HIV AIDS
Disusun Oleh:
Pembimbing:
dr. I Made Lanang W, Sp.PD,M.Biomed
Pembimbing Mahasiswa
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
HIV adalah singkatan dari Human Immunodeficiency Virus, sebuah
virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia. AIDS singkatan dari
Acquired Immune Deficiency Syndrome. AIDS muncul setelah virus (HIV)
menyerang sistem kekebalan tubuh. Sistem kekebalan tubuh menjadi lemah,
dan satu atau lebih penyakit dapat timbul. Karena lemahnya sistem kekebalan
tubuh tadi, beberapa penyakit bisa menjadi lebih berat daripada biasanya.
Penyakit AIDS telah menjadi masalah internasional karena dalam waktu
singkat terjadi peningkatan jumlah penderita dan melanda semakin banyak
negara. Dikatakan pula bahwa epidemi yang terjadi tidak saja mengenai
penyakit (AIDS), virus (HIV) tetapi juga reaksi/dampak negatif berbagai
bidang seperti kesehatan, sosial, ekonomi, politik, kebudayaan dan demografi.
Hal ini merupakan tantangan yang harus dihadapi baik oleh negara maju
maupun negara berkembang.Orang yang terkena HIV/AIDS sangat mudah
tertular oleh berbagai macam penyakit karena sistem kekebalan tubuh
penderita yang menurun.HIV/AIDS bisa menular ke orang lain melalui
hubungan seks (anal, oral, vaginal) yang tidak terlindungi (tanpa alat
pengaman kondom) dengan orang yang telah terinfeksi HIV, jarum suntik,
tindik, tato yang tidak steril yang dipakai bergantian, mendapat tranfusi darah
dari orang yang darahnya mengandung virus HIV positif dan ibu yang positif
HIV kepada bayinya ketika dalam kandungan, saat melahirkan atau melalui
ASI. Sumber penularan yang utama HIV/AIDS pada ibu rumah tangga adalah
dari pasangannya sendiri atau suami. Berdasarkan data disebutkan bahwa
heteroseksual merupakan penyebab utama HIV/AIDS. Kementrian Kesehatan
RI menyebutkan kasus AIDS paling tinggi adalah pada kelompok
1
2
Definisi HIV
(HIV) adalah retrovirus berselubung yang berisi 2 salinan genom RNA untai
tunggal. Ini menyebabkan (AIDS) yang merupakan tahap terakhir dari penyakit
HIV. Dua sampai empat minggu setelah HIV masuk ke dalam tubuh, pasien
mungkin mengeluhkan gejala infeksi primer. Setelah itu, infeksi HIV kronis yang
panjang terjadi, yang dapat berlangsung selama beberapa dekade. AIDS terutama
ditandai dengan infeksi oportunistik dan tumor, yang biasanya berakibat fatal
tanpa pengobatan.1
HIV adalah singkatan dari, sebuah virus yang menyerang sistem kekebalan
tubuh manusia. AIDS muncul setelah virus (HIV) menyerang sistem kekebalan
tubuh. Sistem kekebalan tubuh menjadi lemah, dan satu atau lebih penyakit dapat
timbul. Karena lemahnya sistem kekebalan tubuh tadi, beberapa penyakit bisa
menjadi lebih berat daripada biasanya.
