Anda di halaman 1dari 22

Makalah Analisis Hubungan Konsumsi Daging dan Status Stunting di Negara

Indonesia (Developing Countries) Amerika Serikat ( Developed Countries) Ghana


(Under Developed)

Dosen Pengampu: Dr. Haripin Togap Sinaga MCN

DISUSUN OLEH :
Kelompok 2:
1. ADIKA SADHIQIN SIREGAR (P01031221002)
2. AFIKA DEARNA BR SIALOHO (P01031221003)
3. AYUNY SANTRY (P01031221009)
4. LENI ASTRIA (P01031221028)
5. RUMONA PUTRI HARAHAP (P01031221042)
6. WIDY FAHRUNI RANANDITA (P01031221053)

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN MEDAN JURUSAN GIZI
PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN GIZI
2023/2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa atas rahmatnya
sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini selesai tepat pada waktu
yang telah ditentukan. Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk
memenuhi tugas dari dosen kami pada mata kuliah Surveilensi Gizi dangan judul
Makalah Analisis Hubungan Konsumsi Daging dan Status Stunting di Negara
Indonesia,Amerika Serikat, dan Ghana.
kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Haripin Togap Sinaga, MCN
selaku dosen mata kuliah Studi Surveilensi Gizi yang telah memberikan tugas ini
sehingga dapat menambah wawasan dan pengetahuan. Saya juga mengucapkan terima
kasih kepada semua pihak yang telah membagi pengetahuannya sehingga Saya dapat
menyelesaikan makalah ini.
Kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata yang kurang berkenan
dalam makalah ini dan kami menyadari bahwa didalam makalah ini terdapat
kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami mengharapkan kritik
dan saran yang sifatnya membangun untuk kesempurnaan kearah yang lebih baik.
Harapan penulis semoga Makalah ini memberi manfaat kepada penulis khususnya dan
pembaca umumnya.

Lubuk Pakam, 18 Februari 2024

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................................ii
DAFTAR ISI.................................................................................................................................iii
BAB I.............................................................................................................................................1
PENDAHULUAN..........................................................................................................................1
1.1. Latar Belakang.............................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah........................................................................................................2
1.3 Tujuan...........................................................................................................................3
1.3.1 Tujuan Umum.......................................................................................................3
1.3.2 Tujuan Khusus......................................................................................................3
BAB II............................................................................................................................................4
PEMBAHASAN.............................................................................................................................4
2.1 Pengertian Stunting
2.2 Faktor-faktor penyebab tinggi dan rendahnya asupan daging dimasyarakt
2.3 Data Stunting dan Jenis Daging yang Dikonsumsi....................................................4
2.4 Analisis Faktor Penyebab Asupan Daging dan Angka Stunting.............................10
2.5 Analisis Faktor Penyebab Tinggi dan Rendahnya Asupan Daging dan Angka
Stunting.....................................................................................................................................12
2.6 Kaitan dengan Program Intervensi Gizi, Pendapatan, dan Kondisi Masyarakat...14
BAB III.........................................................................................................................................17
PENUTUP....................................................................................................................................17
3.1 Kesimpulan..................................................................................................................17
3.2 Saran............................................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................18

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Stunting adalah masalah global. Setidaknya terdapat 149,2 juta anak di dunia yang
menderita stunting. Hal ini berarti anak balita mempunyai tinggi badan dua standar deviasi
di bawah median Tumbuh Kembang Anak Standar dari Organisasi Kesehatan Dunia
(WHO). Ironisnya, prevalensi stunting global tidak terjadi rata. Laporan WHO tahun 2021
menunjukkan bahwa masalah stunting terberat terjadi di wilayah Afrika dan Asia. Itu
berkontribusi terhadap 82 persen dari seluruh jumlah kasus stunting di dunia.

Stunting merupakan masalah gizi global yang serius, terutama di negara-negara


berkembang. Menurut World Health Organization (WHO), sekitar 149 juta anak di bawah
usia lima tahun mengalami stunting pada tahun 2020 Stunting tidak hanya memengaruhi
pertumbuhan fisik anak, tetapi juga berdampak pada perkembangan kognitif, kecerdasan,
dan produktivitas di kemudian hari, menyebabkan kerugian ekonomi yang signifikan bagi
negara-negara tersebut.

Sementara itu, di Asia Tenggara sendiri, prevalensi stunting mencapai 27,4 persen,
menduduki peringkat kedua tertinggi di seluruh wilayah Asia.Sebagai salah satu daerah
yang paling banyak mengalami stunting, data stunting di Indonesia menunjukkan kondisi
yang sangat memprihatinkan.Indonesia menduduki peringkat kelima dari negara dengan
masalah stunting terberat di dunia. Bahkan di dunia Asia Tenggara sendiri, diantara enam
negara yang menjadi fokus permasalahan gizi buruk, Indonesia dilaporkan berada di urutan
teratas.

Framework Global: WHO telah menetapkan target global untuk mengurangi


prevalensi stunting sebesar 40% pada tahun 2025 dan 50% pada tahun 2030, sebagaimana
disepakati dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).Pendekatan intervensi
terintegrasi lintas sektor menjadi kunci dalam mengatasi stunting, termasuk akses terhadap
nutrisi yang baik, sanitasi yang layak, pelayanan kesehatan, pendidikan, dan kebijakan
ekonomi yang mendukung.

