Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Indonesia adalah negara berkembang yang memiliki permasalahan

yang kompleks terutama dalam masalah gizi. Gizi kurang atau malnutrisi

adalah kondisi kekurangan gizi akibat jumlah kandungan mikronutrien dan

makronutrien yang tidak memadai. Malnutrisi yang terjadi pada anak usia

dibawah lima tahun (balita) merupakan masalah pokok kesehatan

masyarakat yang harus segera diatasi karena dapat mengganggu

pertumbuhan. Salah satu gangguan pertumbuhan pada masa tersebut adalah

stunting.1

Stunting adalah masalah gizi kronis yang disebabkan oleh asupan gizi

yang kurang dalam waktu cukup lama akibat pemberian makanan yang

tidak sesuai dengan kebutuhan gizi. Stunting adalah suatu kondisi pendek

yang diketahui berdasarkan pengukuran panjang badan menurut umur

(PB/U) atau Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) mengacu pada standar

yang telah ditetapkan oleh WHO. Stunting dibagi menjadi 2 kategori sangat

pendek dan pendek.2

Dampak dari kekurangan gizi pada awal kehidupan anak akan

berlanjut dalam setiap siklus hidup manusia. Wanita usia subur (WUS) dan

ibu hamil yang mengalami kekurangan energi kronis (KEK) akan

melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR). Ini akan berlanjut

1
menjadi balita gizi kurang (stunting) dan ke usia anak sekolah dengan

berbagai konsekuensinya.3

UNICEF pada tahun 2014 mengeluarkan hasil bahwa lebih dari 162

juta anak dibawah 5 tahun di dunia mengalami stunting (pendek). Anak

dengan keadaan wasting (kurus) sebanyak 51 juta anak, dan 17 juta anak

dalam kondisi sangat kurus yang memerlukan penanganan khusus. Keadaan

tersebut, akan mengalami efek jangka panjang yang berdampak bagi

dirinya, keluarga, dan pemerintah, bahkan berisiko tinggi meninggal.4

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 di Indonesia mencatat

bahwa prevalensi stunting sebesar 37,2%, meningkat dari tahun 2010

(35,6%) dan tahun 2007 (36,8%). Persentase tersebut dengan pembagian

untuk kategori sangat pendek 19,2% dan pendek 18,1%. Artinya,

diperkirakan lebih dari sepertiga atau lebih dari 8,9 juta anak usia dibawah 5

tahun di Indonesia mengalami pertumbuhan yang tidak sesuai ukuran

standar internasional untuk tinggi badan berbanding usia. Selain itu, untuk

anak Indonesia yang dalam keadaan kurus, diperkirakan ada sekitar 3,3 juta

anak.5-7

Provinsi Lampung berada di atas rerata nasional yaitu 42,64% untuk

balita sangat pendek dan pendek pada riskesdas 2013. Untuk wilayah

Kabupaten Lampung selatan didapatkan 43,01% untuk balita sangat pendek

dan pendek.8

Berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Atikah

Rahayu dkk, diperoleh bahwa BBLR merupakan faktor resiko yang paling

dominan berhubungan dengan kejadian stunting. Anak dengan BBLR

2
memiliki risiko 5,87 kali untuk mengalami stunting pada anak baduta di

wilayah Puskesmas Sungai Karias, Hulu Sungai Utara.9

Oleh sebab itu perlu dilakukan penelitian mengenai “gambaran faktor

bblr dengan kejadian stunting anak usia bawah lima tahun (balita) di

wilayah kerja upt puskesmas ketapang kabupaten lampung selatan tahun

2018”

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas ,maka yang menjadi pusat

perhatian ialah “Bagaimana gambaran bblr dengan kejadian stunting anak

usia bawah lima tahun (balita) di wilayah kerja upt puskesmas ketapang

kabupaten lampung selatan.”

1.3 Tujuan

Adapun tujuan yang diharapkan dalam penulisan mini project ini adalah :

a. Menambah pengetahuan tentang bblr dengan kejadian stunting anak

usia dibawah lima tahun (balita) di wilayah kerja upt puskesmas ketapang

kabupaten lampung selatan.

b. Mengetahui distribusi frekuensi kejadian bblr dengan kejadian

stunting di wilayah kerja UPT Puskesmas Ketapang

3
1.4 Manfaat

Adapun manfaat dari pembuatan mini project ini adalah:

1. Bagi dokter insternsip

Mini project ini diharapkan menjadi tambahan wawasan dan

pengetahuan bagi dokter insternsip dan untuk memenuhi sebagian

syarat program dokter internsip.

2. Bagi klinisi dan puskesmas

Mini project ini diharapkan menjadi bahan edukasi dan

evaluasi tentang hubungan bblr dengan kejadian stunting anak usia

dibawah lima tahun (balita) di wilayah kerja uptd puskesmas ketapang

kabupaten lampung selatan agar dapat meningkatkan pelayanan

tentang gizi.