Etiologi
Penyebab penyakit menular ini adalah human immunodeficiency virus (HIV),
yang dapat diklasifikasikan menjadi HIV-1 dan HIV-2. HIV-1 lebih meluas dan
ganas secara global. Itu berasal dari Afrika Tengah. HIV-2 jauh kurang ganas dan
berasal dari Afrika Barat. Kedua virus terkait antigenik dengan virus
immunodeficiency ditemukan terutama pada primata.1
Orang-orang ini rentan terhadap berbagai macam infeksi bakteri, virus, jamur dan
protozoa yang meliputi Toxoplasma gondii, Pneumocystis jirovecii
(sebelumnya Pneumocystis carinii ), Cryptococcus neoformans , Mycobacterium
avium , Mycobacterium tuberculosis , Cytomegalovirus, virus Herpes
simplex, Histoplasma capsulatum .2
3
4
Epidemiologi
Epidemik HIV diketahui terus meningkat setelah ditemukannya infeksi
zoonotik dengan infeksi Simian Immunodeficiency Viruses dari primata di
Afrika. Sub-saharan Afrika khususnya Afrika selatan memiliki masalah global
HIV tertinggi yaitu 70.8%. Prevalensi penyakit ini setiap tahun diketahui semakin
meningkat. Pada tahun 2002 prevalensi global HIVAIDS adalah 31,0 juta dan
pada tahun 2012 menjadi 35,3 juta. Selain pada dewasa, HIV juga ditemukan
menginfeksi anak-anak. HIV masih menjadi kontributor terbesar dalam
menyebabkan global burden disease. Penyebab kematian utama penderita
penyakit ini adalah infeksi oportunitik, akan tetapi 50% penderita yang telah
mendapatkan terapi antiretrovirus akan meninggal karena non-AIDS related death
antara lain non-AIDS defining cancer (23.5%), penyakit kardiovaskular (15,7%),
dan penyakit liver (14,1%) 3
Patofisiologi
HIV menempel pada molekul CD4 dan CCR5 (suatu koreseptor kemokin);
permukaan virus menyatu dengan membran sel, yang memungkinkannya masuk
ke limfosit T-helper. Setelah integrasi dalam genom inang, provirus HIV
terbentuk dan kemudian mengikuti transkripsi dan produksi mRNA virus. Protein
struktural HIV dibuat dan dirakit di sel inang. Tunas virus dari sel inang dapat
melepaskan jutaan partikel HIV yang dapat menginfeksi sel lain.4
Faktor Resiko
Kelompok kunci yang berisiko tinggi yaitu perilaku seksual yang tidak
menggunakan kondom dan penggunaan jarum suntik yang tidak steril pada
pengguna napza suntik (penasun). HIV dapat menyebar dengan cepat setelah
memasuki komunitas pengguna napza suntik. Populasi penasun diperkirakan 0,2-
0,5 % dari populasi dunia dan lebih dari 45% terinfeksi baru HIV. Penasun dan
pasangan seksual mereka tercatat 68% infeksi baru di Negara Iran (rentang
5
perkiraan 57-78%), di Negara Eropa Timur sebesar 40% dan 36% di 8 Philipina.
Prevalensi HIV pada orang yang menyuntik narkoba sangat tinggi diantara
populasi umum. Hasil survei pada penasun di Afrika, prevalensi HIV sangat
tinggi di Afrika Selatan sebesar 12,4% dan 42,9% di Kenya, hal ini disebabkan
karena meningkatnya penggunaan obat heroin di sub 5 Sahara Afrika.5
Diagnosis
Dalam menentukan diagnosis HIV positif dapat ditegakkan berdasarkan
Konseling dan Tes HIV. Konseling terdiri dari VCT (Voluntary Counseling &
Testing) dan PITC (Provider-Initiated Testing and Counseling). VCT adalah
pemeriksaan dan konseling sukarela dari individu yang beresiko terkena HIV dan
biasanya menggunakan rapid test untuk mendeteksi.
PITC merupakan pemeriksaan dan konseling HIV yang direkomendasikan oleh
tenaga kesehatan dan biasanya dianjurkan untuk orang yang datang ke fasilitas
kesehatan dengan tanda dan gejala yang dicurigai terinfeksi HIV. Dianjurkan
setidaknya pada ibu hamil, pasien TB, pasien yang menunjukkan gejala dan tanda
klinis diduga terinfeksi HIV, pasien dari kelompok berisiko (Penasun, PSK, LSL),
pasien IMS dan seluruh pasangan seksualnya. Kegiatan memberikan anjuran dan
pemeriksaan tes HIV perlu disesuaikan dengan prinsip bahwa pasien sudah
mendapatkan informasi yang cukup dan menyetujui untuk tes HIV dan semua
pihak menjaga kerahasiaan
Gejala dan tanda klinis yang patut diduga infeksi HIV, yaitu :
Keadaan umum: Kehilangan berat badan > 10% dari berat badan dasar,
Demam (terus menerus atau intermiten, temperatur oral > 37,50C) lebih dari satu
bulan, Diare (terus menerus atau intermiten) yang lebih dari satu bulan,
Limfadenofati meluas
6
Kulit : PPE* dan kulit kering yang luas merupakan dugaan kuat infeksi HIV.
