MAKALAH
DEFISIENSI KALORI DAN PROTEIN
Makalah Ini Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Epidemiologi Gizi
Dosen Pengampu: Mahfuzhoh Fadillah Heryanda, M.Gz
Disusun Oleh:
2021/2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan yang maha esa yang telah memberikan
limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas
makalah yang berjudul “Defisiensi Kalori dan Protein”. Makalah ini disusun
untuk memenuhi tugas mata kuliah Epidemiologi Gizi, Prodi Gizi, Universitas
Islam Al-Ihya Kuningan.
Dalam penulisan makalah ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada
Ibu Mahfuzhoh Fadillah Heryanda, M.Gz., selaku dosen pengampu mata kuliah
ini, yang telah membimbing dan memotivasi dalam pembelajaran. Selain itu,
penulis juga berterimakasih kepada pihak yang telah membantu serta mendukung
untuk kelancaran penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa sepenuhnya dalam penulisan makalah ini masih
banyak terdapat kekurangan. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik dan saran
yang membangun dari pembaca dan pihak lainnya untuk menjadi bahan acuan dan
perbaikan penulis ke depannya. Akhir kata, penulis mengucapkan terimakasih dan
semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.
Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
A. Kesimpulan..................................................................................................... 25
B. Saran ............................................................................................................... 26
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kecukupan gizi dan pangan merupakan salah satu faktor terpenting dalam
mengembangkan kualitas sumber daya manusia, sebagai indikator
keberhasilan pembangunan suatu bangsa. Dalam hal ini gizi memiliki
pengaruh terhadap kecerdasan dan produktivitas kerja sumber daya manusia
(Almatsier, 2001). Saat ini Indonesia masih menghadapi permasalahan gizi
yang berdampak serius terhadap kualitas sumber daya manusia (SDM). Salah
satu masalah kekurangan gizi yang masih cukup tinggi di Indonesia adalah
pendek (stunting) dan kurus (wasting) pada balita dan kurang energi kronik
(KEK) pada ibu hamil. Masalah kekurangan gizi pada ibu hamil tersebut pada
akhirnya dapat menyebabkan berat badan bayi lahir rendah (BBLR) dan
kekurangan gizi pada balita.
Masalah malnutrisi di Indonesia merupakan masalah kesehatan yang
belum bisa diatasi sepenuhnya oleh pemerintah. Hal ini terbukti dari data-data
survei dan penelitian seperti Riset Kesehatan Dasar 2018 yang menyatakan
bahwa prevalensi stunting severe (sangat pendek) di Indonesia adalah 19,3%,
lebih tinggi dibanding tahun 2013 (19,2%) dan tahun 2007 (18%).
Permasalahan gizi disebabkan oleh penyebab langsung seperti asupan
makanan yang tidak adekuat dan penyakit infeksi. Sedangkan penyebab tidak
langsung permasalahan gizi adalah masih tingginya kemiskinan, rendahnya
sanitasi lingkungan, ketersediaan pangan yang kurang, pola asuh yang kurang
baik, dan pelayanan kesehatan yang belum optimal (Kemenkes RI, 2017).
Berdasarkan faktor risiko tersebut, maka perlu adanya pengendalian faktor
risiko dengan cara melakukan upaya pencegahan. Ada berbagai cara yang
dapat dilakukan untuk mencegah masalah gizi buruk, gizi kurang dan
stunting. Tentunya dalam upaya pencegahan mencegah masalah gizi buruk,
gizi kurang dan stunting memerlukan koordinasi antar lintas sektor dan
1
melibatkan berbagai pemangku kepentingan seperti pemerintah pusat,
pemerintah daerah, dunia usaha/industri, dan masyarakat umum.
