Anda di halaman 1dari 15

Gestational Trophoblastic Neoplasia (GTN)

1. Definisi

Perbedaan dari gestational trophoblastic disease (GTD) dan gestational


trophoblastic neoplasia (GTN) adalah GTD merupakan proliferasi abnormal dari
trofoblas plasenta. Terdiri dari berbagai macam kelainan jinak seperti nodul
plasenta dan mola hidatidiformis. GTN merupakan kondisi maligna seperti :

1. mola invasif
2. koriokarsinoma
3. placental site trophoblastic tumor (PSTT)
4. epithelioid trophoblastic tumor (ETT)

GTN tidak selalu berasal dari kehamilan mola. Hanya 2/3 dari kasus GTN yang
mengikuti pola ini. Sisanya 1/3 dapat berkembang dari abortus, abortus terapeutik
atau kehamilan ektopik (Mularz, Dalati & Pedigo, 2017).

2. Epidemiologi

Risiko kejadian dari GTN setelah kuretase kehamilan mola komplit adalah 15-20%.
Peningkatan ini mencapai 40% dari perempuan pada perempuan usia lebih dari
40 tahun, atau ukuran uterus lebih besar dari usia kehamilan 20 minggu, atau B-
hCG lebih dari 100,000 saat diagnosis. Setelah D&C, mola parsial hanya memiliki
risiko sebanyak 2% (Mularz, Dalati & Pedigo, 2017).

Insiden setelah kejadian lahir hidup diestimasi sekitar 1/50,000. Di Inggris, karena
jarang terjadi, rata-rata konsultan Obgin berhadapan dengan kasus ini hanya
sekitar 1 kehamilan mola setiap 2 tahun. Pada GTD, insidennya adalah sekitar
1/714 kelahiran hidup. Karena adanya variasi etnis kejadian GTD di Inggris, pada
perempuan asia lebih besar dibanding dengan non-Asia yang mencapai 1/387
banding 1/752 kelahiran hidup (RCOG, 2010).

1
3. Klasifikasi

Klasifikasi dari GTN sendiri dibagi menjadi nonmetastatik dan metastatik. GTN
metastatik kemudian dibagi menjadi risiko tinggi dan rendah berdasarkan WHO
prognostic scoring system. Pasien harus dilakukan pemeriksaan yang lengkap
saat diagnosis untuk menentukan derajat berat penyakit dan terapi yang sesuai.
Evaluasi ini meliputi pemeriksaan darah lengkap, golongan darah, status Rh, B-
hCG kuantitatif, AST, ALT, kreatinin, BUN, PT, PTT, INR, radiografi dada, dan CT
atau MRI abdomen dan pelvis. MRI otak juga dapat dipertimbangkan (Mularz,
Dalati & Pedigo, 2017).

4. Patologi
a. Mola Invasif
Secara makroskopis, tampak gambaran tumor menginvasi dinding
miometrium, bisa juga mengivasi sampai parametrium ataupun sampai meluas
ke dinding vagina
b. Koriokarsinoma
Secara makroskopis, tumor ini bersifat bulky dengan daerah perdarahan dan
area nekrosis. Terpisah dari uterus, dapat ditemukan pada tuba, ovarium, paru,
liver, lien, ginjal, atau otak.
Secara histologis, koriokarsinoma tidak memiliki vili korion dan terdapat
trofoblas serta sitotrofoblas yang abnormal. Dikelilingi oleh sinsitiotrofoblas
dengan area nekrosis dan perdarahan. Kariotipe kompleks yang tinggi telah
dilaporkan dan komposisi kromosom seks XX merupakan mayoritas (Ngan, et
al., 2018).
c. PSTT
Tumor berbentuk polipoid mengivasi ke dalam miometrium menampilkan
pertumbuhan miometrium yang endofit. Permukaan berwarna coklat dan
mengandung area yang mengalami perdarahan dan jaringan nekrosis. Invasi
sering meluas ke serosa uterus, dan ada beberapa kasus meluas hingga ke
struktur adneksa termasuk ligamentum latum

2
d. ETT
Secara makroskopis, tumor berbentuk nodul-nodul putih kecoklatan diskrit atau
massa kistik berdarah yang menginvasi dalam ke jaringan sekitar. Hampir ada
pada sebagian serviks dan segmen bawah uterus dan beberapa pada fundus
serta ligament latum.
Secara histologis, ETT berasal dari trofoblas tipe korionik intermediate. Sel sel
relatif seragam sel trofoblastik intermediate dengan jumlah eosinofilik sedang
hingga sitoplasma jernih dan nukelus bulat dikelilingi oleh nekrosis ekstensif
dan berkaitan dengan hyaline-like matrix. Jumlah mitotik berkisar 0-9 per 10
HPF. Nekrosis ekstensif atau geografis sering muncul. ETT dapat muncul
bersama dengan neoplasma trofoblastik lain (Ngan, et al., 2018).

