Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat
dilakukan praktek kefarmasian oleh apoteker (Menkes RI, 2017).
Setiap apotek harus memiliki seorang apoteker sebagai
penanggungjawab. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus
sebagai Apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan Apoteker
(Menkes RI, 2017). Seorang apoteker miliki tugas untuk menjamin
mutu pelayanan dan melindungi pasien atau masyarakat dalam
penggunaan obat yang tidak rasional.
Peran apoteker berbasis pada pharmaceutical care yang
pertama kali dipopulerkan oleh Helper dan Strand pada tahun 1990.
Pharmaceutical care adalah pelayanan yang bertanggungjawab
terhadap terapi obat untuk tujuan mencapai hasil tertentu dan dapat
meningkatkan kualitas hidup pasien (Pharmacists, 1993). Menurut
American Society of Hospital Pharmacis (2003) pharmaceutical
care merupakan tanggungjawab langsung apoteker pada pelayanan
yang berhubungan dengan pengobatan pada pasien dengan tujuan
mencapai hasil yang dtetapkan guna untuk memperbaiki kualitas
hidup pasien.
Mengacu pada pharmaceutical care peran apoteker di apotek
telah diatur dalam Menkes No. 73 tahun 2016 yaitu pengelolaan
sediaan farmasi dan pelayanan farmasi klinik. Pengelolaan sediaan
farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai meliputi
perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pemusnahan,
pengendalian, dan pencatatan dan pelaporan. Pelayanan farmasi
klinik meliputi pengkajian resep, dispensing, pelayanan informasi
obat, konseling, pelayanan kefarmasian di rumah, pemantauan terapi
obat, dan monitoring efek samping obat. Sediaan farmasi adalah
obat, bahan obat, obat tradisional, dan kosmetika (Menkes RI,
2017).
Apoteker harus dapat memberikan informasi mengenai obat
tradisional kepada pasien seperti, indikasi, interaksi dengan obat
lain, dan efek samping dari obat tradisional tersebut. Obat
tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan
tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik)
atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun menurun telah
digunakan untuk pengobatan, dan dapat diterapkan sesuai dengan
norma yang berlaku di masyarakat (BPOM RI, 2012). Berdasarkan
cara pembuatannya serta jenis klaim penggunaan dan tingkat
khasiat, obat tradisional dikelompokkan menjadi tiga, yaitu jamu,
obat herbal terstandar (OHT), dan fitofarmaka (BPOM RI, 2004).
Capa Pembuatan Obat Tradisional yang baik (CPOTB)
meliputi seluruh aspek yang menyangkut pembuatan obat
tradisional, yang memiliki tujuan untuk menjamin agar produk tetap
memenuhi persyaratan mutu yang telah ditentukan sesuai dengan
tujuan penggunaannya. Penerapan CPOTB merupakan persyaratan
kelayakan dasar untuk menerapkan sistem jaminan mutu yang
diakui dunia internasional. Dengan demikian penerapan CPOTB
meruapakan nilai tambah bagi produk obat tradisional Indonesia
agar dapat bersaing dengan produk sejenis dari negara lain baik di
pasar dalam negeri maupun internasional. Pentingnya penerapan
CPOTB maka pemerintah secara terus menerus memfasilitasi
industry obat tradisional baik skala besar maupun kecil untuk dapat
menerapkan CPOTB melalui langkah-langkah dan pentahapan yang
telah terprogram.
Tujuan umum dari CPOTB adalah melindungi masyarakat
terhadap hal-hal yang merugikan dari penggunaan obat tradisional
yang tidak memenuhi persyaratan mutu dan meningkatkan nilai
tambah dan daya saing produk obat tradisional Indonesia dalam era
pasar bebas. Dan tujuan khususnya adalah dipahaminya penerapan
CPOTB oleh para pelaku usaha industri di bidang obat tradisional
sehingga bermanfaat bagi perkembangan industri di bidang obat
tradisional dan diterapkannya CPOTB secara konsisten oleh industri
di bidang obat tradisional (Bambang Suryadi, 2003: 4)
Di Riyadh dilaporkan apoteker menerima permintaan obat
tradisional setiap harinya sebanyak 63%, 32% setiap minggunya,
dan 5 % setiap bulannya (Alkharfy, 2010). Ditemukan hasil bahwa
apoteker sendiri dalam penggunaan obat tradisional dalam
pengobatan hanyalah 44,5 % (Fahmy, Abdu, & Abuelkhair, 2010).
Sedangkan di Abu Dhabi didapatkan 38,4% apoteker sering
memberikan obat tradisional, 48,8% apoteker memberikan saran
kepada pasien dalam penggunaan obat tradisional yang lebih aman,
dan 34,6% apoteker sering mendapatkan pertanyaan mengenai obat
tradisional oleh pasien (Fahmy et al., 2010).
Telah didapatkan hasil di kota Riyadh bahwa pengetahuan
apoteker mengenai obat tradisional dan didapatkan hasil sebagai
berikut 12% sempurna, 34% sangat baik, 35% baik, dan 19% cukup.
Mayoritas apoteker (73%) mengetahui kemungkinan adanya
interaksi obat tradisional dengan obat sintetik, sedangkan 14% tidak
mengetahui adanya interaksi, dan 13% sisanya tidak yakin dengan
informasi mengenai interaksi obat tradisional dengan obat sintetik
(Alkharfy, 2010). Sedangkan penelitian mengenai seberapa jauh
pengetahuan apoteker terhadap obat tradisional di kota Abu Dhabi
sebanyak 36,8% apoteker mengetahui cara pemberian semua obat
tradisional, 39,2% apoteker mengetahui cara pemberian sebagian
besar obat tradisional, 11,3% apoteker tidak mengetahui cara
pemberian sebagian besar obat tradisional, dan 12,7% apoteker tidak
mengetahui cara pemberian semua obat tradisional. Selain data
tersebut didapatkan data bahwa 62,2% apoteker memiliki
pengetahuan lebih tentang indikasi daripada tindakan pencegahan
dari obat tradisional (3,7%), interaksi obat (2,1%), dan efek samping
(2,7%). 2,9% apoteker memiliki pengetahuan lebih tentang semua
aspek dari obat tradisional, dan hanya 5,3% apoteker yang merasa
mereka tidak banyak mengetahui tentang informasi obat tradisional
(Fahmy et al., 2010).
Hasil penelitian di Amerika sangat jauh berbeda antara
apoteker yang sebelumnya mendapatkan pelatihan atau pendidikan
lebih lanjut mengenai obat tradisional dan yang tidak mendapatkan
yaitu 7,4 dan 5,3 (Chang, Kennedy, Holdford, & Small, 2000). Oleh
karena itu dapat disimpulkan bahwa apoteker sangat perlu
mendapatkan pendidikan lebih lanjut tentang interaksi obat, efek
samping obat, tindakan pencegahan, penggunaan, dan indikasi obat
tradisional.
Berdasarkan gambaran di atas, perlu dilakukan penelitian
untuk melihat bagaimana faktor yang mempengaruhi apoteker
dalam meningkatkan pengelolaan dan pelayanan obat tradisional di
Apotek. Untuk memahami faktor yang mempengaruhi apoteker
dalam pengelolaan dan pelayanan obat tradisional di Apotek, maka
penelitian ini menggunakan pendekatan teori COM–B (C–
capability, O–opportunity, M–motivation, dan B–behaviour).
Dengan teori ini, peningkatan peran apoteker dalam pengelolaan dan
pelayanan obat tradisional yang merupakan target behaviour dapat
diwujudkan dengan adanya perubahan dari komponen capability,
opportunity, dan motivation (“The Capabilities, Opportunities and
Motivation Behaviour-Based Theory of Change Model,” 2016). Hal
ini dilakukan dengan tujuan pengelolaan dan pelayanan obat
tradisional di Apotek dapat berjalan dengan baik sehingga tujuan
terapi dapat tercapai.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini dilakukan untuk
menjawab rumusan masalah: Faktor apa yang mempengaruhi
apoteker dalam pengelolaan dan pelayanan obat tradisional di
Apotek terhadap aktivitas yang meliputi: perencanaan, pengadaan,
penerimaan, penyimpanan, pemusnahan, pelayanan informasi obat
(PIO), konseling, pemantauan terapi obat (PTO), monitoring efek
samping obat (MESO)?