Pemerintah telah banyak mengadakan program-program untuk mengatasi
permasalahan gizi dan stunting, hal ini tampak bahwa telah banyak upaya
yang dilakukan oleh pemerintah dalam menurunkan prevalensi stunting yang
tentunya disertai dengan alokasi anggaran yang tidak sedikit, hanya saja
walaupun terjadinya penurunan prevalensi berdasarkan hasil Riskesdas 2018,
penurunan tersebut masih dikatakan jauh dari yang ditargetkan.
B. Rumusan Masalah
1. Berapa prevalensi gizi kurang, gizi buruk dan stunting di dunia?
2. Berapa prevalensi gizi kurang, gizi buruk dan stunting di Indonesia?
3. Apa pengertian gizi kurang, gizi buruk dan stunting?
4. Apa faktor risiko dari gizi kurang, gizi buruk dan stunting?
5. Apa dampak jangka pendek dan jangka panjang gizi kurang, gizi buruk
dan stunting?
6. Bagaimana manajemen penyakit gizi kurang, gizi buruk dan stunting?
7. Bagaimana pengendalian faktor risiko gizi kurang, gizi buruk dan
stunting?
8. Bagaimana kebijkan penanganan gizi kurang, gizi buruk dan stunting di
Indonesia?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui prevalensi gizi kurang, gizi buruk dan stunting di
dunia.
2. Untuk mengetahui prevalensi gizi kurang, gizi buruk dan stunting di
Indonesia.
3. Untuk mengetahui pengertian gizi kurang, gizi buruk dan stunting.
4. Untuk mengetahui faktor risiko dari gizi kurang, gizi buruk dan stunting.
5. Untuk mengetahui dampak jangka pendek dan jangka panjang gizi
kurang, gizi buruk dan stunting.
2
6. Untuk mengetahui manajemen penyakit gizi kurang, gizi buruk dan
stunting.
7. Untuk mengetahui pengendalian faktor risiko gizi kurang, gizi buruk dan
stunting.
8. Untuk mengetahui kebijkan penanganan gizi kurang, gizi buruk dan
stunting di Indonesia.
3
BAB II
PEMBAHASAN
4
provinsi pada tahun 2013 dan 2018 (Gambar 2). Provinsi yang
mempunyai angka sangat tinggi diantaranya adalah: NTB (14,4% pada
tahun 2018 dan sedikit meningkat dari tahun 2013), diikuti oleh
Gorontalo, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Maluku, Kalimantan
Selatan, Sulawesi Tengah (dengan kenaikan prevalensi pada tahun 2018)
dan NTT; sedangkan provinsi dengan proporsi terendah diantaranya
adalah: Kalimantan Utara (4,6% pada tahun 2018), diikuti oleh Bali,
Kalimantan Timur, Bengkulu, Jawa Barat, DI Yogyakarta, Jawa Tengah
dan Jawa Timur dengan proporsi di bawah 10%. Menurut kriteria WHO,
provinsi-provinsi di Indonesia termasuk dalam kategori “serius”
(prevalensi 10-14%), “buruk” (5-9%) dan “dapat diterima” (kurang dari
5%).
Gambar 2. Proporsi status gizi buruk (“sangat kurus”) dan gizi kurang
(“kurus”) pada balita menurut provinsi, 2013-2018, Riskesdas 2018
5
maka cakupan penanganan kasus balita dengan gizi buruk baru mencapai
sekitar 2,5% dari perkiraan jumlah total balita gizi buruk.
6
Gizi kurang adalah keadaaan gizi balita yang ditandai dengan kondisi
kurus, disertai atau tidak edema pada kedua punggung kaki, berat badan
menurut panjang badan atau tinggi badan kurang dari -2 sampai dengan -3
standar deviasi, dan/atau lingkar lengan 11,5-12,5 cm pada anak usia 6-59
bulan.
Sebelum mengalami gizi kurang, balita terlebih dahulu mengalami
keadaan yang disebut sebagai hambatan pertumbuhan (growth faltering).
