Anda di halaman 1dari 18

PROPOSAL PROGRAM PROMKES BAYI/BALITA

STUNTING

DI SUSUN OLEH

MONALISA

154010017

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

STIKes PAYUNG NEGERI

PEKANBARU

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat, karunia, serta
taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan proposal yang berjudul “stunting” ini dengan
baik meskipun banyak kekurangan didalamnya. Dan juga penulis berterima kasih pada selaku
Dosen mata kuliah Program Promkes di Stikes Payung Negeri yang telah memberikan tugas ini
kepada penulis.
Penulis sangat berharap proposal ini dapat berguna sebagai sumber informasi. Penulis
juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam proposal ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata
sempurna. Oleh sebab itu, penulis berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan
makalah yang telah penulis buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang
sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga proposal ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sebelumnya
penulis mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan penulis
memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.

Pekanbaru, 20 januari 2019

Penulis
DAFTAR PUSTAKA

KATA PENGANTAR.......................................................................................................i

DAFTAR ISI......................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang ..........................................................................................................1

B. Tujuan.......................................................................................................................2
C. Manfaat.....................................................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN
A. Definisi stunting........................................................................................................4
B. Ciri-ciri......................................................................................................................5
C. Penyebab...................................................................................................................6
D. Cara mencegah stunting............................................................................................8
BAB III SAP
A. Waktu Pelaksanaan...................................................................................................9
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan...............................................................................................................10
B. SARAN.....................................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Stunting menggambarkan status gizi kurang yang bersifat kronik pada masa pertumbuhan
dan perkembangan sejak awal kehidupan. Keadaan ini dipresentasikan dengan nilai z-score
tinggi badan menurut umur (TB/U) kurang dari -2 standar deviasi (SD) berdasarkan standar
pertumbuhan menurut WHO (WHO, 2010). Masalah anak pendek (stunting) merupakan salah
satu permasalahan gizi yang dihadapi di dunia, khususnya di negara-negara miskin dan
berkembang (Unicef, 2013).

Status gizi ibu hamil sangat memengaruhi keadaan kesehatan dan perkembangan janin.
Gangguan pertumbuhan dalam kandungan dapat menyebabkan berat lahir rendah (WHO,
2014). Selain itu masyarakat belum menyadari anak pendek merupakan suatu masalah, karena
anak pendek di masyarakat terlihat sebagai anak-anak dengan aktivitas yang normal, tidak
seperti anak kurus yang harus segera ditanggulangi. Demikian pula halnya gizi ibu waktu
hamil, masyarakat belum menyadari pentingnya gizi selama kehamilan berkontribusi terhadap
keadaan gizi bayi yang akan dilahirkannya kelak (Unicef Indonesia, 2013).

Menurut UNICEF, tahun 2011 ada 165 juta (26%) balita dengan stunting di seluruh dunia.
Indonesia termasuk dalam 5 negara dengan angka balita stunting tertinggi yaitu ada 7,5 juta
balita (UNICEF, 2013). Menurut Kemenkes (2016), dibandingkan beberapa negara tetangga,
prevalensi balita pendek di Indonesia juga tertinggi dibandingkan Myanmar (35%), Vietnam
(23%), Malaysia (17%), Thailand (16%) dan Singapura (4%). Hasil Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) tahun 2013, prevalensi pendek secara nasional adalah (37,2%), yang berarti
terjadi peningkatan dibandingkan tahun 2010 (35,6%) dan 2007 (36,8%) (Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan, 2013). Persentase tertinggi pada tahun 2013 adalah di Provinsi
Nusa Tenggara Timur (51,7%), sedangkan terendah adalah Provinsi Kepulauan Riau (26,3%),
DIYogyakarta (27,2%) dan DKI Jakarta (27,5%) (Kementrian Kesehatan RI, 2016).
Berdasarkan hasil Riskesdas Provinsi Riau tahun 2013 oleh Kementerian Kesehatan RI,
prevalensi status gizi balita TB/U menunjukkan bahwa anak pendek (sangat pendek dan
pendek) di Riau sebesar (34,1%). Prevalensi anak pendek tertinggi ditemukan di kabupaten
Rokan Hulu yaitu sebesar (59,0%) dan terendah di kota Dumai sebesar (34,1%), sedangkan di
kota Pekanbaru sebesar (34,7%).