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
1. Untuk mengeksplorasi pengelolaan obat tradisional.
2. Untuk mengeksplorasi pelayanan obat tradisional.
3. Untuk mengetahui / mengeksplorasi faktor yang
mempengearuhi pengelolaan dan pelayanan obat
tradisional.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengeksplorasi pengelolaan obat tradisional di
apotek yang meliputi perencanaan, pengadaan,
penerimaan, penyimpanan, dan pemusnahan.
2. Untuk mengeksplorasi pelayanan obat yang meliputi
pelayanan informasi obat (PIO), konseling
(memastikan indikasi yang sesuai), monitoring efek
samping obat (MESO).
3. Untuk mengetahui faktor capability apoteker dalam
melakukan pengelolan dan pelayanan obat tradisional.
4. Untuk mengetahui faktor motivation apoteker dalam
melakukan pengelolaan dan pelayanan obat.
5. Untuk mengetahui faktor opportunity apoteker dalam
melakukan pengelolaan dan pelayanan
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan agar dapat memberikan
manfaat antara lain:
1. Sebagai masukkan untuk apoteker dalam meningkatkan
pengetahuan tentang obat tradisional sehingga dapat
menjamin kualitas informasi yang diberikan kepada pasien.
2. Sebagai masukkan untuk apoteker dalam meningkatkan
praktek kefarmasian tentang obat tradisional sehingga dapat
menjamin keamanan pasien dalam penggunaan obat
tradisional.
3. Sebagai pelindung bagi pasien dan masyarakat dari
penggunaan obat yang tidak rasional dalam rangka menjamin
keselamatan pasien.
4. Sebagai data dan masukan untuk Ikatan Apoteker Indonesia
(IAI) untuk mengetahui kualitas pelayanan kefarmasian di
Apotek khususnya dalam pengelolaan dan pelayanan obat
tradisional sehingga dapat dilakukan tindakan yang lebih
lanjut.
5. Sebagai sumber informasi bagi peneliti lain yang berkaitan
dengan peran apoteker dalam pengelolaan dan pelayanan obat
tradisional.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Tentang Apotek

Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat


dilakukan praktek kefarmasian oleh Apoteker. Pengaturan apotek
untuk meningkatkan kualitas pelayanan kefarmasian di apotek;
memberikan perlindungan pasien dan masyarakat dalam
memperoleh pelayanan kefarmasian di apotek; dan menjamin
kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian dalam memberikan
pelayanan kefarmasian di apotek. Apotek menyelenggarakan fungsi
sebagai pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan
medis habis pakai; dan pelayanan farmasi klinik, termasuk di
komunitas. (Menkes RI, 2017).