Keadaan ini ditandai oleh berat badan yang: i) naik, tapi tidak optimal; ii)
tidak naik; atau iii) turun pada penimbangan bulanan.
7
Gambar 3. Kerangka hubungan antara faktor penyebab kekurangan
gizi pada ibu dan anak
8
Gambar 4. Dampak Jangka Pendek dan Jangka Panjang
9
7. Pengendalian Faktor Risiko Gizi Buruk dan Gizi Kurang
Pengendalian faktor risiko merupakan hal yang penting, sebagai
upaya pencegahan gizi buruk dan gizi kurang. Dalam pengendalian faktor
risiko ini harus melibatkan semua pihak, termasuk keluarga dan
masyarakat harus memahami faktor penyebab gizi buruk serta mampu
mencegah terjadinya gizi kurang. Hal-hal penting yang perlu dipelajari
antara lain:
a. Kebutuhan zat gizi (jenis, kuantitas) untuk remaja puteri, ibu
hamil/menyusui dan balita;
b. Pengetahuan ibu/pengasuh anak tentang makanan bergizi;
c. Pola pemberian makanan pada bayi dan anak balita;
d. Ketersediaan, akses dan daya beli terhadap makanan lokal bergizi;
e. Perilaku untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, seperti
imunisasi, dan pelayanan kesehatan lainnya dalam mencegah dan
menangani penyakit;
f. Ketersediaan/pemanfaatan air bersih, jamban keluarga dan
kebersihan lingkungan.
Upaya pencegahan gizi buruk pada bayi kurang dari 6 bulan adalah
dengan mencegah timbulnya faktor-faktor risiko tersebut, yang meliputi
upaya peningkatan kesehatan ibu, pertolongan persalinan dan pelayanan
kesehatan bayi berkualitas. Kemenkes menjadikan upaya-upaya tersebut
sebagai paket pelayanan Seribu Hari Pertama Kehidupan (1000 HPK).
Tujuannya mengawal status gizi ibu dan janin/bayinya agar tetap sehat
sejak di dalam kandungan (270 hari) sampai usia dua tahun (730 hari),
melalui;
10
e. Pelayanan antenatal sesuai dengan standar, termasuk mengatasi
penyakit kronis pada ibu, pemberian makanan tambahan pada ibu
hamil KEK, pemberian Buku KIA, edukasi tentang inisiasi menyusu
dini (IMD) dan promosi ASI eksklusif.
f. Pelayanan persalinan dan nifas serta kunjungan neonatal sesuai
dengan standar dan mengatasi penyulit maupun komplikasi.
g. Pemantauan dan stimulasi tumbuh kembang anak.
h. Pelayanan imunisasi dasar.
i. Pelayanan kesehatan bayi sesuai dengan standar melalui pendekatan
Manajemen Terpadu Balita Muda (MTBM) bagi bayi < 2 bulan dan
Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) bagi bayi > 2 bulan
sampai 59 bulan.
j. Upaya penanggulangan kelainan bawaan.
11
B. Stunting
1. Prevalensi Stunting di Dunia
Kejadian balita pendek atau biasa disebut dengan stunting
merupakan salah satu masalah gizi yang dialami oleh balita di dunia saat
ini. Pada tahun 2017, 22,2% atau sekitar 150,8 juta balita di dunia
mengalami stunting. Menurut WHO (2018) prevalensi stunting pada
balita di dunia sebesar 22%.
Gambar 6. Prevalensi Stunting di Dunia
12
gemuk. Prevalensi balita pendek mengalami peningkatan dari tahun 2016
yaitu 27,5% menjadi 29,6% pada tahun 2017.
Hasil utama Riskesdas 2018 menunjukkan bahwa proporsi balita
“sangat pendek” pada balita telah menurun dari 18,8% (2007) menjadi
18,0% (2013) dan 11,5% (2018); sedangkan balita pendek justru
mengalami peningkatan dari 18,0% (2007) menjadi 19,2% (2013) dan
19,3% (2018).