Penyebab Masalah Gizi/StuntingKurangnya Akses Terhadap Nutrisi: Di banyak


negara, terutama di daerah pedesaan dan kawasan miskin perkotaan, akses terhadap
makanan bergizi terbatas, menyebabkan defisiensi zat gizi penting seperti protein, zat besi,
dan vitamin A.Praktik Pemberian Makanan yang Buruk: Praktik pemberian makanan yang
tidak seimbang, termasuk pemberian makanan padat dengan kandungan nutrisi rendah pada
bayi dan anak kecil, serta kurangnya praktik pemberian ASI eksklusif selama enam bulan
pertama kehidupan.Infeksi dan Penyakit Menular: Infeksi kronis, terutama diare dan infeksi
saluran pernapasan, sering kali menjadi faktor pendukung stunting dengan mengganggu
penyerapan nutrisi dan pertumbuhan anak.

Global Nutrition Report: Laporan gizi global menunjukkan bahwa meskipun terdapat
penurunan secara keseluruhan dalam prevalensi stunting, namun masih ada tantangan
signifikan dalam mencapai target penurunan stunting global.Riskesdas (Riset Kesehatan
Dasar) Indonesia: Menurut hasil survei Riskesdas terbaru, prevalensi stunting di Indonesia
menunjukkan penurunan, namun angka ini masih cukup tinggi, terutama di daerah-daerah

1
tertentu dengan akses terbatas terhadap layanan kesehatan dan nutrisi.Kementerian
Kesehatan mengumumkan hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) pada Rapat Kerja
Nasional BKKBN, Rabu (25/1) dimana prevalensi stunting di Indonesia turun dari 24,4% di
tahun 2021 menjadi 21,6% di 2022.

1.2 Rumusan Masalah


1 Apa pengertian Stunting ?
2 Apa faktor-faktor penyebab tinggi dan rendahnya asupan daging
dimasyarakat?
3 Apa saja Data Stunting dan jenis daging yang dikonsumsi di Indonesia,
Amerika Serikat, dan Ghana?
4 Apa Analisis Faktor Penyebab Asupan Daging dan Angka Stunting
5 Apa Analisis Faktor Penyebab Tinggi dan Rendahnya Asupan Daging dan
Angka Stunting

2
6 Bagaimana Kaitan dengan Program Intervensi Gizi, Pendapatan, dan Kondisi
Masyarakat
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Analisis Hubungan Konsumsi Daging
dan Status Stunting di Negara Indonesia (Developing Countries) Amerika Serikat
Developed Countries) Ghana (Under Developed)

1.3.2 Tujuan Khusus


1. Mengetahui pengertian stunting
2. Mengetahui faktor-faktor penyebab dan tinggi dan rendahnya asupan daging di
masyarakat?
3. Mengetahui Data Stunting dan jenis daging yang dikonsumsi di Indonesia,
Amerika Serikat, dan Ghana
4. Mengetahui Analisis Faktor Penyebab Asupan Daging dan Angka Stunting
5. Mengetahui Analisis Faktor Penyebab Tinggi dan Rendahnya Asupan Daging
dan Angka Stunting
6. Mengetahui Kaitan dengan Program Intervensi Gizi, Pendapatan, dan Kondisi
Masyarakat

3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Stunting

Stunting atau kurang gizi kronik adalah kegagalan pertumbuhan dan perkembangan.
Kurang gizi kronik adalah keadaan yang sudah terjadi sejak lama, bukan seperti kurang gizi
akut. Anak yang mengalami stunting sering terlihat memiliki badan normal yang
proporsional, namun sebenarnya tinggi badannya lebih pendek dari tinggi badan normal
yang dimiliki anak seusianya. Stunting merupakan proses kumulatif dan disebabkan oleh
asupan zat-zat gizi yang tidak cukup atau penyakit infeksi yang berulang, atau kedua-
duanya. Stunting dapat terjadi sebelum kelahiran dan disebabkan oleh asupan gizi yang
sangat kurang saat masa kehamilan, pola asuh makan yang sangat kurang, rendahnya
kualitas makanan sejalan dengan frekuensi infeksi sehingga dapat menghambat
pertumbuhandan perkembangan anak.

Dampak kejadian stuntingdalam jangka pendek yaitu dapat menyebabkan peningkatan


kejadian kesakitan dan kematian, tidak optimalnya perkembangan kognitif atau kecerdasan,
motorik, verbal, dan peningkatan biaya kesehatan. Dampak kejadian stuntingdalam jangka
panjang yaitu dapat menyebabkan postur tubuh yang tidak optimal pada saat dewasa,
peningkatan risiko obesitas, mengalami penyakit degeneratif, menurunnya kesehatan
reproduksi, tidak optimalnya kapasitas belajar atau performa saat masa sekolah, tidak
maksimalnya produktivitas kapasitas kerja. Anak yang memiliki tingkat kecerdasan yang
tidak maksimal akibat kejadian stunting pada akhirnya dapat menghambat pertumbuhan
ekonomi, meningkatkan kemiskinan, dan memperlebar ketimpangan di suatu Negara.

