Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pembangunan kesehatan merupakan bagian yang dapat dipisahkan dari pembangunan
nasional. Pembanguna kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan
kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan yang optimal.
Pada saat ini kematian ibu di Indonesia masih tinggi yaitu 373 per 100.000 kelahiran
hidup. Bila dibandingkan dengan Negara di Asia lainnya seperti Filipina yaitu 210 per
100.000 kelahiran hidup dan Vietnam 160 per 100.000 kelahiran hidup. Sedangkan angka
kematian ibu tertinggi di india dan Bangladesh 440 per 100.000 kelahiran hidup.
Tinggi angka kematian hidup di Indonesia disebabkan oleh tiga factor utama yaitu,
perdarahan, infeksi, dan toxemia gravidarum. Salah satu dan ketiga factor tersebut adalah
perdarahan dan perdarahan dapat terjadi pada wanita dengan mola hidatidosa. Dalam
mencegah terjadi kematian pada wanita ( khususnya yang mengalami perdarahan yang
disebabkan karena mola hidatidosa).
Mola hidatidosa adalah suatu penyakit trofloblas gestasional sebagai akibat dari suatu
kehamilan yang berkembang tidak sempurna. Kehamilan mola hidatidosa terjadi pada ibu
multipara dengan kondisi kesehatan status gizi yang kurang dan lebih banyak di jumpai pada
golongan sosio ekonomi rendah.
Di Indonesia menurut laporan beberapa penulis dari berbagai daerah menunjukan angka
kejadian mola hidatidosa di Indonesia sekitar 1 : 51 sampai 1 : 141 kehamilan. Sedangkan di
Negara barat angka kejadian ini lebih rendah di dari pada Negara-negara Asia dan amerika
latin. Misalnya, Amerika Serikat 1 : 1.450 kehamilan (hertig dan Sheldon, 1978) dan di
Inggris 1 : 1500 kehamilan ( Womack dan elston, 1985 )
Mengingat semakin meningkatnya angka kejadian mola hidatidosa, maka perlu
perawatan intensif dan tindakan pelayanan yang komprehensif melalui proses keperawatan
serta melibatkan banyak sector. Pemerintah melakukan upaya diantaranya deteksi dini pada
wanita serta pelayanan rujukan yang terjangkau.
Diharapkan dengan upaya tersebut , angka kematian ibu dapat ditekan menjadi 225 per
100.000 kelahiran hidup. Dan pelayanan kesehatan yang diberikan oleh tenaga kesehatan
perlu ditingkatkan mutunya.

B. Tujuan penulisan
1. Tujuan Umum
Memberikan asuhan keperawatan yang tepat kepada Ny. S yang mengalami kasus
Mola hidatidosa.
2. Tujuan Khusus
a. Melakukan pengkajian kepada Ny.S terkait dengan kasus yang dialaminya
b. Menegakkan diagnosa yang tepat dari hasil analisa data yang dilakukan saat pengkajian.
c. Memberikan intervensi yang lengkap kepada Ny.S untuk mengatasi masalah yang sedang
dialaminya.
d. Memberikan pengetahuan berupa pendidikan kesehatan kepada Ny. S dalam mendeteksi
gejala-gejala patologis saat sedang mengandung.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. TinjauanTeori
1. Defenisi
Mola hidatidosa ialah kehamilan abnormal, dengan ciri-ciri stroma vilus korialis langka
vaskularisasi, dan edematus. Janin biasanya meninggal, akan tetapi vilus-vilus yang
membesar dan edematus itu hidup dan tumbuh terus; gambaran yang diberikan ialah sebagai
sebuah gugus anggur. Jaringan tropoblast pada vilus kadang-kadang berprofilerasi ringan dan
kadang-kadang keras, dan mengeluarkan hormon, yakni human chorionic gonadotropin
(hCG) dalam jumlah yang lebih besar daripada kehamilan biasa (Prawirohardjo &
Wikjosastro, 2005).
Mola hidatidosa adalah kehamilan abnormal dimana hampir seluruh villi korialisnya
mengalami perubahan hidrofik(Mansjoer, 2005).
Mola hidatidosa merupakan salah satu dari tiga jenis neoplasma trofoblastik
gestasional(Bobak dkk, 2005).

2. Etiologi
Menurut Prof. Rustam Moechtar dalam bukunya Sinopsis Obstetri, penyebab mola
hidatidosa belum diketahui secara pasti. Faktor-faktor yang mungkin menjadi penyebab
adalah:
a. Faktor ovum
Spermatozoon memasuki ovum yang telah kehilangan nukleusnya atau dua serum memasuki
ovum tersebut sehingga akan terjadi kelainan atau gangguan dalam pembuahan.

b. Keadaan sosial ekonomi yang rendah


Dalam masa kehamilan keperluan akan zat-zat gizi meningkat. Hal ini diperlukan untuk
memenuhi kebutuhan pertumbuhan dan perkembangan janin, dengan keadaan sosial ekonomi
yang rendah maka untuk memenuhi zat-zat gizi yang diperlukan tubuh kurang sehingga
mengakibatkan gangguan dalam pertumbuhan dan perkembangan janinnya.

c. Paritas tinggi
Ibu multipara cenderung beresiko terjadi kehamilan mola hidatidosa karena trauma kelahiran
atau penyimpangan tranmisi secara genetik yang dapat diidentifikasikan dan penggunaan
stimulan drulasi seperti klomifen atau menotropiris (pergonal).

d. Kekurangan protein
Protein adalah zat untuk membangun jaringan-jaringan bagian tubuh sehubungan dengan
pertumbuhan janin, pertumbuhan rahim, dan buah dada ibu, keperluan akan zat protein pada
waktu hamil sangat meningkat apabila kekurangan protein dalam makanan mengakibatkan
bayi akan lahir lebih kecil dari normal.

e. Infeksi virus
Infeksi mikroba dapat mengenai semua orang termasuk wanita hamil. Masuk atau adanya
mikroba dalam tubuh manusia tidak selalu akan menimbulkan penyakit (desease). Hal ini
sangat tergantung dari jumlah mikroba (kuman atau virus) yang masuk virulensinya serta
daya tahan tubuh.

3. Patofisiologi
Menurut Cunningham dalam buku Obstetri, dalam stadium pertumbuhan molla yang dini
terdapat beberapa ciri khas yang membedakan dengan kehamilan normal, namun pada
stadium lanjut trimester pertama dan selama trimester kedua sering terlihat perubahan sebagai
berikut:
a. Perdarahan
Perdarahan uterus merupakan gejala yang mencolok dan bervariasi mulai dari spoting sampai
perdarahan yang banyak. Perdarahan ini dapat dimulai sesaat sebelum abortus atau yang lebih
sering lagi timbul secara intermiten selama berminggu-minggu atau setiap bulan. Sebagai
akibat perdarahan tersebut gejala anemia ringan sering dijumpai. Anemia defisiensi besi
merupakan gejala yang sering dijumpai.

b. Ukuran uterus
Uterus yang lebih sering tumbuh lebih besar dari usia kehamilan yang sebenarnya. Mungkin
uterus lewat palpasi sulit dikenali dengan tepat pada wanita nullipara, khusus karena
konsistensi tumor yang lunak di bawah abdomen yang kenyal. Ovarium kemungkinan
mempunyai konsistensi yang lebih lunak.

c. Aktivitas janin
Meskipun uterus cukup membesar mencapai bagian atas sympisis, secara khas tidak akan
ditemukan aktivitas janin, sekalipun dilakukan test dengan alat yang sensitive sekalipun.
Kadang-kadang terdapat plasenta kembar pada kehamilan mola hidatidosa komplit. Pada
salah satu plasentanya sementara plasenta yang lainnya dan janinnya sendiri terlihat normal.
Demikian pula sangat jarang ditemukan perubahan mola inkomplit yang luas pada plasenta
dengan disertai dengan janin yang hidup.