Gambar 7. Proporsi Stunting pada 2007-2018
13
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan Pada
2018 menemukan 30,8% mengalami stunting. Walaupun prevalensi
stunting menurun dari angka 37,2% pada tahun 2013, namun angka
stunting tetap tinggi dan masih ada 2 (dua) provinsi dengan prevalensi di
atas 40%.
3. Pengertian Stunting
Stunting adalah kondisi tinggi badan seseorang yang kurang dari
normal berdasarkan usia dan jenis kelamin. Tinggi badan merupakan
salah satu jenis pemeriksaan antropometri dan menunjukkan status gizi
seseorang. Adanya stunting menunjukkan status gizi yang kurang
(malnutrisi) dalam jangka waktu yang lama (kronis).
Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat
kekurangan gizi kronis terutama pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan
(HPK). Kondisi gagal tumbuh pada anak balita disebabkan oleh
kurangnya asupan gizi dalam waktu lama serta terjadinya infeksi
berulang, dan kedua faktor penyebab ini dipengaruhi oleh pola asuh yang
tidak memadai terutama dalam 1.000 HPK. Anak tergolong stunting
apabila panjang atau tinggi badan menurut umurnya lebih rendah dari
standar nasional yang berlaku. Standar dimaksud terdapat pada buku
Kesehatan ibu dan Anak (KIA) dan beberapa dokumen lainnya.
Menurut data yang dilansir WHO, 150,8 juta anak di bawah lima
tahun mengalami stunted. Stunting (Tubuh Pendek) adalah keadaan tubuh
yang sangat pendek hingga melampau defisit 2 SD dibawah median
panjang atau tinggi badan populasi yang menjadi referensi internasional.
Stunting adalah keadaan dimana tinggi badan berdasarkan umur rendah,
atau keadaan dimana tubuh anak lebih pendek dibandingkan dengan anak-
anak lain seusianya (MCN, 2009). Stunted adalah tinggi badan yang
kurang menurut umur (<-2 SD), ditanndai dengan terlambatnya
pertumbuhan anak yang mengakibatkan kegagalan dalam mencapai tinggi
badan yang normal dan sehat sesuai usia anak. Stunted erupakan
14
kekurangan gizi kronis atau kegagalan pertumbuhan dimasa lalu dan
digunakan sebagai indikator jangja panjang untuk gizi kurang pada anak.
Pada Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
1995/MENKES/SK/XII/2010 tanggal 30 Desember 2010 tentang standar
antropometri penilaian status gizi anak, pengertian pendek dan sangat
pendek adalah status gizi yang didasarkan pada indeks Panjang Badan
menurut Umur (PB/U) atau tinggi Badan menurut Umur (TB/U) yang
merupakan padanan istilah stunted (pendek) dan severly. Dengan kata lain
stunting dapat diketahui bila seorang balita sudah ditimbang berat
badannya dan diukur panjang atau tinggi badannya, lalu dibandingkan
dengan standar, dan hasilnya berada dibawah normal. Jadi secara fisik
balta akan lebih pendek dibandidngkan balita seumurannya.
15
yang kurang pada saat prekonsepsi, kehamilan, dan laktasi, tinggi badan
ibu yang rendah, infeksi, kehamilah pada usia remaja, kesehatan mental,
intrauterine growth restriction (IUGR) dan kelahiran preterm, jarak
kehamilan yang pendek, dan hipertensi. Faktor lingkungan rumah berupa
stimulasi dan aktivitas anak yang tidak adekuat, perawatan yang kurang,
sanitasi dan pasukan air yang tidak adekuat, akses dan ketersediaan
pangan yang kurang, alokasi makanan dalam rumah tangga yang tidak
sesuai, edukasi pengasuh yang rendah (WHO, 2013).
16
Gambar 9. Dampak Stunting terhadap Kualitas Sumber Daya
Manusia
17
pemberian ASI hingga usia 23 bulan didampingi oleh pemberian makanan
pendamping ASI (MP-ASI).
