Anda di halaman 1dari 45

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN

MOLA HIDATIDOSA

TIM PENYUSUN :
1. ADI PRASTYO PURNOMO NIM : 08190100073.
2. PITRA SURIANI SINAGA NIM : 08190100070
3. KHAIRUL UMAM NIM : 08190100074
4. FARA DEWI UTAMI P.L NIM : 08190100072
5. ADETYAS MAULANA NIM : 08190100068
6. SUENDRA NIM : 08190100069
DAFTAR ISI

BAB I..........................................................................................1

PENDAHULUAN..........................................................................1

BAB 2.........................................................................................3

TINJAUAN PUSTAKA...................................................................3

BAB III......................................................................................36

ASUHAN KEPERAWATAN..........................................................36

BAB IV......................................................................................44

KESIMPULAN............................................................................44

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Molahidatidosa adalah Tumor jinak dari trofoblast dan merupakan
kehamilan abnormal, dengan ciri-ciri stoma villus korialis langka, vaskularisasi
dan edematous, janin biasanya meninggal akan tetapi villus-villus yang
membesar dan edematous itu hidup dan tumbuh terus menerus, sehingga
gambaran yang diberikan adalah sebagai segugus buah anggur. Penyebab pasti
terjadinya kehamilan Mola hidatidosa belum diketahui pasti, namun ada
beberapa faktor yang memengaruhinya yaitu faktor ovum, imunoselektif
trofoblast, usia, keadaan sosio-ekonomi yang rendah, paritas tinggi, defisiensi
protein, infeksi virus dan faktor kromosom yang jelas, dan riwayat kehamilan
mola sebelumnya. Jenis pada molahidatidosa yaitu Molahidatidosa Komplet
(MHK) dan Molahidatidosa Parsial (MHP). Angka kematian yang diakibatkan oleh
kehamilan Molahidatidosa berkisar antara 2,2% - 5,7%. 
Pada kehamilan Molahidatidosa jika tidak dilakukan penanganan secara
komprehensif maka masalah kompleks dapat timbul sebagai akibat adanya
kehamilan dengan Molahidatidosa yaitu TTG (Tumor Trofoblast Gestasional)
dimana TTG ini terbagi menjadi 2 macam yaitu: Choriocarcinoma non Villosum
dan Choriocarcinoma Villosum yang bersifat hematogen dan dapat bermetastase
ke vagina, paru-paru, ginjal, hati bahkan sampai ke otak. Dengan presentasi
kejadian tersebut adalah 18-20% keganasan. 
Penatalaksanaan pada Molahidatidosa ada tiga tahap yaitu perbaikan
keadaan umum ibu, pengeluaran jaringan mola dengan cara  Kuretase atau
Histerektomi, dan pemeriksaan tindak lanjut yaitu follow up selama 12 bulan,
dengan mengukur kadar β-HCG dan mencegah kehamilan selama 1 tahun.
Tindak lanjut serta penatalaksanaan saat ini berpusat pada pengukuran serial
kadar β-HCG serum untuk mendeteksi Tumor Trofoblast Persisten.
Penyakit ini, baik dalam bentuk jinak atau ganas, banyak ditemukan di
Negara Asia, sedangkan di Negara bagian Barat lebih jarang. Angka di Indonesia
umumnya berupa angka Rumah Sakit yaitu RSCM, untuk Mola Hidatidosa
berkisar 1:50 sampai 1:141 kehamilan. Angka ini jauh lebih tinggi disbanding
Negara-negara barat dimana insidennya berkisar 1:1000 sampai 1:2500
kehamilan untuk kejadian Molahidatidosa.

B.   Tujuan
1.      Tujuan Umum
Mampu menganalisis Asuhan Keperawatan pada Molahidatidosa
2.      Tujuan Khusus
a.       Mampu menganalisis Molahidatidosa
b.      Mampu menganalisis Asuhan Keperawatan Molahidatidosa
c.       Mampu menganalisis hasil Analisa Asuhan Keperawatan Molahidatidosa
d.      Mampu menganalisis Penatalaksanaan Asuhan Keperawatan Molahidatidosa

C.    Manfaat
1.      Bagi Penulis
Dengan mengetahui bagaimana Asuhan Keperawatan ini, diharapkan
dapat menambah wawasan dan pengetahuan penulis dalam penatalaksanaan
klien dengan kehamilan Mola hidatidosa.
2.      Bagi Institusi Pendidikan
Dengan penyusunan laporan kasus ini diharapkan agar menjadi bahan
masukan, informasi, maupun untuk pengembangan materi perkuliahan bagi
mahasiswa dan menambah bahan perpustakaan di Sekolah Tinggi Ilmu
Kesehatan Indinesia Maju.
3.      Bagi Instansi Kesehatan
Diharapkan dapat meningkatkan mutu pelayanan kesehatan yang sesuai
dengan Asuhan Keperawatan dengan Mola Hidatidosa.

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Mola Hidatidosa


2.1.1Definisi Mola Hidatidosa
Suatu kehamilan yang tidak wajar, yang sebagian atau seluruh vili
korialisnya mengalami degenerasi hidrofik berupa gelembung yang menyerupai
anggur (Martaadisoebrata, 2005). Mola Hidatidosa (MH) secara histologis
ditandai oleh kelainan vili korionik yang terdiri dari proliferasi trofoblas dengan
derajat bervariasi dan edema stroma vilus. MH biasanya terletak di rongga
uterus, namun kadang-kadang MH terletak di tuba fallopi dan bahkan ovarium
(Cunningham FG, 2010).

2.1.2 Epidemiologi
Angka kejadian MH secara pasti sangatlah bervariasi di dalam beberapa
populasi yang berbeda. Pada penelitian epidemiologi ditemukan angaka kejadian
MH di Amerika Serikat adalah 108 per 100.000 kehamilan; di Itali 62 per 100.000
kehamilan, di Indonesia 993 per 100.000 kehamilan, dan di Cina 667 per 100.000
kehamilan (Benirschke K, 2005).

Angka kejadian MHK tertinggi di Asia Tenggara, dengan insiden 1-2/1000


kehamilan di Jepang dan Cina, dan 12/1000 kehamilan di Indonesia, India, dan
Turki. Di Amerika Utara dan Eropa, rata-rata insiden mencapai 0,5-1/1000
kehamilan (Kruger TF, 2007). Perlu dicatat bahwa hampir semua data
epidemiologi merujuk terutama untuk MHK dan relatif sedikit yang diketahui
tentang epidemiologi MHP (Fox H, 2007).
MH cenderung lebih sering terjadi pada wanita dengan usia reproduksi
yang ekstrim (Hayashi et al; La Vecchia et al; Atrash et al; Bagswe et al; Paradinas
et al; Di Cintio et al; Sebire et al ) oleh karena itu populasi MH pada kehamilan

3
usia dini dan usia tua diharapkan lebih tinggi dibanding dengan kehamilan pada
rentang usia yang lebih terbatas. Hal ini dapat menjelaskan beberapa perbedaan
observasi regional tetapi tentu tidak semuanya (Fox H, 2007).
Upaya untuk mendefinisikan peranan etnik, gizi, dan sosioekonomi dalam
keragaman MH secara regional pada umumnya tidak berhasil, namun pada
penemuan baru-baru ini dalam insiden MH di bagian Asia, faktor sosioekonomi
harus diikutsertakan (Fox H, 2007).
Kehamilan kembar mola, yang terdiri dari normal fetus dan MHK, jelas
tidak biasa namun tetap menjadi subyek dari sejumlah besar laporan (Matsui et
al 2000; Sebire et al 2002; Fox 2003; Wee & Jauniaux 2005; Valsbuch et al 2005)
(Fox H, 2007). Kehamilan kembar dengan MHK serta janin dan plasenta normal
kadang-kadang salah diagnosis sebagai MHP diploid sebaiknya keduanya
diupayakan dibedakan, karena kehamilan kembar yang terdiri dari satu janin
normal dan satu MHK memiliki kemungkinan 50% untuk menyebabkan penyakit
trofoblastik persisten dibandingkan dengan angka yang jauh lebih rendah pada
MHP triploid (Cunningham FG, 2005).

