PENDAHULUAN
1
BAB II
3.1 Anatomi
2
Terdapat 4 macam tonsil yaitu tonsil faring al (adenoid), tonsil palatina dan tonsil
lingual, dan tonsil tuba eustachius (lateral band dinding faring/Gerlach’s tonsil)
yang keempat-empatnya membentuk lingkaran yang disebut cincin waldeyer. 1
Tonsil palatina yang biasanya disebut tonsil saja terletak didalam fosa
tonsil dan terdiri dari 2 buah tonsil kanan dan kiri. Pada kutub atas tonsil
seringkali ditemukan celah intratonsil yang merupakan sisa kantong faring kedua.
Kutub bawah tonsil biasanya melekat pada dasar lidah. Permukaan medial tonsil
bentuknya beraneka ragam dan mempunyai celah yang disebut kriptus. Epitel
yang melapisi tonsil ialah epitel skuamosa yang juga meliputi kriptus. Didalam
kriptus biasanya ditemukan leukosit, limfosit epitel yang terlepas, bakteri dan sisa
makanan. Permukaan lateral tonsil melekat pada fasia faring yang sering juga
disebut kapsul tonsil. Kapsul ini tidak melekat erat pada otot faring. Sehingga
mudah di seksi pada tonsilektomi.1
3
d. Superior : Palatum mole
e. Inferior : Tonsil lingual
Secara mikroskopik tonsil terdiri dari 3 komponen yaitu jaringan ikat, folikel
germinativum (merupakan sel limfoid) dan jaringan interfolikel (terdiri dari
jaringan limfoid) 4
a) Fossa tonsil
Fossa tonsil atau sinus dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu batas
anterior adalah otot palatoglosus, batas lateral atau dinding luarnya adalah
otot kinstriktor faring superior. Pilar anterior mempunyai bentuk seperti
kipas pada rongga mulut, mulai dari palatum mole dan berakhir disisi
lateral lidah. Pilar posterior adalah otot vertikal yang keatas mencapai
palatum mole, tuba eustachius dan dasar tengkorak dan ke arah bawah
meluas hingga dinding lateral esofagus, sehingga pada tonsilektomi harus
hati0hati agar pilar posterior tidak terluka. Pilar anterior dan pilar posterior
bersatu di bagian atas pada palatum mole, ke arah bawah terpisah dan
masuk ke jaringan di pangkal lidah dan dinding lateral faring. 4
b) Kapsul tonsil
Bagian permukaan lateral tonsil ditutupi oleh suatu membran jaringan ikat,
yang disebut kapsul. Walaupun para pakar anatomi menyangkal adanya
kapsul ini, tetapi para klinisi menyatakan bahwa kapsul adalah jaringan
ikat putih yang menutupi 4/5 bagian tonsil.
c) Plika triangularis
Diantara pangkal lidah dan bagian anterior kutub bawah tonsil terdapat
plika trinagularis yang merupakan suatu struktur normal yang telah ada
sejak masa embrio. Serabut ini dapat menjadi penyebab kesukaran saat
pengangkatan tonsil dengan jerat komplikasi yang sering terjadi adalah
terdapatnya sisa tonsil atau terpotongnya pangkal lidah.
4
d) Vaskularisasi
Tonsil mendapat vaskularisasi dari cabang-cabang A. karotis
eksterna, yaitu a. maksilaris eksterna (a. fasialis) denan cabangnya A.
tonsilaris dan A. palatina asenden; 2) A. maksilaris interna dengan
cabangnya A. palatina desenden; 3) A. lingualis dengan cabangnya A.
lingualis dorsal; 4) A. faringeal aseden. Kutub bawah tonsil bagian
anterior diperdarahi oleh A. lingualis dorsal dan bagian posterior oleh A.
palatina asenden, diantara kedua daerah tersebut diperdarahi oleh A.
tonsilaris. Kutub atas tonsil diperdarahi oleh A. faringeal asenden dan A.