Intervensi Gizi Sensitif adalah intervensi yang ditujukan melalui
berbagai kegiatan pembangunan di luar sektor kesehatan. Sasarannya
adalah masyarakat umum, dan tidak khusus untuk 1.000 hari pertama
kehidupan. Intervensi Gizi Sensitif antara lain dilakukan dengan
menyediakan dan memastikan akses pada air bersih dan sanitasi,
memberikan Pendidikan pengasuhan pada orangtua, memberikan
pendidikan gizi masyarakat, memberikan edukasi kesehatan seksual dan
reproduksi serta gizi pada remaja, dan menyediakan bantuan dan jaminan
sosial bagi keluarga miskin.
18
e. Pemberian Inisiasi Menyusu Dini (IMD)
f. Pemberian Air Susu Ibu (ASI) secara eksklusif pada bayi hingga usia
6 bulan
g. Memberikan Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) untuk bayi diatas 6
bulan hingga 2 tahun
h. Pemberian imunisasi dasar lengkap dan vitamin A
i. Pemantauan pertumbuhan balita di posyandu terdekat
j. Penerapan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS).
19
dari TPB tujuan dua yaitu mengakhiri kelaparan, mencapai ketahanan pangan
dan nutrisi yang lebih baik dan mendukung pertanian berkelanjutan. Stunting
telah ditetapkan sebagai prioritas nasional dalam dokumen perencanaan dan
TPB. Adapun strategi percepatan perbaikan gizi dalam dokumen perencanaan
RPJMN 2015-2019 adalah sebagai berikut:
1. Peningkatan surveilans gizi termasuk pemantauan pertumbuhan
2. Peningkatan akses dan mutu paket pelayanan kesehatan dan gizi dengan
fokus utama pada 1.000 hari pertama kehidupan (ibu hamil hingga anak
usia 2 tahun), balita, remaja, dan calon pengantin
3. Peningkatan promosi perilaku masyarakat tentang kesehatan, gizi,
sanitasi, higiene, dan pengasuhan
4. Peningkatan peran masyarakat dalam perbaikan gizi termasuk melalui
Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat/UKBM (Posyandu dan Pos
PAUD)
5. Penguatan pelaksanaan, dan pengawasan regulasi dan standar gizi
6. Pengembangan fortifikasi pangan
7. Penguatan peran lintas sektor dalam rangka intervensi sensitif dan
spesifik yang didukung oleh peningkatan kapasitas pemerintah pusat,
provinsi dan kabupaten/kota dalam pelaksanaan rencana aksi pangan dan
gizi.
20
Stunting merupakan salah satu target Sustainable Development Goals
(SDGs) yang termasuk pada tujuan pembangunan berkelanjutan ke-2 yaitu
menghilangkan kelaparan dan segala bentuk malnutrisi pada tahun 2030 serta
mencapai ketahanan pangan. Target yang ditetapkan adalah menurunkan
angka stunting hingga 40% pada tahun 2025. Untuk mewujudkan hal
tersebut, pemerintah menetapkan stunting sebagai salah satu program
prioritas. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 39 Tahun 2016
tentang Pedoman Penyelenggaraan Program Indonesia Sehat dengan
Pendekatan Keluarga, upaya yang dilakukan untuk menurunkan prevalensi
stunting di antaranya sebagai berikut:
1. Ibu Hamil dan Bersalin
a. Intervensi pada 1.000 hari pertama kehidupan;
b. Mengupayakan jaminan mutu ante natal care (ANC) terpadu;
c. Meningkatkan persalinan di fasilitas kesehatan; d.Menyelenggarakan
program pemberian makanan tinggi kalori, protein, dan mikronutrien
(TKPM);
d. Deteksi dini penyakit (menular dan tidak menular);
e. Pemberantasan kecacingan;
f. Meningkatkan transformasi Kartu Menuju Sehat (KMS) ke dalam
Buku KIA;
g. Menyelenggarakan konseling Inisiasi Menyusu Dini (IMD) dan ASI
eksklusif;
h. Penyuluhan dan pelayanan KB.
