Anda di halaman 1dari 21

REFERAT

TIROTOKSIKOSIS PADA MOLA HIDATIDOSA

Pembimbing:

dr. Mutawakkil J.P, Sp.OG


Oleh:

Nadya Ayu P

Amalia Grahani P

Syifa Rahmawati

Neng Angie Rivera

DEPARTEMEN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

RSUD R. SYAMSUDIN, S.H, SUKABUMI

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

2019

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas
berkat dan rahmat- Nya, penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul
“Tirotoksikosis pada Kehamilan Molahidatidosa” tepat pada waktunya untuk
memenuhi tugas dalam menjalani kepaniteraan klinik Ilmu Kebidanan dan
Penyakit Kandungan.

Proses penyelesaian referat ini tidak terlepas dari dukungan berbagai


pihak yang senantiasa membantu penulis dalam menyelesaikan referat ini
hingga akhir. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih
kepada dr. Mutawakkil J P, Sp.OG., yang telah bersedia membimbing dan
membantu dalam penyusunan referat ini. Terima kasih penulis sampaikan pula
kepada pihak- pihak lain yang turut membantu dalam penyusunan referat ini.

Dalam kesempatan ini, penulis juga ingin menyampaikan permohonan


maaf yang sebesar-besarnya atas segala kesalahan baik yang disengaja maupun
tidak. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam referat ini.
Oleh karena itu, segala saran atau kritik yang membangun akan dijadikan
sebagai pemacu untuk membuat karya yang lebih baik lagi. Akhir kata, penulis
berharap semoga referat ini dapat bermanfaat.

2
BAB I

PENDAHULUAN

Mola Hydatidosa adalah suatu penyakit trophoblastik pada kehamilan


yang sering terjadi pada usia reproduksi dimana wanita berumur lebih dari 35
tahun memiliki risiko 2 kali lipat sedangkan wanita berusia 40 tahun memiliki
5-10 kali lipat risiko mengalami Mola Hydatidosa (Moore EL, 2008)
Angka insiden Mola Hydatidosa di negara maju adalah 1 dalam 1500
kehamilan. Tirotoksikosis pada wanita hamil sulit ditemukan karena banyak
gejala tirotoksikosis juga berhubungan dengan kondisi kehamilan. Diperkirakan
0,2 % dari kehamilan mengalami tirotoksikosis, dimana 90 % kasus disebabkan
karena Penyakit Graves sisanya yaitu tiroiditis sub akut, toxic multinoduler
goiter, adenoma toksik, TSH-dependent thyrotoxicosis, T3 atau T4 eksogen,
Iodine-induced hyperthyroidism, Hipermesis gravidarum serta Mola Hydatidosa
(Chaniwala NU et al., 2008)
Hubungan antara tirotoksikosis dengan Mola Hydatidosa pertama kali
ditemukan tahun 1955 oleh Tisne dkk di Amerika Selatan yang melaporkan
adanya ambilan tiroid yang tinggi pada 3 wanita dengan Mola Hydatidosa dan
mereka juga mempunyai gejala klinis tirotoksikosis yang menghilang dalam
beberapa hari setelah mola tersebut diangkat. Prevalensi tirotoksikosis pada
pasein dengan Mola Hydatidosa adalah 25-64% di AS, akan tetapi banyak
pasien Mola Hydatidosa tidak mengalami atau sangat sedikit dengan gejala
klinis tirotoksikosis meskipun telah terjadi peningkatan kadar T4 dan T3.
Dilaporkan sekitar 5% yang mengalami gejala klinis tirotoksikosis. Beberapa
juga melaporkan adanya krisis tiroid pada pasien tirotoksikosis dengan Mola
Hydatidosa.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. MOLA HIDATIDOSA
a. Definisi
Mola hidatidosa (MH) adalah suatu kehamilan abnormal yang
sebagian atau seluruh stroma vili korialisnya langka akan vaskularisasi,
edematous, dan mengalami degenerasi hidrofik berupa gelembung yang
menyerupai anggur.
Kehamilan mola ditandai dengan proliferasi trofoblas abnormal dan
diklasifikasikan menjadi mola hidatidosa parsial dan mola hidatidosa
komplit.
b. Etiologi
Hingga saat ini, belum diketahui penyebab kejadian mola
hidatidosa. Beberapa faktor risiko telah teridentifikasi berpengaruh
terhadap patogenesis mola hidatidosa. Faktor-faktor tersebut
menghasilkan proliferasi tak terkontrol pada trofoblas.
c. Gejala klinis
Perdarahan vaginal
Perdarahan vaginal merupakan gejala utama mola hidatidosa,
dimana gejala yang mencolok dan dapat bervariasi mulai dari spotting
sampai perdarahan yang banyak. Gejala perdarahan ini biasanya terjadi
antara bulan pertama sampai ketujuh dengan rata-rata 12-14 minggu.
Sifat perdarahan bisa intermitten, sedikit-sedikit atau sekaligus banyak
sehingga menyebabkan syok atau kematian. Karena perdarahan ini
umumnya pasien mola hidatidosa masuk dalam keadaan anemia.
Hiperemesis gravidarum
Pasien biasanya mengeluh mual-muntah hebat. Hal ini akibat
dari proliferasi trofoblas yang berlebihan dan akibatnya memproduksi
terus menerus B-HCG yang menyebabkan peningkatan B-HCG