palatina desenden. Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang
bergabung dengan pleksus dari faring. Aliran balik melalui pleksus vena di
sekitar kapsul tonsil, vena lidah dan plelksus faringeal.
e) Aliran getah bening
Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian
getah bening servikal profunda (deep jugular node) bagian superior di
bawah muskulus sternokleidomastoideus, selanjutnya ke kelenjar toraks
dan akhirnya menuju duktus torasikus. Tonsil hanya mempunyai
pembuluh getah bening eferan sedangkan pembuluh getah bening aferen
tidak ada.
f) Persarafan
Tonsil bagian bawah mendapat sensasi dari cabang serabut saraf ke
IX (nervus glosofaringeal) dan juga dari cabang desenden lesser palatine
nerves.
g) Imunologi Tonsil
Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit.
Limfosit B membentuk kira-kira 50-60% dari limfosit tonsilar. Sedangkan
limfosit T pada tonsil adalah 40% dan 3% lagi adalah sel plasma yang
matang (Wiatrak BJ, 2005). Limfosit B berproliferasi di pusat germinal.
Immunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD), komponen komplemen, interferon,
lisozim dan sitokin berakumulasi di jaringan tonsilar Sel limfoid yang
immunoreaktif pada tonsil dijumpai pada 4 area yaitu epitel sel retikular,
5
area ekstrafolikular, mantle zone pada folikel limfoid dan pusat germinal
pada folikel limfoid Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang
diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah
disensitisasi. Tonsil mempunyai 2 fungsi utama yaitu 1) menangkap dan
mengumpulkan bahan asing dengan efektif; 2) sebagai organ utama
produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen spesifik.
6
Thane & Cody membagi pembesaran tonsil dalam ukuran T1-T4
T1: batas medial tonsil melewati pilar anterior sampai ¼ jarak pilar
anterior uvula
T2: batas melalui tonsil melewati ¼ jarak pilar anterior uvula
T3: batas medial tonsil melewati ½ pilar anterior- uvula sampai ¾
jarak pilar anterior- uvula
T4: batas medial tonsil melewati ¾ pilar anterior-uvula sampai
uvula atau lebih.
7
berfungsi mematangkan sel limfosit B dan kemudian menyebarkannya ke sel
limfosit terstimulus menuju mukosa dan kelanjar sekretori di seluruh tubuh.
Pada tonsil terdapat sistem imun kompleks yang terdiri atas sel M (sel
membran), makrofag, sel dendrit dan APCs (Antigen presenting cells) yang
berperan dalam proses transportasi antigen ke sel limfosit sehingga terjadi
sintesis immunoglobulin spesifik. Selain terdapat sel limfosit B, limfosit T,
sel plasma dan sel pembawa IgG. Aktivitas tonsil paling maksimal antara
umur -10 tahun. Tonsil mulai mengalami involusi pada saat pubertas,
sehingga produksi sel B menurun. Pada tonsilitis berulang terjadi perubahan
epitel squamous stratified yang menyebabkan rusaknya finitas sel imun dan
menurunkan fungsi transport antigen yang pada akhirnya dapat menurunkan
aktifitas lokal sistem sel B, serta menurunkan produksi antibodi.3
8
BAB III
3.1 Definisi
Tonsilitis akut merupakan proses inflamasi jaringan tonsil dan
umumnya menular. Ini adalah bagian dari spektrum faringitis, yang bervariasi
dari infeksi tonsil lokal hingga infeksi faring yang meluas dan biasanya
menyerang orang dewasa muda yang sehat. 4 tonsilitis Streptococcus adalah
tonsilitis yang disebabkan Streptococcus pyogenes (juga dikenal sebagai
Lancefield field A β-hemolytic streptococci) adalah satu-satunya agen yang
memerlukan diagnosis etiologi dan perawatan spesifik. pyogenes sangat
penting secara klinis karena dapat memicu komplikasi sistemik pasca infeksi,
demam rematik akut, dan glomerulonefritis pasca streptokokus, yang terjadi 1-
3 minggu setelah infeksi faring.5
Berdasarkan waktu berlangsung (lamanya) penyakit, tonsilitis terbagi
menjadi 2, yakni tonsilitis akut jika penyakit (keluhan) berlangsung kurang
dari 3 minggu dan tonsilitis kronis jika inflamasi atau peradangan pada tonsil
palatina berlangsung lebih dari 3 bulan atau menetap. Infeksi terjadi terus
menerus karena kegagalan atau ketidaksesuaian pemberian antibiotic.6
3.2 Epidemiologi
Streptococcus pyogenes (grup A Streptococcus) adalah spesifik
patogen manusia yang bertanggung jawab atas infeksi yang sangat
umum.sebagai faringotonsilitis akut, yang sering terjadi pada anak-anak.