2.1.3 Anatomi fisiologi plasenta


Plasenta normal memiliki trofoblas yang diklasifikasikan berdasarkan
lokasi dan bentuk sitologinya. Yang dimaksud vilus trofoblas adalah trofoblas
yang tumbuh bersama vili korionik, sedangkan ekstravilus trofoblas adalah
trofoblas yang menginfiltrasi ke dalam desidua, miometrium dan pembuluh
darah plasenta. Trofoblas dibagi menjadi tiga tipe : sitotrofoblas,
sinsitiotrofoblas, dan trofoblas intermediet. Sitotrofoblas bertanggung jawab
untuk proliferasi, sinsitiotrofoblas bertanggung jawab memproduksi sebagian
besar hormon, dan bentukan diantara keduanya adalah trofoblas intermediet
yang bertanggung jawab atas invasi endometrium dan implantasi (Kruger TF,
2007).
Sinsitiotrofoblas memproduksi hCG pada hari ke-12 kehamilan. Sekresi
meningkat dengan cepat dan mencapai puncaknya pada minggu ke-8 sampai ke-

4
10 kehamilan. Pada hari ke-12 kehamilan human Placental Lactogen (hPL) juga
terdapat di sinsitiotrofoblas. Produksi terus meningkat selama kehamilan.
Sitotrofoblas merupakan sel trofoblas primitif, tidak memproduksi hCG dan hPL.
Trofoblas intermediet tumbuh ke dalam desidua dan miometrium, dan
mpembuluh darah berada di antara sel-sel normal. Pada awal hari ke-12 setelah
konsepsi, trofoblas intermediet memproduksi hPL. Puncak sekresi pada minggu
ke-11 sampai minggu ke-15 kehamilan (Hoskins WJ, 2005).

http://elsaindah.blogspot.com/2009_02_01_archive.html
Gambar 2.1 Anatomi Plasenta

2.1.4Etiologi
Walaupun penyakit ini sudah dikenal sejak abad keenam, tetapi sampai
sekarang belum diketahui dengan pasti penyebabnya. Oleh karena itu,
pengetahuan pengetahuan tentang faktor resiko menjadi penting agar dapat
menghindari terjadinya MH, seperti tidak hamil di usia ekstrim dan memperbaiki
gizi (Martaadisoebrata, 2005).
2.1.5 Patogenesis

Ada beberapa teori yang diajukan menerangkan patogenesis dari

5
penyakit trofoblas. Diantaranya Hertig et al, mengatakan bahwa pada MH terjadi
insufisiensi peredaran darah akibat matinya embrio pada minggu ke 3-5 (missed
abortion), sehingga terjadi penimbunan cairan dalam jaringan mesenhim vili dan
terbentuklah kista-kista kecil yang makin lama makin besar, sampai pada
akhirnya terbentuklah gelembung mola. Sedangkan proliferasi trofoblas
merupakan akibat dari tekanan vili yang oedemateus tadi (Martaadisoebrata,
2005).
Sebaliknya, Park mengatakan bahwa yang primer adalah adanya jaringan
trofoblas yang abnormal, baik berupa hiperplasia, displasi maupun neoplasi.
Bentuk abnormal ini disertai pula dengan fungsi yang abnormal, dimana terjadi
absorbsi cairan yang berlebihan ke vili. Keadaan ini menekan pembuluh darah,
yang akhirnya menyebabkan kematian embrio (Martaadisoebrata, 2005).
Reynolds mengatakan bahwa, bila wanita hamil, terutama antara hari ke
13 dan 21, mengalami kekurangan asam folat dan histidine, akan mengalami
gangguan pembentukan thymidine, yang merupakan bagian penting dari DNA.
Akibat kekurangan gizi ini akan menyebabkan kematian embrio dan gangguan
angiogenesis, yang pada gilirannya akan menimbulkan perubahan hidrofik
(Martaadisoebrata, 2005).
Teori yang sekarang dianut adalah teori sitogenetik. Seperti diketahui,
kehamilan yang sempurna harus terdiri dari unsur ibu yang akan membentuk
bagian embrional (anak) dan unsur ayah yang diperlukan untuk membentuk
bagian ekstraembrional (plasenta, air ketuban dan lain- lain), secara seimbang
(Martaadisoebrata, 2005).
Imprint gen mempunyai peranan yang penting pada perkembangan MH.
Pencetakan (imprinting) merupakan proses di mana gen spesifik mengalami
metilasi sehingga mereka tidak lagi dapat ditranskripsi. Perkembangan embrio
normal membutuhkan satu set gen yang dicetak secara maternal dan gen lain
dicetak secara paternal. Pada MH, dua set gen yang dicetak secara paternal.
Pada keadaan ini trofoblas displasia, namun janin tidak terberntuk (Heffner LJ,

6
2005).
Studi yang dilakukan pada mencit memperlihatkan bahwa gen yang
berasal dari paternal mempunyai peranan dalam perkembangan plasenta dan
gen yang berasal dari maternal berperan dalam perkembangan fetus. Sehingga
perkembangan materi genetik paternal dapat menyebakan proliferasi trofoblas
yang berlebihan. Pada MHK hanya punya DNA paternal sehingga terjadi
proliferasi trofoblas yang banyak bila dibandingkan MHP (Lumongga, 2009).
Identifikasi kromosom paternal mempunyai peranan penting dalam
diagnosis MH, maka banyak dikembangkan teknik pemeriksaan yang berasal dari
paternal kromosom. Pemeriksaan tersebut antara lain adalah : Polymerase Chain
Reaction (PCR). DNA fingerprinting, restriction fragmen lenght polymorphism
(RFLP) assesment, short tandem repeat – derived DNA polymorphism,
flowcytometri dan analisis DNA dengan menggunakan images analysis
(Lumongga, 2009).

2.1.6 Faktor resiko


Faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya MH adalah :
a. Usia ibu

Peningkatan resiko untuk MHK karena kedua usia reproduksi yang ekstrim
(terlalu muda dan terlalu tua) (Daftary, 2006). Menurut Kruger TF, hal ini
berhubungan dengan keadaan patologis ovum premature dan postmature
(Kruger TF, 2007). Ovum patologis terjadi karena gangguan pada proses meiosis,
sehingga ovum tidak memiliki inti sel (Martaadisoebrata, 2005). Jika ovum
patologis tersebut dibuahi oleh satu sel sperma maka karyotipe yang dihasilkan
adalah 46,XX homozigot dan ini adalah karyotipe tersering yang ditemukan pada
MHK (90%) (Berek, 2007).
Menurut Berek, ovum dari wanita yang lebih tua lebih rentan terhadap
pembuahan yang abnormal. Dalam sebuah penelitian, resiko untuk MHK
meningkat 2,0 kali lipat untuk wanita yang lebih tua dari 35 tahun dan 7,5 kali
lipat untuk wanita yang lebih tua dari 40 tahun (Berek, 2007).

7
b. Status gizi
Dalam masa kehamilan keperluan akan zat-zat gizi meningkat. Hal ini
diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan dan perkembangan janin,
dengan keadaan sosial ekonomi yang rendah maka untuk memenuhi zat-zat gizi
yang diperlukan tubuh kurang sehingga mengakibatkan gangguan dalam
pertumbuhan dan perkembangan janinnya (Saleh, 2005).
Studi kasus kontrol dari Italia dan Amerika Serikat telah menunjukkan
bahwa asupan makanan rendah karoten dapat dikaitkan dengan peningkatan
resiko kehamilan MHK. Daerah dengan tingginya insiden kehamilan mola juga
memiliki frekuensi tinggi kekurangan vitamin A. Faktor diet, karena itu, sebagian
dapat menjelaskan variasi regional dalam insiden MHK (Berek, 2007).

Berkowitz et al menyatakan bahwa kekurangan prekusor vitamin A, karoten,


atau lemak hewan sebagai faktor penyerapan vitamin A, yang mungkin menjadi
faktor penyebab MH. Kekurangan vitamin A menyebabkan penyusutan janin dan
kegagalan pembangunan epitel pada hewan betina dan degenerasi epitel
semineferous dengan penurunan perkembangan gamet yang pada hewan jantan
(Berek, 2009).
c. Riwayat obstetri
Resiko untuk MHK dan MHP meningkat pada wanita dengan riwayat
aborsi spontan sebelumnya (Brinton LA, 2005). Sebuah MH sebelumnya juga
merupakan faktor resiko yang kuat (Berek, 2009). Ibu multipara cenderung
beresiko terjadi kehamilan mola hidatidosa karena trauma kelahiran atau
penyimpangan tranmisi secara genetik (Saleh, 2005).
d. Genetik
Faktor resiko lain yang mendapat perhatian adalah genetik. Hasil
penelitian sitogenetik Kajii et al dan Lawler et al, menunjukkan bahwa pada
kasus MH lebih banyak ditemukan kelainan Balance translocation dibandingkan
dengan populasi normal (4,6% dan 0,6%). Ada kemungkinan, pada wanita
dengan kelainan sitogenetik seperti ini, lebih banyak mengalami gangguan

8
proses meiosis berupa nondysjunction, sehingga lebih banyak terjadi ovum yang
kosong atau intinya tidak aktif (Martaadisoebrata, 2005).
e. Kontrasepsi oral dan perdarahan irreguler

Resiko untuk mola parsial dihubungkan dengan penggunaan kontrasepsi


oral dan riwayat perdarahan irregular (Berek, 2007). Kontrasepsi oral,
peningkatan resiko MH dengan lamanya penggunaan. Sepuluh tahun atau lebih
meningkatkan resiko lebih dari 2 kali lipat (Berek, 2009). Pada salah satu
penelitian efek ini terbatas pada pengguna estrogen dosis tinggi, meskipun pada
penelitian yang lain menyebutkan pil tidak berefek pada komplikasi pascaMH
(Hoskins WJ, 2005).
f. Golongan darah
Ibu dengan golongan darah A dan ayah dengan golongan darah A atau O
memiliki resiko meningkat dibandingkan dengan semua kombinasi golongan
darah lain . Penemuan ini mendukung faktor genetik atau faktor imunologik
berkaitan dengan histokompatibilitas ibu dan jaringan trofoblas. (Hoskins WJ,
2005).
g. Merokok, konsumsi alkohol, infeksi
Merokok dilaporkan meningkatkan resiko GTD. Resiko relatif wanita yang
merokok lebih dari 15 batang per hari adalah 2,6 dibandingkan 2,2 pada wanita
yang merokok kurang dari 15 batang per hari. Lama waktu merokok
berhubungan dengan insiden GTD. Peran alkohol dan infeksi (Human Papilloma
virus, Adenovirus, dan Tuberkulosis) juga telah dipertimbangkan (Berek, 2009).
Meskipun peran genetik di dalam perkembangan MH adalah pasti, sedikit
diketahui tentang genotip yang menjadi faktor predisposisi MH atau faktor
lingkungan yang meningkatkan resiko patologis ovum. (Hoskins WJ, 2005).

