Oleh :
Neng Angie Rivera (2014730097)
Pembimbing:
dr. Pramusinto Adhi, Sp. THT-KL
2018
1
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI............................................................................................................................... 2
BAB I .......................................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN ...................................................................................................................... 4
BAB II......................................................................................................................................... 5
2
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas terselesaikannya laporan referat
yang berjudul “ Otitis Media Akut”.
Referat ini dibuat dengan tujuan untuk menambah pengetahuan mengenai otitis media
akut dan untuk menyelesaikan tugas kepaniteraan klinik stase THT di RSUD Sekarwangi,
Sukabumi.
Penulis menyadari bahwa laporan referat ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena
itu, penyusun harapkan saran dan kritik untuk dapat membuat laporan yang lebih baik di masa
yang akan datang.
Penulis
3
BAB I
PENDAHULUAN
Otitis media akut (OMA) adalah peradangan sebagian atau seluruh mukosa
telinga tengah, tuba Eustachius, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid. Keadaan seperti
ini mengakibatkan nyeri telinga dan juga mengakibatkan membran timpani menjadi
merah, opak, kaku dan benjol.
Prevalensi terjadinya otitis media akut (OMA) di seluruh dunia untuk usia 10
tahun sekitar 62%. Di Amerika Serikat, diperkirakan 75% anak mengalami minimal
1 episode otitis media sebelum usia 3 tahun dan hampir setengah dari mereka
mengalaminya 3 kali atau lebih. Di Indonesia, dari 7 propinsi yang dilakukan survei,
ditemukan insiden otitis media sebesar 3% dari penduduk Indonesia.
4
BAB II
2.1. Definisi
Otitis media adalah peradangan pada sebagian atau seluruh mukosa telinga
tengah, tuba Eustachius, antrum mastoid dan sel-sel mastoid. Secara mudah, otitis
media terbagi atas otitis media supuratif dan otitis media non supuratif atau otitis
media serosa. Masingmasing mempunyai bentuk akut dan kronis, yaitu otitis media
supuratif akut (OMA) dan otitis media supuratif kronis (OMSK/OMP). Begitu pula
otitis media serosa akut (barotruma/aerotitis) dan otitis media serosa kronis. Selain
itu terdapat juga otitis media spesifik seperti otitis media tuberkulosa atau otitis media
sifilitika. Otitis media yang lain adalah otitis media adhesiva1.
Otitis media akut (OMA) adalah peradangan telinga tengah dengan gejala dan
tandatanda yang bersifat cepat dan singkat2.
2.2. Epidemiologi
Prevalensi otitis media akut di setiap negara bervariasi, berkisar antara 2,3 – 20%.
Berbagai studi epidemiologi di Amerika Serikat (AS), dilaporkan prevalensi
terjadinya OMA sekitar 17-20% pada 2 tahun pertama kehidupan. Prevalensi OMA
di negara-negara maju lainnya hampir sama dengan di AS. Studi epidemiologi OMA
di negara berkembang sangatlah jarang. Dilaporkan bahwa prevalensi OMA pada
anak-anak yang berumur kurang dari 16 tahun di negara Thailand sebesar 0,8%.
Berdasarkan survei kesehatan Indera Pendengaran pada 7 provinsi di Indonesia
didapatkan prevalensi penyakit telinga tengah populasi segala umur di Indonesia
sebesar 3,9%. Sedangkan berdasarkan penelitian Sakina, dkk dilaporkan bahwa
prevalensi OMA pada anak-anak di Kotamadya Jakarta Timur tahun 2012 sebesar
5,3%. Di Indonesia belum ada data akurat yang menunjukkan angka kejadian,
insidensi, maupun prevalensi OMA3,4.
5
2.3. Etiologi
Otitis media akut dapat disebabkan oleh bakteri dan virus. Bakteri yang paling
sering ditemukan adalah Streptococcus pneumoniae, diikuti oleh Haemophilus
influenza, Moraxella catarrhalis, Streptococcus grup A, dan Staphylococcus aureus.
Beberapa mikroorganisme lain yang jarang ditemukan adalah Mycoplasma
pneumoniae, Chlamydia pneumoniae, dan Clamydia tracomatis1,5.