Beberapa kelainan seperti kutil genital (genital warts), folikulitis dan psoriasis
sering terjadi pada ODHA tapi tidak selalu terkait dengan HIV
Infeksi jamur : Kandidosis oral, Dermatitis seboroik, Kandidosis vagina
kambuhan
Infeksi viral : Herpes zoster (berulang/melibatkan lebih dari satu dermatom),
Herpes genital (kambuhan), Moluskum kontagiosum, Kondiloma
Gangguan pernafasan : Batuk lebih dari satu bulan, Sesak nafas, TB, Pnemoni
kambuhan, Sinusitis kronis atau berulang
Gejala neurologis : Nyeri kepala yang semakin parah (terus menerus dan tidak
jelas penyebabnya), Kejang demam, Menurunnya fungsi kognitif Secara garis
besar, pemeriksaan laboratorium untuk memastikan diagnosis infeksi HIV dapat
dilakukan dengan mendeteksi adanya virus melalui isolasi dan biakan virus,
deteksi genetic dalam darah, antigen virus PCR, antigen P24, dan mendeteksi
Antibodi/Serologik melalui ELISA, Immunoflurescent Assay (IFA), atau
Radioimmuniprecipitation Assay (RIPA). Rrapid test dan ELISA merupakan tes
penyaring yang paling sering digunakan di Indonesia, dan termasuk mudah
dilaksanakan. Hal yang perlu diperhatikan yaitu adanya masa jendela karena akan
menunjukkan hasil negative palsu jika diperiksa, maka perlu dilakukan tes ulang,
terutama bila masih terdapat perilaku yang beresiko. Antibodi biasanya baru dapat
terdeteksi setelah 3 bulan terinfeksi. WHO menganjurkan pemakaian strategi 3 tes
dan selalu didahului dengan konseling pra tes. Ketiga tes tersebut dapat rapid test
atau ELISA. Untuk pemeriksaan pertama (A1) harus digunakan tes dengan
sensitifitas yang tinggi (>99%), sedang untuk pemeriksaan selanjutnya (A2 dan
A3) menggunakan tes dengan spesifisitas tinggi (>99%). Jika tes penyaring
(ELISA) dinyatakan reaktif, pemeriksaan dilanjutkan dengan pemeriksaan
konfirmasi, yang paling sering digunakann adalah Western Blot.6
7
Subtipe
Dikenal dua tipe HIV sebagai penyebab AIDS, yaitu HIV-1 dan HIV-2.
