Anda di halaman 1dari 32

Tanggal Pertemuan : 3 Januari 2022

Tanggal Dikumpulkan : 20 Januari 2022

MAKALAH
DEFISIENSI KALORI DAN PROTEIN
Makalah Ini Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Epidemiologi Gizi
Dosen Pengampu: Mahfuzhoh Fadillah Heryanda, M.Gz

Disusun Oleh:

1. Cindy Tri Pibriyanti (20213091002)


2. Fajar Surya Alam (20213091008)
3. Lina Layinatul Fuadah (20213091017)
4. Putri Maharani (20213091004)

PROGRAM STUDI GIZI

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM AL-IHYA KUNINGAN

2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan yang maha esa yang telah memberikan
limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas
makalah yang berjudul “Defisiensi Kalori dan Protein”. Makalah ini disusun
untuk memenuhi tugas mata kuliah Epidemiologi Gizi, Prodi Gizi, Universitas
Islam Al-Ihya Kuningan.
Dalam penulisan makalah ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada
Ibu Mahfuzhoh Fadillah Heryanda, M.Gz., selaku dosen pengampu mata kuliah
ini, yang telah membimbing dan memotivasi dalam pembelajaran. Selain itu,
penulis juga berterimakasih kepada pihak yang telah membantu serta mendukung
untuk kelancaran penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa sepenuhnya dalam penulisan makalah ini masih
banyak terdapat kekurangan. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik dan saran
yang membangun dari pembaca dan pihak lainnya untuk menjadi bahan acuan dan
perbaikan penulis ke depannya. Akhir kata, penulis mengucapkan terimakasih dan
semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Kuningan, Januari 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................. i

DAFTAR ISI ............................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................... 1

A. Latar belakang .................................................................................................. 1


B. Rumusan masalah ............................................................................................. 2
C. Tujuan............................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................ 4

A. Gizi Buruk dan Gizi Kurang ............................................................................ 4


1. Prevalensi Gizi Buruk dan Gizi Kurang di Dunia ...................................... 4
2. Prevalensi Gizi Buruk dan Gizi Kurang di Indonesia ................................ 4
3. Pengertian Gizi Buruk dan Gizi Kurang .................................................... 6
4. Faktor Risiko Gizi Buruk dan Gizi Kurang ............................................... 7
5. Dampak Jangka Pendek dan Jangka Panjang ............................................. 8
6. Manajemen Penyakit Gizi Buruk dan Gizi Kurang.................................... 9
7. Pengendalian Faktor Risiko Gizi Buruk dan Gizi Kurang ....................... 10
B. Stunting .......................................................................................................... 12
1. Prevalensi Stunting di Dunia .................................................................... 12
2. Prevalensi Stunting di Indonesia .............................................................. 12
3. Pengertian Stunting .................................................................................. 14
4. Faktor Risiko Stunting ............................................................................. 15
5. Dampak Jangka Pendek dan Jangka Panjang ........................................... 16
6. Manajemen Penyakit Stunting ................................................................. 17
7. Pengendalian Faktor Risiko Stunting ....................................................... 18
C. Kebijakan Penanganan Gizi Buruk, Gizi Kurang dan Stunting
di Indonesia .................................................................................................... 19

BAB III PENUTUP .................................................................................................. 25

ii
A. Kesimpulan..................................................................................................... 25
B. Saran ............................................................................................................... 26

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 27

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kecukupan gizi dan pangan merupakan salah satu faktor terpenting dalam
mengembangkan kualitas sumber daya manusia, sebagai indikator
keberhasilan pembangunan suatu bangsa. Dalam hal ini gizi memiliki
pengaruh terhadap kecerdasan dan produktivitas kerja sumber daya manusia
(Almatsier, 2001). Saat ini Indonesia masih menghadapi permasalahan gizi
yang berdampak serius terhadap kualitas sumber daya manusia (SDM). Salah
satu masalah kekurangan gizi yang masih cukup tinggi di Indonesia adalah
pendek (stunting) dan kurus (wasting) pada balita dan kurang energi kronik
(KEK) pada ibu hamil. Masalah kekurangan gizi pada ibu hamil tersebut pada
akhirnya dapat menyebabkan berat badan bayi lahir rendah (BBLR) dan
kekurangan gizi pada balita.
Masalah malnutrisi di Indonesia merupakan masalah kesehatan yang
belum bisa diatasi sepenuhnya oleh pemerintah. Hal ini terbukti dari data-data
survei dan penelitian seperti Riset Kesehatan Dasar 2018 yang menyatakan
bahwa prevalensi stunting severe (sangat pendek) di Indonesia adalah 19,3%,
lebih tinggi dibanding tahun 2013 (19,2%) dan tahun 2007 (18%).
Permasalahan gizi disebabkan oleh penyebab langsung seperti asupan
makanan yang tidak adekuat dan penyakit infeksi. Sedangkan penyebab tidak
langsung permasalahan gizi adalah masih tingginya kemiskinan, rendahnya
sanitasi lingkungan, ketersediaan pangan yang kurang, pola asuh yang kurang
baik, dan pelayanan kesehatan yang belum optimal (Kemenkes RI, 2017).
Berdasarkan faktor risiko tersebut, maka perlu adanya pengendalian faktor
risiko dengan cara melakukan upaya pencegahan. Ada berbagai cara yang
dapat dilakukan untuk mencegah masalah gizi buruk, gizi kurang dan
stunting. Tentunya dalam upaya pencegahan mencegah masalah gizi buruk,
gizi kurang dan stunting memerlukan koordinasi antar lintas sektor dan

1
melibatkan berbagai pemangku kepentingan seperti pemerintah pusat,
pemerintah daerah, dunia usaha/industri, dan masyarakat umum.
Pemerintah telah banyak mengadakan program-program untuk mengatasi
permasalahan gizi dan stunting, hal ini tampak bahwa telah banyak upaya
yang dilakukan oleh pemerintah dalam menurunkan prevalensi stunting yang
tentunya disertai dengan alokasi anggaran yang tidak sedikit, hanya saja
walaupun terjadinya penurunan prevalensi berdasarkan hasil Riskesdas 2018,
penurunan tersebut masih dikatakan jauh dari yang ditargetkan.