d. Embolisasi
Trofoblas dengan jumlah yang bervariasi dengan atau tanpa stroma villus dapat keluar dari
dalam uterus dan masuk ke dalam aliran darah vena. Jumlah tersebut dapat sedemikian
banyak sehingga menimbulkan gejala serta tanda emboli pulmoner akut bahkan kematian.
Keadaan fatal ini jarang terjadi. Meskipun jumlah trofoblas dengan atau tanpa stroma villus
yang menimbulkan embolisasi ke dalam paru-paru terlalu kecil untuk menghasilkan
penyumbatan pembuluh darah pulmoner namun lebih lanjut trofoblas ini dapat menginfasi
parenkim paru. Sehingga terjadi metastase yang terbukti lewat pemeriksaan radiografi. Lesi
tersebut dapat terdiri dari trofoblas saja (corio carsinoma metastasik) atau trofoblas dengan
stroma villus (mola hidatidosa metastasik). Perjalanan selanjutnya lesi tersebut bisa
diramalkan dan sebagian terlihat menghilang spontan yang dapat terjadi segera setelah
evakuasi atau bahkan beberapa minggu atau bulan kemudian. Sementara sebagian lainnya
mengalami proloferasi dan menimbulkan kematian wanita tersebut bila tidak mendapatkan
pengobatan yang efektif.

e. Disfungsi thyroid
Kadar tiroksi plasma pada wanita dengan kehamilan mola biasanya mengalami kenaikan
yang cukup tinggi, namun gambaran hipertiroidisme yang tampak secara klinik tidak begitu
sering dijumpai. Amir dkk (1984) dan Curry dkk (1975) menemukan hipertiroidisme pada
sekitar 2% kasus kenaikan kadar tiroksin plasma, bisa merupakan efek primer estrogen
seperti halnya pada kehamilan normal dimana tidak terjadi peningkatan kadar estrogen bebas
dan presentasi trioditironim yang terikat oleh resin mengalami peningkatan. Apakah hormon
tiroksin bebas dapat meninggi akibat efek mirip tirotropin yang ditimbulkan oleh orionik
gonadotropin atau apakah varian hormon inikah yang menimbulkan semua efek tersebut
masih merupakan masalah yang controversial (Amir, dkk, 1984, Man dkk, 1986).

f. Ekspulsi spontan
Kadang-kadang gelembung-gelembung hidatidosa sudah keluar sebelum mola tersebut keluar
spontan atau dikosongkan dari dalam uterus lewat tindakan. Ekspulsi spontan paling besar
kemungkinannya
pada kehamilan sekitar 16 minggu. Dan jarang lebih dari 28 minggu.

4. Manifestasi klinis

a. Amenore dan tanda-tanda kehamilan. Pada tahap awal tanda dan gejala tahap kehamilan
mola tidak dapat dibedakan dari tanda dan gejala kehamilan normal.
b. Pada waktu selanjutnya pendarahan pervaginam pada hampir di temukan di semua kasus dan
terjadi secara berulang. Cairan yang keluar dari vagina bisa berwarna coklat tua atau merah
terang, bisa sedikit atau banyak. Pada keadaan lanjut kadang keluar gelembung mola.
Keadaan ini bisa berlangsung beberapa hari saja atau secara intermitten selama beberapa
minggu.
c. Perbesaran uterus lebih besar dari usia kehamilan.
d. Tidak terabanya bagian janin pada palpasi dan tidak terdengar DJJ sekalipun uterus sudah
membesar setinggi pusar atau lebih.
e. Pre-eklampsia atau eklampsia yang terjadi sebelum kehamilan 24 minggu.
f. Anemia akibat kehilangan darah, rasa mual dan muntah yang
berebihan(hiperemesisgravidarum), dan kram perut yang disebabkan dispensi rahim.
g. Kadar -hCG yang tinggi.

5. Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala kehamilan dini didapatkan pada mola hidatidosa. Kecurigaaan biasanya
terjadi pada minggu ke 14-16 dimana ukuran rahim lebih besar dari kehamilan biasa,
pembesaran rahim yang terkadang diikuti perdarahan, dan bercak berwarna merah darah
beserta keluarnya materi seperti anggur pada pakaian dalam. Tanda dan gejala serta
komplikasi mola hidatidosa:
a. Mual dan muntah yang parah yang menyebabkan 10% pasien masuk RS.
b. Pembesaran rahim yang tidak sesuai dengan usia kehamilan (lebih besar).
c. Gejalagejala hipertitoidisme seperti intoleransi panas, gugup, penurunan BB yang tidak
dapat dijelaskan, tangan gemetar dan berkeringat, kulit lembab.
d. Gejala gejala pre-eklampsi seperti pembengkakan pada kaki dan tungkai, peningkatan
tekanan darah, proteinuria (terdapat protein pada air seni).
6. Klasifikasi Mola hidatidosa
Mola hidatidosa terbagi menjadi:
a. Mola hidatidosa komplet atau klasik
Mola komplet atau klasik terjadi akibat fertilsasi sebuah telur yang intinya telah hilang
atau tidak aktif. Mola menyerupai setangkai buah anggur putih. Vesikel-vesikel hidrofik
(berisi cairan) tumbuh dengan cepat, menyebabkan rahim menjadi lebih besar dari uisa
kehamilan seharusnya. Biasanya Mola tidak mengandung janin, plasenta, membran amniotik
atau air ketuban. Darah maternal tidak memiliki plasenta oleh karena itu, terjadi perdarahan
ke dalam rongga rahim dan timbul perdarahan melalui vagina. Pada sekitar 3 % kehamilan,
Mola ini berkembang menjadi koriokarsinoma (suatu neoplasma ganas yang tumbuh dengan
cepat). Potensi untuk menjadi ganas pada kehamilan Mola sebagian jauh lebih kecil
dibanding kehamilan Mola komplek (Bobak dkk, 2005).
WOC Molahidatidosakomplit
Selteluryangtidakadakromosom
dibuahi 1 atau 2 selsperma

diploid ( hanya paternal )

embriotidakterbentuk

proliferasivilikorealis

vilimengandungbanyakcairan

sel2 tropoblas yang patologisberkembangdanmembengkak

gelembung2 berisicairan yang berbentukanggur

molahidatidosakomplit

b. Mola hidatidosa inkomplet atau parsia


Mola inkomplet atau parsia terjadi jika disertai janin atau bagian janin (Bobak dkk,2005).
Degenerasihidropikdarivilibersifatsetempat, dan yang mengalami hiperplasi hanya
sinsitio trofoblas saja.Gambaran yang khas adalah crinklingatau scalloping dari vili
dan stromal trophoblastic inclusions.
WOC Mola hidatidosaparsial
Seltelur normal

dibuahi 1 selsperma diploid atau 2 selsperma haploid

kariotipe 69XXX, 69XXY (triploid )

Hidrofikvili

hiperplasia sel-sel tropoblas

molahidatidosaparsial.
7. Komplikasi
Menurut Mansjoer dkk (2005) komplikasi yang dapat terjadi padapenderita Mola
hidatidosa adalah :
a. Anemia
b. Syok
c. Infeksi
d. Eklampsia
e. Tirotoksikosis

8. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Mansjoer dkk (2005) pemeriksaan diagnostik pada Mola hidatidosa antara lain:
a. Anamnesis diantaranya :
1) Perdarahan pervaginam/gambaran Mola,
2) Gejala toksemia pada trimester I-II,
3) Hiperemesis gravidarum,
4) Gejala tirotoksikosis,
5) Gejala emboli paru.
b. Pemeriksaan fisik diantaranya:
1) Uterus lebih besar dari usia kehamilan,
2) Kista lutein,
3) Balotemen negatif,
4) Denyut jantung janin negatif.
c. Pemeriksaan penunjang diantaranya :
1) Pada tes Acosta Sison dapat dikeluarkan jaringan Mola,
2) Pada tes Hanifa Sonde dapat masuk tanpa tahanan dan diputar 360 0dengan deviasi sonde
kurang dari 100,
3) Peningkatan kadar beta Hcg darah atau urin,
4) Ultrasonografi menunjukkan gambaran badai salju (snow flake pattern),
5) Foto toraks pada gambaran emboli udara,
6) Pemeriksaan T3 dan T4 bila ada gejala tirotoksikosis.

