Anda di halaman 1dari 25

REFERAT

HIPERTENSI SEKUNDER

PEMBIMBING :
dr. Tety Suratika, Sp.PD

DISUSUN OLEH :
Neng Angie Rivera
2014730073

KEPANITRAAN KLINIK
ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SAYANG CIANJUR
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2018

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas karunia-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan laporan Referat dengan judul “hipertensi sekunder”.
Laporan Referat ini penulis ajukan sebagai salah satu persyaratan untuk
menyelesaikan kepanitraan klinik stase Penyakit Dalam di Program Studi
Kedokteran, Fakultas Kedokteran dan Kesehatan, Universitas Muhammadiyah
Jakarta.

Penulis menyadari laporan referat ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh
karena itu kritik dan saran sangat diharapkan guna perbaikan laporan selanjutnya.
Atas selesainya laporan ini, penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan
yang setinggi-tingginya kepada dr. Tety Suratika, Sp.PD yang telah memberikan
persetujuan dan pembimbingan. Semoga laporan ini dapat menambah ilmu
pengetahuan bagi penulis dan para pembaca.

Cianjur, November 2018

Penulis

Neng Angie
Rivera

A. Hipertensi Sekunder
2
Pada faktanya pasien yang memiliki hipertensi pada usia muda tanpa
riwayat keluarga dengan hipertensi atau mereka yang pertama kali
menunjukkan gejala hipertensi pada usia diatas 50 tahun, lebih cenderung
memiliki hipertensi sekunder.
Penyebab hipertensi sekunder diantaranya :
1. Penggunaan Estrogen
Peningkatan tekanan darah pada wanita pengguna kontrasepsi oral
disebabkan oleh expansi volume karena meningkatnya aktivitas sistem
renin-angiotensin-aldosteron. Abnormalitas primer adalah pada
peningkatan sintesis renin oleh hepar.
Kontrasepsi dihubungkan dengan hipertensi lebih sering pada wanita
berusia diatas 35 tahun dengan pemakaian kontrasepsi lebih dari 5 tahun
dan pada mereka y gemuk. Peningkatan tekanan darah dapat sampai diatas
140/90 mmHg.
Hipertensi bersifat reversibel dengan menghentikan penggunaan
kontrasepsi. Estrogen pada wanita post menipause tidak menimbulkan
hipertensi. Ia akan berfungsi sebagai pemelihara endotel-mediasi
vasodilatasi.
2. Penyakit ginjal
Penyakit parenkim ginjal penyebab paling umum dari hipertensi sekunder.
Hipertensi bisa disebabkan karena kelainan glomerolus, tubulus
interstitial dan kelainan polikistik. Kebanyakan kasus berhubungan
dengan peningkatan volume intravaskuler atau peningkatan aktivitas
sistem renin-engiotensin-aldosteron. Hipertensi mempercepat progresi ke
renal insufisiensi dan kontrol yang ketat agar tekanan darh menjadi
130/85 mmHg atau lebih rendah akan memperlambat proses ini.
Dilatasi arteriol eferen oleh angiotensin-converting enzyme inhibitor
mengurangi progresi penyakit ini.
3. Hipertensi Renovaskular
Sterosis arteri renalis terdapat pada 1-2% pasien dengan hipertensi. Ini
disebabkan karena hyperplasia dilapisan fibromuskuler pada individu
yang muda, lebih sering pada wanita berusia < 50 tahun. Kelainan
pembuluh darah ginjal yang lain adalah stenosis karena aterosklerosis
pada arteri renalis proximal. Mekanisme dari terjadinya hipertensi ialah
3
peningkatan pelepasan renin karena penurunan aliran darah ginjal dan
tekanan perfusi. Renal vaskular hipertensi akan tampak bila satu cabang
dari arteri renalis mengalami stenosis, tetapi pada 25% pasien kedua arteri
mengalami stenosis, tetapi pada 25% pasien kedua arteri mengalami
obstruksi
Hipertensi renovaskular harus dicurigai pada beberapa keadaan : (1) onset
pada usia <20 tahun atau > 50 tahun, (2) adanya bruit di epigastrium atau
bruit arteri renals, (3) adanya aterosklerosis pada aorta atau arteri-arteri
perifer, (4) bila terdapat penurunan fungsi ginjal yang tiba-tiba setelah
pengaturan dari angiotensin-converting enzym inhibitor.
4. Hiperaldosteronisme primer
Pasien dengan sekresi aldosteron berlebihan terdapat pad 0,5% dari
seluruh kasus hipertensi. Lesi biasanya terletak pada adenoma adrenal,
tetapi beberapa pasien memiliki hiperplasia adrenal bilateral
5. Feokromositoma
Penyebab hipertensi karena feokromositoma hanya 0,1%. Gejala penyakit
ini berhubungan dengan kelebihan norepinefrin dan epinefrin. Tumor pada
medulla adrenal atau dari sel kromafil ektopik akan menyebabkan
kontraksi pembuluh darah. Sel adenokortikal berperan dalam sintesis
epinefrin akan menyebabkan peningkatan curah jantung dan gangguan
toleransi glukosa.
6. Cushing’s Syndrome
Sindrom ini sebagai akibat produksi berlebihan steroid zona fasikulata
adrenal dalam bentuk kortisol (hidrokortison). Glukokortikoid memacu
pembentukan glikogen dan glukosa dari protein (glukoneogenesis).
Meningkatkan pembentukan lemak, menghambat sistem imun dan
memacu saraf simpatik. Penyebab sindrom Cushing: (1) adenoma kelenjar
pituitary, (2) adenoma adrenal atau karsinoma, (3) adenokortikotropin
hormon (ACTH, ektopik dan (4) pengobatan glukokortikoid jangka
panjang
7. Penyebab lain Hipertensi Sekunder
Hiperkalemia karena berbagai penyebab, akromegali, hipertiroidisme,
beberapa pengobatan khususnya dengan siklosporin dan NSAID, dapat
dihubungkan dengan hipertensi sekunder.
4
Diagnosis
1. Gejala dan Tanda
Kebanyakan pasien tidak memiliki gejala yang spesifik karena
peningkatan tekanan darahnya. Adanya gejala yang membuat pasien datang
ke dokter berhubungan dengan 3 hal: (1) peningkatan tekanan darah itu
sendiri, (2) penyakit hipertensi vaskular dan (3) penyakit lain yang menyertai
(pada hipertensi sekunder).
Peningkatan tekanan darah menimbulkan gejala antara lain sakit
kepala biasanya pada regio occipital yang terasa pada saat pasien bangun
tidur pagi hari dan hilang secara spontan. Gejala lain diantaranya pusing,
palpitasi, mudah lelah dan impoten. Gejala karena penyakit hipertensi
vaskular diantaranya termasuk epitaksis, hematuria, pandangan kabur karena
perubahan pada retina, angina pektoris dan dispneu karena gagal jantung.
Contoh gejala pada hipertensi sekunder diantaranya :
a. Hipertensi renovaskular
Manifestasi klinisnya sangat bervariasi, seperti pada tabel dibawah ini.
Gambaran epidemiologis Hipertensi yang tidak disertai adanya riwayat
keluarga
Umur di bawah 20 tahun atau di atas 50 tahun
Perokok
Ras kulit putih
Gambaran hipertensinya Kenaikan tekanan darha yang mendadak dari
sedang menjadi berat
Hipertensi mendadak setelah trauma abdomen
Hipertensi yang sulit dikendalikan dengan
terapi biasa
Terdapat retinopati yang tidak sesuai dengan
tingginya tekanan darah
Respons terapi yang sempurna terhadap
penghambat enzim pengkonversi angiotensin
Tidak terdapat respons atau terjadi peningkatan
tekanan darah setelah pemberian diuretik
Keterlibatan ginjal Azotemia yang tidak bisa diterangkan