4
hiperemesis gravidarum tampak pada 15 -25 % pasien mola hidatidosa.
Walaupun hal ini sulit untuk dibedakan dengan kehamilan biasa. 10%
pasien mola dengan mual dan muntah cukup berat sehingga
membutuhkan perawatan di rumah sakit.
Ukuran uterus lebih besar dari usia kehamilan
Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan tropoblastik yang
berlebihan, volume vesikuler villi yang besar rasa tidak enak pada
uterus akibat regangan miometrium yang berlebihan. Pada sebagian
besar pasien ditemukan tanda ini tetapi pada sepertiga pasien uterus
ditemukan lebih kecil dari yang diharapkan.
Tirotoksikosis
Kadar tiroksin plasma pada wanita dengan kehamilan mola
sering meningkat (10%), namun gejala tirotoksikosis jarang muncul.
Terjadinya tirotoksikosis pada mola hidatidosa berhubungan erat dengan
besarnya uterus. Makin besar uterus makin besar kemungkinan terjadi
tirotoksikosis. Oleh karena kasus mola dengan uterus besar masih
banyak ditemukan, maka dianjurkan agar pada setiap kasus mola
hidatidosa dicari tanda-tanda tirotoksikosis secara aktif dan memerlukan
evakuasi segera karena gejala-gejala ini akan menghilang dengan
menghilangnya mola. Mola yang disertai tirotoksikosis mempunyai
prognosis yang lebih buruk, baik dari segi kematian maupun
kemungkinan terjadinya keganasan. Biasanya penderita meninggal
karena krisis tiroid. Peningkatan tiroksin plasma mungkin karena efek
dari estrogen seperti yang dijumpai pada kehamilan normal. Serum
bebas tiroksin yang meningkat sebagai akibat thyrotropin – like effect
dari Chorionic Gonadotropin Hormon. Terdapat korelasi antara kadar
hCG dan fungsi endogen tiroid tapi hanya kadar hCG yang melebihi
100.000 IU/L yang bersifat tirotoksis. Sekitar 7 % mola hidatidosa
komplit datang dengan keluhan seperti hipertensi, takikardi, tremor,
hiperhidrosis, gelisah, emosi labil, dan warm skin.

