Pembimbing:
Dr. Herwanto Sp. A
Disusun oleh:
Casey Vira Aprillea (406211055)
Beatrice Elizabeth Elena (406211056)
Sylvia Regina (406212143)
Mengetahui,
Kepala SMF Ilmu Kesehatan Anak Pembimbing,
RS Sumber Waras
Anemia adalah kondisi dimana terdapat penurunan jumlah sel darah merah serta
penurunan kapasitas pembawa oksigen dari sel darah sehingga tidak dapat mencukupi
kebutuhan fisiologis tubuh.1
World Health Organization (WHO) dalam world health statistics tahun 2021
menunjukan bahwa prevalensi anemia pada anak usia 6-59 bulan di dunia tahun 2019
berkisar sebanyak 39,8%. Berdasarkan data WHO, prevalensi anemia pada anak usia
6-59 bulan di Asia tenggara diketahui berkisar antara 13,4-49,6%. Prevalensi anemia
pada anak usia 6-59 bulan di Indonesia berdasarkan data WHO sebesar 38% pada tahun
2017 dan 38,2% pada tahun 2018, sedangkan pada tahun 2019 prevalensi anemia pada
remaja di Indonesia sebesar 38,4% yang menunjukan terdapatkan kenaikan angka
prevalensi anemia pada anak usia 6-59 bulan di Indonesia.2
Anemia defisiensi besi merupakan penyebab utama anemia secara umum. Anemia
defisiensi besi pada anak memiliki dampak yang signifikan, antara lain gangguan
perkembangan psikomotor, kognitif maupun perilaku anak.3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi
Anemia didefinisikan sebagai penurunan konsentrasi hemoglobin atau volume
sel darah merah di bawah kisaran nilai normal pada orang sehat. Nilai normal
hemoglobin dan hematokrit bervariasi dengan umur dan jenis kelamin. 4
Anemia Defisiensi Besi (ADB) adalah anemia yang disebabkan kurangnya
ketersediaan zat besi di dalam tubuh sehingga menyebabkan zat besi yang
diperlukan untuk eritropoesis tidak cukup. ADB ditandai dengan gambaran
eritrosit yang hipokrom mikrositer, penurunan kadar besi serum, transferrin dan
cadangan besi, disertai peningkatan total iron binding capacity (TIBC).5
2. Epidemiologi
Sejak tahun 2000, prevalensi global anemia pada anak balita secara perlahan
menurun selama bertahun-tahun, dari 48,0% menjadi 39,8%, dan sejak tahun
2010, prevalensi mengalami stagnansi. Prevalensi anemia global tahun 2019
sebesar 39,8% pada anak usia 6-59 bulan atau setara dengan 269 juta anak
dengan anemia. Prevalensi anemia pada anak balita tertinggi di wilayah Afrika
yaitu 60,2%.7
Prevalensi yang lebih tinggi ditemukan di wilayah Asia Tenggara dengan
55,12% pada tahun 2016 dan 52% pada tahun 2019. Anemia dianggap sebagai
masalah kesehatan masyarakat yang berat bila angka prevalensinya ≥40% pada
populasi rentan berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh WHO. Anak kecil
memiliki prevalensi anemia tertinggi, dengan prevalensi dilaporkan lebih besar
dari 40% di 34 negara berkembang pada tahun 2018. 8
Defisiensi besi adalah malnutrisi mikronutrien tersering yang terjadi di
seluruh dunia dan menjadi masalah kesehatan masyarakat yang paling disoroti
di negara berkembang. Penelitian yang ada menunjukkan sebagian besar anak
prasekolah di negara berkembang mengalami anemia defisiensi besi. Pada Asia
Tengah, Asia Selatan, dan Amerika Latin, anemia defisiensi besi ditemukan
sebesar 64,7%, 54,8%, dan 64,7% dari kasus anemia. 9
Prevalensi anemia defisiensi besi pada anak balita di indonesia sekitar