Penelitian di Nepal menunjukkan bahwa bayi dengan berat lahir rendah mempunyai risiko
yang lebih tinggi untuk menjadi stunting (Paudel, et al., 2012). Panjang lahir bayi juga
berhubungan dengan kejadian stunting. Penelitian di Kendal menunjukkan bahwa bayi dengan
panjang lahir yang pendek berisiko tinggi terhadap kejadian stunting pada balita (Meilyasari
dan Isnawati, 2014). Faktor lain yang berhubungan dengan stunting adalah asupan ASI
Eksklusif pada balita. Penelitian di Ethiopia Selatan membuktikan bahwa balita yang tidak
mendapatkan ASI eksklusif selama 6 bulan berisiko tinggi mengalami stunting (Fikadu, et al.,
2014).

Status sosial ekonomi keluarga seperti pendapatan keluarga, pendidikan orang tua,
pengetahuan ibu tentang gizi, dan jumlah anggota keluarga secara tidak langsung dapat
berhubungan dengan kejadian stunting. Hasil Riskesdas (2013) menunjukkan bahwa kejadian
stunting balita banyak dipengaruhi oleh pendapatan dan pendidikan orang tua yang rendah.
Keluarga dengan pendapatan yang tinggi akan lebih mudah memperoleh akses pendidikan dan
kesehatan sehingga status gizi anak dapat lebih baik (Bishwakarma, 2011). Penelitian di
Semarang menyatakan bahwa jumlah anggota keluarga merupakan faktor risiko terjadinya
stunting pada balita usia 24-36 bulan (Nasikhah dan Margawati, 2012).

B. Tujuan
Adapun tujuan dari Program Promosi Kesehatan ini adalah :
1. Untuk mengetahui Definisi dari Stunting
2. Untuk mengetahui ciri-ciri dari Stunting
3. Untuk mengetahui Penyebab dari Stunting
4. Untuk mengetahui Cara Mencegah Stunting
C. Manfaat
Adapun tujuan dari Program Promosi Kesehatan ini adalah :
1. Dapat mengetahui Definisi dari Stunting
2. Dapat mengetahui ciri-ciri dari Stunting
3. Dapat mengetahui Penyebab dari Stunting
4. Dapat mengetahui Cara Mencegah Stunting
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Stanting
Stunting adalah masalah gizi kronis yang disebabkan oleh asupan gizi yang kurang dalam
waktu lama, umumnya karena asupan makan yang tidak sesuai kebutuhan gizi. Stunting
terjadi mulai dari dalam kandungan dan baru terlihat saat anak berusia dua tahun. Menurut
UNICEF, stunting didefinisikan sebagai persentase anak-anak usia 0 sampai 59 bulan, dengan
tinggi di bawah minus (stunting sedang dan berat) dan minus tiga (stunting kronis) diukur dari
standar pertumbuhan anak keluaran WHO. Selain pertumbuhan terhambat, stunting juga
dikaitkan dengan perkembangan otak yang tidak maksimal, yang menyebabkan kemampuan
mental dan belajar yang kurang, serta prestasi sekolah yang buruk. Stunting dan kondisi lain
terkait kurang gizi, juga dianggap sebagai salah satu faktor risiko diabetes, hipertensi, obesitas
dan kematian akibat infeksi (Mustafa, 2015).

Stunting merupakan bentuk kegagalan pertumbuhan (growth faltering) akibat akumulasi


ketidak cukupan nutrisi yang berlangsung lama mulai dari kehamilan sampai usia 24 bulan.
Keadaan ini diperparah dengan tidak terimbanginya kejar tumbuh (catch up growth) yang
memadai. Indikator yang digunakan untuk mengidentifikasi balita stunting adalah
berdasarkan indeks Tinggi badan menurut umur (TB/U) menurut standar WHO child growth
standart dengan kriteria stunting jika nilai z score TB/U < -2 Standard Deviasi (SD). Periode
024 bulan merupakan periode yang menentukan kualitas kehidupan sehingga disebut dengan
periode emas. Periode ini merupakan periode yang sensitif karena akibat yang ditimbulkan
terhadap bayi pada masa ini akan bersifat permanen dan tidak dapat dikoreksi. Untuk itu
diperlukan pemenuhan gizi yang adekuat pada usia ini (Ketut Aryastami, 2017).