9. PenatalaksanaanMedis
Penanganan yang biasa dilakukan pada Mola hidatidosa adalah:
a. Diagnosis dini akan menguntungkan prognosis.
b. Pemeriksaan USG sangat membantu diagnosis. Pada fasilitas kesehatan di mana sumber
daya sangat terbatas, dapat dilakukan : Evaluasi klinik dengan fokus pada : Riwayat haid
terakhir dan kehamilan Perdarahan tidak teratur atau spotting, pembesaran abnormal uterus,
pelunakan serviks dan korpus uteri. Kajian uji kehamilan dengan pengenceran urin. Pastikan
tidak ada janin (Ballottement) atau DJJ sebelum upaya diagnosis dengan perasat Hanifa
Wiknjosastro atau Acosta Sisson.
c. Lakukan pengosongan jaringan mola dengan segera.
d. Antisipasi komplikasi (krisis tiroid, perdarahan hebat atau perforasi uterus).
e. Lakukan pengamatan lanjut hingga minimal 1 tahun. Selain dari penanganan di atas, masih
terdapat beberapa penanganan khusus yang dilakukan pada pasien dengan mola hidatidosa,
yaitu : Segera lakukan evakuasi jaringan mola dan sementara proses evakuasi berlangsung
berikan infus 10 IU oksitosin dalam 500 ml NaCl atau RL dengan kecepatan 40-60 tetes per
menit (sebagai tindakan preventif terhadap perdarahan hebat dan efektifitas kontraksi
terhadap pengosongan uterus secara tepat). Pengosongan dengan Aspirasi Vakum lebih aman
dari kuretase tajam. Bila sumber vakum adalah tabung manual, siapkan peralatan AVM
minimal 3 set agar dapat digunakan secara bergantian hingga pengosongan kavum uteri
selesai. Kenali dan tangani komplikasi seperti tirotoksikasi atau krisis tiroid baik sebelum,
selama dan setelah prosedur evakuasi. Anemia sedang cukup diberikan Sulfas Ferosus 600
mg/hari, untuk anemia berat lakukan transfusi. Kadar hCG diatas 100.000 IU/L praevakuasi
menunjukkan masih terdapat trofoblast aktif (diluar uterus atau invasif), berikan kemoterapi
MTX dan pantau beta-hCG serta besar uterus secara klinis dan USG tiap 2 minggu. Selama
pemantauan, pasien dianjurkan untuk menggunakan kontrasepsi hormonal (apabila masih
ingin anak) atau tubektomy apabila ingin menghentikan fertilisasi.

10. Prognosis
Resiko kematian/kesakitan pada penderita mola hidatidosa meningkat karena perdarahan,
perforasi uterus, pre-eklamsi berat, tirotoksikosis atau infeksi. Akan tetapi, sekarang kematian
karena mola hidatidosa sudah jarang sekali. Segera setelah jaringan mola dikeluarkan, uterus
akan mengecil, kadar hCG menurun dan akan mencapai kadar normal sekitar 10-12 minggu
pascaevakuasi. Kista lutein juga akan mengecil lagi. Pada beberapa kasus pengecilan ini bisa
mengambil waktu beberapa bulan.
Sebagian besar penderita mola hidatidosa akan baik kembali setelah kuretasi. Bila hamil
lagi, umumnya berjalan normal. Mola hidatidosa berulang dapat terjadi, tetapi jarang.
Walaupun demikian, 15-20% dari penderita pasca mola hidatidosa dapat mengalami
degenerasi keganasan menjadi tumor trofoblas gestasional (TTG), baik berupa mola invasif,
koriokarsinoma, maupun placental site trophoblastic tumor (PSTT).
Keganasan ini biasanya terjadi pada satu tahun pertama pascaevakuasi,yang terbanyak
enam bulan pertama. MHP lebih jarang menjadi ganas. Faktor risiko terjadinya TTG
pascamola hidatidosa adalah umur 35 tahun, uterus diatas 20 minggu, kadar hCG preevakuasi
diatas 100.000 IU/L, dan kista lutein bilateral.

11. AsuhanKeperawatanMola Hidatidosa


a. Pengkajian
Pengkajian adalah pendekatan sistematis untuk mengumpulkan data dan menganalisanya
sehingga dapat diketahui masalah dan kebutuhan perawatan bagi klien.
Adapun hal-hal yang perlu dikaji adalah :
1) Biodata: mengkaji identitas klien dan penanggung yang meliputi; nama, umur, agama, suku
bangsa, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, perkawinan ke- , lamanya perkawinan dan
alamat.
2) Keluhan utama: kaji adanya menstruasi tidak lancar dan adanya perdarahan pervaginam
berulang.
3) Riwayat kesehatan, yang terdiri atas:
Riwayat kesehatan sekarang yaitu keluhan sampai saat klien pergi ke Rumah Sakit atau pada
saat pengkajian seperti perdarahan pervaginam di luar siklus haid, pembesaran uterus lebih
besar dari usia kehamilan.
Riwayat kesehatan masa lalu: kaji adanya kehamilan molahidatidosa sebelumnya, apa
tindakan yang dilakukan, kondisi klien pada saat itu.
Riwayat pembedahan : Kaji adanya pembedahan yang pernah dialami oleh klien, jenis
pembedahan , kapan , oleh siapa dan di mana tindakan tersebut berlangsung.
4) Riwayat penyakit yang pernah dialami: kaji adanya penyakit yang pernah dialami oleh klien
misalnya DM, jantung, hipertensi, masalah ginekologi/urinary, penyakit endokrin, dan
penyakit-penyakit lainnya.
5) Riwayat kesehatan keluarga: yang dapat dikaji melalui genogram dan dari genogram tersebut
dapat diidentifikasi mengenai penyakit turunan dan penyakit menular yang terdapat dalam
keluarga.
6) Riwayat kesehatan reproduksi: kaji tentang menorhoe, siklus menstruasi, lamanya,
banyaknya, sifat darah, bau, warna dan adanya dismenorhoe serta kaji kapan menopause
terjadi, gejala serta keluhan yang menyertainya.
7) Riwayat kehamilan, persalinan dan nifas: kaji bagaimana keadaan anak klien mulai dari
dalam kandungan hingga saat ini, bagaimana keadaan kesehatan anaknya.
8) Riwayat seksual: kaji mengenai aktivitas seksual klien, jenis kontrasepsi yang digunakan
serta keluhan yang menyertainya.
9) Riwayat pemakaian obat: kaji riwayat pemakaian obat-obatankontrasepsi oral, obat digitalis
dan jenis obat lainnya.
10) Pola aktivitas sehari-hari: kaji mengenai nutrisi, cairan dan elektrolit, eliminasi (BAB dan
BAK), istirahat tidur, hygiene, ketergantungan, baik sebelum dan saat sakit.

b. Pemeriksaan Fisik:
1) Inspeksi
Inspeksi adalah proses observasi yang sistematis yang tidak hanya terbatas pada penglihatan
tetapi juga meliputi indera pendengaran dan penghidung.
Hal yang diinspeksi antara lain :
Mengobservasi kulit terhadap warna, perubahan warna, laserasi, lesi terhadap drainase,
Pola pernafasan terhadap kedalaman dan kesimetrisan,
Bahasa tubuh, pergerakan dan postur, penggunaan ekstremitas, adanya keterbatasan fifik, dan
seterusnya.