2.1.7 Klasifikasi
MH diklasifikasikan menjadi MHK dan MHP berdasarkan morfologi,
histopatologi, dan karyotip (Daftary dan Desai, 2006). MHP harus dipisahkan dari
MHK, karena antara keduanaya terdapat perbedaan yang mendasar, baik dilihat

9
dari segi patogenesis (sitogenetik), klinis, prognosis, maupun gambaran PA-nya
(Martaadisoebrata, 2005).

2.1.7.1 Mola hidatidosa komplit


MHK merupakan kehamilan abnormal tanpa embrio yang seluruh vili
korialisnya mengalami degenerasi hidrofik yang menyerupai anggur. Mikroskopik
tampak edema stroma vili tanpa vaskularisasi disertai hiperplasia dari kedua
lapisan trofoblas (Sastrawinata S, 2004).
Pada waktu yang lalu MHK rata-rata terjadi pada usia kehamilan 16
minggu, tetapi pada saat ini dengan kemajuan teknologi ultrasonografi, MHK
dapat didetiksi pada usia kehamilan yang lebih muda. Secara klinis tampak
pembesaran uterus yang lebih besar dari usia kehamilan dan pasien melihatkan
gejala toksik kehamilan. Abortus terjadi dengan perdarahan abnormal dan
disertai dengan keluarnya jaringan mola. Pada pemeriksaan laboratorium terjadi
peningkatan titer serum β human Chorionic Gonadotropin (β hCG) yang
jumlahnya diatas 82,350 mlU/ml (Lumongga, 2009).

a. Gambaran makroskopis

Secara makroskopik ditandai dengan gelembung-gelembung putih,


tembus pandang, berisi cairan jernih dengan ukuran yang bervariasi dari
beberapa milimeter sampai 1-2 centimeter. Massa tersebut dapat tumbuh besar
sehingga memenuhi uterus (Sudiono J, 2001).

(N Engl J Med, 2001)

10
Gambar 2.2 Bentuk Makoskopis MHK

b. Karyotipe
MHK mempunyai komplemen genetik yang androgenik, yaitu material
genetik berasal dari paternal (Lumongga, 2009). MHK biasanya mempunyai
kariotype 46 XX dan kromosom dari mola diperoleh sepenuhnya dari ayah.
Sebagian besar MHK adalah homozigot dan timbul dari ovum kosong yang telah
dibuahi oleh sperma haploid (23X), yang mereplikasi dari kromosomnya sendiri.
Kromosom pada MHK berasal dari pihak ayah dan DNA mitokondria berasal dari
pihak ibu (Berkowitz RS, 2009).

Kromosom asal dari MHK adalah diploid. Pada 90 % kasus, ovum yang kosong
tidak mengandung genom DNA dibuahi oleh satu sperma, yang berduplikasi DNA
nya sendiri. Sehingga dapat menjadi abnormal 46XX karyotip. Sedangkan 10%
kasus, ovum yang kosong dibuahi oleh dua sperma, hasilnya adalah abnormal
46XX atau 46XY kariotype (Morgan, 2005).
Seperti diketahui, kehamilan yang sempurna harus terdiri dari unsur ibu
yang akan membentuk bagian embrional (anak) dan unsur ayah yang diperlukan
untuk membentuk bagian ekstraembrional (plasenta, air ketuban dan lain-lain),
secara seimbang. Karean tidak ada unsur ibu, pada MHK tidak ada bagian
embrional (janin). Yang ada hanya bagian ekstraembrional yang patologis berupa
vili korialis yang mengalami degenerasi hidrofik seperti anggur (Lumongga,
2009).

11
(Berek, 2007)
Gambar 2.3 Karyotipe MHK
Mengapa ada ovum yang kosong bisa terjadi karena gangguan pada
miosis, ynag seharusnya diploid 46XX pecah menjadi 2 haploid 23 X, terjadi
peristiwa yang disebut sebagi nondysjunction, dimana hasil pemecahannya
adalah 0 dan 46 XX. Pada MHK, ovum 0 inilah yang dibuahi. Gangguan proses
meosis ini, antara lain terjadi pada kelainan struktural kromosom, berupa
balanced translocation (Martaadisoebrata, 2005).

c. Gambaran mikroskopis
Gambaran mikroskopis dari MHK adalah udem pada vili dengan
pembentukan sisterna. Sisterna adalah rongga aseluler yang terletak pada
bagian tengah vilous yang berisi cairan udem. Tetapi tidak semua vili terdapat
sisterna. Pada vili dapat dijumpai nekrosis dan kalsifikasi parsial. Pembuluh darah
pada vili biasanya tidak terlihat, oleh karena perkembangan fetus yang terhenti
pada awal masa pembentukan plasenta. Sel-sel trofoblas hiperplasia dan
proliferasi abnormal yang terdapat disekeliling vili korion (Lumongga, 2009).
Gambaran histologi MHK :
1. Degenerasi hidrofobik dan pembengkakan Stroma Vilus.

12
2. Tidak adanya pembuluh darah di vilus yang membengkak
3. Proliferasi epitel tropoblas dengan derajat bervariasi
4. Tidak adanya janin dan amnion.

(Berek, 2007)
Gambar 2.4 Gambaran Histologi MHK

13
d. Hasil pemeriksaan USG
MHK dicirikan oleh pembengkakan vili korionik, pada ultrasonografi
ditemukan pola vesicular. MHK yang didiagnosis dalam trimester pertama
menunjukkan kavitas yang kurang dan vili yang lebih kecil. Namun demikian,
ultrasonografi masih bisa digunakan untuk mendeteksi sebagian besar kasus.
Sebagai contoh, dalam satu laporan dari 24 kasus MHK pada trimester pertama
(usia kehamilan, 8,7 minggu), 16 kasus (71%) yang didiagnosis dengan benar
pada pemeriksaan ultrasonografi awal (Berkowitz RS, 2009).
Temuan ultrasonografi yang tidak termasuk ciri MH biasanya dianggap
menunjukkan missed abortion. Peningkatan hCG yang tinggi pada saat
pemeriksaan ultrasonografi dapat membantu membedakan MHK dari missed
abortion. Namun, diagnosis pasti membutuhkan konfirmasi oleh patolog.
Pemeriksaan ultrasonografi seperti pada gambar Gambar 2.5 dari pasien dengan
MHK pada trimester pertama. Menunjukkan perubahan vesikular menyebar di
dalam plasenta; kantung gestasional tidak ada (Berkowitz RS, 2009).

Sumber : The new England Journal of medicine (Berkowitz RS, Goldstein DP, 2009).

Gambar 2.5 Pemeriksaan Ultrasonografi MHK

Pada pemeriksaan utrasonografi terlihat sebuah uterus yang terisi oleh


kista multipel dan area ekogenik yang bervariasi ukuran dan bentuknya (snow-
storm appearance) tanpa adanya embrio dan fetus. Dengan menggunakan
pemeriksaan ini, 79% MHK dapat dideteksi (Wladimiroff W, 2009).

14
2.1.7.2 Mola hidatidosa parsial

Merupakan keadaan dimana perubahan mola bersifat lokal serta belum


begitu jauh dan masih terdapat janin atau sedikitnya kantong amnion. Umumnya
janin mati pada bulan pertama (Sudiono J, 2001).

a. Gambaran makroskopis
Secara makroskopis tampak gelembung mola yang disertai janin atau
bagian dari janin (Sudiono J, 2001). Mola parsial tampak gambaran vili yang
normal dan udem. Pada mola parsial sering dijumpai komponen janin. Penderita
sering dijumpai pada usia kehamilan lebih tua, yaitu 18-20 minggu. Pada
pemeriksaan laboratorium, peningkatan kadar serum β hCG tidak terlalu tinggi
(Lumongga,2009).

http://library.med.utah.edu/WebPath/jpeg2/PLAC066.jpg
Gambar 2.6 Bentuk Makroskopis MHP

b. Karyotip
Karyotip biasanya triploid 69,XXX, 69,XXY, atau 69,XYY dengan satu
komplemen haploid ibu dan dua haploid ayah. Janin pada mola parsial memiliki
stigmata triploid, yaitu malformasi kongenital multipel dan hambatan
pertumbuhan, serta tidak mungkin hidup (Leveno KJ, 2004).

