MINI PROJECT
Disusun oleh:
Pembimbing:
melimpahkan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan miniproject ini yang berjudul
“gambaran faktor pendidikan dengan kejadian stunting anak usia bawah lima tahun (balita)
di wilayah kerja uptd puskesmas ketapang kabupaten lampung selatan tahun 2018”.
Shalawat serta salam juga selalu tercurah kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW
yang telah membimbing umat manusia dari masa Jahiliyah ke masa yang penuh dengan ilmu
pengetahuan.
Penulisan penelitian ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk
tugas miniproject dokter internship. Penulis menyadari dalam penulisan miniproject ini,
banyak mendapatkan bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam
kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih banyak yang sudah banyak membantu
Tidak ada sesuatu yang sempurna di dunia ini, begitu juga dengan penulisan
miniproject ini masih mempunyai banyak kekurangan. Somoga dapat bermanfaat bagi kita
Penulis
2.2 Pendidikan….………………...…………………………………………. 12
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Tabel 1. …...………… 8
Tabel 2. …….……………… 9
Tabel 3. …...…………………… 9
Tabel 4. …………………………………… 9
Tabel 5. ……..………… 10
BAB I
PENDAHULUAN
Stunting adalah masalah gizi kronis yang disebabkan oleh asupan gizi yang
kurang dalam waktu cukup lama akibat pemberian makanan yang tidak sesuai
dengan kebutuhan gizi. Stunting adalah suatu kondisi pendek yang diketahui
menurut Umur (TB/U) mengacu pada standar yang telah ditetapkan oleh WHO.
Dampak dari kekurangan gizi pada awal kehidupan anak akan berlanjut dalam
setiap siklus hidup manusia. Wanita usia subur (WUS) dan ibu hamil yang
mengalami kekurangan energi kronis (KEK) akan melahirkan bayi dengan berat
badan lahir rendah (BBLR). Ini akan berlanjut menjadi balita gizi kurang (stunting)
(4)
dan ke usia anak sekolah dengan berbagai konsekuensinya.
UNICEF pada tahun 2014 mengeluarkan hasil bahwa lebih dari 162 juta
anak dibawah 5 tahun di dunia mengalami stunting (pendek). Anak dengan keadaan
wasting (kurus) sebanyak 51 juta anak, dan 17 juta anak dalam kondisi sangat kurus
jangka panjang yang berdampak bagi dirinya, keluarga, dan pemerintah, bahkan
kompleks terutama dalam masalah gizi. Gizi kurang atau malnutrisi adalah kondisi
kekurangan gizi akibat jumlah kandungan mikronutrien dan makronutrien yang tidak
memadai. Malnutrisi yang terjadi pada anak usia dibawah lima tahun (balita)
merupakan masalah pokok kesehatan masyarakat yang harus segera diatasi karena
dapat mengganggu pertumbuhan. Salah satu gangguan pertumbuhan pada masa
prevalensi stunting sebesar 37,2%, meningkat dari tahun 2010 (35,6%) dan tahun
2007 (36,8%). Persentase tersebut dengan pembagian untuk kategori sangat pendek
19,2% dan pendek 18,1%. Artinya, diperkirakan lebih dari sepertiga atau lebih dari
8,9 juta anak usia dibawah 5 tahun di Indonesia mengalami pertumbuhan yang tidak
sesuai ukuran standar internasional untuk tinggi badan berbanding usia. Selain itu,
untuk anak Indonesia yang dalam keadaan kurus, diperkirakan ada sekitar 3,3 juta
anak.
Provinsi Lampung berada di atas rerata nasional yaitu 42,64% untuk balita
sangat pendek dan pendek pada riskesdas 2013. Untuk wilayah Kabupaten
Lampung selatan didapatkan 43,01% untuk balita sangat pendek dan pendek.