B. Rumusan Masalah
1. Berapa prevalensi gizi kurang, gizi buruk dan stunting di dunia?
2. Berapa prevalensi gizi kurang, gizi buruk dan stunting di Indonesia?
3. Apa pengertian gizi kurang, gizi buruk dan stunting?
4. Apa faktor risiko dari gizi kurang, gizi buruk dan stunting?
5. Apa dampak jangka pendek dan jangka panjang gizi kurang, gizi buruk
dan stunting?
6. Bagaimana manajemen penyakit gizi kurang, gizi buruk dan stunting?
7. Bagaimana pengendalian faktor risiko gizi kurang, gizi buruk dan
stunting?
8. Bagaimana kebijkan penanganan gizi kurang, gizi buruk dan stunting di
Indonesia?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui prevalensi gizi kurang, gizi buruk dan stunting di
dunia.
2. Untuk mengetahui prevalensi gizi kurang, gizi buruk dan stunting di
Indonesia.
3. Untuk mengetahui pengertian gizi kurang, gizi buruk dan stunting.
4. Untuk mengetahui faktor risiko dari gizi kurang, gizi buruk dan stunting.
5. Untuk mengetahui dampak jangka pendek dan jangka panjang gizi
kurang, gizi buruk dan stunting.

2
6. Untuk mengetahui manajemen penyakit gizi kurang, gizi buruk dan
stunting.
7. Untuk mengetahui pengendalian faktor risiko gizi kurang, gizi buruk dan
stunting.
8. Untuk mengetahui kebijkan penanganan gizi kurang, gizi buruk dan
stunting di Indonesia.

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Gizi Buruk dan Gizi Kurang


1. Prevalensi Gizi Buruk dan Gizi Kurang di Dunia
Prevalensi gizi buruk di dunia 14,9% dan regional dengan
prevalensi tertinggi Asia Tenggara sebesar 27,3 % (WHO, 2015).
Berdasarkan data laporan Global Nutrition pada 2016 menunjukkan
bahwa Indonesia menempati urutan ke 108 dunia dengan kasus gizi buruk
terbanyak.
Pada tahun 2013, terdapat 51 juta balita di dunia menderita gizi
kurang dan 17 juta gizi buruk. Secara global, prevalensi gizi kurang pada
tahun 2013 diperkirakan hampir 8% dan hampir sepertiga dari itu adalah
gizi buruk, sebesar 3%.

2. Prevalensi Gizi Buruk dan Gizi Kurang di Indonesia


Hasil utama Riskesdas 2018 menunjukkan bahwa proporsi status
gizi buruk (severe wasting atau “sangat kurus” pada balita telah menurun
dari 6,2% (2007) menjadi 5,3% (2013) dan 3,5% (2018); sedangkan status
gizi kurang (wasting atau “kurus”) dari 7,4% (2007) menjadi 6,8% (2013)
dan 6,7% (2018).
Gambar 1. Proporsi status gizi buruk dan gizi kurang pada balita, 2007-
2018 Riskesdas.

Sumber: Riskesdas, 2018


Riskesdas 2018 memberikan gambaran proporsi status gizi “sangat
kurus” (gizi buruk) dan “kurus” (gizi kurang) pada balita menurut

4
provinsi pada tahun 2013 dan 2018 (Gambar 2). Provinsi yang
mempunyai angka sangat tinggi diantaranya adalah: NTB (14,4% pada
tahun 2018 dan sedikit meningkat dari tahun 2013), diikuti oleh
Gorontalo, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Maluku, Kalimantan
Selatan, Sulawesi Tengah (dengan kenaikan prevalensi pada tahun 2018)
dan NTT; sedangkan provinsi dengan proporsi terendah diantaranya
adalah: Kalimantan Utara (4,6% pada tahun 2018), diikuti oleh Bali,
Kalimantan Timur, Bengkulu, Jawa Barat, DI Yogyakarta, Jawa Tengah
dan Jawa Timur dengan proporsi di bawah 10%. Menurut kriteria WHO,
provinsi-provinsi di Indonesia termasuk dalam kategori “serius”
(prevalensi 10-14%), “buruk” (5-9%) dan “dapat diterima” (kurang dari
5%).

Gambar 2. Proporsi status gizi buruk (“sangat kurus”) dan gizi kurang
(“kurus”) pada balita menurut provinsi, 2013-2018, Riskesdas 2018

Sumber: Riskesdas, 2018.


Dengan jumlah penduduk Indonesia sekitar 260 juta pada tahun
2017 dan proporsi balita (0-59 bulan) sekitar 8,8%, maka jumlah balita
total sekitar 23 juta. Perkiraan jumlah balita dengan gizi buruk adalah:
3,5% x 23 juta = 805.000 balita. Dengan cakupan penanganan balita gizi
buruk yang diperkirakan mencapai sekitar 20.000 balita pada tahun 2017,

5
maka cakupan penanganan kasus balita dengan gizi buruk baru mencapai
sekitar 2,5% dari perkiraan jumlah total balita gizi buruk.

3. Pengertian Gizi Buruk dan Gizi Kurang


Gizi buruk adalah keadaaan gizi balita yang ditandai dengan
kondisi sangat kurus, disertai atau tidak edema pada kedua punggung
kaki, berat badan menurut panjang badan atau tinggi badan kurang dari -3
standar deviasi, dan/atau lingkar lengan atas kurang dari 11,5 pada anak
usia 6-59 bulan.
Menurut WHO (2013), gizi buruk dibedakan menurut umur anak:
a) Usia kurang dari 6 bulan dengan BB/PB (atau BB/TB) kurang dari -3
SD, atau edema bilateral yang bersifat pitting (tidak kembali setelah
ditekan).
b) Usia 6-59 bulan: dengan BB/PB (atau BB/TB) kurang dari -3 SD atau
LiLA < 11,5 cm, atau edema bilateral yang bersifat pitting.
Berdasarkan ada/tidaknya komplikasi, gizi buruk dikategorikan sebagai
berikut.
a) Gizi buruk tanpa komplikasi, yang ditandai3 :
1) Lingkar lengan atas (LiLA) < 11,5 cm untuk balita berusia 6-59
bulan;
2) BB/PB (atau BB/TB) kurang dari -3 SD;
3) Adanya edema bilateral dengan derajat +1 atau +2.
b) Gizi buruk dengan komplikasi, yang ditandai oleh hal tersebut di atas
dan adanya satu atau lebih komplikasi berikut (sama dengan tanda
bahaya pada MTBS)
1) Anoreksia;
2) Dehidrasi berat (muntah terus-menerus, diare);
3) Cetargi atau penurunan kesadaran;
4) Demam tinggi;
5) Pneumonia berat (sulit bernafas atau bernafas cepat);
6) Anemia berat.