Gerbong faring dari S. pyogenes pada orang dewasa populasi biasanya
diperkirakan di bawah 5 hingga 10% pada tahun negara-negara industri .
Infeksi ini dapat disebabkan oleh gejala sisa non-suppuratif yang parah,
termasuk rematik akut demam rematic dan glomerulonefritis.. Insiden
komplikasi ini telah menurun dengan cepat selamac ades di negara-negara
9
industri, karena peningkatan kualitas hidup dengan kondisi dan terapi
antibiotik sistematis dengan penisilin,keduanya membatasi penyebaran strain
bakteri di populasi ulation. Namun, tingkat kekambuhan streptococ-kal
faringitis setelah terapi penisilin dapat mencapai 20 hingga 25% pada anak-
anak, terutama di komunitas semi-tertutup. Wabah demam rematik yang tak
terduga karen. Munculnya klon M ganas tertentu baru-baru ini.Dijelaskan di
negara-negara industri di mana terapi penisilin banyak digunakan Ini dan
tingginya insiden gejala sisa non-suppuratif poststreptococcal dalam
pengembangannegara menggambarkan bagaimana infeksi streptokokus tetap
menjadi masalah kesehatan masyarakat.7
3.3 Etiologi
Radang akut tonsil dapat disebabkan kuman grup A streptokokus
βhemolitikus yang dikenal sebagai strept throat, pneumokokus, streptokokus
viridan dan streptokokus piogenes.1
Selain streptokokus grup A, beberapa strain bakteri dapat menyebabkan
faringitis akut seperti streptokokus grup C dan streptokokus grup G,
Fusobacterium necrophorum, Arcanobacterium haemolyticum, Neisseria
gonorrhoeae, Treponema pallidum, Francispallantumanteriapheraaterteria
,termutramersia pneumoniae, Chlamydophila psittaci, dan anaerob campuran.5
3.4 Patofisiologi
Bakteri Tonsilitis dapat menyebar dari orang ke orang melalui kontak
tangan, menghirup udara setelah seseorang dengan tonsilitis bersin atau
berbagi peralatan seperti sikat gigi dari orang yang terinfeksi. Anak-anak dan
remaja usia sekolah adalah yang paling mungkin untuk menderita tonsilitis,
tetapi dapat menyerang siapa saja.6
infiltrasi bakteri pada lapisan epitel jaringan tonsil akan menimbulkan
reaksi radang berupa keluarnya leukosit polimorfonuklear sehingga terbentuk
detritus. Detritus ini merupakan kumpulan leukosit, bakteri yang mati dan
epitel yang terlepas. Secara klinis detritus ini mengisi kriptus tonsil dan
10
tampak sebagai bercak kuning. Bentuk tonsilitis akut dengan detritus yang
jelas disebut tonsilitis folikularis. Bila bercak-bercak detritus ini menjadi satu,
membentuk alur-alur maka akan terjadi tonsilitis lakunaris. Bercak detritus ini
juga dapat melebar sehingga terbentuk semacam membran semu
(pseudomembrane) yang menutupi tonsil. Masa inkubasi 2-4 hari. 1
b) Pemeriksaan fisik
11
Gambaran cherry red tounge general. Mengindikasikan infeksi Streptococcus beta
hemoliticus Grup A
3.6.1 Laboratorium
a) Biakan usap tenggorok
Biakan usap tenggorok merupakan pemeriksaan gold standar untuk
mengetahui etiologi faringitis tetapi fasilitas tersebut tidak tersedia di
semua tempat. Diperlukan waktu 2–3 hari untuk memperoleh hasil
kultur sehingga kurang bermanfaat untuk kasus rawat jalan. Selain itu
12
dibutuhkan teknik khusus untuk mendapatkan spesimen yang tepat.