3. Bagi pasien

Mini project ini diharapkan dapat menambah pengetahuan

mengenai masalah yang berhubungan dengan bblr terhadap kejadian

stunting anak usia dibawah lima tahun (balita) di wilayah kerja uptd

puskesmas ketapang kabupaten lampung selatan.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Profil Puskesmas Ketapang

2.1.1. Geografi

Secara geografis wilayah kerja UPT Puskesmas Rawat Inap Ketapang

merupakan daerah tropis seperti daerah lain di Indonesia. Dengan bentuk

wilayah memanjang dari Selatan ke Utara, Kecamatan Ketapang memiliki

garis pantai sepanjang ± 30 kilometer dengan luas daratan 186,60 Km²,

ketinggian rata-rata dataran dengan permukaan laut adalah 37,94 mdpl

dengan dataran tertinggi 200 mdpl dan dataran terendah 3 mdpl.

(Kecamatan Ketapang 2012). Kecamatan Ketapang yang terletak di Selatan

pulau Sumatera memiliki 12 pulau kecil, salah satu pulau itu yaitu pulau

Rimau Balak yang didiami oleh sekitar 80 kepala keluarga. Sebagian besar

akses untuk menempuh wilayah kerja UPT. Puskesmas Rawat Inap

Ketapang bisa dilalui dengan melalui jalan darat dengan kendaraan roda dua

dan roda empat, hanya untuk pedukuhan Pulau Rimau di desa Sumur hanya

dapat ditempuh dengan jalan laut.10

Wilayah kerja UPT Puskesmas Rawat Inap Ketapangadalah wilayah

kecamatan Ketapang Kabupaten Lampung Selatan, yang meliputi 17 desa

dengan luas wilayah 186,60 Km², dan memiliki dusun terpencil yaitu Pulau

Rimau di desa Sumur, Gunung Taman dan Transmigrasi Aceh di desa

Legundi, Taman Arum dan Pepandu di desa Ruguk.10

5
Wilayah administrasi UPT Puskesmas Rawat Inap

KetapangKecamatan Ketapang Kabupaten Lampung Selatan mempunyai

batas-batas wilayah kerja sebagai berikut :

 Sebelah Utara berbatasan dengan kecamatan Sragi.

 Sebelah selatan berbatasan dengan kecamatan Bakauheni dan Selat

Sunda

 Sebelah barat berbatasan dengan kecamatan Penengahan

 Sebelah timur berbatasan dengan laut jawa.

Puskesmas Rawat Inap Ketapangterletak di desa Sri Pendowo. Jarak

antara desa terdekat dengan Puskesmas adalah sejauh ± 2 km dan yang

terjauh ± 10 km (desa Berundung, Desa Sumur, Desa Karang Sari). Jalan

menuju ibukota Kabupaten maupun Propinsi seluruhnya merupakan jalan

aspal, kecuali jalan ke beberapa desa dan pedukuhan masih ada yang berupa

jalan bebatuan dan tanah merah. Jarak tempuh dari Kecamatan Ketapang ke

Ibukota Kabupaten Lampung Selatan (Kalianda) adalah ± 28 km, dan ke

Ibukota Propinsi berjarak ± 90 km.10

2.1.2 Visi dan Misi

a. Visi

“ Menjadikan Puskesmas Rawat Inap Ketapang sebagai pusat

pelayanan kesehatan yang profesional, berkualitas dan ramah “.

b. Misi

1. Memelihara dan meningkatkan kesehatan individu, masyarakat

serta lingkungan.

6
2. Memelihara dan meningkatkan kesehatan yang bermutu, merata

dan terjangkau dengan peningkatan sumber daya manusia.

3. Membangun sistem informasi dan manajemen.

2.1.3 Fasilitas Kesehatan

Fasilitas gedung UPT Puskesmas Rawat Inap Ketapang sudah sangat

memadai untuk melakukan pelayanan kesehatan, dengan tiga unit

Puskesmas Pembantu (Pustu) yaitu Pustu Pematang Pasir, Pustu Ruguk dan

Pustu Sumur. Untuk lebih jelas rincian fasilitas kesehatan di Kecamatan

Ketapang dapat dilihat pada tabel 2.1 dibawah ;10

Tabel 2. 1

Data Fasilitas Kesehatan UPT Puskesmas Rawat Inap Ketapang Tahun 2016

No Jenis Fasilitas Jumlah Keterangan

1 Puskesmas 1 unit Baik

2 Puskesmas Pembantu 3 unit Baik

3 Bidan Desa 17 orang -

4 Puskesmas Keliling 2 unit Baik

5 Gudang Obat 1 unit -

6 Laboratorium Sederhana 1 unit -

7 Balai Pengobatan Swasta 4 unit -

8 Praktek Dokter 0 unit -

9 Praktek Bidan Swasta 28 BPS -

Rumah Dinas Pegawai


10 3 Unit Baik
Puskesmas Ketapang

11 Apotik 2 unit

Sumber : Tata Usaha Tahun 2016

7
2.1 Stunting

2.1.1 Pengertian

Stunting adalah masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh

asupan gizi yang kurang dalam waktu cukup lama akibat pemberian

makanan yang tidak sesuai kebutuhan gizi. Stunting terjadi mulai janin

masih dalam kandungan dan baru nampak saat anak berusia dua tahun.