5
penyebabnya
Proteinuria berat yang tidak bisa diterangkan
penyebabnya
Terjadi penurunan fungsi ginjal setelah terapi
dengan penghambat enzim pengkonversi
angiotensin
Adanya Hipokalemia
hiperaldosteronisme Alkalosis
Gambaran lain Terdengar murmur di daerah abdomen
Terdengar murmur di daerah karotis atau
pembuluh darah besar lain
Peningkatan aktivitas renin plasma (ARP) yang
tak dapat diterangkan sebabnya

b. Hiperaldosteronisme primer
Adanya gejala poliuria, polidipsi, kelemahan otot karena
hipokalemia pasien hipertensi sekunder karena penyakit ini
c. Cushing’s Syndrome
Gejala klinis tergantung dari aktivitas glukokortikoid yaitu mudah
lelah, striae, moon face, obesitas daerah perut, hipertensi gangguan
toleransi glukosa, ulkus peptikum, osteoporosis, mudah timbul ekimosis,
simenorea.
d. Feokromositoma
Hipertensi bersifat labil dan berat disertai sakit kepala,
berkeringat, palpitasi dan tremor pada tangan. Pada pasien biasa terjadi
hiperglikemia.
Kebanyakan pasien kurus, pada pemeriksaan fundus didapatkan
retinopati hipertensif. Karena ada hambatan fungsi baroreseptor akan
terjadi hipotensi ortostatik.

2. Pemeriksaan Fisik
Diawali pada keadaan umum. Dilihat apakah ada tampilan moon face
seperti pada Cushing’s Syndrome.

6
Selanjutnya dilakukan perbandingan tekanan darha dan denyut nadi
pada kedua ekstremitas atas pada saat berbaring dan berdiri. Meningkatnya
tekanan diastolik dari posisi berbaring ke posisi berdiri cocok dengan
hipertensi esensial.
Pemeriksaan funduskopi dapat memberikan suatu penilaian untuk
lamanya hipertensi dan prognosis. Palpasi dan auskultasi arteri karotis harus
dilakukan untuk mengetahui adanya tidaknya stenosis atau oklusi. Pada
pemeriksaan paru dan jantung dicari ada tidaknya tanda-tanda hipertrofi
ventrikel kiri atau dekompensasi jantung. Ini biasanya ditemukan pada
hipertensi dengan komplikasi.
Pada pemeriksaan abdomen didengarkan ada tidaknya bruit pada
auskultasi yang menandakan adanya stenosis arteri renalis. Bruit ini memiliki
komponen diastolik atau bisa kontinu, dan sangat baik terdengar pada sebelah
kanan atau kiri dari garis tengah di atas umbilikus atau pada panggul.
Abdomen juga harus dipalpasi untuk mencari ada tidaknya aneurisma
abdomen dan pembesaran ginjal pada penyakit poliskistik ginjal.

3. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan dasar untuk evaluasi awal :
a. Darah perifer lengkap, protein dan glukosa di urin serta serum kreatinin
dan atau nitrogen urea dalam darah, untuk menilai fungsi ginjal. Bisa juga
dilakukan urinalisa secara mikroskopik
b. Hematokrit
c. Level serum postassium untuk menilai adanya mineralokortikoid yang
menginduksi hipertensi
d. Glukosa ndarah digunakan untuk menilai adanya diabetes mellitus yang
dapat berhubungan dengan aterosklerosis, nefropati diabetik pada pasien
dengan hipertensi. Adanya aldesteronisme primer, Cushing’s syndrome
dan feokromositoma dapat berkaitan dengan hiperglikemia.
e. Kolesterol total, kolesterol HDL, kolesterol LDL dan trigliserida dinilai
untuk melihat ada tidaknya faktor predisposisi untuk aterosklerosis
f. EKG, harus dilakukan pada semua kasus. Sebenarnya penilaian
echocardiogram lebih sensitif untuk melihat adanya hipertrofi ventrikel
kiri pada hipertensi dengan komplikasi
7
g. Rontgen thoraks. Dapat dibantu melihat adanya dilatasi aorta atau
elongasi yang tampak pada koarktasio aorta.

Pada beberapa pasien, pengaturan tekanan darah ditempat praktek


menunjukkan hasil yang lebih tinggi dibandingkan pengukuran di rumah. Ini
disebut white-coa hypertension. Pada pasien yang dicurigai demikian dapat
dilakukan pengukuran tekanan darah diluar tempat praktek dengan
ambulatory blood pressure monitoring (ABPM). Alat ini diprogram untuk
mengukur tekanan darah tiap 15 – 30 menit selama 24 jam pada saat pasien
melakukan aktivitas normal sehari-hari.