6
Gizi kurang adalah keadaaan gizi balita yang ditandai dengan kondisi
kurus, disertai atau tidak edema pada kedua punggung kaki, berat badan
menurut panjang badan atau tinggi badan kurang dari -2 sampai dengan -3
standar deviasi, dan/atau lingkar lengan 11,5-12,5 cm pada anak usia 6-59
bulan.
Sebelum mengalami gizi kurang, balita terlebih dahulu mengalami
keadaan yang disebut sebagai hambatan pertumbuhan (growth faltering).
Keadaan ini ditandai oleh berat badan yang: i) naik, tapi tidak optimal; ii)
tidak naik; atau iii) turun pada penimbangan bulanan.

4. Faktor Risiko Gizi Buruk dan Gizi Kurang


Gizi buruk pada balita merupakan masalah kesehatan masyarakat
yang kompleks. Akar masalahnya terkait dengan ketahanan pangan dan
gizi, kemiskinan, pendidikan, keamanan, ketersediaan air bersih, higiene
dan sanitasi lingkungan, serta terkait dengan situasi darurat atau bencana.
Berbagai kondisi tersebut akan berpengaruh terhadap daya beli, akses
pangan, kerentanan terhadap penyakit, akses informasi dan akses terhadap
pelayanan yang mendasari terjadinya penyebab langsung dan tidak
langsung masalah kekurangan gizi.
Faktor risiko gizi buruk pada bayi < 6 bulan yang sering ditemukan
sebagai berikut.
a. Bayi berat lahir rendah (BBLR), yaitu berat lahir di bawah 2500 g.
b. Penyakit/kelainan bawaan.
c. Pola asuh yang tidak menunjang proses tumbuh kembang bayi dan
gangguan kesehatan ibu setelah melahirkan.

7
Gambar 3. Kerangka hubungan antara faktor penyebab kekurangan
gizi pada ibu dan anak

Sumber: Kemenkes, 2019.

5. Dampak Jangka Pendek dan Jangka Panjang


Dampak kekurangan gizi pada balita sebagai berikut.
a. Jangka pendek: meningkatkan angka kesakitan, kematian dan
disabilitas.
b. Jangka panjang: dapat berpengaruh tidak tercapainya potensi yang ada
ketika dewasa; perawakan pendek, mempengaruhi sistem kekebalan
tubuh, menurunkan kecerdasan, produktivitas kerja dan fungsi
reproduksi; serta meningkatkan risiko (pada usia dewasa) untuk
mengalami obesitas, menderita diabetes, hipertensi, penyakit jantung,
keganasan dan penyakit generatif lainnya.

8
Gambar 4. Dampak Jangka Pendek dan Jangka Panjang

Sumber: Kemenkes, 2019.

6. Manajemen Penyakit Gizi Buruk dan Gizi Kurang


Dalam Upaya Pengelolaan Gizi Buruk Terintegrasi menekankan
pentingnya peran serta aktif keluarga dan masyarakat serta lintas sektor
terkait dalam upaya penanggulangan gizi buruk pada balita. Upaya ini
juga menganjurkan layanan rawat jalan untuk balita berusia 6-59 bulan
dengan gizi buruk tanpa komplikasi. Apabila terdapat komplikasi, maka
balita perlu menjalani rawat inap sampai komplikasi teratasi dan
selanjutnya diperbolehkan menjalani rawat jalan sampai sembuh
sepenuhnya. Untuk bayi berusia kurang dari 6 bulan dengan gizi buruk,
dianjurkan rawat inap, walaupun tidak ada komplikasi.
Tatalaksana balita dengan gizi buruk telah diterapkan sejak lama
melalui rawat inap di rumah sakit atau puskesmas rawat inap. Tatalaksana
meliputi pemberian F-75 dan F-100, serta pengobatan komplikasi atau
penyakit penyerta. Selama ini, rawat jalan diterapkan pada balita gizi
kurang dengan pemberian PMT dan konseling.

9
7. Pengendalian Faktor Risiko Gizi Buruk dan Gizi Kurang
Pengendalian faktor risiko merupakan hal yang penting, sebagai
upaya pencegahan gizi buruk dan gizi kurang. Dalam pengendalian faktor
risiko ini harus melibatkan semua pihak, termasuk keluarga dan
masyarakat harus memahami faktor penyebab gizi buruk serta mampu
mencegah terjadinya gizi kurang. Hal-hal penting yang perlu dipelajari
antara lain:
a. Kebutuhan zat gizi (jenis, kuantitas) untuk remaja puteri, ibu
hamil/menyusui dan balita;
b. Pengetahuan ibu/pengasuh anak tentang makanan bergizi;
c. Pola pemberian makanan pada bayi dan anak balita;
d. Ketersediaan, akses dan daya beli terhadap makanan lokal bergizi;
e. Perilaku untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, seperti
imunisasi, dan pelayanan kesehatan lainnya dalam mencegah dan
menangani penyakit;
f. Ketersediaan/pemanfaatan air bersih, jamban keluarga dan
kebersihan lingkungan.
Upaya pencegahan gizi buruk pada bayi kurang dari 6 bulan adalah
dengan mencegah timbulnya faktor-faktor risiko tersebut, yang meliputi
upaya peningkatan kesehatan ibu, pertolongan persalinan dan pelayanan
kesehatan bayi berkualitas. Kemenkes menjadikan upaya-upaya tersebut
sebagai paket pelayanan Seribu Hari Pertama Kehidupan (1000 HPK).
Tujuannya mengawal status gizi ibu dan janin/bayinya agar tetap sehat
sejak di dalam kandungan (270 hari) sampai usia dua tahun (730 hari),
melalui;

a. Pencegahan pernikahan dini dan kehamilan pada remaja puteri.


b. Pemberian tablet tambah darah pada remaja puteri.
c. Konseling pranikah.
d. Peningkatan upaya kepesertaan Keluarga Berencana (KB).

10
e. Pelayanan antenatal sesuai dengan standar, termasuk mengatasi
penyakit kronis pada ibu, pemberian makanan tambahan pada ibu
hamil KEK, pemberian Buku KIA, edukasi tentang inisiasi menyusu
dini (IMD) dan promosi ASI eksklusif.
f. Pelayanan persalinan dan nifas serta kunjungan neonatal sesuai
dengan standar dan mengatasi penyulit maupun komplikasi.
g. Pemantauan dan stimulasi tumbuh kembang anak.
h. Pelayanan imunisasi dasar.
i. Pelayanan kesehatan bayi sesuai dengan standar melalui pendekatan
Manajemen Terpadu Balita Muda (MTBM) bagi bayi < 2 bulan dan
Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) bagi bayi > 2 bulan
sampai 59 bulan.
j. Upaya penanggulangan kelainan bawaan.