Gambar Histologi GTD dan GTN Kemoterapi (Seckl, et al., 2013)

5. Gambaran Klinis

Klinisi harus waspada pada gejala dan tanda kehamilan mola :

3
1. Gambaran klasik dari kehamilan mola :
a. Perdarahan pervaginam ireguler
b. Hyperemesis
c. Pembesaran uterus yang besar
d. Early failed pregnancy
2. Peremeriksaan urin kehamilan pada perempuan dengan gejala di atas.

Jarang terjadi, presentasi hipertiroidisme, preeklampsia early onset atau


pembesaran abdominal oleh karena kista theca lutein juga mungkin ditemukan.
Pada kasus yang lebih jarang lagi dapat terjadi acute repiratory failure atau gejala
neurologis seperti kejang, biasanya karena sudah terjadi metastasis (RCOG,
2010).

6. Diagnosis

USG merupakan pemeriksaan yang sangat membantu dalam membuat diagnosis


pre-evakuasi kehamilan mola namun diagnosis definitif dilakukan dengan
pemeriksaan histologis pada hasil konsepsi.

Gambar USG GTN pre-kemoterapi dan post-kemoterapi Kemoterapi (Seckl,


et al., 2013)

4
Perempuan dengan perdarahan pervaginam persisten setelah kehamilan memiliki
risiko GTN. Pemeriksaan urin harus dilakukan pada semua kasus dengan
perdarahan pervaginam persisten dan ireguler setelah kehamilan. Gejala yang
berasal dari metastasis, seperti dyspnea dan neurologis abnormal, dapat muncul
(RCOG, 2010).

hCG yang persisten rendah harus dipantau karena beberapa dapat berkembang
menjadi GTN. Untuk mengekslusi hasil positif palsu, tes ulang dengan alat assay
lain atau urin hCG dapat digunakan (Ngan, et al., 2018).

Gambar Algoritma Investigasi Pencitraan GTN Kemoterapi (Seckl, et al.,


2013)

Tabel staging GTN berdasarkan FIGO (Ngan, et al., 2018)

5
1. Tatalaksana

Kehamilan mola ditatalaksana dengan cara dilatasi dan kuretase (D&C) di


ruang operasi. Jika fertilitas di masa depan tidak diinginkan, maka histerektomi
bisa dipertimbangkan. Radiografi dada, pemeriksaan darah lengkap, golongan
darah, status Rh, AST, ALT, kreatinin, BUN, PT, PTT, INR dan B-hCH
kuantitatif juga harus diperiksa. Setelah dilakukan prosedur, pemeriksaan B-
hCG setiap minggu harus diperiksa sampai tidak terdeteksi selama 3 minggu
berturut-turut. Pemeriksaan B-hCG setiap bulan kemudian dilakukan selama 1
tahun. Karena kehamilan awal dapat membingungkan dengan rekurensi, maka
pasien sangat dianjurkan untuk melakukan KB selama follow op ini.

Jika B-hCG plateu atau meningkat, atau jika tetap ada selama 6 bulan setelah
prosedur, pasien harus dilakukan evaluasi terhadap GTN. Dikatakan plateau
jika 4 nilai B-hCG adalah berkisar 10% setiap pemeriksaan per minggu selama
periode 3 minggu. Dikatakan meningkat jika 3 nilai B-hCG meningkat lebih dari
10% setiap minggunya selama periode 2 minggu (Mularz, Dalati & Pedigo,
2017).

Berdasarkan FIGO, kriteria diagnosis dari postmolar gestational trophoblastic


neoplasia adalah ketika :

1. hCG pleateu pada 4 pemeriksaan selama periode 3 minggu atau lebih, yaitu
pada hari ke-1, 7, 14 dan 21

6
2. ketika terdapat peningkatan hCG pada setiap minggu berturut-turut selama 3
minggu selama periode paling tidak 2 minggu atau lebih, yaitu pada hari ke 1,
7, dan 14.
3. hCG level tetapmeningkat selama 6 bulan atau lebih
4. Ada hasil histologi koriokarsinoma.