Keduanya merupakan virus yang berbeda namun sama-sama tergolong retrovirus
dari famili lentivirus. Bila orang menyebutkan HIV, umumnya yang dimaksud
adalah HIV-1. Human Immunodeficiency Virus-1 bertanggung jawab terhadap
mayoritas infeksi HIV di seluruh dunia dan gejalanya lebih berat.3 Human
Immunodeficiency Virus-2 lebih sulit ditularkan (less transmissible), lebih lambat
progresifitas penyakitnya dan sangat jarang ditemukan (hanya di Afrika Barat dan
daerah terbatas lainnya). Human immunodeficiency virus memiliki 3 gen utama,
yaitu envelope gene (env gene) berupa gp120 dan gp41, polymerase gene (pol
gene) yang membentuk ensim reverse transcriptase (RTase) dan core gene (gag
gene) yaitu protein p7, p9, p17 dan p24. Selain itu ada juga gen yang aktif pada
proses infeksi HIV yaitu viral infectivity factor (vif), viral protein r (vpr), viral
protein u (vpu) dan viral protein x (vpx). Human immunodeficiency virus-1
mempunyai gen vpu tetapi tidak mempunyai gen vpx, sebaliknya HIV-2
mempunyai vpx tetapi tidak mempunyai vpu. Perbedaan genetik ini meski sedikit
namun menentukan perbedaan patogenitas dan perjalanan penyakit diantara kedua
tipe HIV tersebut, Genome HIV-1 dan HIV-2. Secara phylogenetic HIV-1 terbagi
atas grup, subtipe dan circulating recombinant form. Kelompok terbesar disebut
grup M (main, major), kelompok lain adalah grup O (outlier) dan grup N (new,
non M non O). Grup M tersebar luas dan merupakan penyebab tersering epidemi
HIV di seluruh dunia. Subtipe dari grup M diberi nama abjad sesuai dengan
urutan penemuannya dan sampai sekarang dikenal 9 subtipe, yaitu subtipe A, B,
C, D, F, G, H, J dan K. Antara satu subtipe dan subtipe lainnya dapat membentuk
rekombinan yang disebut circulating recombinant form (CRF). Sampai saat ini
telah ditemukan 34 CRF, salah satunya adalah CRF01_AE yang dulu dikenal
dengan subtipe E. Dari HIV-2 sampai saat ini dikenal subtipe A dan B tetapi
sedikit sekali dibahas. Subtipe HIV-1 secara global mempunyai distribusi yang
berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya, prevalensinya berubah dari
8
waktu ke waktu serta mengalami segregasi pada kelompok perilaku risiko tinggi
tertentu. Di Afrika terdapat hampir semua subtipe HIV-1 diduga karena endemi
sudah berlangsung lama. Di India dominan subtipe C, di Amerika Utara, Eropa,
Karibia, Jepang, Australia sebagian besar subtipe B sedangkan Asia Tenggara,
terutama Thailand, banyak ditemukan subtipe E. Subtipe F ditemukan di brazilia
dan Romania, subtipe G di Rusia serta subtipe H di Zaire dan Cameroon. Masih
banyak perdebatan mengenai implikasi perbedaan subtipe dalam cara transmisi
dan progresifitas penyakit HIV. Penelitian di Thailand menyatakan subtipe
berhubungan dengan cara dan kecepatan transmisi, dimana subtipe A
berhubungan dengan transmisi heteroseksual dan subtipe B berhubungan dengan
transmisi homoseksual dan pemakai narkoba suntikan. Penelitian oleh
Kunanusont dan koleganya pada 185 pasangan yang salah satunya terinfeksi
subtipe B atau E menunjukkan probabilitas penularan yang lebih tinggi pada
subtipe E. Dua penelitian dengan sampel terbatas di Indonesia menunjukkan
paling sedikit ditemukan 2 subtipe HIV-1 yaitu B dan E dan bahwa subtipe E
banyak ditemukan pada populasi heteroseksual serta penjaja seks komersial dan
pelanggannya. Pengetahuan tentang distribusi subtipe HIV dapat dipakai untuk
mengamati epidemi HIV dan hubungan penularan HIV dari satu kelompok ke
kelompok lainnya sehingga dari informasi ini dapat direncanakan pencegahan
HIV. Penemuan terbaru mendapatkan sifat biologik yang berbeda dari
masingmasing subtipe HIV-1 antara lain pemakaian co-reseptor tertentu,
suseptibilitas terhadap obat dan progresifitas penyakit. Sekuens nukleotida
envelope gene diantara subtipe dapat berbeda 20-35% dan diperkirakan
memberikan dampak perbedaan cara transmisi dan sifat imunologik subtipe HIV-
1. Perbedaan ini akan mempengaruhi respon terhadap vaksin, antiretroviral
(ARV) dan assay pemeriksaan viral load sehingga penentuan subtipe HIV-1 akan
mempunyai arti penting di masa mendatang.7
9
Gejala
Gejala-gejala ini, dalam urutan frekuensi menurun, tercantum di bawah ini:
Kelelahan, Nyeri otot, Ruam kulit, Sakit kepala, Sakit tenggorokan, Pembengkakan
kelenjar getah bening, Nyeri sendi, Keringat malam, Diare.
