Pembimbing:
Nadya Ayu P
Amalia Grahani P
Syifa Rahmawati
2019
1
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas
berkat dan rahmat- Nya, penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul
“Tirotoksikosis pada Kehamilan Molahidatidosa” tepat pada waktunya untuk
memenuhi tugas dalam menjalani kepaniteraan klinik Ilmu Kebidanan dan
Penyakit Kandungan.
2
BAB I
PENDAHULUAN
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. MOLA HIDATIDOSA
a. Definisi
Mola hidatidosa (MH) adalah suatu kehamilan abnormal yang
sebagian atau seluruh stroma vili korialisnya langka akan vaskularisasi,
edematous, dan mengalami degenerasi hidrofik berupa gelembung yang
menyerupai anggur.
Kehamilan mola ditandai dengan proliferasi trofoblas abnormal dan
diklasifikasikan menjadi mola hidatidosa parsial dan mola hidatidosa
komplit.
b. Etiologi
Hingga saat ini, belum diketahui penyebab kejadian mola
hidatidosa. Beberapa faktor risiko telah teridentifikasi berpengaruh
terhadap patogenesis mola hidatidosa. Faktor-faktor tersebut
menghasilkan proliferasi tak terkontrol pada trofoblas.
c. Gejala klinis
Perdarahan vaginal
Perdarahan vaginal merupakan gejala utama mola hidatidosa,
dimana gejala yang mencolok dan dapat bervariasi mulai dari spotting
sampai perdarahan yang banyak. Gejala perdarahan ini biasanya terjadi
antara bulan pertama sampai ketujuh dengan rata-rata 12-14 minggu.
Sifat perdarahan bisa intermitten, sedikit-sedikit atau sekaligus banyak
sehingga menyebabkan syok atau kematian. Karena perdarahan ini
umumnya pasien mola hidatidosa masuk dalam keadaan anemia.
Hiperemesis gravidarum
Pasien biasanya mengeluh mual-muntah hebat. Hal ini akibat
dari proliferasi trofoblas yang berlebihan dan akibatnya memproduksi
terus menerus B-HCG yang menyebabkan peningkatan B-HCG
4
hiperemesis gravidarum tampak pada 15 -25 % pasien mola hidatidosa.
Walaupun hal ini sulit untuk dibedakan dengan kehamilan biasa. 10%
pasien mola dengan mual dan muntah cukup berat sehingga
membutuhkan perawatan di rumah sakit.
Ukuran uterus lebih besar dari usia kehamilan
Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan tropoblastik yang
berlebihan, volume vesikuler villi yang besar rasa tidak enak pada
uterus akibat regangan miometrium yang berlebihan. Pada sebagian
besar pasien ditemukan tanda ini tetapi pada sepertiga pasien uterus
ditemukan lebih kecil dari yang diharapkan.
Tirotoksikosis
Kadar tiroksin plasma pada wanita dengan kehamilan mola
sering meningkat (10%), namun gejala tirotoksikosis jarang muncul.
Terjadinya tirotoksikosis pada mola hidatidosa berhubungan erat dengan
besarnya uterus. Makin besar uterus makin besar kemungkinan terjadi
tirotoksikosis. Oleh karena kasus mola dengan uterus besar masih
banyak ditemukan, maka dianjurkan agar pada setiap kasus mola
hidatidosa dicari tanda-tanda tirotoksikosis secara aktif dan memerlukan
evakuasi segera karena gejala-gejala ini akan menghilang dengan
menghilangnya mola. Mola yang disertai tirotoksikosis mempunyai
prognosis yang lebih buruk, baik dari segi kematian maupun
kemungkinan terjadinya keganasan. Biasanya penderita meninggal
karena krisis tiroid. Peningkatan tiroksin plasma mungkin karena efek
dari estrogen seperti yang dijumpai pada kehamilan normal. Serum
bebas tiroksin yang meningkat sebagai akibat thyrotropin – like effect
dari Chorionic Gonadotropin Hormon. Terdapat korelasi antara kadar
hCG dan fungsi endogen tiroid tapi hanya kadar hCG yang melebihi
100.000 IU/L yang bersifat tirotoksis. Sekitar 7 % mola hidatidosa
komplit datang dengan keluhan seperti hipertensi, takikardi, tremor,
hiperhidrosis, gelisah, emosi labil, dan warm skin.