2) Palpasi
Palpasi adalah menyentuh atau menekan permukaan luar tubuh dengan jari.
Sentuhan: merasakan suatu pembengkakan, mencatat suhu, derajat kelembaban dan tekstur
kulit atau menentukan kekuatan kontraksi uterus.
Tekanan: menentukan karakter nadi, mengevaluasi edema, memperhatikan posisi janin atau
mencubit kulit untuk mengamati turgor.
Pemeriksaan dalam: menentukan tegangan/tonus otot atau respon nyeri yang abnormal.

3) Perkusi
Perkusi adalah melakukan ketukan langsung atau tidak langsung pada permukaan tubuh
tertentu untuk memastikan informasi tentang organ atau jaringan yang ada dibawahnya.
Menggunakan jari: ketuk lutut dan dada dan dengarkan bunyi yang menunjukkan ada
tidaknya cairan , massa atau konsolidasi.
Menggunakan palu perkusi : ketuk lutut dan amati ada tidaknya refleks/gerakan pada kaki
bawah, memeriksa refleks kulit perut apakah ada kontraksi dinding perut atau tidak.

4) Auskultasi
Auskultasi adalah mendengarkan bunyi dalam tubuh dengan bentuan stetoskop dengan
menggambarkan dan menginterpretasikan bunyi yang terdengar.
Mendengar: mendengarkan di ruang antekubiti untuk tekanan darah, dada untuk bunyi
jantung/paru abdomen untuk bising usus atau denyut jantung janin(Johnson & Taylor, 2005 :
39).

c. Diagnosa Keperawatan
1) Nyeri berhubungan denganterputusnyakontinuitasjaringan.
2) Intoleransi aktivitasberhubungandengankelemahan.
3) Gangguan pola tidur berhubungandenganadanyanyeri.
4) Gangguan rasa nyaman: hipertermi berhubungandengan proses infeksi.
5) Kecemasan berhubungan denganperubahan status kesehatan.

d. Intervensi
1) Diagnosa I: Nyeri berhubungan dengan terputusnya kontinuitas jaringan
Tujuan : Klien akanmeninjukkannyeriberkurang/hilang.
Kriteria hasil :
Klien mengatakan nyeri berkurang/hilang,
Ekspresi wajah tenang,
TTV dalam batas normal.

Intervensi:
Kaji tingkat nyeri, lokasi dan skala nyeri yang dirasakan klien.
Rasional: mengetahui tingkat nyeri yang dirasakan sehingga dapat membantu menentukan
intervensi yang tepat.
Observasi tanda-tanda vital tiap 8 jam.
Rasional: perubahan tanda-tanda vital terutama suhu dan nadi merupakan salah satu indikasi
peningkatan nyeri yang dialami oleh klien.
Anjurkan klien untuk melakukan teknik relaksasi.
Rasional: teknik relaksasi dapat membuat klien merasa sedikit nyaman dan distraksi dapat
mengalihkan perhatian klien terhadap nyeri sehingga dapat mambantu mengurangi nyeri yang
dirasakan.
Beri posisi yang nyaman.
Rasional: posisi yang nyaman dapat menghindarkan penekanan pada area luka/nyeri.
Kolaborasi pemberian analgetik.
Rasional: obat-obatan analgetik akan memblok reseptor nyeri sehingga nyeri tidat dapat
dipersepsikan.

2). Diagnosa II: intoleran aktivitas berhubungan dengan kelemahan.


Tujuan:klien akan menunjukkan terpenuhinya kebutuhan rawat diri.
Kriteriahasil:
Kebutuhan personal hygiene terpenuhi,
Klien nampak rapi dan bersih.

Intervensi:
Kaji kemampuan klien dalam memenuhi rawat diri.
Rasional: untuk mengetahui tingkat kemampuan/ketergantungan klien dalam merawat diri
sehingga dapat membantu klien dalam memenuhi kebutuhan hygienenya.
Bantu klien dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Rasional: kebutuhan hygiene klien terpenuhi tanpa membuat klien ketergantungan pada
perawat.
Anjurkan klien untuk melakukan aktivitas sesuai kemampuannya.
Rasional: pelaksanaan aktivitas dapat membantu klien untuk mengembalikan kekuatan secara
bertahap dan menambah kemandirian dalam memenuhi kebutuhannya.
Anjurkan keluarga klien untuk selalu berada di dekat klien dan membantu memenuhi
kebutuhan klien.
Rasional: membantu memenuhi kebutuhan klien yang tidak terpenuhi secara mandiri.

3). Diagnosa III: gangguan pola tidur berhubungan dengan adanya nyeri.
Tujuan:klien akan mengungkapkan pola tidurnya tidak terganggu.
Kriteria hasil:
Klien dapat tidur 7-8 jam per hari,
Konjungtiva tidak anemis.

Intervensi:
Kaji pola tidur.
Rasional: dengan mengetahui pola tidur klien, akanmemudahkan dalam menentukan
intervensi selanjutnya.
Ciptakan lingkungan yang nyaman dan tenang.
Rasional: memberikan kesempatan pada klien untuk beristirahat.
Anjurkan klien minum susu hangat sebelum tidur.
Rasional: susu mengandung protein yang tinggi sehingga dapat merangsang untuk tidur.
Batasi jumlah penjaga klien.
Rasional: dengan jumlah penjaga klien yang dibatasi maka kebisingan di ruangan dapat
dikurangi sehingga klien dapat beristirahat.
Memberlakukan jam besuk.
Rasional: memberikan kesempatan pada klien untuk beristirahat.
Kolaborasi dengan tim medis pemberian obat tidur Diazepam.
Rasional: Diazepam berfungsi untuk merelaksasi otot sehingga klien dapat tenang dan mudah
tidur.

4). Diagnosa IV: gangguan rasa nyaman: hipertermi berhubungan dengan proses infeksi.
Tujuan:klien akan menunjukkan tidak terjadi panas.
Kriteria hasil:
Tanda-tanda vital dalam batas normal,
Klien tidak mengalami komplikasi.

Intervensi :
Pantau suhu klien, perhatikan menggigil/diaphoresis.
Rasional: suhu diatas normal menunjukkan terjadinya proses infeksi, pola demam dapat
membantu diagnosa.
Pantau suhu lingkungan.
Rasional: suhu ruangan harus diubah atau dipertahankan, suhu harus mendekati normal.
Anjurkan untuk minum air hangat dalam jumlah yang banyak.
Rasional: minum banyak dapat membantu menurunkan demam.
Berikan kompres hangat.
Rasional: kompres hangat dapat membantu penyerapan panas sehingga dapat menurunkan
suhu tubuh.
Kolaborasi pemberian obat antipiretik.
Rasional: digunakan untuk mengurangi demam dengan aksi pada hipothalamus.

5). Diagnosa V: kecemasan berhubungan dengan perubahan status kesehatan.


Tujuan:klien akan menunjukkan kecemasan berkurang/hilang.
Kriteria hasil:
Ekspresi wajah tenang,
Klien tidak sering bertanya tentang penyakitnya.
Intervensi:
Kaji tingkat kecemasan klien.
Rasional: mengetahui sejauh mana kecemasan tersebut mengganggu klien.
Beri kesempatan pada klien untuk mengungkapkan perasaannya.
Rasional: ungkapan perasaan dapat memberikan rasa lega sehingga mengurangi kecemasan.
Mendengarkan keluhan klien dengan empati.
Rasional: dengan mendengarkan keluahan klien secara empati maka klien akan merasa
diperhatikan.
Jelaskan pada klien tentang proses penyakit dan terapi yang diberikan.
Rasional: menambah pengetahuan klien sehingga klien tahu dan mengerti tentang
penyakitnya.
Beri dorongan spiritual/support.
Rasional: menciptakan ketenangan batin sehingga kecemasan dapat berkurang.

