Anda di halaman 1dari 23

i

BAGIAN ANESTESI

RSUD UNDATA PALU – FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS TADULAKO

REFLEKSI KASUS
“General Anestesi Inhalasi Pada Kasus Fraktur Mandibula”

DISUSUN OLEH :
YUDIT SETIAWAN
N 111 17 138

PEMBIMBING :
dr. Imtihana Amri, Sp.An., M.Kes.

DIBUAT DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ANESTESI
RSUD UNDATA PALU – FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2019
ii

DAFTAR ISI

Halaman Judul............................................................................................... i
Daftar Isi........................................................................................................
ii BAB I Pendahuluan.....................................................................................
1
BAB II Tinjauan Pustaka.............................................................................. 2
2.1 Definisi ……………........................................................................ 2
2.2 Tatalaksana Fraktur Mandibula…………...................................... 3
2.3 Anatomi dan Fisiologi Respirasi...………...................................... 3
2.4 Anastesi Umum……………….....………...................................... 6
BAB III Laporan Kasus ..................................................................................... 10
BAB IV Pembahasan …..................................................................................... 14
BAB V Penutup ……..…................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA
1

BAB I
PENDAHULUAN

Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an-“tidak, tanpa” dan


aestheos, “persepsi, kemampuan untuk merasa”), secara umum berarti suatu
tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai
prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Istilah anestesi
digunakan pertama kali oleh Oliver Wendel Holmes Sr pada tahun 1846. 1
Secara garis besar anestesi dibagi menjadi dua kelompok yaitu anestesi
umum dan anestesi lokal. Anestesi umum adalah keadaan tidak sadar tanpa nyeri
yang reversible akibat pemberian obat-obatan, serta menghilangkan rasa sakit
seluruh tubuh secara sentral. Perbedaan dengan anestesi lokal adalah anestesi pada
sebagian tubuh, keadaan bebas nyeri tanpa kehilangan kesadaran.2
Obat anestesi umum terdiri atas golongan senyawa kimia yang heterogen,
yang mendepresi SSP secara reversibel dengan spektrum yang hampir sama dan
dapat dikontrol. Obat anastesi umum dapat diberikan secara inhalasi dansecara
intravena.
Anestesi umum adalah suatu tindakan yang membuat pasien tidak sadar
selama prosedur medis, sehingga pasien tidak merasakan atau mengingat apa pun
yang terjadi.
Tindakan pembedahan terutama yang memerlukan anestesi umum
diperlukan teknik intubasi, baik intubasi endotrakeal maupun nasotrakeal. Intubasi
adalah suatu teknik memasukkan suatu alat berupa pipa kedalam saluran
pernapasanbagian atas. Tujuan dilakukannya intubasi untuk mempertahankan jalan
nafas agar tetap bebas, mengendalikan oksigenasi dan ventilasi, mencegah
terjadinya aspirasi lambung pada keadaan tidak sadar, tidak ada refleks batuk
ataupun kondisi lambung penuh, sarana gas anestesi menuju langsung ke
trakea,membersihkan saluran trakeobronkial.
Fraktur didefinisikan sebagai deformitas linier atau terjadinya
diskontinuitas tulang yang disebabkan oleh ruda paksa. Fraktur dapat terjadi akibat
trauma atau karena proses patologis. Fraktur mandibula adalah putusnya
kontinuitas tulang mandibula.
2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Fraktur Mandibula


Fraktur mandibula adalah putusnya kontinuitas tulang mandibula. Mandibula
merupakan tulang yang kuat, tetapi pada beberapa tempat dijumpai adanya bagian
yang lemah. Daerah korpus mandibula terutama terdiri dari tulang kortikal yang
padat dengan sedikit substansi spongiosa sebagai tempat lewatnya pembuluh darah
dan pembuluh limfe. Daerah yang tipis pada mandibula adalah angulus dan
subkondilus sehingga bagian ini termasuk bagian yang lemah dari mandibula.
Selain itu titik lemah juga didapatkan pada foramen mentale, angulus
mandibula tempat gigi molar III terutama erupsinya sedikit, kolum kondilus
mandibula terutama bila trauma dari depan langsung mengenai dagu maka gayanya
akan diteruskan kearah belakang. Garis fraktur pada mandibula biasa terjadi pada
area lemah dari mandibula tergantung mekanisme trauma yang terjadi. Garis fraktur
subkondilar umumnya dibawah leher prosesus kondiloideus akibat perkelahian dan
berbentuk hampir vertikal. Namun pada kecelakaan lalu lintas garis fraktur terjadi
dekat dengan kaput kondilus, garis fraktur yang terjadi berbentuk oblik.
Pada regio angulus garis fraktur umumnya dibawah atau dibelakang regio
molar III kearah angulus mandibula. Pada fraktur korpus mandibula garis fraktur
tidak selalu paralel dengan sumbu gigi, seringkali garis fraktur berbentuk oblik. Garis
fraktur dimulai pada regio alveolar kaninus dan insisivus berjalan oblik kearah
midline. Pada fraktur mandibula, fragmen yang fraktur mengalami displaced akibat
tarikan otot-otot mastikasi, oleh karena itu reduksi dan fiksasi pada fraktur
mandibula harus menggunakan splinting untuk melawan tarikan dari otot-otot
mastikasi.
Beberapa faktor yang mempengaruhi displacement fraktur mandibula antara
lain: arah dan kekuatan trauma, arah dan sudut garis fraktur, ada atau tidaknya gigi
pada fragmen, arah lepasnya otot dan luasnya kerusakan jaringan lunak. Pada daerah
ramus mandibula jarang terjadi fraktur, karena daerah ini terfiksasi oleh muskulus
maseter pada bagian lateral dan medial oleh muskulus pterigoideus medialis.
Demikian juga pada prosesus koronoideus yang terfiksasi oleh muskulus maseter.