5
d. Diagnosis
a) Anamnesis
Pada anamnesis dapat ditemukan keluhan berupa keterlambatan
haid (amenore), perdarahan pervaginam, perut terasa lebih besar dari
lamanya amenore, tidak merasa gerakan janin seiring terjadinya
perbesaran rahim.
b) Pemeriksaan Klinis Ginekologi
Pada pemeriksaan ditemukan uterus yang lebih besar dari usia
kehamilan dan tidak ditemukan tanda pasti kehamilan seperti denyut
jantung janin, ballotemen, atau gerakan janin.
c) Laboratorium
Pada hasil laboratorium dapat ditemukan kadar β-hCG yang
lebih tinggi dari normal
d) USG
Pada pemeriksaan tampak gambaran vesikuler di kavum uteri.
Diagnosis pasti ditentukan oleh hasil permeriksaan patologi anatomi
(PA). Secara mikroskopis akan tampak gambaran stroma vili yang
edematous, tidak mengandung pembuluh darah (avaskuler), disertai
hyperplasia sel sito dan sel sinsitiotrofoblas. Berdasarkan hasil PA
dapat pula diprediksi prognosis MHK, akan mengalami transformasi
keganasan atau tidak, dengan melihat pada proliferasi sel-sel
trofoblas. Proliferasi yang berlebihan memungkinkan transformasi
ke arah keganasan lebih besar (Martaadisoebrata, 2005).

e. Terapi Mola Hidatidosa


a) Perbaikan Keadaan Umum
Sebelum melakukan evakuasi jaringan mola, keadaan umum ibu
diperbaiki sesuai dengan penyulit yang menyertai. Transfusi darah
untuk mengatasi anemia berat dan syok hipovolemik, penanganan

6
preeklampsia, serta pemberian obat antitiroid. Tindakan yang
dilakukan sebelum penderita stabil dapat merangsang terjadinya
syok ireversibel, eklampsia, atau krisis tiroid, yang dapat berakibat
pada kematian. Penanganan emboli paru hanya berupa penanganan
suportif berupa pemberian antikoagulan dan oksigenasi hingga
gejala akutnya berkurang (Martaadisoebrata, 2005; Lurein, 2010;
Vorvick, 2010).
b) Evakuasi jaringan
MH merupakan kehamilan patologis yang sering disertai dengan
penyulit sehingga pada prinsipnya jaringan mola harus dievakuasi
secapat mungkin. Terdapat dua cara evakuasi, meliputi kuret vakum
(suction curretage) dan histerektomi total. Kuret vakum merupakan
metode pilihan bagi wanita yang masih harus mempertahankan
fertilitasnya, sedangkan histerektomi total dilakukan pada wanita
dengan usia > 35 tahun dengan jumlah anak cukup, sebagai tindakan
profilaksis terhadap terjadinya keganasan di uterus
(Martaadisoebrata, 2005; Lurein, 2010; Vorvick, 2010).
c) Profilaksis
Tindakan profilaksis dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu
histerektomi total dan kemoterapi. Kemoterapi dapat diberikan pada
golongan risiko tinggi yang menolak atau tidak dapat dilakukan
histerektomi total, atau pada wanita dengan hasil PA yang
mencurigakan. Pemberian kemoterapi dapat dilakukan dengan cara
sebagai berikut:
1) Metrotreksat 20 mg/hari, intramuskular, Asam Folat 10 mg
(3x1), sebagai antidote dan Cursil 35 mg (2x1) sebagai
hepatoprotektor, selama 5 hari berturut-turut.
2) Actinomycin D 1 flakon sehari, selama 5 hari berturut-turut,
tidak memerlukan antidote maupun hepatoprotektor
(Martaadisoebrata, 2005).