Stunting mengacu pada gangguan pertumbuhan pada anak yang ditandai dengan
perawakan pendek yang tidak sesuai dengan usia mereka. Hal ini disebabkan oleh faktor-
faktor seperti gizi buruk, infeksi berulang, stimulasi psikososial yang tidak memadai, dan
asupan nutrisi yang tidak mencukupi untuk jangka waktu yang lama. Stunting dapat
memiliki dampak jangka panjang pada perkembangan fisik, mental, intelektual, dan
kognitif, dan dikaitkan dengan peningkatan risiko penyakit, kematian, dan penghambatan
pertumbuhan motorik dan mental. Ini adalah masalah kesehatan masyarakat yang signifikan
secara global, dengan tingkat prevalensi yang tinggi di negara-negara seperti Indonesia.
Upaya untuk mengatasi stunting termasuk pendidikan kesehatan, meningkatkan akses ke
makanan bergizi, dan meningkatkan praktik sanitasi dan kebersihan lingkungan. Diagnosis
dan pengobatan dini sangat penting dalam mencegah dan mengelola stunting.

Intervensi untuk stunting yang diprogramkan oleh pemerintah meliputi ibu hamil
mendapatkan tablet tambah darah minimal 90 tablet selama kehamilan, pemberian makanan
tambahan pada ibu hamil, pemenuhan gizi, persalinan dengan dokter atau bidan yang ahli,
IMD (Inisiasi Menyusui Dini), Asi Eksklusif pada bayi sampai usia 6 bulan, pemberian
makanan pendamping ASI mulai anak usia 6 bulan sampai dengan usia 2 tahun, berikan
imunisasi dasar lengkap dan vitamin A, pantau pertumbuhan balita di posyandu terdekat,
serta terapkan perilaku hidup bersih dan sehat

2.2 Faktor-faktor penyebab tinggi dan rendahnya asupan daging di masyarakat

Faktor Penyebab Tinggi Asupan Daging:


1. Tradisi dan Budaya Konsumsi: Di beberapa masyarakat, konsumsi daging merupakan
bagian penting dari tradisi kuliner dan budaya makanan, sehingga mendorong tingginya

4
asupan daging.
2. Ketersediaan dan Aksesibilitas: Negara-negara dengan industri peternakan yang maju
cenderung memiliki ketersediaan daging yang melimpah dan lebih terjangkau secara
ekonomis, mendorong masyarakat untuk mengonsumsi lebih banyak daging.
3. Persepsi Gizi dan Kesehatan: Beberapa masyarakat menganggap daging sebagai sumber
protein yang penting untuk memenuhi kebutuhan gizi, terutama dalam membangun otot dan
mempertahankan kesehatan.
4. Promosi dan Iklan: Promosi dan iklan dari industri daging serta restoran fast food dapat
mempengaruhi perilaku konsumsi masyarakat dengan menggambarkan daging sebagai
makanan yang menarik dan bergizi.

Faktor Penyebab Rendahnya Asupan Daging:

1. Faktor Agama dan Kebiasaan Makan: Beberapa agama atau kepercayaan


mengajarkan pola makan vegetarian atau membatasi konsumsi daging, seperti
Hinduisme, Buddhis, dan veganisme.
2. Kesadaran Lingkungan dan Kesejahteraan Hewan: Masyarakat yang lebih sadar
akan isu lingkungan dan kesejahteraan hewan cenderung mengurangi konsumsi
daging karena dampaknya pada lingkungan dan etika dalam perlakuan terhadap
hewan.
3. Kondisi Ekonomi: Di beberapa negara atau komunitas dengan tingkat kemiskinan
tinggi, harga daging yang tinggi dapat menjadi faktor pembatas dalam konsumsi
daging.
4. Promosi Diet Nabati: Kampanye dan informasi tentang manfaat diet nabati untuk
kesehatan dan lingkungan dapat mempengaruhi masyarakat untuk mengurangi
konsumsi daging dan beralih ke sumber protein nabati.
5. Perubahan Gaya Hidup: Gaya hidup modern yang serba cepat dan tren diet tertentu,
seperti diet rendah karbohidrat atau diet tinggi protein nabati, juga dapat
mempengaruhi penurunan konsumsi daging.

Dalam masyarakat yang beragam, faktor-faktor ini dapat saling berinteraksi dan memengaruhi pola
konsumsi daging secara kompleks.

2.3 Data Stunting dan Jenis Daging yang Dikonsumsi


2.3.1 Negara Indonesia (Negara Berkembang)

Stunting masih menjadi masalah kesehatan serius yang di hadapi Indonesia.


Berdasarkan data Survei Status Gizi Nasional (SSGI) tahun 2022, prevalensi stunting di
Indonesia di angka 21,6%. Jumlah ini menurun dibandingkan tahun sebelumnya yaitu
24,4%. Walaupun menurun, angka tersebut masih tinggi, mengingat target prevalensi
stunting di tahun 2024 sebesar 14% dan standard WHO di bawah 20%.Pelaksana Tugas
(Plt) Direktur Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Komalasari, mengingatkan
pentingnya pemberian protein hewani kepada anak, terutama bagi anak di bawah usia 2
tahun, guna mencegah stunting.“Anak usia di bawah usia dua tahun selain mendapatkan
asupan Air Susu Ibu (ASI) eksklusif, perlu diberikan makanan tambahan mengandung
protein hewani guna mencegah stunting,” ujar Komalasari saat gerak jalan “kampanye
hidup sehat” di hari bebas kendaraan (car free day ). Minggu (29/1).

