BAGIAN ANESTESI
UNIVERSITAS TADULAKO
REFLEKSI KASUS
“General Anestesi Inhalasi Pada Kasus Fraktur Mandibula”
DISUSUN OLEH :
YUDIT SETIAWAN
N 111 17 138
PEMBIMBING :
dr. Imtihana Amri, Sp.An., M.Kes.
DAFTAR ISI
Halaman Judul............................................................................................... i
Daftar Isi........................................................................................................
ii BAB I Pendahuluan.....................................................................................
1
BAB II Tinjauan Pustaka.............................................................................. 2
2.1 Definisi ……………........................................................................ 2
2.2 Tatalaksana Fraktur Mandibula…………...................................... 3
2.3 Anatomi dan Fisiologi Respirasi...………...................................... 3
2.4 Anastesi Umum……………….....………...................................... 6
BAB III Laporan Kasus ..................................................................................... 10
BAB IV Pembahasan …..................................................................................... 14
BAB V Penutup ……..…................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
penanganan syok atau circulation, penanganan luka jaringan lunak dan imobilisasi
sementara serta evaluasi terhadap kemungkinan cedera otak. Tahap kedua adalah
penanganan fraktur secara definitif. Penanganan fraktur mandibula secara umum
dibagi menjadi dua metoda yaitu reposisi tertutup dan terbuka. Pada reposisi tertutup
atau konservatif , reduksi fraktur dan imobilisasi mandibula dicapai dengan
menempatkan peralatan fiksasi maksilomandibular. Reposisi terbuka bagian yang
fraktur dibuka dengan pembedahan, segmen direduksi dan difiksasi secara langsung
dengan menggunakan kawat atau plat yang disebut wire atau plate osteosynthesis.
Teknik terbuka dan tertutup tidak selalu dilakukan tersendiri, tetapi kadangkadang
dikombinasi. Pendekatan ketiga adalah merupakan modifikasi dari teknik terbuka
yaitu metode fiksasi skeletal eksternal. Pada penatalaksanaan fraktur mandibula
selalu diperhatikan prinsip-prinsip dental dan ortopedik sehingga daerah yang
mengalami fraktur akan kembali atau mendekati posisi anatomis sebenarnya dan
fungsi mastikasi yang baik.
Reposisi tertutup (closed reduction) patah tulang rahang bawah yaitu,
penanganan konservatif dengan melakukan reposisi tanpa operasi langsung pada
garis fraktur dan melakukan imobilisasi dengan interdental wiring atau eksternal pin
fixation. Sedangkan, reposisi terbuka (open reduction); tindakan operasi untuk
melakukan koreksi deformitas maloklusi yang terjadi pada patah tulang rahang
bawah dengan melakukan fiksasi secara langsung dengan menggunakan kawat (wire
osteosynthesis) atau plat (plat osteosynthesis) .
Respirasi adalah pertukaran gas, yaitu oksigen (O2) yang dibutuhkan tubuh
untuk metabolisme sel dan karbondioksida (CO2) yang dihasilkan dari
metabolisme tersebut dikeluarkan dari tubuh melalui paru.
Sistem respirasi terdiri dari:
1. Saluran nafas bagian atas
Pada bagian ini udara yang masuk ke tubuh dihangatkan, disaring
dan dilembabkan
2. Saluran nafas bagian bawah
Bagian ini menghantarkan udara yang masuk dari saluran bagian
atas ke alveoli
3. Paru, terdiri dari :
Alveoli, terjadi pertukaran gas antara O2 dan CO2
4
2. Trakhea
Merupakan pipa silider dengan panjang ± 11 cm, berbentuk ¾ cincin
tulang rawan seperti huruf C. Bagian belakang dihubungkan
oleh membran fibroelastic menempel pada dinding depan usofagus.
3. Bronkhi
Merupakan percabangan trakhea kanan dan kiri. Tempat
percabangan ini disebut carina. Brochus kanan lebih pendek, lebar
dan lebih dekat dengan trachea.
Bronchus kanan bercabang menjadi : lobus superior, medius,
inferior. Brochus kiri terdiri dari : lobus superior dan inferior
4. Alveoli
Terdiri dari : membran alveolar dan ruang interstisial.
Membran alveolar :
Small alveolar cell dengan ekstensi ektoplasmik ke arah
rongga alveoli
Large alveolar cell mengandung inclusion bodies yang
menghasilkan surfactant.
Anastomosing capillary, merupakan system vena dan arteri
yang saling berhubungan langsung, ini terdiri dari : sel
endotel, aliran darah dalam rongga endotel
Interstitial space merupakan ruangan yang dibentuk oleh : endotel
kapiler, epitel alveoli, saluran limfe, jaringan kolagen dan sedikit
serum.
Surfactant
Mengatur hubungan antara cairan dan gas. Dalam keadaan normal
surfactant ini akan menurunkan tekanan permukaan pada waktu
ekspirasi, sehingga kolaps alveoli dapat dihindari.