2.4. Patofisiologi
Patogenesis OMA pada sebagian besar anak-anak dimulai oleh infeksi saluran
pernapasan atas (ISPA) atau alergi, sehingga terjadi kongesti dan edema pada mukosa
saluran napas atas, termasuk nasofaring dan tuba Eustachius. Tuba Eustachius
menjadi sempit, sehingga terjadi sumbatan tekanan negatif pada telinga tengah. Bila
keadaan demikian berlangsung lama akan menyebabkan refluks dan aspirasi virus
atau bakteri dari nasofaring ke dalam telinga tengah melalui tuba Eustachius. Mukosa
telinga tengah bergantung pada tuba Eustachius untuk mengatur proses ventilasi yang
berkelanjutan dari nasofaring. Jika terjadi gangguan akibat obstruksi tuba, akan
mengaktivasi proses inflamasi kompleks dan terjadi efusi cairan ke dalam telinga
tengah. Ini merupakan faktor pencetus terjadinya OMA dan otitis media dengan efusi.
Bila tuba Eustachius tersumbat, drainase telinga tengah terganggu, mengalami
infeksi serta terjadi akumulasi sekret di telinga tengah, kemudian terjadi proliferasi
mikroba patogen pada sekret. Akibat dari infeksi virus saluran pernapasan atas,
sitokin dan mediator-mediator inflamasi yang dilepaskan akan menyebabkan
disfungsi tuba Eustachius. Virus respiratori juga dapat meningkatkan kolonisasi dan
adhesi bakteri, sehingga mengganggu pertahanan imun pasien terhadap infeksi
bakteri. Jika sekret dan pus bertambah banyak dari proses inflamasi lokal,
perkembangan dapat terganggu karena membran timpani dan tulangtulang
pendengaran tidak dapat bergerak bebas terhadap getaran. Akumulasi cairan yang
terlalu banyak akhirnya dapat merobek membran timpani akibat tekanannya yang
meninggi1,5.
6
abnormal dari tuba Eustachius, sehingga mekanisme pembukaan tuba terganggu.
Sedangkan faktor ekstraluminal seperti tumor dan hipertrofi adenoid5.
Gejala klinis OMA bergantung pada stadium penyakit serta umur pasien. Pada
bayi dan anak kecil, gejala khas OMA adalah suhu tubuh tinggi dapat mencapai
39,5°C (pada stadium supurasi), anak gelisah dan sukar tidur, tiba-tiba menjerit
waktu tidur, diare, kejang-kejang dan kadang anak memegang telinga yang sakit. Bila
terjadi ruptur membran timpani, maka sekret mengalir ke liang telinga dan suhu tubuh
menurun1.
Pada anak yang sudah dapat berbicara keluhan utama adalah rasa nyeri di dalam
telinga, selain suhu tubuh yang tinggi. Biasanya terdapat riwayat batuk dan pilek
sebelumnya. Pada anak yang lebih besar atau pada orang dewasa, selain rasa nyeri,
terdapat gangguan pendengaran berupa rasa penuh di telinga atau rasa kurang
mendengar1.
Berdasarkan perubahan yang terjadi pada mukosa telinga tengah, OMA dibagi
menjadi 5 stadium, yaitu1:
2. Stadium Hiperemis
Pada stadium ini tampak pembuluh darah yang melebar di membran
timpani atau seluruh membran timpani tampak hiperemis serta edem. Sekret
yang terbentuk mungkin masih bersifat eksudat yang serosa sehingga sukar
terlihat.
3. Stadium Supurasi
7
Stadium ini ditandai dengan edem yang hebat pada mukosa telinga
tengah dan hancurnya sel epitel superfisial, serta terbentuknya eksudat yang
purulen di kavum timpani sehingga membran timpani tampak menonjol
(bulging) ke arah liang telinga luar. Pada keadaan ini pasien tampak sangat
sakit, nadi dan suhu meningkat, serta rasa nyeri di telinga bertambah hebat.
4. Stadium Perforasi
Pada stadium ini terjadi ruptur pada membran timpani dan nanah keluar
dari telinga tengah ke liang telinga luar. Kondisi anak yang mulanya gelisah
menjadi tenang serta suhu badan menurun.
5. Stadium Resolusi
Pada stadium ini membran timpani yang utuh perlahan-lahan akan
kembali normal, perforasi membran timpani kembali menutup dan sekret
purulen berkurang hingga kering. Bila daya tahan tubuh baik atau virulensi
kuman rendah maka resolusi dapat terjadi walaupun tanpa pengobatan.
8
A B
C D
Gambar 1 A) Normal, B) Stadium Hiperemis, C) Stadium Supurasi
(Bulging), D) Perforasi
2.7. Diagnosis
Kriteria diagnosis otitis media akut harus memenuhi 3 hal berikut, yaitu:
3. Terdapat tanda atau gejala peradangan telinga tengah yang dibuktikan dengan
adanya salah satu diantara tanda berikut : kemerahan atau erythema pada
membran timpani, nyeri telinga atau otalgia yang mengganggu tidur dan aktivitas
normal.