Stunting merupakan masalah gizi kronis yang disebabkan oleh multi-faktorial dan bersifat
antar generasi. Di Indonesia masyarakat sering menganggap tumbuh pendek sebagai faktor
keturunan. Persepsi yang salah di masyarakat membuat masalah ini tidak mudah diturunkan
dan membutuhkan upaya besar dari pemerintah dan berbagai sektor terkait. Hasil studi
membuktikan bahwa pengaruh faktor keturunan hanya berkontribusi sebesar 15%, sementara
unsur terbesar adalah terkait masalah asupan zat gizi, hormon pertumbuhan dan terjadinya
penyakit infeksi berulang. Variabel lain dalam pertumbuhan stunting yang belum banyak
disebut adalah pengaruh paparan asap rokok maupun polusi asap juga berpengaruh terhadap
pertumbuhan stunting (Mustafa, 2015).

Stunting atau anak bertubuh pendek terjadi karena kurang gizi kronis sejak dalam kandungan.
Kondisi ini bukan hanya mengurangi tingkat kecerdasan anak, tetapi juga saat dewasa anak
beresiko besar terkena penyakit tidak menular seperti jantung atau diabetes. Menurut Dr
Damayanti R. Sjarif, Sp.A(K), dibutuhkan tata laksana gizi yang benar di masyarakat untuk
memperbaiki kondisi stunting. Stunting adalah perawakan pendek yang disebabkan asupan
nutrisi kurang atau kondisi kesehatan kurang baik. Ini persoalan anak gagal tumbuh seperti
seharusnya karena kekurangan gizi. Untuk memastikan apakah seorang anak memang
stunting atau pendek karena faktor genetik, harus dilakukan pemeriksaan berat badan dan
tinggi badan oleh dokter (Ketut Aryastami, 2017).

Menurut Damayanti, persoalan anak stunting bukan cuma ditemukan pada keluarga tidak
mampu, tapi juga anak yang orangtuanya berkecukupan. Rendahnya pengetahuan soal
memilih sumber pangan yang baik dan cara pengolahannya, seringkali membuat anak kurang
gizi. Sejak lahir, bayi harus mendapat ASI yang cukup. Setelah bayi mendapat makanan
pendamping ASI di usia 6 bulan, penuhi kebutuhan protein hewani karena mengandung asam
amino esensial. Asam amino esensial lengkap hanya terdapat pada protein hewani. Protein
nabati seperti kacang kedelai juga memang mengandung asam amino esensial, tapi tidak
lengkap. Menu MPASI bayi seharusnya bukan tepung karbohidrat atau puree sayuran.
Bukannya tidak boleh, tapi jika hanya diberi puree bayi kekurangan asam amino dari protein
hewani. Pentingnya protein hewani dalam tumbuh kembang anak sudah dibuktikan dalam
berbagai penelitian. Misalnya pada penelitian yang dilakukan di Papua New Guinea. Di sana,
makanan utama berupa umbi-umbian. Ketika asupan makanan mereka ditambah margarin
atau sumber lemak lain, tinggi badan tidak bertambah. Ketika asupan karbohidrat yang
ditambah, tinggi naik sedikit tapi kadar lemak ikut naik (Rosha, 2013).
Stunting yang terjadi pada usia dini dapat berlanjut dan berisiko untuk tumbuh pendek pada
usia remaja. Anak yang tumbuh pendek pada usia dini (0-2 tahun) dan tetap pendek pada usia
4-6 tahun memiliki risiko 27 kali untuk tetap pendek sebelum memasuki usia pubertas
sebaliknya anak yang tumbuh normal pada usia dini dapat mengalami growth faltering pada
usia 4-6 tahun memiliki risiko 14 kali tumbuh pendek pada usia pra-pubertas. Oleh karena itu,
intervensi untuk mencegah pertumbuhan stunting masih tetap dibutuhkan bahkan setelah
melampaui 1000 HPK (Ketut Aryastami, 2017).

Fenomena tersebut diatas menarik untuk dikaji mengingat masalah stunting memiliki dampak
yang cukup serius; antara lain, jangka pendek terkait dengan morbiditas dan mortalitas pada
bayi/Balita, jangka menengah terkait dengan intelektualitas dan kemampuan kognitif yang
rendah, dan jangka panjang terkait dengan kualitas sumber daya manusia dan masalah
penyakit degeneratif di usia dewasa (Mustafa, 2015).