Diagnosis pada hipertensi sekunder


1. Hipertensi Renovaskular
Tes seleksi diantaranya adalah pielografi intravena sekuensial,
ARP, perifer dan renogram Hippuran. Pada pielogram intravena
sekuensial, ginjal yang sakit tampak lebih kecil (berbeda <1,5 cm).
Pengeluaran kontras terlambat, sistem kalises mengandung kontras lebih
banyak dan kolateral pembuluh darah tampak lebih banyak.
ARP perifer basal meningkat pada sekitar 70% hipertensi
renovaskular dan 30% diantaranya normal. Tes kaptopril juga bisa
dikerjakan. Tes ini didasarkan atas efek kaptopril dalam menghambat
pembentukan angiotensin II. Pada pemberian kaptopril, pasien hipertensi
akan mengalami peningkatan kadar renin plasmanya.
Pada renogram hipuran akan tampak perbedaan waktu untuk
mencapai puncak lebih dari 40 detik, perlambatan dalam eliminasi
hippuran dari korteks dan perbedaan dalam ukuran dan aliran darah antara
kedua ginjal.
Tes konfirmasi untuk hipertensi renovaskular adalah arteriografi
ginjal. Dengan tindakan ini disamping diagnostik pasti dapat ditegakkan,
juga dapat diketahui sifat dan lokasi stenosis yang terjadi. Untuk tindakan
yang tidak invasif dilakukan magnetic resonance angiography (MRA)

2. Hiperaldosteronisme primer

8
Sebelum dilakukan tes seleksi, obat-obatan yang mempengaruhi
pengaktifan renin plasma dan aldosteron dihentikan, misalnya
spironolaktin 6 minggu, diuretik 4 minggu, ACE Inhibitor 2 minggu,
penghambat simpatis 1 minggu, antagonis kalsium 1 minggu dan
vasodilator 1 minggu.
Tes seleksi hiperaldosteronisme primer terdiri dari kalium serum,
kalium urin, rasio aldosteron, aktivitas renin plasma (ARP) dan tes
supresi kaptopril.
Pada tes-tes tersebut diatas didapatkan kadar kalium serum kurang
dari 3,5 meq/L dan kalium urin > 30 meq/24 jam dan rasio
aldosteron/ARP > 30 – 50.
Tes supresi kaptopril dilakukan dengan pemberian 25 mg kaptopril,
sesudah 2 jam kadar aldosteron > 15 g/dl.

3. Cushing’s Sundrome
Diagnosis Cushing’s syndrome selain gejala klinis juga perlu
pemeriksaan laboratorium atau sarana penunjang lain seperti CT-Scan
atau MRI. Tes laboratorium mengukur kortikol urin 24 jam atau kortisol
plasma jam 8 pagi sesudah mendapat deksametason 1mg pada jam 11
malam. Kortisol dalam urin meningkat sampai 2 kali lipat atau lebih dari
normal. Dengan tes deksametason pada orang normal, kadar kortisol
dalam plasma kurang dari 4 g/dl, sedangkan pada Cushing’s syndrome
kortisol dalam plasma > 10 g/dl. Uji supresi deksametason juga
dilakukan untuk membedakan tumor adrenal dan hipertensi yaitu
pemberian deksametason dosis rendah 2 mg/hari selama 2 hari I disusul 8
mg/hari selama 2 hari berikutnya.

4. Feokromositoma
Pada pengukuran kadar katekolamin urin 24 jam, bila kadar
katekolamin > 100 g/hari maka norepinefrin dan epinefrin harus diukur
dari sampel yang sama. Pada tumor medulla adrenal kadar katekolamin >
30 g/hari

9
Penatalaksanaan
Pengobatan hipertensi merupakan pengobatan seumur hidup. The Joint
National Committee on Detection, Evaluation and Treatment of Jigh Blood Pressure,
menganjurkan saat mulainya pengobatan berdasarkan pada tipe kelompok risiko yang
ditentukan oleh derajat hipertensi, adanya kerusakan organ target dan faktor risiko
kardiovaskular lainnya.
Derajat hipertensi Kelompok risiko A Kelompok Risiko B Kelompok risiko C
(mmHg) (Tak ada faktor (minimal 1 faktor (kerusakan organ
risiko, tak ada risiko, tak termasuk target dan atau
kerusakan organ diabetes, tak ada diabetes, dengan atau
target) kerusakan organ tanpa faktor risiko
target) lain)
Normal tinggi Perubahan gaya hidup Perubahan gaya hidup Terapi obat
(130-139/B589)
Derajat 1 Perubahan gaya hidup Perubahan gaya hidup Terapi obat
(140-159/90-99) (sampai 12 bulan) (sampai 6 bulan)
Derajat 2 dan 3 Terapi obat terapi obat Terapi obat
(≥ 160/≥ 100)

Adapun faktor resiko kardiovaskular dan kerusakan organ target pada pasien
hipertensi diantaranya ialah :
Faktor resiko utama Kerusakan organ target
Merokok Penyakit jantung
Dislipidemia - Hipertrofi ventrikel kiri
Diabetes mellitus - Angina/riwayat infark miokard
Umur diatas 60 tahun - Riwayat revaskularisasi koroner
- Gagal jantung
Jenis kelamin (pria dan wanita pasca Strok atau serangan iskemia selintas
menopause)
Riwayat penyakit kardiovaskular Nefropati
dalam keluarga
Wanita < 65 tahun Penyakit arteri perifer
Pria < 55 tahun Retinopati

Penanggulangan hipertensi secara garis besar dibagi menjadi 2 jenis


penatalaksanaan :
I. Penatalaksanaan Non Farmakologis (perubahan gaya hidup)
Secara umum penatalaksanaan non farmakologis diantaranya:
a. Menghilangkan stress
b. Pengaturan diet

10
c. Olahraga teratur
d. Menurunkan berat badan (bila diperlukan)
e. Kontrol faktor resiko lain yang bisa memperberat terjadinya
aterosklerosis.