Dijelaskan Plt Direktur PAUD stunting disebabkan oleh berbagai beberapa faktor,
salah satunya kurangnya asupan penting seperti protein hewani yang berasal hewan,
meliputi daging sapi, daging kambing, daging ayam, daging bebek, seafood, serta telur
memiliki zat gizi lengkap. Seperti asam amino yang lebih lengkap dibandingkan dengan
5
protein nabati, kaya akan mikronutrien seperti vitamin B12, vitamin D, DHA
(docosahexaenoic acid), zat besi, dan zink. Menteri Kesehatan Budi G. Sadikin
mengungkapkan, angka stunting tersebut disebabkan berbagai faktor, salah satunya
karena kurangnya asupan penting seperti protein hewani, nabati dan zat besi sejak
sebelum sampai setelah kelahiran. Hal ini berdampak pada bayi lahir dengan gizi yang
kurang, sehingga anak menjadi stunting.Untuk mengatasi persoalan tersebut,
Kementerian Kesehatan mengkampanyekan pentingnya pemberian protein hewani
kepada anak utamanya anak usia dibawah 2 tahun.

Angka stunting di Indonesia masih tinggi yaitu 24,4% (SSGI 2021), walaupun
terjadi penurunan dari tahun sebelumnya yaitu 27,7% (SSGI 2019) namun masih butuh
upaya untuk mencapai target penurunan stunting pada tahun 2024 sebesar 14%. Tren
data SSGI 2019-2021, menunjukkan Stunting terjadi sejak sebelum lahir, dan
meningkat paling banyak pada rentang usia 6 bulan 13,8% ke 12 bulan 27,2% (SSGI
2019). Dari data tersebut kita dapat melihat pentingnya terpenuhi gizi ibu sejak hamil,
menyusui dan gizi pada MP-ASI balita.

Beriku adalah data Konsumsi Daging dan Tingkat Stunting di berbagai negara
berkembang :

Menurut sumber data OECD (2018) dan UNICEF-WHO World Bank (2017) diatas
diperoleh negara berkembang yang konsumsi daging dengan rate stunting yaitu:

6
Nama Negara Jumlah daging dikonsumsi/org Rate Stunting
Indonesia 10 kg 36%
India 3 kg 38%
Bangladesh 5 kg 35%
Pakistan 13 kg 45%
Filipina 29 kg 31%

Jenis daging yang paling dominan dikonsumsi tiap negara ialah:

Nama Negara Jenis daging dominasi yang dikonsumsi


Indonesia Unggas
India Unggas
Bangladesh Daging sapi
Pakistan Daging sapi
Filipina Daging babi

Dari hasil data diatas dapat disimpulkan bahwa negara yang paling banyak mengkonsumsi
daging adalah negara Filipina dengan jenis daging babi dan unggas sebanyak 29kg/org
dengan rate stunting 30%. Sementara, negara yang paling sedikit mengkonsumsi daging
adalah negara India dengan jenis daging unggas sebanyak 5kg/org dengan rate stunting
38,5%. Kemudian di negara Pakistan ditemukan angka stunting yang paling tinggi yaitu
45% dengan jenis konsumsi daging sapi sebanyak 11kg/org.

2.3.2 Negara Amerika Serikat (Negara Maju)

Data stunting di Amerika Serikat dapat memberikan gambaran tentang kesehatan


anak- anak dan potensi keterkaitannya dengan konsumsi daging. Meskipun Amerika
Serikat termasuk dalam negara maju, permasalahan gizi masih menjadi fokus
penting.Menurut data yang diperoleh dari lembaga kesehatan nasional dan organisasi
terkait, tingkat stunting pada anak-anak di Amerika Serikat adalah [masukkan data
persentase stunting]. Meskipun angka stunting biasanya lebih rendah dibandingkan
dengan negara berkembang, kekhawatiran muncul terkait pola makan yang kurang
seimbang di antara anak-anak.

Dunia telah mengalami perbaikan positif mengenai penanganan stunting selama


20 tahun terakhir. United Nations International Children's Emergency Fund (UNICEF)
memperkirakan, jumlah anak penderita stunting di bawah usia lima tahun sebanyak
149,2 juta pada 2020, turun 26,7% dibandingkan pada 2000 yang mencapai 203,6 juta.
Amerika Latin dan Karibia, jumlah balita penderita stunting turun 43,13% dari 10,2 juta
pada 2000 menjadi 5,8 juta pada tahun lalu.

Beriku adalah data Konsumsi Daging dan Tingkat Stunting di berbagai negara maju :

7
Menurut sumber data OECD (2018) dan UNICEF-WHO World Bank (2017) diatas
diperoleh negara berkembang yang konsumsi daging dengan rate stunting yaitu:

Nama Negara Jumlah daging dikonsumsi/org Rate Stunting


AS 98 kg 3%
Australia 93 kg 3%
Chile 72 kg 3%
Korea Selatan 53 kg 4%
Ukraina 42 kg 4,5%

Jenis daging yang paling banyak dikonsumsi tiap negara ialah:


Nama Negara Jenis daging dominasi yang dikonsumsi
AS Unggas
Australia Unggas
Chile Daging Sapi
Korea Selatan Daging Babi
Ukraina unggas

Dari hasil data diatas dapat disimpulkan bahwa negara yang paling banyak
mengkonsumsi daging adalah negara Amerika Serikat dengan jenis daging babi dan
unggas sebanyak 98kg/org dengan rate stunting 2,5%. Sementara, negara yang paling
sedikit mengkonsumsi daging adalah negara Ukraina dengan jenis daging babi dan
unggas sebanyak 40kg/org dengan rate stunting 4%.

2.3.3 Negara Ghana (Negara di Bawah Berkembang)

Berdasarkan data terbaru yang saya temukan, rata-rata konsumsi daging per kapita per
tahun di Ghana adalah sekitar 6,9 kg pada tahun 2018.Jika dibandingkan dengan
standar konsumsi daging rata-rata dunia sebesar 43,3 kg per kapita per tahun (data
FAO 2015), maka konsumsi daging di Ghana tergolong sangat rendah.