Buruknya status gizi balita ini merupakan konsekuensi dari interaksi berbagai
faktor determinan yang berhubungan dengan akses pada pangan, kelayakan tempat
(8)
tinggal dan akses pelayanan kesehatan. Penelitian menunjukkan bahwa stunting
berhubungan dengan tingkat pendidikan orang tua, berat lahir, umur balita, jenis
signifikan antara pendidikan ayah dengan kejadian stunting. Penelitian lainnya dari
Sulastri juga menjunkkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat
pendidikan dan status ekonomi rumah tangga dengan kejadian stunting. Tingkat
pendidikan akan mempengaruhi kesehatan dan kesejahteraan anak, karena hal ini
tidak terlepas dari keadaan gizi anak. Ibu dengan tingkat pendidikan yang lebih
tinggi akan mempunyai kesempatan yang lebih jelas dalam menyerap informasi jika
(16)
dibandinhkan dengan ibu yang kurang atau tidak berpendidikan.
Oleh sebab itu perlu dilakukan penelitian mengenai “gambaran faktor
pendidikan dengan kejadian stunting anak usia bawah lima tahun (balita) di
wilayah kerja uptd puskesmas ketapang kabupaten lampung selatan tahun 2018”
perhatian ialah “Bagaimana gambaran bblr dengan kejadian stunting anak usia bawah
lima tahun (balita) di wilayah kerja uptd puskesmas ketapang kabupaten lampung
selatan.”
1.3 Tujuan
Adapun tujuan yang diharapkan dalam penulisan mini project ini adalah :
dibawah lima tahun (balita) di wilayah kerja uptd puskesmas ketapang kabupaten
lampung selatan.
1.4 Manfaat
bagi dokter insternsip dan untuk memenuhi sebagian syarat program dokter
internsip.
Mini project ini diharapkan menjadi bahan edukasi dan evaluasi tentang
hubungan bblr dengan kejadian stunting anak usia dibawah lima tahun (balita)
di wilayah kerja uptd puskesmas ketapang kabupaten lampung selatan agar dapat
masalah yang berhubungan dengan bblr terhadap kejadian stunting anak usia
dibawah lima tahun (balita) di wilayah kerja uptd puskesmas ketapang kabupaten
lampung selatan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Stunting
2.1.1 Pengertian
Stunting adalah masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh asupan
gizi yang kurang dalam waktu cukup lama akibat pemberian makanan yang tidak
sesuai kebutuhan gizi. Stunting terjadi mulai janin masih dalam kandungan dan
baru nampak saat anak berusia dua tahun. Kekurangan gizi pada usia dini
panjang badan menurut pada ambang batas <-2 SD jika dibandingkan dengan
standar WHO/ NCHS. Seorang anak dikatakan berstatus gizi pendek (stunting)
ambang batas <-2 SD baku rujukan WHO/NCHS. Anak yang gizi kurang
(20)
dengan rata-rata anak yang tidak mengalamai gangguan gizi (stunting).
faktor penyebab. Masalah gizi berkaitan erat dengan masalah pangan. Masalah
gizi pada anak balita tidak mudah dikenali oleh pemerintah, atau masyarakat
bahkan keluarga karena anak tidak tampak sakit. Terjadinya kurang gizi tidak
selalu didahului oleh terjadinya bencana kurang pangan dan kelaparan seperti
kurang gizi pada dewasa. Hal ini berarti dalam kondisi pangan melimpah masih
mungkin terjadi kasus kurang gizi pada anak balita. Kurang gizi pada anak balita
(21)
sering disebut sebagai kelaparan tersembunyi atau hidden hunger.
Stunting merupakan reterdasi pertumbuhan linier dengan deficit dalam
panjang atau tinggi badan sebesar <-2 Z-score atau lebih menurut buku rujukan
berlangsung lama (misalnya infeksi dan asupan makanan yang buruk), yang
(22)
kemudian tidak terimbangi oleh catch up growth (kejar tumbuh).