Gambar 5. Keterkaitan berbagai faktor risiko dan dampak kekurangan gizi


pada 1000 HPK.

Sumber: Kemenkes RI, 2019.

11
B. Stunting
1. Prevalensi Stunting di Dunia
Kejadian balita pendek atau biasa disebut dengan stunting
merupakan salah satu masalah gizi yang dialami oleh balita di dunia saat
ini. Pada tahun 2017, 22,2% atau sekitar 150,8 juta balita di dunia
mengalami stunting. Menurut WHO (2018) prevalensi stunting pada
balita di dunia sebesar 22%.
Gambar 6. Prevalensi Stunting di Dunia

Sumber: WHO 2019


Pada tahun 2017, lebih dari setengah balita stuntingdi dunia berasal
dari Asia (55%) sedangkan lebih dari sepertiganya (39%) tinggal di
Afrika. Dari 83,6 juta balita stunting di Asia, proporsi terbanyak
berasal dari Asia Selatan (58,7%) dan proporsi paling sedikit
di Asia Tengah (0,9%). Data Prevalensi balita stunting yang dikumpulkan
World Health Organization (WHO) menunjukkan bahwa Indonesia
termasuk ke dalam negara ketiga dengan prevalensi tertinggi di
regional Asia Tenggara/South-East.Asia Regional (SEAR). Rata-rata
prevalensi balita stunting di Indonesia tahun 2005-2018 adalah 30,8 %
(Riskesdas 2018).

2. Prevalensi Stunting di Indonesia


Kejadian balita stunting (pendek) merupakan masalah gizi utama
yang dihadapi Indonesia. Berdasarkan data Pemantauan Status Gizi (PSG)
selama tiga tahun terakhir, pendek memiliki prevalensi tertinggi
dibandingkan dengan masalah gizi lainnya seperti gizi kurang, kurus, dan

12
gemuk. Prevalensi balita pendek mengalami peningkatan dari tahun 2016
yaitu 27,5% menjadi 29,6% pada tahun 2017.
Hasil utama Riskesdas 2018 menunjukkan bahwa proporsi balita
“sangat pendek” pada balita telah menurun dari 18,8% (2007) menjadi
18,0% (2013) dan 11,5% (2018); sedangkan balita pendek justru
mengalami peningkatan dari 18,0% (2007) menjadi 19,2% (2013) dan
19,3% (2018).
Gambar 7. Proporsi Stunting pada 2007-2018

Sumber: Riskesdas, 2018


Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 angka
prevalensi stunting di Indonesia yaitu 36,8%, tahun 2010 yaitu 35,6%,
dan pada tahun 2013 prevalensinya meningkat menjadi 37,2%, terdiri dari
18% sangat pendek dan 19,2% pendek. Data Riskesdas tahun 2018
menunjukkan prevalensi balita stunting di Indonesia sebesar 30,8%.
Berdasarkan batasan WHO Indonesia berada pada kategori masalah
stunting yang tinggi.
Gambar 8. Proporsi Stunting Menurut Provinsi

Sumber: Riskesdas, 2018

13
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan Pada
2018 menemukan 30,8% mengalami stunting. Walaupun prevalensi
stunting menurun dari angka 37,2% pada tahun 2013, namun angka
stunting tetap tinggi dan masih ada 2 (dua) provinsi dengan prevalensi di
atas 40%.

3. Pengertian Stunting
Stunting adalah kondisi tinggi badan seseorang yang kurang dari
normal berdasarkan usia dan jenis kelamin. Tinggi badan merupakan
salah satu jenis pemeriksaan antropometri dan menunjukkan status gizi
seseorang. Adanya stunting menunjukkan status gizi yang kurang
(malnutrisi) dalam jangka waktu yang lama (kronis).
Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat
kekurangan gizi kronis terutama pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan
(HPK). Kondisi gagal tumbuh pada anak balita disebabkan oleh
kurangnya asupan gizi dalam waktu lama serta terjadinya infeksi
berulang, dan kedua faktor penyebab ini dipengaruhi oleh pola asuh yang
tidak memadai terutama dalam 1.000 HPK. Anak tergolong stunting
apabila panjang atau tinggi badan menurut umurnya lebih rendah dari
standar nasional yang berlaku. Standar dimaksud terdapat pada buku
Kesehatan ibu dan Anak (KIA) dan beberapa dokumen lainnya.
Menurut data yang dilansir WHO, 150,8 juta anak di bawah lima
tahun mengalami stunted. Stunting (Tubuh Pendek) adalah keadaan tubuh
yang sangat pendek hingga melampau defisit 2 SD dibawah median
panjang atau tinggi badan populasi yang menjadi referensi internasional.
Stunting adalah keadaan dimana tinggi badan berdasarkan umur rendah,
atau keadaan dimana tubuh anak lebih pendek dibandingkan dengan anak-
anak lain seusianya (MCN, 2009). Stunted adalah tinggi badan yang
kurang menurut umur (<-2 SD), ditanndai dengan terlambatnya
pertumbuhan anak yang mengakibatkan kegagalan dalam mencapai tinggi
badan yang normal dan sehat sesuai usia anak. Stunted erupakan

14
kekurangan gizi kronis atau kegagalan pertumbuhan dimasa lalu dan
digunakan sebagai indikator jangja panjang untuk gizi kurang pada anak.
Pada Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
1995/MENKES/SK/XII/2010 tanggal 30 Desember 2010 tentang standar
antropometri penilaian status gizi anak, pengertian pendek dan sangat
pendek adalah status gizi yang didasarkan pada indeks Panjang Badan
menurut Umur (PB/U) atau tinggi Badan menurut Umur (TB/U) yang
merupakan padanan istilah stunted (pendek) dan severly. Dengan kata lain
stunting dapat diketahui bila seorang balita sudah ditimbang berat
badannya dan diukur panjang atau tinggi badannya, lalu dibandingkan
dengan standar, dan hasilnya berada dibawah normal. Jadi secara fisik
balta akan lebih pendek dibandidngkan balita seumurannya.