8
Konsumsi daging yang rendah ini kemungkinan disebabkan karena:

1. Kemiskinan dan keterbatasan daya beli masyarakat Ghana terhadap daging.


2. Budaya masyarakat yang lebih mengandalkan sumber protein nabati, seperti
kacang-kacangan, daripada hewani.
3. Infrastruktur dan teknologi peternakan di Ghana yang belum berkembang untuk
memasok daging dalam jumlah besar.
4. Populasi ternak di Ghana yang masih terbatas.

Dengan mempertimbangkan data di atas, persentase rata-rata konsumsi daging di


Ghana kurang lebih adalah 16% dari standar konsumsi dunia.

Menurut sumber data OECD (2018) dan UNICEF-WHO World Bank (2017) diatas
diperoleh dari underdevelopment countries yang konsumsi daging dengan rate stunting
yaitu:
Nama Negara Jumlah daging dikonsumsi/org Rate Stunting
Sudan 0 kg 38%
Ethiopia 5 kg 39%
Tanzania 7 kg 33%
Monzambique 8 kg 43%
Ghana 9 kg 19%

Jenis daging yang paling banyak dikonsumsi tiap negara adalah:

Nama Negara Jenis daging dominasi yang dikonsumsi


Sudan -
Ethiopia Daging Sapi
Tanzania Daging Sapi
Monzambique Daging Babi
Ghana unggas

9
10
2.4 Analisis Faktor Penyebab Asupan Daging dan Angka Stunting
2.4.1 Indonesia
a. Faktor Penyebab Tingginya Asupan Daging:
 Keanekaragaman Kuliner: Keanekaragaman kuliner Indonesia memberikan
akses luas terhadap berbagai jenis daging, seperti ayam, ikan, dan daging sapi,
meningkatkan kemungkinan untuk asupan protein hewani yang seimbang.
 Pendapatan Rendah di Sebagian Masyarakat: Meskipun secara keseluruhan
Indonesia masih berkembang, sebagian masyarakat dapat mengalami pendapatan
yang lebih tinggi, memungkinkan mereka untuk mengakses daging lebih mudah.

b. Faktor Penyebab Rendahnya Asupan Daging:


 Keterbatasan Ekonomi di Beberapa Daerah: Beberapa daerah di Indonesia masih
menghadapi keterbatasan ekonomi, sehingga asupan daging mungkin terbatas di
kalangan masyarakat dengan pendapatan rendah.
 Polanya Makan yang Tidak Seimbang:Beberapa kelompok masyarakat mungkin
memiliki pola makan yang cenderung tidak seimbang, dengan dominasi
karbohidrat daripada protein hewani.

2.4.2 Amerika Serikat


a. Faktor Penyebab Tingginya Asupan Daging:
 Pendapatan Tinggi secara Umum:Amerika Serikat memiliki tingkat pendapatan
yang tinggi secara umum, memberikan akses lebih besar ke sumber protein
hewani termasuk daging.
 Pilihan Konsumen yang Luas: Pasar makanan yang beragam menyediakan
berbagai jenis daging dan produk olahan daging, memungkinkan masyarakat
untuk memilih sesuai selera dan kebutuhan nutrisi.
b. Faktor Penyebab Rendahnya Asupan Daging:
 Pola Makan yang Cenderung Rendah Karbohidrat: Beberapa kelompok
masyarakat di Amerika Serikat dapat memiliki kecenderungan untuk
mengadopsi pola makan rendah karbohidrat, yang mungkin membatasi asupan
daging.
 Kesadaran Kesehatan: Sebagian masyarakat mungkin beralih ke alternatif
protein nabati karena kekhawatiran terkait kesehatan dan keberlanjutan.

11
2.4.3 Ghana
a. Faktor Penyebab Tingginya Asupan Daging:
 Keterbatasan Pilihan Pangan: Keterbatasan pilihan pangan mungkin membuat
asupan daging di Ghana lebih rendah daripada negara maju.
 Pendapatan Rendah: Keterbatasan ekonomi dapat membatasi akses ke sumber
protein hewani, termasuk daging.
b. Faktor Penyebab Rendahnya Asupan Daging:
 Keterbatasan Infrastruktur dan Distribusi Pangan: Keterbatasan infrastruktur dan
distribusi pangan dapat mempengaruhi ketersediaan daging di beberapa wilayah
di Ghana
 Pola Makan Tradisional: Pola makan tradisional mungkin lebih didominasi oleh
sumber protein nabati, dan asupan daging mungkin tidak menjadi prioritas
utama.