Kekurangan gizi pada usia dini meningkatkan angka kematian bayi dan

anak, menyebabkan penderitanya mudah sakit dan memiliki postur tubuh

tidak maksimal saat dewasa.2

Stunting adalah suatu keadaan sebagai akibat interaksi makanan dan

kesehatan yang diukur secara antropometri dengan menggunakan indikator

panjang badan menurut pada ambang batas <-2 SD jika dibandingkan

dengan standar WHO/ NCHS. Seorang anak dikatakan berstatus gizi pendek

(stunting) apabila pada indeks antropometri berdasarkan indikator TB/U

berada pada ambang batas <-2 SD baku rujukan WHO/NCHS. Anak yang

gizi kurang (stunting) berat mempunyai rata-rata IQ 11 poin lebih rendah

bila dibandingkan dengan rata-rata anak yang tidak mengalamai gangguan

gizi (stunting).11

2.1.2 Patofisiologis stunting

Masalah gizi merupakan masalah multidimensi, dipengaruhi oleh

berbagai faktor penyebab. Masalah gizi berkaitan erat dengan masalah

pangan. Masalah gizi pada anak balita tidak mudah dikenali oleh

pemerintah, atau masyarakat bahkan keluarga karena anak tidak tampak

sakit. Terjadinya kurang gizi tidak selalu didahului oleh terjadinya bencana

8
kurang pangan dan kelaparan seperti kurang gizi pada dewasa. Hal ini

berarti dalam kondisi pangan melimpah masih mungkin terjadi kasus kurang

gizi pada anak balita. Kurang gizi pada anak balita sering disebut sebagai

kelaparan tersembunyi atau hidden hunger.11

Stunting merupakan reterdasi pertumbuhan linier dengan deficit dalam

panjang atau tinggi badan sebesar <-2 Z-score atau lebih menurut buku

rujukan pertumbuhan World Health Organization/National Center for

Health Statistics (WHO/NCHS). Stunting disebabkan oleh kumulasi episode

stress yang sudah berlangsung lama (misalnya infeksi dan asupan makanan

yang buruk), yang kemudian tidak terimbangi oleh catch up growth (kejar

tumbuh).11

Dampak dari kekurangan gizi pada awal kehidupan anak akan

berlanjut dalam setiap siklus hidup manusia. Wanita usia subur (WUS) dan

ibu hamil yang mengalami kekurangan energy kronis (KEK) akan

melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR). BBLR ini akan

berlanjut menjadi balita gizi kurang (stunting) dan berlanjut ke usia anak

sekolah dengan berbagai konsekuensinya. Kelompok ini akan menjadi

generasi yang kehilangan masa emas tumbuh kembangnya dari tanpa

penanggulangan yang memadai kelompok ini dikuatirkan lost generation.

Kekurangan gizi pada hidup manusia perlu diwaspadai dengan seksama,

selain dampak terhadap tumbuh kembang anak kejadian ini biasanya tidak

berdiri sendiri tetapi diikuti masalah defisiensi zat gizi mikro.4

9
2.1.3 Patogenesitas Penyakit Kurang Gizi

Konsep timbulnya malnutrisi terjadi akibat dari faktor llingkungan

dan faktor manusia (host) yang didukung oleh kekurangan asupan zat-zat

gizi. Akibat kekurangan zat gizi, maka simpanan zat gizi pada tubuh

digunakan untuk memenuhi kebutuhan. Apabila keadaan ini berlangsung

lama, maka simpanan zat gizi akan habis dan akhirnya terjadi kemerosotan

jaringan. Pada saat ini orang sudah dapat dikatakan malnutrisi, walaupun

baru hanya ditandai dengan penurunan berat badan dan pertumbuhan yang

terhambat.11

Sehubungan dengan meningkatnya defisiensi zat gizi dalam darah,

berupa rendahnya tingkat hemoglobin, serum vitamin A dan karoten. Selain

itu, dapat juga terjadi meningkatnya beberapa hasil metabolisme seperti

asam laktat dan piruvat pada kekurangan tiamin. Apabila keadaan itu

berlangsung lama, maka akan terjadi perubahan fungsi tubuh seperti tanda-

tanda syaraf yaitu kelemahan, pusing, kelelahan, nafas pendek, dan lain-

lain.11

2.1.4 Dampak Stunting Pada Balita

Laporan UNICEF tahun 1998, beberapa fakta terkait stunting dan

pengaruhnya adalah sebagai berikut :11

a. Anak-anak yang mengalami stunting lebih awal yaitu sebelum usia enam

bulan, akan mengalami stunting lebih berat menjelang usia dua tahun.

Stunting yang parah pada anak-anak akan terjadi defisit jangka panjang

dalam perkembangan fisik dan mental sehingga tidak mampu untuk

belajar secara optimal di sekolah dibandingkan anak-anak dengan tinggi

10
badan normal. Anak-anak dengan stunting cenderung lebih lama masuk

sekolah dan lebih sering absen dari sekolah dibandingkan anak-anak

dengan status gizi baik. Hal ini memberikan konsekuensi terhadap

kesuksesan anak dalam kehidupannya dimasa yang akan datang.

b. Stunting akan sangat mempengaruhi kesehatan dan perkembangan anak.