15
(Lumongga, 2009)
Gambar 2.7 (Karyotipe MHP)

c. Gambaran mikroskopis

Gambaran mikroskopis yang tampak adalah sebagian vili immatur yang


relatif normal dan sebagian lagi vili yang membesar dengan degenerasi hidrofik.
Pada tepi vili terdiri dari sel-sel sitotrofoblas dan sinsitiotrofoblas yang tersusun
ireguler berbentuk scalloping. Sisterna jarang dijumpai. Dapat terlihat
pseudoinklusi trofoblas yang disebabkan oleh pemotongan tangensial vili pada
tepi vili yang irregular. Pada vili dapat terjadi fibrosis yang fokal. Derajat atipia
dan proliferasi trofoblas tidak terlalu banyak bila dibandingkan dengan MHK.
Pembuluh darah pada vili sering dijumpai (Lumongga, 2009).

Gambar 2.8 Gambaran Histologi MHP (Berek, 2007)

Pada gambaran histologi tampak bagian vili yang avaskuler, terjadi


pembengkakan hidatidosa yang berjalan lambat, sementara vili yang vaskuler
dari sirkulasi darah fetus. Plasenta yang masih berfungsi tidak mengalami
perubahan (Sudiono J, 2001).

d. Hasil pemeriksaan USG

Mola parsial pada pemeriksaan ultrasonografi berkarakteristik seperti pada

16
gambar 2.9. Seperti itu temuan yang telah ditampilkan secara signifikan terkait
dengan kehadiran mola parsial termasuk perubahan kistik plasenta secara fokal
dan rasio transversal terhadap dimensi anteroposterior kantung kehamilan yang
lebih dari 1,5. Temuan terakhir mungkin terkait dengan triploid. Di sebuah
penelitian, ketika kedua temuan telah dicatat, nilai prediktif positif untuk mola
parsial 87%, meskipun temuan ini belum divalidasi. Periksaan ultrasonografi
seperti pada gambar 2.9 dari pasien dengan mola parsial trimester pertama.
Menunjukkan perubahan vesikular fokal di dalam plasenta dan janin dengan
kantung gestasional (bawah) (Berkowitz RS, 2009).

Sumber : The new England Journal of medicine (Berkowitz RS, 2009).

Gambar 2.9 Pemeriksaan Ultrasonografi Mola Parsial

Pada pemeriksaan ultrasonografi, MHP dicirikan dengan pembesaran


plasenta, lebih tebal 4 cm dari insersi corda pada trimester kedua dan terdiri dari
banyak area kista (swiss cheese appearance). Diagnosis MHP lebih sulit daripada
MHK, dengan pemeriksaan ini hanya 29% yang dapat dideteksi dalam penelitian
skala besar (Wladimiroff W, 2009).

17
Tabel 2.1 Perbedaan Mola Hidatidosa Parsial dan Mola Hiadatidosa Komplit
Gambaran MHP MHK
Karyotipe Umumnya 69,XXX atau 46,XX atau a6,XY
69,XXY
Patologi
Janin Saring ada Tidak ada
Amnion, sel darah merah Biasanya ada Tidak ada
janin
Edema vilus Bervariasi fokal Merata
Proliferasi trofoblas Bervariasi, fokal, ringan Merata
hingga sedang
Gambaran klinis
Diagnosis Missed abortion Gestasi mola
Ukuran uterus Kecil untuk usia kehamilan 50% lebih besar dari usia
kehamilan
Kista teka-lutein Jarang >25% tergantung modalitas
diagnosis
Penyulit medis Jarang Menjadi berkurang dengan
diagnosis dini
Penyakit pascamolar < 5% 15%- 4%
(The American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG), 2004)

2.1.8 Manifestasi Klinis


Gejala yang dapat ditemukan pada MH adalah:
a. Perdarahan

Perdarahan uterus hampir bersifat universal, dan dapat bervariasi dari


bercak sampai perdarahn berat. Perdarahan mungkin terjadi sesaat sebelum
abortus atau, yang lebih sering, terjadi secara intermitten selama beberapa
minggu sampai bahkan bulan. Efek delusi akibat hipervolumia yang cukup berat
dibuktikan terjadi pada sebagian wanitayang molanya lebih besar. Kadang-
kadang terjadi perdarahan berat yang tertutup di dalam uterus. Anemia
defisiensi besi sering dijumpai dan kadang-kadang terdapat eritropoisis
megaloblastik, mungkin akibat kurangnya asupan gizi karena mual dan muntah
disertai meningkatnya kebutuhan folat trofoblas yang cepat berproliferasi
(Cunningham FG, 2005).

b. Ukuran Uterus
Uterus sering membesar lebih cepat daripada biasanya. Ini adalah

18
kelainan yang etrsering dijumpai, dan pada sekitar separuh kasus, ukuran uterus
jelas melebihi yangyang diharapkan berdasarka usia gestasi. Uterus mungkin
sulit diidentifikasi secara pasti dengan palpasi, terutama pada wanita nullipara,
karena konsistensiny yang lunak di bawah dinding abdomen yang kencang.
Kadang-kadang ovarium sangat membesar akibat kista-kista teka lutein sehingga
sulit dibedakan dari uterus yang membesar (Cunningham FG, 2005).
c. Aktivitas janin
Walaupun uterus cukup membesar sehingga mencapai jauh di atas
simfisis, bunyi jantung janin biasanya tidak terdeteksi. Walaupun jarang,
mungkin terdapat plaseta kembar dengan perkembangan kehamilan MHK pada
salah satunya, sementara plasenta lain dan janinya tampak normal (gambar
2.12). demikian juga, walaupun sangat jarang, plasenta mungkin mengalami
perubahan mola yang luas tetapi disertai janin hidup (Cunningham FG, 2005).
d. Hiperemesis Gravidarum
Hiperemesis gravidarum yang ditandai dengan mual dan muntah yang
berat. Keluhan hiperemesis terdapat pada 14-18% kasus pada kehamilan kurang
dari 24 minggu dan keluhan mual muntah terdapat pada MH dengan tinggi
fundus uteri lebih dari 24 minggu. Pada kehamilan MH, jumlah hormon estrogen
dan gonadotropin korionik terlalu tinggi dan menyebabkan hiperemesis
gravidarum (Manuaba, 2008).
e. Tanda toksemia/ pre-eklampsia pada kehamilan trimester I Preeklamsia
pada MHK tidak berbeda dengan kehamilan biasa,
bisa ringan, berat, bahkan sampai eklamsia. Hanya saja pada MHK terjadinya
lebih dini. Hal yang paling penting adalah keterkaitan MH dengan preeklamsia
yang menetap hingga ke trimester kedua. Memang, karena preeklamsia jarang
dijumpai sebelum 24 minggu, preeklamsia yang terjadi sebelum ini
mengisyaratkan MH (Leveno KJ, 2004).
f. Kista lutein unilateral/bilateral
Pada banyak kasus MH, ovarium mengandung banyak kista teka lutein

19
yang diperkirakan terjadi akibat stimulasi berlebihan elemen-elemen lutein oleh
hormon gonadotropin korion (hCG) dalam jumlah besar, dapat mengalami torsio
infark, dan perdarahan. Karena kista mengecil setelah melahirkan, ooferektomi
jangan dilakukan, kecuali jika ovarium mengalami infark yang luas (Leveno KJ,
2004).
g. Kadar gonadotropin korion tinggi dalam darah dan urin.
h. Embolisai
i. MHP biasanya ditemukan pada saat evaluasi pasien yang didiagnosis
sebagai abortus inkomplit atau missed abortion.
Kadang-kadang disertai gejala lain yang tidak berhubungan dengan
keluhan obstetri, seperti tirotoksikosis, perdarahan gastrointestinal,
dekompensasi kordis, perdarahan intrakranial, perdarahan gastrointestinal, dan
hemoptoe.

Karena efek hCG yang mirip tirotropin, kadar tiroksin plasma pada wanita
dengan MH sering meningkat, tetapi biasanya jarang terjadi gejala klinis
hipertiroidisme (Leveno KJ, 2004).

2.1.9 Dasar diagnosis mola hidatidosa Diagnosis


diagnosis MH berdasarkan :
1. Gejala hamil muda yang sangat menonjol
a. Emesis gravidarum – hiperemesis gravidarum
b. Terdapat komplikasi
1) Tirotoksikosis (2-5%)
2) Hipertensi – preeklamsia (10-15%)
3) Anemia akibat perdarahan
4) Perubahan hemodinamik kardiovaskuler berupa gangguan fungsi jantung
dan gangguan fungsi paru akibat edema atau emboli paru

20
2. Pemeriksaan palpasi
a. Uterus
1) Lebih besar dari usia kehamilan (50-60%)
2) Besarnya sama dengan usia kehamilan (20-25%)
3) Lebih kecil dari usia kehamilan (5-10%)
b. Palpasi lunak seluruhnya
1) Tidak teraba bagisan janin
2) Terdapat bentuk asimetris, bagian menonjol agak padat-mola
destruen.