B. Ciri-ciri Stanting
Anak yang ketika lahir BBLR, pertumbuhan dan perkembangannya lebih lambat
dibandingkan anak yang ketika lahir memiliki berat badan normal. Keadaan ini lebih buruk
lagi jika bayi BBLR kurang mendapat asupan energy dan zat gizi, pola asuh yang kurang
baik dan sering menderita penyakit infeksi sehingga pada akhirnya bayi BBLR cenderung
mempunyai status gizi kurang atau buruk. Seperti disebutkan di atas anak yang terlahir BBLR
cenderung memiliki status gizi kurang, salah satunya adalah status gizi pendek atau stunting.
Berdasarkan data masing-masing sebesar 36,8 persen dan 35,6 persen. Walaupun terjadi
penurunan angka kejadian gizi pendek (stunting) sebesar 1,2 persen tetapi tetap saja
prevalensi gizi pendek (stunting) masih tinggi yang artinya permasalahan anak gizi
pendek masih besar di Indonesia dan memerlukan perhatian dari berbagai fihak untuk
menanggulanginya. Berdasarkan hal tersebut penulis tertarik menganalisis determinan status
gizi pendek (stunting) anak balita dengan riwayat BBLR di Indonesia, tahun 2007-2010. Hal
ini dilakukan karena informasi mengenai determinan kejadian gizi pendek (stunting) pada
anak dengan riwayat BBLR masih kurang dan kemungkinan dalam kurun waktu tiga tahun
(2007-2010) ada perubahan determinan status gizi pendek pada balita dengan riwayat BBLR
di Indonesia (Kementrian Desa, 2017).
C. Penyebab Stanting

Penyebab tidak langsung diantaranya pengetahuan ibu, ketersediaan pangan, pola asuh,
pelayanan kesehatan, dan lainnya. Faktor tidak langsung ini saling berkaitan dan
bersumber pada akar masalah yaitu pendidikan, dan ekonomi keluarga. Stunting
disebabkan oleh faktor multi dimensi dan tidak hanya disebabkan oleh factor gizi buruk
yang dialami oleh ibu hamil maupun anak balita. Intervensi yang paling menentukan
untuk dapat mengurangi pervalensi stunting oleh karenanya perlu dilakukan pada 1.000
Hari Pertama Kehidupan (HPK) dari anak balita. Beberapa faktor yang menjadi penyebab
stunting dapat digambarkan sebagai berikut: (Aini, 2018)
1. Praktek pengasuhan yang kurang baik, termasuk kurangnya pengetahuan ibu mengenai
kesehatan dan gizi sebelum dan pada masa kehamilan, serta setelah ibu melahirkan.
Beberapa fakta dan informasi yang ada menunjukkan bahwa 60% dari anak usia 0-6
bulan tidak mendapatkan Air Susu Ibu (ASI) secara ekslusif, dan 2 dari 3 anak usia 0-
24 bulan tidak menerima Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI). MP-ASI
diberikan/mulai diperkenalkan ketika balita berusia diatas 6 bulan. Selain berfungsi
untuk mengenalkan jenis makanan baru pada bayi, MPASI juga dapat mencukupi
kebutuhan nutrisi tubuh bayi yang tidak lagi dapat disokong oleh ASI, serta
membentuk daya tahan tubuh dan perkembangan sistem imunologis anak terhadap
makanan maupun minuman.
2. Masih terbatasnya layanan kesehatan termasuk layanan ANC-Ante Natal Care
(pelayanan kesehatan untuk ibu selama masa kehamilan), Post Natal Care dan
pembelajaran dini yang berkualitas. Informasi yang dikumpulkan dari publikasi
Kemenkes dan Bank Dunia menyatakan bahwa tingkat kehadiran anak di Posyandu
semakin menurun dari 79% di 2007 menjadi 64% di 2013 dan anak belum mendapat
akses yang memadai ke layanan imunisasi. Fakta lain adalah 2 dari 3 ibu hamil belum
mengkonsumsi sumplemen zat besi yang memadai serta masih terbatasnya akses
kelayanan pembelajaran dini yang berkualitas (baru 1 dari 3 anak usia 3-6 tahun belum
terdaftar di layanan PAUD/Pendidikan Anak Usia Dini).
3. Masih kurangnya akses rumah tangga / keluarga ke makanan bergizi. Penyebabnya
karena harga makanan bergizi di Indonesia masih tergolong mahal.
4. Kurangnya akses ke air bersih dan sanitasi. Data yang diperoleh di lapangan
menunjukkan bahwa 1 dari 5 rumah tangga di Indonesia masih buang air besar (BAB)
diruang terbuka, serta 1 dari 3 rumah tangga belum memiliki akses ke air minum
bersih.