Faktor dasar yang menyebabkan stunting dapat menganggu pertumbuhan

dan perkembangan inteletual. Penyebab dari stunting adalah bayi berat

lahir rendah, ASI yang tidak memadai, makanan tambahan yang tidak

sesuai, diare berulang, dan infeksi pernapasan. Berdasarkan penelitian

sebagian besar anak-anak dengan stunting mengonsumsi makanan yang

berbeda di bawah ketentuan rekomendasi kadar gizi, berasal dari

keluarga banyak, bertempat tinggal di wilayah pinggiran kota dan

komunitas pedesaan.

c. Pengaruh gizi pada anak usia dini yang mengalami stunting dapat

menganggu pertumbuhan dan perkembangan kognitif yang kurang. Anak

stunting pada usia lima tahun cenderung menetap sepanjang hidup,

kegagalan pertumbuhan anak usia dini berlanjut pada masa remaja dan

kemudian tumbuh menjadi wanita dewasa yang stunting dan

mempngaruhi secara langsung pada kesehatan dan prduktivitas, sehingga

meningkatkan peluang melahirkan anak BBLR. Stunting terutama

berbahaya pada perempuan, karena lebih cenderung menghambat dalam

proses pertumbuhan dan berisiko lebih besar meninggal saat melahirkan.

11
2.1.5 Penilaian Status Gizi Secara Antropometri

Kata antropometri berasal dari bahasa latin antropos dam metros.

Antropos artinya tubuh dan metros artinya ukuran, jadi antropometri adalah

ukuran dari tubuh. Pengertian dari sudut pandang gizi, antropometri adalah

hubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan

komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi, berbagai jenis

ukuran tubuh antara lain: berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas, dan

tebal lemak dibawah kulit.4

Penilaian status gizi merupakan proses pemeriksaan keadaan gizi

seseorang dengan cara mengumpulkan data penting, baik yang bersifat

objektif atau subjektif. Data yang telah dikumpulkan kemudian

dibandingkan dengan baku yang telah tersedia. Penilaian status gizi dapat

dilakukan dengan dua cara yaitu penilaian status gizi secara langsung dan

penilaian status gizi secara tidak langsung.

Penilaian status gizi secara antropometri merupakan penilaian status

gizi secara langsung yang paling sering digunakan di masyarakat.

Antropometri dikenal sebagai indikator untuk penilaian status gizi

perseorangan maupun masyarakat. Pengukuran antropometri dapat

dilakukan oleh siapa saja dengan hanya melakukan latihan sederhana, selain

itu antropometri memiliki metode yang tepat, akurat karena memiliki

ambang batas dan rujukan yang pasti, mempunyai prosedur yang sederhana,

dan dapat dilakukan dalam jumlah sampel yang besar.

Jenis ukuran tubuh yang paling sering digunakan dalam survei gizi

adalah berat badan, tinggi badan, dan lingkar lengan yang disesuaikan

12
dengan usia anak. Pengukuran yang sering dilakukan untuk keperluan

perorangan dan keluarga adalah pengukuran berat badan (BB), dan tinggi

badan (TB) atau panjang badan (PB). Indeks antropometri adalah

pengukuran dari beberapa parameter yang merupakan rasio dari satu

pengukuran terhadap satu atau lebih pengukuran atau yang dihubungkan

dengan umur. Indeks antropometri yang umum dikenal yaitu berat badan

menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), dan berat badan

menurut tinggi badan (BB/TB).

Indikator BB/U menunjukkan secara sensitif status gizi saat ini (saat diukur)

karena mudah diubah, namun indikator BB/U tidak spesifik karena berat

badan selain dipengaruhi oleh umur juga dipengaruhi oleh tinggi badan.

Indikator TB/U menggambarkan status gizi masa lalu. Indikator BB/TB

menggambarkan secara sensitif dan spesifik status gizi saat ini.

2.1.6 Indeks Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U)

Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan

pertumbuhan skeletal. Tinggi badan akan seiring dengan pertambahan umur

dalam keadaan normal. Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan

akan nampak dalam waktu yang relatif lama. Indeks Tinggi Badan Menurut

Umur (TB/U) memberikan indikasi masalah gizi yang sifatnya kronis

sebagai akibat dari keadaan yang berlangsung lama, misalnya kemiskinan,

perilaku hidup sehat dan pola asuh/ pemberian makan yang kurang baik dari

sejak anak dilahirkan yang mengakibatkan anak stunting.11

Keuntungan indeks TB/U yaitu merupakan indikator yang baik untuk

mengetahui kurang gizi masa lampau, alat mudah dibawa kemana-mana dan

13
dibuat secara lokal, jarang orang tua keberatan diukur anaknya. Kelemahan

indeks TB/U yaitu tinggi badan tidak cepat naik bahkan tidak mungkin

turun, dapat terjadi kesalahan yang mempengaruhi presisi, akurasi dan dan

validitas pengukuran. Sumber kesalahan bisa berasal dari tenaga yang

kurang terlatih, kesalahan pada alat dan tingkat kesulitan pengukuran.

TB/U dapat digunakan sebagai indeks status gizi populasi karena

merupakan estimasi keadaan yang telah lalu atau status gizi kronik. Seorang

yang tergolong pendek “pendek tak sesuai umurnya (PTSU)” kemungkinan

keadaan gizi masa lalu tidak baik, seharusnya dalam keadaan normal tinggi

badan tumbuh bersamaan dengan bertambahnya umur. Pengaruh kurang

gizi terhadap pertumbuhan tinggi badan baru terlihat dalam waktu yang

cukup lama.