2.2 Penatalaksanaan fraktur mandibula


Prinsip penanganan fraktur mandibula pada langkah awal bersifat kedaruratan
seperti jalan nafas atau airway, pernafasan atau breathing, sirkulasi darah termasuk
3

penanganan syok atau circulation, penanganan luka jaringan lunak dan imobilisasi
sementara serta evaluasi terhadap kemungkinan cedera otak. Tahap kedua adalah
penanganan fraktur secara definitif. Penanganan fraktur mandibula secara umum
dibagi menjadi dua metoda yaitu reposisi tertutup dan terbuka. Pada reposisi tertutup
atau konservatif , reduksi fraktur dan imobilisasi mandibula dicapai dengan
menempatkan peralatan fiksasi maksilomandibular. Reposisi terbuka bagian yang
fraktur dibuka dengan pembedahan, segmen direduksi dan difiksasi secara langsung
dengan menggunakan kawat atau plat yang disebut wire atau plate osteosynthesis.
Teknik terbuka dan tertutup tidak selalu dilakukan tersendiri, tetapi kadangkadang
dikombinasi. Pendekatan ketiga adalah merupakan modifikasi dari teknik terbuka
yaitu metode fiksasi skeletal eksternal. Pada penatalaksanaan fraktur mandibula
selalu diperhatikan prinsip-prinsip dental dan ortopedik sehingga daerah yang
mengalami fraktur akan kembali atau mendekati posisi anatomis sebenarnya dan
fungsi mastikasi yang baik.
Reposisi tertutup (closed reduction) patah tulang rahang bawah yaitu,
penanganan konservatif dengan melakukan reposisi tanpa operasi langsung pada
garis fraktur dan melakukan imobilisasi dengan interdental wiring atau eksternal pin
fixation. Sedangkan, reposisi terbuka (open reduction); tindakan operasi untuk
melakukan koreksi deformitas maloklusi yang terjadi pada patah tulang rahang
bawah dengan melakukan fiksasi secara langsung dengan menggunakan kawat (wire
osteosynthesis) atau plat (plat osteosynthesis) .

2.3 Anatomi dan Fisiologi Respirasi

Respirasi adalah pertukaran gas, yaitu oksigen (O2) yang dibutuhkan tubuh
untuk metabolisme sel dan karbondioksida (CO2) yang dihasilkan dari
metabolisme tersebut dikeluarkan dari tubuh melalui paru.
Sistem respirasi terdiri dari:
1. Saluran nafas bagian atas
Pada bagian ini udara yang masuk ke tubuh dihangatkan, disaring
dan dilembabkan
2. Saluran nafas bagian bawah
Bagian ini menghantarkan udara yang masuk dari saluran bagian
atas ke alveoli
3. Paru, terdiri dari :
 Alveoli, terjadi pertukaran gas antara O2 dan CO2
4

 Sirkulasi paru. Pembuluh darah arteri menuju paru,


sedangkan pembuluh darah vena meninggalkan paru.
4. Rongga Pleura
Terbentuk dari dua selaput serosa, yang meluputi dinding dalam
rongga dada yang disebut pleura parietalis, dan yang meliputi paru
atau pleura  viseralis
5. Rongga dan dinding dada
Merupakan pompa muskuloskeletal yang mengatur pertukaran gas
dalam proses respirasi