2.2 Tinjauan Tentang Apoteker

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia


Nomor 9 tahun 2017 apoteker adalah sarjana farmasi yang telah
lulus sebagai Apoteker dan telah mungucapkan sumpah jabatan
Apoteker. Pelaksanaan pekerjaan kefarmasian meliputi, pekerjaan
kefarmasian dalam pengadaan sediaan farmasi; pekerjaan
kefarmasian dalam produksi sediaan farmasi; pekerjaan kefarmasian
dalam distribusi atau penyaluran sediaan farmasi; dan pekerjaan
kefarmasian dalam pelayanan sediaan farmasi (PP No. 51, 2009).
Menurut World Health Organization (1997) apoteker harus
memiliki sikap, keterampilan, dan perilaku pengetahuan khusus
untuk mendukung perannya. WHO meringkas peran apoteker yang
dikenal dengan the seven–stars of pharmacist, yaitu care giver
(pemberi layanan), decision maker (pembuat keputusan),
communicator (penghubung), leader (pemimpin), manager
(pengelola), life long learner (pembelajar seumur hidup), dan
teacher (pengajar). Sering dengan berjalannya waktu, apoteker
mengembangkan kemampuannya untuk dapat lebih meningkatkan
perannya dalam pelayanan kefarmasian, oleh karena itu the seven–
stars pharmacist berkembang menjadi the nine–stars pharmacist
dengan menambahkan dua peran baru apoteker yaitu, research
(peneliti) dan entrepreneur (wirausahawan) (Sam & Parasuraman,
2015).
Berdasarkan the nine – stars pharmacist, yang menunjukkan
peran apoteker dalam pengelolaan dan pelayanan obat tradisional
meliputi care giver (pemberi layanan), decision maker (pembuat
keputusan), communicator (penghubung), manager (pengelola),
leader (pemimpin), dan life long learner (pembelajar seumur hidup).
Berikut adalah penjelasan dari masing – masing peran apoteker
tersebut:
1. Care giver (pemberi layanan)
Seorang farmasis merupakan profesional kesehatan yang
memberikan pelayanan kefarmasian kepada pasien,
berinteraksi secara langsung, meliputi pelayanan klinik,
analitik, teknik, sesuai dengan peraturan yang berlaku (PP
no. 51, 2009), dalam hal peracikan obat, memberi
konseling, konsultasi, monitoring, visit, dan kegiatan
lainnya.
2. Decision maker (pembuat keputusan)
Seorang farmasi merupakan seorang yang mampu
menetapkan/ menentukan keputusan terkait pekerjaan
kefarmasian, misalnya memutuskan dispensing,
penggantian jenis sediaan, penyesuaian dosis, yang
bertujuan agar pengobatan lebih aman, efektif dan rasional.
3. Communicator (penghubung)
Seorang farmasi diharuskan mempunyai keterampilan
berkomunikasi yang baik, sehingga pelayanan kefarmasian
dan interaksi antar profesi kesehatan berjalan dengan baik,
dalam hal konseling dan konsultasi obat kepada pasien, dan
melakukan visit ke bangsal/ruang perawatan pasien.
4. Manager (pengelola)
Seorang farmasi merupakan seorang pengelola dalam
berbagai aspek kefarmasian, sehingga kemampuan ini harus
ditunjang kemampuan manajemen yang baik.
5. Leader (pemimpin)
Seorang farmasi diharuskan menjadi pemimpin dalam
memastikan terapi berjalan dengan aman, efektif dan
rasional, misalnya sebagai direktur industri farmasi, direktur
marketing, dan sebagainya.
6. Life long learner (pembelajar seumur hidup)
Seorang farmasi diharuskan memiliki semangat belajar
sepanjang waktu, karena informasi/ilmu kesehatan terutama
farmasi berkembang dengan pesat, sehingga perlu meng-
update pengetahuan dan kemampuan.

2.3 Tinjauan Tentang Pharmaceutical Care

Pharmaceutical care adalah pelayanan yang


bertanggungjawab terhadap terapi obat tujuan mencapai hasil
tertentu dan dapat meningkatkan kualitas hidup pasien (Pharmacists,
1993). Sedangkan menurut American Society of Hospital
Pharmacist (2003) adalah tanggungjawab langsung apoteker pada
pelayanan yang berhubungan dengan pengobatan pada pasien
dengan tujuan mencapai hasil yang ditetapkan guna untuk
memperbaiki kualitas hidup pasien.

Menurut Hepler and Strand (1990) fungsi pharmaceutical


care mengidentifikasi potensi dan masalah terkait obat,
menyelesaikan masalah terkait obat, dan mencegah terjadinya
masalah yang berhubungan dengan obat.

2.4 Tinjauan Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di


Apotek

Tujuan tentang standar pelayanan kefarmasian di apotek


adalah meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian, menjamin
kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian, dan Melindungi pasien
dan masyarakat dari penggunaan obat yang tidak rasional dalam
rangka keselamatan pasien (patient safety) (Menkes RI, 2016).
Standar pelayanan kefarmasian di apotek meliputi pengelolaan
sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai; dan
pelayanan farmasi klinik (Menkes RI, 2016).