infeksi HIV kronis dapat ditandai dengan baik tanpa AIDS atau dengan AIDS dan dapat
berkembang menjadi infeksi HIV lanjut:
Koksidioidomikosis
Kriptokokosis, ekstrapulmoner
Cryptosporidiosis, usus kronis
Penyakit sitomegalovirus (selain hati, limpa, atau kelenjar getah bening), onse
t pada usia> 1 bulan
Retinitis sitomegalovirus (dengan kehilangan penglihatan)
Ensefalopati terkait HIV
Herpes simpleks: tukak kronis
Histoplasmosis, diseminata atau ekstrapulmoner
Isosporiasis, usus kronis
Sarkoma kaposi
Limfoma (Burkitt, imunoblastik atau otak primer)
Mycobacterium avium complex (MAC) atau Mycobacterium kansasii , disemi
nata atau ekstrapulmoner.
Mycobacterium tuberculosis dari situs manapun
Mycobacterium, spesies lain atau spesies tak dikenal, disebarluaskan atau ekst
rapulmoner.
Pneumocystis jirovecii
Leukoensefalopati multifokal progresif
Stadium 1
Fase ini disebut sebagai infeksi HIV asimtomatik dimana gejala HIV awal
masih tidak terasa. Fase ini belum masuk kategori sebagai AIDS karena tidak
menunjukkan gejala. Apabila ada gejala yang sering terjadi adalah
pembengkakan kelenjar getah bening di beberapa bagian tubuh seperti ketiak,
leher, dan lipatan paha. Penderita (ODHA) pada fase ini masih terlihat sehat
11
dan normal namun penderita sudah terinfeksi serta dapat menularkan virus ke
orang lain.
Stadium 2
Daya tahan tubuh ODHA pada fase ini umumnya mulai menurun namun, geja
la mulai muncul dapat berupa:
Herpes zoster yang timbul bintil kulit berisi air dan berulang dalam li
ma tahun
Stadium 3
Pada fase ini mulai timbul gejala-gejala infeksi primer yang khas sehingga da
pat mengindikasikan diagnosis infeksi HIV/AIDS. Gejala pada stadium 3 anta
ra lain:
Diare kronis yang berlangsung lebih dari satu bulan tanpa penyebab ya
ng jelas.
12
Penurunan berat badan kurang dari 10% berat badan sebelumnya tanpa
penyebab yang jelas.
Demam yang terus hilang dan muncul selama lebih dari satu bulan
Muncul bercak putih pada lidah yang tampak kasar, berobak, dan berb
ulu.
Tuberkulosis paru
Radang mulut akut, radang gusi, dan infeksi gusi (periodontitis) yang t
idak kunjung sembuh
Stadium 4
Fase ini merupakan stadium akhir AIDS yang ditandai dengan pembengkakan
kelenjar limfa di seluruh tubuh dan penderita dapat merasakan beberapa gejala
infeksi oportunistik yang merupakan infeksi pada sistem kekebalan tubuh yan
g lemah. Beberapa gejala dapat meliputi:
Infeksi bakteri berat, infeksi sendi dan tulang, serta radang otak
Tuberkulosis kelenjar
13
Komplikasi
Komplikasi penyakit HIV adalah perkembangannya menjadi Acquired
Immunodeficiency Syndrome (AIDS). Dokter harus mencurigainya setelah infeksi
oportunistik dan/atau jumlah CD4 yang rendah ditemukan pada orang yang HIV-
positif.