2. Balita
a. Pemantauan pertumbuhan balita;
b. Menyelenggarakan kegiatan Pemberian Makanan Tambahan (PMT)
untuk balita;
c. Menyelenggarakan stimulasi dini perkembangan anak; dan
d.Memberikan pelayanan kesehatan yang optimal.
3. Anak Usia Sekolah
a. Melakukan revitalisasi Usaha Kesehatan Sekolah (UKS);
21
b. Menguatkan kelembagaan Tim Pembina UKS;
c. Menyelenggarakan Program Gizi Anak Sekolah (PROGAS);
d. Memberlakukan sekolah sebagai kawasan bebas rokok dan narkoba.
4. Remaja
a. Meningkatkan penyuluhan untuk perilaku hidup bersih dan sehat
(PHBS), pola gizi seimbang, tidak merokok, dan mengonsumsi
narkoba;
b. Pendidikan kesehatan reproduksi.
5. Dewasa Muda
a. Penyuluhan dan pelayanan keluarga berencana (KB);
b. Deteksi dini penyakit (menular dan tidak menular);
c. Meningkatkan penyuluhan untuk PHBS, pola gizi seimbang, tidak
merokok/mengonsumsi narkoba.
Pemerintah Indonesia telah banyak mengeluarkan paket kebijakan dan
regulasi terkait intervensi stunting. Di samping itu, kementerian/lembaga
(K/L) juga sebenarnya telah memiliki program, baik terkait intervensi gizi
spesifik maupun intervensi gisi sensitif, yang potensial untuk menurunkan
stunting. Intervensi Program Gizi Spesifik dilakukan oleh Kementerian
Kesehatan (Kemenkes) melalui Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) dan
Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) melalui Gerakan 1000 Hari Pertama
Kehidupan (HPK). Adapun beberapa program gizi spesifik yang telah
dilakukan oleh pemerintah dapat diidentifikasi sebagai berikut:
1. Program terkait intervensi dengan sasaran ibu hamil, yang dilakukan
melalui beberapa program/kegiatan berikut:
a. Pemberian makanan tambahan pada ibu hamil untuk mengatasi
kekurangan energi dan protein kronis.
b. Program untuk mengatasi kekurangan zat besi dan asam folat
c. Program untuk mengatasi kekurangan iodium.
d. Pemberian obat cacing untuk menanggulangi kecacingan pada ibu
hamil
e. Program untuk melindungi ibu hamil dari malaria
22
Jenis kegiatan yang telah dan dapat dilakukan oleh pemeritah baik di
tingkat nasional maupun di tingkat lokal meliputi pemberian suplementasi
besi folat minimal 90 tablet, memberikan dukungan kepada ibu hamil
untuk melakukan pemeriksaan kehamilan minimal 4 kali, memberikan
imunisasi Tetanus Toksoid (TT), pemberian makanan tambahan pada ibu
hamil, melakukan upaya untuk penanggulangan cacingan pada ibu hamil,
dan memberikan kelambu serta pengobatan bagi ibu hamil yang positif
malaria.
2. Program yang menyasar Ibu Menyusui dan Anak Usia 0-6 bulan, yaitu
termasuk diantaranya mendorong IMD/Inisiasi Menyusui Dini melalui
pemberian ASI jolong/colostrum dan memastikan edukasi kepada ibu
untuk terus memberikan ASI Ekslusif kepada anak balitanya. Kegiatan
terkait termasuk memberikan pertolongan persalinan oleh tenaga
kesehatan, Inisiasi Menyusi Dini (IMD), promosi menyusui ASI ekslusif
(konseling individu dan kelompok), imunisasi dasar, pantau tumbuh
kembang secara rutin setiap bulan, dan penanganan bayi sakit secara tepat.