Hasil kultur juga sangat dipengaruhi oleh metode pengambilan kultur
maupun media transpor yang digunakan.5
3.6.2 Skoring
Secara teknis metode RADT dan usap tenggotok memang lebih
praktis dan cepat, namun besarnya biaya yang dibutuhkan juga
menimbulkan permasalahan dalam penggunaannya secara rutin Untuk itu
telah dikembangkan sistem skoring yang dapat memprediksi kemungkinan
infeksi streptokokuspada anak dan dewasadengan keluhan nyeri
tenggorok. Sistem skoring dirancang untukmengurangi subyektifitas klinis
dalam pengambilankeputusan oleh klinisi dengan menggunakan gejala
atautanda yang akan meningkatkan ataumenurunkan kemungkinan
pasienmemiliki infeksi SBHGA. Adanya sistem skoring memberikan dasar
yang rasional untuk menetapkanpasien ke dalam kategoririsiko rendah
(tidak memerlukan pengobatan atau pemeriksaan penunjang), kategori
13
risiko menengah (perlu pemeriksaan penunjang diagnostik) atau kategori
risiko tinggi (indikasi pemberian antibiotika secara empiris).5
Tabel 1 Skor Centor yang dimodifikasi untuk digunakan untuk anak-anak dan
orang dewasa dengan sakit tenggorokan untuk memperkirakan kemungkinan
infeksi Streptococcus pyogenes. 5
Kriteria Poin
Demam (temperatur >38°C +1
Tidak ada batuk +1
Pembesaran nodus limfa cervikal +1
Tonsil membengkak /eksudat +1
Umur (tahun)
3-14 +1
15-44 0
≥45 -1
Pasien yang mendapat skor 1 poin atau kurang dengan risiko infeksi
streptokokus hingga 10% harus dilepaskan tanpa perlu penyelidikan
laboratorium dan terapi antibiotik. Pengecualian untuk aturan ini adalah pasien
dengan paparan S. pyogenes dalam 2 minggu sebelumnya atau dengan riwayat
demam rematik akut atau penyakit rematik jantung. Pasien yang mencetak 4
poin atau lebih harus menerima terapi antibiotik setelah evaluasi klinis awal.
Namun, untuk pasien dengan skor Centor 2 poin atau 3 poin, ada kontroversi
besar seputar penyelidikan laboratorium dan perawatan yang mengikuti,
14
bahkan di negara maju. Di Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa di
mana insiden demam rematik rendah, dokter harus melakukan penyelidikan
laboratorium dan meresepkan antibiotik hanya setelah mendapatkan hasil
positif kultur tenggorokan atau hasil tes cepat5
3.7 Penatalaksanaan
3.7.1 Medikamentosa
Faringitis S. pyogenes akut seringkali merupakan penyakit yang
sembuh sendiri. Demam biasanya sembuh dalam 3-5 hari dan sakit
tenggorokan sembuh dalam 1 minggu.1 Antibiotik membantu
mengurangi keparahan dan durasi gejala, membatasi penyebaran
penyakit, dan mencegah nanah (misalnya, abses peritonsillar atau
retrofaringeal, limfadenadenitis serviks, otitis media, dan mastoiditis)
dan komplikasi tidak menular seperti demam rematik akut. Ada
beberapa keraguan apakah glomerulonefritis pasca-streptokokus dapat
dicegah dengan pengobatan antibiotik pada faringitis streptokokus1.