7
d) Follow up
Sebanyak 15%-20% dari penderita pasca-MH dapat mengalami
transformasi keganasan menjadi Tumor Trofoblas Gestasional
(TTG). Masa laten terjadinya keganasan sangat bervariasi.
Keganasan dapat terjadi dalam kurun waktu satu minggu hingga tiga
tahun pascaevakuasi. Tujuan dari follow up adalah untuk melihat
proses involusi berjalan normal baik anatomis, laboratoris maupun
fungsional, seperti involusi uterus, turunnya kadar β-hCG, dan
kembalinya fungsi haid. Selain itu, untuk menentukan adanya
transformasi keganasan, terutama pada tingkat yang sangat dini.
Pada umumnya, para pakar sepakat bahwa lama follow up
berlangsung selama satu tahun. Dalam tiga bulan pertama
pascaevakuasi, penderita datang untuk kontrol setiap dua minggu.
Kemudian dalam tiga bulan berikutnya, penderita datang setiap satu
bulan. Selanjutnya dalam enam bulan terakhir, penderita datang tiap
dua bulan. Selama follow up, hal-hal yang perlu diperhatikan adalah:
1) Keluhan, berupa perdarahan, batuk, atau sesak nafas
2) Pemeriksaan ginekologis, terutama adanya tanda-tanda
subinvolusi
3) Kadar β-hCG, terutama bila ditemukan terdapat tanda-tanda
distorsi dari kurva regresi normal.
Bila dalam tiga kali pemeriksaan berturut-turut, ditemukan slah
satu dari tiga tanda tersebut, penderita harus dirawat untuk
pemeriksaan yang lebih intensif meliputi USG, foto thorak, dan lain-
lain (Martaadisoebrata, 2005; Lurein, 2010; Vorvick, 2010).
Follow up dihentikan apabila sebelum satu tahun wanita sudah
mengalami kehamilan normal, atau bila setelah satu tahun tidak ada
keluhan, uterus, fungsi haid, dan kadar β-hCG dalam batas normal.
Selama masa follow up, wanita dianjurkan untuk tidak hamil terlebih
dahulu, karena dapat menimbulkan salah interpretasi. Jadwal follow

8
up harus ditepati karena kemungkinan terjadinya transformasi
keganasan lebih besar pada MHK pertama (Martaadisoebrata, 2005;
Lurein, 2010; Vorvick, 2010).

2. HORMON TIROID PADA KEHAMILAN


Selama kehamilan, beberapa perubahan fisiologik yang terjadi pada
fungsi tiroid yaitu peningkatan 2-3 kali lipat konsentrasi Thyroxine Binding
Globulin (TBG), peningkatan 30-100% konsentrasi T3 total dan T4,
peningkatan serum tiroglobulin, peningkatan kliren yodium pada ginjal dan
stimulasi kalenjar tiroid oleh Human Chorionic Gonadotropin (hCG).
Kehamilan umumnya menghasilkan peningkatan aktivitas tiroid yang
membuat individu untuk mempertahankan diri pada kondisi eutyroid. Akan
tetapi, baik hiper maupun hipo bisa terjadi pada kehamilan. Penilaian fungsi
tiroid pada kehamilan sangat penting untuk mencegah komplikasi ibu dan
bayi berupa peningkatan risiko abortus spontan, kelahiran prematur, berat
badan bayi lahir rendah, kematian janin dalam kandungan, dan
preeclampsia.

Tabel 2. Fungsi tiroid selama kehamilan

9
PERUBAHAN MORFOLOGI SELAMA KEHAMILAN:
Hiperplasia kelenjar tiroid terjadi selama kehamilan normal dan menyebabkan
sedikit pembesaran kelenjar secara umum. Namun, wanita hamil tetap eutiroid.
PERUBAHAN FISIOLOGIS: Pembersihan ginjal yodium meningkat
karena peningkatan filtrasi glomerulus. Kadar yodium serum ibu turun karena
peningkatan kehilangan ginjal dan juga karena pergeseran transplasental ke
janin. Ini menyebabkan hiperplasia kelenjar. Asupan yodium selama kehamilan
harus ditingkatkan dari 100 μg / hari menjadi 200 μg / hari (seperti yang
direkomendasikan oleh WHO). Ada peningkatan laju metabolisme basal, yang
dimulai pada sekitar bulan ketiga, mencapai nilai + 25% selama trimester
terakhir. Peningkatan BMR mungkin karena peningkatan konsumsi oksigen
bersih ibu dan janin.
Ada efek stimulasi hCG (chorionic thyrotropin) ke kelenjar tiroid
terutama pada trimester pertama. Karena efek tirotropik hCG ini, mungkin ada
fase transien hipertiroidisme pada beberapa wanita (tirotoksikosis transien
gestasional).
TIROID PADA FETAL. Tiroid janin mulai berfungsi setelah 12
minggu. Hingga saat itu janin sepenuhnya bergantung pada suplai T4 ibu
melalui plasenta, untuk semua perkembangan neurologis. TRH melintasi
plasenta tetapi TSH memotongnya dengan sangat minimal. Total T4 dan T3
ibu meningkat 18 minggu tetapi kadar T4 dan T3 gratis tidak berubah. TSH ibu
tetap normal. Sekresi T4 dan T3 adalah 20: 1, tetapi aktivitas biologis T3 lima
kali lebih banyak daripada T4. tingkat kalsitonin - hormon tiroid yang
disekresikan oleh sel parafollicular, meningkat sebesar 20%. Kalsitonin
melindungi kerangka ibu dari keropos tulang yang berlebihan selama
kehamilan dan menyusui. Pemutaran rutin semua wanita hamil untuk fungsi
tiroid tidak direkomendasikan oleh ACOG. Namun wanita dengan faktor risiko
tinggi harus memeriksakan kadar TSH serumnya dalam kunjungan antenatal
pertama mereka.