Untuk GTN non metastatik atau risiko rendah, agen kemoterapi tunggal dengan
Methotrexate atau Actinomycin-D dapat dipilih. Terapi dilanjutkan sampai B-hCG
tidak terdeteksi. 80% dari kasus ini sembuh setelah pemberian tunggal dan 100%
sembuh pada 3 kali pemberian (Mularz, Dalati & Pedigo, 2017).

Tabel Indikasi Kemoterapi (Seckl, et al., 2013)

Untuk GTN risiko tinggi diberikan kemoterapi kombinasi, kebanyakan adalah


EMA-CO (Mularz, Dalati & Pedigo, 2017).:

1. Etoposide
2. Methotrexate
3. Actinomycin-D
4. Cyclophosphamide
5. Vincristine

7
Tabel Klasifikasi GTN berdasarkan WHO 2014 (RCOG,2010)

Gambar Regimen Tunggal MTX untuk GTN Risiko Rendah (WHO, 2014)

Gambar Regimen Tunggal Actinomycin-D untuk GTN Risiko Rendah

8
Gambar Regimen EMA-CO untuk GTN Risiko Rendah Resisten dan Risiko
Rendah Primer

Setelah B-hCG tidak terdeteksi, maka terapi dilanjutkan 2 sampai 3 kali pemberian.
Survival rate-nya mencapai 70%. Seperti pada kehamilan mola, skrining B-hCG harus
dilakukan setiap bulan selama 1 tahun dan pasien sangat dianjurkan untuk melakukan
KB. Basis farmakologi dari Methotrexate, merupakan antimetabolit yang memiliki
target pada fase S pada sel dalam siklus sel. Mengikat pada dihydrofolate reductase,
dan mencegah reduksi dari dihydrofolate menjadi tetrahydrofolic acid. Aksi ini
kemudian menghambat thymidylate synthase dan produksi purin yang mengarah
pada penurunan DNA, RNA dan produksi protein. Efek samping yang dapat terjadi
pada Methotrexate adalah :

1. Mukositis (paling sering)


2. Mual
3. Muntah
4. Anoreksia

9
5. Penipisan rambut
6. Leukopenia
7. Hepatotoksisitas
8. Toksisitas ginjal

Pada protokol multidosis untuk GTN risiko tinggi, leucovorin (calcium folinate) yang
bersifat “rescue” dapat diberikan untuk mengembalikan folate dan meminimilisasi efek
samping.

Kebanyakan kehamilan setelah terapi dari kehamilan mola atau GTN setelah 1 tahun
adalah bayi normal. Risiko kehamilan mola kedua adalah 1-1.5% (10-15 kali lebih tinggi
pada populasi umum). Perempuan yang memiliki 2 kehamilan mola memiliki risiko 11-
25% mengalami mola kembali, dan risiko pada 3 kehamilan mola adalah hampir 100%.
Mengganti pasangan diketahui tidak mempengaruhi risiko.

Pada pemerempuan yang mendapatkan kemoterapi GTN, mereka akan mengalami


menopause lebih awal. Usia menopause pada perempuan yang mendapatkan
kemoterapi agen tunggal terjadi lebih awal sekitar 1 tahun, sedangkan pada multi-agent
adalah sekitar 3 tahun (Mularz, Dalati & Pedigo, 2017).

Pasien dikatakan risiko rendah jika skor WHO adalah 0-5 dan diterapi dengan agen
tunggal. Review Cochrane pada tahun 2012, yang melibatkan 513 pasien pada 5 RCT
menunjukkan Actinomycin-D lebih superior dibanding dengan MTX (RR 0.64; CI 0.54-
0.76). MTX berkaitan dengan kegagalan terapi yang lebih signifikan dibanding
Actinomycin-D.

Kemoterapi harus diganti dengan agen tunggal alternatif jika ada respon yang baik pada
agen pertama, namun nilai hCG plateau di atas nilai normal selama terapi, atau jika
toksisitas terjadi pada dosis dan frekuensi adekuat. Jika ada respon yang tidak adekuat
pada agen tunggal awal, makan kemoterapi multi-agent untuk risiko tinggi harus dimulai
jika terdapat peningkatan signifikan pada nilai hCG, perkembangan metastasis, atau
resistensi pada agen tunggal sekuensial dari kemoterapi. Studi menunjukkan perubahan
agen Actinomycin-D memberikan respon yang baik dengan tingkat 76% dan 78% pasien
dengan nilai hCH yang relatif rendah. Terdapat pembaharuan yang berkelanjutan dari

10
nilai cutoff berdasarkan data yang berkembang, klinisi harus merujuk pada guideline lokal
dari waktu ke waktu. Jika tidak, agen multipel harus dipertimbangkan.

