Anda di halaman 1dari 10

LAPORAN PENDAHULUAN

PEMENUHAN KEBUTUHAN NUTRISI

PADA PASIEN DENGAN FRAKTUR MAKSILA DI RUANG DAHLIA

STASE KEPERAWATAN DASAR PROFESI


PROGRAM STUDI PROFESI NERS
SEMESTER I

Disusun Oleh :
EVI NUR JANAH
I4B022008

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
PROGRAM PROFESI NERS
PURWOKERTO
2022
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Fraktur adalah hilang atau putusnya kontinuitas jaringan keras tubuh. Fraktur maksilofasial adalah
fraktur yang terjadi pada tulang-tulang wajah yaitu tulang frontal, temporal, orbitozigomatikus, nasal,
maksila dan mandibula. Fraktur maksilofasial lebih sering terjadi sebagai akibat dari faktor yang
datngnya dari luar seperti kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja, kecelakaan akibat olah raga dan
juga sebagai akibat dari tindakan kekerasan. Tujuan utama perawatan fraktur maksilofasial adalah
rehabilitasi penderita secara maksimal yaitu penyembuhan tulang yang cepat, pengembalian fungsi
okuler, fungsi pengunyah, fungsi hidung, perbaikan fungsi bicara, mencapai susunan wajah dan gigi-
geligi yang memenuhi estetis serta memperbaiki oklusi dan mengurangi rasa sakitakibat adanya
mobilitas segmen tulang. Wajah dapat dibagi menjadi tiga daerah (sub-unit), setiap daerah memiliki
kegunaan yang berbeda-beda. Sub-unit paling atas terdiri dari tulang frontal yang secara prinsip
berfungsi berfungsi sebagai pelindung otak bagian lobus anterior tetapi juga sebagai pembentuk atap
mata. Sub-unit bagian tengah wajah memiliki struktur yang sangat berbeda, dengan ciri struktur
dengan integritas yang rendah dan disatukan oleh kerangka tulang yang terdiri dari pilar-pilar atau
penopang. Pilar-pilar ini disebut juga buttresses yang terdiri dari pilar frontonasal maksila pada
anteromedial, zigomatiko-maksila sebagai pilar lateral dan procesus pterigoid sebagai pilar posterior.
Sub-unit bagian bawah adalah mandibula. Bagian ini memilki struktur integritas yang paling
baiksebagai konsekuensi dari fungsinya dan berhubungan dengan perlekaan otot-otot. Manson yang
dikutip oleh Mahon dkk menggambarkan fraktur panfasial dengan membagi daerah wajah menjadi
dua bagian yang dibatasi oleh garis fraktur Le Fort I. Setengah wajah bagian bawah dibagi menjadi
dua bagian yaitu daerah oklusal yang terdiri dari prosesus alveolaris maksila dan mandibula serta
tulang palatum dan bagian bawah terdiri dari vertikal ramus dan horisontal basal mandibula.
Setengahwajah bagian atas terdiri dari tulang frontal dan daerah midfasial. Sutura palatina memiliki
struktur yang sama dengan sutura daerah kranial. Pearsson dan Thilendar menemukan bahwa
sinostosis pada sutura palatina akan terjadi pada usia antara 15 dan 19 tahun, yang akan menyatukan
segmen lateral palatal, sehingga jika terjadi trauma akan menimbulkan fraktur para sagital yang
merupakan daerah tulang yang tipis. Seperti yang dikemukakan oleh Manson bahwa fraktur sagital
lebih sering terjadi pada individu yang lebih mugah sedangkan fraktur para sagital lebih sering terjadi
pada orang dewasa. Tulang mandibula merupakan daerah yang paling sering mengalami gangguan
penyembuhan frakturbaik itu malunion ataupun ununion. Ada beberapa faktor risiko yang secara