10
Perubahan hormone tiroid pada kehamilan

3. TIROTOKSIKOSIS PADA MOLA HYDATIDOSA


a. Definisi
Tirotoksikosis pada molahidatidosa adalah hiperfungsi tiroid pada
kehamilan molar berkaitan dengan berlebihnya produksi hCG, yang
memiliki aktifitas stimulasi tiroid, dengan riwayat tidak adanya
tirotoksikosis sebelumnya ataupun tanpa bukti autoimunitas tiroid (tidak
dijumpai TSRH-Ab).1

b. Epidemiologi

11
Angka kejadiannya di Indonesia dan negara berkembang sangat
tinggi dibandingkan dengan negara maju. Data rumah sakit di
Indonesia menunjukkan satu kehamilan mola diantara 85-375
kehamilan. Frekuensi tirotoksikosis pada kehamilan mola diperkirakan
antara 5 - 64%.

Parazzini dkk, melaporkan bahwa risiko tersebut meningkat dua


kali lebih tinggi pada perempuan diatas 35 tahun, dan 7,5 kali
lebih tinggi pada perempuan diatas 40 tahun.

c. Patofisiologi
Human Chorionic Gonadotropin terdapat pada plasenta tersusun
dari sub unit alpha yang mirip dengan sub unit alpha hormon pituitary
glycoprotein seperti LH, FSH dan TSH, dan sub unit b pada hCG
memiliki stuktur 85% yang hampir sama pada 114 asam amino dan 12
residual sistein pada sub unit b dari TSH. Karena struktur yang hampir
mirip tersebut dari hCG dengan TSH menyebabkan hCG dapat
merangsang stimulasi reseptor TSH (TSHr) dalam menghasilkan
hormon tiroid seperti hormon TSH pada umumnya.
Ini dapat dibuktikan pada suatu penelitian sel tiroid pada tikus,
yang menghasilkan peningkatan ambilan yodium dan produksi cAMP
setelah diberikan hCG. Pada kultur folikel tiroid pada manusia
didapatkan stimulasi ambilan yodium, organifikasi dan sekeresi dari T3.
Studi lain yang dilakukan oleh Herschman dan Higgins menujukkan
bahwa hCG memiliki aktifitas menstimulasi tiroid dan ditemukan
bahwa adanya suatu hubungan yang erat diantara kadar serum hCG
yang diukur dengan radioimmunoassay, molar TSH yang diukur dengan
bioassay dan T3.

12
Pada trimester pertama kehamilan, hCG mencapai konsentrasi
tertinggi, ini membuat stimulasi pada kalenjar tiroid untuk
menghasilkan hormon tiroid dan menekan kadar TSH. Pada trimester
kedua dan ketiga, konsentrasi TSH akan meningkat secara bertahap
karena penurunan kadar hCG.
Beberapa hasil penelitian melaporkan bahwa setiap 10.000
mIU/L peningkatan hCG akan diikuti dengan peningkatan 0,6 pmol/L
( 0,1 ng/dL kadar FT4 dan menurunkan kadar TSH 0,1mIU/L.
Peningkatan FT4 pada trimester pertama diduga dapat diketahui bila
kadar hCG 50.000 – 75.000 mIU/L bertahan sampai lebih dari 1
minggu.