2.4.1 Tinjauan Tentang Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat


Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai

1. Perencanaan.
Dalam membuat perencanaan pengadaan Sediaan Farmasi,
Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai perlu
diperhatikan pola penyakit, pola konsumsi, budaya dan
kemampuan masyarakat (Menkes RI, 2016).
2. Perencanaan.
Dalam membuat perencanaan pengadaan Sediaan Farmasi,
Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai perlu
diperhatikan pola penyakit, pola konsumsi, budaya dan
kemampuan masyarakat (Menkes RI, 2016).
3. Pengadaan.
Untuk menjamin kualitas pelayanan kefarmasian maka
pengadaan sediaan farmasi harus melalui jalur resmi sesuai
ketentuan peraturan perundang – undangan (Menkes RI,
2016).
4. Penyimpanan.
1. Obat atau bahan obat harus disimpan dalam wadah asli
dari pabrik. Dalam hal pengecualian atau darurat
dimana isi dipindahkan pada wadah lain, maka harus
dicegah terjadinya kontaminasi dan harus ditulis
informasi yang jelas pada wadah baru. Wadah
sekurang–kurangnya memuat nama obat, nomor Batch
dan tanggal kadaluwarsa.
2. Semua obat atau bahan obat harus disimpan pada
kondisi yang sesuai sehingga terjamin keamanan dan
stabilitasnya.
3. Tempat penyimpanan obat tidak dipergunakan untuk
penyimpanan barang lainnya yang menyebabkan
kontaminasi.
4. Sistem penyimpanan dilakukan dengan
memperhatikan bentuk sediaan dan kelas terapi obat
serta disusun secara alfabetis.
5. Pengeluaran obat memakai sistem FEFO (First Expire
First Out) dan FIFO (First In First Out).
(Menkes RI, 2016)
5. Pemusnahan.
1. Obat kadaluwarsa atau rusak harus dimusnahkan sesuai
dengan jenis dan bentuk sediaan. Pemusnahan obat
kadaluwarsa atau rusak yang mengandung narkotika
atau psikotropika dilakukan oleh apoteker dan
disaksikan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota.
Pemusnahan obat selain narkotika dan psikotropika
dilakukan oleh apoteker dan disaksikan oleh tenaga
kefarmasian lain yang memiliki surat izin praktik atau
surat izin kerja. Pemusnahan dibuktikan dengan berita
acara pemusnahan menggunakan formulir 1
sebagimana terlampir.
2. Resep yang telah disimpan melebihi jangka waktu lima
tahun dapat dimusnahkan. Pemusnahan resep
dilakukan oleh apoteker disaksikan oleh sekurang–
kurangnya petugas lain di apotek dengan cara dibakar
atau cara pemusnahan lain yang dibuktikan dengan
berita acara pemusnahan resep menggunakan formulir
2 sebagaimana terlampir dan selanjutnya dilaporkan
kepada Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota.
3. Pemusnahan dan penarikan sediaan farmasi dan bahan
medis habis pakai yang tidak dapat digunakan harus
dilaksanakan dengan cara yang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang – undangan.
4. Penarikan sediaan farmasi yang tidak memenuhi
standar atau ketentuan peraturan perundang–undangan
dilakukan oleh pemilik izin edar berdasarkan perintah
penarikan oleh BPOM (mandatory recall) atau
berdasarkan inisiasi sukarela oleh pemilik izin edar
(voluntary recall) dengan tetap memberikan laporan
kepada BPOM.
5. Penarikan alat kesehatan dan bahan medis habis pakai
dilakukan terhadap produk yang izin edarnya dicabut
oleh Menteri.
(Menkes RI, 2016)

2.4.2 Tinjauan Tentang Pelayanan Farmasi Klinik

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia


nomor 73 tahun 2016, pelayanan farmasi klinik meliputi pengkajian
resep, dispensing, pelayanan informasi obat (PIO), konseling,
pelayanan kefarmasian di rumah (home pharmacy care),
pemantauan terapi obat (PTO), dan monitoring efek samping obat
(MESO). Berdasarkan pelayanan farmasi klinik, yang menunjukan
peran apoteker dalam pengelolaan dan pelayanan obat tradisional
meliputi dispensing, pelayanan informasi obat (PIO), konseling,
pemantauan terapi obat (PTO), dan monitoring efek samping obat
(MESO).

1. Pelayanan Informasi Obat (PIO).


Pelayanan Informasi Obat merupakan kegiatan yang
dilakukan oleh apoteker dalam pemberian informasi
mengenai obat yang tidak memihak, dievaluasi dengan
kritis dan dengan bukti terbaik dalam segala aspek
penggunaan obat kepada profesi kesehatan lain, pasien atau
masyarakat. Informasi mengenai obat termasuk obat resep,
obat bebas dan herbal.
Informasi meliputi dosis, bentuk sediaan, formulasi khusus,
rute dan metoda pemberian, farmakokinetik, farmakologi,
terapeutik dan alternatif, efikasi, keamanan penggunaan
pada ibu hamil dan menyusui, efek samping, interaksi,
stabilitas, ketersediaan, harga, sifat fisika atau kimia dari
obat dan lain-lain.
Kegiatan Pelayanan Informasi Obat di apotek meliputi:
a. Menjawab pertanyaan baik lisan maupun tulisan;
b. Membuat dan menyebarkan buletin/brosur/leaflet,
pemberdayaan masyarakat (penyuluhan);
c. Memberikan informasi dan edukasi kepada pasien;
d. Memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada
mahasiswa farmasi yang sedang praktik profesi;
e. Melakukan penelitian penggunaan obat;
f. Membuat atau menyampaikan makalah dalam
forum ilmiah;
g. Melakukan program jaminan mutu.
Pelayanan Informasi Obat harus didokumentasikan untuk
membantu penelusuran kembali dalam waktu yang relatif
singkat dengan menggunakan Formulir 6 sebagaimana
terlampir.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam dokumentasi
Pelayanan Informasi Obat:
a. Topik Pertanyaan;
b. Tanggal dan waktu Pelayanan Informasi Obat
diberikan;
c. Metode Pelayanan Informasi Obat (lisan, tertulis,
lewat telepon);
d. Data pasien (umur, jenis kelamin, berat badan,
informasi lain seperti riwayat alergi, apakah pasien
sedang hamil/menyusui, data laboratorium);
e. Uraian pertanyaan;
f. Jawaban pertanyaan;
g. Referensi;
h. Metode pemberian jawaban (lisan, tertulis,
pertelepon) dan data Apoteker yang memberikan
Pelayanan Informasi Obat.
(Menkes RI, 2016)
2. Konseling.
Konseling merupakan proses interaktif antara apoteker
dengan pasien/keluarga untuk meningkatkan pengetahuan,
pemahaman, kesadaran dan kepatuhan sehingga terjadi
perubahan perilaku dalam penggunaan obat dan
menyelesaikan masalah yang dihadapi pasien. Untuk
mengawali konseling, apoteker menggunakan three prime
questions. Apabila tingkat kepatuhan pasien dinilai rendah,
perlu dilanjutkan dengan metode Health Belief Model.
Apoteker harus melakukan verifikasi bahwa pasien atau
keluarga pasien sudah memahami obat yang digunakan.
Kriteria pasien/keluarga pasien yang perlu diberi konseling:
a. Pasien kondisi khusus (pediatri, geriatri, gangguan
fungsi hati dan/atau ginjal, ibu hamil dan
menyusui).
b. Pasien dengan terapi jangka panjang/penyakit
kronis (misalnya: TB, DM, AIDS, epilepsi).
c. Pasien yang menggunakan obat dengan instruksi
khusus (penggunaan kortikosteroid dengan
tappering down/off).
d. Pasien yang menggunakan obat dengan indeks
terapi sempit (digoksin, fenitoin, teofilin).
e. Pasien dengan polifarmasi; pasien menerima
beberapa obat untuk indikasi penyakit yang sama.
Dalam kelompok ini juga termasuk pemberian lebih
dari satu obat untuk penyakit yang diketahui dapat
disembuhkan dengan satu jenis obat.
f. Pasien dengan tingkat kepatuhan rendah.
Tahap kegiatan konseling:
a. Membuka komunikasi antara apoteker dengan
pasien.
b. Menilai pemahaman pasien tentang penggunaan
obat melalui Three Prime Questions, yaitu:
1. Apa yang disampaikan dokter tentang obat
anda?
2. Apa yang dijelaskan oleh dokter tentang cara
pemakaian obat anda?
3. Apa yang dijelaskan oleh dokter tentang hasil
yang diharapkan setelah anda menerima terapi
obat tersebut?
c. Menggali informasi lebih lanjut dengan memberi
kesempatan kepada pasien untuk mengeksplorasi
masalah penggunaan obat.
d. Memberikan penjelasan kepada pasien untuk
menyelesaikan masalah penggunaan obat.
e. Melakukan verifikasi akhir untuk memastikan
pemahaman pasien.
Apoteker mendokumentasikan konseling dengan meminta
tanda tangan pasien sebagai bukti bahwa pasien memahami
informasi yang diberikan dalam konseling dengan
menggunakan Formulir 7 sebagaimana terlampir. (Menkes
RI, 2016)
3. Pemantauan Terapi Obat (PTO).
Merupakan proses yang memastikan bahwa seorang pasien
mendapatkan terapi obat yang efektif dan terjangkau dengan
memaksimalkan efikasi dan meminimalkan efek samping.
Kriteria pasien:
a. Anak-anak dan lanjut usia, ibu hamil dan menyusui.
b. Menerima obat lebih dari 5 (lima) jenis.
c. Adanya multidiagnosis.
d. Pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau hati.
e. Menerima obat dengan indeks terapi sempit.
f. Menerima obat yang sering diketahui menyebabkan
reaksi obat yang merugikan.