2.2 BBLR (Berat Badan Lahir Rendah)

2.2.1 Pengertian

Berat badan merupakan salah satu ukuran tubuh yang paling banyak

digunakan yang memberi gambaran massa jaringan, termasuk cairan tubuh.

Berat badan sangat mudah dipengaruhi oleh keadaan mendadak, seperti

terserang infeksi atau diare, konsumsi makanan yang menurun. Sebagai

indikator status gizi, berat badan dalam bentuk indeks berat badan menurut

umur (BB/U) dan berat menurut tinggi badan (BB/TB) memberikan

keadaan kini.11

Ukuran tubuh pada saat lahir mencerminkan produk proses

pertumbuhan janin yang sudah disetel pada stadium awal perkembangannya

dan juga mencerminkan kemampuan maternoplasenta dalam memasok

14
cukup nutrient untuk mempertahankan proses tersebut. Kegagalan

maternoplasenta memasok kebutuhan nutrient janin mengakibatkan

berbagai adaptasi fetal dan perubahan perkembangan yang dapat

menimbulkan perubahan permanen pada struktur serta metabolism tubuh

sehingga tejadilah penyakit kardiovaskular serta metabolic pada usia

dewasa. Dalam masyarakat barat, uji terkontrol dilakukan secara acak

terhadap suplementasi makronutrient pada ibu hanya memberikan efek yang

relatif kecil pada berat lahir.

Berdasarkan klasifikasi masa kehamilan maka bayi BBLR dapat

dibagi menjadi tiga kategori yaitu BBLR prematur, bayi kecil untuk masa

kehamilan (KMK), dan Kombinasi prematur dan bayi kecil masa

kehamilan.

1. BBLR Prematur

BBLR prematur adalah bayi yang lahir dengan umur kehamilan

kurang dari 37 minggu dengan berat badan kurang dari 2500 gram. Bila

bayi yang lahir dengan usia kehamilan kurang dari 37 minggu dan berat

badannya kurang dari seharusnya desebut dengan dismatur kurang

bulan kecil untuk masa kehamilan. Karakteristik Universitas Sumatera

Utara bayi BBLR prematur adalah berat lahir kurang dari 2500 gram,

panjang badan kurang atau sama dengan 45 cm, lingkar dada kurang

dari 30 cm, lingkar kepala kurang dari 33 cm. Semakin awal bayi lahir,

semakin belum sempurna perkembangan organorgan tubuhnya, dan

semakin rendah berat badanya saat lahir dan semakin tinggi risikonya

mengalami berbagai komplikasi berbahaya.

15
2. Bayi Kecil untuk Masa Kehamilan (KMK)

Bayi kecil untuk masa kehamilan merupakan bayi BBLR yang

diakibatkan karena gangguan pertumbuhan intranutrien. Bayi kecil

masa kehamilan adalah bayi yang dilahirkan dengan berat badan lahir

kurang dari 10th. Bayi kecil masa kehamilan bisa terjadi tanpa

penyebab patologis atau penyebab sekunder persentil untuk berat

sebenarnya dengan umur kehamilan. Istilah bayi kecil untuk masa

kehamilan dapat didefinisikan sebagai bayi yang lahir dengan berat

badan kurang dari 2500 gram dengan usia kehamilan lebih atau sama

dengan 37 minggu. Istilah yang banyak digunakan dengan bayi kecil

untuk masa kehamilan diantaranya pseudoprematuritas, dismaturitas,

fetal malnutrisi, chronic fetal distress.

Bayi berat lahir rendah merupakan masalah penting dalam

pengelolaannya karena mempunyai kecenderungan ke arah peningkatan

terjadinya infeksi, kesukaran mengatur nafas tubuh sehingga mudah

untuk menderita hipotermia. Selain itu bayi dengan Berat Bayi Lahir

Rendah (BBLR) mudah terserang komplikasi tertentu seperti ikterus,

hipoglikemia yang dapat menyebabkan kematian. Kelompok bayi berat

lahir rendah yang dapat di istilahkan dengan kelompok risiko tinggi

karena pada bayi berat lahir rendah menunjukan angka kematian dan

kesakitan yang lebih tinggi dengan berat bayi lahir cukup.

Menurut Manuaba 1998 ada tiga faktor penyebab KMK, yaitu faktor

ibu, faktor uterus dan plasenta, dan faktor janin. Faktor ibu yang

16
berperan dalam menyebabkan terjadinya bayi KMK seperti malnutrisi,

penyakit ibu (hipertensi, paru, penyakit gula), komplikasi hamil

(preeklamsia, eklamsia, perdarahan), dan kebiasaan ibu (perokok,

peminum). Faktor uterus dan plasenta dapat berupa gangguan

pembuluh darah, gangguan insersi tali pusat, kelainan bentuk plasenta,

dan perkapuran plasenta. Faktor janin berupa kelainan kromosom,

hamil ganda, infeksi dalam rahim, cacat bawaan.

3. Kombinasi Prematur dan Bayi Kecil Masa Kehamilan Kombinasi bayi

prematur dan bayi kecil masa hamil dipastiakan akan menyebabkan

bayi lahir dengan berat badan rendah.