40-45%. Pada usia balita, prevalensi tertinggi anemia defisiensi besi umumnya
terjadi pada tahun kedua kehidupan akibat rendahnya asupan besi melalui diet
dan pertumbuhan yang pesat pada tahun pertama. Angka kejadian anemia
defisiensi besi lebih tinggi pada usia bayi, terutama pada bayi prematur (25-
28%) dan bayi yang mengkonsumsi ASI secara eksklusif tanpa suplementasi. 10
3. Etiologi dan Patofisiologi
Penyebab anemia dapat secara luas diklasifikasikan menjadi tiga kelompok
besar:4,9,11
- Defisiensi nutrisi : anemia nutrisional merupakan penyebab utama
anemia pada anak, terutama terkait defisiensi besi (sekitar 50% kasus)
akibat kurangnya asupan. Penyebab lainnya termasuk defisiensi vitamin
B12 dan asam folat, kurangnya asupan enhancer penyerapan zat besi
seperti vitamin C, phytates (biji-bijian utuh, polong-polongan), dan
kalsium (produk susu) serta peningkatan asupan teh, kopi, dan beberapa
rempah-rempah yang diketahui dapat menghambat penyerapan zat besi
- Infeksi
Infeksi yang dapat menyebabkan anemia termasuk infeksi parasit
(helminthiasis), malaria, skistosomiasis, tuberkulosis, leishmaniasis,
dan acquired immunodeficiency syndrome (AIDS)
- Kelainan hemoglobin genetik
Kelainan genetik yang terkait dengan anemia termasuk thalassemia,
varian hemoglobin (mis. HbF, HbS), defisiensi glucose–phosphate
dehydrogenase dan ovalositosis/sferositosis.
4. Manifestasi Klinis
Tanda-tanda anemia adalah 5L yaitu lemah, letih, lesu, lelah, dan lalai. Selain
itu sering juga didapat keluhan seperti mata berkunang-kunang dan pusing,
pucat pada mukosa kelopak mata, bibir, lidah, kulit, dan telapak tangan.12
5. Pemeriksaan penunjang
Pada keadaan defisiensi besi, yang pertama turun adalah cadangan besi pada
jaringan. Penurunan ini dicerminkan dari penurunan feritin serum, sebuah
protein cadangan besi yang mengestimasi cadangan besi dalam tubuh pada
kondisi tidak terdapat inflamasi. Selanjutnya, terjadi penurunan kadar besi
serum dan peningkatan transferin serum. Karena cadangan besi menurun, besi
tidak dapat berikatan dengan protoporphyrin untuk membentuk heme.
Protoporphyrin eritrosit bebas terakumulasi dan sintesis hemoglobin terganggu.
Pada kondisi ini, defisiensi besi berlanjut menjadi anemia defisiensi besi.
Berkurangnya hemoglobin pada tiap sel, ukuran eritrosit menjadi lebih kecil
dan bervariasi sehingga terjadi penurunan mean corpuscular volume (MCV)
dan mean corpuscular hemoglobin (MCH). Hitung jumlah eritrosit juga
menurun. Persentasi retikulosit dapat normal atau sedikit meningkat.
Pada pemeriksaan apusan darah tepi didapatkan eritrosit yang
hipokrom, mikrositik dengan variasi ukuran sel. Sering terlihat eritrosit yang
berbentuk seperti cerutu atau eliptositik. Deteksi peningkatan receptor
transferin dan penurunan konsentrasi retikulosit hemoglobin sangat bermanfaat
dan merupakan indikator awal anemia defisiensi besi. Jumlah leukosit normal
dan sering terjadi trombositosis.
Pemeriksaan darah samar pada feses dilakukan untuk mengeksklusi
kehilangan darah dari saluran cerna yang menyebabkan defisiensi besi.
Diagnosis anemia defisiensi besi dibuat dengan pemeriksaan darah
lengkap yang menunjukkan anemia mikrositik, penurunan jumlah eritosit,
jumlah leukosit normal, dan jumlah trombosit normal atau meningkat.