Analisis ini memberikan gambaran awal mengenai faktor-faktor yang memengaruhi


asupan daging dan angka stunting di Indonesia, Amerika Serikat, dan Ghana.
Hubungan antara konsumsi daging dengan masalah stunting dapat dijelaskan sebagai
berikut:
1. Daging, terutama daging merah, adalah sumber protein hewani yang berkualitas
tinggi. Protein hewani mengandung semua asam amino esensial yang
dibutuhkan untuk pertumbuhan anak.
2. Kekurangan konsumsi protein (terutama protein hewani) dapat menyebabkan
kekurangan gizi kronis (malnutrisi) pada anak, yang berdampak pada
terhambatnya pertumbuhan secara fisik dan perkembangan otak. Hal ini dapat
bermanifestasi dalam bentuk stunting.
3. Beberapa penelitian epidemiologis menemukan bahwa konsumsi daging merah,
ayam, dan telur berkorelasi terbalik dengan prevalensi atau risiko stunting pada
anak.
4. Anak-anak dari keluarga miskin di negara berkembang umumnya hanya
memiliki akses terbatas ke sumber pangan hewani akibat daya beli rendah.
Rendahnya asupan protein hewani berisiko stunting.
5. Pemberian suplementasi protein hewani (seperti susu dan telur) terbukti mampu
meningkatkan pertumbuhan linier pada balita miskin di beberapa negara
berkembang dengan angka stunting tinggi.
12
Kesimpulannya, konsumsi daging yang rendah dapat dikaitkan sebagai salah satu faktor
risiko stunting pada anak di negara miskin dan berkembang. Peningkatan konsumsi
daging dapat membantu mencukupi kebutuhan protein dan mengurangi risiko stunting.

2.5 Analisis Faktor Penyebab Tinggi dan Rendahnya Asupan Daging dan Angka
Stunting
Diindonesia faktor yang mempengaruhi stunting terdiri dari faktor langsung dan
faktor tidak langsung. Menurut penelitian Uliyanti tahun 2017, faktor langsung yang
mempengaruhi kejadian stunting yaitu asupan gizi, riwayat penyakit infeksi,
pengetahuan gizi ibu dan kadarzi (keluarga sadar gizi), sedangkan faktor tidak langsung
yang mempengaruhi stunting yaitu perilaku hidup bersih dan sehat atau PHBS. Asupan
zat gizi memiliki peran besar terhadap pertumbuhan anak hingga remaja. Hal tersebut
dibutuhkan dalam mempercepat pembelahan sel dan DNA selama masa pertumbuhan
terutama zat gizi energi dan protein (Susetyowati, 2016). Protein merupakan sumber
asam amino esensial untuk pertumbuhan dan pembentukan serum, hemoglobin, enzim,
hormon, serta antibodi (Susetyowati, 2016). Bahan makanan sumber protein hewani
memiliki jumlah asam amino esensial lebih tinggi dibandingkan sumber protein nabati
(Damayanti, 2016). Menurut penelitian Hornell, et al tahun 2013 menyebutkan adanya
hubungan positif antara asupan protein tinggi pada bayi dan balita dengan konsentrasi
insulin-like growth factor 1 (sIGF-I) yang menimbulkan pertumbuhan lebih cepat.
Protein berkontribusi dalam meningkatkan hormon pertumbuhan. Salah satu hormon
pertumbuhan yaitu hormon endokrin berperan dalam pertumbuhan yang disebut
somatotropin (growth hormon). Hormon tersebut berperan mengatur pertumbuhan
terutama pertumbuhan kerangka dan mempengaruhi pertambahan tinggi badan
(Soetjiningsih, 2016).
Diamerika faktor penyebab tinggi dan rendahnya asupan daging serta angka
stunting di Amerika Serikat melibatkan sejumlah variabel. Faktor tinggi asupan daging
dapat dipengaruhi oleh preferensi makanan, aksesibilitas, dan kondisi ekonomi. Di sisi
lain, rendahnya asupan daging mungkin terkait dengan pilihan diet, gaya hidup
vegetarian atau vegan, dan kesadaran kesehatan. Angka stunting dapat dipengaruhi oleh
berbagai faktor termasuk nutrisi, sanitasi, dan perawatan kesehatan. Kombinasi
kurangnya asupan nutrisi, terutama pada masa perkembangan anak, dapat menjadi
penyebab stunting. Faktor sosial ekonomi, seperti ketidaksetaraan akses terhadap
layanan kesehatan dan pendidikan, juga dapat memainkan peran. Analisis holistik perlu
dilakukan untuk memahami interaksi kompleks antara faktor-faktor ini dan mencari
solusi yang terintegrasi untuk meningkatkan status gizi dan mencegah stunting di
Amerika Serikat.
Dighana Analisis faktor penyebab tinggi dan rendahnya asupan daging serta
angka stunting di Ghana melibatkan sejumlah faktor seperti aksesibilitas ekonomi
terhadap daging, pendidikan tentang gizi, sanitasi, dan pola makan tradisional. Selain
itu, faktor kesehatan ibu dan anak, serta kebijakan pangan dan gizi, dapat berperan
dalam memahami masalah ini secara holistik.

13
2.5.1 Aspek Penyebab Rendahnya Asupan Daging
Protein hewani dari daging merupakan sumber pangan yang sangat baik untuk masa
pertumbuhan dan perkembangan anak-anak oleh karena kandungan asam aminonya yang