Perkembangan stunting adalah proses yang lambat, kumulatif dan tidak berarti bahwa
asupan makanan saat ini tidak memadai. Kegagalan pertumbuhan mungkin telah terjadi
di masa lalu seorang. Masalah gizi pada balita dapat muncul karena beberapa faktor yaitu
penyebab langsung, tidak langsung, akar masalah dan pokok masalah. Masalah gizi
berawal dari kekurangan nutrient yang spesifik atau karena diet yang tidak adekuat atau
karena komposisi proporsi makanan yang dikonsumsi tidak tepat (Mustafa, 2015).

Penyebab langsung yaitu asupan makan yang kurang dan penyakit infeksi yang diderita
balita. Balita yang mendapat asupan makanan yang cukup tetapi sering menderita
penyakit infeksi misalnya diare, akhirnya dapat menderita kekurangan gizi. Sebaliknya
balita yang tidak cukup makan dapat melemahkan daya tahan tubuhnya (imunitas),
menurunkan nafsu makan dan mudah terserang infeksi, sehingga akhirnya juga dapat
terjadi kekurangan gizi. Penyebab tidak langsung diantaranya pengetahuan ibu,
ketersediaan pangan, pola asuh, pelayanan kesehatan, dan lainnya. Faktor tidak langsung
ini saling berkaitan dan bersumber pada akar masalah yaitu pendidikan, dan ekonomi
keluarga (Sulistianingsih, 2013).

Banyak faktor yang menyebabkan tingginya kejadian stunting pada balita. Penyebab
langsung adalah kurangnya asupan makanan dan adanya penyakit infeksi. Faktor lainnya
adalah pengetahuan ibu kemungkinan balita menderita gangguan nutrisi. Nutrisi yang
tidak adekuat merupakan salah satu penyebab gangguan gizi pada balita, dimana balita
yang nutrisinya tidak cukup akan berdampak pada gangguan gizi seperti kependekan atau
stunting. Gangguan gizi kependekan merupakan rendanya tinggi dibandingkan usianya
yang mengindikasikan gangguan kronis dari hormon pertumbuhan (Kementrian Desa,
2017).
D. Cara Mencegah Stunting

Waktu terbaik untuk mencegah stunting adalah selama kehamilan dan dua tahun pertama
kehidupan. Stunting di awal kehidupan akan berdampak buruk pada kesehatan, kognitif,
dan fungsional ketika dewasa. Untuk mengatasi masalah stunting ini Kementerian
Kesehatan dengan dukungan Millennium Challenge Account-Indonesia (MCA-I), melalui
Program Hibah Compact Millennium Challenge Corporation (MCC) melakukan Program
Kesehatan dan Gizi Berbasis Masyarakat (PKGBM). Salah satu intervensi dalam
program PKGM adalah tentang perubahan prilaku masyarakat, yang dilakukan dalam
program Kampanye Gizi Nasional (KGN). Program KGN di wilayah OKI dilakukan
dengan pendekatan yang menyeluruh, seperti melakukan aktifasi posyandu-posyandu dan
pemberian pengetahuan tentang gizi anak, mulai dari makanan apa saja yang boleh untuk
bayi di atas enam bulan, bagaimana tekstur yang baik, berapa banyak yang harus
diberikan, termasuk pengetahuan pentingnya ASI eksklusif (Kementrian Desa, 2017).
Di negara-negara di Asia Tenggara terdapat kesepakatan upaya untuk menurunkan
masalah stunting dengan meningkatkan diversifikasi pangan, pemberian makanan yang
difortifikasi pada ibu hamil dan ibu menyusui dan pada anak usia 6-23 bulan. Pemerintah
untuk melakukan suatu program tentu tidak bisa bertumpu atau berpatokan pada hasil
satu penelitian. Oleh karena itu perlu suatu review terhadap penelitian yang serupa bila
memang sudah banyak penelitian terhadap pencegahan stunting ini. Review ini akan
bermanfaat bagi pemegang kebijakan untuk mendapatkan suatu program penanggulangan
stunting yang lebih tepat dan effisien. Review bertujuan mendapatkan cara pencegahan
terjadinya stunting pada anak di bawah tiga tahun (batita) memperoleh data efikasi zat
gizi makro atau zat gizi mikro untuk mencegah terjadinya stunting pada bayi dan anak
batita (Ketut Aryastami, 2017).
Keberhasilan upaya pencegahan masalah stunting tergantung pada desain penelitiannya,
bahan dan dosis intervensi yang dilakukan serta lamanya pemberian zat gizi. Dengan
mengkaji artikelartikel penelitian tentang pencegahan stunting tersebut diharapkan akan
menghasilkan informasi efikasi terbaik dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah,
sehingga dapat diaplikasikan sebagai kebijakan secara nasional (Rosha, 2013).
BAB III