Saluran Nafas Bagian Atas


1. Rongga hidung
Udara yang dihirup melalui hidung akan mengalami tiga hal :
 Dihangatkan
 Disaring
 Dan dilembabkan
Yang merupakan fungsi utama dari selaput lendir respirasi ( terdiri
dari : Psedostrafied ciliated columnar epitelium yang berfungsi
menggerakkan partikel partikel halus kearah faring sedangkan
partikel yang besar akan disaring oleh bulu hidung, sel goblet dan
kelenjar serous yang berfungsi melembabkan udara yang masuk,
pembuluh darah yang berfungsi menghangatkan udara). Ketiga hal
tersebut dibantu dengan concha. Kemudian udara akan diteruskan
ke :
a. Nasofaring (terdapat pharyngeal tonsil dan Tuba Eustachius)
b. Orofaring (merupakan pertemuan rongga mulut dengan
faring,terdapat pangkal lidah)
c. Laringofaring (terjadi persilangan antara aliran udara dan
aliran makanan)
Saluran Nafas Bagian Bawah
1. Laring
Terdiri dari tiga struktur yang penting
 Tulang rawan krikoid
 Selaput/pita suara
 Epilotis
 Glotis
5

2. Trakhea
Merupakan pipa silider dengan panjang ± 11 cm, berbentuk ¾ cincin
tulang rawan seperti huruf C. Bagian belakang dihubungkan
oleh membran fibroelastic menempel pada dinding depan usofagus.
3. Bronkhi
Merupakan percabangan trakhea kanan dan kiri. Tempat
percabangan ini disebut carina. Brochus kanan lebih pendek, lebar
dan lebih dekat dengan trachea.
Bronchus kanan bercabang menjadi : lobus superior, medius,
inferior. Brochus kiri terdiri dari : lobus superior dan inferior
4. Alveoli
Terdiri dari : membran alveolar dan ruang interstisial.
Membran alveolar :
 Small alveolar cell dengan ekstensi ektoplasmik ke arah
rongga alveoli
 Large alveolar cell mengandung inclusion bodies yang
menghasilkan surfactant.
 Anastomosing capillary, merupakan system vena dan arteri
yang saling berhubungan langsung, ini terdiri dari : sel
endotel, aliran darah dalam rongga endotel
Interstitial space merupakan ruangan yang dibentuk oleh : endotel
kapiler, epitel alveoli, saluran limfe, jaringan kolagen dan sedikit
serum.

Surfactant
Mengatur hubungan antara cairan dan gas. Dalam keadaan normal
surfactant ini akan menurunkan tekanan permukaan pada waktu
ekspirasi, sehingga kolaps alveoli dapat dihindari.
Sirkulasi Paru
Mengatur aliran darah vena – vena dari ventrikel kanan ke arteri
pulmonalis dan mengalirkan darah yang bersifat arterial melaului
vena pulmonalis kembali ke ventrikel kiri.

2.4 Anastesi Umum


Anestesi umum menggunakan cara melalui intravena dan secara inhalasi untuk
memungkinkan akses bedah yang memadai ke tempat dimana akan dilakukan
6

operasi. Tahap awal dari anestesi umum adalah induksi. Induksi anestesi
merupakan peralihan dari keadaan sadar dengan reflek perlindungan masih utuh
sampai dengan hilangnya kesadaran (ditandai dengan hilangnya reflek bulu mata)
akibat pemberian obat–obat anestesi. Tindakan pembedahan terutama yang
memerlukan anestesi umum diperlukan teknik intubasi, baik intubasi endotrakeal
maupun nasotrakeal.
Intubasi adalah memasukan pipa ke dalam rongga tubuh melalui mulut atau
hidung. Intubasi terbagi menjadi 2 yaitu intubasi orotrakeal (endotrakeal) dan
intubasi nasotrakeal. Intubasi endotrakeal adalah tindakan memasukkan pipa trakea
ke dalam trakea melalui rima glottis dengan mengembangkan cuff, sehingga ujung
distalnya berada kira-kira dipertengahan trakea antara pita suara dan bifurkasio
trakea. Tujuan dilakukannya tindakan intubasi endotrakeal adalah untuk
memudahkan pemberian anestesi, membersihkan saluran trakeobronkial.
Mempertahankan jalan nafas agar tetap paten, mencegah aspirasi, serta
mempermudah pemberian ventilasi dan oksigenasi bagi pasien operasi.

2.5 Jalur Pemberian Anestesi Umum


2.5.1 Premedikasi
Premedikasi merujuk pada pemberian obat apa pun selama periode sebelum
dilakukannya induksi anesthesia, sebagai tambahan dari obat-obat yang biasanya
dikonsumsi pasien. Tujuan dari premedikasi adalah untuk ansiolisis, amnesia,
antiemetik, antasida, antiautonomik, dan analgesia.
Pasien yang akan di operasi biasanya diberikan premedikasi karena
a. Diberikan sedatif untuk mengurangi ansietas dan mempermudah konduksi
anestesi. Untuk anak pra sekolah dan usia sekolah yang tidak bisa tenang dan
cemas, pemberian penenang dapat dilakukan dengan pemberian midazolam.
Dosis yang dianjurkan adalah 0,5mg/kgBB. Efek sedasi dan hilangnya cemas
dapat timbul 10 menit setelah pemberian.
b. Diberikan analgetik jika pasien merasa sakit preoperative atau dengan latar
belakang analgesia selama dan sesudah operasi.
c. Untuk menekan sekresi, khususnya sebelum penggunaan ketamine (dipakai
atropine (Dosis atropine 0,02 mg/kg, minimal 0,1 mg dan maksimal 0,5 mg),
yang dapat digunakan untuk mencegah bradikardia, khususnya pada anak-
anak).
d. Untuk mengurangi resiko aspirasi isi lambung, jika pengosongan diragukan,
misalnya pada kehamilan (pada kasus ini diberikan antasida peroral).
7