Dampak dari kekurangan gizi pada awal kehidupan anak akan berlanjut
dalam setiap siklus hidup manusia. Wanita usia subur (WUS) dan ibu hamil yang
mengalami kekurangan energy kronis (KEK) akan melahirkan bayi dengan berat
badan lahir rendah (BBLR). BBLR ini akan berlanjut menjadi balita gizi kurang
Kelompok ini akan menjadi generasi yang kehilangan masa emas tumbuh
kejadian ini biasanya tidak berdiri sendiri tetapi diikuti masalah defisiensi zat
(4)
gizi mikro.
faktor manusia (host) yang didukung oleh kekurangan asupan zat-zat gizi.
Akibat kekurangan zat gizi, maka simpanan zat gizi pada tubuh digunakan untuk
zat gizi akan habis dan akhirnya terjadi kemerosotan jaringan. Pada saat ini
orang sudah dapat dikatakan malnutrisi, walaupun baru hanya ditandai dengan
(23)
penurunan berat badan dan pertumbuhan yang terhambat.
rendahnya tingkat hemoglobin, serum vitamin A dan karoten. Selain itu, dapat
juga terjadi meningkatnya beberapa hasil metabolisme seperti asam laktat dan
piruvat pada kekurangan tiamin. Apabila keadaan itu berlangsung lama, maka
akan terjadi perubahan fungsi tubuh seperti tanda-tanda syaraf yaitu kelemahan,
(23)
pusing, kelelahan, nafas pendek, dan lain-lain.
(24)
pengaruhnya adalah sebagai berikut :
a. Anak-anak yang mengalami stunting lebih awal yaitu sebelum usia enam bulan,
akan mengalami stunting lebih berat menjelang usia dua tahun. Stunting yang
parah pada anak-anak akan terjadi defisit jangka panjang dalam perkembangan
fisik dan mental sehingga tidak mampu untuk belajar secara optimal di sekolah
stunting cenderung lebih lama masuk sekolah dan lebih sering absen dari
sekolah dibandingkan anak-anak dengan status gizi baik. Hal ini memberikan
datang.
perkembangan inteletual. Penyebab dari stunting adalah bayi berat lahir rendah,
ASI yang tidak memadai, makanan tambahan yang tidak sesuai, diare berulang,
c. Pengaruh gizi pada anak usia dini yang mengalami stunting dapat menganggu
pertumbuhan dan perkembangan kognitif yang kurang. Anak stunting pada usia
dewasa yang stunting dan mempngaruhi secara langsung pada kesehatan dan
dalam proses pertumbuhan dan berisiko lebih besar meninggal saat melahirkan.
Kata antropometri berasal dari bahasa latin antropos dam metros. Antropos
artinya tubuh dan metros artinya ukuran, jadi antropometri adalah ukuran dari
tubuh. Pengertian dari sudut pandang gizi, antropometri adalah hubungan dengan
berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai
tingkat umur dan tingkat gizi, berbagai jenis ukuran tubuh antara lain: berat
(4)
badan, tinggi badan, lingkar lengan atas, dan tebal lemak dibawah kulit.
dengan cara mengumpulkan data penting, baik yang bersifat objektif atau
yang telah tersedia. Penilaian status gizi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu
penilaian status gizi secara langsung dan penilaian status gizi secara tidak
langsung.
yang tepat, akurat karena memiliki ambang batas dan rujukan yang pasti,
mempunyai prosedur yang sederhana, dan dapat dilakukan dalam jumlah sampel
yang besar.
Jenis ukuran tubuh yang paling sering digunakan dalam survei gizi adalah
berat badan, tinggi badan, dan lingkar lengan yang disesuaikan dengan usia anak.