3. Program Intervensi yang ditujukan dengan sasaran Ibu Menyusui dan
Anak Usia 7-23 bulan, yaitu dengan mendorong penerusan pemberian ASI
hingga usia 23 bulan didampingi oleh pemberian MP-ASI, menyediakan
obat cacing, menyediakan suplementasi zinc, melakukan fortifikasi zat
besi ke dalam makanan, memberikan perlindungan terhadap malaria,
memberikan imunisasi lengkap, dan melakukan pencegahan dan
pengobatan diare.
23
sebesar Rp. 200.000.000 per tahun per puskemas di daerahnya masing-masing
(TNP2K 2017).
Sedangkan terkait dengan intervensi gizi sensitif, yang telah dilakukan
oleh pemerintah melalui K/L terkait beberapa diantaranya adalah kegiatan
sebagai berikut:
1. Menyediakan dan memastikan akses pada air bersih melalui program
PAMSIMAS (Penyediaan Air Bersih dan Sanitasi Berbasis Masyarakat).
2. Menyediakan dan memastikan akses pada sanitasi melalui kegiatan
Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM).
3. Melakukan fortifikasi bahan pangan (garam, terigu, dan minyak goreng).
4. Menyediakan akses kepada layanan kesehatan dan Keluarga Berencana
(KB)
5. Menyediakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
6. Menyediakan Jaminan Persalinan Universal (Jampersal)
7. Memberikan pendidikan pengasuhan pada orang tua
8. Memberikan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Universal
9. Memberikan pendidikan gizi masyarakat
10. Memberikan edukasi kesehatan seksual dan reproduksi serta gizi pada
remaja
11. Menyediakan bantuan dan jaminan sosial bagi keluarga miskin, misalnya
melalui Program Subsidi Beras Masyarakat Berpenghasilan Rendah
(Raskin/Rastra) dan Program Keluarga Harapan (PKH).
12. Meningkatkan ketahanan pangan dan gizi.
24
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Prevalensi gizi buruk di dunia 14,9% dan regional dengan prevalensi
tertinggi Asia Tenggara sebesar 27,3 % (WHO, 2015). Pada tahun 2017,
22,2% atau sekitar 150,8 juta balita di dunia mengalami stunting.
Hasil utama Riskesdas 2018 menunjukkan bahwa proporsi status gizi
buruk (severe wasting atau “sangat kurus” pada balita telah menurun dari
6,2% pada tahun 2007 menjadi 5% pada tahun 2018; sedangkan status gizi
kurang (wasting atau “kurus”) dari 7,4% pada tahun 2007 dan 6,7% pada
tahun 2018. Hasil utama Riskesdas 2018 menunjukkan bahwa proporsi balita
“sangat pendek” pada balita telah menurun dari 18,8% (2007) menjadi 11,5%
(2018); sedangkan balita pendek justru mengalami peningkatan dari 18,0%
(2007) menjadi 19,2% (2013) dan 19,3% (2018).
Gizi buruk adalah keadaaan gizi balita yang ditandai dengan kondisi
sangat kurus, disertai atau tidak edema pada kedua punggung kaki, berat
badan menurut panjang badan atau tinggi badan kurang dari -3 standar
deviasi, dan/atau lingkar lengan atas kurang dari 11,5 pada anak usia 6-59
bulan. Gizi kurang adalah keadaaan gizi balita yang ditandai dengan kondisi
kurus, disertai atau tidak edema pada kedua punggung kaki, berat badan
menurut panjang badan atau tinggi badan kurang dari -2 sampai dengan -3
standar deviasi, dan/atau lingkar lengan 11,5-12,5 cm pada anak usia 6-59
bulan. Stunting adalah kondisi tinggi badan seseorang yang kurang dari
normal berdasarkan usia dan jenis kelamin. Menurut WHO (2013) penyebab
terjadinya stunting pada anak terbagi menjadi 4 kategori besar yaitu faktor
keluarga dan rumah tangga, makanan tambahan/komplementer yang tidak
adekuat, menyusui, dan infeksi.