2.5.2 Induksi
Pemberian anestesi dimulai dengan tindakan untuk membuat pasien dari sadar
menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan
pembedahan, tergantung lama operasinya, untuk operasi yang waktunya pendek
mungkin cukup dengan induksi saja. Tetapi untuk operasi yang lama, kedalam
ananestesi perlu dipertahankan dengan memberikan obat terus-menerus dengan
dosis tertentu, hal ini disebut maintenance atau pemeliharaan,setelah tindakan
selesai pemberian obat anestesi dihentikan dan fungsi tubuh penderita dipulihkan,
periode ini disebut pemulihan/recovery.
Induksi anestesia dan intubasi endotrakea sering menimbulkan goncangan
hemodinamik pada pasien hipertensi. Saat induksi sering terjadi hipotensi namun
saat intubasi sering menimbulkan hipertensi. Hipotensi diakibatkan vasodilatasi
perifer terutama pada keadaan kekurangan volume intravaskuler sehingga
preloading cairan penting dilakukan untuk tercapainya normovolemia sebelum
induksi. Disamping itu hipotensi juga sering terjadi akibat depresi sirkulasi karena
efek dari obat anestesi dan efek dari obat antihipertensi yang sedang dikonsumsi
oleh penderita, seperti ACE inhibitor dan angiotensin receptor blocker. Hipertensi
yang terjadi biasanya diakibatkan stimulus nyeri karena laringoskopi dan intubasi
endotrakea yang bisa menyebabkan takikardia dan dapat menyebabkan iskemia
miokard. Angka kejadian hipertensi akibat tindakan laringoskopi-intubasi
endotrakea bisa mencapai 25%. Dikatakan bahwa durasi laringoskopi dibawah 15
detik dapat membantu meminimalkan terjadinya fluktuasi hemodinamik Beberapa
teknik dibawah ini bisa dilakukan sebelum tindakan laringoskopi-intubasi untuk
menghindari terjadinya hipertensi.

2.5.3 Maintenence
Seperti pada induksi, pada fase pemeliharaan juga dapat dipakaiobat inhalasi atau
intravena. Obat intravena bisa diberikan secara intermitten atau continuous drip.
Kadang-kadang dipakai gabungan obat inhalasi dan intravena agar dosis masing-
masing obat dapat diperkecil. Untuk operasi-operasi tertentu diperlukan anestesi
umum sampai tingkat kedalamannya mencapai trias anestesi, pada penderita yang
tingkat analgesinya tidak cukup dan tidak mendapat pelemas otot, maka bila
mendapat rangsang nyeri dapat timbul :
a. Gerakan lengan atau kaki
8

b. Penderita akan bersuara, suara tidak timbul pada pasien yang memakaipipa
endotrakeal
c. Adanya lakrimasi
d. Pernafasan tidak teratur, menahan nafas, stridor laryngeal,broncospasme
e. Tanda-tanda adanya adrenalin release, seperti denyut nadi bertambahcepat,
f. Tekanan darah meningkat, berkeringat
Untuk mengatasi hal ini maka ada teknik tertentu agar tercapai trias anestesi pada
kedalaman yang ringan, yaitu penderita dibuat tidur dengan obat hipnotik,
analgesinya menggunakan analgetik kuat,relaksasinya menggunakan pelemas otot
(muscle relaxant) teknik ini disebut balance anestesi.
Pada balance anestesi karena menggunakan muscle relaxant, maka otot mengalami
relaksasi, jadi tidak bisa berkontraksi atau mengalami kelumpuhan, termasuk otot
respirasi, jadi penderita tidak dapatbernafas. Karena itu harus dilakukan nafas
buatan (dipompa), karenaitu balance anestesi juga disebut dengan teknik respirasi
kendali ataucontrol respiration.
Rumatan intravena biasanya menggunakan opioid dosis tinggi, fentanil 10-50
μg/kgBB. Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien tidur dengan analgesia cukup,
sehingga tinggal memberikan relaksasi pelumpuh otot. Rumatan intravena dapat
juga menggunakan opioid dosis biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan infuse
propofol 4-12mg/kgBB/jam. Bedah lama dengan anestesi total intravena,
pelumpuh otot dan ventilator. Untuk mengembangkan paru digunakan inhalasi
dengan udara + O2 atau N2O + O2.