3. Pemeriksaan USG serial tunggal


a. Sudah dapat dipastikan MH tampak seperti TV rusak
b. Tidak terdapat janin
c. Tampak sebagian plasenta normal dan kemungkinan dapat tampak janin
4. Pemeriksaan laboratorium
a. β-hCG urin tinggi lebih dari 100.000 mIU/ml
b. β-hCG serum di atas 40.000 mIU/ml (Manuaba, 2007).

Sejak sel trofoblas (yang memproduksi hCG) mengalami hiperplastik pada


MH, adanya MHK dicirikan oleh peningkatan hCG yang nyata. Tingkat hCG lebih
besar dari 100.000 mIU per mililiter sebelum evakuasi yang diamati pada 30 dari
74 pasien dengan MHK (41%) dalam satu seri dan 70 dari 153 pasien dengan
MHK (46%)(Berkowitz RS, 2009).
Dibandingkan dengan MHK, MHP dicirikan oleh kurang menonjolnya
hiperplasia trofoblastik. Dengan demikian, pasien dengan mola parsial jarang
disertai dengan peningkatan hCG yang tinggi. Dilaporkan tingkat hCG serum yang
lebih besar dari 100.000 mIU per mililiter pada presentasi hanya 2 dari 30 pasien
dengan mola parsial. Demikian pula, hanya 1 dari 17 pasien dengan mola parsial
(Berkowitz RS, 2009).

21
Pemeriksaan lain yang dapat diguakan adalah :
1. Memasukkan sonde intrauterin, jika tanpa tahanan, hanifa positif. Hal ini
berarti MH.

2. Penyuntikan bahan kontras secara intrauterin, foto abdomen, akan tampak


gambaran seperti sarang tawon.
3. Pemeriksaan MRI
a. Tidak tampak janin
b. Jaringan MH jelas terlihat
Pemeriksaan terakhir jarang dipergunakan karena dengan USG diagnosis
sudah jelas. Sekitar 10% kasus dijumpai MHP (Manuaba, 2007).

2.1.10 Diagnosis pasti mola hidatidosa komplit

Diagnosis pasti MHK ditentukan oleh hasil pemeriksaan Patologi Anatomi,

yang secara mikroskopis tampak sebagai berikut; stroma vili korialis yang

edematus, yang tidak mengandung pembuluh darah (tanpa vaskularisasi),

disertai hiperplasi dari sel sitotrofoblas dan sel sinsitiotrofoblas.

Beberapa pakar menganggap bahwa dengan melihat gambaran PA- nya,


dapat diprediksi apakah MHK itu akan mengalami transformasi keganasan atau
tidak. Antara lain dikatakan, kalau ditemukan proliferasi sel-sel trofoblas yang
berlebihan, kemungkinan terjadinya keganasan lebih besar. (Martaadisoebrata,
2005)
2.1.11Penatalaksanaan
MH harus dievakuasi sesegera mungkin setelah diagnosis ditegakkan. Bila
perlu lakukan stabilisasi dahulu dengan melakukan perbaikan keadaan umum
penderita dengan mengobati beberapa kelainan yang menyertai seperti
tirotoksikosis.

Terapi MH terdiri dari 4 tahap yaitu :


1. Memperbaiki keadaan umum

22
a. Koreksi dehidrasi
b. Transfusi darah bila anemia berat
c. Bila ada gejala preeklampsia dan hiperemesis gravidarum diobati sesuai
dengan protokol.
d. Penatalaksanaan hipertiroidisme.

Jika gejala tirotoksikosis berat, terapi dengan obat-obatan antitiroid, ß-


bloker, dan perawatan suportif (pemberian cairan, perawatan respirasi) penting
untuk menghindari presipitasi krisis tiroid selama evaluasi (Martadisoebrata,
2005).
Tujuan terapi adalah untuk mencegah pelepasan T4 yang terus- menerus
dan menghambat konversi menjadi T3 untuk memblok aksi perifer hormon tiroid
dan untuk mengobati faktor-faktor presipitasi. Agen- agen antitiroid dapat
menurunkan level T3 dan T4 serum dengan cepat seperti sodium ipodoat
(orografin, suatu kontras yang mengandung iodine) yang merupakan terapi
pilihan dalam mencegah krisis tiroid setelah hipertiroidisme yang diinduksi
kehamilan mola karena Ca mengurangi konsentrasi T3 dan T4 dengan cepat.
Apabila sodium ipodoat tidak tersedia, PTU harus digunakan dan dikombinasikan
dengan iodida. PTU berbeda dengan metimazol, menghambat konversi T4
menjadi T3 di perifer dan karenanya lebih disukai daripada metimazol. Loading
dose 300-600 mg PTU diikuti oleh 150-300 mg setiap 6 jam (perrektal atau
melalui NGT). Kalium iodida oral (3-5 tetes, 3x sehari, 35 mg iodida/tetes) atau
iodine lugol (30-60 tetes/hari dibagi dala 4 dosis, 8 mg iodida/tetes) atau natrium
iodida intravena (0,25-0,5 g tiap 8-12 jam) menginduksi penurunan level T3 dan
T4 yang cepat (Martadisoebrata, 2005).
ß-bloker digunakan untuk mengontrol takikardi dan gejala lain yang
diaktivasi saraf simpatis. Propanolol dimulai pada dosis 1-2 mg tiap 5 menit
secara intravena (dosis maksimum 6 mg) diikuti dengan propanolol oral pada
dosis 20-40 mg tiap 4-6 jam (Martadisoebrata, 2005).

23
2. Pengeluaran jaringan mola
Bila sudah terjadi evakuasi spontan lakukan kuretase untuk memastikan
kavum uteri sudah kosong. Bila belum lakukan evakuasi dengan kuret hisap. Bila
serviks masih tertutup dapat didilatasi dengan dilator nomor 9 atau 10. Setelah
seluruh jaringan dievakuasi dengan kuret hisap dilanjutkan kuret tajam dengan
hati-hati untuk memastikan kavum uteri kosong. Penggunaan uterotonika tidak
dianjurkan selama proses evakuasi dengan kuret hisap atau kuret tajam. Untuk
menghentikan perdarahan, uterotonika diberikan setelah evakuasi. Induksi
dengan medikamentosa seperti prostaglandin dan oksitosin tidak dianjurkan
karena meningkatkan emboli trofoblas (Martadisoebrata, 2005).
Teknik evakuasi MH ada 2 cara yaitu :

a. Kuretase

1). Dilakukan setelah keadaan umum diperbaiki dan setelah pemeriksaan-


persiapan selesai (pemeriksaan darah rutin, kadar β- hCG serta foto
thoraks), kecuali bila jaringan mola sudah keluar spontan.

2). Bila kanalis servikalis belum terbuka, maka dilakukan pemasangan laminaria
dan kuretase dilakukan 24 jam kemudian.
3). Sebelum kuretase terlebih dahulu siapkan darah 500 cc dan pasang infus
dengan tetesan oksitosin 10 IU dalam 500 cc Dextrose 5%.
4). Kuretase dilakukan sebanyak 2x dengan interval minimal 1 minggu
5). Seluruh jaringan hasil kerokan dikirim ke laboratorium Patologi Anatomi.

b. Histerektomi

Tindakan ini dilakukan pada wanita dengan :


1). Usia > 35 tahun
2). Anak hidup > 3 orang. (Martadisoebrata, 2005).

24
3. Terapi profilaksis dengan sitostatika
Diberikan pada kasus mola dengan resiko tinggi akan terjadi keganasan
misalnya pada usia tua dan paritas tinggi yang menolak untuk dilakukan
histerektomi atau kasus mola dengan hasil histopatologi yang mencurigakan.
Caranya :
a. Methotrexate (MTX) 20 mg/hari i.m, asam folat 10 mg 3dd1 dan Cursil 35
mg 2dd1, selama 5 hari berturut-turut.
Profilaksis dengan tablet MTX, dianggap tidak bermanfaat. Asam folat adalah
antidote dari MTX, Cursil berfungsi sebagai hepatoprotektor.
b. Actinomycin D 1 flakon sehari, selama 5 hari berturut-turut. Tidak perlu
antidote maupun hepatoprotektor.

Indikasi pemberian kemoterapi pada penderita pasca MH adalah sebagai


berikut :
a. Kadar hCG yang tinggi > 4 minggu pascaevakuasi (serum >20.000 IU/liter,
urine >30.000 IU/24 jam).
b. Kadar hCG yang meningkat progresif pasca evakuasi
c. Kadar hCG berapapun juga yang terdeteksi pada 4 bulan pasca evakuasi.
d. Kadar hCG berapapun juga yang disertai tanda-tanda metastasis otak,
renal, hepar, traktus gastrointestinal, atau paru-paru. (Saleh, 2005).
Ada pendapat yang mengatakan, bahwa bila setelah diberikan profilaksis
sitostatika terjadi juga keganasan, pengobatannya lebih sukar. Oleh karena itu,
banyak pakar yang tidak setuju dengan pemberian profilaksis ini. Disamping
alasan di atas, merekan mengatakan juga bahwa sitostatika itu sering
memberikan efek samping yang membahayakan. Dengan follow up yang baik,
kita dapat membuat diagnosis keganasan secara dini sehingga kemoterapi yang
diberikan secara kuratif, akan dapat mengobatinya secara efektif
(Martaadisoebrata, 2005).

