Policy Brief: Bantuan Susu Untuk Keluarga Miskin dan Keluarga
dengan Balita Stunting Tidak Tepat
TP2AK, Setwapres
Menteri Sosial, Juliari P. Batubara, dalam keterangannya selesai rapat terbatas
tanggal 05 Agustus 2020 dalam kanal Youtube Sekretariat Presiden menyatakan Program Keluarga Harapan (PKH) Kementerian Sosial yang terkait dengan stunting akan diintegrasikan dengan Kementerian Kesehatan. Disamping akan memberikan dukungan pelatihan pada pendamping keluarga penerima PKH terkait masalah stunting, Kementerian Sosial juga mengusulkan dalam program kartu sembako yaitu bantuan pangan non tunai yang akan ditambahkan susu untuk tambahan gizi. (bisa dibuang kalau terlalu menyudutkan) Susu secara inheren memang baik sebagai salah satu sumber protein, disamping telur, ikan, daging, tahu/tempe dsb nya. Bisa jadi dalam setting terbatas, pemberian tambahan susu bisa memberikan perbaikan gizi, namun karena penyebab stunting adalah multifaktorial, bantuan susu untuk penderita stunting dalam skala besar justru mempunyai beberapa implikasi negatif. Pertama bantuan susu akan berlawanan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2012, yang menganjurkan pemberian ASI eksklusif kepada bayi sejak dilahirkan selama enam bulan, tanpa menambahkan dan/atau mengganti dengan makanan atau minuman lain (kecuali obat, vitamin dan mineral). Penerapan intervensi peningkatan pemberian ASI selama 6 bulan pertama adalah sebagai salah satu langkah untuk mencapai WHO Global Nutrition Targets 2025 mengenai penurunan jumlah stunting pada anak di bawah lima tahun. Konsumsi ASI dapat meningkatkan kekebalan tubuh bayi sehingga menurunkan risiko penyakit infeksi baik di negara berkembang maupun negara maju ASI juga merupakan sumber energi dan nutrisi penting yang dapat menyediakan setengah atau lebih dari kebutuhan energi anak antara usia 6 dan 12 bulan, dan sepertiga dari kebutuhan energi antara 12 dan 24 bulan. ASI dapat memberikan sumber energi dan nutrisi penting selama sakit, serta mengurangi angka kematian di antara anak-anak yang kekurangan gizi1. Kebijakan ASI eksklusif menjadi lebih kuat ini karena penelitian yang menunjukkan bahwa bayi yang telah diberi susu botol selama enam bulan pertama lebih rentan mengalami alergi, diare dan infeksi jika dibandingkan dengan bayi yang hanya diberi ASI eksklusif. Penyakit infeksi seperti diare pada bayi di bawah 6 bulan yang diberikan makanan selain ASI dapat menyebabkan menurunnya nafsu makan, menurunnya penyerapan zat gizi dan peningkatan katabolisme sehingga zat gizi tidak mencukupi untuk pertumbuhan. Hal ini kemudian dapat menyebabkan gangguan gizi, dan memperbesar resiko terjadinya stunting2 Pengalaman di beberapa negara, memberikan susu formula pada keluarga yang mempunyai balita tidak hanya berlawanan dengan kebijakan, tapi juga menyebabkan Ibu yang mempunyai balita menjadi kurang antusias untuk memberikan ASI Eksklusif. Produk susu formula yang lebih praktis dalam menyiapkannya karena hanya ditambahkan air saja, dapat menyebabkan penurunan minat pada makanan dan cara mengolahnya serta akan sulit untuk meyakinkan orang tua dan pengasuh bahwa makanan yang diproduksi sendiri untuk balita lebih aman dan lebih baik untuk memenuhi kebutuhan gizi nya3. Sebagian besar ibu mungkin mengkombinasikan pemberian ASI dengan susu formula untuk dapat memenuhi kebutuhan zat gizi bayi agar pertumbuhannya tidak terganggu. Konsumsi susu formula dianggap dapat mengurangi kemungkinan menjadi stunting. Namun hubungan ini cenderung ditemukan pada anak-anak dengan keluarga menengah ke atas, dan tidak pada keluarga menengah ke bawah yang menjadi sasaran bantuan susu tersebut4. Kedua, bantuan susu dalam sejarah sudah dilakukan oleh beberapa negara. Misalnya di benua Afrika, pada 1950-an sampai 1970-an, pemberian susu telah menjadi program dunia yang disponsori oleh UNICEF dan US-AID. Tetapi, sejak 1970-an, program dunia itu dihentikan, karena tidak pernah berhasil menurunkan angka stunting. Masalah kekurangan gizi di negara penerima bantuan susu di Afrika dan Asia, termasuk Indonesia, pada 1970-an tidak berkurang, malah meningkat. Selain itu, Negara India, yang telah menjalankan kampanye "White Revolution"-nya, dan dikenal sebagai "the World Leader of Milk Production". Di tahun 70 an, konsumsi susu di India