Skor WHO 5-6 dan diagnosis klinikopatologi pada koriokarsinoma keduanya berkaitan
dengan peningkatan resistensi pada agen kemoterapi tunggal. Menurunkan nilai ambang
batas penggunaan agen kemoterapi multipel pada pasien risiko rendah dapat
dipertimbangkan. Setelah nilai hCG kembali ke normal, konsolidasi dengan 2-3 siklus
kemoterapi dapat menurunkan kemungkinan rekurensi. Remisi secara keseluruhan
mencapai 100% (Ngan, et al., 2018).

Seperti yang sudah dijelaskan, kemoterapi multiple-agent digunakan untuk tatalaksana


GTN risiko tinggi. Yang paling banyak digunakan adalah EMA-CO, namun review dari
Cochrane Database gagal untuk menyimpulkan bahwa agen tersebut adalah yang paling
baik. Sekitar 20% pasien gagal pada terapi EMA-CO, namun hasilnya lebih pada terapi
lebih lanjut. Survival rates secara keseluruhan pada pasien dengan GTN risiko tinggi
adalah sekitar 95% (Ngan, et al., 2018).

Perempuan dengan GTN risiko tinggi, membutuhkan kemoterapi multi-agent termasuk


etoposide harus diedukasi bahwa mereka dapat berisiko mengalami kanker sekunder.
Studi pada 1337 perempuan yang diterapi antara tahun 1958 dan 1990 menunjukkan
risiko relatif (RR) adalah 16.6 mengalami leukemia myeloid akut. Juga terdapat RR
sebesar 4.6 untuk mengalami kanker kolon, 3.4 mengalami melanoma, dan 5.79 kanker
payudara pada perempuan yang bertahan selama 25 tahun. Jika kombinasi kemoterapi
terbatas, yaitu kurang dari 6 bulan, maka risiko kanker sekunder tidak meningkat (RCOG,
2010).

Pada pasien yang sangat berisiko tinggi terkena GTN dengan skor lebih dari sama
dengan 13 serta dengan metastasis liver, otak dan jauh, memiliki luaran yang tidak baik
dengan menggunakan kemoterapi multiple-agent lini pertama. Hasil serupa telah
dilaporkan juga demikian. Untuk mereka dengan penyakit yang masif, memulai
kemoterapi dengan protocol standar akan menyebabkan kolaps tumor dengan
perdarahan berat, asidosis metabolik, myelosupression, septikemia, dan organ failure
multipel atau apapun yang bisa menyebabkan kematian. Untuk mencegah ini harus
digunakan dosis awal yang lebih gentle dibanding full-dose. Induksi dengan etoposide

11
100 mg/m2 dan cisplatin 20 mg/m2 pada hari ke 1 dan 2, diulang tiap minggu selama 1-3
minggu, sebelum kemoterapi normal telah mengurangi kematian lebih awal pada sebuah
laporan dan didukung oleh laporan-laporan lain.

Pada pasien dengan metastasis liver dengan atau tanpa otak, atau skor yang sangat
tinggi, EP (etoposide dan platinum)/ EMA atau regimen lain yang lebih intensif, dibanding
dengan EMA-CO, memberikan hasil yang lebih reponsif dan lebih baik. Pasien risiko
tinggi, memiliki konsolidasi lebih panjang dengan 4 siklus kemoterapi yang disarankan.

Gambar Pilihan Salvage Therapies Pasien dengan Metastasis Jauh (Ngan,


et al., 2018)

Pasien dengan metastasis otak, peningkatan infus MTX hingga 1 g/m2 akan membantu
obat menembus blood-brain barrier dan MTX intratechal 12.5 mg digunakan pada
beberapa senter. Hal ini dapat digunakan pada saat CO ketika EMA-CO digunakan, atau
pada EP saat regimen EP/EMA. Beberapa senter memberian radioterapi otak
menyeluruh 3000cGy pada 200 cGy fraksi harian bersamaan dengan kemoterapi atau
penggunaan stereotactic atau radiasi gamma knife untuk menangani metastasis otak
residual setelah kemoterapi. Pasien yang gagal dengan EMA-CO kebanyakan membaik
dengan paclitaxel dan etoposide sebagai alternatif paclitaxel dan cisplatin (TE/TP) atau
EP/EMA. Di Cina, regimen 5FU-based FAEV juga efektif. Pada perempuan yang gagal

12
dengan menggunakan EP/EMA atau TE/TP, pilihan untuk memasukkan sejumlah
kemoterapi dosis tinggi atau standar dengan stem cell perifer autolog daoat diigunakan.
Penelitian terbaru, imunoterapi seperti pembrolizumab juga dapat dipilih.