Sirkulasi Paru
Mengatur aliran darah vena – vena dari ventrikel kanan ke arteri
pulmonalis dan mengalirkan darah yang bersifat arterial melaului
vena pulmonalis kembali ke ventrikel kiri.
operasi. Tahap awal dari anestesi umum adalah induksi. Induksi anestesi
merupakan peralihan dari keadaan sadar dengan reflek perlindungan masih utuh
sampai dengan hilangnya kesadaran (ditandai dengan hilangnya reflek bulu mata)
akibat pemberian obat–obat anestesi. Tindakan pembedahan terutama yang
memerlukan anestesi umum diperlukan teknik intubasi, baik intubasi endotrakeal
maupun nasotrakeal.
Intubasi adalah memasukan pipa ke dalam rongga tubuh melalui mulut atau
hidung. Intubasi terbagi menjadi 2 yaitu intubasi orotrakeal (endotrakeal) dan
intubasi nasotrakeal. Intubasi endotrakeal adalah tindakan memasukkan pipa trakea
ke dalam trakea melalui rima glottis dengan mengembangkan cuff, sehingga ujung
distalnya berada kira-kira dipertengahan trakea antara pita suara dan bifurkasio
trakea. Tujuan dilakukannya tindakan intubasi endotrakeal adalah untuk
memudahkan pemberian anestesi, membersihkan saluran trakeobronkial.
Mempertahankan jalan nafas agar tetap paten, mencegah aspirasi, serta
mempermudah pemberian ventilasi dan oksigenasi bagi pasien operasi.
2.5.2 Induksi
Pemberian anestesi dimulai dengan tindakan untuk membuat pasien dari sadar
menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan
pembedahan, tergantung lama operasinya, untuk operasi yang waktunya pendek
mungkin cukup dengan induksi saja. Tetapi untuk operasi yang lama, kedalam
ananestesi perlu dipertahankan dengan memberikan obat terus-menerus dengan
dosis tertentu, hal ini disebut maintenance atau pemeliharaan,setelah tindakan
selesai pemberian obat anestesi dihentikan dan fungsi tubuh penderita dipulihkan,
periode ini disebut pemulihan/recovery.
Induksi anestesia dan intubasi endotrakea sering menimbulkan goncangan
hemodinamik pada pasien hipertensi. Saat induksi sering terjadi hipotensi namun
saat intubasi sering menimbulkan hipertensi. Hipotensi diakibatkan vasodilatasi
perifer terutama pada keadaan kekurangan volume intravaskuler sehingga
preloading cairan penting dilakukan untuk tercapainya normovolemia sebelum
induksi. Disamping itu hipotensi juga sering terjadi akibat depresi sirkulasi karena
efek dari obat anestesi dan efek dari obat antihipertensi yang sedang dikonsumsi
oleh penderita, seperti ACE inhibitor dan angiotensin receptor blocker. Hipertensi
yang terjadi biasanya diakibatkan stimulus nyeri karena laringoskopi dan intubasi
endotrakea yang bisa menyebabkan takikardia dan dapat menyebabkan iskemia
miokard. Angka kejadian hipertensi akibat tindakan laringoskopi-intubasi
endotrakea bisa mencapai 25%. Dikatakan bahwa durasi laringoskopi dibawah 15
detik dapat membantu meminimalkan terjadinya fluktuasi hemodinamik Beberapa
teknik dibawah ini bisa dilakukan sebelum tindakan laringoskopi-intubasi untuk
menghindari terjadinya hipertensi.
2.5.3 Maintenence
Seperti pada induksi, pada fase pemeliharaan juga dapat dipakaiobat inhalasi atau
intravena. Obat intravena bisa diberikan secara intermitten atau continuous drip.
Kadang-kadang dipakai gabungan obat inhalasi dan intravena agar dosis masing-
masing obat dapat diperkecil. Untuk operasi-operasi tertentu diperlukan anestesi
umum sampai tingkat kedalamannya mencapai trias anestesi, pada penderita yang
tingkat analgesinya tidak cukup dan tidak mendapat pelemas otot, maka bila
mendapat rangsang nyeri dapat timbul :
a. Gerakan lengan atau kaki
8
b. Penderita akan bersuara, suara tidak timbul pada pasien yang memakaipipa
endotrakeal
c. Adanya lakrimasi
d. Pernafasan tidak teratur, menahan nafas, stridor laryngeal,broncospasme
e. Tanda-tanda adanya adrenalin release, seperti denyut nadi bertambahcepat,
f. Tekanan darah meningkat, berkeringat
Untuk mengatasi hal ini maka ada teknik tertentu agar tercapai trias anestesi pada
kedalaman yang ringan, yaitu penderita dibuat tidur dengan obat hipnotik,
analgesinya menggunakan analgetik kuat,relaksasinya menggunakan pelemas otot
(muscle relaxant) teknik ini disebut balance anestesi.