2.5.4 Pemulihan anestesi


Pada akhir operasi, maka anestesi diakhiri dengan menghentikan pemberian obat
anestesi, pada anestesi inhalasi bersamaan dengan penghentian obat anestesi aliran
oksigen dinaikkan, hal ini disebut oksigenasi. Dengan oksigenasi maka oksigen
akan mengisi tempat yang seblumnya ditempati oleh obat anestesi inhalasi di
alveoli yang berangsur-angsur keluar mengikuti udara ekspirasi. Dengan demikian
tekanan parsial obat anestesi di alveoli juga berangsur-angsur turun,sehingga lebih
rendah dibandingkan dengan tekanan parsial obat anestesi inhalasi dalam darah,
maka terjadilah difusi obat anestesi inhalasi dari dalam darah menuju ke alveoli,
semakin tinggi perbedaantekanan parsial tersebut kecepata difusi makin
meningkat. Kesadaran penderita juga berangsur-angsur pulih sesuai dengan
turunnya kadarobat anestesi dalam darah.
9

Bagi penderita yang mendapat anestesi intravena, maka kesadarannya berangsur


pulih dengan turunnya kadar obat anestesi akibat metabolisme atau ekskresi setelah
pemberiannya dihentikan.Selanjutnya pada penderita yang dianestesi dengan
respirasi spontan tanpa menggunakan pipa endotrakeal maka tinggal menunggu
sadarnya penderita, sedangkan bagi penderita yang menggunakan pipa endotrakeal
maka perlu dilakukan ekstubasi (melepas pipa ET) ekstubasi bisa dilakukan pada
waktu penderita masih teranestesi dalam dan dapat juga dilakukan setelah
penderita sadar. Ekstubasi pada keadaan setengah sadar membahayakan penderita,
karena dapat terjadi spasme jalan napas, batuk, muntah, gangguan kardiovaskuler,
naiknya tekanan intra okuli dan naiknya tekanan intrakranial. Ekstubasi pada
waktu penderita masih teranestesi dalam mempunyai resiko tidak terjaganya jalan
nafas dalam kurun waktu antara tidak sadar sampai sadar.

2.5.5 Skor Pemulihan Pasca Anestesi


Sebelum pasien dipindahkan ke ruangan setelah dilakukan operasiter utama yang
menggunakan general anestesi, maka perlu melakukan penilaian terlebih dahulu
untuk menentukan apakah pasien sudah dapat dipindahkan ke ruangan atau masih
perlu di observasi di ruang Recovery room (RR).
10

BAB III
LAPORAN KASUS

1.1 Identitas Pasien


Nama : Tn. G
Umur : 19 tahun
Alamat : Tambu
BB : 62 Kg
TB : 160 cm
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Pekerjaan :-
Ruangan : Ruang Aster
Tanggal masuk rumah sakit : 05 Juni 2019
Tanggal operasi : 13 Juni 2019

1.2 Anamnesis
Dilakukan anamnesis secara heteroanamnesis (ibu dan ayah pasien)
Keluhan utama:
Nyeri pada rahang bawah

Riwayat penyakit sekarang:


Pasien laki-laki usia 19 tahun masuk rumah sakit dengan keluhan rahang bawah
sebelah kiri terasa sakit setelah terjadi kecelakaan lalu lintas, pasien juga mengeluh
nyeri pada lengan kiri, riwayat pingsan setelah kecelekaan (-), mual (-), muntah (-) .

Riwayat penyakit dahulu :


Penyakit jantung (-), Riwayat operasi (-),Riwayat Alergi (-), Riwayat Asma (-).

1.3 Pemeriksaan Fisik


Status Generalis
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
Tanda-tanda vital
 Tekanan darah : 120/80 mmhg
 Nadi : 92 x/m
 Respirasi : 18 x/m
11