25
4. Penatalaksanaan pasca evakuasi Tujuan follow up ada dua :

a. Untuk melihat apakah proses involusi berjalan secara normal, baik anatomis,
laboratoris maupun fungsional, seperti involusi uterus, turunnya kadar Β-hCG
dan kembalinya fungsi haid.
b. Untuk menentukan adanya transformasi keganasan, terutama pada tingkat
yang sangat dini.

Pada umumnya para pakar sepakat bahwa lama follw up berlangsung


selama satu tahun, tetapi ada juga yang sampai dua tahun. Dalam tiga bulan
pertama pascaevakuasi, penderita diminta datang untuk kontrol setiap dua
minggu. Kemudian, tiga bulan berikutnya, setiap satu bulan. Selanjutnya dalam
enam bulan trakhir, tiap dua bulan.
Selama follow up, hal-hal yang perlu dicatat adalah :
a. Keluhan, terutama perdarahan, batuk atau sesak nafas
b. Pemeriksaan ginekologis, terutama adanya tanda-tanda sub-involusi
c. Kadar Β-hCG , terutama bila ditemukan ada tanda-tandadistorsi dari
kurva regresi yang normal.
Bila dalam tiga kali pemeriksaan berturut-turut, ditemukan salah satu dari
tanda-tanda di atas, penderita harus dirawat kembali, untuk pemeriksaan yang
lebih intensif, seperti USG, foto toraks dan lain-lain.
Follow up dihentikan bila sebelum satu tahun wanita sudah hamil normal
lagi, atau bila setelah setahun, tidak ada keluhan, uterus dan kadar Β-hCG dalam
batas normal, serta fungsi haid sudah normal kembali. Selama follow up, kepada
wanita dianjurkan untuk tidak hamil dahulu, karena dapat menimbulkan salah
interpretasi. Salah satu ciri adanya keganasan adalah meningginya kembali kadar
Β-hCG , sedangkan pada kehamilan, Β-hCG yang tadinya normal, akan meninggi
lagi. Dalam keadaan seperti ini, kadang-kadang kita ragu apakah kenaikan kadar
Β- hCG ini disebabkan oleh kehamilan baru atau oleh proses keganasan
(Martadisoebrata, 2005).

26
Jenis kontrasepsi yang dianjurkan adalah kondom, atau kalau Β- hCG
sudah normal, atau haid sudah normal kembali, dapat menggunakan pil
kombinasi. Bila pil antihamil diberikan sebelum Β-hCG normal, kemungkinan
terjadinya keganasan lebih besar. Jangan menggunakan IUD atau preparat
progesteron jangka panjang, seperti DepoProvera atau Norplant, karena kedua-
duanya dapat menyebabkan gangguan perdarahan, yang bisa menyerupai salah
satu tanda adanya transformasi keganasan (Martaadisoebrata, 2005).

2.1.12Kurva regresi Β-hCG paskaevakuasi

Setelah jaringan mola dievakuasi, kadar Β-hCG akan menurun secara


perlahan-lahan, sampai akhirnya tidak terdeteksi lagi. Waktu rata- rata yang
diperlukan untuk mencapai kadar normal (<5 mIU/ml) adalah 12 minggu. Ada
beberapa jenis kurva regresi antara lain yang dibuat oleh Mochizuki. Menurut
Mochizuki pada keadaan normal, β-hCG akan turun sebagai berikut:

(Martaadisoebrata, 2005).

Gambar 2.10 Kurva Regresi β-hCG normal dan abnormal pascaevakuasi

Bila terjadi distorsi dari kurva regresi yang normal, berarti terjadi
keganasan. Karena itu, diagnosis dini TTG ditegakkan dengan memperhatikan

27
kurva regresi ini, dengan syarat penderita harus patuh melakukan follow up.
Mungkin harus dipikirkan cara yang lebih sederhana yang dapat dilakukan
di daerah, misalnya sebagai berikut. Seperti diketahui , menurut Mochizuki, β-
hCG akan menjadi normal (<5mIU/ml) pada minggu ke-12. Sampai minggu ke-12,
sebaiknya follow up dilakukan secara klinis saja. Kalau sampai minggu ke-12 tidak
ditemukan hal-hal yang mencurigakan, baru diperiksa β-hCG secara semi
kuantitatif, misalnyadengan Test Pack (Abbot). Test Pack mempunyai sensitivitas
25 mIU/ml di urine, berarti 50 mIU/ml di darah (Nishimura). Jadi, bila pada
minggu ke-12 Test Pack positif, berarti sudah ada distorsi dari kurva regresi dan
diagnosis TTG dini sudah dapat ditegakkan. Selanjutnya baru diperiksa β-hCG
secara kuantitatif untuk kepentingan prognosis dan terapi. Secara teoritis pola
pikir ini dapat dibenarkan. Untuk membuktikan kebenarannya perlu dilakukan
penelitian. Bila terbukti benar, akan sangat memudahkan follow up, yang pada
gilirannya akan memperbaiki prognosis (Martaadisoebrata, 2005).

2.1.13Prognosis

Setelah dilakukan evakuasi mola secara lengkap, sebagian besar


penderita MHK akan sehat kembali, kecuali 15%-4% yang mungkin akan
mengalami keganasan (TTG).

Umumnya yang menjadi ganas adalah mereka yang termasuk golongan resiko
tinggi, seperti :
a. Usia di atas 35 tahun
b. Besar uterus di atas 30 minggu
c. Kadar Β-hCG di atas 105 mIU/ml
d. Gambaran PA mencurigakan
Saat ini, sudah hampir tidak ada kematian karena MHK. Dibanding MHK,
prognosis MHP jauh lebih baik. Hal itu disebabkan oleh tidak adanya penyulit
dan derajat keganasannya rendah (4%). Walaupun demikian, dalam kepustakaan
ditemukan laporan tentang kasus MHP yang disertai metastasis ke tempat lain .
penderita MHP harus di follow up sama ketatnya seperti MHK

28
(Martaadisoebrata, 2005).
2.2 Hubungan Usia Ibu Hamil dengan MHK
Hamil yang sehat dianjurkan paling muda pada usia 20 tahun, karena
pada usia 20 tahun alat kandungan dan penyangganya sudah cukup matang.
Semasa remaja, alat kandungan belum terbentuk sempurna. Demikian pula
dengan alat-alat yang melengkapi rahim. Otot-otot rahim, fungsi hormon rahim,
dan fungsi hormon indung telur belum sempurna. Namun hamil terakhir
sebaiknya tidak melebihi usia 34 tahun. Kehamilan sebaiknya juga tidak terjadi
setelah berusia 35 tahun. Kehamilan pada ibu yang sudah lebih tua tergolong
tidak sehat. Kemungkinan dapat membuahkan anak yang tidak sehat. Bayi yang
cacat lahir sering berasal dari kehamilan ibu pada usia di atas 35 tahun (Nadesul
H, 2001).

Usia ibu secara konsisten terbukti meningkatkan resiko MH pada wanita


yang lebih muda dari 20 tahun dan lebih tua dari 35 tahun, terkait dengan
kerusakan pada pembentukan dan fungsi oosit pada usia reproduksi yang
ekstrim, dan hanya terkait dengan MHK saja (Altman AD, 2008). Ovum dari
wanita yang lebih tua lebih rentan terhadap pembuahan yang abnormal. Dalam
sebuah penelitian, resiko untuk MHK meningkat 2,0 kali lipat untuk wanita yang
lebih tua dari 35 tahun dan 7,5 kali lipat untuk wanita yang lebih tua dari 40
tahun (Berek, 2007).
Peningkatan resiko untuk MHK karena kedua usia reproduksi yang
ekstrim (terlalu muda dan terlalu tua) (Daftary, 2006). Menurut Kruger TF, hal ini
berhubungan dengan keadaan patologis ovum premature dan postmature
(Kruger TF, 2007). Ovum patologis terjadi karena gangguang pada proses
meiosis, sehingga ovum tidak memiliki inti sel (Martaadisoebrata, 2005). Jika
ovum patologis tersebut dibuahi oleh satu sel sperma maka karyotipe yang
dihasilkan adalah 46,XX homozigot dan ini adalah karyotipe tersering yang
ditemukan pada MHK (90%) (Berek, 2007). Sedangkan jika ovum yang tanpa inti
sel tersebut dibuahi oleh dua sel sperma maka karyotipe yang dihasilkan adalah

29
46 XX heterozigot (Berek, 2007). Jadi, kromosom MHK itu seperti wanita, tetapi
kedua X- nya berasal dari ayah sehingga disebut dengan diploid androgenik.
Karena tidak ada unsur ibu, maka pada MHK tidak ada bagian embrional (janin).
Yang ada hanya bagian ekstraembrional yang patologis berupa vili korialis yang
mengalami degenarasi hidrofik seperti anggur (Martaadisoebrata, 2005).