BAB III
TINJAUAN KASUS

A. Kasus :
Ny. S 38 tahun, seorang ibu rumah tangga, G9P0A8, masuk rumah sakit tanggal 19
September 2011 dengan keluhan merasa hamil disertai mual muntah dan perdarahan
pervaginam. Berdasarkan hasil pengkajian didapatkan hasil: uterus sebesar 16 minggu, porsio
tertutup, fluxus (+).
Dengan hasil pemeriksaan laboratorium: hemopoetik: normal, SGOT 444,3 U/L. T3
1,58ng/ml, T4 > 24,86 ug/dl, TSH 0,005 mLU/L, beta hCG 772,093 IU/ml, fungsi ginjal baik.

B. Pengkajian
1. Informasi umum
Nama : Ny S
Umur : 38 Tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Tanggal masuk : 19 september 2011
Diagnosa medik : Mola hidatidosa

2. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan utama
Klien mengatakan merasa hamil disertai mual muntah dan pendarahan pervaginam
b. Riwayat penyakit sekarang
Klien merasa hamil dan mual muntah, dan keluar darah pervaginam
c. Riwayat obstetric dan gynekologi
Klien dengan G9 P0 A8. Saat ini klien berada dikehamilan yang ke 9 namun sudah 8 kali
mengalami keguguran dan belum mempunyai anak.

3. Pemeriksaan fisik
a. Uterus sebesar 16 minggu
b. Forsio tertutup
c. Fluxus ( + )
Hasil pemeriksaan laboratorium :
a. Hemopoetik : Normal
b. SGOT : 444,3 v/l
c. SGPT : 566,7 v/l
d. T3 : 1,58 ng/ml
e. T4 : 724,86 ug/dl
f. TSH : 0,05 ml u/l
g. hCG : 772,093 IU/ml

C. Diagnosa Keperawatan
1. Risiko nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan mual muntah
DS : Klien mengatakan mual muntah.
DO : Nilai beta hCG tinggi yaitu 772,093 IU/ml

2. Risiko infeksi berhubungan dengan perdarahan pervagina yang abnormal


DS : Klien mengatakan masih mengeluarkan darah pervagina
Do :
Terdapat perdarahan pervagina yang abnormal
TSH : 0,05 VTV/ml
3. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang pemahaman dan tidak mengenal sumber
informasi
DS : Klien mengatakan ia merasa hamil
DO :
Uterus sebesar 16 minggu
porsio tertutup
fluxus (+).

D. Intervensi
1. Resiko nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan mual muntah
a. Tujuan : klien akan mengungkapkan nutrisi terpenuhi
b. Kriteria hasil :
Nafsu makan meningkat
Porsi makan dihabiskan
Mual muntah teratasi
c. Intervensi
Kaji status nutrisi klien
Rasional : sebagai awal menetapkan langlah selanjutnya
Anjurkan makan sedikit demi sedikit tapi sering.
Rasional : makan demi sedikit mampu membantu meminimalkan anoreksia.
Anjurkan makan-makanan dalam keadaan hangat dan bervariasi
Rasional : makanan yang hangat dan bervariasi dapat membangkitkan nafsu makanan klien.
Timbang berat badan sesuai indikasi
Rasional : mengevaluasi kefektifan atau kebutuhan mengubah pemberian nutrisi.
Tingkatkan kenyaman lingkungan termasuk sosialisasi saat makan dan anjurkan orang
terdekat untuk membawa makanan yang disukai klien.
Rasional : sosialisasi waktu makan dengan orang terdekat atau teman dapat meningkatkan
pemasukan dan menormalkan fungsi makanan.

2. Risiko infeksi berhubungan dengan perdarahan pervagina yang abnormal


a. Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam infeksi tidak terjadi
b. Kriteria hasil :
Tidak ada tanda-tanda infeksi (dolor, color, rubor, tumor dan fungsi leasa)
Tanda-tanda vital dalam batas normal
c. Intervensi :
Catat suhu, jumlah bau dan warna darah pervagina
Rasional : kehilangan darah berlebihan dengan penurunan haemoglobin meningkatkan risiko
klien untuk terkena infeksi.
Pantau respon merugikan pada pemberian produk darah
Rasional : pengenalan dan intervensi dini dapat mencegah situasi yang mengancam hidup.
Berikan informasi tentang risiko penerimaan produk darah
Rasional : komplikasi seperti hepatitis dan (HIV / AIDS) dapat tidak bermanfestasi selama
perawatan di rumah sakit.
Anjurkan ganti pembalut bila basah atau habis BAK
Rasional : basah merupakan media kuman untuk berkembang
Kolaborasi pemberian antibiotik
Rasional : untuk mencegah dan meminimalkan infeksi.

3. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang pemahaman dan tidak mengenal sumber
informasi
a. Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 24 jam diharapkan klien
mengerti / paham tentang penyakitnya.
b. Kriteria hasil :
Klien tampak rileks
Klien dapat mengungkapkan tentang penyakitnya dalam istilah sederhana sesuai dengan
situasi klinis.
Tanda-tanda vital dalam batas normal
c. Intervensi :
Jelaskan tindakan dan rasional yang ditentukan untuk kondisi hemoragic
Rasional : memberi informasi, Memperjelas kesalahan konsep dan membantu menurunkan
stress yang berhubungan.
Kaji ulang pengetahuan pasien tentang pengetahuan
Rasional : untuk mengetahui seberapa jauh pengetahuan pasien tentang penyakitnya.
Motivasi pasien untuk menerima keadaannya
Rasional : untuk mengetahui seberapa jauh pengetahuan pasien tentang penyakitnya.
Motivasi pasien untuk menerima keadaannya
Rasional : penerimaan tentang keadaan dapat mengurangi stress psikologisnya.
Libatkan keluarga untuk memberi dukungan moril maupun spiritual pada klien.
Rasional : memberi support membantu untuk pemulihan kesembuhan pasien.

BAB IV
PEMBAHASAN
Pada bab ini akan dibahas mengenai asuhan keperawatan yang ditemukan pada kasus
Ny. S dengan kehamilan Mola hidatidosa pada tanggal 19 September 2011 dimana dalam
memberikan asuhan keperawatan penulis menggunakan pendekatan proses keperawatan,
intervensi, implementasi dan evaluasi. Masalah keperawatan yang muncul adalah : resiko
kekurangan nutrisi, resiko infeksi, dan kurang pengetahuan.
1. Risiko nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan mual muntah
Menurut Rock CL (2004), nutrisi adalah proses dimana tubuh manusia menggunakan
makanan untuk membentuk energi, mempertahankankesehatan, pertumbuhan dan untuk
berlangsungnya fungsi normalsetiap organ baik antara asupan nutrisi dengan kebutuhan
nutrisi.
Asupan nutrisi pada ibu hamil saat trimester pertama harus termasuk keseimbangan porsi
nutrisi esensial dengan penekanan pada kualitas. Asupan protein selama kehamilan
ditingkatkan hingga 60 g. Ibu yang berisiko tinggi disarankan untuk melipat gandakan asupan
protein yang normal. Asupan kalsium harus ditingkatkan hingga 1200 mg/hari. Kalsium
diperlukan untuk perkembangan gigi dan tulang, kontraksi otot, dan penggumpalan darah
janin. Ibu yang mengalami penurunan asupan nutrisi terutama protein dapat menimbulkan
gejala patologis pada janin. Gejala patologis biasanya berupa mual muntah yang berlebihan,
perdarahan pervagina.Mual muntah pada ibu hamil dapat menimbulkan resiko kekurangan
nutrisi yang bisa mempengaruhi kondisi kesehatan ibu dan janin. Mual muntah yang
berlebihan disebabkan pembesaran uterus yang abnormal lebih dari pembesaran uterus saat
kehamilan normal sehingga menyebabkan distensi abdomen. Biasanya pembesaran yang
menunjukkan gejala patologis saat ibu hamil berada pada trimester 1. Selain itu, produksi
hCG yanng meningkat dapat menyebabkan mual muntah.