Kegiatan:
a. Memilih pasien yang memenuhi kriteria.
b. Mengambil data yang dibutuhkan yaitu riwayat
pengobatan pasien yang terdiri dari riwayat
penyakit, riwayat penggunaan obat dan riwayat
alergi; melalui wawancara dengan pasien atau
keluarga pasien atau tenaga kesehatan lain.
c. Melakukan identifikasi masalah terkait obat.
Masalah terkait obat antara lain adalah adanya
indikasi tetapi tidak diterapi, pemberian obat tanpa
indikasi, pemilihan obat yang tidak tepat, dosis
terlalu tinggi, dosis terlalu rendah, terjadinya reaksi
obat yang tidak diinginkan atau terjadinya interaksi
obat.
d. Apoteker menentukan prioritas masalah sesuai
kondisi pasien dan menentukan apakah masalah
tersebut sudah atau berpotensi akan terjadi.
e. Memberikan rekomendasi atau rencana tindak
lanjut yang berisi rencana pemantauan dengan
tujuan memastikan pencapaian efek terapi dan
meminimalkan efek yang tidak dikehendaki.
f. Hasil identifikasi masalah terkait obat dan
rekomendasi yang telah dibuat oleh apoteker harus
dikomunikasikan dengan tenaga kesehatan terkait
untuk mengoptimalkan tujuan terapi.
g. Melakukan dokumentasi pelaksanaan pemantauan
terapi obat dengan menggunakan Formulir 9
sebagaimana terlampir.
(Menkes RI, 2016)
4. Monitoring Efek Samping Obat (MESO).
Merupakan kegiatan pemantauan setiap respon terhadap
obat yang merugikan atau tidak diharapkan yang terjadi
pada dosis normal yang digunakan pada manusia untuk
tujuan profilaksis, diagnosis dan terapi atau memodifikasi
fungsi fisiologis.
Kegiatan:
a. Mengidentifikasi obat dan pasien yang mempunyai
resiko tinggi mengalami efek samping obat.
b. Mengisi formulir Monitoring Efek Samping Obat
(MESO).
c. Melaporkan ke Pusat Monitoring Efek Samping
Obat Nasional dengan menggunakan formulir 10
sebagaimana terlampir.
Faktor yang perlu diperhatikan:
a. Kerjasama dengan tim kesehatan lain.
b. Ketersediaan formulir Monitoring Efek Samping
Obat. (Menkes RI, 2016)

2.5 Tinjauan Tentang Obat Tradisional

2.5.1 Definisi Obat Tradisional

Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa


bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian
(galenik) atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun
temurun telah digunakan untuk pengobatan, dan dapat diterapkan
sesuai dengan normal yang berlaku di masyarakat. Sediaan galenik
adalah sediaan kering, kental atau cair dibuat dengan menyari
simplisia nabati atau hewani mennurut cara yang cocok, diluar
pengaruh cahaya matahari langsung (BPOM, 2012).

2.5.2 Klasifiaksi Obat Tradisional

1. Jamu
Jamu adalah obat tradisional
Indonesia. Jamu harus memenuhi
kriteria yang meliputi aman sesuai
dengan persyaratan yang
ditetapkan, klaim khasiat
dibuktikan berdasarkan data empiris, dan memnunuhi
persyartan mutu yang berlaku. Jenis klaim penggunaan sesuai
dengan jenis pembuktian tradisional dan tingkat
pembuktiannya yaitu tingkat umum dan medium. Jenis klaim
penggunaan harus diawali kata – kata: “ Secara tradisional
digunakan untuk …”, atau sesuai dengan yang disetujui pada
pendaftaran (BPOM RI, 2004). Jamu harus memenuhi
persyaratan tertentu seperti standardisasi, data toksisitas serta
adanya senyawa penanda sebelum dilakukan uji klinik (BPOM
RI, 2013). Logo sediaan jamu berupa ranting daun terletak
dalam lingkaran, dan ditempatkan pada bagian atas sebelah kiri
wadah/pembungkus/brosur. Logo dicetak dengan warna hijau
di atas dasar warna putih/warna lain yang menyolok kontras
dengan warna logo (BPOM RI, 2004).