30
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Kasus
          Ny. X berusia 30 tahun dibawah keluarganya karena mengalami
pendarahan. Klien sudah 6 hari mengalami pendarahan. Hasil pemeriksaan
diadapatkan vulva tampak kotor dan keluar cairan putih kekuningan serta
berbau, darah yang keluar disertai gelembung-gelembung cairan. Klien tampak
lemah, mukosa bibir kering, turgor kulit kering tidak elastis, pasien mengaku
mual, muntah, tampak meringis menahan nyeri. Pasien mengaku nyeri dibagian
perutnya. Perdarahan 500 cc, TD 100/80 mmHg, RR 22x/menit, N 125x/menit,
suhu 37ᵒ c, BB 55 kg. pasien juga mengatakan pusing selama 2 hari. Usia
kandungannya sudah 9 minggu. Selama perdarahan pasien hanya berbaring di
tempat tidur.

3.2      Pengkajian
3.2.1   Identitas
Nama    : Ny. X
Umur    : 30 tahun
Pekerjaan         : Ibu rumah tangga
3.2.2   Keluhan utama
Pasien dating ke Rumah Sakit dengan keluhan mengalami perdarahan
disertai gelembung berisi cairan.
3.2.3   Riwayat penyakit dahulu
-
3.2.4   Riwayat penyakit sekarang

31
Klien mengeluh mengalami perdarahan disertai gelembung-gelemung berisi
sejak 6 hari, mual muntah, pusing sudah 3 hari, nyeri bagian perut.

3.2.5   Riwayat kesehatan keluarga


-
3.2.6   Riwayat Obstetri
a.       Riwayat menstruasi
Menstruasi pertama usia 14 tahun, siklus menstruasi teratur 28 hari, setiap
kali menstruasi selama 6 hari. Hari pertama haid terakhir tanggal 4 2019,
sebelumnya tidak mengalami perdarahan , pada tanggal 2 september mengalami
perdarahan sampai saat ini dan baru di bawa kerumah sakit pada tanggal 10
september 2019.
b.      Riwayat kehamilan
Klien tidak pernah mengalami penyakit seperti  sekarang, selama hamil anak
1, dan baru kehamilan anak ke 2 mengalami perdarahan.

3.2.7   Pola kesehatan
a.       Pola aktivitas dan latihan : Klien seorang ibu rumah tangga, setiap hari
melakukan pekerjaan rumah dan waktu istirahat sedikit. Klien merasakan nyeri
pada bagian perut bawahnya, nyeri bertambah berat ketikabergerak.
b.      Tidur dan istirahat : Klien tidur selama 6- 8 jam. Saat sakit klien mengalami
gangguan tidur karena nyeri yang dirasakan.
c.       Nyaman dan nyeri : Klien Mengalami nyeri dibagian perut bawahnya dan
perdarahan, nyeri yang hebat membuat klien tidak bisa tidur.
d.      Pola nutrisi : Klien mengalami gangguan nafsu makan, karena setiap kali makan
dan minum klien selalu muntah.
e.       Cairan elektrolit : Mukosa bibir klien kering, turgor kulit tidak elastis.
f.        Oksigenasi : Klien tidak mengalami sesak nafas.

32
g.      Eliminasi urin : Klien BAK 6-7 kali dalam sehari, warna kuning bercampur darah,
tidak nyeri saat BAK, dilakuakn secara mandiri.
h.      Eliminasi fekal : Klien melakukan eleminasi fekal 1 kali sehari, namun saat sakit
klien tidak BAB sama sekali.
i.        Sensori, persepsi, dan kognitif :  Klien tidak mengalami gangguan penglihatan,
ketajaman visus baik, Klien tidak mengalami gangguan pendengaran, tidak
mengalami gangguan penciuman maupun pengecapan.

3.2.8   Pemeriksaan fisik
Keadaan umum : tampak meringis kesakitan memengang perutnya, pucat
Kesadaran klien : composmentis dengan GCS 15,
Tanda – tanda viital
TD       : 100/80, suhu     : 37 ○ c.
RR       : 22x/menit, BB       : 55 kg
N         : 125x/menit,
a.      Kepala :
Inspeksi : tampak simetris, rambut bersih, tidak ada lesi, konjungtiva anemis,
sclera tidak ikterik, hidung normal, tidak terlihat adanya sektum deviasi,
epiktaksis. telinga simetris. Wajah pucat, mukosa bibir kering.
b.      Leher :
Inspeksi : Leher terlihat normal tidak terlihat adanya kaku kuduk,
tenggorokan normal.
Palpasi : Tidak teraba pembesaran tonsil dan nyeri telan, tidak teraba adanya
pembesaran tiroid.
c.       Dada :
Inspeksi : Bentuk dada simetris, tidak terdapat adanya bantuan otot
pernafasan.
Palpasi : Fremitus kanan dan kiri sama, tidak terdapat nyeri tekan.
Auskultasi : Suara nafas normal, Tidak terdengar suara nafas tambahan.
Perkusi : Terdengar suara sonor.
d.      Abdomen :

33
Terdapat nyeri tekan di perut, saat di auskultasi terdengar wising usus, dan
peristaltik 15x/menit.
e.       Genetalia :
Vulva tampak kotor, terdapat peradarahan pervagina.
f.        Kulit:
Turgor kulit kering tidak elastis, tidak terdapat lesi, tidak terdapat tanda
alergi.
g.      Rektum
Rektum bersih tidak ada infeksi.

3.3     Diagnosa / Analisa data


No Hari/ Data Penunjang Etiologi Masalah Paraf
tanggal
/ jam
1 Ds : pasien mengatakan Abortus Resiko tinggi
mengalami perdarahan syok
sejak 6 hari hipovelemik
Perdarahan yang
Do :
terus menerus
a.       Vulva tampak kotor
b.      Keluar cairan putih
Kehilangan
kekuningan serta
volume darah
berbau
c.       Darah yang keluar
disertai gelembung- Resiko tinggi syok
gelembung cairan hipovelemik
d.      TD : 100/80 mmHg
e.       Pucat
f.        Lemah

2 Ds : pasien mengatakan Hiperemesis Kekurangan


mengalami perdarahan volume cairan
sejak 6 hari
Kehilangan cairan
Pasien mengaku mual
berlebih
dan muntah
                                

34
Do : Dehidrasi
a.       Mukosa bibir kering
b.      Turgor kulit kering tidak Kehilangan
elastis volume cairan
c.       Pasien tampak lemah
3 Ds : pasien mengaku Jonjot-jonjot Nyeri akut
nyeri dibagian perutnya korio
Do : bermestatase
a.       Pasien tampak meringis
menahan nyeri Terdapat ulkus
b.      Pasien tampak lemah divagina
c.       N : 22x/menit
d.      RR : 125x/menit
Perlukaan jalan
lahir

Nyeri akut

3.4     Intervensi
No Diagnosa Tujuan dan Intervensi Rasional
. kriteria hasil
1 Resiko tinggi Setelah 1.      Monitor status 1.  Mengetahui tanda syok
syok dilakukan sirkulasi, warna hipovelemik
hipovelemik perawatan kulit, suhu kulit, 2.  Menjaga keseimbangan cairan
2x24 jam denyut jantung. selama perdarahan.
syok dapat 2.      Monitor input dan 3.  Membantu mengangti cairan
teratasi output. yang hilang selam perdarahan.
Kriteria 3.      Berikan cairan Iv 4. Mengantisipasi terjadinya syok
hasil : atau oral yang berulang
a.      Perdarahan tepat.
berkurang 4.      Ajarkan pasien dan
b.      TTV normal keluarga tanda dan
c.       TD normal gejala datangya
syok.
2 Kekurangan Setelah Monitor
        status
1.      mengetahui status dehidrasi
volume dilakukan hidrasi 2.     Mengetahui tanda pendarahan

35
cairan perawtan        Monitor TTV 3.     Mengetahui
selama 2x24        Monitor masukan keseimbangan  cairan
jam cairan 4.     Menghindari terjadinya
dehidrasi        Monitor intake dan dehidrasi kembali
teratasi output cairan 5.     Mempertahankan cairan dan
Kriteria        Kolaborasi elektrolit
hasil : pemberian cairan IV
a. TTV dalam        Persiapkan
batas normal transfusi
b. Tidak ada
tanda-tanda
dehidrasi
c. elastisitas
turgor kulit
baik
d. Membran
mukosa
lembab

3 Nyeri akut Setelah 1.      Kaji skala nyeri. 1.  Mengetahui skala nyeri yang
dilakukan 2.      Kontrol lingkungan dialami pasien.
perawatan yang dapat 2.  Membantu mengurangi nyeri,.
2x24 jam mempengaruhi 3.  Membantu menentukan
pasien nyeri seperti suhu, intervensi yang tepat untuk
mampu ruangan, jenis nyeri.
mengontrol pencahayaan, dan 4.  Mengetahui skala nyeri,
nyeri kebisingan. misalkan dari ekspresi wajah. 
Kriteria 3.      Kaji tipe dan 5.  Membantu mengurangi nyeri.
hasil : sumber nyeri untuk
a. Mampu menentukan
mengontrol intervensi.
nyeri 4.      Observasi aspek
b. Nyeri nonverbal dari
berkurang ketidak nyamanan.
c. 5.      Kolaborasi
pemberian
analgetik.