Antibiotik kurang efisien dalam memperbaiki gejala ketika dimulai 2
hari setelah inisiasi penyakit. Namun, bahkan ketika mulai 1-2 hari
setelah gejala dimulai, mereka sama-sama efektif dalam mencegah
demam rematik. Pasien dianggap tidak menular atau hanya menular
minimal 24 jam setelah memulai pengobatan antibiotik; Oleh karena
itu, anak-anak harus kembali ke sekolah 24 jam setelah memulai
terapi antibiotik.5
Penisilin spektrum luas adalah pilihan pertama untuk pengobatan
karena kelangkaan resistensi yang didokumentasikan terhadap
penisilin oleh streptokokus kelompok A selama pengobatan faringitis
dan karena biayanya yang rendah. Tinjauan literatur terbaru gagal
menunjukkan perbedaan antara antibiotik dalam mengobati faringitis
streptokokus.5 Formulasi oral yang direkomendasikan adalah penisilin
V. Untuk pemberantasan agen lengkap, penting untuk menekankan
bahwa penisilin oral harus diminum selama 10 hari, bahkan jika gejala
mereda dalam beberapa hari. Sulit bagi pasien untuk mempertahankan
15
pengobatan selama 10 hari karena palatabilitas obat yang buruk,
kebutuhan untuk memakainya beberapa kali sehari, dan resolusi gejala
yang cepat. Karena amoksisilin dilaporkan sama efektifnya dan
memiliki palatabilitas yang lebih baik, amoksisilin adalah pilihan yang
cocok untuk anak-anak. Pedoman Brasil untuk pencegahan demam
rematik merekomendasikan dosis tunggal penisilin benzathine
intramuskular sebagai pilihan pertama untuk mengobati faringitis
streptokokus. Perawatan ini memiliki insidensi efek samping yang
rendah dan tingkat kepatuhan dan pemberantasan streptococcus yang
tinggi. Menunjukkan rejimen dosis antibiotik. Pada pasien dengan
alergi penisilin, sefalosporin dapat menjadi alternatif yang dapat
diterima, meskipun dapat terjadi hipersensitivitas primer terhadap
sefalosporin. Makrolida adalah pilihan lain Resistensi S. pyogenes
terhadap eritromisin telah meningkat dengan meningkatnya
makrolida5
Sebuah tinjauan literatur baru-baru ini menunjukkan bahwa
pemberian antibiotik generasi baru seperti azitromisin selama 3-6 hari
memiliki kemanjuran yang sebanding dengan standar 10 hari
pemberian penisilin oral. Namun, penulis tinjauan itu menyatakan
bahwa hasil ini harus ditafsirkan dengan hati-hati di daerah dengan
insiden tinggi penyakit jantung rematik. Zat antiinflamasi seperti ibu
profen, ketoprofen, dan diklofenak, atau agen analgesik seperti
parasetamol dapat mengurangi gejala berat dan demam tinggi.
Kortikosteroid sistemik tidak boleh diresepkan secara rutin pada
faringitis akut. Namun mereka dapat dipertimbangkan pada pasien
dewasa yang memiliki presentasi lebih parah (mis. Skor 3-4 poin
dalam kriteria Centor). Dalam kekambuhan faringitis, kultur usap
tenggorokan atau tes deteksi antigen cepat harus dilakukan. Ketika
hasil tes positif, pasien harus dirawat lagi. Dalam kasus ini, juga
direkomendasikan untuk mendeteksi dan merawat pembawa yang
sehat di antara orang-orang dari tempat tinggal yang sama.5
16
3.7.2 Pengangkatan tonsil (tonsilektomi).
Indikasi tonsilektomi dibagi menjadi dua, yaitu indikasi absolut dan
indikasi relatif.
a) Indikasi absolut :
a. Timbulnya kor pulmonale karena obstruksi jalan napas yang
kronik.
b. Hipertrofi tonsil atau adenoid dengan sindroma apnea waktu tidur.
c. Hipertrofi berlebihan yang menyebabkan disfagia dengan
penurunan berat badan penyerta.
d. Biopsi eksisi yang dicurigai keganasan (limfoma).
e. Abses peritonsilaris berulang atau abses yang meluas pada ruang
jaringan sekitarnya.
b) Indikasi relatif :
Seluruh indikasi lain untuk tonsilektomi dianggap relatif.