Pemeriksaan laboratorium lainnya seperti penurunan kadar feritin, besi serum,
dan peningkatan transferin diperlukan jika terjadi anemia berat yang
memerlukan diagnosis cepat, adanya faktor penyulit, atau anemia yang tidak
berespon dengan terapi besi. Peningkatan Hb ≥ 1 g/dL setelah terapi besi selama
1 bulan, diagnosis anemia defisiensi besi dapat ditegakkan.11
6. Diagnosis Banding
Kondisi lain yang menunjukkan gambaran anemia mikrositik adalah thalasemia
α atau β, hemoglobinopati, dan keracunan timbal. Anemia yang disebabkan
karena inflamasi biasanya normositik tapi dapat terlihat mikrositik pada
sebagian kecil kasus.11
7. Tatalaksana
Terapi yang dapat diberikan untuk mengatasi anemia defisiensi besi adalah
dengan pemberian besi elemental dengan dosis perhari 3-6 mg/kg yang dibagi
menjadi 3 dosis. Dosis maksimal adalah 150-200 mg besi elemental per hari.
Berikut beberapa preparat besi antara lain ferous fumarat mengandung 33%,
ferous glukonas 11,6%, dan ferous sulfat 20% besi elemental. Preparat besi
parenteral diberikan hanya jika adanya malabsorpsi atau ketidakpatuhan.
Sebagai tambahan terapi besi, juga diperlukan konseling gizi. Asupan susu sapi
harus dibatasi.11
Transfusi darah jarang diperlukan. Komponen darah yang diberikan adalah
packed red cell (PRC). Hanya diberikan pada keadaan anemia yang sangat berat
dengan kadar Hb < 4g/dL.14
Jika anemia yang terjadi ringan, dilakukan pemeriksaan kadar Hb/Ht ulang 4
minggu setelah memulai terapi. Pemberian preparat besi harus dilanjutkan 2-3
bulan setelah nilai menjadi normal untuk memperbaiki simpanan besi.11
8. Pencegahan
Pencegahan dapat dilakukan dengan:11,14-15
1. Pemberian ASI eksklusif hingga 6 bulan
2. Menunda pemakaian susu sapi sampai usia 1 tahun
3. Menggunakan sereal/makanan tambahan yang difortifikasi
4. Meningkatkan makan yang tinggi zat besi seperti hati ayam, daging sapi
5. Batasi konsumsi susu sapi
6. Konsumsi makanan yang dapat meningkatkan absorbsi besi seperti
jeruk, apel pada saat mengkonsumsi preparat besi, serta hindari
mengkonsumsi bahan yang menghambat absorbsi besi seperti teh, kopi,
coklat.
7. Skrining Hb atau Ht pada usia 12 bulan atau lebih cepat jika terdapat
faktor resiko anemia defisiensi besi. Pemeriksaan kadar Hb dapat
dilakukan mulai usia 2 tahun dan selanjutnya setiap tahun sampai usia
remaja. Bila dari hasil pemeriksaan ditemukan anemia, dicari penyebab
dan bila perlu dirujuk.