Akar masalah dari gizi buruk dan gizi kurang yaitu terkait dengan
ketahanan pangan dan gizi, kemiskinan, pendidikan, keamanan, ketersediaan
25
air bersih, higiene dan sanitasi lingkungan, serta terkait dengan situasi darurat
atau bencana. Gizi buruk, gizi kurang dan stunting dapat menimbulkan
dampak buruk bagi kesehatan dalam jangka pendek mapun jangka panjang.
Dalam pengendalian faktor risiko gizi buruk, gizi kurang dan stunting
harus melibatkan semua pihak. Dalam Upaya Pengelolaan Gizi Buruk
Terintegrasi menekankan pentingnya peran serta aktif keluarga dan
masyarakat serta lintas sektor terkait dalam upaya penanggulangan gizi buruk
pada balita. Penanganan anak kerdil (stunting) memerlukan koordinasi antar
sektor dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan seperti pemerintah
pusat, pemerintah daerah, dunia usaha/industri, dan masyarakat umum.
Pemerintah telah banyak mengadakan program-program untuk mengatasi
permasalahan gizi dan stunting, hal ini tampak bahwa telah banyak upaya
yang dilakukan oleh pemerintah dalam menurunkan prevalensi stunting yang
tentunya disertai dengan alokasi anggaran yang tidak sedikit, hanya saja
walaupun terjadinya penurunan prevalensi berdasarkan hasil Riskesdas 2018,
penurunan tersebut masih dikatakan jauh dari yang ditargetkan.
B. Saran
Melalui makalah ini, diharapkan pembaca dapat mengetahui serta
menambah pengetahuan terkait permasalahn gizi buruk, gizi kurang dan
stunting. Makalah ini diharapkan tidak hanya dapat menambah pengetahuan,
namun alangkah baiknya juga dapat meningkatkan kesadaran tentang upaya
pencegahan gizi buruk, gizi kurang dan stunting untuk generasi yang lebih
baik. Untuk lebih memahami tentang masalah gizi buruk, gizi kurang dan
stuning, sebaiknya pembaca tidak menjadikan makalah ini sebagai satu-
satunya sumber referensi, pembaca dapat mencari dari sumber referensi-
referensi lainnya .
26
DAFTAR PUSTAKA
Almatsier S. (2001). Prinsip dasar ilmu gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama.
Atikah R., Fahrini Y., Andini O. P., et al. (2018). Study Guide-Stunting dan
Upaya Pencegahannya bagi Mahasiswa Kesehatan Masyarakat.
Yogyakarta: CV Mine.
Bloem MW, de Pee S, Hop LT, Khan NC, Laillou A, Minarto, et al. Key
strategies to further reduce stunting in Southeast Asia: Lessons from the
ASEAN countries workshop. Food Nutr Bull. 2013; 34(2 Supl.): S8-S16.
Fadia N., Dian I. A. (2016). Manajemen Anak Gizi Buruk Tipe Marasmus dengan
TB Paru. J medula Unila, 6(1), 36-43.
Erna K., Setiyowati R., Hesti P. S. (2015). Model Pengendalian Faktor Risiko
Stunting pada Usia di Bawah Tiga Tahun. Jurnal Kesehatan Masyarakat
Nasional, 9(3), 249-256.
27
Pusat Data dan Informasi Kemenkes RI. (2019). Situasi Balita Pendek (Stunting)
di Indonesia. Jakarta: Kemenkes RI.
UNICEF, WHO and the World Bank. An updated joint dataset on child
malnutrition indicators (stunting, wasting, severe wasting, overweight and
underweight) and new global & regional estimates for 2013. USA: World
Health Organization; 2013.
28