Indikasi yang paling sering adalah episode berulang dari infeksi
streptokokus beta hemolitikus grup A. Sekarang ini, di samping
indikasi-indikasi absolut, indikasi tonsilektomi yang paling dapat
diterima adalah :
17
a. Serangan tonsilitis berulang yang tercatat (walaupun telah
diberikan penatalaksanaan medis yang adekuat).
b. Tonsilitis yang berhubungan dengan biakan streptokokus menetap
dan patogenik.
c. Hiperplasia tonsil dengan obstruksi fungsional.
d. Hiperplasia dan obstruksi yang menetap enam bulan setelah
infeksi mononukleosis.
e. Riwayat demam reumatik dengan kerusakan jantung yang
berhubungan dengan tonsilitis rekurens kronis dan pengendalian
antibiotik yang buruk.
f. Radang tonsil kronis menetap yang tidak memberikan respons
terhadap penatalaksanaan medis.
g. Hipertrofi tonsil dan adenoid yang berhubungan dengan
abnormalitas orofasial dan gigi geligi yang menyempitkan jalan
napas bagian atas.
h. Tonsilitis berulang atau kronis yang berhubungan dengan
adenopati servikial persisten.2
Gambar 4 Tonsilectomy. 10
Metode tonsilektomi ada lima, yaitu :
a. Dissection method
b. Guillotine method
c. Elektrokauter
18
d. Cryosurgery
e. Laser
Manajemen setelah operasi perlu diperhatikan. Pasien harus ada di
daerah pemulihan yang berdekatan dengan ruang operasi sampai
sepenuhnya sadar. Sangat penting untuk memastikan bahwa semua
perdarahan telah berhenti.Perhatikan denyut nadi dan tekanan darah,
harus sering diperiksa. Beberapa jam setelah operasi, sebagian besar
pasien dapat minum cairan asalkan tidak berlebihan. Demam biasanya
ada dikarenakan infeksi lokal, biasanya infeksi saluran kecing atau otitis
media. Biasanya setelah tonsilektomi, akan muncul cairan eksudat
berwarna kuning. Cairan ini normal dan akan hilang dengan sendirinya.
Setelah tonsilektomi, sebisa mungkin pasien harus diinstruksikan untuk
makan secara normal. Makan makanan yang normal biasanya
menghasilkan pengurangan rasa sakit setelah itu. 5,7
b. Diabetes Mellitus.
c. Hipertensi.
d. Kelainan darah.
19
3.8 diagnosis banding
2. Tonsilitis Difteri
20
Gejala lokal difteri yang tampak berupa tonsil membengkak
ditutupi bercak putih kotor yang makin lama makin meluas dan bersatu
membentuk membran semu. Membran ini dapat meluas ke palatum
mole, uvula, nasofaring, laring, trakea dan bronkus dan dapat
menyumbat saluran nafas. Membran semu ini melekat erat pada
dasarnya , sehingga apabila bila di angkat akan sangat mudah berdarah.