Pengaturan diet terdiri atas 3 aspek :


1. Karena kemanjuran dari restriksi natrium dan volume intravaskular
dalam menurunkan tekanan darah, pasien sebelum diinstruksikan
untuk mengurangi intake natrium secara drastis. Bagaimanapun juga
beberapa penelitian menyebutkan adanya penurunan 5 mmHg pada
tekanan darah sistolik dan penurunan 2,6 mmHg pada tekanan
diastolik bila sodium dikurangi sampai 75 meq/hari. Seperti telah
diketahui sebelumnya bahwa beberapa pasien dengan hipertensi sangat
sensitif terhadap garam dan kadar asupan sodium mempengaruhi
tekanan darah. Karena tidak adanya resiko yang nyata dari restriksi
natrium ringan, pendekatan yang paling praktis ialah dengan
menyarankan diet restriksi natrium ringan (hingga 5 gr NaCl/hari),
yang bisa didapatkan dengan tidak menambahkan garam pada
makanan yang biasa. Pendekatan yang pada faktornya berguna ialah
dengan metode diet DASH (dietary approaches to stop hypertension)
yang menggunakan makanan-makanan alami yang tinggi kalium dan
rendah lemak jenuh, penekanan pada konsumsi buah dan sayuran serta
produk-produk rendah kalori. Diet ini secara signifikan menurunkan
tekanan darah kepada hipertensi stage I. Kombinasi dari diet DASH
dengan restriksi natrium sedang akan membuat tekanan darha yang
besar daripada dengan manipulasi diet tunggal.
2. Restriksi kalori diharuskan pada pasien hipertensi dengan overweight.
Beberapa pasien yang obese menunjukkan penurunan tekanan darah
yang signifikan sebagai konsekuensi dari penurunan berat badan. Pada
penelitian TAIm (Trial of Antihypertensive Interventions and
Management), penurunan berat badan (rata-rata 4,4 kg dalam 6 bulan)
akan menurunkan tekanan darah sebanyak 2,5 mmHg.
3. Restriksi asupan kolesterol dan lemak jenuh direkomendasikan, karena
dengan diet ini akan menurunkan insiden komplikasi arteriosklerosis.
11
Olahraga teratur dianjurkan sesuai dengan status batas
kardiovaskular pasien. Olahraga tidak hanya membantu menurunkan berat
badan tetapi juga terbukti menurunkan tekanan arteri. Olahraga isotonik
(seperti berenang, joging) lebih baik daripada olahraga isometrik (seperti
angkat beban)

II. Penatalaksanaan Farmakologis


Pengobatan hipertensi berlandasrkan beberapa prinsip: (1)
pengobatan hipertensi sekunder lebih mengutamakan pengobatan kausal,
(2) pengobatan hipertensi primer ditujukan untuk menurunkan tekanan
darah dengan harapan memperpanjang umur dan mengurangi timbulnya
komplikasi; (3) upaya menurunkan tekanan darah dicapai dengan
menggunakan obat antihipertensi selain dengan perubahan gaya hidup; (4)
pengobatan hipertensi primer adalah pengobatan jangka panjang dengan
kemungkinan besar untuk seumur hidup; (5) pengobatan menggunakan
algoritma yang dianjurkan The Joint National Commitee on Detection,
Evaluatio and Treatment of High Blood Pressure (JNC VII).
Pada sebagian besar pasien pengobatan dimulai dengan dosis kecil
obat antihipertensi yang dipilih, dan jika perlu dosisnya secara perlahan-
lahan dinaikkan, bergantung pada umur, kebutuhan dan hasil pengobatan.
Obat antihipertensi kerja panjang yang mempunyai efek penurunan
tekanan darah selama 24 jam lebih disukai daripada obat jangka pendek
disebabkan oleh beberapa faktor: (1) kepatuhan lebih baik dengan dosis
sekali sehari; (2) harga obat dapat lebih murah; (3) pengendalian tekanan
darah perlahan-lahan dan persisten; (4) mendapat perlindungan terhadap
faktor risiko seperti kematian mendadak, serangan jantung dan stroke,
yang disebabkan oleh peninggian tekanan darah pada saat bangun setelah
tidur malam hari.
Apabila tekanan darah telah turun dan dosis antihipertensi stabil
dalam waktu 6 – 12 bulan, dosis obat dapat dicoba diturunkan dengan
pengawasan ketat, tetapi tidak langsung dihentikan. Di dalam klinik,
penghentikan obat antihipertensi jarang terjadi dan hampir seluruh pasien
memerlukan pengobatan terus menerus untuk seumur hidup.
12
Oleh karena faktor yang mempengaruhi terjadinya peningkatan
tekanan darah pada hipertensi primer sangat banyak, obat antihipertensi
yang dikembangkan tentu saja berdasarkan pengetahuan patofisiologi
tersebut.
1. Diuretik
Diuretik mempunyai efek antihipertensi dengan cara
menurunkan volume ekstraseluler dan plasma sehingga terjadi
penurunan curah jantung. Tiazid menghambat reabsorbsi natrium di
segmen kortikal ascending limb, loop Henle dan pada bagian awal
tubulus distal. Hidroklorotiazid merupakan jenis yang sering dipakai
pada pengobatan hipertensi. Pada pemberian oral obat ini dimulai
bekerja setelah 1 jam dan mempunyai jangka waktu kerja selama 8 –
12 jam. Dosis yang sering dipakai adalah 25 – 50 mg, 1 – 2 kali tiap
hari. Jarang digunakan dosis yang lebih tinggi karena tidak akan
menghasilkan efek yang lebih baik. Apabila diharapkan efek jangka
panjang dapat digunakan klortalidon yang dapat diberikan dengan
dosis 25 – 100 mg tiap hari. Efek antihipertensi obat golongan ini
tidak hanya disebabkan oleh efek hipovolemia. Pada pemberian jangka
panjang akan menurunkan tahanan perifer. Efek samping yang sering
dijumpai adalah hipokalemia, hiponatremia, hiperurisemia, dan
gangguan lain seperti kelemahan otot, muntah dan pusing.
Hipokalemia merupakan efek samping yang banyak dijumpai dan
diketahui dapat meningkatkan risiko aritmia jantung. Mengingat
berbagai efek samping yang membahayakan, sekarnag terdapat
kecenderungan menggunakan diuretik dengan dosis yang rendah
disertai dengan penggunaan asupan garam. Penggunaan diuretik pada
orang tua, menurut beberapa ahli lebih banyak efek samping
dibandingkan dengan efektivitasnya. Pada gangguan fungsi ginjal
tiazid tidak dianjurkan karena tidak menunjukkan efek antihipertensi.
Pada keadaan ini dapat digunakan golongan loop diuretics, seperti
furesemid dan asam etakrinik. Golongan ini termasuk diuretik kuat
yang bekerja pada segmen tebal medullary ascending limb, loop
Henle. Dosis furesemid umumnya 40 mg tiap hari. Aldakton dan
triamteren termasuk dalam potassium sparing diuretics karena cara
13
kerjanya menghambat ekskresi natriu, sekresi kalium, dan hidrogen
pada tubulus distal. Aldakton dapat diberikan 50 – 100 mg, 1 – 2 kali
tiap hari, sedangkan triamteren 50 – 100 mg, dua kali tiap hari. Efek
samping yang dapat terjadi adalah hiperkalemia sehingga jarang
dipakai pada hipertensi primer dengan komplikasi penurunan fungsi
ginjal.
2. Golongan penghambat simpatetik
Penghambatan aktivitas simpatik dapat terjadi pada saat pusat
vasomotor otak seperti pada pemberian metildopa dan klonidin atau
pada ujung saraf perifer seperti reserpin dan guanetidin.
Metildopa mempunyai efek antihipertensi dengan menurunkan
tonus simpatik secara sentral. Mekanisme kerja yang lain ialah dengan
cara mengganti noreepinefrin di saraf perifer dengan metabolit
metildopa yang kurang poten. Efek hipotensinya lambat dan baru
mencapai puncaknya pada hari ke 2 – 4. Dosis yang biasa dipakai
adalah 250 mg, 2 – 3 kali tiap hari dan jika diperlukan dapat dinaikkan
sampai dosis maksimal 2000 mg tiap. Efek samping dapat berupa
anemia hemolitik, gangguan faal hati, dan kadang-kadang dapat timbul
hepatitis kronik. Keuntungan obat ini adalah dapat diberikan pada
kehamilan tanpa menimbulkan banyak efek samping.
Klonidin mempunyai cara kerja yang tidak berbeda dengan
metildopa yaitu mempengaruhi tonus simpatik secara sentral. Dosis
yang diperlukan lebih rendah yaitu 0,1 – 0,2 mg tiap hari dengan dosis
terbagi. Efek samping yang timbul adalah sedasi, rasa lelah, rasa
kering dan mukosa mulut dan bibir, impotensi, dan pusing. Obat ini
tidak boleh dihentikan pemberiannya secara mendadak karena adanya
rebound effect yaitu peninggian tekanan darah secara cepat.
Kombinasi klonidin dengan penyekat beta oleh beberapa penyelidik
tidak dianjurkan karena dapat menimbulkan gangguan serebral.
Kelebihan klonidin adalah dapat diberikan secara parenteral dengan
saat mulai kerja yang cepat sehingga dapat digunakan pada kegawatan
hipertensi.
Reserpin atau golongan alkaloid rauwolfia juga mempunyai
efek sentral. Obat ini dapat diberikan secara parenteral, akan tetapi
14
penurunan tekanan darah yang terjadi sulit diduga sehingga jarang
digunakan sebagai obat antihipertensi parenteral.