2. Obat Herbal Terstandar (OHT)


Obat Herbal Terstandar (OHT)
adalah sediaan obat bahan alam yang
telah dibuktikan keamanan dan
khasiatnya secara ilmiah dengan
praklinik dan bahan bakunya telah di
standarisasi. Obat Herbal Terstandar (OHT) harus memenuhi
kriteria meliputi aman sesuai dengan persyartan yang
ditetapkan, klaim khasiat dibuktikan secara ilmiah atau
praklinik, dan telah dilakukan standarisasi terhadap bahan baku
yang digunakan dalam produk jadi memnuhi persyaratan mutu
yang berlaku (BPOM RI, 2004). Obat Herbal Terstandar (OHT)
harus memenuhi riwayat tradisionalnya dan didukung oleh
adanya bukti empiris serta dilengkapi dengan data nonklinik
(BPOM RI, 2013). Logo Obat Herbal Terstandar (OHT) harus
mencantumkan tulisan Obat Herbal Terstandar (OHT) dan logo
berupa jari–jari daun (3 pasang) terletak dalam lingkaran, dan
ditempatkan pada bagian atas sebelah kiri dari
wadah/pembungks/brosur. Logo dicetak dengan warna hijau di
atas dasar warna putih/warna lain yang menyolok kontras
dengan warna logo (BPOM RI, 2004).
3. Fitofarmaka
Fitofarmaka adalah sediaan obat bahan alam yang telah
dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan iji
praklinik dan uji klinik, bahab baku dan produk jadinya telah di
standarisasi. Fitofarmaka harus memenuhi kriteria yang
meliputi aman sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan,
klaim khasiat dibuktikan secara ilmiah atau pra klinik, telah
dilakukan standarisasi terhadap bahan baku yang digunakan
dalam produk jadi, dan memenuhi persyaratan mutu yang
berlaku (BPOM RI, 2004). Sediaan fitofarmaka yang
dilengkapi dengan data dari uji klinik (BPOM RI, 2013). Logo
fitofarmaka harus mencantumkan tulisan fitofarmaka dan logo
berupa jari – jari daun (yang kemudian membentuk bintang)
terletak dalam lingkarang, dan
ditempatkan pada bagian atas sebelah
kiri dari wadah/pembungks/brosur.
Logo dicetak dengan warna hijau di
atas dasar warna putih/warna lain
yang menyolok kontras dengan warna logo (BPOM RI, 2004).
BAB III

KERANGKA KONSEP

Untuk melihat bagaimana potensi apoteker dalam


meningkatkan pengelolaan dan pelayanan obat tradisional di Apotek
wilayah Surabaya, penelitian ini menggunakan teori COM–B (C–
capability, O–opporturnity, M–motivation, dan B–behaviour). Pada
teori ini, capacity, opportunity, dan motivation berinteraksi sehingga
dapat menghasilkan behaviour yang saling mempengaruhi antar
komponen (“The Capabilities, Opportunities and Motivation
Behaviour-Based Theory of Change Model,” 2016).

Capability
Behaviour
Motivation
1. Pengelolaan
a) Perencanaan
Opportunity b) Pengadaan
c) Penerimaan
d) Penyimpanan
e) Pemusnahan
2. Pelayanan
a) Pelayanan Informasi Obat
(PIO)
b) Konseling
c) Pemantauan Terapi Obat
(PTO)
d) Monitoring Efek Samping
Obat (MESO)
Gambar 3.1 Kerangka konsep penelitian berdasarkan teori
COM–B yang telah dimodifikasi.
Dalam penelitian yang akan dilakukan, capability
didefinisikan sebagai kapasitas psikologis dan fisik apoteker untuk
terlibat dalam pengelolaan dan pelayanan obat tradisional
(behaviour). Hal ini termasuk memiliki pengetahuan dan
keterampilan yang diperlukan. Motivation didefiniskan sebagai
dorongan yang timbul dalam diri apoteker secara sadar atau tidak
sadar untuk melakukan peningkatan peran apoteker dalam
pengelolaan dan pelayanan obat tradisional (behavior). Di dalamnya
mecakup kebiasaan, respon emosional, dan pengambilan keputusan.
Opportunity didefinisikan sebagai semua faktor yang berada di luar
diri apoteker yang memungkinkan peningkatan peran apoteker
dalam pengelolaan dan pelayanan obat tradisional (behavior).
BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Jenis Penelitian