4. Faktor Risiko Stunting


Stunting merefleksikan gangguan pertumbuhan sebagai dampak
dari rendahnya status gizi dan kesehatan pada periode pre- dan post-natal.
UNICEF framework menjelaskan tentang faktor penyebab terjadinya
malnutrisi. Dua penyebab langsung stunting adalah faktor penyakit dan
asupan zat gizi. Kedua faktor ini berhubungan dengan faktor pola asuh,
akses terhadap makanan, akses terhadap layanan kesehatan dan sanitasi
lingkungan. Namun, penyebab dasar dari semua ini adalah terdapat pada
level individu dan rumah tangga tersebut, seperti tinggkat pendidikan,
pendapatan rumahtangga. Banyak penelitian cross-sectional menemukan
hubungan yang erat antara tingkat pendidikan ibu dengan status gizi anak
(Bloem MW, de Pee S, Hop LT, Khan NC, Laillou A, Minarto, et al.,
2013).
Menurut WHO (2013) penyebab terjadinya stunting pada anak
terbagi menjadi 4 kategori besar yaitu faktor keluarga dan rumah tangga,
makanan tambahan/komplementer yang tidak adekuat, menyusui, dan
infeksi. Faktor keluarga dan rumah tangga dibagi lagi menjadi faktor
maternal dan faktor lingkungan rumah. Faktor maternal berupa nutrisi

15
yang kurang pada saat prekonsepsi, kehamilan, dan laktasi, tinggi badan
ibu yang rendah, infeksi, kehamilah pada usia remaja, kesehatan mental,
intrauterine growth restriction (IUGR) dan kelahiran preterm, jarak
kehamilan yang pendek, dan hipertensi. Faktor lingkungan rumah berupa
stimulasi dan aktivitas anak yang tidak adekuat, perawatan yang kurang,
sanitasi dan pasukan air yang tidak adekuat, akses dan ketersediaan
pangan yang kurang, alokasi makanan dalam rumah tangga yang tidak
sesuai, edukasi pengasuh yang rendah (WHO, 2013).

5. Dampak Jangka Pendek dan Jangka Panjang


Stunting dapat menyebabkan organ tubuh tidak tumbuh dan
berkembang secara optimal. Dalam jangka pendek dan jangka panjang,
stunting dapat mengakibatkan dampak yaitu sebagai berikut.
 Dalam jangka pendek, stunting menyebabkan gagal tumbuh,
hambatan perkembangan kognitif dan motorik, dan tidak optimalnya
ukuran fisik tubuh serta gangguan metabolisme.
 Dalam jangka panjang, stunting menyebabkan menurunnya kapasitas
intelektual. Gangguan struktur dan fungsi saraf dan sel-sel otak yang
bersifat permanen dan menyebabkan penurunan kemampuan
menyerap pelajaran di usia sekolah yang akan berpengaruh pada
produktivitasnya saat dewasa. Selain itu, kekurangan gizi juga
menyebabkan gangguan pertumbuhan (pendek dan atau kurus) dan
meningkatnya risiko penyakit tidak menular seperti diabetes melitus,
hipertensi, jantung koroner, disabilitas pada usia tua. dan stroke.

16
Gambar 9. Dampak Stunting terhadap Kualitas Sumber Daya
Manusia

Sumber: Kementerian PPN/Bappenas (2018)

6. Manajemen Penyakit Stunting


Penatalaksanaan stunting meliputi perbaikan nutrisi, mengatasi
infeksi dan penyakit kronis yang ada, perbaikan sanitasi dan lingkungan
serta edukasi ibu tentang perilaku hidup bersih dan sehat.
Penanganan anak kerdil (stunting) memerlukan koordinasi antar
sektor dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan seperti pemerintah
pusat, pemerintah daerah, dunia usaha/industri, dan masyarakat umum.
Penangan stunting dilakukan melalui Intervensi Gizi Spesifik dan
Intervensi Gizi Sensitif pada sasaran 1.000 hari pertama kehidupan
seorang anak sampai berusia 6 tahun. Intervensi Gizi Spesifik adalah
intervensi yang ditujukan kepada anak dalam 1.000 Hari Pertama
Kehidupan (HPK). Kegiatan ini umumnya dilakukan edukasi kesehatan
seksual dan reproduksi serta gizi pada remaja, dan menyediakan bantuan
dan jaminan sosial bagi keluarga miskin. Intervensi Gizi Spesifik
menyasar pada tiga target sasaran, yaitu ibu hamil, ibu menyusui dan anak
usia 0-6 bulan, dan ibu menyusui dan anak usia 7-23 bulan. Beberapa hal
yang dilakukan pemerintah melalui Kementerian Kesehatan antara lain
memberikan makanan tambahan pada ibu hamil untuk mengatasai
kekurangan energi dan protein kronis, mendorong inisiasi menyusui dini
(IMD) dan pemberian ASI eksklusif, serta mendorong penerusan

17
pemberian ASI hingga usia 23 bulan didampingi oleh pemberian makanan
pendamping ASI (MP-ASI).
Intervensi Gizi Sensitif adalah intervensi yang ditujukan melalui
berbagai kegiatan pembangunan di luar sektor kesehatan. Sasarannya
adalah masyarakat umum, dan tidak khusus untuk 1.000 hari pertama
kehidupan. Intervensi Gizi Sensitif antara lain dilakukan dengan
menyediakan dan memastikan akses pada air bersih dan sanitasi,
memberikan Pendidikan pengasuhan pada orangtua, memberikan
pendidikan gizi masyarakat, memberikan edukasi kesehatan seksual dan
reproduksi serta gizi pada remaja, dan menyediakan bantuan dan jaminan
sosial bagi keluarga miskin.

7. Pengendalian Faktor Risiko Stunting


Periode 1000 hari pertama sering disebut window of opportunities
atau periode emas ini didasarkan pada kenyataan bahwa pada masa janin
sampai anak usia dua tahun terjadi proses tumbuh-kembang yang sangat
cepat dan tidak terjadi pada kelompok usia lain. Gagal tumbuh pada
periode ini akan mempengaruhi status gizi dan kesehatan pada usia
dewasa. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya-upaya pencegahan
masalah stunting ini mengingat tingginya prevalensi stunting di
Indonesia. Dalam pengendalian faktor risiko stunting, maka diperlukan
upaya pencegahan. Pemerintah telah menetapkan kebijakan pencegahan
stunting, melalui Keputusan Presiden Nomor 42 tahun 2013 tentang
Gerakan Nasional Peningkatan Percepatan Gizi dengan fokus pada
kelompok usia pertama 1000 hari kehidupan, yaitu sebagai berikut:
(Kemenkes RI, 2013).
a. Ibu hamil mendapat Tablet Tambah Darah (TTD) minimal 90 tablet
selama kehamilan.
b. Pemberian Makanan Tambahan (PMT) ibu hamil
c. Pemenuhan gizi
d. Persalinan dengan dokter atau bidan yang ahli

18
e. Pemberian Inisiasi Menyusu Dini (IMD)
f. Pemberian Air Susu Ibu (ASI) secara eksklusif pada bayi hingga usia
6 bulan
g. Memberikan Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) untuk bayi diatas 6
bulan hingga 2 tahun
h. Pemberian imunisasi dasar lengkap dan vitamin A
i. Pemantauan pertumbuhan balita di posyandu terdekat
j. Penerapan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS).