AIDS terjadi ketika jumlah limfosit turun di bawah tingkat (kurang dari 200 sel per
mikroliter) dan ditandai oleh satu atau lebih hal berikut:
Tuberkulosis (TBC)
Sitomegalovirus
Kandidiasis
Meningitis kriptokokus
Kriptosporidiosis
Toksoplasmosis
Sarkoma kaposi
Limfoma
Komplikasi neurologis (kompleks demensia AIDS)
Penyakit ginjal
14
follow up didapatkan lebih tinggi pada perempuan yang tidak mendapat terapi
ARV setelah melahirkan. Terapi ARV pada perempuan dengan HIV yang hamil
dan menyusui mempunyai tiga tujuan sinergis, yaitu meningkatkan kesehatan
ibu, mencegah transmisi HIV dari ibu ke anak, dan mencegah transmisi HIV dari
ibu ke pasangan.
Indikasi memulai terapi ARV pada anak berusia kurang dari 10 tahun
16
Progresivitas infeksi HIV paling cepat berkembang pada kelompok bayi berusia
<1 tahun. Bayi yang terinfeksi HIV perinatal sebagian besar akan meninggal
sebelum berusia 2 tahun. Pada periode tersebut, progresivitas infeksi HIV
berbanding terbalik dengan usia. Risiko mortalitas dan progresivitas infeksi HIV
mulai menurun menjadi sama dengan dewasa pada anak berusia di atas 5 tahun.
Supresi jumlah virus HlV terjadi lebih lambat pada anak dibandingkan dengan
dewasa. Beberapa studi yang membandingkan bayi terinfeksi HIV yang memulai
terapi ARV sebelum usia 12 minggu dengan yang memulai terapi ARV saat
berusia 12 minggu sampai usia 1-2 tahun menemukan bahwa jumlah reservoir
HIV berkorelasi dengan usia inisiasi ARV dan usia saat tercapai kontrol
virologis. Bukti-bukti tersebut mendukung inisiasi terapi dini ARV pada bayi
terinfeksi HIV tanpa melihat manifestasi klinis dan status imunologis.
Pencegahan HIV
Penularan HIV dapat dicegah melalui langkah-langkah sebagai berikut:
Saling setia terhadap pasangan, hindari berganti-ganti pasangan.
Hindari penggunaan narkoba terutama melalui jarum suntik.
Edukasi HIV yang benar mengenai cara penularan, pencegahan, dan
pengobatannya, dapat membantu mencegah penularan HIV
di masyarakat.
Infeksi Oportunistik
Infeksi oportunistik adalah infeksi oleh patogen yang biasanya tidak bersifat
invasif namun dapat menyerang tubuh saat kekebalan tubuh menurun, seperti
pada orang yang terinfeksi HIV/AIDS. Infeksi ini dapat ditimbulkan oleh
patogen yang berasal dari luar tubuh (seperti bakteri, jamur, virus atau protozoa),
maupun oleh mikrobiota sudah ada dalam tubuh manusia namun dalam keadaan
normal terkendali oleh sistem imun (seperti flora normal usus). Penurunan sistem
17
imun berperan sebagai “oportuniti” atau kesempatan bagi patogen tersebut untuk
menimbulkan manifestasi penyakit.9
Infeksi oportunistik adalah infeksi yang terjadi akibat adanya penurunan
sistem kekebalan tubuh. Infeksi tersebut umumnya tidak menyebabkan penyakit
pada orang dengan sistem kekebalan tubuh yang normal, namun dapat berakibat
fatal pada orang dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah seperti pada
penderita HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune
Deficiency Syndrome). HIV adalah sejenis virus yang menyerang sistem
kekebalan tubuh manusia. Sel limfosit T CD4 merupakan sel target infeksi HIV,
penurunan jumlah dan fungsi sel T CD4 akibat efek sitopatik infeksi HIV,
dengan menurunnya status imun (CD4) maka berbagai mikroorganisme seperti
bakteri, virus, dan protozoa cenderung tumbuh dan berkembang biak
menimbulkan infeksi sekunder bahkan infeksi jamur.