d. Diagnosis
 Anamnesis
Diagnosis tirotoksikosis sangat sulit terutama pada trimester
pertama. Gejala klinis tirotoksikosis dengan MH sering tidak ada
gejala atau sangat sedikit ditemukan, gejala ini berbeda dengan
penyakit graves pada kehamilan dimana biasanya sering disertai
dengan pembesaran kalenjar tiroid dan exoptalmus.
Gejala klinis tirotoksikosis dapat dijumpai pada mola hidatidosa
dengan beberapa sifat yang istimewa, yaitu sering tidak menunjukkan
gambaran klinis toksikosis yang umum, walaupun hasil pemeriksaan
laboratorium jelas menunjukan keadaan tirotoksikosis. Hal ini
menyebabkan keadaan tersebut seringkali tidak terdiagnosis. Gejala
klinis yang kurang nyata ini disebabkan oleh karena sekresi
berlebihan hormon tiroid hanya terjadi dalam waktu yang singkat
saja, atau karena gejala dan tanda tirotoksikosis ini tersamar oleh
gejala dan tanda penyakit tropoblastik ini. Perjalanan penyakitnya
dapat timbul secara cepat atau dapat tiba-tiba muncul sebagai
keadaan yang sangat berat. Keadaan sangat berat tersebut dapat

13
berupa krisis tiroid atau gagal jantung mendadak. Gejala dan tanda
klinis tirotoksikosis yang dapat timbul adalah berkeringat banyak,
tidak tahan terhadap panas, palpitasi, sesak nafas, kelemahan badan,
penurunan berat badan, nafsu makan bertambah, pembesaran kelen-
jar tiroid yang ringan, tremor, takikardi, dan fibrilasi atrial.
 Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan yang diperlukan pada tirotoksikosis dengan
kehamilan mola adalah pemeriksaan kadar hormon hCG, FT4
dan TSHs. tirotoksikosis pada kehamilan mola ditunjukkan
dengan peningkatan kadar FT4 dan FT3, penurunan TSHs dan
peningkatan hCG yang sangat bermakna. Pada pasien yang
mengalami tirotoksikosis yang disebabkan oleh penyakit
tropoblastik akan terjadi peningkatan FT4 dan konsentrasi T3,
penurunan TSH, dan peningkatan hCG secara signifikan.
Walaupun konsentrasi FT4 dan T3 dapat meningkat pada
konsentrasi hCG > 50.000 IU/L tetapi pada pasien tumor
trophoblastik, serum hCG biasanya melebihi 300.000 IU/L dan
selalu melebihi 100.000 IU/L. Rasio T3 : T4 pada kehamilan
mola sangat rendah, tidak seperti pada penyakit Grave’s yang
sering lebih besar dari dua puluh.
Penelitian yang dilakukan oleh Glinoer menyimpulkan
bahwa setiap kenaikan kadar hCG sebesar 10.000 IU/L akan
meningkatkan kadar T4 sebesar 0,1ng/dl, dan menurunkan kadar
TSH sebesar 0,1 mIU/L. Peningkatan kadar serum T4 akan
terjadi hanya bila konsentrasi hCG > 50.000 IU/L, dan menetap
lebih dari satu minggu.
 Pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk menegakkan
diagnosis adalah pemeriksaan USG dan histopatologi.
Pemeriksaan USG menunjukkan tidak tampak kantung janin,
tampak gambaran vesikuler di seluruh kavum uteri, dan snow-

14
like pattern yang menyimpulkan suatu kehamilan mola
hidatidosa. Pemeriksaan histopatologi menunjukkan gambaran
vili korealis berukuran besar dan berbentuk bulat, mengalami
degenerasi hidropik, avaskuler, disertai pembentukan sisterna
yang menyimpulkan suatu kehamilan mola hidatidosa.

e. Tatalaksana
Evakuasi jaringan mola merupakan pengobatan utama pada mola
hidatidosa dan evakuasi tersebut juga akan menghilangkan
tirotoksikosis yang ada. Namun tindakan tersebut sebaliknya dapat
mencetuskan tirotoksikosis yang hebat bahkan mungkin krisis
tiroid pasca evakuasi apabila hipertiroidisme tersebut belum diatasi.
Mengingat bawa tirotoksikosis pada mola hidatidosa dapat dengan
cepat menjadi berat, maka begitu diagnosis ditegakkan atau terdapat
dugaan yang sangat kuat, pengobatan sudah harus diberikan.