2.2.2 Patofisiologi dan Etiologi

BBLR Sangat susah untuk memisahkan secara tegas antara faktor-

faktor yang berkaitan dengan prematur dan faktor yang berkaitan dengan

IUGR yang menyebabkan terjadinya BBLR. Sampai sekarang penyebab

terbanyak yang diketahui menyebabkan terjadinya BBLR adalaah kelahiran

prematur. Dan dalam kasus demikian bayi yang BBLR harus mendapatkan

penanganan yang adekuat. Sedangkan faktor lain berkaitan dengan faktor

ibu dan janin.

Menurut WHO tahun 2004 faktor etiologi yang berkontribusi

menyebabkan kejadian berat badan lahir rendah terutama di negara-negara

berkembang meliputi penggunaan tembakau (merokok, konsumsi tembakau

kunyah, dan tembakau untuk kegunaan terapi), kurang intake kalori, berat

badan rendah sebelum masa kehamilan, primipara, jenis kelamin janin,

17
tubuh pendek, ras, riwayat BBLR sebelumnya, angka mordibitas umum, dan

faktor risiko lingkungan seperti paparan timbal, dan jenis-jenis polusi udara.

2.2.3 Dampak Berat Badan Lahir Rendah

BBLR sangat erat kaitannya dengan mortalitas dan mordibitas janin.

Keadaan ini dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan kognitif,

kerentanan terhadap penyakit kronis di kemudian hari. Pada tingkat

populasi, proporsi bayi dengan BBLR adalah gambaran multimasalah

kesehatan masyarakat mencakup ibu yang kekurangan gizi jangka panjang,

kesehatan yang buruk, kerja keras dan perawatan kesehatan dan kehamilan

yang buruk. Secara individual, BBLR merupakan prediktor penting dalam

kesehatan dan kelangsungan hidup bayi yang baru lahir dan berhubungan

dengan risiko tinggi pada kematian bayi dan anak.(13)

Dampak lanjutan dari BBLR dapat berupa gagal tumbuh (grouth

faltering), penelitian Sirajudin dkk tahun 2011 menyatakan bahwa anak

pendek 3 kali lebih besar di banding non BBLR, pertumbuhan terganggu,

penyebab wasting, dan risiko malnutrisi.

2.2.4 Pencegahan BBLR

Upaya-upaya pencegahan merupakan hal yang sangat penting dalam

menurunkan insiden atau kejadian berat badan lahir rendah di masyarakat.

Menurut Sunaryanto, upaya-upaya ini dapat dilakukan dengan sebagai

berikut :

18
1. Meningkatkan pemeriksaan kehamilan secara berkala minimal empat

kali selama periode kehamilan yakni 1 kali pada trimester I, 1 kali

pada trimester kedua, dan 2 kali pada trimester ke II.

2. Pada ibu hamil dianjurkan mengkonsumsi diet seimbang serat dan

rendah lemak, kalori cukup, vitamin, dan mineral termasuk 400

mikrogram vitamin B asam folat setiap hari. Pengontrolan berat badan

selama kehamilan dari pertambahan berat badan awal dikisaran 12,5-

15 kg.

3. Hindari rokok atau asap rokok dan jenis polusi lain, minuman

berlkohol, aktivitas fisik yang berlebihan.

4. Penyuluhan kesehatan tentang pertumbuhan dan perkembangan janin

dalam rahim, faktor risiko tinggi dalam kehamilan, dan perawatan diri

selam kehamilan agar mereka dapat menjaga kesehatanya dan janin

yang dikandung dengan baik.

5. Pengontrolon oleh bidan secara berkesinambungan sehingga ibu dapat

merencanakan persalinannya pada kurun umur reproduksi sehat

2.3 Tinggi Badan Orang Tua

Masalah gizi dipengaruhi banyak faktor dan saling mempengaruhi.

Salah satunya adalah faktor genetik dari orang tua, yaitu faktor tinggi dan

berat badan orang tua. Dari beberapa hasil penelitian yang menyatakan

bahwa status gizi disebabkan oleh karakteristik orang tua seperti ukuran

antropometri ibu dan bapak, seperti tinggi badan orang tua memungkinkan

anak memiliki risiko gagal pertumbuhan serta mengalami underweight. Ibu

19
dengan tinggi badan di bawah 150 cm 74,5 persen mempunyai anak yang

pendek, ibu dengan tinggi badan kurang dari 150cm sebesar 3,4 kali

mempunyai anak pendek dan tinggi badan ayah kurang dari 162cm peluang

untuk mempunyai anak pendek sebesar 3,2 kali.9

Tinggi badan merupakan salah satu bentuk dari ekxpresi genetik, dan

merupakan faktor yang diturunkan kepada anak serta berkaitan dengan

kejadian stunting. Anak dengan orang tua yang pendek, baik salah satu atau

keduanya, lebih berisiko untuk tumbuh pendek dibanding anak dengan

orang tua yang tinggi badannya normal.12

Orang tua yang pendek karena gen dalam kromosom yang membawa

sifat pendek kemungkinan besar akan menurunkan sifat pendek tersebut

kepada anaknya. Tetapi bila sifat pendek orang tua disebabkan karena

masalah nutrisi maupun patologis, maka sifat pendek tersebut tidak akan

diturunkan kepada anaknya. 12

20
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif analitik

dengan pendekatan cross sectional yaitu dengan cara pengumpulan data

sekaligus pada suatu waktu dengan tujuan untuk menggambarkan kejadian

berat badan lahir rendah dan karakteristik keluarga. Kemudian data tersebut

diolah secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk grafik dan tabel

frekuensi untuk menentukan jumlah dan presentase masing masing

variabel.13

3.2 Populasi dan Sampel Penelitian

3.2.1 Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah semua ibu yang memiliki anak

usia bawah lima tahun (balita) di wilayah kerja UPT Puskesmas Ketapang

tahun 2018.