Operasi memiliki peran penting pada tatalaksana GTN. Histerektomi dapat


dipertimbangkan pada perdarahan yang tidak terkontrol, meskipun dapat digunakan
dengan embolisasi A. Uterina. Laparotomi dilakukan untuk menghentikan perdarahan
pada organ seperti liver, saluran cerna, ginjal dan lien. Neurosurgery juga dapat dilakukan
jika terdapat perdarahan otak atau peningkatan tekanan intrakranial. Reseksi pada tumor
yang resisten obat juga bersifat kuratif. Radioterapi memiliki peran yang terbatas pada
GTN, kecuali pada metastasis otak, meskipun efikasinya jika dibandingkan dengan MTX
intrathecal masih kontroversial.

PSTT dan ETT lebih tidak kemosensitif dibandingkan dengan koriokarsinoma.


Histerektomi merupakan terapi pilihan pada kebanyakan kasus dan operasi juga memiliki
peran penting pada penyakit metastasis. Jika fertilitas masih dipertimbangkan, terutama
pada lesi yang bersifat lokal, kuretase uterus, reseksi histeroskopik, dan kemoterapi
dapat dipertimbangkan. Fertility sparing tidak cocok dengan lesi yang difus. Pada stadium
lanjut, EP-EMA atau TE/TP dapat dipertimbangkan. Interval dari kehamilan sebelumnya
yang lebih daeri 48 bulan merupakan faktor prognostik yang sangat buruk (Ngan, et al.,
2018).

13
KESIMPULAN

Gestational Trophoblastic Neoplasia merupakan suatu keganasan yang harus


mendapatkan penanganan secara tepat, seringkali pemahaman yang kurang tepat
menyebabkan penanganan yang kurang maksimal. Kriteria FIGO untuk menilai resiko
suatu GTN pun dapat menjadi acuan untuk terapi yang akan diberikan.

Selain Itu untuk mendiagnosis GTN tidak hanya melalui hasil pemeriksaan patologi
anatomi, meningkat atau kadar B-hCG yang tetap setelah terapi dan pemeriksaan melalui
pencitraan pun bisa menjadi modalitas untuk mendiagnosis suatu GTN.

14
DAFTAR PUSTAKA

WHO. (2014). GESTATIONAL TROPHOBLASTIC NEOPLASIA, Union for International


Cancer Control 2014, Review of Cancer Medicines on the WHO List of Essential
Medicines. Pp 1-9.

RCOG. (2010). The Management of Gestational Trophoblastic Disease. Green-top


Guideline No. 38.

Ngan, H.Y.S., et al. (2018). Update on the diagnosis and management of gestational
trophoblastic disease. Int J Gynecol Obstet . 143 (Suppl. 2): 79–85

M. J. Seckl, N. J. Sebire, R. A. Fisher, F. Golfier, L. Massuger, C. Sessa, on behalf of the


ESMO Guidelines Working Group, Gestational trophoblastic disease: ESMO
Clinical Practice Guidelines for diagnosis, treatment and follow-up, Annals of
Oncology, Volume 24, Issue suppl_6, October 2013, Pages vi39–
vi50, https://doi.org/10.1093/annonc/mdt345

Santaballa, A., García, Y., Herrero, A., Laínez, N., Fuentes, J., De Juan, A., … García-
Martinez, E. (2018). SEOM clinical guidelines in gestational trophoblastic disease
(2017). Clinical & translational oncology : official publication of the Federation of
Spanish Oncology Societies and of the National Cancer Institute of Mexico, 20(1),
38–46. doi:10.1007/s12094-017-1793-0

Edwin S. L. Chan, M.D., and Bruce N. Cronstein, M.D. (2013). Mechanisms of Action of
Methotrexate. Bulletin of the Hospital for Joint Diseases 2013;71(Suppl 1):S5-8

Amanda Mularz; Steven Dalati; Ryan A Pedigo. Ob/gyn secrets. Philadelphia, PA :


Elsevier

15

Anda mungkin juga menyukai