5
d. Diagnosis
a) Anamnesis
Pada anamnesis dapat ditemukan keluhan berupa keterlambatan
haid (amenore), perdarahan pervaginam, perut terasa lebih besar dari
lamanya amenore, tidak merasa gerakan janin seiring terjadinya
perbesaran rahim.
b) Pemeriksaan Klinis Ginekologi
Pada pemeriksaan ditemukan uterus yang lebih besar dari usia
kehamilan dan tidak ditemukan tanda pasti kehamilan seperti denyut
jantung janin, ballotemen, atau gerakan janin.
c) Laboratorium
Pada hasil laboratorium dapat ditemukan kadar β-hCG yang
lebih tinggi dari normal
d) USG
Pada pemeriksaan tampak gambaran vesikuler di kavum uteri.
Diagnosis pasti ditentukan oleh hasil permeriksaan patologi anatomi
(PA). Secara mikroskopis akan tampak gambaran stroma vili yang
edematous, tidak mengandung pembuluh darah (avaskuler), disertai
hyperplasia sel sito dan sel sinsitiotrofoblas. Berdasarkan hasil PA
dapat pula diprediksi prognosis MHK, akan mengalami transformasi
keganasan atau tidak, dengan melihat pada proliferasi sel-sel
trofoblas. Proliferasi yang berlebihan memungkinkan transformasi
ke arah keganasan lebih besar (Martaadisoebrata, 2005).
6
preeklampsia, serta pemberian obat antitiroid. Tindakan yang
dilakukan sebelum penderita stabil dapat merangsang terjadinya
syok ireversibel, eklampsia, atau krisis tiroid, yang dapat berakibat
pada kematian. Penanganan emboli paru hanya berupa penanganan
suportif berupa pemberian antikoagulan dan oksigenasi hingga
gejala akutnya berkurang (Martaadisoebrata, 2005; Lurein, 2010;
Vorvick, 2010).
b) Evakuasi jaringan
MH merupakan kehamilan patologis yang sering disertai dengan
penyulit sehingga pada prinsipnya jaringan mola harus dievakuasi
secapat mungkin. Terdapat dua cara evakuasi, meliputi kuret vakum
(suction curretage) dan histerektomi total. Kuret vakum merupakan
metode pilihan bagi wanita yang masih harus mempertahankan
fertilitasnya, sedangkan histerektomi total dilakukan pada wanita
dengan usia > 35 tahun dengan jumlah anak cukup, sebagai tindakan
profilaksis terhadap terjadinya keganasan di uterus
(Martaadisoebrata, 2005; Lurein, 2010; Vorvick, 2010).
c) Profilaksis
Tindakan profilaksis dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu
histerektomi total dan kemoterapi. Kemoterapi dapat diberikan pada
golongan risiko tinggi yang menolak atau tidak dapat dilakukan
histerektomi total, atau pada wanita dengan hasil PA yang
mencurigakan. Pemberian kemoterapi dapat dilakukan dengan cara
sebagai berikut:
1) Metrotreksat 20 mg/hari, intramuskular, Asam Folat 10 mg
(3x1), sebagai antidote dan Cursil 35 mg (2x1) sebagai
hepatoprotektor, selama 5 hari berturut-turut.
2) Actinomycin D 1 flakon sehari, selama 5 hari berturut-turut,
tidak memerlukan antidote maupun hepatoprotektor
(Martaadisoebrata, 2005).
7
d) Follow up
Sebanyak 15%-20% dari penderita pasca-MH dapat mengalami
transformasi keganasan menjadi Tumor Trofoblas Gestasional
(TTG). Masa laten terjadinya keganasan sangat bervariasi.
Keganasan dapat terjadi dalam kurun waktu satu minggu hingga tiga
tahun pascaevakuasi. Tujuan dari follow up adalah untuk melihat
proses involusi berjalan normal baik anatomis, laboratoris maupun
fungsional, seperti involusi uterus, turunnya kadar β-hCG, dan
kembalinya fungsi haid. Selain itu, untuk menentukan adanya
transformasi keganasan, terutama pada tingkat yang sangat dini.
Pada umumnya, para pakar sepakat bahwa lama follow up
berlangsung selama satu tahun. Dalam tiga bulan pertama
pascaevakuasi, penderita datang untuk kontrol setiap dua minggu.
Kemudian dalam tiga bulan berikutnya, penderita datang setiap satu
bulan. Selanjutnya dalam enam bulan terakhir, penderita datang tiap
dua bulan. Selama follow up, hal-hal yang perlu diperhatikan adalah:
1) Keluhan, berupa perdarahan, batuk, atau sesak nafas
2) Pemeriksaan ginekologis, terutama adanya tanda-tanda
subinvolusi
3) Kadar β-hCG, terutama bila ditemukan terdapat tanda-tanda
distorsi dari kurva regresi normal.