3.2.2 Sampel

Sampel kasus dalam penelitian ini adalah ibu yang memiliki anak usia

bawah lima tahun (balita) stunting yang tercatat di UPT Puskesmas

Ketapang pada tahun 2018.

21
3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Wilayah kerja UPT Puskesmas Ketapang

khusunya di desa Bangunrejo dan desa Kemukus. Waktu penelitian dimulai

pada bulan september 2018 sampai dengan selesai.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu

data sekunder dan kuisioner. Data sekunder diambil dari data balita yang

menderita stunting di UPT Puskesmas Ketapang dan kemudian dilanjutkan

dengan wawancara dan pengisian kuesioner yang diperoleh langsung dari

pararesponden.

22
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran distribusi karakteristik Tinggi Orang Tua

61%
60%
40

35

30 39% 40%

25

20 Ayah
Ibu
15

10

0
Tinggi badan Tinggi badan Tinggi Badan Tinggi badan
<160cm >160cm <150cm >150cm

Diagram 4.1 Distribusi karakteristik tinggi badan orang tua

Variable Katergori N %
Tinggi Ayah < 160 24 39%
> 160 39 61%
Tinggi Ibu < 150 25 40%
> 150 38 60%
Tabel 4.1 Karakteristik Tinggi Badan Orang tua

Dari data tabel 4.1 didapatkan bahwa tinggi badan ayah menurut

kategori > 160 centimeter sejumlah 39 responden (61%), kategori <160

centimeter sejumlah 24 responden (39%), kategori tinggi badan ibu > 150

centimeter sejumlah 38 responden (60%) dan kategori tinggi ibu <150

centimeter 25 reponden (40%). Dari hasil tersebut terlihat bahwa anak yang

mengalami stunting lebih besar memiliki ayah dan ibu dengan tinggi badan

23
kategori tidak pendek. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang

dilakukan oleh Atikah Rahayu bahwa tidak terdapat hubungan antara tinggi

badan ayah dan tinggi badan ibu bukan merupakan faktor risiko kejadian

stunting. Kondisi ini sesuai menurut UNICEF bahwa tinggi badan orang tua

bukan merupakan penyebab langsung yang mempengaruhi kurang gizi anak

atau tinggi badan anak, namun faktor penyebab langsung kurang gizi adalah

ketidak cukupan makanan yang dikonsumsi anak dan penyakit infeksi

yanng mungkin diderita oleh sang anak.

Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Dangour, di

kazhakstan membuktikan bahwa ibu yang pendek akan melahirkan anak

yang pendek pula. Selain itu, menurut Hanum, ibu yang memiliki tinggi

badan pendek (<150 centimeter) akan meningkatkan kejadian stunting pada

anak. Baik pada penelitian Dangour maupun Hanum menunjukkan bahwa

stunting pada anak disebabkan faktor alami yang diturunkan oleh ibunya

kepada anaknya melalui genotif pendek yang terdapat pada diri ibu. Akan

tetapi tinggi badan dipengaruhi oleh berbagai faktor, tidak hanya oleh faktor

genetik saja(tinggi badan orang tua), tetapi juga dipengaruhi asupan nutrisi

dan juga penyakit yang diderita. Jika anak mengalami stunting karena

kurangnya asupan gizi sejak kecil, maka stunting pada keturunnya masih

dapat ditanggulangi. Tidak adanya hubungan antara tinggi badan ibu dengan

stunting pada anak dalam penelitian ini kemungkinan dapat disebabkan

karena jumlah sampel yang diteliti sedikit.

24
4.2 Gambaran distribusi karakteristik BBLR

Status BBLR

12 (19%)

BBLR
51 (81%)
Tidak BBLR

Diagram 4.2 karakteristik BBLR

Variabel Kategori n %
Status BBLR BBLR 12 19%
Tidak BBLR 51 81%

Tabel 4.2 Karakteristtik BBLR

Dari data tabel 4.2 didapatkan status BBLR dengan kategori BBLR

sejumlah 12 balita (19%) dan yang tidak BBLR sejumlah 51 balita (81%).