 Suhu badan : 37,2 0C


Kepala : Conjungtiva anemis -/-, sclera ikterik -/-, Bibir sianosis -/-, tampak
bengkak pada pipi kiri
Leher : Pembesaran KGB -/- , massa abnormal -/-
Thoraks : Paru : Simetris, retktraksi (-), suara napas vesikuler, rhonki (-),
wheezing (-)
Jantung : Bunyi jantung I-II reguler, murmur (-)
Abdomen : datar, bising usus (+), hepar dan lien tidak ada pembesaran.
Ekstremitas : akral hangat, edema (-)
Status Anestesi
PS ASA : II
Hari/Tanggal : Jumat, 13/06/2019
Ahli Anestesiologi : dr. IA, Sp. An, M.Kes.
Ahli Bedah Mulut : drg. M.G. Sp.BM
Diagnosa Pra Bedah : Fraktur Mandibula Sinistra
Diagnosa Pasca Bedah : Fraktur Mandibula Sinistra
TTV : TD : 120/80 mmhg, N : 92 x/mnt, RR : 18 x/mnt
T : 37,2 0C
B1 : airway bebas, retraksi (-), gerak dada simetris, suara
nafas vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-, RR : 18
x/m
B2 : Perfusi : hangat, kering, merah. Capillary Refill Time
< 2 detik, BJ : I-II regular, konjungtiva anemis -/-,
nadi : 92x/m
B3 : Kesadaran composmentis, GCS E4V1M6 , refleks
cahaya +/+.
B4 : Terpasang pampers, urin 70 cc, warna kuning jernih
B5 : Perut datar, mual (-), muntah (-), bising usus (+),
nyeri tekan (-)
B6 : Akral hangat (+), edema (-).
Medikasi pra bedah : 1. Midazolam 2 mg (IV)
2. Propofol 100 mg (IV)
3. Fentanyl 100 mcg (IV)
4. Atracurium Besilate 10 mg (IV)
5. dexamethasone 10 mg (IV)
6. Asam Tranexamat 500 mg (IV)
12

Jenis Pembedahan : pro reposisi


Lama Operasi : 10.30 – 12.05 WITA
Jenis Anestesi : Anestesi General
Anestesi dengan : Sevofluran + 03
Teknik Anestesi : Pre oksigenasi 4’, Induksi IV, Intubasi Endotrakeal
(ETT 3,5 mm).
Pernafasan : Spontan
Posisi : Terlentang
Infus : Tangan kana, IV line abocath 22 G, cairan RL.
Penyulit Pembedahan :-
TTV Pada Akhir : TD : 138/102 mmhg, N : 105 x/mnt
Pembedahan

1.4 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Laboratorium
Darah Lengkap 05 juni 2019 Nilai Rujukan
Hemoglobin 14,0 g/dl 13,2-17,3 g/dl
Leukosit 15,64/mm3 3,800-10,600 /mm3
Trombosit 257.000/mm3 150.000-440.000 /mm3
Creatinin 1,17 mg/dl 0,70-1,30 mg/dl
Ureum 6,7 mg/dl 18,0-55,0 mg/dl
HBsAg Non-Reactive -
HIV - -

1.5 PERSIAPAN PRE OPERATIF


Di Ruangan
a. Surat persetujuan operasi dan Surat persetujuan tindakan anestesi.
b. Puasa 8 jam pre operasi
c. Pasang infus RL pada saat puasa dengan kecepatan 20 tpm
Di Kamar Operasi
Hal-hal yang perlu dipersiapkan di kamar operasi antara lain adalah:
a. Meja operasi dengan asesoris yang diperlukan
b. Mesin anestesi dengan sistem aliran gasnya
c. Alat-alat resusitasi (STATICS)
d. Obat-obat anestesia yang diperlukan.
13

e. Obat-obat resusitasi, misalnya; adrenalin, atropine, aminofilin, natrium bikarbonat


dan lain-lainnya.
f. Tiang infus, plaster dan lain-lainnya.
g. Alat pantau tekanan darah, suhu tubuh, dan EKG dipasang.
h. Alat-alat pantau yang lain dipasang sesuai dengan indikasi, misalnya; “Pulse
Oxymeter”
i. Kartu catatan medis anestesia.

Persiapan alat (STATICS)


a. Scope :Stetoscope untuk mendengarkan suara paru dan jantung.LaringoScope:
pilih bilah (blade) yang sesuai dengan usia pasien. Lampu harus cukup terang.
b. Tube :Pipa trakea, pilih sesuai ukuran pasien
c. Airway :Pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa hidung-faring
(nasi-tracheal airway). Pipa ini menahan lidahsaat pasien tidak sadar untuk
mengelakkan sumbatan jalan napas
d. Tape :Plaster untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut.
e. Introducer :stilet dari kawat dibungkus plastic (kabel) yang mudah dibengkokkan
untuk pemandu supaya pipa trakea mudah dimasukkan.
f. Connector : Penyambung antara pipa dan peralatan anestesia
g. Suction :Penyedot lendir, ludah dan lain-lainnya