Bila dalam tiga kali pemeriksaan berturut-turut, ditemukan slah
satu dari tiga tanda tersebut, penderita harus dirawat untuk
pemeriksaan yang lebih intensif meliputi USG, foto thorak, dan lain-
lain (Martaadisoebrata, 2005; Lurein, 2010; Vorvick, 2010).
Follow up dihentikan apabila sebelum satu tahun wanita sudah
mengalami kehamilan normal, atau bila setelah satu tahun tidak ada
keluhan, uterus, fungsi haid, dan kadar β-hCG dalam batas normal.
Selama masa follow up, wanita dianjurkan untuk tidak hamil terlebih
dahulu, karena dapat menimbulkan salah interpretasi. Jadwal follow
8
up harus ditepati karena kemungkinan terjadinya transformasi
keganasan lebih besar pada MHK pertama (Martaadisoebrata, 2005;
Lurein, 2010; Vorvick, 2010).
9
PERUBAHAN MORFOLOGI SELAMA KEHAMILAN:
Hiperplasia kelenjar tiroid terjadi selama kehamilan normal dan menyebabkan
sedikit pembesaran kelenjar secara umum. Namun, wanita hamil tetap eutiroid.
PERUBAHAN FISIOLOGIS: Pembersihan ginjal yodium meningkat
karena peningkatan filtrasi glomerulus. Kadar yodium serum ibu turun karena
peningkatan kehilangan ginjal dan juga karena pergeseran transplasental ke
janin. Ini menyebabkan hiperplasia kelenjar. Asupan yodium selama kehamilan
harus ditingkatkan dari 100 μg / hari menjadi 200 μg / hari (seperti yang
direkomendasikan oleh WHO). Ada peningkatan laju metabolisme basal, yang
dimulai pada sekitar bulan ketiga, mencapai nilai + 25% selama trimester
terakhir. Peningkatan BMR mungkin karena peningkatan konsumsi oksigen
bersih ibu dan janin.
Ada efek stimulasi hCG (chorionic thyrotropin) ke kelenjar tiroid
terutama pada trimester pertama. Karena efek tirotropik hCG ini, mungkin ada
fase transien hipertiroidisme pada beberapa wanita (tirotoksikosis transien
gestasional).
TIROID PADA FETAL. Tiroid janin mulai berfungsi setelah 12
minggu. Hingga saat itu janin sepenuhnya bergantung pada suplai T4 ibu
melalui plasenta, untuk semua perkembangan neurologis. TRH melintasi
plasenta tetapi TSH memotongnya dengan sangat minimal. Total T4 dan T3
ibu meningkat 18 minggu tetapi kadar T4 dan T3 gratis tidak berubah. TSH ibu
tetap normal. Sekresi T4 dan T3 adalah 20: 1, tetapi aktivitas biologis T3 lima
kali lebih banyak daripada T4. tingkat kalsitonin - hormon tiroid yang
disekresikan oleh sel parafollicular, meningkat sebesar 20%. Kalsitonin
melindungi kerangka ibu dari keropos tulang yang berlebihan selama
kehamilan dan menyusui. Pemutaran rutin semua wanita hamil untuk fungsi
tiroid tidak direkomendasikan oleh ACOG. Namun wanita dengan faktor risiko
tinggi harus memeriksakan kadar TSH serumnya dalam kunjungan antenatal
pertama mereka.
10
Perubahan hormone tiroid pada kehamilan
b. Epidemiologi
11
Angka kejadiannya di Indonesia dan negara berkembang sangat
tinggi dibandingkan dengan negara maju. Data rumah sakit di
Indonesia menunjukkan satu kehamilan mola diantara 85-375
kehamilan. Frekuensi tirotoksikosis pada kehamilan mola diperkirakan
antara 5 - 64%.
c. Patofisiologi
Human Chorionic Gonadotropin terdapat pada plasenta tersusun
dari sub unit alpha yang mirip dengan sub unit alpha hormon pituitary
glycoprotein seperti LH, FSH dan TSH, dan sub unit b pada hCG
memiliki stuktur 85% yang hampir sama pada 114 asam amino dan 12
residual sistein pada sub unit b dari TSH. Karena struktur yang hampir
mirip tersebut dari hCG dengan TSH menyebabkan hCG dapat
merangsang stimulasi reseptor TSH (TSHr) dalam menghasilkan
hormon tiroid seperti hormon TSH pada umumnya.
