant Capacity in Protein Energy Malnutrition.
Journal Nutrition Science Vitaminol, 54.
Khare, M. et al. 2014. Free Radicals and Antioxidant Status in Protein Energy
Malnutrition. Journal of Pediatrics.
Shrivastava, K., Gaur, A., dan Ambey R. 2018. Oxidative Stress in Children with
Severe Acute Malnutrition between 6 months to 5 years of age.
International Journal of Contemporary Pediatrics, 4 (5).
Kristiono, A. 2002. Karakteristik Balita KEP yang Di Rawat Inap Di RSU Dr.
Pringadi Medan. Cermin Dunia Kedokteran, 5.

Anda mungkin juga menyukai