3. Penyekat Beta
Mekanisme antihipertensi obat ini adalah melalui penurunan
curah jantung dan penekanan sekresi renin. Obat golongan ini
dibedakan dalam 2 jenis: (1) yang menghambat reseptor beta I; (2)
yang menghambat reseptor beta 1 dan 2. Penyakit beta yang kardio-
selektif berarti hanya menghambat reseptor beta 1. Akan tetapi, dosis
tinggi obat ini juga menghambat reseptor beta 2 sehingga penyekat
beta tidak dianjurkan pada pasien yang telah diketahui mengidap
gangguan pernafasan seperti asma bronkial.
Berdasarkan kelarutannya dalam air dan lemak, penyekat beta
dibedakan menjadi dua golongan: (1) golongan yang larut dalam
lemak seperti asebutolol, alprenolol, metoprolol, oksprenolo, pindolol,
propanolol, dan timolol, yang mempunyai waktu paruh yang relatif
pendek, yaitu 2 – 6 jam ; (2) golongan yang lebih larut dalam air dan
dieliminasi melalui ginjal seperti atenolol, nadolol, praktolol dan
sotalol yang mempunyai waktu paruh yang lebih panjang, yaitu 6 – 24
jam, sehingga dapat diberikan satu kali sehari.
Efek samping yang timbul lebih banyak disebabkan oleh efek
blokade terhadap reseptor beta dan tidak berhubungan dengan dosis.
Kontraindikasi penyekat beta adalah pada pasien asma bronkial, gagal
jantung, dan blok atrioventrikular.
Efek samping bradikardia dapat diperkecil jika dipilih obat
yang mengandung instrinsic sympathomimetic activity (ISA).
Penyekat beta yang mengandung ISA, misalnya pindolol, menurunkan
tekanan darah dengan cara mengurangi tahanan perifer yang
disebabkan oleh efek vasodilatasi tanpa mempengaruhi curah jantung.

4. Vasodilator
Yang termasuk golongan ini adalah doksazosin, prazosin,
hidralazin, minoksidil, diazoksid, dan sodium nitroprusid. Obat
golongan ini bekerja langsung pada pembuluh darah dengan cara
15
relaksasi otot polos yang akan mengakibatkan penurunan resistensi
pembuluh darah. Hidralazin, minoksidil, dan diazoksid bekerja pada
arteri sehingga penurunan resistensi pembuluh darah akan diikuti oleh
peninggian aktivitas simpatik. Peninggian aktivitas simpatik ini akan
menimbulkan takikardia dan peninggian kontraktilitas otot miokard
yang akan mengakibatkan peningkatan curah jantung.
Sodium nitroprusid selain bekerja pada arterial juga bekerja
pada vena sehingga efek samping yang timbul adalah hipotensi
ortostatik yang disebabkan oleh penumpukan darah dalam vena.
Dengan pemberian oral, dosis hidralazin adalah 10 – 25 mg tiap
hari yang dapat dinaikkan 10 – 25 mg tiap kali sampai tercapai
penurunan tekanan darah yang diinginkan. Dosis maksimal adalah 200
mg yang diberikan secara terbagi. Dengan pemberian oral absorpsi
sangat baik dan efek antihipertensi timbul setelah 1 jam. Obat ini
dimetabolisme dalam hati dengan waktu paruh 3 – 4 jam. Pemberian
intravena biasanya dengan dosis 10 – 20 mg dan jika diperlukan dapat
dinaikkan sampai 40 mg. Efek vasodilatasi pada pembuluh darah
perifer, portal-hepatik, dan koroner lebih besar jika dibandingkan
dengan efek vasodilatasi pada pembuluh darah otak, otot, dan kulit.
Minoksidil biasanya diberikan dengan dosis 2,5 – 25 mg tiap
hari dengan pemberian sekali sehari. Efek vasodilatasinya mirip
dengan hidralazin, hanya lebih kuat. Obat ini dapat digunakan pada
pasien hipertensi yang sulit dikendalikan dengan obat lain.
Doksazasin termasuk dalam  1 receptor blockers yang
mempunyai efek penurunan tekanan darah dalam 24 jam sehingga
dapat diberikan sekali sehari dengan dosis 1 – 4 mg.
Prazosin mempunyai jangka waktu kerja yang pendek,
digunakan dengan dosis efek antara 2,5 – 7,5 mg tiap hari.
Diazoksid adalah obat antihipertensi yang dapat diberikan
secara parenteral sehingga dapat dipakai pada kedaruratan hipertensi.
Dosis awal adalah 100 mg yang dapat diberikan secara bolus intravena
dan dapat diulangi jika diperlukan
Sodium nitroprusid biasanya diberikan dengan infus dengan
kecepatan rata-rata 3 mikrogram/kgBB/menit dengan kisaran antara
16
0,5 – 8 mikrogram/kgBB/menit. Sodium nitroprusid merupakan
vasodilator yang poten terhadap otot polos. Efek samping yang terjadi
disebabkan oleh efek antihipertensi yang berlebihan.