Pada balance anestesi karena menggunakan muscle relaxant, maka otot mengalami
relaksasi, jadi tidak bisa berkontraksi atau mengalami kelumpuhan, termasuk otot
respirasi, jadi penderita tidak dapatbernafas. Karena itu harus dilakukan nafas
buatan (dipompa), karenaitu balance anestesi juga disebut dengan teknik respirasi
kendali ataucontrol respiration.
Rumatan intravena biasanya menggunakan opioid dosis tinggi, fentanil 10-50
μg/kgBB. Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien tidur dengan analgesia cukup,
sehingga tinggal memberikan relaksasi pelumpuh otot. Rumatan intravena dapat
juga menggunakan opioid dosis biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan infuse
propofol 4-12mg/kgBB/jam. Bedah lama dengan anestesi total intravena,
pelumpuh otot dan ventilator. Untuk mengembangkan paru digunakan inhalasi
dengan udara + O2 atau N2O + O2.
BAB III
LAPORAN KASUS
1.2 Anamnesis
Dilakukan anamnesis secara heteroanamnesis (ibu dan ayah pasien)
Keluhan utama:
Nyeri pada rahang bawah
waktu
HR (mmhg)
10.00
140/95
10.05
145/110
10.10
142/105
10.15
15
138/102
10.20
120/98
10.25
137/105
10.30
138/102
10.35
140/100
10.40
142/102
10.45
137/92
10.50
135/95
10.55
139/94
11.00
140/101
11. 05
132/90
11.10
135/95
11.15
137/92
11.20
145/110
11.25
142/105
11.30
138/102
11.35
120/98
16
11.40
137/105
11.45
138/102
11.50
132/90
11.55
135/95
11.60
137/92
12.00
145/110
12.05
138/102
1.8 Resume
Pasien laki-laki usia 19 tahun masuk rumah sakit dengan keluhan rahang
bawah sebelah kiri terasa sakit setelah terjadi kecelakaan lalu lintas, pasien juga
mengeluh nyeri pada lengan kiri
Pasien akhirnya menjalani operasi pro reposisi pada tanggal 13 juni 2019
dengan anestesi umum menggunakan obat premedikasi dan medikasi, dan menjalani
operasi selama 1 jam 35 menit
17
BAB IV
PEMBAHASAN
1.
4.1 Pre Operatif
Berdasarkan anamnesis didapatkan pasien merupakan pasien laki-laki, 19
tahun, merupakan pasien dewasa yang mengalami trauma rahang bawah akibat
kecelakaan lalu lintas. Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang yang telah dilakukan, diketahui pasien menderita fraktur mandibular
sinistra
Pasien ditetapkan pada klasifikasi PS ASA II dimana pasien mengalami
peningkatan kadar leukosit pada pemeriksaan penunjang.
Pada kasus ini, dilakukan penilaian status dan evaluasi status generalis dengan
pemeriksaan fisik dan penunjang (pemeriksaan laboratorium) untuk mengoreksi
kemungkinan adanya gangguan fungsi organ yang mengancam serta mempersiapkan
darah untuk transfusi untuk mengantisipasi adanya perdarahan pada pasien. Selain
itu, pasien dipuasakan selama 8 jam sebelum dilakukan operasi.
18
Pada pasien ini diberikan medikasi durante operasi yaitu fentanyl dan
ketorolac secara intravena. Indikasi pemberian propofol adalah sebagai anesthesia
rumatan untuk menjaga kedalaman anestesi dengan cara mengatur kosentrasi
didalam tubuh pasien. Indikasi pemberian fentanyl durante operasi yang bekerja
sebagai analgesik bertujuan untuk meringankan rasa sakit. Lalu pada akhir operasi ,
diberikan ketorolac secara intravena juga untuk memberi efek analgesic beberapa
jam post operasi.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
a. Klasifikasi status penderita digolongkan dalam PS ASA 1 karena pasien tidak
memiliki riwayat penyakit lain
b. Pada kasus ini dipilih anestesi umum.
c. Pada kasus ini dilakukan premedikasi, dimana premedikasi berguna untuk
meredakan hiperaktivitas, kecemasan dan ketakutan pada pasien itu sendiri
serta memperlancar induksi anestesi.
20
DAFTAR PUSTAKA
Pierce A, Neil R. At a glance ilmu bedah. Alih bahasa. Umami V. Jakarta: Erlangga,
2007: 85.
Sapardan S. Fraktur dan dislokasi. Dalam buku: Reksoprodjo S. eds. Kumpulan kuliah
ilmu bedah, Bagian ilmu bedah FKUI: Binarupa aksara, 1995: 502-503.
Sjamsuhidajat R. Jong WD. Buku ajar ilmu bedah. Edisi kedua. Jakarta: EGC, 2005: 91-
4.