14
lengkap. Namun realitanya, tingkat konsumsi protein hewani khususnya daging sapi di
Indonesia masih jauh tertinggal di bawah rata-rata dunia bahkan negara-negara ASEAN.
Kekurangan protein hewani mengakibatkan lambatnya laju pertumbuhan badan serta
tingkat kecerdasan terutama pada anak-anak yang merupakan potensi sumber daya
manusia (SDM) Indonesia. Bila tidak diatasi, masalah ini akan menimbulkan efek jangka
panjang bagi kualitas SDM Indonesia di masa yang akan datang. Menurut Kementerian
Perdagangan (Kemendag) Republik Indonesia, ada 2 kendala utama penyebab langkanya
konsumsi daging di Indonesia. Pertama ialah rendahnya daya beli masyarakat terhadap
daging. Daging selama ini masi menjadi komoditas pangan yang mewah dengan harga
relatif mahal. Kendala berikutnya ialah jumlah produksi daging khususnya daging sapi
dalam negeri yang tidak memenuhi angka kebutuhan konsumsi masyarakat Indonesia.
Selain itu, terdapat pula masalah dalam saluran distribusi serta tata niaga daging di
Indonesia.
Diamerika Serikat konsumsi daging tidak rendah karena Daging sapi adalah daging
yang paling banyak dikonsumsi di Amerika Serikat, rata-rata 67 pon per orang per tahun.
Temuan berdasarkan Survei Berkelanjutan Asupan Makanan oleh Individu (CSFII) tahun
1994-96 dan 1998 menunjukkan bahwa sebagian besar daging sapi dimakan di rumah.
Konsumsi daging sapi tahunan per orang tertinggi terjadi di wilayah Midwest (73 pon),
diikuti oleh wilayah Selatan dan Barat (masing-masing 65 pon), dan Timur Laut (63 pon).
Konsumen pedesaan mengonsumsi lebih banyak daging sapi (75 pon) dibandingkan
konsumen perkotaan dan pinggiran kota (66 dan 63 pon). Konsumsi daging sapi juga
bervariasi berdasarkan ras dan etnis. Orang kulit hitam memakan 77 pon daging sapi per
orang per tahun, diikuti oleh 69 pon oleh orang Hispanik, 65 pon oleh orang kulit putih,
dan 62 pon oleh ras lain. Konsumen berpendapat rendah cenderung mengonsumsi lebih
banyak daging sapi dibandingkan konsumen di rumah tangga berpendapat lain.
Dan dighana Makanan pokok dari Ghana adalah hasil tani seperti kacang-
kacangan, jagung, dan singkong. Selain itu, kopi juga menjadi komoditas utama yang
diadagangkan negara ini. Oleh sebab itu, konsumsi daging Ghana terbilang rendah.
Pendapatan per kapita Ghana yang rendah juga menjadi salah satu penyebabnya.
Kalaupun ada, daging domba atau kambing yang lebih sering dikonsumsi
2.6 Kaitan dengan Program Intervensi Gizi, Pendapatan, dan Kondisi Masyarakat

a. Indonesia:

 Program Intervensi:

Di Indonesia, program pemberian makanan tambahan untuk balita menjadi salah satu
inisiatif utama dalam menangani masalah stunting. Program ini melibatkan distribusi
makanan bergizi khususnya untuk anak-anak yang rentan mengalami kekurangan gizi.
Selain itu, kampanye edukasi gizi juga dilakukan untuk meningkatkan pemahaman
masyarakat tentang pentingnya pola makan seimbang dan gizi yang cukup.

 Pendapatan:

Upaya peningkatan aksesibilitas ekonomi masyarakat dilakukan untuk mengurangi


disparitas sosial yang dapat memengaruhi akses terhadap pangan berkualitas. Program
15
bantuan sosial dan pelatihan ekonomi menjadi bagian dari strategi ini untuk
meningkatkan pendapatan keluarga, sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan gizi
anak-anak dengan lebih baik.

 Kondisi Masyarakat:

Peningkatan sanitasi dan edukasi kesehatan menjadi fokus dalam meningkatkan kondisi
masyarakat di Indonesia. Penyuluhan tentang kebersihan, akses terhadap air bersih, dan
pencegahan penyakit menjadi langkah-langkah kunci untuk menciptakan lingkungan
yang mendukung pertumbuhan anak-anak secara optimal.

b. Amerika Serikat:

 Program Intervensi:

Di Amerika Serikat, pendekatan intervensi fokus pada pendidikan gizi dan program
pangan berbasis masyarakat. Kampanye untuk meningkatkan pemahaman tentang
pentingnya asupan nutrisi, khususnya pada anak-anak, menjadi bagian integral dari
upaya ini. Program pangan berbasis masyarakat bertujuan untuk memastikan bahwa
akses terhadap makanan sehat terjamin di berbagai lapisan masyarakat.

 Pendapatan:

Dalam konteks pendapatan, Amerika Serikat berusaha memastikan kesetaraan akses


terhadap pangan sehat. Program bantuan pangan dan insentif ekonomi digunakan untuk
mendukung keluarga dengan pendapatan rendah sehingga mereka dapat memenuhi
kebutuhan nutrisi anak-anak mereka.

 Kondisi Masyarakat:

Upaya menangani masalah obesitas dan pola makan tidak sehat menjadi bagian penting
dari strategi kesehatan masyarakat di Amerika Serikat. Kampanye kesadaran tentang
pentingnya gaya hidup sehat, termasuk makanan bergizi, dilaksanakan untuk mengubah
perilaku masyarakat dalam menghadapi tantangan kesehatan.

c. Ghana:

 Program Intervensi:

Di Ghana, peningkatan akses terhadap pangan bergizi menjadi fokus utama program
intervensi. Ini melibatkan distribusi makanan bergizi dan kampanye penyuluhan gizi
untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang pentingnya makanan seimbang.

 Pendapatan:

Program pembangunan ekonomi digunakan sebagai cara untuk meningkatkan


pendapatan masyarakat di Ghana. Langkah-langkah ini melibatkan pelatihan
keterampilan dan dukungan keuangan untuk membantu keluarga dalam memenuhi
kebutuhan gizi anak- anak mereka.