2. Risiko infeksi berhubungan dengan perdarahan pervagina yang abnormal


Risiko terhadap infeksi adalah suatu kondisi dimana individu beresiko terkena agen
oportunis atau patogenesis (virus, jamur, bakteri, protozoa dan parasit lain) dari berbagai
sumber dari dalam atau dari luar tubuh (Lynda Juall C, 1997). Faktor yang berhubungan
dengan risiko infeksi adalah sebagai masalah atau kondisi kesehatan yang dapat
meningkatkan berkembangnya infeksi (Lynda Juall C, 1997). Menurut Marilyn E. Doengoes
(1999) faktor infeksi meliputi pertahanan sekunder tidak adekuat misal : penurunan
haemoglobin, leucopenia atau penurunan granulosit (respon inflamasi tutukan).
Diagnosa ini penulis rumuskan karena penulis menemukan adanya data : ada perdarahan
pervagina yang abnormal, Hb : 11,20 gr%, leukosit : 8,50 ribu/mmk, S : 37 oC, TSH < 0,05
vtv/ml. Dari data tersebut sudah dapat diangkat diagnosa risiko tinggi infeksi berhubungan
dengan pengeluaran darah pervagina yang abnormal. Apabila masalah ini tidak diatasi maka
akan terjadi infeksi pada kandungannya apabila tidak segera dikeluarkan.
Diagnosa risiko infeksi penulis prioritaskan pada masalah keperawatan kedua karena
merupakan keadaan yang kemungkinan bisa muncul dan menjadi suatu permasalahan dan
apabila hal ini tidak dicegah maka risiko dapat menjadi aktual.
Selanjutnya untuk mengatasi masalah tersebut penulis membuat perencanaan dengan
tujuan agar infeksi tidak terjadi dalam jangka waktu 2 x 24 jam dengan kriteria hasil tanda-
tanda infeksi tidak ada (dolor, color, rubor, tumor dan fungtio leasa), tanda-tanda vital dalam
batas normal. Adapun perencanaan yang telah penulis buat adalah : catat suhu, catat jumlah
bau, warna darah pervagina rasional kehilangan darah berlebihan dengan penurunan
hemoglobin, meningkatkan risiko klien untuk terkena infeksi, pantau respon merugikan pada
pemberian produk darah. Rasional : pengenalan dan intervensi dini dapat mencegah situasi
yang mengancam hidup, berikan informasi tentang risiko penerimaan produk darah, rasional :
komplikasi seperti hepatitis dan (HIV / AIDS) dapat tidak bermanifestasi selama perawatan di
rumah sakit, Kolaborasi pemberian antibiotik rasional : untuk mencegah infeksi dan
meminimalkan infeksi, anjurkan ganti pembalut bila basah habis BAK, karena basah
merupakan media kuman untuk berkembang.
3. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang pemahaman dan tidak mengenal sumber
informasi
Kurangnya pengetahuan adalah : suatu keadaan dimana seorang individu atau kelompok
mengalami defisiensi pengetahuan kognitif atau ketrampilan psikomotorik berkenaan dengan
kondisi atau rencana pengobatan (Lynda Juall C,1997).
Batasan karakteristik mayor : mengungkapkan kurang pengetahuan atau keterampilan-
keterampilan / permintaan informasi, mengeskpresikan suatu ketidakakuratan persepsi status
kesehatan, melakukan dengan tidak tepat perilaku kesehatan dengan dianjurkan atau
diinginan.
Batasan karakteristik minor : kurang integritas tentang rencana pengobatan ke dalam aktifitas
sehari-hari, memperlihatkana atau mengekspresikan perubahan psikologis (misalnya anietas,
depresi) mengakibatkan kesalahan informasi atau kuranginformasi.
Diagnasa kurangnya pengetahuan berhubungan dengan tidak mengenal sumber informasi
tentang penyait dan penatalaksanannya penulis tegakkan dengan problem kurangnya
pengetahuan pasien tentang penyakit dan penatalaksanannya karena pada saat pengkajian
ditemukan data : klien mengatakan belum tahu tentang penyakit yang dideritanya saat ini.
Diagnosa kurangnya pengetahuan berhubungan dengan kurang pemahaman dan tidak
mengenal sumber informasi, penulis tetapkan sebagai prioritas ketiga sesuai teori triage
konsep, dimana kurang pengetahuan merupakan masalah yang berkembang lambat dan
dapat ditolerir pasien. Walaupun ditemukan masalah masalah ini harus diatasi dan perlu
tindakan yang tepat apabila pasien tidak tahu tentang penyakitnya.
Untuk mengatasi masalah kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang pemahaman
dan tidak mengenal sumber informasi penulis menetapkan intervensi : jelaskan tindakan dan
rasional yang ditentukan unduk kondisi haemoradi (curettage) rasional : memberikan
informasi dapat memperjelas kesalahan konsep dan dapat membantu menurunkan stress yang
berhubungan, beri kesempatan bagi pasien untuk mengajukan pertanyaan rasional :
memberikan klarifikasi dari konsep yang salah dari kesempatan untuk mengembangkan
keterampilan koping, kaji ulang pengetahuan pasien tentang pengetahuan rasional : untuk
mengetahui seberapa jauh pengetahuan pasien tentang penyakitnya. Motivasi pasien untuk
menerima keadaannya rasional : penerimaan tentang keadaan dapat mengurangi stress
pskologisnya, libatkan keluarga untuk memberi dukungan moril maupun spiritual pada pasien
rasional : memberikan support membantu untuk pemulihan kesembuhan pasien.

BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pada wanita yang mengalami Mola hidatidosa sering mengalami mual muntah akibat
produksi Hcg yang tinggi. Produksi ini meningkat disebabkan pembesaran uterus yang
abnormal lebih besar daripada pembesaran uterus biasanya. Sehingga menyebabkan distensi
rahim yang bisa menyebabkan mual muntah pada penderita Mola hidatidosa. Selain itu
perdarahan yang abnormal saat usia kehamilan masih muda, dapat menyebabkan resiko tinggi
infeksi. Resiko infeksi harus segera diatasi untuk menghindari gejala infeksi yaang dapat
membahayakan bagi keselamatan wanita tersebut. Perlu pengetahuan ibu tentang beberapa
gejala penyakit yang dapat menyerang ibu hamil saat berada pada usia kehamilannya yang
masih baru tau berada pada Trimester 1.
B. Saran
Penulis memberikan saran untuk ibu yang sedang hamil agar intensif dalam
melakukan pemeriksaan kandungannya. Hal ini dilakukan untuk mengetahui ada atau tidak
adanya gejala patologis yang sering terjadi saat sedang mengandung. Apabila terjadi gejala
patologis, ibu harus cepat melaporkan kepada pelaku medis agar tidak terjadi komplikasi lain
pada kandungannya. Pelaku medis khususnya perawat harus memiliki sikap profesionalisme
dalam bekerja dan mampu melakukan asuhan keperawatan secara tepat kepada ibu yang
terdeteksi adanya kelainan seperti penderita Mola hidatidosa.

DAFTAR PUSTAKA

Mansjoer, Arif, dkk. 2005. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesbulapius Fakultas
UI.
Wiknjosartro, Hanifa. 2005. Ilmu Kandungan. Jakarta : Yaysan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.
Sastrawinata, Sulaiman. 2004. Ilmu Kesehatan Reproduksi Edisi 2. Jakarta : EGC.
Underwood, J.CE. 1999. Patologi Umum dan Sistematik Edisi 2 Volume 2. Jakarta: EGC

A. Pengertian

Mola hidatidosa adalah chorionic villi (jonjotan/gantungan) yang tumbuh berganda


berupa gelembung-gelembung kecil yang mengandung banyak cairan sehingga
menyerupai buah anggur atau mata ikan. Karena itu disebut juga hamil anggur atau
mata ikan. (Mochtar, Rustam, dkk, 1998 : 238)

Mola hidatidosa adalah kehamilan abnormal, dengan ciri-ciri stoma villus korialis langka,
vaskularisasi dan edematus. Janin biasanya meninggal akan tetapi villus-villus yang
membesar dan edematus itu hidup dan tumbuh terus, gambaran yang diberikan adalah
sebagai segugus buah anggur. (Wiknjosastro, Hanifa, dkk, 2002 : 339).