specifik berhubungan dengan fraktur mandibula dan berpotensi untuk menimbulkan
terjadinyamalunion ataupun non-union. Faktor risiko yang paling bedar adalah infeksi, kemudian
aposisi yang kurang baik, kurangnya imobilisasi segmen fraktur, adanya benda asing, tarikan otot
yang tidak menguntungkan pada segmen fraktur. Malunion yang berat pada mandibula akan
mengakibatkan asimetri wajah dan dapat juga disertai gangguan fungsi. Kelainan-kelainan ini dapat
diperbaiki dengan melakukan perencanaan osteotomi secara tepat untuk merekonstruksi bentuk
lengkung mandibula. Terjadinya gangguan bentuk lengkukng pada fraktur mandibula seringkali
merupakan akibat dari reduksi yang kurang adekuat. Kegagalan pada penyusunan kembali bentuk
lengkung secara anatomis akan menimbulkan keadaan prematur kontak dan gangguan fungsi
pengunyahan. Kurang tepatnya aposisi segmen fraktur ini merupakan akibat dari perawatan yang
terlambat ataupun fraktur yang tidak dilakukan perawatan. Pada beberapa kasus untuk untuk
membantu reduksi fraktur dilakukan pembuatan model studi pra-operasi dan juga pembuatan model
studi bedah. Fraktur Le Fort (LeFort Fractures) merupakan tipe fraktur tulangtulang wajah yang klasik
terjadi pada trauma-trauma di wajah. Fraktur Le Fort diambil dari nama seorang ahli bedah Perancis
René Le Fort (1869-1951) yang mendeskripsikannya pertama kali di awal abad 20. Braun Stein
melaporkan di USA kasus trauma kepala dan wajah terjadi kira-kira 72, 1 %. Trauma wajah meliputi :
trauma pada soft tissue, organ – organ khusus dan tulang – tulang. Hal ini merupakan suatu kegawat
daruratan yang memerlukan tindakan emergency karena dapat menyebabkan sumbatan jalan nafas,
cedera otak berat, dan mungkin fraktur vertebra cervikalis. Tujuan awal terapi adalah membebaskan
jalan nafas.
B. Tujuan
1. Mengetahui pengertian pemenuhan kebutuhan nutrisi.
2. Mengetahui tujuan pemenuhan kebutuhan nutrisi.
3. Mengetahui indikasi pemenuhan kebutuhan nutrisi.
4. Mengetahui kontra-indikasi pemenuhan kebutuhan nutrisi.
5. Mengetahui hal-hal yang harus diperhatikan saat melakukan pemenuhan kebutuhan
nutrisi.
6. Mengetahui prosedur pemenuhan kebutuhan nutrisi.
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Pengertian
Istilah gizi berasal dari bahasa arab gizawi yang berarti nutrisi. Gizi adalah substansi organik dan
nonorganik yang ditemukan dalam makanan dan dibutuhkan oleh tubuh agar dapat berfungsi
dengan baik (Kozier, 2004 : 1116). Nutrisi berfungsi untuk membentuk dan memelihara jaringan
tubuh, mengatur proses-proses dalam tubuh, sebagai sumber tenaga, serta untuk melindungi
tubuh dari serangan penyakit. Fungsi utama nutrisi adalah untuk memberi energi bagi aktivitas
tubuh, membentuk struktur kerangka dan jaringan tubuh, serta mengatur berbagai proses kimia
di dalam tubuh (Mubarak, 2008:27). Nutrien adalah sejenis zat kimia organik atau anorganik
yang terdapat dalam makanan dan dibutuhkan oleh tubuh untuk menjalankan fungsinya. Enam
zat nutrisi esensial (kelompok nutrien) yaitu : air, karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan
mineral mempunyai tiga fungsi utama yaitu : 1) Menyediakan energi untuk proses dan
pergerakan tubuh 2) Menyediakan “struktur material” untuk jaringan tubuh seperti tulang dan
otot 3) Mengatur proses tubuh.