1.6 PROSEDUR GENERAL ANESTESI


a. Pasien di posisikan supinasi, infus terpasang di tangan kanan dengan cairan RL 20
tpm
b. Memasang monitor untuk melihat heart rate, saturasi oksigen dan laju respirasi.
c. Memposisikan leher sedikit fleksi dan kepala ekstensi pada leher
d. Memberikan oksigenasi dan sevofluran kepada pasien melalui masker yang
melekat pada wajah dengan aliran 8 lpm dengan mula-mula dosis sevofluran 0,5%
kemudian dinaikkan secara perlahan hingga pasien tertidur. Sungkup muka mula-
mula jaraknya beberapa sentimeter dari mulut dan hidung, kalau sudah tidur barn
dirapatkan ke muka penderita.
e. Diberikan obat premedikasi yaitu Midazolam 2 mg/iv, Fentanyl 100 µg/iv
f. Diberikan obat induksi yaitu propofol 100 mg/iv
g. Memberikan obat relaksan yaitu Atracurium 10 mg/iv tunggu 3 menit.
h. Memberikan dexamethasone 10 mg/iv
14

i. Memberikan Asam Tranexamat 500 mg (IV)


j. Memposisikan leher sedikit fleksi dan kepala ekstensi pada leher
k. Melakukan intubasi trachea melalui hidung (nasopharyngeal) agar memudahkan
operator dalam melakukan pembedahan
l. Memasukkan pipa ET dari sebelah kanan lubang hidung ke faring sampai
bagian proksimal dari cuff ET melewati pita suara, pada pasien ini
menggunakan ETT dengan ukuran 7,5 mm
m. stilet pipa ET dan mengisi balon dengan udara 10 ml. Waktu intubasi ±20
detik.
n. Menghubungkan pipa ET dengan ambubag dan melakukan ventilasi sambil
melakukan auskultasi, pertama pada lambung (tidak terdengar bunyi gurgling)
artinya udara tidak masuk ke esofagus.Kemudian mengecek pada paru kanan
dan kiri sambil memperhatikan pengembangan dada, terdengar bunyi napas dan
pengembangan paru yang simetris kiri dan kanan.
o. Melakukan fiksasi pipa dengan plester agar tak terdorong atau tercabut di sebelah
kanan mulut pasien.
p. Maintenance selama operasi diberikan:
 Sevoflurans 3 vol %
 O2 4 lpm via Endo Trachea Tube (ETT)
q. Operasi selesai, pasien bernafas spontan, adekuat dan hemodinamik stabil.
Dilakukan ekstubasi dengan pasien dalam keadaan sadar
r. Diberikan ketorolac 30 mg/iv
s. Pasien di transfer recovery room

1.7 Observasi Durante Operasi


Observasi Heart Rate

waktu
HR (mmhg)
10.00
140/95
10.05
145/110
10.10
142/105
10.15
15

138/102
10.20
120/98
10.25
137/105
10.30
138/102
10.35

140/100

10.40
142/102
10.45
137/92

10.50
135/95
10.55
139/94

11.00
140/101

11. 05
132/90

11.10
135/95

11.15
137/92

11.20
145/110

11.25
142/105

11.30
138/102

11.35
120/98
16

11.40
137/105

11.45
138/102

11.50
132/90

11.55
135/95

11.60
137/92

12.00
145/110

12.05
138/102

1.8 Resume
Pasien laki-laki usia 19 tahun masuk rumah sakit dengan keluhan rahang
bawah sebelah kiri terasa sakit setelah terjadi kecelakaan lalu lintas, pasien juga
mengeluh nyeri pada lengan kiri
Pasien akhirnya menjalani operasi pro reposisi pada tanggal 13 juni 2019
dengan anestesi umum menggunakan obat premedikasi dan medikasi, dan menjalani
operasi selama 1 jam 35 menit
17

BAB IV
PEMBAHASAN

1.
4.1 Pre Operatif
Berdasarkan anamnesis didapatkan pasien merupakan pasien laki-laki, 19
tahun, merupakan pasien dewasa yang mengalami trauma rahang bawah akibat
kecelakaan lalu lintas. Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang yang telah dilakukan, diketahui pasien menderita fraktur mandibular
sinistra
Pasien ditetapkan pada klasifikasi PS ASA II dimana pasien mengalami
peningkatan kadar leukosit pada pemeriksaan penunjang.
Pada kasus ini, dilakukan penilaian status dan evaluasi status generalis dengan
pemeriksaan fisik dan penunjang (pemeriksaan laboratorium) untuk mengoreksi
kemungkinan adanya gangguan fungsi organ yang mengancam serta mempersiapkan
darah untuk transfusi untuk mengantisipasi adanya perdarahan pada pasien. Selain
itu, pasien dipuasakan selama 8 jam sebelum dilakukan operasi.
18