SATUAN ACARA PELAKSANAAN

Bulan

No Nama Kegiatan Januari

1 2 3 4

A PERSIAPAN

1 Persiapan Materi Program

2 Penetapan Kegiatan Program

B PELAKSANAAN

1 Penyampaian Program

C PENYUSUNAN LAPORAN

1 Penyusunan Proposal

2 Penyusunan Laporan
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
stunting didefinisikan sebagai persentase anak-anak usia 0 sampai 59 bulan, dengan
tinggi di bawah minus (stunting sedang dan berat) dan minus tiga (stunting kronis) diukur
dari standar pertumbuhan anak keluaran WHO. Indikator yang digunakan untuk
mengidentifikasi balita stunting adalah berdasarkan indeks Tinggi badan menurut umur
(TB/U) menurut standar WHO child growth standart dengan kriteria stunting jika nilai z
score TB/U < -2 Standard Deviasi (SD). Stunting yang terjadi pada usia dini dapat
berlanjut dan berisiko untuk tumbuh pendek pada usia remaja. Anak yang tumbuh pendek
pada usia dini (0-2 tahun) dan tetap pendek pada usia 4-6 tahun memiliki risiko 27 kali
untuk tetap pendek sebelum memasuki usia pubertas sebaliknya anak yang tumbuh
normal pada usia dini dapat mengalami growth faltering pada usia 4-6 tahun memiliki
risiko 14 kali tumbuh pendek pada usia pra-pubertas.

Stunting disebabkan oleh faktor multi dimensi dan tidak hanya disebabkan oleh factor
gizi buruk yang dialami oleh ibu hamil maupun anak balita. Intervensi yang paling
menentukan untuk dapat mengurangi pervalensi stunting oleh karenanya perlu dilakukan
pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) dari anak balita. Banyak faktor yang
menyebabkan tingginya kejadian stunting pada balita. Penyebab langsung adalah
kurangnya asupan makanan dan adanya penyakit infeksi. Faktor lainnya adalah
pengetahuan ibu kemungkinan balita menderita gangguan nutrisi. Nutrisi yang tidak
adekuat merupakan salah satu penyebab gangguan gizi pada balita, dimana balita yang
nutrisinya tidak cukup akan berdampak pada gangguan gizi seperti kependekan atau
stunting. Untuk mengatasi masalah stunting ini Kementerian Kesehatan dengan
dukungan Millennium Challenge Account-Indonesia (MCA-I), melalui Program Hibah
Compact Millennium Challenge Corporation (MCC) melakukan Program Kesehatan dan
Gizi Berbasis Masyarakat (PKGBM). Salah satu intervensi dalam program PKGM adalah
tentang perubahan prilaku masyarakat, yang dilakukan dalam program Kampanye Gizi
Nasional (KGN).
B. Saran
Semoga prorosal ini dapat direalisasikan dan dipahami dengan baik dan dapat
bermanfaat bagi peneliti dan bagi yang membaca dan juga bermanfaat baik bagi
masyarakat, peneliti meminta kritik dan saran mengenai proposal yang telah dibuat oleh
peneliti.