B. Tujuan
Berdasarkan Ariningrum & Subandono (2018), tujuan pemasahgan infus antara lain :
1. Memperbaiki atau mencegah gangguan cairan dan elektrolit pada klien yang sakit
akut.
2. Mencegah ketidakseimbangan cairan dan elektrolit.
3. Memberikan akses intravena pada pemberian terapi intermitten atau emergensi
C. Indikasi
Indikasi infus adalah menggantikan cairan yang hilang akibat perdarahan, dehidrasi
karena panas atau akibat suatu penyakit, kehilangan plasma akibat luka bakar yang luas
(Ariningrum & Subandono, 2018).
D. Kontraindikasi
Berdasarkan Gleedle (2013), kontraindikasi dalam pemasangan infus antara lain:
1. Inflamasi (bengkak, nyeri, demam) dan infeksi di lokasi pemasangan infus.
2. Daerah lengan bawah pada pasien gagal ginjal, karena lokasi ini akan digunakan untuk
pemasangan fistula arteri-vena (A-V shunt) pada tindakan hemodialisis (cuci darah).
3. Obat-obatan yang berpotensi iritan terhadap pembuluh vena kecil yang aliran darahnya
lambat (misalnya pembuluh vena di tungkai dan kaki).
E. Hal-Hal yang Perlu Diperhatikan
Berdasarkan Ariningrum & Subandono (2018), Hal-hal yang perlu diperhatikan pada
tindakan pemasangan infus antara lain:
1. Sterilitas
Tindakan sterilitas dimaksudkan supaya mikroba tidak menyebabkan infeksi lokal
pada daerah tusukan dan supaya mikroba tidak masuk ke dalam pembuluh darah
mengakibatkan bakteremia dan sepsis. Beberapa hal perlu diperhatikan untuk
mempertahankan standard sterilitas tindakan, yaitu :
a. Tempat tusukan harus disucihamakan dengan pemakaian desinfektan (golongan
iodium, alkohol 70%).
b. Cairan, jarum dan infus set harus steril.
c. Pelaku tindakan harus mencuci tangan sesuai teknik aseptik dan antiseptik yang
benar dan memakai sarung tangan steril yang pas di tangan.
d. Tempat penusukan dan arah tusukan harus benar. Pemilihan tempat juga
mempertimbangkan besarnya vena. Pada orang dewasa biasanya vena yang dipilih
adalah vena superficial di lengan dan tungkai, sedangkan anak-anak dapat juga
dilakukan di daerah frontal kepala.
2. Fiksasi
Fiksasi bertujuan agar kanula atau jarum tidak mudah tergeser atau tercabut.
Apabila kanula mudah bergerak maka ujungnya akan menusuk dinding vena bagian
dalam sehingga terjadi hematom atau trombosis.
3. Pemilihan cairan infus
Jenis cairan infus yang dipilih disesuaikan dengan tujuan pemberian cairan.
a. D5W (Dektrose 5% in Water)
Digunakan untuk menggantikan air ( cairan hipotonik) yang hilang, memberikan
suplai kalori, juga dapat dibarengi dengan pemberian obat-obatan atau berfungsi
untuk mempertahankan vena dalam keadaan terbuka dengan infus tersebut. Hati-
hati terhadap terjadinya intoksikasi cairan (hiponatremia, sindroma pelepasan
hormon antidiuretik yang tidak semestinya). Jangan digunakan dalam waktu yang
bersamaan dengan pemberian transfusi ( darah atau komponen darah).
b. NaCIO,9%
Digunakan untuk menggantikan garam ( cairan isotonik) yang hilang, diberikan
dengan komponen darah, atau untuk pasien dalam kondisi syok hemodinamik. Hati-
hati terhadap kelebihan volume isotonik ( misal: gagaljantung.gagalginjal).
c. Ringer laktat
Digunakan untuk menggantikan cairan isotonik yang hilang, elektrolit tertentu,
dan untuk mengatasi asidosis metabolik tingkat sedang.
4. Kecepatan tetesan cairan
Untuk memasukkan cairan ke dalam tubuh maka tekanan dari luar ditinggikan
atau menempatkan posisi cairan lebih tinggi dari tubuh. Kantung infus dipasang ± 90
cm di atas permukaan tubuh, agar gaya gravitasi aliran cukup dan tekanan cairan
cukup kuat sehingga cairan masuk ke dalam pembuluh darah. Kecepatan tetesan cairan
dapat diatur sesuai dengan kebutuhan. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa volume
tetesan tiap set infus satu dengan yang lain tidak selalu sama dan perlu dibaca
petunjuknya.
5. Selang infus dipasang dengan benar, lurus, tidak melengkung, tidak terlipat atau
terlepas sambungannya.
6. Hindari sumbatan pada bevel jarum/kateter intravena. Hati-hati pada penggunaan
kateter intravena berukuran kecil karena lebih mudah tersumbat.
7. Jangan memasang infus dekat persendian, pada vena yang berkelok atau mengalami
spasme.
8. Lakukan evaluasi secara periodik terhadap jalur intravena yang sudah terpasang.
F. Prosedur Tindakan Beserta Rasionalnya
1. Pemberian Nutrisi Melalui Pipa Penduga/Lambung
Pemberian nutrisi melalui pipa penduga/lambung merupakan keperawatan yang
dilakukan pada pasien yang tidak mampu memenuhi kebutuhan nutrisi secara oral atau
tidak mampu menelan dengan cara memberi makanan melalui pipa lambung atau pipa
penduga. Tujuannya adalah untuk memenuhi kebutuhan nutrisi pasien.