Ini dapat dibuktikan pada suatu penelitian sel tiroid pada tikus,
yang menghasilkan peningkatan ambilan yodium dan produksi cAMP
setelah diberikan hCG. Pada kultur folikel tiroid pada manusia
didapatkan stimulasi ambilan yodium, organifikasi dan sekeresi dari T3.
Studi lain yang dilakukan oleh Herschman dan Higgins menujukkan
bahwa hCG memiliki aktifitas menstimulasi tiroid dan ditemukan
bahwa adanya suatu hubungan yang erat diantara kadar serum hCG
yang diukur dengan radioimmunoassay, molar TSH yang diukur dengan
bioassay dan T3.
12
Pada trimester pertama kehamilan, hCG mencapai konsentrasi
tertinggi, ini membuat stimulasi pada kalenjar tiroid untuk
menghasilkan hormon tiroid dan menekan kadar TSH. Pada trimester
kedua dan ketiga, konsentrasi TSH akan meningkat secara bertahap
karena penurunan kadar hCG.
Beberapa hasil penelitian melaporkan bahwa setiap 10.000
mIU/L peningkatan hCG akan diikuti dengan peningkatan 0,6 pmol/L
( 0,1 ng/dL kadar FT4 dan menurunkan kadar TSH 0,1mIU/L.
Peningkatan FT4 pada trimester pertama diduga dapat diketahui bila
kadar hCG 50.000 – 75.000 mIU/L bertahan sampai lebih dari 1
minggu.
d. Diagnosis
Anamnesis
Diagnosis tirotoksikosis sangat sulit terutama pada trimester
pertama. Gejala klinis tirotoksikosis dengan MH sering tidak ada
gejala atau sangat sedikit ditemukan, gejala ini berbeda dengan
penyakit graves pada kehamilan dimana biasanya sering disertai
dengan pembesaran kalenjar tiroid dan exoptalmus.
Gejala klinis tirotoksikosis dapat dijumpai pada mola hidatidosa
dengan beberapa sifat yang istimewa, yaitu sering tidak menunjukkan
gambaran klinis toksikosis yang umum, walaupun hasil pemeriksaan
laboratorium jelas menunjukan keadaan tirotoksikosis. Hal ini
menyebabkan keadaan tersebut seringkali tidak terdiagnosis. Gejala
klinis yang kurang nyata ini disebabkan oleh karena sekresi
berlebihan hormon tiroid hanya terjadi dalam waktu yang singkat
saja, atau karena gejala dan tanda tirotoksikosis ini tersamar oleh
gejala dan tanda penyakit tropoblastik ini. Perjalanan penyakitnya
dapat timbul secara cepat atau dapat tiba-tiba muncul sebagai
keadaan yang sangat berat. Keadaan sangat berat tersebut dapat
13
berupa krisis tiroid atau gagal jantung mendadak. Gejala dan tanda
klinis tirotoksikosis yang dapat timbul adalah berkeringat banyak,
tidak tahan terhadap panas, palpitasi, sesak nafas, kelemahan badan,
penurunan berat badan, nafsu makan bertambah, pembesaran kelen-
jar tiroid yang ringan, tremor, takikardi, dan fibrilasi atrial.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan yang diperlukan pada tirotoksikosis dengan
kehamilan mola adalah pemeriksaan kadar hormon hCG, FT4
dan TSHs. tirotoksikosis pada kehamilan mola ditunjukkan
dengan peningkatan kadar FT4 dan FT3, penurunan TSHs dan
peningkatan hCG yang sangat bermakna. Pada pasien yang
mengalami tirotoksikosis yang disebabkan oleh penyakit
tropoblastik akan terjadi peningkatan FT4 dan konsentrasi T3,
penurunan TSH, dan peningkatan hCG secara signifikan.
Walaupun konsentrasi FT4 dan T3 dapat meningkat pada
konsentrasi hCG > 50.000 IU/L tetapi pada pasien tumor
trophoblastik, serum hCG biasanya melebihi 300.000 IU/L dan
selalu melebihi 100.000 IU/L. Rasio T3 : T4 pada kehamilan
mola sangat rendah, tidak seperti pada penyakit Grave’s yang
sering lebih besar dari dua puluh.
Penelitian yang dilakukan oleh Glinoer menyimpulkan
bahwa setiap kenaikan kadar hCG sebesar 10.000 IU/L akan
meningkatkan kadar T4 sebesar 0,1ng/dl, dan menurunkan kadar
TSH sebesar 0,1 mIU/L. Peningkatan kadar serum T4 akan
terjadi hanya bila konsentrasi hCG > 50.000 IU/L, dan menetap
lebih dari satu minggu.