Pada data tersebut masih terdapat anak yang stunting dengan BBLR yang

artinya masih ada kejadian BBLR pada bayi stunting, hal ini sejalan dengan

penelitian yang dilakukan oleh Suwarni et al, bayi dengan BBLR antara lain

dapat mengalami hambatan pertumbuhan atau stunting. Sebagian besar bayi

25
dengan kondisi BBLR kemudian diiringi dengan stunting yang terdapat

pada bayi berjenis kelamin perempuan. Oleh karena itu kondisi ini perlu

ditanggulangi sejak dini mengingat berat bayi lahir merupakan masalah

kesehatan masyarakat yang banyak terjadi di negara berkembang yang erat

kaitannya dengan mortalitas dan morbiditas. Menurut penelitian yang

dilakukan oleh rahmad et al, telah menemukan bahwa faktor prediksi yang

berpengaruh terhadap stunting pada balita adalah BBLR. Anak yang terlahir

BBLR berpotensi stunting dibandingkan anak yang terlahir dengan berat

badan normal. Senada dengan penelitian yang dilakukan line et al, berat

badan lahir rendah (<2500gram) telah diidentifikasi sebagai faktor resiko

penting terkait perkembangan anak selanjutnya.

26
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah di uraikan

sebelumnya, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan anak yang mengalami

stunting lebih besar memiliki ayah dengan tinggi badan kategori tidak

pendek sejumlah 39 responden (61%), sedangkan ayah dengan tinggi

badan pendek sejumlah 24 responden (39%).

2. Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan anak yang mengalami

stunting lebih besar memiliki ibu dengan tinggi badan kategori tidak

pendek sejumlah 38 responden (60%), sedangkan ibu dengan tinggi ibu

<150 centimeter 25 reponden (40%).

3. Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan anak yang mengalami

stunting dengan kategori tidak BBLR lebih besar yakni sejumlah 51

balita (81%) dibandingkan dengan anak dengan kategori BBLR

sejumlah 12 balita (19%).

5.2 Saran

a. Bagi Puskesmas

Diharapkan pada tenaga kesehatan ketika mendapatkan anak yang

lahir dengan keadaan berat badan lahir rendah, maka tenaga kesehatan

memberikan informasi bahwa mereka memiliki risiko untuk menderita

27
stunting (pendek), dan disarankan agar tetap menjaga kesehatan dan

memperhatikan faktor faktor yang dapat menyebabkan stunting.

b. Bagi Peneliti Selanjutnya

Diharapkan peneliti selanjutnya dapat memperluas penelitian dengan

menambahkan faktor lain. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk

mengkaji pola asuh orang tua dan asupan gizi terhadap anak yang

mengalami stunting.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. UNICEF. Ringkasan Kajian Gizi. Jakarta : Pusat Promosi Kesehatan


Kementerian RI; 2012
2. Proyek Kesehatan dan Gizi berbasis Masyarakan Untuk Mengurangi
Stunting. In : Corporation MC; editor. Jakarta
3. Rudert C. Malnutrition in Asia. Vientane: UNICEF East Asia Pacific; 2014
4. I Dewa Nyoman Supariasa BB, Ibnu Fajar. Penilitian Status Gizi: Jakarta
5. Balitbangkes. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI ;
2007
6. Balitbangkes. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI ;
2010
7. Balitbangkes. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI ;
2013
8. Profil Kesehatan Provinsi Lampung. Dinas Kesehatan Provinsi Lampung;
2013
9. Atiqah R, Fahri Y, Andini OP, Fauzie R. Riwayat Berat Badan Lahir
Rendah dengan Kejadian Stunting Anak Usia Bawah Dua Tahun. 2015
10. Profil Puskesmas Ketapang tahun 2016
11. Onetufifsi P. Pengaruh BBLR Terhadap Kejadian Stunting pada Anak Usia
12-60 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas PAUH. 2018
12. Kukuh ES, Nuryanto. Fakrot Risiko Kejadian Stunting Pada Anak Usia 2-3
Tahun. 2013
13. Notoatmojo, Soekidjo.2002. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta:
Rineka Cipta.

29
LAMPIRAN

30

Anda mungkin juga menyukai

  • Komplikasi DM
    Komplikasi DM
    Dokumen4 halaman
    Komplikasi DM
    Jorghi Rezkivan
    Belum ada peringkat
  • Komplikasi Hipertensi
    Komplikasi Hipertensi
    Dokumen14 halaman
    Komplikasi Hipertensi
    Jorghi Rezkivan
    Belum ada peringkat
  • Keloid
    Keloid
    Dokumen5 halaman
    Keloid
    Jorghi Rezkivan
    Belum ada peringkat
  • Keloid
    Keloid
    Dokumen5 halaman
    Keloid
    Jorghi Rezkivan
    Belum ada peringkat
  • Pengertian BBLR
    Pengertian BBLR
    Dokumen2 halaman
    Pengertian BBLR
    Jorghi Rezkivan
    Belum ada peringkat
  • BBLR
    BBLR
    Dokumen2 halaman
    BBLR
    Jorghi Rezkivan
    Belum ada peringkat
  • Tinea Pedis
    Tinea Pedis
    Dokumen1 halaman
    Tinea Pedis
    Jorghi Rezkivan
    Belum ada peringkat
  • Blefaritis
    Blefaritis
    Dokumen4 halaman
    Blefaritis
    Jorghi Rezkivan
    Belum ada peringkat
  • Tinea Fasialis
    Tinea Fasialis
    Dokumen1 halaman
    Tinea Fasialis
    Jorghi Rezkivan
    Belum ada peringkat
  • CV Jorghi
    CV Jorghi
    Dokumen3 halaman
    CV Jorghi
    Jorghi Rezkivan
    Belum ada peringkat