Pada tahap pra kuretase adalah mempersiapkan penderita


menjadi eutiroidi untuk mencegah terjadinya krisis tiroid, digunakan
kombinasi obat yaitu PTU 200 mg. Obat tersebut memiliki efek
menghambat reaksi autoimun pada proses pembentukan hormon tiroid
dan mencegah sintesis hormon tiroid sehingga dapat menurunkan kadar
hormon T3 dan T4. Pemberian obat Propiltiourasil (PTU) pada wanita
hamil dalam dosis 3 x 50-100 mg per hari. Penelitian yang dilakukan
oleh Adam (2011) menyatakan bahwa pada 13 wanita hamil dengan
tirotoksikosis selama kehamilan tidak menemukan kelainan pada bayi
yang dilahirkan setelah pemberian Propiltiourasil (PTU) dalam dosis 3
x 50-100 mg per hari. Apabila Propiltiourasil (PTU) diberikan pada
dosis yang melebihi 3 x 50-100 mg per hari akan memiliki efek
samping yaitu kerusakan pada organ ginjal, organ hati. Karena
perjalanan penyakit tirotoksikosisi dapat berlangsung sangat cepat,

15
dianjurkan untuk memberikan OAT (obat anti tiroid) kepada setiap
penderita dengan fungsi tiroid yang meningkat, walaupun tidak disertai
tirotoksikosisi klinis.

f. Badai Tiroid
Tirotoksikosis dan badai tiroid ada pada suatu kontinum, dan
tidak ada konsensus umum tentang definisi badai tiroid. Sebagian besar
definisi termasuk suhu tinggi, detak jantung 140 detak / mnt, dan tanda-
tanda dan gejala-gejala tirotoksosis yang ditekankan. Hanya beberapa
penulis memasukkan perlunya disfungsi dalam satu atau lebih sistem
organ (saraf pusat, kardiovaskular, atau sistem gastrointestinal) untuk
membuat diagnosis. Lebih jauh, tirotoksikosis – badai tiroid kontinuum
mencakup potensi efek sistem saraf pusat (agitasi, delerium, psikosis),
disfungsi gastrointestinal atau hepatik (mual, muntah, diare, nyeri
abdomen, dan penyakit kuning yang tidak dapat dijelaskan), disfungsi
kardiovaskular ( takikardia, gagal jantung kongestif, fibrilasi atrium),
dan disfungsi termoregulasi). Sistem penilaian oleh Burch & Wartofsky
untuk menilai adanya badai tiroid.

16
Scoring untuk penilaiain badai tiroid

17
BAB III

KESIMPULAN

1. Human chorionic gonadothropin (hCG) adalah hormone peptide yang


disusun oleh kedua sub unit disebut rantai alfa dan beta. Sub unit alfa
identik dengan TSH, sementara rantai beta berbeda dengan keduanya.
Dengan demikian, hormone struktur parsial antara TSH dengan hCG
mengakibatkan hCG bisa bertindak sebagai hormone tirotropik.
2. Mengingat bawa tirotoksikosis pada mola hidatidosa dapat dengan cepat
menjadi berat, maka begitu diagnosis ditegakkan atau terdapat dugaan yang
sangat kuat, pengobatan sudah harus diberikan

18
DAFTAR PUSTAKA

Abalovich M et al. 2007. Management of thyroid dysfunction during pregnancy


and postpartum : An Endocrine Society Clinical Practice Guideline. J Clin
Endocrinology Metabolik 92 (suppl) : S1
Adam MJ. 2011. Penatalaksanaan Penderita Tirotoksikosis Dengan Kehamilan
dan Laktasi. Artikel Ilmiah Ilmu Penyakit Dalam. Divisi Endokrin-
Metabolik, Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin Makasar.

Albaar MT, Adam JM. Gestational Transient Thyrotoxicosis: Clinical Practice.


Acta Med Indones - Indones J Intern Med. 2009. 41(2) : 99-104
Aru W., Sudoyo, dkk, 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Pusat Penerbitan
Ilmu Penyakit Dalam FKUI, Jakarta.