4.1.1 Berdasarkan Tujuan Penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian deskriptif dan eksplorasi.
Penelitian deskriptif adalah sekumpulan objek yang biasanya
bertujuan untuk melihat gambaran fenomena (termasuk kesehatan)
yang terjadi di dalam suatu populasi tertentu (Notoatmodjo, 2018).
Penelitian eskplorasi dengan tujuan untuk ingin memuaskan
rasa hasrat atau rasa ingin tahu agar memperoleh pemahaman
jelas tentang peristiwa sosial yang terjadi, careful study,
mengembangkan metode–metode yang hendak digunakan
dalam penelitian yang lebih teliti (Babbie dalam Hamidi,
2007).
4.1.2 Berdasarkan Waktu Pengumpulan Data
Penelitian ini dilaksanakan di tempat yang membuat informan
merasa nyaman dalam menyampaikan informasi seperti tempat
kerja informan terpilih. Pengambilan data dilaksanakan …
4.1.3 Berdasarkan Pendekatan
Pada dasarnya data penelitian dapat diperoleh melalui dua
macam pendekatan, yaitu kuantitatif dan kualitatif (Zainuddin,
2014). Dalam penelitian kali ini menggunakan pendekatan
kualitatif. Penelitian kualitatif adalah suatu pendekatan penelitian
yang mengungkap situasi sosial tertentu dengan mendeskripsikan
kenyataan secara benar, dibentuk oleh kata-kata berdasarkan teknik
pengumpulan dan analisis data yang relevan yang diperoleh dari
situasi yang alamiah (Satori dan Komariah, 2017).
4.2 Sumber Data Penelitian
Sumber data dalam penelitian ini adalah data primer. Data
primer merupakan sumber data yang diperoleh langsung dari obyek
(Notoatmodjo, 2012). Sumber data primer pada penelitian ini
berdasarkan hasil wawancara dengan apoteker yang bekerja di
Apotek wilayah Surabaya yang memiliki pengalaman kerja selama
lebih dari 6 bulan.
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian
Keseluruhan objek penelitian atau objek yang diteliti tersebut
adalah populasi, sedangkan objek yang diteliti dan dianggap
mewakili seluruh populasi ini disebut “sampel” penelitian
(Notoatmodjo, 2018). Sampel dalam penelitian kualitatif dinamakan
sebagai partisipan atau informan dan disebut juga dengan sampel
teoritis (Satori dan Komariah, 2017). Informan dalam penelitian kali
ini adalah apoteker yang bekerja di apotek wilayah Surabaya yang
memiliki pengalaman kerja selama lebih dari 6 bulan.
4.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi
Kriteria inklusi adalah kriteria atau ciri–ciri yang perlu
dipenuhi oleh setiap anggota populasi yang dapat diambil sebagai
sampel, sedangkan kriteria eksklusi adalah ciri–ciri anggota
populasi yang tidak dapat diambil sebagai sampel (Notoatmodjo,
2018). Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah apoteker yang
bekerja di apotek wilayah Surabaya yang memiliki pengalaman
kerja selama lebih dari 6 bulan.
4.5 Teknik Penggambilan Sampel
Penelitian ini menggunakan metode non–random sampling
adalah pengambilan sampel yang tidak didasarkan atas
kemungkinan yang dapat diperhitungkan, tetapi semata–mata hanya
berdasarkan kepada segi kepraktisan belaka. Teknik sampling yang
digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling dan quota
sampling. Purposive sampling didasarkan pada suatu pertimbangan
tertentu yang dibuat oleh peneliti sendiri dan quota sampling
merupakan pengambilan sampel yang dilakukan dengan cara
menetapkan sejumlah anggota sampel secara quotum atau jatah
(Notoatmodjo, 2018).
4.6 Metode Pengumpulan Data
Metode penggumpulan data pada penelitian ini menggunakan
metode wawancara (interview). Wawancara adalah suatu metode
yang dipergunakan untuk mengumpulkan data, dimana peneliti
mendapatkan keterangan atau informasi secara lisan dari seseorang
sasaran penelitian (responden), atau bercakap–cakap berhadapan
muka dengan orang tersebut (face to face) (Notoatmodjo, 2018).
Jenis wawancara yang digunakan wawancara bebas terpimpin
(semistructure interview), dimana teknik wawancara jenis ini
bertujuan untuk menentukan permasalahan secara lebih terbuka,
yang mana informan dimintai pendapat dan ide-idenya
(Notoatmodjo, 2014; Satori dan Komariah, 2017).
4.7 Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah
interviewer sebagai human instrument dan pedoman wawancara,
yang disusun berdasarkan teori COM-B dan faktor yang
mempengaruhi apoteker dalam meningkatkan pengelolaan dan
pelayanan obat tradisional di apotek terhadap aktivitas yang
meliputi: perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan,
pemusnahan, pegendalian, pencatatan dan pelaporan, dispensing,
pelayanan informasi obat (PIO), konseling, pemantauan terapi obat
(PTO), monitoring efek samping obat (MESO).
Selain itu, dibutuhkan alat untuk merekam data lapangan
yaitu catatan lapangan (field notes) dan recorder. Catatan lapangan
(field notes) merupakan catatan tertulis tentang apa yang didengar,
dilihat, dialami, dan dipikirkan dalam rangka pengumpulan data.
Menulis catatan lapangan (field notes) bertujuan untuk mencatat
segala sesuatu dengan rinci seperti mencatat ketersediaan kartu stok,
penggunaan Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat
(LPLPO), dan adanya Standar Prosedur Operasional (SPO).
Recorder berguna untuk merekam data lapangan dalam bentuk
percakapan (Satori dan Komariah, 2017).
4.8 Validasi dan Reliabilitas
Validasi suatu instrumen menunjukan tingkat ketepatan suatu
instrumen untuk mengukur apa yang harus diukur, sedangkan
reliabilitas merupakan tingkat ketepatan suatu instrumen mengukur
apa yang harus diukur (Zainuddin, 2014). Penelitian kualitatif
dinyatakan absah apabila memiliki derajat keterpercayaan
(credibility), keteralihan (transferability), kebergantungan
(dependability), dan kepastian (confirmability) (Satori dan
Komariah, 2017).
4.9 Kerangka Operasional Penelitian
Identifikasi masalah

Perumusan masalah

Pengajuan proposal

Pembuatan instrumen penelitian

Melakukan latihan wawancara

Revisi instrumen penelitian

Mengundang informan

Melakukan follow–up informan

Mendapatkan kesediaan informan

Melakukan wawancara

Melakukan transkrip secara verbatim

Melakukan koding dan menentukan tema

Keadaan saturasi

Didapatkan data penelitian

Gambar 4.1 Skema kerangka operasional penelitian


Pengambilan data pada penelitian ini diawali dengan peneliti
mendatangi informan, memperkenalkan diri, menjelaskan maksud
dan tujuan penelitian yang akan dilakukan, serta memastikan
infroman yang dimaksud memenuhi kriteria yang telah ditentukan.
Setelah itu, meminta kesediaan informan untuk menjadi subjek
penelitian. Setelah informan bersedia menjadi subjek penelitian dan
mengisi lembar persetujuan, peneliti melakukan wawancara dengan
informan terkait dengan faktor yang mempengaruhi pengelolaan dan
pelayanan obat tradisional di apotek. Peneliti merekam selama
wawancara berlangsung. Peneliti melakukan pengambilan data
dengan wawancara, melakukan transkrip verbatim, dan melakukan
koding dan penentuan tema sampai tercapai keadaan saturasi
sehingga didapatkan data penelitia.