16
 Kondisi Masyarakat:

Peningkatan infrastruktur dan pelayanan kesehatan menjadi prioritas dalam upaya


meningkatkan kondisi masyarakat di Ghana. Pembangunan fasilitas sanitasi dan
peningkatan akses terhadap layanan kesehatan esensial bertujuan untuk menciptakan
lingkungan yang mendukung pertumbuhan dan perkembangan anak-anak secara
optimal.

17
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Stunting sebagai Masalah Kesehatan Global:Stunting merupakan masalah
kesehatan global yang memengaruhi pertumbuhan fisik dan kognitif anak-anak di
berbagai negara, termasuk Indonesia, Amerika Serikat, dan Ghana.Pentingnya
Konsumsi Daging dalam Mencegah Stunting: Konsumsi daging, khususnya protein
hewani, memiliki peran penting dalam mencegah stunting. Daging merah, ayam, dan
telur merupakan sumber protein hewani berkualitas tinggi yang mengandung asam
amino esensial yang diperlukan untuk pertumbuhan anak.Variabilitas Konsumsi Daging
di Berbagai Negara:Terdapat variasi dalam konsumsi daging antara negara berkembang
seperti Indonesia, negara maju seperti Amerika Serikat, dan negara sedang berkembang
seperti Ghana. Faktor ekonomi, keanekaragaman kuliner, dan pola makan tradisional
mempengaruhi asupan daging di masing-masing negara.Kaitan Faktor Ekonomi dan
Sosial dengan Asupan Daging:Tingkat pendapatan dan aksesibilitas ekonomi
memainkan peran penting dalam menentukan jenis daging yang dapat diakses oleh
masyarakat. Pendapatan tinggi di Amerika Serikat memungkinkan akses yang lebih
besar terhadap sumber protein hewani, sementara keterbatasan ekonomi di Ghana dapat
membatasi konsumsi daging.

3.2 Saran
Makalah ini jauh dari kata sempurna, maka dari itu penyusun mengharapkan kritik
dan saran dari dosen pembimbing dan para pembaca agar dalam penyusunan makalah
selanjutnya menjadi lebih baik lagi.

18
DAFTAR PUSTAKA

Abd Rohman Taufiq. (2023). An Nahl Group’s Honey Sales Assistance Through E-
Commerce Shopee. Jurnal Pengabdian Dan Peningkatan Mutu Masyarakat
(Janayu), 4(1), 117–125. https://doi.org/10.22219/janayu.v4i1.22199
Siringoringo, E. T., Syauqy, A., Panunggal, B., Purwanti, R., & Widyastuti, N. (2020).
Karakteristik Keluarga Dan Tingkat Kecukupan Asupan Zat Gizi Sebagai Faktor
Risiko Kejadian Stunting Pada Baduta. Journal of Nutrition College, 9(1), 54–62.
https://doi.org/10.14710/jnc.v9i1.26693
https://paudpedia.kemdikbud.go.id/kabar-paud/berita/prevalensi-stunting-tahun-2022-
di-angka-216-protein-hewani-terbukti-cegah- stunting?
do=MTQyMy1iNmNmMmYzZA==&ix=MTEtYmJkNjQ3YzA=
https://www.google.com/url?q=http://repository2.unw.ac.id/1254/13/S1_060116A012_
SKRIPSI%2520LENGKAP%2520-
%2520Ervika%2520Damayani.pdf&sa=U&ved=2ahUKEwjIy4bWiLWEAxUh4jg
GHeXcDVMQFnoECC8QAQ&usg=AOvVaw1iLB_xoVmCtOOUff4YTX6L
https://www.google.com/url?q=https://goodstats.id/article/rata-rata-konsumsi-daging-di-
indonesia-masih-anjlok-ozwzO&sa=U&ved=2ahUKEwjC-
Z2ZiLWEAxVLumMGHdGGBYMQFnoECCcQAQ&usg=AOvVaw1R008izMpn
vtkNGpLfs6Ud
https://www.google.com/url?q=https://bobobox.com/blog/negara

Meher, C., Zaluchu, F., & Eyanoer, P. C. (2023). Local approaches and ineffectivity in reducing
stunting in children : A case study of policy in Indonesia [ version 1 ; peer review : awaiting
peer review ]. 1–9.
Nugrawati, N., Junaidin, Ekawati, N., Sartika, D., & Wijaya, A. (2021). Edukasi Tentang
Pemanfaatan Daun Kelor Guna Pencegahan Stunting Pada Kader Posyandu di Kecamatan
Maros Baru Kabupaten Maros. Jtcsa Adpertisi Journal, 2(1), 6–10.
http://jurnal.adpertisi.or.id/index.php/JTCSA/article/view/184
Asrari, S., Husna, A., & Khairi, I. (2022). Angka konsumsi ikan, cara pengolahan ikan dan
prevalensi stunting Di Desa Kuta Blang, Kecamatan Samadua, Kabupaten Aceh Selatan. Acta
Aquatica: Aquatic Sciences Journal, 9(2), 116. https://doi.org/10.29103/aa.v9i2.8130Black, R.
E., et al. (2013). Maternal and child undernutrition and overweight in low-income and middle-
income countries. The Lancet, 382(9890), 427-451.
Victora, C. G., et al. (2008). Maternal and child undernutrition: consequences for adult health
and human capital. The Lancet, 371(9609), 340-357.
WHO. (2021). Global Nutrition Report 2021. World Health Organization.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
(2018). Riset Kesehatan Dasar 2018.

19

Anda mungkin juga menyukai