C. Kebijakan Penanganan Gizi Buruk, Gizi Kurang dan Stunting di


Indonesia
Komitmen untuk percepatan perbaikan gizi diwujudkan dengan
ditetapkannya Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2013 tentang Gerakan
Nasional Percepatan Perbaikan Gizi yang mengintegrasikan pelayanan
kesehatan, terutama kesehatan ibu, anak dan pengendalian penyakit dengan
pendekatan berbagai program dan kegiatan yang dilakukan lintas sektor.
Implementasi perbaikan gizi juga dituangkan ke dalam Rencana Aksi
Nasional Pangan dan Gizi (RAN-PG) 2015-2019.
Penyusunan dan implementasi rencana aksi pangan dan gizi dalam bentuk
Rencana Aksi Pangan dan Gizi Daerah (RAD-PG) sedang berlangsung di
provinsi dan kabupaten/kota. Sebagai panduan dalam mengintegrasikan
pembangunan pangan dan gizi, pemerintah telah menetapkan Peraturan
Presiden Nomor 83 tahun 2017 tentang Kebijakan Strategis Pangan dan Gizi
yang selanjutnya diikuti penetapan Peraturan Menteri PPN/Kepala Bappenas
Nomor 1 Tahun 2018 tentang Pedoman Rencana Aksi Nasional Pangan dan
Gizi yang menetapkan RAN-PG, Pedoman Penyusunan RAD-PG, dan
Pedoman Pemantauan dan Evaluasi RAN/RAD-PG.
Selain itu, pemerintah telah menetapkan Peraturan Presiden Nomor 59
tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan (TPB). Upaya percepatan perbaikan gizi merupakan bagian

19
dari TPB tujuan dua yaitu mengakhiri kelaparan, mencapai ketahanan pangan
dan nutrisi yang lebih baik dan mendukung pertanian berkelanjutan. Stunting
telah ditetapkan sebagai prioritas nasional dalam dokumen perencanaan dan
TPB. Adapun strategi percepatan perbaikan gizi dalam dokumen perencanaan
RPJMN 2015-2019 adalah sebagai berikut:
1. Peningkatan surveilans gizi termasuk pemantauan pertumbuhan
2. Peningkatan akses dan mutu paket pelayanan kesehatan dan gizi dengan
fokus utama pada 1.000 hari pertama kehidupan (ibu hamil hingga anak
usia 2 tahun), balita, remaja, dan calon pengantin
3. Peningkatan promosi perilaku masyarakat tentang kesehatan, gizi,
sanitasi, higiene, dan pengasuhan
4. Peningkatan peran masyarakat dalam perbaikan gizi termasuk melalui
Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat/UKBM (Posyandu dan Pos
PAUD)
5. Penguatan pelaksanaan, dan pengawasan regulasi dan standar gizi
6. Pengembangan fortifikasi pangan
7. Penguatan peran lintas sektor dalam rangka intervensi sensitif dan
spesifik yang didukung oleh peningkatan kapasitas pemerintah pusat,
provinsi dan kabupaten/kota dalam pelaksanaan rencana aksi pangan dan
gizi.

Sasaran pokok dan arah kebijakan RPJMN 2015-2019 tersebut di atas


selanjutnya telah diterjemahkan ke dalam perencanaan dan penganggaran
tahunan (Rencana Kerja Pemerintah/RKP) dimana percepatan perbaikan gizi
masyarakat telah menjadi agenda prioritas dalam mulai RKP tahun 2015,
2016, 2017, dan 2018. Pada RKP 2018, pembangunan kesehatan difokuskan
pada tiga program prioritas mencakup: (a) peningkatan kesehatan ibu dan
anak; (b) pencegahan dan pengendalian penyakit; dan (c) penguatan promotif
dan preventif “Gerakan Masyarakat Hidup Sehat”. Perbaikan kualitas gizi ibu
dan anak menjadi salah satu kegiatan prioritas pada program prioritas
peningkatan kesehatan ibu dan anak yang dilaksanakan secara lintas sektor.

20
Stunting merupakan salah satu target Sustainable Development Goals
(SDGs) yang termasuk pada tujuan pembangunan berkelanjutan ke-2 yaitu
menghilangkan kelaparan dan segala bentuk malnutrisi pada tahun 2030 serta
mencapai ketahanan pangan. Target yang ditetapkan adalah menurunkan
angka stunting hingga 40% pada tahun 2025. Untuk mewujudkan hal
tersebut, pemerintah menetapkan stunting sebagai salah satu program
prioritas. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 39 Tahun 2016
tentang Pedoman Penyelenggaraan Program Indonesia Sehat dengan
Pendekatan Keluarga, upaya yang dilakukan untuk menurunkan prevalensi
stunting di antaranya sebagai berikut:
1. Ibu Hamil dan Bersalin
a. Intervensi pada 1.000 hari pertama kehidupan;
b. Mengupayakan jaminan mutu ante natal care (ANC) terpadu;
c. Meningkatkan persalinan di fasilitas kesehatan; d.Menyelenggarakan
program pemberian makanan tinggi kalori, protein, dan mikronutrien
(TKPM);
d. Deteksi dini penyakit (menular dan tidak menular);
e. Pemberantasan kecacingan;
f. Meningkatkan transformasi Kartu Menuju Sehat (KMS) ke dalam
Buku KIA;
g. Menyelenggarakan konseling Inisiasi Menyusu Dini (IMD) dan ASI
eksklusif;
h. Penyuluhan dan pelayanan KB.
2. Balita
a. Pemantauan pertumbuhan balita;
b. Menyelenggarakan kegiatan Pemberian Makanan Tambahan (PMT)
untuk balita;
c. Menyelenggarakan stimulasi dini perkembangan anak; dan
d.Memberikan pelayanan kesehatan yang optimal.
3. Anak Usia Sekolah
a. Melakukan revitalisasi Usaha Kesehatan Sekolah (UKS);