4.10 Definisi Operasional


Definisi operasional ini untuk membatasi ruang lingkup atau
pengertian variable–variable diamati/diteliti, perlu sekali variable–
variable tersebut diberi batasan. Definisi operasional ini juga
bermanfaat untuk mengarahkan kepada pengukuran atau
pengamatan terhadap variable–variable yang bersangkutan serta
pengembangan instrumen (alat ukur) (Notoatmodjo, 2018).
Pada penelitian ini beberapa hal yang perlu didefinisikan
antara lain:
1. Potensi apoteker didefinisikan sebagai kemampuan dan
kesempatan yang dimiliki oleh apoteker yang sangat mungkin
untuk dikembangkan dalam melakukan perbaikan pengelolaan
dan pelayanan obat tradisional.
2. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai
apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan apoteker yang
bekerja di apotek minimal selama enam bulan.
3. Capability didefinisikan sebagai kapasitas psikologis dan fisik
apoteker untuk terlibat dalam kegiatan pengelolaan obat
antihipertensi (behaviour) yang diketahui melalui hasil
wawancara dengan apoteker. Di dalamnya termasuk memiliki
pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan apoteker.
4. Opportunity didefinisikan sebagai semua faktor yang berada di
luar diri apoteker yang memungkinkan peningkatan peran
apoteker dalam melakukan pengelolaan dan pelayanan obat
tradisional (behaviour) yang diketahui melalui hasil wawancara
dengan apoteker. Faktor-faktor tersebut mencakup keadaan
fisik dan sosial lingkungan.
5. Motivation didefinisikan sebagai dorongan yang timbul dalam
diri apoteker secara sadar atau tidak sadar untuk melakukan
peningkatan peran apoteker dalam pengelolaan dan pelayanan
obat tradisional (behaviour) yang diketahui melalui hasil
wawancara dengan apoteker. Di dalamnya mencakup
kebiasaan, respon emosional, dan pengambilan keputusan.
6. Behaviour didefinisikan sebagai perilaku apoteker dalam
melakukan pengelolaan dan pelayanan obat yang meliputi
beberapa kegiatan yaitu: perencanaan, pengadaan, penerimaan,
penyimpanan, pemusnahan, pegendalian, pencatatan dan
pelaporan, dispensing, pelayanan informasi obat (PIO),
konseling, pemantauan terapi obat (PTO), monitoring efek
samping obat (MESO).
7. Pengelolaan obat tradisional merupakan pekerjaan kefarmasian
yang dilakukan apoteker di apotek, yang dimulai perencanaan,
pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pemusnahan.
8. Pelayanan obat tradisional merupakan pekerjaan kefarmasian
yang dilakukan oleh apoteker di apotek, yang dimulai dari
Pelayanan Informasi Obat (PIO), konseling, Pemantauan
Terapi Obat (PTO), dan Monitoring Efek Samping Obat
(MESO).
9. Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa
bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian
(galenik) atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun
temurun telah digunakan untuk pengobatan, dan dapat
diterapkan sesuai dengan normal yang berlaku di masyarakat.
10. Jamu adalah obat tradisional Indonesia.
11. Obat Herbal Terstandar (OHT) adalah sediaan obat bahan alam
yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah
dengan praklinik dan bahan bakunya telah di standarisasi.
12. Fitofarmaka adalah sediaan obat bahan alam yang telah
dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan iji
praklinik dan uji klinik, bahab baku dan produk jadinya telah di
standarisasi.
4.11 Analisa Data
Analisis data pada penelitian kualitatif ini menggunakan
thematic analysis. Dalam melakukan analisis, diperlukan adanya
verifikasi antar beberapa peneliti untuk memastikan hasil dari
analisis data adalah benar. Thematic analysis terdiri dari enam
tahapan, yaitu (Clarke dan Braun, 2013):
1. Memahami data
Memahami data dengan membaca ulang dan mendengarkan
audio rekaman wawancara minimal satu kali. Selanjutnya,
mencatat pengamatan hasil analisis awal.
2. Pengkodean
Membuat label ringkasan yang merupakan bagian penting
dari data yang relevan. Pengkodean bukan hanya sekedar
metode reduksi data, tetapi juga merupakan proses analisis
dengan menangkap kode dari konsep data.
3. Mencari tema
Tema merupakan pola yang berkaitan dan bermakna dalam
data yang dihasilkan dari pertanyaan penelitian. Mencari
tema bertujuan untuk mengidentifikasi kesamaan dalam
data.
4. Meninjau tema
Memeriksa apakah tema benar-benar memiliki keterkaitan
dengan label kode keseluruhan data. Peneliti
mengidentifikasi karakteristik dari setiap tema dan
menghubungkan antar tema apakah memungkinkan
menggabung dua tema menjadi satu atau memisah satu tema
menjadi dua atau lebih tema atau menghapus semua tema
dan memulai kembali proses pengembangan tema.
5. Mengidentifikasi dan menamai tema
Melakukan analisis terperinci dari setiap tema dan
mengidentifikasi inti dari masing-masing tema kemudian
membuat nama yang ringkas, tepat, dan informatif untuk
masing-masing tema.
6. Penarikan penulisan
Menyusun analisis narasi untuk memberitahu pembaca
mengenai cerita yang koheren dan persuasif mengenai data
dan menghubungkan data dengan literatur yang ada.

Anda mungkin juga menyukai