36
3.5     Implementasi
No. Diagnosa Hari/tanggal/ja Implementasi paraf
m
1 Resiko 1.    Memonitor status sirkulasi,
tinggi syok warna kulit, suhu kulit,
hipovelemik denyut jantung.
2.    Memonitor input dan
output.
3.    Memberikan cairan Iv atau
oral yang tepat.
4.    Mengajarkan pasien dan
keluarga tanda dan gejala
datangya syok
2 Kekurangan 1.      memonitor status dehidrasi
volume 2.      memonitor TTV
cairan 3.      memonitor masukan cairan
4.      memonitor intake dan
output cairan
5.      memberikan cairan IV
6.      mempersiapkan transfuse
3 Nyeri akut 1.      Mengkaji skala nyeri.
2.      Mengontrol lingkungan yang
dapat mempengaruhi nyeri
seperti suhu, ruangan,
pencahayaan, dan
kebisingan.
3.      Mengkaji tipe dan sumber
nyeri untuk menentukan
intervensi.
4.      Mengobservasi aspek
nonverbal dari ketidak
nyamanan.
5.      Berkolaborasi pemberian
analgetik.

37
38
3.6     Evaluasi
No. Hari/tanggal/ja no. Evaluasi paraf
m diagnose
1 1 S : pasien mengatakan darah yang
keluar lebih sedikit
O:
a.       Darah yang keluar tidak terlalu
banyak
b.      Vulva tidak tampak terlalu kotor
c.       Gelembung-gelembung cairan sudah
tidak keluar lagi
A : masalah teratasi
P : lanjutkan intervensi
2 2 S :Pasien mengatakan sudah tidak
mual dan muntah saat makan
O:
a. Mukosa bibir kembali normal
b. Turgor kulit kembali elastis
A : Masalah teratasi
P : Hentikan Intervensi
3 3 S : pasien mengatakan nyeri sedikit
berkurang
O:
a.       Pasien tidak tampak meringis
kesakitan lagi
b.      Pasien sudah tidak memagangi
perutnya lagi
A : masalah teratasi
P : lanjutkan intervensi

39
BAB IV

KESIMPULAN

Mola hydatidosa adalah suatu kehamilan yang tidak wajar, yang sebagian
atau seluruh vili korialisnya mengalami degenerasi hidrofik berupa gelembung
yang menyerupai anggur. Mola Hydatidosa merupakan bagian dari gestasional
trophoblastic disease (GTD) yang merupakan kumpulan penyakit yang jarang dan
akibat komplikasi dari kehamilan akibat adanya gangguan diferensiasi dari sel
trofoblast. Pada mola hydatidosa parsial (MHP) terdapat pertumbuhan dari
jaringan embrio sedangkan pada tipe komplit (MHK) hanya terjadi pertumbuhan
jaringan trofoblastik tanpa disertai pertumbuhan embrio atau janin.

Pada mola hydatidosa komplit (MHK) kebanyakan kasus disebabkan


karena tidak berkembangnya atau immaturitas dari materi genetik maternal
sehingga saat sperma masuk pada proses fertilisasi akan diikuti duplikasi dari
materi genetik sperma (diploid paternal). Pada MHP sering diakibatkan adanya
pembuahan ganda dari sperma sehingga terbentuk materi genetik yang triploid
(2 dari sperma, 1 dari ovum). Pada beberapa kasus yang jarang bisa terjadi
rekurensi kasus MHK pada wanita dengan defek atau mutasi dari gen NLRP7.

40
DAFTAR PUSTAKA

1. Candelier, J.-J., 2016. The hydatidiform mole. Cell Adhesion & Migration 10, 226–
235. https://doi.org/10.1080/19336918.2015.1093275

2. Stevens, F., Katzorke, N., Tempfer, C., Kreimer, U., Bizjak, G., Fleisch, M., Fehm,
T., 2015. Gestational Trophoblastic Disorders: An Update in 2015. Geburtshilfe
und Frauenheilkunde 75, 1043–1050. https://doi.org/10.1055/s-0035-1558054

3. Radian, A.D., de Almeida, L., Dorfleutner, A., Stehlik, C., 2013. NLRP7 and related
inflammasome activating pattern recognition receptors and their function in host
defense and disease. Microbes and Infection 15, 630–639.
https://doi.org/10.1016/j.micinf.2013.04.001

4. Moein-Vaziri, N., Fallahi, J., Namavar-Jahromi, B., Fardaei, M., Momtahan, M.,
Anvar, Z., 2018. Clinical and genetic-epigenetic aspects of recurrent hydatidiform
mole: A review of literature. Taiwanese Journal of Obstetrics and Gynecology 57,
1–6. https://doi.org/10.1016/j.tjog.2017.12.001

5. Sanchez-Delgado, M., Martin-Trujillo, A., Tayama, C., Vidal, E., Esteller, M.,
Iglesias-Platas, I., Deo, N., Barney, O., Maclean, K., Hata, K., Nakabayashi, K.,
Fisher, R., Monk, D., 2015. Absence of Maternal Methylation in Biparental
Hydatidiform Moles from Women with NLRP7 Maternal-Effect Mutations
Reveals Widespread Placenta-Specific Imprinting. PLOS Genetics 11, e1005644.
https://doi.org/10.1371/journal.pgen.1005644

6. Yu, Y., Lu, B., Lu, W., Li, S., Li, Xiuqin, Wang, Xinyu, Wan, X., Chen, Y., Feng, S., Jia,
Y., Yang, R., Tang, F., Li, Xiong, Zhang, S., Wang, Xinyan, Wei, H., Peng, Z., Lu, L.,
Zhong, H., Zhao, L., Huang, Z., Lin, L., Shen, W., Lu, Y., Cao, Z., Zou, J., Ma, Y.,
Chen, X., Tian, Q., Lu, S., Liu, P., Ma, D., Xie, X., Cheng, X., 2017. Whole-exome
sequencing reveals genetic variants in ERC1 and KCNG4 associated with
complete hydatidiform mole in Chinese Han women. Oncotarget 8.

41
https://doi.org/10.18632/oncotarget.20769

7. Scholz, N.B., Bolund, L., Nyegaard, M., Faaborg, L., Jørgensen, M.W., Lund, H.,
Niemann, I., Sunde, L., 2015. Triploidy—Observations in 154 Diandric Cases.
PLOS ONE 10, e0142545. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0142545

8. Sarwono, Prawirohardjo, 2008. Ilmu Kebidanan, Edisi Keempat, PT. Bina Pustaka

9.  Golubovsky., 2003. Postzygotic diploidization of triploids as a source of unusual


cases of mosaicism, chimerism and twinning, Human Reproduction. 18(2):236-
242.

10. Sills, E.S., Obregon-Tito, A.J., Gao, H., McWilliams, T.K., Gordon, A.T., Adams,
C.A., Slim, R., 2017. Pathogenic variant in NLRP7 (19q13.42) associated with
recurrent gestational trophoblastic disease: Data from early embryo
development observed during in vitro fertilization. Clinical and Experimental
Reproductive Medicine 44, 40. https://doi.org/10.5653/cerm.2017.44.1.40

11. Kubelka-Sabit, K., Prodanova, I., Jasar, D., Bozinovski, G., Filipovski, V.,
Drakulevski, S., Plaseska-Karanfilska, D., 2017. Molecular and
immunohistochemical characteristics of complete hydatidiform moles. Balkan
Journal of Medical Genetics 20. https://doi.org/10.1515/bjmg-2017-0009

12. Carey, L., Nash, B.M., Wright, D.C., 2015. Molecular genetic studies of complete
hydatidiform moles. Translational Pediatrics 4, 8.
13. Lima, L. de L.A., Parente, R.C.M., Maestá, I., Amim Junior, J., Rezende Filho, J.F.
de, Montenegro, C.A.B., Braga, A., 2016. Clinical and radiological correlations in
patients with gestational trophoblastic disease. Radiologia Brasileira 49, 241–
250. https://doi.org/10.1590/0100-3984.2015.0073

14. Zhao, P., Chen, Q., Lu, W., 2017. Comparison of different therapeutic strategies
for complete hydatidiform mole in women at least 40 years old: a retrospective
cohort study. BMC Cancer 17. https://doi.org/10.1186/s12885-017-3749-8

42
15. Moein-Vaziri, N., Fallahi, J., Namavar-Jahromi, B., Fardaei, M., Momtahan, M.,
Anvar, Z., 2018. Clinical and genetic-epigenetic aspects of recurrent hydatidiform
mole: A review of literature. Taiwanese Journal of Obstetrics and Gynecology 57,
1–6. https://doi.org/10.1016/j.tjog.2017.12.001

16. Atuk, F.A., Basuni, J.B.M., 2018. Molar pregnancy with normal viable fetus
presenting with severe pre-eclampsia: a case report. Journal of Medical Case
Reports 12. https://doi.org/10.1186/s13256-018-1689-9

43

Anda mungkin juga menyukai