21
b. Menguatkan kelembagaan Tim Pembina UKS;
c. Menyelenggarakan Program Gizi Anak Sekolah (PROGAS);
d. Memberlakukan sekolah sebagai kawasan bebas rokok dan narkoba.
4. Remaja
a. Meningkatkan penyuluhan untuk perilaku hidup bersih dan sehat
(PHBS), pola gizi seimbang, tidak merokok, dan mengonsumsi
narkoba;
b. Pendidikan kesehatan reproduksi.
5. Dewasa Muda
a. Penyuluhan dan pelayanan keluarga berencana (KB);
b. Deteksi dini penyakit (menular dan tidak menular);
c. Meningkatkan penyuluhan untuk PHBS, pola gizi seimbang, tidak
merokok/mengonsumsi narkoba.
Pemerintah Indonesia telah banyak mengeluarkan paket kebijakan dan
regulasi terkait intervensi stunting. Di samping itu, kementerian/lembaga
(K/L) juga sebenarnya telah memiliki program, baik terkait intervensi gizi
spesifik maupun intervensi gisi sensitif, yang potensial untuk menurunkan
stunting. Intervensi Program Gizi Spesifik dilakukan oleh Kementerian
Kesehatan (Kemenkes) melalui Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) dan
Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) melalui Gerakan 1000 Hari Pertama
Kehidupan (HPK). Adapun beberapa program gizi spesifik yang telah
dilakukan oleh pemerintah dapat diidentifikasi sebagai berikut:
1. Program terkait intervensi dengan sasaran ibu hamil, yang dilakukan
melalui beberapa program/kegiatan berikut:
a. Pemberian makanan tambahan pada ibu hamil untuk mengatasi
kekurangan energi dan protein kronis.
b. Program untuk mengatasi kekurangan zat besi dan asam folat
c. Program untuk mengatasi kekurangan iodium.
d. Pemberian obat cacing untuk menanggulangi kecacingan pada ibu
hamil
e. Program untuk melindungi ibu hamil dari malaria

22
Jenis kegiatan yang telah dan dapat dilakukan oleh pemeritah baik di
tingkat nasional maupun di tingkat lokal meliputi pemberian suplementasi
besi folat minimal 90 tablet, memberikan dukungan kepada ibu hamil
untuk melakukan pemeriksaan kehamilan minimal 4 kali, memberikan
imunisasi Tetanus Toksoid (TT), pemberian makanan tambahan pada ibu
hamil, melakukan upaya untuk penanggulangan cacingan pada ibu hamil,
dan memberikan kelambu serta pengobatan bagi ibu hamil yang positif
malaria.

2. Program yang menyasar Ibu Menyusui dan Anak Usia 0-6 bulan, yaitu
termasuk diantaranya mendorong IMD/Inisiasi Menyusui Dini melalui
pemberian ASI jolong/colostrum dan memastikan edukasi kepada ibu
untuk terus memberikan ASI Ekslusif kepada anak balitanya. Kegiatan
terkait termasuk memberikan pertolongan persalinan oleh tenaga
kesehatan, Inisiasi Menyusi Dini (IMD), promosi menyusui ASI ekslusif
(konseling individu dan kelompok), imunisasi dasar, pantau tumbuh
kembang secara rutin setiap bulan, dan penanganan bayi sakit secara tepat.
3. Program Intervensi yang ditujukan dengan sasaran Ibu Menyusui dan
Anak Usia 7-23 bulan, yaitu dengan mendorong penerusan pemberian ASI
hingga usia 23 bulan didampingi oleh pemberian MP-ASI, menyediakan
obat cacing, menyediakan suplementasi zinc, melakukan fortifikasi zat
besi ke dalam makanan, memberikan perlindungan terhadap malaria,
memberikan imunisasi lengkap, dan melakukan pencegahan dan
pengobatan diare.

Selain itu, beberapa program lainnya adalah Pemberian Makanan


Tambahan (PMT) Balita Gizi Kurang oleh Kementerian Kesehatan/Kemenkes
melalui Puskesmas dan Posyandu. Program terkait meliputi pembinaan
Posyandu dan penyuluhan serta penyediaan makanan pendukung gizi untuk
balita kurang gizi pada usia 6-59 bulan berbasis pangan lokal (misalnya
melalui Hari Makan Anak/HMA). Anggaran program berasal dari Bantuan
Operasional Kesehatan (BOK) ± Dana Alokasi Khusus (DAK) Non Fisik

23
sebesar Rp. 200.000.000 per tahun per puskemas di daerahnya masing-masing
(TNP2K 2017).
Sedangkan terkait dengan intervensi gizi sensitif, yang telah dilakukan
oleh pemerintah melalui K/L terkait beberapa diantaranya adalah kegiatan
sebagai berikut:
1. Menyediakan dan memastikan akses pada air bersih melalui program
PAMSIMAS (Penyediaan Air Bersih dan Sanitasi Berbasis Masyarakat).
2. Menyediakan dan memastikan akses pada sanitasi melalui kegiatan
Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM).
3. Melakukan fortifikasi bahan pangan (garam, terigu, dan minyak goreng).
4. Menyediakan akses kepada layanan kesehatan dan Keluarga Berencana
(KB)
5. Menyediakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
6. Menyediakan Jaminan Persalinan Universal (Jampersal)
7. Memberikan pendidikan pengasuhan pada orang tua
8. Memberikan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Universal
9. Memberikan pendidikan gizi masyarakat
10. Memberikan edukasi kesehatan seksual dan reproduksi serta gizi pada
remaja
11. Menyediakan bantuan dan jaminan sosial bagi keluarga miskin, misalnya
melalui Program Subsidi Beras Masyarakat Berpenghasilan Rendah
(Raskin/Rastra) dan Program Keluarga Harapan (PKH).
12. Meningkatkan ketahanan pangan dan gizi.