Bashabsheh AM. 2012. Clinico – Pathological Study of Hydatidiform Moles in


a Sample from Department of Obstetrics & Gynecology at Damascus
University. European Journal of Scientific Research. Pathological Study
of Hydatidiform Moles in a Sample from Department of Obstetrics &
Gynecology at Damascus University. (55) 4 : 517 – 520.

Berkowitz, R. S., Goldstein, D. P. 2009. Molar Pregnancy. N Engl J Med 2009;


360:1639-164.

Brent GA. 2008. Clinical practice. Graves disease. N Engl J med 2008; 358:
2594

Chaniwala NU, Woolf PD, Bruno CP, Kaur S, Spector H, Yacono K. Thyroid
Storm Caused by a Partial Hydatidiform Mole. Thyroid 2008 16(4).
479-480
Ehlen GT, Vancouver BCP, Bessette , Sherbrooke QC, Gerulath AH, Toronto
ONL, Jolicoeur, RN, Ottawa ONR, Savoin, Moncton NB. 2002.
Gestational.
Fantz CR, Dagogo SJ, Ladenson JH, Gronowski AM. Thyroid Function during
Pregnancy: Case Conference. Clinical Chemistry. 1999 ; 45 (12) : 2250–
2258

19
Gunawan GS. 2007. Propiltiourasil (PTU). Farmakologi dan Terapi. Edisi V.
Departemen Farmakologi dan Teurapetik Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta : Balai Penerbit FK UI, 441-442 hal.
Guyton and Hall. Tirotoksikosisisme. Dalam: Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran.Jakarta : EGC.1997.

Halim A.M., 2007. Panduan Praktis Ilmu Penyakit Dalam: Diagnosis dan
Terapi. Edisi 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Kim JM, Arakawa K. Severe Hyperyhyroidism Associated with Hydatiform


Mole: Clinical Report. Anesthesiology. 1976 ; 41(5) : 445-4489
Lauralee Sherwood. Kelenjar Tiroid Dalam : Fisiologi Manusia dari Sel ke
Sistem. Jakarta : EGC.2001.

Lurain, J. R. 2010. Gestational trophoblastic disease I: epidemiology,


pathology, clinical presentation and diagnosis of gestational
trophoblastic disease, and management of hydatidiform mole. Am J
Obstet Gynecol:531-539

Martaadisoebrata, D. 2005. Buku Pedoman Pengelolaan Penyakit Trofoblas


Gestasional. Jakarta: EGC.
Meister LHF, Hauck PR, Graf H, Carvalho GA. Hyperthyroidism Due to
Secretion of Human Chorionic Gonadotropin in a Patient With
Metastatic Choriocarcinoma. Arq Bras Endocrinol Metab. 2005 49(2).
319 – 322
Moeller LK. Thyroid Disease in Pregnancy. Hvidovre hospital. Avalaible at
http://www.gyncph.dk/secher/index.htm.
Moore EL, Hernandez E. Hydatiform Mole. Available
at:http://emedicine.medscape.com/article/254657. Last update :
September 24, 2008
Murphy MK, Ronnett MB. 2011. Diagnosis of Hydatidiform Moles:
Morphology and Ancillary Techniques. The Johns Hopkins University
School of Medicine. 1 – 25.
Olson J. 2003. Propiltiourasil (PTU). Farmakologi. Jakarta : Mc Graw Hill
Education, 190-192 hal.
Prawirohardjo, S. 2005. Ilmu Kandungan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo.
Syafii, Aprianti S, Hardjoeno. 2006. Kadar B-HCG Penderita Mola Hidatidosa
Sebelum dan Sesudah Kuretase. Penelitian. (13) : 1-3.

20
Vorvick, L. J. 2010. Hydatidiform Mole. Available at
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0001907/. Accessed on
22nd November 2012.
Zhou, Xi, Yongli Chen, Yongmei Li, et al.. 2012. Partial hydatidiform mole
progression into invasive mole with lung metastasis following in vitro
fertilization. Oncology Letters Vol. 3 Num. 3: 659-661.

21

Anda mungkin juga menyukai