 Alat dan Bahan


1. Pipa penduga dalam tempatnya
2. Corong
3. Spuit 20 cc
4. Pengalas
5. Bengkok
6. Plester, gunting
7. Makanan dalam bentuk cair
8. Air matang
9. Obat
10. Stetoskop
11. Klem
12. Baskom berisi air (kalau tidak ada stetoskop)
13. Vaselin
 Prosedur Kerja
1. Cuci tangan.
2. Jelaskan prosedur yang akan dilakukan.
3. Atur posisi semifowler.
4. Bersihkan daerah hidung dan pasangkan pengalas di daerah dada.
5. Letakkan bengkok di dekat pasien.
6. Tentukan letak pipa penduga dengan cara mengukur panjang pipa dari epigastrium
sampai hidung kemudian dibengkokkan ke telingan dan beri tanda batasnya.
7. Berikan vaselin atau pelican pada ujung pipa dan klem pangkal pipa tersebut lalu
masukkan melalui hidung secara perlahan-lahan sambil pasien dianjurkan untuk
menelannya.
8. Tentukan apakah pipa tersebut benar-benar sudah masuk ke lambung dengan cara
sebagai berikut.
a. Masukkan ujung slang yang diklem ke dalam baskom yang berisi air (klem
dibuka), perhatikan bila ada gelembung maka pipa masuk ke paru, dan jika
tidak ada gelembung maka pipa masuk ke lambung. Setelah itu diklem atau
dilipat kembali.
b. Masukkan udara dengan spuit ke dalam lambung melalui pipa tersebut dan
dengarkan dengan stetoskop. Bila di lambung terdengar bunyi, berarti pipa
tersebut sudah masuk, setelah itu dikeluarkan udara yang ada di dalam
sebanyak jumlah yang dimasukkan.
9. Setelah selesai, maka lakukan tindakan pemeberian makanan dengan cara pasang
corong atau spuit pada pangkal pipa.
10. Masukkan air matang ± 15 cc pada awal dengan cara dituangkan lewat pinggirnya.
11. Berikan makanan dalam bentuk cair yang tersedia, setelah itu bila ada masukkan obat
dan beri minum lalu pipa penduga diklem.
12. Catat hasil atau respons pasien selama pemberian makanan.
13. Cuci tangan

2. Pemberian Nutrisi Melalui Parenteral


Pemeberian nutrisi melalui parenteral merupakan pemberian nutrisi berupa cairan
infus yang dimasukkan ke dalam tubuh melalui dara vena, baik secara sentral (untuk
nutrisi parenteral total) ataupun vena perifer ( untuk nutrisi parenteral parsial).
Pemberian nutrisi melalui parenteral dilakukan pada pasien yang tidak bisa makan
melalui oral atau pipa nasogastric dengan tujuan untuk menunjang nutrisi enteral yang
hanya memenuhi sebagian kebutuhan nutrisi harian.

Metode Pemberian

a) Nutrisi parenteral parsial


Merupakan pemberian nutrisi melalui intravena yang digunakan untuk memenuhi
sebagian kebutuhan nutrisi harian pasien kerena pasien masih dapat menggunakan
saluran pencernaan. Cairan yang biasanya digunakan dalam bentuk dekstrosa atau
cairan asam amino.
b) Nutrisi parenteral total
Merupakan pemberian nutrisi melalui intravena yakni kebutuhan nutrisi sepenuhnya
melalui cairan infus karena keadaan saluran pencernaan pasien tidak dapat digunakan.
Cairan yang dapat digunakan adalah cairan yang mengandung asam amino seperti
Pan Amin G, dan cairan yang mengandung lemak seperti intralipid.
c) Jalur pemberian nutrisi parenteral dapat melalui vena sentral untuk jangka waktu
lama dan melalui vena perifer(Hidayat dan Uliyah, 2005).

DAFTAR PUSTAKA

Ariningrum, D., & Subandono, J. (2018). Buku Pedoman Keterampilan Klinis Pemasangan
infus. Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta 2018, 1–36.

Fauzia, N., & Risna. (2020). Tingkat Kepatuhan Perawat Dalam Melaksanakan Standar
Operasional Prosedur Pemasangan Infus. Journal Unigha, 2(2), 69–80.

Gleadle, J. (2013). Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik. Jakarta: Erlangga.

Herlina, N., A, S.S., Pandiangan, S. & Syam, F. 2018, ‘Hubungan kepatuhan SPO pemasangang
infus dengan kejadian plebitis Di RSUD A. Wahab Sjahranie Samarinda Tahun 2015’,
JURNAL ILMU KESEHATAN VOL., vol. 2, p. 6.

Wayunah, Nurachmah, E. & Mulyono, S. 2013, ‘Pengetahuan Perawat Tentang Terapi Infus
Memengaruhi’, Jurnal Keperawatan Indonesia, vol. 16, no. 2, pp. 2354–9203.

Anda mungkin juga menyukai