Rejimen ARV
Rejimen lini pertama umumnya dibentuk dengan dua NRTI dan satu NNRTI
(lihat LI 403), dengan tiga dari enam obat: (AZT atau TDF) + (3TC atau FTC) +
(nevirapine atau efavirenz). Pilihan yang baku adalah AZT + 3TC + nevirapine.
AZT + 3TC sering disediakan dalam satu pil yang mengandung kedua obat. Juga
FTC umumnya dipakai bersamaan dengan TDF, karena kedua obat ini disediakan
dalam satu pil.
Catatan: dahulu d4T sering dianjurkan untuk mengganti AZT bila timbul anemia
sebagai efek samping AZT. Namun d4T dapat mengakibatkan efek samping yang
19
cukup berat hingga gawat. Dalam pedoman baru ini, Kemenkes menganjurkan
agar penggunaan d4T dikurangi/dihentikan dan tidak dipakai lebih dari enam
bulan. Sekarang TDF diusulkan sebagai pengganti kalau AZT mengakibatkan
anemia.
Rejimen lini kedua harus mengganti sedikitnya dua dari tiga ARV dalam
rejimen lini pertama dengan ARV lain. Saat ini, rejimen lini kedua umumnya
terdiri dari TDF atau AZT (tergantung yang mana dipakai pada lini pertama),
3TC atau FTC, dan Kaletra/Aluvia.
REFERENSI
1. Malaikat A, Vaollant J, Peter G, Gulick. Penyakit HIV Saat Ini. NCBI. Online.
Jul 2022. Available from: URL:
https://www-ncbi-nlm-nih-gov.translate.goog/books/NBK534860/?
_x_tr_sl=en&_x_tr_tl=id&_x_tr_hl=id&_x_tr_pto=sc
2. Malaiakat A, Vaillant J. Infeksi Oportunistik Terkait HIV-1. NCBI. Online. Jul
2022 Available from: URL:
https://www-ncbi-nlm-nih-gov.translate.goog/books/NBK539787/?
_x_tr_sl=en&_x_tr_tl=id&_x_tr_hl=id&_x_tr_pto=sc
3. Yuliana S. GLOBAL BURDEN DESEASE – HUMAN
IMMUNODEFICIENCY VIRUS – ACQUIRED IMMUNE DEFICIENCY
SYNDROME (HIV-AIDS). Universitas Muhammadiyah Surabaya. [online]. Jan
2017.
4. Angel A,Peter G. HIV Disease Current Partice. 2022. NCBI. Available from:
URL: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK534860/#_article-22914_s5_
5. Sumini, Hadisaputro S, Anies, dkk. Faktor Resiko Yang Berpengaruh Terhadap
Kejadian HIV/AIDS Pada Pengguna Napza Suntik. Jurnal Epidemiologi
Kesehatan Komunitas. Online. 2017.
6. Edward C. MD, Klatt. (2016). Pathology of HIV/AIDS 27th Version. Savanna :
Mercer University School of Medicine. 161-175
7. Pedoman Nasional Pelayanan Kedoktern Tata Laksana HIV. Online 2019
8. Gejala, Pengobatan, dan pencegahan HIV. Online 2021. Available from: URL:
https://rs-soewandhi.surabaya.go.id/gejala-pengobatan-dan-pencegahan-hiv-aids/
9. Wiraguna A. Penatalaksanaan Dan Pencegahan Infeksi Oportunistik Yang
Tersering Pada Penderita HIV Di Indonesia. Online. 2015.
http://erepo.unud.ac.id/id/eprint/10819/1/50dfe6557b9dd498968e02634cbaf235.
pdf
20
21
10. Sharpe M, Corp D. Merck's Manual of the Materia Medica. MSD Manuals
Global Medical Knowledge. Online. 2021. Available from: URL: https://www-
msdmanualscom.translate.goog/professional/resourcespages/history?
_x_tr_sl=en&_x_tr_tl=id&_x_tr_hl=id&_x_tr_pto=sc
11. Pedoman Nasional ART. [Online] Okt 2014