8. Suplementasi besi
Suplementasi zat besi diberikan kepada semua anak, dengan prioritas
usia balita (0-5 tahun) terutama usia 0-2 tahun. Dosis dan lama
pemberian suplementasi besi adalah sebagai berikut:
Dosis maksimal suplementasi zat besi pada bayi adalah 15 mg/hari, dan
khusus remaja perempuan dapat ditambah dengan suplementasi 400
mcg asam folat. Untuk menghindari adanya kelebihan besi maka jangka
waktu terapi tidak boleh lebih dari 5 bulan.11,14-15
9. Komplikasi dan Prognosis
Pada balita dan anak-anak, anemia defisiensi besi dapat menimbulkan
komplikasi berupa tumbuh kembang yang terhambat. Anak yang menderita
anemia defisiensi besi lebih mudah terserang infeksi karena defisiensi besi
dapat menyebabkan gangguan fungsi neutrofil dan berkurangnya sel limfosit T
yang penting untuk pertahanan tubuh terhadap infeksi. Secara keseharian pun
anak dengan defisiensi besi akan mengalami iritabilitas, berkurangnya daya
persepsi dan perhatian, sehingga menurunkan prestasi belajar. Anemia
defisiensi besi yang ditemukan sedini mungkin terutama bila dibawah usia 2
tahun dan mendapatkan terapi suplementasi zat besi elemental akan
memberikan hasil yang cukup baik.16
BAB 3
KESIMPULAN
Anemia adalah kondisi dimana terdapat penurunan jumlah sel darah merah
yang menyebabkan penurunan kapasitas pembawa oksigen ke seluruh tubuh
sehingga tidak dapat mencukupi kebutuhan fisiologis tubuh. Anemia Defisiensi
Besi (ADB) adalah anemia yang disebabkan kurangnya ketersediaan zat besi di
dalam tubuh sehingga menyebabkan zat besi yang diperlukan untuk eritropoesis
tidak cukup. Prevalensi anemia defisiensi besi pada anak balita di indonesia
sekitar 40-45%. Pada usia balita, prevalensi tertinggi anemia defisiensi besi
umumnya terjadi pada tahun kedua kehidupan akibat rendahnya asupan besi
melalui diet dan pertumbuhan yang pesat pada tahun pertama.
Penyebab anemia defisiensi besi tersering adalah asupan besi yang
tidak adekuat, peningkatan kebutuhan besi, dan peningkatan kehilangan besi.
Cadangan besi menurun menyebabkan besi tidak dapat berikatan dengan
protoporphyrin untuk membentuk heme dan hemoglobin
Manifestasi klinis dari anemia defisiensi besi adalah pucat yang
terlihat pada telapak tangan, kuku, atau konjungtiva dapat terjadi pica,
dorongan untuk makan zat yang nonnutritif, dan pagophagia, dorongan untuk
makan es batu. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan koilonikia, glositis,
dan stomatitis angularis. Pada pemeriksaan darah didapatkan Hb kurang dari
normal sesuai usia, penurunan jumlah eritosit, penurunan MCH dan MCV,
penurunan kadar feritin, besi serum, dan peningkatan transferin. Pada
pemeriksaan darah tepi didapatkan gambaran hipositik hipokrom. Sering
terlihat eritrosit yang berbentuk seperti cerutu atau eliptositik.
Tatalaksana anemia defisiensi besi adalah pemberian besi elemental
dengan dosis 4-6 mg/kgBB/hari. Respon terapi dengan menilai kenaikan
kadar Hb atau Ht setelah 1 bulan. Transfusi hanya diberi pada keadaan anemia
sangat berat dengan kadar Hb < 4g/dl. Komponen darah yang diberi adalah
PRC.
Pencegahan dapat dilakukan dengan pemberian ASI eksklusif hingga 6
bulan, penundaan pemakaian susu sapi sampai usia 1 tahun, penggunaan
sereal/makanan tambahan yang difortifikasi, meningkatkan makan yang tinggi
zat besi seperti hati ayam, daging sapi, batasi konsumsi susu sapi, konsumsi
makanan yang dapat meningkatkan absorbsi besi seperti jeruk, apel pada saat
mengkonsumsi preparat besi, serta hindari mengkonsumsi bahan yang
menghambat absorbsi besi seperti teh, kopi, coklat. Suplementasi besi untuk
pencegahan ADB adalah dengan dosis 1 mg/kgbb/hari dimulai sejak usia 6
bulan.
Komplikasi anemia defisiensi besi adalah tumbuh kembang yang
terhambat, mudah terserang infeksi, berkurangnya daya persepsi dan
perhatian, sehingga menurunkan prestasi belajar.
DAFTAR PUSTAKA