DAFTAR PUSTAKA
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. (2013). Pokok-pokok hasil Riskesdas Provinsi
Riau 2013. Jakarta: BALITBANGKES Kemenkes RI.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. (2013). Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS)
2013. Laporan Nasional 2013, 1–384. Diperoleh tanggal 23 Desember 2017 dari
http://www.depkes.go.id/resources/dow nload/general/Hasil%20Riskesdas%20 2013.pdf
Bishwakarma, R. (2011). Spatial Inequality in Children Nutrition in Nepal: Implications of
Regional Context and Individual/Household Composition. (Disertasi, University of
Maryland, College Park, United States). Diakses dari http:// hdl.handle.net/1903/11683
Fikadu, T., Assegid, S. & Dube, L. (2014). Factor associated with stunting among children age
24 to 59 months in Meskan District, Gurage Zone, South Ethiopia: A case-control study.
BMC Public Health, 14(800). Diakses dari http:// www.biomedcentral.com/1471-
2458/14/800.
Kementrian Kesehatan RI. (2016). Infodatin. Situasi Balita Pendek. Diperoleh tanggal 23
Desember 2018 dari http://www.depkes.go.id/resources/dow
nload/pusdatin/infodatin/situasi-balitapendek-2016.
Meilyasari, F. & Isnawati, M. (2014). Faktor risiko kejadian stunting pada balita usia 12 bulan di
Desa Purwokerto Kecamatan Patebon, Kabupaten Kendal. Journal of Nutrition College,
3(2), 16-25. Diakses dari http://www,ejournals1. undip.ac.id
Nasikhah, R dan Margawati, A. (2012). Faktor risiko kejadian stunting pada balita usia 24-36
bulan di Kecamatan Semarang Timur. Journal of Nutrition College,1(1). Diakses dari
http:// www.ejournal-s1.undip.ac.id
Paudel, R., Pradhan, B., Wagle, R. R., Pahari, D.P., & Onta S. R. (2012). Risk factors for
stunting among children: A community based case control study in Nepal. Kathmandu
University Medical Journal, 10(3), 18-24.
Riskesdas, 2013. Penyajian Pokok-pokok Hasil Riset Kesehatan Dasar 2013. Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI. Akses
www.litbang.depkes.go.id tanggal 10 Desember 2013.
Unicef Indonesia, 2013. Ringkasan Kajian Gizi Ibu dan Anak, Oktober 2012. Akses
www.unicef.org Tanggal 16 Desember 2013.
Unicef, 2013. Improving Child Nutrition The achievable imperative for global
progress.Diakses:www.unicef.org/media/files/nutrition _report_2013.pdftanggal 24
Desember 2013
World Health Organization, 2013.Nutrition Landcape Information System (NLIS) Country
Profile Indicators : Interpretation quite (Serial Online) Akses :
http://www.WHO.int//nutrition. Tanggal 17 Desember 2013

Aini, E. N. (2018). Faktor Yang Mempengaruhi Stunting Pada Balita Usia 24- 59 Bulan Di
Puskesmas Cepu Kabupaten Blora, 6, 454–461.

Kementrian Desa. (2017). Buku Saku Desa dalam Penanganan Stunting.

Ketut Aryastami, N. (2017). Kajian Kebijakan dan Penanggulangan Masalah Gizi Stunting di
Indonesia, 233–240.

Mustafa, J. (2015). Permasalahan Anak Pendek ( Stunting ) dan Intervensi untuk Mencegah
Terjadinya Stunting ( Suatu Kajian Kepustakaan ) Stunting Problems and Interventions to
Prevent Stunting ( A Literature Review ), 2(5).

Rosha, B. C. (2013). Determinan Status Gizi Pendek Anak Balita Dengan Riwayat Berat Badan
Lahir Rendah ( Bblr ) Di Indonesia ( Analisis Data Riskesdas 2007-2010 ) Determinants Of
Stunting In Under Five Children With Low Birth Weight History In Indonesia ( Riskesdas
Data Analy, (2002).

Sulistianingsih, A. (2013). Kurangnya Asupan Makan Sebagai Penyebab Kejadian Balita


Pendek ( Stunting ) Program Studi D Iii Kebidanan Jurnal Dunia Kesehatan , Volume 5
Nomor 1 Jurnal Dunia Kesehatan , Volume 5 Nomor 1, 5, 71–75.

Anda mungkin juga menyukai