Pada perkembangan penyakit ini bila infeksinya berjalan terus, kelenjar
limfe leher akan membengkak sedemikian besarnya sehingga leher
menyerupai leher sapi (bull neck) atau disebut juga burgemeester’s hals.1
Difteri memiliki onset yang berbahaya dan ditandai dengan membran
abu-abu (susah dihilangkan) di tonsil, tenggorokan, dan uvula. Diagnosis
difteri melalui pemeriksaan dan kultur swab. 3
21
3. Infeksi mononukleosis
22
23
RINGKASAIN
Kriteria Poin
Demam (temperatur >38°C +1
Tidak ada batuk +1
Pembesaran nodus limfa cervikal +1
Tonsil membengkak /eksudat +1
Umur (tahun)
3-14 +1
15-44 0
≥45 -1
Pasien yang mendapat skor 1 poin atau kurang dengan risiko infeksi
streptokokus hingga 10% harus dilepaskan tanpa perlu penyelidikan
laboratorium dan terapi antibiotik. Pengecualian untuk aturan ini adalah pasien
dengan paparan S. pyogenes dalam 2 minggu sebelumnya atau dengan riwayat
demam rematik akut atau penyakit rematik jantung. Pasien yang mencetak 4
poin atau lebih harus menerima terapi antibiotik setelah evaluasi klinis awal.
Namun, untuk pasien dengan skor Centor 2 poin atau 3 poin, ada kontroversi
besar seputar penyelidikan laboratorium dan perawatan yang mengikuti,
24
bahkan di negara maju. Di Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa di
mana insiden demam rematik rendah, dokter harus melakukan penyelidikan
laboratorium dan meresepkan antibiotik hanya setelah mendapatkan hasil
positif kultur tenggorokan atau hasil tes cepat10. Sebaliknya, faringitis akut di
negara-negara Eropa lainnya dianggap sebagai penyakit self-limiting jinak dan
tes mikrobiologis tidak direkomendasikan secara rutin; perawatan antibiotik
disediakan untuk pasien yang dipilih dengan baik.5
25
DAFTAR PUSTAKA
1. Soepardi dkk, Telinga hidung tenggorok kepala dan leher, buku ajar ilmu
kesehatan edisi ketujuh,fakultas kedokteran universitas indonesia.Jakarta.
2018
2. Alotaib D, Tonsillitis in Children Diagnosis and Treatment Measures.
Saudi Journal of Medicine (SJM). 2017
3. Prasetya, Candra, Kurniawati Pengaruh Suplementasi Besi terhadap
kejadian tonsilitis pada balita Journal of Nutrition College, Volume 7,
Nomor 4, Tahun 2018, Halaman 189. Universitas
4. Bartlett dkk, Acute tonsillitis and its complications: an overview
Article in Journal of the Royal Naval Medical Service · August 2015
5. Moreira Anjos, dkk, Streptococcal acute pharyngitis. Revista da Sociedade
Brasileira de Medicina Tropical 47(4):409-413, Jul-Aug, 2014
6. Shalihat dkk, Hubungan Umur, Jenis Kelamin dan Perlakuan
Penatalaksanaan dengan Ukuran Tonsil pada Penderita Tonsilitis Kronis di
Bagian THT-KL RSUP DR. M. Djamil Padang Tahun 2013 Jurnal
Kesehatan Andalas 4(3). 2015
7. Nguyen dkk, Molecular Epidemiology of Streptococcus pyogenes in an
Area Where Acute Pharyngotonsillitis Is Endemic, journal of clinical
microbiology, 2017.
8. Sari dkk, Uji Diagnostik Skoring Centor Modifikasi pada Penderita
Faringitis Akut Streptokokus Beta Hemolitikus Grup A. . 46, No. 1,
Palembang. 2014
9. BETH A. CHOBY, MD Diagnosis and Treatment of Streptococcal
Pharyngitis. American Family Physician Volume 79, Number 5, 2009.
10. Pambuk Ali I chateen, Acute Tonsillitis in children: Causes and Types.
Acta Scientific Microbiology (ISSN: 2581-3226) Volume 2 Issue 10.,
2018
26
11. Balfour Jr et.al, Infectious mononucleosis, Clinical & Translational
Immunology (2015) 4, e33; doi:10.1038/cti Australasian Society for
Immunology Inc.2015
27