rata-rata 200 gram per kapita per hari, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan negara lain di Asia, Namun prevalensi anak kekurangan gizi di India adalah tertinggi di Asia5. Penurunan tingkat stunting untuk anak balita di India antara 2006 dan 2014 dari 48 menjadi 38% dikaitkan dengan intervensi 1000 HPK yang berkelanjutan, yaitu suplemen makanan dan mikronutrien sebelum dan selama kehamilan, konseling untuk inisiasi menyusui dan suplementasi makanan dan mikronutrien untuk ibu dalam periode baru lahir dan konseling menyusui, suplementasi makanan dan mikronutrien bersama dengan imunisasi rutin untuk balita anak-anak, dan pemberian ASI eksklusif dan imunisasi yang meningkat dalam beberapa tahun terakhir6 Ketiga, ada berbagai masalah lain yang menyertai bantuan susu untuk keluarga miskin, yaitu a. Kurang tersedia air bersih. Air bersih adalah salah satu faktor sensitif stunting. Tanpa persediaan air yang layak minum dan aman serta dalam jumlah yang cukup, pengolahan susu yang diminum justru menjadi sumber infeksi dan diare. Bagi masyarakat yang mempunyai balita stunting atau wasting, diare akan memperparah gangguan gizi balita tersebut. b. Intolerasi laktosa yang juga menyebabkan diare dan gangguan malabsorbsi lainnya. Di Indonesia, sekitar 21 % anak balita diperkirakan menderita intoleransi laktosa 7. c. Terjadinya pengenceran susu oleh masyarakat miskin. Hal itu dilakukan karena bantuan susu yang didapat tidak mencukupi kebutuhan balita, sehingga balita yang sudah stunting atau wasting makin berat gangguan gizinya. Phenomena pengenceran susu ini tidak ahanya terjadi di Indonesia8, tetapi juga negara berkembang lainnya ( belum ada kepustakaan yang bagus)9 Keempat, bantuan susu bila dilakukan pemerintah merupakan kebijakan yg tidak cost effective. Bantuan susu hanya akan menyebabkan devisa mengalir keluar negeri karena produk susu di Indonesia banyak yang diimpor, sehingga menguntungkan prosuden susu raksasa dunia. Apabila pemberian bantuan susu ini dijadikan program pemerintah, opportunity cost-nya terlalu-tinggi. Hal ini dikarenakan ada pilihan program lain yang lebih cost-effective, dan mendukung produksi dalam negeri misalnya telur. Karena itu susu seharusnya diperlakukan sebagai private goods (urusan swasta) bukan public good (urusan pemerintah). Di beberapa negara yang menggantungkan program gizinya pada barang impor cenderung tidak akan berkesinambungan. Susu sebagai private good merupakan sumber protein yang bagus untuk masyarakat menengah ke atas. Tetapi jika menjadi public good dalam arti pemberian bantuan oleh pemerintah melalui program kartu sembako dalam PKH akan menjadi tidak tepat, dan tidak akan menyelesaikan masalah kekurangan gizi, terutama stunting. Rekomendasi? (kontributor: Purnawan, Linda, Lucy dan Wendy ) 1 World Health Organization. Infant and young child feeding [Internet]. 2020. Available from: https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/infant-and-young-child-feeding. 2 Hussain Z, Khan N. Assessment of the Nutritional Status of Bottle-Fed Infants and the Prevalence of Infections , Allergy and Diarrhea among Bottle Fed Infants and Its Comparison with Exclusively Breast Fed Infants Aged 0-6 Months. 2017;6(4):2–7 3 Przyrembel H, Agostoni C. Growing-Up Milk: A necessity or marketing? World Rev Nutr Diet. 2013;108:49– 55. 4 Herber C, Bogler L, Subramanian S V, Vollmer S. Association between milk consumption and child growth for children aged 6 – 59 months. Sci Rep [Internet]. 2020;2–10. Available from: http://dx.doi.org/10.1038/s41598- 020-63647-8 5 Soekirman, Susu untuk Anak Sekolah di Pedesaan, 2009-09-09, https://www.mail- archive.com/cikeas@yahoogroups.com/msg20278.html. 6 Avula R, Raykar N, Menon P, Laxminarayan R. Reducing stunting in India: What investments are needed? Matern Child Nutr. 2016;12:249–52. 7 Badriul Hegar 1, Ariani Widodo 2: Lactose intolerance in Indonesian childre, Asia Pac J Clin Nutr . 2015;24 Suppl 1:S31-40. Di akses tgl 6 Agustus 2020 dari https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/26715082/
8 https://www.kompasiana.com/naima/552fd9446ea834cb508b457f/salah-kaprah-tentang-susu-formula diakses tgl 6 Agustus 2020 9 https://www.nytimes.com/1981/12/06/magazine/the-controversy-over-infant-formula.html diakses tgl 6 Agustus 2020