Mola hidatidosa adalah kehamilan abnormal di mana hampir seluruh villi kariolisnya
mengalami perubahan hidrofobik.(Mansjoer, Arif, dkk, 2001 : 265). Mola hidatidosa
adalah kelainan villi chorialis yang terdiri dari berbagai tingkat proliferasi tropoblast dan
edema stroma villi. (Jack A. Pritchard, dkk, 1991 : 514)

Mola hidatidosa adalah pembengkakan kistik, hidropik, daripada villi choriales, sdisertai
proliperasi hiperplastik dan anaplastik epitel chorion. Tidak terbentuk fetus ( Soekojo,
Saleh, 1973 : 325). Mola hidatidosa adalah perubahan abnormal dari villi korionik
menjadi sejumlah kista yang menyerupai anggur yang dipenuhi dengan cairan. Embrio
mati dan mola tumbuh dengan cepat, membesarnya uterus dan menghasilkan sejumlah
besar human chorionic gonadotropin (hCG) (Hamilton, C. Mary, 1995 : 104)

B. Etiologi
Penyebab mola hidatidosa tidak diketahui secara pasti, namun faktor penyebabnya
adalah :

1. Faktor ovum : ovum memang sudah patologik sehingga mati, tetapi terlambat
dikeluarkan.Spermatozoa memasuki ovum yang telah kehilangan nukleusnya atau
dua serum memasuki ovum tersebut sehingga akan terjadi kelainan atau
gangguan dalam pembuahan.

2. Imunoselektif dari tropoblast, yaitu dengan kematian fetus, pembuluh darah pada
stroma villi menjadi jarang dan stroma villi menjadi sembab dan akhirnya terjadi
hyperplasia sel-sel trofoblast.

3. Keadaan sosio-ekonomi yang rendah, dalam masa kehamilan keperluan zat-zat


gizi meningkat. Hal ini diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan dan
perkembangan janin, dengan keadaan sosial ekonomi yang rendah maka untuk
memenuhi gizi yang diperlukan tubuh kurang sehingga mengakibatkan gangguan
dalam pertumbuhan dan perkembangan janinnya.

4. Paritas tinggi, Ibu multipara cenderung beresiko terjado kehamilan mola


hidatidosa karena trauma kelahiran atau penyimpangan transmisi secara genetic
yang dapat di identifikasikan dan penggunaan stimulan drulasi seperti klomifen
atau menotropiris ( pergonal ).

5. Kekurangan protein, Protein adalah zat untuk membangun jaringan bagian tubuh
sehubungan dengan pertumbuhan janin, rahim dan buah dada ibu, keperluaan
akan zat protein pada waktu hamil sangat meningkat apabila kekurangan protein
dalam makanan mengakibatkan akan lahir lebih kecil dari normal.

6. f. Infeksi virus dan faktor kromosom yang belum jelas, infeksi mikroba dapat
mengenai semua orang termasuk wanita hamil. Masuk atau adanya mikroba
dalam tubuh manusia tidak selalu akan menimbulkan penyakit. Hal ini sangat
tergantung dari jumlah mikroba yang masuk virulensinya serta daya tahan tubuh.
(Mochtar, Rustam ,1998 : 238)

C. Patofisiologis

Mola hidatidosa dapat terbagi menjadi :

1. Mola hidatidosa komplet (klasik), jika tidak ditemukan janin. Villi korealis diubah
menjadi masa gelembung-gelembung bening yang besarnya berbeda-beda. Masa
tersebut dapat tumbuh membesar sampai mengisi uterus yang sama besarnya
dengan kehamilan normal lanjut.
2. Mola hidatidosa inkomplet (parsial), jika disertai janin atau bagian janin.

Ada beberapa teori yang diajukan untuk menerangkan patogenesis dari penyakit
trofoblast :

1. Teori missed abortion. Mudigah mati pada kehamilan 3 5 minggu karena itu
terjadi gangguan peredarah darah sehingga terjadi penimbunan cairan masenkim
dari villi dan akhirnya terbentuklah gelembung-gelembung.

2. Teori neoplasma dari Park. Sel-sel trofoblast adalah abnormal dan memiliki fungsi
yang abnormal dimana terjadi reabsorbsi cairan yang berlebihan ke dalam villi
sehigga timbul gelembung.

3. Studi dari Hertig lebih menegaskan lagi bahwa mola hidatidosa semata-mata
akibat akumulasi cairan yang menyertai degenerasi awal atau tidak adanya
embrio komplit pada minggu ke tiga dan ke lima. Adanya sirkulasi maternal yang
terus menerus dan tidak adanya fetus menyebabkan trofoblast berproliferasi dan
melakukan fungsinya selama pembentukan cairan. (Silvia, Wilson, 2000 : 467)

Menurut Sarwono, 1994, patofisiologis dari kehamilan mola hidatidosa yaitu karena tidak
sempurnanya peredaran darah fetus, yang terjadi pada sel telur patologik yaitu hasil
pembuahan dimana embrionya mati pada umur kehamilan 3 5 minggu dan karena
pembuluh darah villi tidak berfungsi maka terjadi penimbunan di dalam jaringan
masenkim villi.

D. Manifestasi Klinis

Gambaran klinik yang biasanya timbul pada klien dengan mola hidatidosa adalah :

1. Amenore dan tanda-tanda kehamilan.

2. Perdarahan pervaginam berulang. Darah cenderung berwarna coklat. Pada


keadaan lanjut kadang keluar gelembung mola.

3. Pembesaran uterus lebih besar dari usia kehamilan.


4. Tidak terabanya bagian janin pada palpasi dan tidak terdengarnya BJJ sekalipun
uterus sudah membesar setinggi pusat atau lebih.

5. Preeklampsia atau eklampsia yang terjadi sebelum kehamilan 24 minggu.


(Mansjoer, Arif, dkk, 2001 : 266)

E. Komplikasi

1. Perdarahan yang hebat sampai syok

2. Perdarahan berulang-ulang yang dapat menyebabkan anemi

3. Infeksi sekunder

4. Perforasi karena tindakan atau keganasan

F. Tes Diagnosis

1. Pemeriksaan kadar beta hCG : pada mola terdapat peningkatan kadar beta hCG
darah atau urin

2. Uji Sonde : Sonde (penduga rahim) dimasukkan pelan-pelan dan hati-hati ke


dalam kanalis servikalis dan kavum uteri. Bila tidak ada tahanan, sonde diputar
setelah ditarik sedikit, bila tetap tidak ada tahanan, kemungkinan mola (cara
Acosta-Sison)

3. Foto rontgen abdomen : tidak terlihat tilang-tulang janini (pada kehamilan 3 4


bulan

4. Ultrasonografi : pada mola akan terlihat badai salju (snow flake pattern) dan tidak
terlihat janin
5. Foto thoraks : pada mola ada gambaram emboli udara

6. Pemeriksaan T3 dan T4 bila ada gejala tirotoksikosis


(Arif Mansjoer, dkk, 2001 : 266)

G. Penatalaksanaan Medis

Penanganan yang biasa dilakukan pada mola hidatidosa adalah

1. Diagnosis dini akan menguntungkan prognosis

2. Pemeriksaan USG sangat membantu diagnosis. Pada fasilitas kesehatan di mana


sumber daya sangat terbatas, dapat dilakukan :
Evaluasi klinik dengan fokus pada :
- Riwayat haid terakhir dan kehamilan

- Perdarahan tidak teratur atau spotting

- Pembesaran abnormal uterus

- Pelunakan serviks dan korpus uteri

- Kajian uji kehamilan dengan pengenceran urin

- Pastikan tidak ada janin (Ballottement) atau DJJ sebelum upaya diagnosis.