4.2 Durante Operasi


Anestesi umum dipilih menjadi pilihan anestesi. Pada kasus ini, penderita
merupakan pasien dewasa yang memiliki stress psikis, stress fisik, juga untuk
menjamin kenyamanan selama operasi dan akan dilakukan tindakan bedah pada
daerah wajah sehingga anestesi umum merupakan pilihan yang tepat. Dimana pasien
dibuat tidak sadar dengan anestesi umum agar operator (ahli bedah) mudah
melakukan tindakan.
Pada kasus ini dilakukan pemberian premedikasi kurang lebih 5 menit
sebelum dilakukan induksi anestesi dengan tujuan untuk melancarkan induksi,
rumatan dan membangun reaksi anestesi itu sendiri, diantaranya yaitu sebelum
masuk ruangan operasi diberi obat midazolam injeksi sebanyak 2 mg . Selanjutnya,
setelah masuk ruangan operasi pasien diberikan anestesi inhalasi sevoflurane + 03
selama 5 menit. Lalu, pasien diberi obat induksi anestesi yakni propofol.
Memaksimalkan proses induksi anestesi pada pasien dengan diberikannya fentanyl .
Merelaksasikan otot, untuk mengurangi tegangan tonus otot sehingga akan
mempermudah tindakan pembedahan dengan diberikannya atracurium besilate.
Selain itu, asam tranexamat , dengan pemberiannya premedikasi diatas, tim anestesi
dengan mudah melakukan induksi anestesi dan tim bedah mulut dapat terbantu pada
saat melakukan tndakan operatif.
Jenis anestesi yang diganakan bergantung pada penyakit dan keadaan pasien.
Pada pasien ini dipilih teknik general anestesi inhalasi dengan teknik intubasi. Pada
fraktur mandibula, proses intubasi akan sulit dan intubasi sebaiknya dilakukan
melalui nasofaringeal airway (hidung). Pada pasien ini tetap dipilih metode intubasi
melalui oral dengan pertimbangan bahwa fraktur baru terjadi 5 hari yang lalu
sehingga belum terbentuk hard callus. Selain itu, penggunaan intubasi melalui nasal
akan menyebabkan komplikasi epistaksis dan diseksi submukosa. Pemberian tampon
setelah intubasi untuk menghindari pendarahan dan serpihan tulang masuk kedalam
jalan nafas.
Untuk maintenance selama operasi berlangsung diberikan O2 dan
Sevoflurane dengan cara inhalasi dengan mesin anestesia. Selama operasi
berlangsung, dilakukan monitoring perioperasi untuk membantu ahli anestesi
mendapatkan informasi fungsi organ vital selama perioperasi, supaya dapat bekerja
dengan aman. Monitoring secara elektronik membantu ahli anestesi mengadakan
observasi pasien lebih efisien secara terus menerus. Selama operasi berlangsung juga
tetap diberikan cairan intravena RL. Setelah operasi selesai, dilakukan tindakan
suction dan reoksigenasi menggunakan face mask dengan Oksigen 3-4 liter/menit.
19

Pada pasien ini diberikan medikasi durante operasi yaitu fentanyl dan
ketorolac secara intravena. Indikasi pemberian propofol adalah sebagai anesthesia
rumatan untuk menjaga kedalaman anestesi dengan cara mengatur kosentrasi
didalam tubuh pasien. Indikasi pemberian fentanyl durante operasi yang bekerja
sebagai analgesik bertujuan untuk meringankan rasa sakit. Lalu pada akhir operasi ,
diberikan ketorolac secara intravena juga untuk memberi efek analgesic beberapa
jam post operasi.

BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
a. Klasifikasi status penderita digolongkan dalam PS ASA 1 karena pasien tidak
memiliki riwayat penyakit lain
b. Pada kasus ini dipilih anestesi umum.
c. Pada kasus ini dilakukan premedikasi, dimana premedikasi berguna untuk
meredakan hiperaktivitas, kecemasan dan ketakutan pada pasien itu sendiri
serta memperlancar induksi anestesi.
20

DAFTAR PUSTAKA

W. Harry Archer, B.S., M.A., D.D.S.1975.Oral and Maxillofacial Edition


5th.Philadelphia:W. B. Saunders Comp.

Pierce A, Neil R. At a glance ilmu bedah. Alih bahasa. Umami V. Jakarta: Erlangga,
2007: 85.

Sapardan S. Fraktur dan dislokasi. Dalam buku: Reksoprodjo S. eds. Kumpulan kuliah
ilmu bedah, Bagian ilmu bedah FKUI: Binarupa aksara, 1995: 502-503.

Sjamsuhidajat R. Jong WD. Buku ajar ilmu bedah. Edisi kedua. Jakarta: EGC, 2005: 91-
4.

Davidson,J.K.,Eckhardt III William F., Perese Deniz A., Clinical anesthesiaProcedures


of the Massachusetts General Hospital. 4th edition. Boston, Little, Brownand
Company, 1993G.3.
 
Edward Morgan, dkk., Clinical Anesthesiology, London,McGraw-Hill,20064.
 
Latief said A., Suryadi kartini A., Daehlan M. Ruswan, Petunjuk praktis anestesiologi.2nd
edition, Bagian anestesiologi dan terapi intensif Fakultas Kedokteran
UniversitasIndonesia, 2002.
21

Anda mungkin juga menyukai