5. Penghambat Enzim Konversi Angiotensin


Obat golongan ini dikembangkan, berdasarkan pengetahuan
tentang pengaruh sistem renin-angiotensin pada hipertensi primer.
Enzim konversi angiotensin mengubah angiotensin I menjadi
angiotensin II yang aktif dan mempunyai efek vasokonstriksi
pembuluh darah. Kaptopril yang dapat diberikan secara oral
menurunkan tekanan darah dengan cara menghambat enzim konversal
angiotensin sehingga terjadi penurunan kadar angiotensin II, yang
mengakibatkan penurunan aldosteron dan dilatasi arteriol. Selain itu,
obat ini menghambat degradasi bradikinin yang merupakan
vasodilator kuat yang akan memperkuat efek antihipertensinya. Pada
hipertensi ringan dan sedang dapat diberikan dosis 2 kali 12,5 mg tiap
hari. Dosis yang biasanya adalah 25 – 50 mg tiap hari. Penggunaan
dosis yang lebih tinggi dari 50 mg pada pasien dengan kreatinin serum
di atas 1,5 mg% perlu berhati-hati. Efek samping yang timbul adalah
kemerahan kulit, gangguan pengecap, agranulositosis, proteinuria dan
gagal ginjal.

6. Antagonis Kalsium
Hubungan antara kalsium dengan sistem kardiovaskular telah
lama diketahui. Aktivitas kontraksi otot polos pembuluh darah diatur
oleh kadar ion kalsium (Ca +2) intrasellular bebas yang sebagian besar
berasal dari ekstrasel dan masuk melalui saluran kalsium (calcium
channels). Peningkatan kontraktilitas otot jantung akan mengakibatkan
peninggian curah jantung. Hormon presor, seperti angiotensin, juga
akan meningkat efeknya oleh pengaruh kalsium.
Antagonis kalsium menghambat masuknya kalsium melalui
saluran kalsium, menghambat pengeluaran kalsium dari pemecahan
retikulum sarkoplasma, dan mengikat kalsium pada otot polos
pembuluh darah. Golongan obat ini seperti nifedipin, diltiazem, dan
17
verapamil menurunkan curah jantung dengan menghambat
kontraktilitas, yang akan menurunkan tekanan darah.
Verapamil pada penggunaan jangka pendek dan panjang
menunjukkan efek pada jantung dan pembuluh darah yang berupa efek
antihipertensi yang sedang. Kombinasi dengan diuretik akan
meningkatkan efek antihipertensinya. Verapamil tidak dianjurkan
untuk dikombinasikan dengan penyekat beta karena dapat
menimbulkan bradikardia dan gangguan atrioventrikular.
Nifedipin mempunyai efek 10 kali lebih besar terhadap
pembuluh darah daripada otot jantung. Obat ini mempunyai efek
vasodilatasi seperti hidralazin. Perbedaan yang mencolok ialah obat
ini menurunkan resistensi pembuluh darah koroner dan menurunkan
kebutuhan oksigen miokard. Untuk mendapatkan efek yang lebh baik
nifedipin dapat dikombinasikan dengan metildopa atau penyekat beta.
Efek samping yang timbul berupa rasa panas pada muka dan edema
pada esktremitas bawah. Umumnya efek samping golongan antagonis
kalsium sangat minimal yaitu tidak terdapat perubahan fungsi ginjal,
SGOT dan SGPT.
Obat antagonis kalsium generasi baru dan lama dengan formula
khusus (sustained release), mempunyai efek penurunan tekanan darah
selama 24 jam sehingga dapat diberikan sekali sehari.

7. Angiotensin II receptor blocker


Pada saat ini, yang sudah banyak dipakai dalam klinik adalah
obat yang memblok reseptor ATI. Sebagai contoh adalah losartan,
suatu derivat imidazol nonpeptida, yang sudah terbukti efektif
menurunkan tekanan darah secara oral karena memblok efek presor
angiotensin II. Obat golongan ini menimbulkan efek hemodinamik
seperti penghambat ACE, tetapi tidak menimbulkan efek samping
batuk karena tidak meningkatkan kadar bradikinin.

Penatalaksanaan Farmakologis pada Hipertensi Sekunder


1. Hipertensi ginjal

18
Terdapat cukup bukti bahwa hipertensi mempercepat
penurunan fungsi ginjal. Bertalian dengan patofisiologi hipertensi
dan kelainan ginjal, pengobatan hipertensi akan mengurangi
progresivitas fungsi ginjal.

Pembatasan Natrium
Retensi natrium disertai peningkatan cairan ekstraselular
sangat berperan terhadap hipertensi ginjal dan penurunan tekanan
darah. Cara-cara pembatasan natrium yaitu: (1) pembatasan
natrium dalam sehari sampai 2 g (88 mmol); (2) Mengukur berat
badan dan tekanan darah secara teratur; (3) pemeriksaan ureum
dan kreatinin serum dan (4) dilarang pemberian tambahan garam
kalium.
Pembatasan natrium sebanyak 2 g/hari pada pasien rawat
jalan sangat bermanfaat tetapi perlu pendidikan terhadap diet dan
kerjasama dengan pasien. Pasien dievaluasi terhadap tanda-tanda
dehidrasi (hipotensi ortostatik atau penurunan berat badan yang
cepat) atau peningkatan ureum dan kreatinin. Bila terjadi gagal
ginjal terminal dengan gejala asidosis metabolik yang memerlukan
bikarbonat, pemakaian natrium perlu disesuaikan. Pemberian
cairan sitrat lebih baik daripada natrium klorida. Bila dengan cara
ini belum memberikan hasil yang memuaskan terhadap
pengendalian tekanan darah, perlu ditambahkan diuretic.