Pengukuran yang sering dilakukan untuk keperluan perorangan dan keluarga
adalah pengukuran berat badan (BB), dan tinggi badan (TB) atau panjang badan
merupakan rasio dari satu pengukuran terhadap satu atau lebih pengukuran atau
yang dihubungkan dengan umur. Indeks antropometri yang umum dikenal yaitu
berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), dan berat
Indikator BB/U menunjukkan secara sensitif status gizi saat ini (saat diukur)
karena mudah diubah, namun indikator BB/U tidak spesifik karena berat badan
selain dipengaruhi oleh umur juga dipengaruhi oleh tinggi badan. Indikator TB/U
dalam keadaan normal. Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan akan
nampak dalam waktu yang relatif lama. Indeks Tinggi Badan Menurut Umur
(TB/U) memberikan indikasi masalah gizi yang sifatnya kronis sebagai akibat dari
keadaan yang berlangsung lama, misalnya kemiskinan, perilaku hidup sehat dan
pola asuh/ pemberian makan yang kurang baik dari sejak anak dilahirkan yang
(21)
mengakibatkan anak stunting.
mengetahui kurang gizi masa lampau, alat mudah dibawa kemana-mana dan
dibuat secara lokal, jarang orang tua keberatan diukur anaknya. Kelemahan
indeks TB/U yaitu tinggi badan tidak cepat naik bahkan tidak mungkin turun,
dapat terjadi kesalahan yang mempengaruhi presisi, akurasi dan dan validitas
pengukuran. Sumber kesalahan bisa berasal dari tenaga yang kurang terlatih,
merupakan estimasi keadaan yang telah lalu atau status gizi kronik. Seorang yang
gizi masa lalu tidak baik, seharusnya dalam keadaan normal tinggi badan tumbuh
(25)
pertumbuhan tinggi badan baru terlihat dalam waktu yang cukup lama.
2.2 Pendidikan
yang artinya membawa keluar (sesuatu yang ada di dalam). Dalam bahasa
Jerman ada istilah ziehen yang artinya menarik (lawan dari mendorong).
Dalam bahasa jerman, pendidikan juga disalin dengan istilah erziehung, yang
peserta didik, tujuan yang akan dicapai dan kemauan yang dikembangkan.
dewasa.
kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai manusia dan
sekolah atau tempat tertentu, teratur, sistematis, mempunyai jenjang dan dalam
kurun waktu tertentu, serta berlangsung mulai dari Taman Kanak-kanak, sampai
Lembaga pendidikan non formal atau pendidikan luar sekolah adalah semua bentuk
a. Pendidikan masyarakat
b. Keolahragaan
3. Pendidikan in formal
tidak terorganisir secara ketat, tak terbatas waktu dan tanpa evaluasi. Pendidikan in
formal ini terutama berlangsung di tengah keluarga, namun mungkin juga terjadi di
berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai dan
perubahan sikap dan perilaku hidup sehat. Tingkat pendidikan yang lebih
seperti :
1. Ideologi
pendidikan.
2. Sosial Ekonomi
3. Sosial Budaya
4. Perkebangan IPTEK
Pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor yang penting dalam
tumbuh kembang anak, karena dengan pendidikan yang baik maka orangtua
dapat menerima segala informasi dari luar terutama tentang cara pengasuhan
menyerap dan memahami pengetahuan gizi dan kesehatan. Hal ini berkaitan
erat dengan wawasan pengetahuan mengenai sumber gizi dan jenis makanan
yang baik untuk konsumsi keluarga. Kondisi demikan ini menyebabkan orang
tua kurang optimal dalam memenuhi kebutuhan gizi anak, sehingga
(32)
diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan gizi ibu.
antara makanan dan kesehatan atau kebutuhan tubuh termasuk kebutuhan zat
gizi bagi anggota keluarganya. Seorang ibu dengan pendidikan yang tinggi akan
mendapat akan dapat merencanakan menu makanan yang sehat dan bergizi bagi
dirinya dan keluarganya dalam upaya memenuhi zat gizi yang diperlukan.