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk menegakkan
diagnosis adalah pemeriksaan USG dan histopatologi.
Pemeriksaan USG menunjukkan tidak tampak kantung janin,
tampak gambaran vesikuler di seluruh kavum uteri, dan snow-
14
like pattern yang menyimpulkan suatu kehamilan mola
hidatidosa. Pemeriksaan histopatologi menunjukkan gambaran
vili korealis berukuran besar dan berbentuk bulat, mengalami
degenerasi hidropik, avaskuler, disertai pembentukan sisterna
yang menyimpulkan suatu kehamilan mola hidatidosa.
e. Tatalaksana
Evakuasi jaringan mola merupakan pengobatan utama pada mola
hidatidosa dan evakuasi tersebut juga akan menghilangkan
tirotoksikosis yang ada. Namun tindakan tersebut sebaliknya dapat
mencetuskan tirotoksikosis yang hebat bahkan mungkin krisis
tiroid pasca evakuasi apabila hipertiroidisme tersebut belum diatasi.
Mengingat bawa tirotoksikosis pada mola hidatidosa dapat dengan
cepat menjadi berat, maka begitu diagnosis ditegakkan atau terdapat
dugaan yang sangat kuat, pengobatan sudah harus diberikan.
15
dianjurkan untuk memberikan OAT (obat anti tiroid) kepada setiap
penderita dengan fungsi tiroid yang meningkat, walaupun tidak disertai
tirotoksikosisi klinis.
f. Badai Tiroid
Tirotoksikosis dan badai tiroid ada pada suatu kontinum, dan
tidak ada konsensus umum tentang definisi badai tiroid. Sebagian besar
definisi termasuk suhu tinggi, detak jantung 140 detak / mnt, dan tanda-
tanda dan gejala-gejala tirotoksosis yang ditekankan. Hanya beberapa
penulis memasukkan perlunya disfungsi dalam satu atau lebih sistem
organ (saraf pusat, kardiovaskular, atau sistem gastrointestinal) untuk
membuat diagnosis. Lebih jauh, tirotoksikosis – badai tiroid kontinuum
mencakup potensi efek sistem saraf pusat (agitasi, delerium, psikosis),
disfungsi gastrointestinal atau hepatik (mual, muntah, diare, nyeri
abdomen, dan penyakit kuning yang tidak dapat dijelaskan), disfungsi
kardiovaskular ( takikardia, gagal jantung kongestif, fibrilasi atrium),
dan disfungsi termoregulasi). Sistem penilaian oleh Burch & Wartofsky
untuk menilai adanya badai tiroid.
16
Scoring untuk penilaiain badai tiroid
17
BAB III
KESIMPULAN
18
DAFTAR PUSTAKA
Brent GA. 2008. Clinical practice. Graves disease. N Engl J med 2008; 358:
2594
Chaniwala NU, Woolf PD, Bruno CP, Kaur S, Spector H, Yacono K. Thyroid
Storm Caused by a Partial Hydatidiform Mole. Thyroid 2008 16(4).
479-480
Ehlen GT, Vancouver BCP, Bessette , Sherbrooke QC, Gerulath AH, Toronto
ONL, Jolicoeur, RN, Ottawa ONR, Savoin, Moncton NB. 2002.
Gestational.
Fantz CR, Dagogo SJ, Ladenson JH, Gronowski AM. Thyroid Function during
Pregnancy: Case Conference. Clinical Chemistry. 1999 ; 45 (12) : 2250–
2258
19
Gunawan GS. 2007. Propiltiourasil (PTU). Farmakologi dan Terapi. Edisi V.
Departemen Farmakologi dan Teurapetik Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta : Balai Penerbit FK UI, 441-442 hal.
Guyton and Hall. Tirotoksikosisisme. Dalam: Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran.Jakarta : EGC.1997.
Halim A.M., 2007. Panduan Praktis Ilmu Penyakit Dalam: Diagnosis dan
Terapi. Edisi 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
20
Vorvick, L. J. 2010. Hydatidiform Mole. Available at
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0001907/. Accessed on
22nd November 2012.
Zhou, Xi, Yongli Chen, Yongmei Li, et al.. 2012. Partial hydatidiform mole
progression into invasive mole with lung metastasis following in vitro
fertilization. Oncology Letters Vol. 3 Num. 3: 659-661.
21