Diuretik
Tiazid khasiatnya kurang bila diberikan pada pasien
hipertensi renal dengan kadar kreatinin lebih dari 2 mg% atau
kliren kreatinin kurang dari 30 mL/menit sebab kerjanya pada
nefron distal dimana natrium rendah.
Diuretik loop seperti furosemid, asam etakrin, bumetamid,
dan toresemid merupakan pilihan utama untuk penanggulangan
kelebihan cairan ekstraselular dan hipertensi dengan filtrasi
glomerolus kurang dari 30 ml/menit. Kerja diuretik loop adalah
menghambat reabsorbsi natrium dan klorida pada loop Henle yang
19
naik di daerah medulla sebanyak 25 – 30%. Perlu pembatasan
natrium selama pengobatan dengan diuretik, sebab retensi natrium
dapat terjadi sebagai kompensasi. Berat badan ditimbang setiap
hari dan waktu penimbangan yang sama untuk mengetahui
keseimbangan natrium. Dosis permulaan furosemid pada pasien
dengan filtrasi glomerolus kurang dari 50% adalah dosis tunggal
intravena 40 mg perhari atau oral 80 mg perhari.
Efek samping adalah hipokalemia dan gangguan toleransi
gula. Efek furosemid menjadi toksik bila gagal ginjal memburuk
atau pemberian bersama aminoglikosida.
Pengobatan kombinasi diuretik loop dan tiazid
Pengobatan kombinasi ini dapat memberi khasiat positif
walaupun tes klirens kreatinin kurang dari 10 mL/menit. Kerja
pengobatan kombiasi ini adalah diuretik loop bekerja pada bagian
proksimal yang menghambat absorbsi natrium, sehingga natrim
yang tiba di distal diekskresi oleh diuretik tiazid

Penghambat Enzim Pengkonversi Angiotensin


Kerja obat golongan ini adalah menurunkan tekanan dalam
kapiler glumerulus sehingga mencegah terjadinya sklerosis dan
kerusakan glomerulus. Menurut Diabetes Collaborative Study
Group pada diabetes tipe II, pemberian kaptopril dapat
memperlambat progresivitas fungsi ginjal. Jadi kerja penghambat
enzim pengkonversi angiotensin selain antihipertensi juga untuk
memperlambat progresivitas penyakit ginjal.

Antagonis Kalsium
Antagonis kalsium mempunyai sifat vasodilatasi arteriol
aferen sehingga tekanan dalam kapiler glomerulus meningkat.
Keadaan tersebut dalam waktu lama akan mempengaruhi fungsi
ginjal.

Pengobatan Kombinasi

20
Pengobatan kombinasi antara golongan penghambat enzim
pengkonversi angiotensin dan antagonis kalsium diberikan pada
pasien hipertensi dengan gagal ginjal yang berat atau yang telah
resisten. Bila kombinasi kedua obat tersebut belum berhasil dapat
ditambahkan vasodilator seperti minoksidil. Obat ini bekerja
langsung pada pembuluh darah dengan relaksasi otot polos dan
mengakibatkan penurunan resisten vaskular yang diikuti oleh
aktivitas simpatik dan terjadi takikardia. Penyekat beta perlu
ditambahkan untuk mencegah rangsangan pada jantung.
Diet Rendah Protein
Diet rendah protein mempunyai pengaruh terhadap
penurunan tekanan dalam kapiler glomerulus. Karena itu diet
rendah protein perlu dilakukan bersamaan dengan cara-cara di atas
untuk mengendalikan tekanan darah agar penurunan faal ginjal
dapat diperlambat. Pembatasan protein adalah 0,3 sampai 0,5
kg/BB.

2. Hipertensi Renovaskular
Penatalaksanaan hipertensi renovaskular meliputi terapi
obat, Percutaneus Transluminal renal Angiplasty (PTRA),
nefrektomi, dan ablasi renal (renal ablation).
Banyak studi menunjukkan bahwa tekanan darah dapat
dikendalikan pada kebanyakan pasien hipertensi renovaskular,
terutama pada pemakaian penghambat enzim pengkonversi
angiotensin dosis tinggi atau kombinasi beberapa obat
antihipertensi. Namun demikian, pemakaian obat antihipertensi
memberikan risiko penyumbatan arteri renalis yang dapat
mengakibatkan trombosis arteri atau perburukan fungsi ginjal yang
progresif.
Penghambat enzim pengkonversi angiotensin walaupun
efektif dalam menurunkan tekanan darah tetapi memberikan risiko
yang tinggi untuk terjadinya azotemia, akibat penurunan laju
filtrasi glomerulus. Antagonis kalsium menghambat aktivitas
angiotensin II pada arteriol sistemik, arteriol aferen, mesangium
21
dan zona glomerulosa korteks adrenal. Jadi, antagonis kalsium
tidak menghambat secara penuh aksi angiotensin II pada arteri
aferen. Dengan demikian, berbeda dengan penghambat enzim
pengkonversi angiotensin, antagonis kalsium dapat
mempertahankan laju filtrasi glomerulus pada daerah ginjal setelah
stenotik (post stenotic area). Penyakit beta (beta blocker) juga
efektif dalam menurunkan tekanan darah karena kerjanya yang
menghambat sekresi renin. Tetapi risiko untuk terjadinya
penurunan laju filtrasi glomerulus daerah ginjal setelah stenotik
tetap tinggi. Diuretik, dapat dipergunakan pada hipertensi yang
resisten, tetapi pada umumnya tidak terlalu efektif.
Percutaneus transluminal renal angioplasty (PTRA),
nefroktomi dan ablasi renal, adalah tindakan-tindakan bedah yang
dapat mengatasi hipertensi renovaskular secara kausal.

3. Hiperaldosteronisme Primer
Bila penyebabnya adalah suatu adenoma, pembedahan
merupakan pengobatan pilihan, walaupun tidak semua pasien
berhasil menjadi normotensi. Pada bentuk hiperplasia pengobatan
ditujukan untuk memperbaiki keseimbangan elektrolit yaitu
dengan pemberian antagonis aldosteron (spironolakton) atau
diuretik hemat kalium (amilorid).
4. Cushing’s Syndrome
Pada tumor adrenal dilakukan tindakan pembedahan dan
pemberian kortikosteroid sebagai subtitusi. Pada kasus hyperplasia
akibat rangsangan ACTH, pengobatan ditujukan baik terhadap
kelenjar adrenal maupun terhadap hipofisis. Bila harus dilakukan
pembedahan terhadap kelenjar adrenal, harus diikuti dengan
pemberian kortkosteroid subtitusi.