24
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Prevalensi gizi buruk di dunia 14,9% dan regional dengan prevalensi
tertinggi Asia Tenggara sebesar 27,3 % (WHO, 2015). Pada tahun 2017,
22,2% atau sekitar 150,8 juta balita di dunia mengalami stunting.
Hasil utama Riskesdas 2018 menunjukkan bahwa proporsi status gizi
buruk (severe wasting atau “sangat kurus” pada balita telah menurun dari
6,2% pada tahun 2007 menjadi 5% pada tahun 2018; sedangkan status gizi
kurang (wasting atau “kurus”) dari 7,4% pada tahun 2007 dan 6,7% pada
tahun 2018. Hasil utama Riskesdas 2018 menunjukkan bahwa proporsi balita
“sangat pendek” pada balita telah menurun dari 18,8% (2007) menjadi 11,5%
(2018); sedangkan balita pendek justru mengalami peningkatan dari 18,0%
(2007) menjadi 19,2% (2013) dan 19,3% (2018).
Gizi buruk adalah keadaaan gizi balita yang ditandai dengan kondisi
sangat kurus, disertai atau tidak edema pada kedua punggung kaki, berat
badan menurut panjang badan atau tinggi badan kurang dari -3 standar
deviasi, dan/atau lingkar lengan atas kurang dari 11,5 pada anak usia 6-59
bulan. Gizi kurang adalah keadaaan gizi balita yang ditandai dengan kondisi
kurus, disertai atau tidak edema pada kedua punggung kaki, berat badan
menurut panjang badan atau tinggi badan kurang dari -2 sampai dengan -3
standar deviasi, dan/atau lingkar lengan 11,5-12,5 cm pada anak usia 6-59
bulan. Stunting adalah kondisi tinggi badan seseorang yang kurang dari
normal berdasarkan usia dan jenis kelamin. Menurut WHO (2013) penyebab
terjadinya stunting pada anak terbagi menjadi 4 kategori besar yaitu faktor
keluarga dan rumah tangga, makanan tambahan/komplementer yang tidak
adekuat, menyusui, dan infeksi.
Akar masalah dari gizi buruk dan gizi kurang yaitu terkait dengan
ketahanan pangan dan gizi, kemiskinan, pendidikan, keamanan, ketersediaan

25
air bersih, higiene dan sanitasi lingkungan, serta terkait dengan situasi darurat
atau bencana. Gizi buruk, gizi kurang dan stunting dapat menimbulkan
dampak buruk bagi kesehatan dalam jangka pendek mapun jangka panjang.
Dalam pengendalian faktor risiko gizi buruk, gizi kurang dan stunting
harus melibatkan semua pihak. Dalam Upaya Pengelolaan Gizi Buruk
Terintegrasi menekankan pentingnya peran serta aktif keluarga dan
masyarakat serta lintas sektor terkait dalam upaya penanggulangan gizi buruk
pada balita. Penanganan anak kerdil (stunting) memerlukan koordinasi antar
sektor dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan seperti pemerintah
pusat, pemerintah daerah, dunia usaha/industri, dan masyarakat umum.
Pemerintah telah banyak mengadakan program-program untuk mengatasi
permasalahan gizi dan stunting, hal ini tampak bahwa telah banyak upaya
yang dilakukan oleh pemerintah dalam menurunkan prevalensi stunting yang
tentunya disertai dengan alokasi anggaran yang tidak sedikit, hanya saja
walaupun terjadinya penurunan prevalensi berdasarkan hasil Riskesdas 2018,
penurunan tersebut masih dikatakan jauh dari yang ditargetkan.

B. Saran
Melalui makalah ini, diharapkan pembaca dapat mengetahui serta
menambah pengetahuan terkait permasalahn gizi buruk, gizi kurang dan
stunting. Makalah ini diharapkan tidak hanya dapat menambah pengetahuan,
namun alangkah baiknya juga dapat meningkatkan kesadaran tentang upaya
pencegahan gizi buruk, gizi kurang dan stunting untuk generasi yang lebih
baik. Untuk lebih memahami tentang masalah gizi buruk, gizi kurang dan
stuning, sebaiknya pembaca tidak menjadikan makalah ini sebagai satu-
satunya sumber referensi, pembaca dapat mencari dari sumber referensi-
referensi lainnya .

26
DAFTAR PUSTAKA

Almatsier S. (2001). Prinsip dasar ilmu gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama.
Atikah R., Fahrini Y., Andini O. P., et al. (2018). Study Guide-Stunting dan
Upaya Pencegahannya bagi Mahasiswa Kesehatan Masyarakat.
Yogyakarta: CV Mine.
Bloem MW, de Pee S, Hop LT, Khan NC, Laillou A, Minarto, et al. Key
strategies to further reduce stunting in Southeast Asia: Lessons from the
ASEAN countries workshop. Food Nutr Bull. 2013; 34(2 Supl.): S8-S16.
Fadia N., Dian I. A. (2016). Manajemen Anak Gizi Buruk Tipe Marasmus dengan
TB Paru. J medula Unila, 6(1), 36-43.

Erna K., Setiyowati R., Hesti P. S. (2015). Model Pengendalian Faktor Risiko
Stunting pada Usia di Bawah Tiga Tahun. Jurnal Kesehatan Masyarakat
Nasional, 9(3), 249-256.

Kementerian Kesehatan RI. (2019). Pedoman Pencegahan dan Tatalaksana Gzi


Buruk pada Balita. Jakarta: Kemenkes RI.

Kementerian bidang Kesejahteraan Rakyat, 2013. Pedoman perencanaan program


Gerakan Nasional percepatan perbaikan gizi dalam rangka seribu hari
pertama kehidupan (Gerakan 1000 HPK), Jakarta.
Kementerian Kesehatan RI. (2017). Warta kesmas; gizi investasi masa depan
bangsa. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI
Kementerian PPN/Bappenas. (2018). Pedoman Pelaksanaan Intervensi
Penurunan Stunting Terintegrasi di Kabupaten/Kota. Jakarta: kementerian
Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas.

Kementerian Kesehatan RI. (2018). Hasil Utama Riskesdas 2018. Kementerian


Kesehatan RI: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.

27
Pusat Data dan Informasi Kemenkes RI. (2019). Situasi Balita Pendek (Stunting)
di Indonesia. Jakarta: Kemenkes RI.

Rini A. S. (2019). Jurnal Dinamika Pemerintahan,. 2(2), 152-168.

TNP2K. 2017. “100 Kabupaten/Kota Prioritas untuk penaganan anak kerdil


(stunting)”.

UNICEF, WHO and the World Bank. An updated joint dataset on child
malnutrition indicators (stunting, wasting, severe wasting, overweight and
underweight) and new global & regional estimates for 2013. USA: World
Health Organization; 2013.

World Health Organization WHO. 2015. Maternal Mortality 2015. Switzerland.


2015.

World Health Organization. Global Health Observatory (GHO) data 2019.


Availaible at https://www.who.int/gho/child-malnutrition/ stunting /en/.

28

Anda mungkin juga menyukai