Indonesia, bahwa persentase status gizi kurang lebih tinggi daripada status gizi
baik
diderita balita dari ayah yang tidak bersekolah dan berpendidikan hanya sampai
pendidikan ibu, persentase gizi kurang lebih tinggi daripada status gizi baik pada
balita dari ibu yang berpendidikan hanya sampai tingkat SD dan ibu yang tidak
bersekolah.
. Hasil penelitian lain yang dilakukan di Sumatera barat oleh Saputra &
Rahmah HN (2013) juga menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan orang
.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
pendekatan cross sectional yaitu dengan cara pengumpulan data sekaligus pada
3.2.1 Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah semua ibu yang memiliki anak usia
bawah lima tahun (balita) di wilayah kerja UPTD Puskesmas Ketapang tahun
2018.
3.2.2 Sampel
Sampel kasus dalam penelitian ini adalah ibu yang memiliki anak usia
bawah lima tahun (balita) stunting yang tercatat di UPTD Puskesmas Ketapang
data sekunder dan data primer. Data sekunder diambil dari data balita yang
35
30 31
29
25 26
23 TS
20 SD
SMP
SMA
15
DIPLOMA
SARJANA
10
9
8
5
0 0 0 0 0 0
0
AYAH IBU
responden, kemudian tidak ditemukan ayah yang bersekolah hingga jenjang pendidikan
diploma maupun strata dan tidak ditemukan ayah yang tidak bersekolah.
Dari data diagram 4.1 juga didapatkan bahwa ibu balita yang menderita stunting
responden, kemudian tidak ditemukan ibu yang bersekolah hingga jenjang pendidikan
diploma maupun strata dan tidak ditemukan ibu yang tidak bersekolah.
Tabel 4.2 Pembagian karakter orang tua balita stunting berdasarkan pendidikan
rendah dan tinggi
Variable Katergori N %
Tinggi Ayah < 160 24 39%
> 160 39 61%
Tinggi Ibu < 150 25 40%
> 150 38 60%
Variabel Kategori n %
Status BBLR BBLR 12 19%
Tidak BBLR 51 81%
Dari data tabel 4.2 didapatkan status BBLR dengan kategori BBLR sejumlah 12
balita (19%) dan yang tidak BBLR sejumlah 51 balita (81%). Pada data tersebut masih
terdapat anak yang stunting dengan BBLR yang artinya masih ada kejadian BBLR pada
bayi stunting, hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Suwarni et al, bayi
dengan BBLR antara lain dapat mengalami hambatan pertumbuhan atau stunting.
Sebagian besar bayi dengan kondisi BBLR kemudian diiringi dengan stunting yang
terdapat pada bayi berjenis kelamin perempuan. Oleh karena itu kondisi ini perlu
ditanggulangi sejak dini mengingat berat bayi lahir merupakan masalah kesehatan
masyarakat yang banyak terjadi di negara berkembang yang erat kaitannya dengan
mortalitas dan morbiditas. Menurut penelitian yang dilakukan oleh rahmad et al, telah
menemukan bahwa faktor prediksi yang berpengaruh terhadap stunting pada balita
adalah BBLR. Anak yang terlahir BBLR berpotensi stunting dibandingkan anak yang
terlahir dengan berat badan normal. Senada dengan penelitian yang dilakukan line et al,
berat badan lahir rendah (<2500gram) telah diidentifikasi sebagai faktor resiko penting
BAB V
5.1 Kesimpulan
didapatkan anak yang mengalami stunting lebih besar memiliki ayah dengan tinggi
didapatkan anak yang mengalami stunting lebih besar memiliki ibu dengan tinggi
badan kategori tidak pendek sejumlah 38 responden (60%), sedangkan ibu dengan
didapatkan anak yang mengalami stunting dengan kategori tidak BBLR lebih besar
yakni sejumlah 51 balita (81%) dibandingkan dengan anak dengan kategori BBLR
DAFTAR PUSTAKA