5. Feokromositoma
Pengobatan medikamentosa mendahului tindakan
pembedahan sangat berfaedah. Fenoksibenzamin (dibenzilin) atau
prazosin oral sangat efektif. Antagonis kalsium juga digunakan
22
oleh beberapa sarjana. Penghambat  dan  yaitu labetalol secara
teori bermanfaat.

Pertimbangan Khusus
Beberapa kelompok pasien hipertensi memerlukan suatu pertimbangan
khusus dalam pemilihan obat antihipertensi. Diantaranya adalah :
1. Gangguan ginjal
Adanya gangguan ginjal karena menurunnya tekanan arteri pada
pasien hipertensi sering terlihat dari adanya peningkatan serum kreatinin.
Bila serum kreatinin meningkat pada pasien hipertensi yang diobati
dengan ACE inhibitor ini perlu perhatian khusus, karena pada pasien ini bisa
mengalami gangguan pada arteri renalis bilateral. Fungsi ginjalnya akan
berlanjut memburuk selama pemberian ACE inhibitor.
Penggunaan ACE inhibitor harus berhati-hati pada pasien dengan
gangguan fungsi ginjal dan fungsi ginjal harus dinilai secara berkala (setiap 4
– 5 hari) pada 3 minggu pertama.
Walaupun obat ini dikontraindikasikan pada pasien dengan stenosis
arteri renalis bilateral, bersama dengan penghambat reseptor angiotensin
merupakan obat pilihan pada pasien dengan stenosis arteri renalis unilateral
dan dengan fungsi ginjal kontralateral yang normal, serta bisa juga pada
pasien dengan gagal ginjal kronik dengan atau tanpa diabetes mellitus.

2. Penyakit jantung koroner


 blocker berguna sebagai obat antihipertensi pada pasien dengan
penyakit jantung koroner. ACE inhibitor juga berguna untuk pasien ini
khususnya dengan hipertensi dan disfungsi ventrikel kiri

3. Diabetes mellitus
ACE inhibitor atau penghambat reseptor angiotensin merupakan
langkah pertama pengobatan hipertensi pada pasien dengan DM tipe II.
Keduanya diketahui tidak memiliki efek merugikan pada metabolisme
glukosa atau lemak dan meminimalisir terjadinya nefropati diabetik dengan

23
mengurangi resisten pembuluh darah renal dan tekanan perfusi renal. Suatu
penelitian telah menunjukkan bahwa pengaturan tekanan darah yang rendah
pada pasien dengan diabetes adalah ideal untuk mencegah progresivitas dari
gangguan end-organ yaitu pada tekanan darah 130/80 mmHg.

4. Usia tua (> 65 tahun)


Beberapa penelitian melaporkan bahwa pasien usia tua yang sehat, baik
wanita maupun laki-laki yang diobati dengan obat antihipertensi
menunjukkan pengurangan resiko stroke.

Komplikasi
Komplikasi pada hipertensi yang tidak diobati berkaitan dengan
meningkatnya tekanan darah yang menimbulkan perubahan fungsi pada sistem
vaskularisasi dan hati, atau karena aterosklerosis yang biasanya menyertai suatu
hipertensi yang lama.
a. Penyakit hipertensif kardiovaskular
Komplikasi kardiovaskular merupakan penyebab utama dari kematian
karena hipertensi primer. Elektrokardiografi menunjukkan adanya hipertrofi
ventrikel kiri pada 15% kasus hipertensi kronik. Ini merupakan prediktor
yang kuat untuk menentukan prognosis. Hipertrofi ventrikel kiri dapat
menyebabkan gagal jantung kongestif, aritmia ventrikel, iskemia miokard dan
kematian mendadak.
b. Penyakit hipertensif serebrovaskular
Hipertensi merupakan predisposisi utama dari stroke, terutama
perdarahan intraserebral dan juga infark serebral. Komplikasi serebrovaskular
ini sangat berkaitan dengan tekanan darah sistolik daripada tekanan darah
diastolik. Insiden dari komplikasi ini dikurangi dengan penggunaan terapi
antihipertensi.
c. Penyakit ginjal hipertensi
Hipertensi kronik dapat menimbulkan nefrosklerosis, penyebab umum
dari renal insufisiensi. Pengontrolan tekanan darah yang agresif dapat
mengurangi proses ini. Pada pasien dengan hipertensif nefropati, tekanan
darah harus 130/85 mmHg atau lebih rendah bila ada proteinuria.

24
ACE inhibitor terbuktif efektif untuk mencegah komplikasi lanjut.
d. Komplikasi aterosklerosis
Merupakan komplikasi hipertensi jangka lama. Faktor resiko
pembentukan aterosklerosis diantaranya juga termasuk : merokok,
dislipidemia dan DM. Terapi antihipertensi dapat efektif untuk mengurangi
adanya komplikasi lanjut yang dapat menimbulkan penyakit jantung koroner.

Prognosis
Pada berbagai penyelidikan terbukti bahwa makin tinggi tekanan darah
dan semakin lama seseorang mengidap hipertensi, makin tinggi angka morbiditas
dan mortalitas yang disebabkan oleh hipertensi.
Menurut Strate dan kawan-kawan (1986), sesuai dengan perjalanan
alamiah pasien hipertensi primer yang tidak mendapat pengobatan, mortalitasnya
disebabkan oleh serangan jantung, stroke dan gagal ginjal.

DAFTAR PUSTAKA

1. 2017 Guideline for the Prevention, Detection, Evaluation, and


Management of High Blood Pressure in Adults
2. Massie B.M, Systemic Hypertension, CMDT 2003, Current
Medical dIagnosis & Treatment 42 nd edition, International
edition, Lange Medical Books/McGraw-Hill Medical Publishing
Division, 2003 : 409 – 34
3. Chobanian A.V et al, The Seventh Report of The Joint National
Committee on Prevention, Detection, Evaluation and Treatment
of High Blood Pressure, JAMA, May 21st, 2003, Volume 289, No.
19 : 2560 – 68
4. Zenizlev C., Hypertension at
http://www.emedicine.com/journal/topic3118.htm
5. Tagor H. Et al, Hipertensi, Buku Ajar Kardiologi, Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, 2001 : 1997 – 212

25

Anda mungkin juga menyukai