1. Lakukan pengosongan jaringan mola dengan segera

2. Antisipasi komplikasi (krisis tiroid, perdarahan hebat atau perforasi uterus)

3. Lakukan pengamatan lanjut hingga minimal 1 tahun.

Selain dari penanganan di atas, masih terdapat beberapa penanganan khusus yang
dilakukan pada pasien dengan mola hidatidosa, yaitu :

1. Segera lakukan evakuasi jaringan mola dan sementara proses evakuasi


berlangsung berikan infus 10 IU oksitosin dalam 500 ml NaCl atau RL dengan
kecepatan 40-60 tetes per menit (sebagai tindakan preventif terhadap
perdarahan hebat dan efektifitas kontraksi terhadap pengosongan uterus secara
tepat).

2. Pengosongan dengan Aspirasi Vakum lebih aman dari kuretase tajam. Bila sumber
vakum adalah tabung manual, siapkan peralatan AVM minimal 3 set agar dapat
digunakan secara bergantian hingga pengosongan kavum uteri selesai.

3. Kenali dan tangani komplikasi seperti tirotoksikasi atau krisis tiroid baik sebelum,
selama dan setelah prosedur evakuasi. Anemia sedang cukup diberikan Sulfas
Ferosus 600 mg/hari, untuk anemia berat lakukan transfusi
Kadar hCG diatas 100.000 IU/L praevakuasi menunjukkan masih terdapat
trofoblast aktif (diluar uterus atau invasif), berikan kemoterapi MTX dan pantau
beta-hCG serta besar uterus secara klinis dan USG tiap 2 minggu
Selama pemantauan, pasien dianjurkan untuk menggunakan kontrasepsi
hormonal (apabila masih ingin anak) atau tubektomy apabila ingin menghentikan
fertilisasi.

H. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul, antara lain :

1. Kekurangan volumen cairan b.d perdarahan per vaginam.

2. Gangguan rasa nyaman: nyeri akut b.d perdarahan, proses penjalaran penyakit.

3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d penurunan asupan


oral, ketidaknyamanan mulut, mual sekunder akibat peningkatan kadar -hCG.

4. Ansietas b.d ancaman intregritas biologis aktual atau yang dirasa sekunder akibat
penyakit.

5. Ketidakefektifan pola seksualitas b.d ketakutan terkaitan perdarahan per vaginam


penyakitnya.

I. Intervensi Keperawatan

1. Kekurangan volume cairan b.d perdarahan per vaginam.


Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam klien dapat
mempertahankan keseimbangan cairan.

Kriteria Hasil :

1. Perdarahan tidak ada

Intervensi:

1. Monitor tanda-tanda vital klien dalam batas normal (TD 120/80 mmHg, nadi 88
x/menit, RR 22 24 x/menit, suhu 36-37 C).

2. Mengawasi turgor kulit rasionalnya juga untuk memonitor adanya tanda-tanda


dehidrasi.

3. Monitor intake dan output rasionalnya kita dapat mengetahui dengan segera
cairan yang masuk dan keluar baik lewat peroral maupun parental.

4. Tingkatkan dan pantau keseimbangan cairan dan elektrolit

5. Pantau cairan IV

6. Kolaborasi dokter untuk pemberian therapy rasionalnya adalah untuk mencegah


terjadinya kekurangan cairan lebih lanjut sehingga sesegera mungkin diberikan
therapy.

1. Gangguan rasa nyaman : nyeri b.d perdarahan, proses penjalaran penyakit

Tujuan : Nyeri berkurang dalam waktu 1 x 24 jam

Kriteria Hasil :
1. Klien mengekspresikan penurunan nyeri/ ketidaknyamanan

2. Klien tampak rileks, dapat tidur dan istirahat dengan tepat.

Intervensi:

1. Beri informasi yang akurat untuk mengurangi rasa takut

2. Bicarakan alasan individu mengalami peningkatan atau penurunan nyeri


(misalnya: keletihan/meningkat atau adanya distraksi/menurun)

3. Beri individu kesempatan untuk istirahat siang dan dengan waktu tidur yang tidak
terganggu pada malam hari.

4. Bicarakan dengan individu dan keluarga penggunaan terapi distraksi serta


metode pereda nyeri lain.

5. Ajarkan tindakan pereda nyeri non invasif

1. Relaksasi

1) Beri tahu teknik untuk menurunkan ketegangan otot rangka yang dapat
menurunkan intensitas nyeri.

2) Tingkatkan relaksasi pijat punggung, masase, atau mandi air hangat.

3) Ajarkan strategi relaksasi khusus (misal : bernapas perlahan, teratur, atau


nafas dalam, kepalkan tinju, menguap)

1. Stimulasi kutan

Jelaskan manfaat terapeutik dari preparat mentol/pijat punggung

1. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian analgesik.


2. Pantau tanda-tanda vital klien

3. Pantau intensitas nyeri klien

3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d penurunan asupan


oral, ketidaknyamanan mulut, mual akibat peningkatan kadar -hCG

Tujuan : Nutrisi klien terpenuhi dalam waktu 2x24 jam

Kriteria Hasil :

- Klien menyatakan nafsu makannya meningkat

- Klien terlihat tidak lemah

- Porsi makan klien habis

Intervensi :

1. Jelaskan alasan mengapa nafsu makan klien menurun akkibat kemoterapi

2. Jelaskan pentingnya nutrisi adekuat bagi proses penyembuhan penyakit

3. Beri dorongan klien agar meningkatkan selera makannya

4. Beri suasana makan yang rileks

5. Tawarkan makanan porsi kecil tapi sering untuk mengurangi perasaan tegang
pada lambung

6. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk penetapan asupan nutrisi klien


7. Pantau kadar -hCG pasien secara berkala

8. Pantau porsi makan yang dihabiskan klien

4. Ansietas b.d ancaman intregritas biologis aktual atau yang dirasa sekunder
akibat penyakit

Tujuan : Klien menyatakan dapat menerima penyakitnya dengan baik

Kriteria Hasil:

a) Klien terlihat tidak cemas akibat penyakitnya

b) Klien mampu menggunakan mekanisme koping yang efektif.

Intervensi:

1. Beri kenyamanan dan ketentraman hati.

2. Singkirkan stimulasi yang berlebihan.

3. Bila ansietas telah berkurang dan cukup untuk terjadi pemahaman, bantu klien
mengenali ansietas untuk mulai memahami atau memecahkan masalah.

4. Gali intervensi yang menurunkan ansietas

5. Beri aktivitas yang dapat menurunkan tegangan.

6. Pantau keadaan umum klien

4. Ketidakefektifan pola seksualitas b.d ketakutan terkaitan perdarahan per vaginam


penyakitnya.
Tujuan : Klien mengetahui kapan saja dia bisa melakukan hubungan seksual

Kriteria Hasil:

c) Pola seksualitas klien normal

d) Klien terlihat tidak cemas terhadap aktifitas seksualnya

e) Klien mampu menggunakan mekanisme koping yang efektif.

Intervensi:

1. Identifikasi penyebab ketidakefektifan pola seksualitas

2. Kaji tingkat kecemasan klien

3. Jelaskan pada klien waktu untuk melakukan hubungan seksual sesuai kondisinya

4. Beri edukasi tentang keadaan klien apabila berhubungan seksual

5. Tekankan bahwa penyakitnya tidak mempunyai dampak yang serius pada fungsi
seksualitasnya

6. Pantau keadaan umum klien

Anda mungkin juga menyukai