Keparahan otitis media akut dibagi menjadi 2 kategori, yaitu ringan-sedang dan
berat. Kriteria diagnosis ringan-sedang adalah terdapat cairan di telinga tengah,
9
mobilitas membran timpani yang menurun, terdapat bayangan cairan di belakang
membran timpani dan otore yang purulen. Selain itu, juga terdapat tanda dan gejala
inflamasi pada telinga tengah, seperti demam, otalgia, gangguan pendengaran,
tinitus, vertigo dan kemerahan pada membran timpani. Tahap berat meliputi semua
kriteria tersebut, dengan tambahan ditandai dengan demam melebihi 39°C, dan
disertai dengan otalgia yang bersifat sedang sampai berat.
10
imunodefisiensi. Timpanosintesis merupakan standar emas untuk menunjukkan
adanya cairan di telinga tengah dan untuk mengidentifikasi patogen yang spesifik.
2.8. Penatalaksanaan
2.8.1. Medikamentosa
1. Stadium oklusi
Pada stadium ini pengobatan bertujuan untuk membuka kembali tuba
Eustachius sehingga tekanan negatif di telinga tengah. Diberikan obat tetes
hidung HCl efedrin 0,5% dalam larutan fisiologik untuk anak kurang dari 12
tahun atau HCl efedrin 1% dalam larutan fisiologik untuk anak yang berumur
di atas 12 tahun dan pada orang dewasa. Selain itu, sumber infeksi harus
diobati dengan pemberian antibiotik apabila penyebab penyakit adalah
kuman.
2. Stadium hiperemis
Pada stadium hiperemis diberikan terapi berupa antibiotika, obat tetes hidung
dan analgetika. Antibiotika yang dianjurkan adalah dari golongan penisilin
atau ampisilin. Apabila terjadi resistensi, maka dapat diberikan kombinasi
dengan asam klavulanat atau sefalosporin. Untuk terapi awal diberikan
penisilin intramuskular agar didapatkan konsentrasi yang adekuat di dalam
darah, sehingga tidak terjadi mastoiditis yang terselubung, gangguan
pendengaran sebagai gejala sisa, dan kekambuhan. Pemberian antibiotika
dianjurkan minimal selama 7 hari. Bila pasien alergi terhadap penisilin, maka
berikan eritromisin. Pada anak, diberikan ampisilin 50-100 mg/kgBB/hari
11
yang tebagi dalam 4 dosis, amoksisilin atau eritromisin masing-masing 50
mg/kgBB/hari yang terbagi dalam 3 dosis.
3. Stadium supurasi
Pada stadium supurasi selain diberikan antibiotika, idealnya harus disertai
dengan miringotomi, bila membran timpani masih utuh. Dengan
dilakukannya miringotomi akan menghilangkan gejala-gejala klinis dengan
lebih cepat dan menghindari terjadinya ruptur.
4. Stadium perforasi
Pada stadium perforasi sering terlihat banyak sekret yang keluar, kadang
terlihat sekret keluar secara berdenyut (pulsasi). Pengobatan yang diberikan
adalah obat cuci telinga (ear toilet) H2O2 3% selama 3-5 hari serta
antibiotika yang adekuat sampai 3 minggu. Biasanya sekret akan hilang dan
perforasi akan menutup kembali dalam waktu 7-10 hari.
5. Stadium resolusi
Pada stadium resolusi, membran timpani berangsur normal kembali, sekret
tidak ada lagi dan perforasi membran timpani menutup. Bila tidak terjadi
resolusi biasanya sekret tampak mengalir di liang telinga luar melalui
perforasi di membran timpani. Pada keadaan ini, pemberian antibiotika dapat
dilanjutkan sampai 3 minggu. Bila keadaan ini masih berlanjut setelah 3
minggu pengobatan maka kemungkinan telah terjadi mastoiditis.
2.8.2. Pembedahan
1. Miringotomi
Miringotomi ialah tindakan insisi pada pars tensa membran timpani,
agar terjadi drainase sekret dari telinga tengah ke liang telinga luar.
Lokasi miringotomi adalah di kuadran posterior-inferior. Miringotomi
tidak perlu dilakukan apabila terapi yang diberikan sudah adekuat,
kecuali jika terdapat pus di telinga tengah.
12
2. Timpanosintesis
Timpanosintesis merupakan pungsi pada membran timpani, dengan
analgesia lokal supaya mendapatkan sekret untuk tujuan pemeriksaan.
Indikasi timpanosintesis adalah terapi antibiotik tidak memuaskan,
terdapat komplikasi supuratif, pada bayi baru lahir atau pasien dengan
sistem imun tubuh rendah.
3. Adenoidektomi
Adenoidektomi efektif dalam menurunkan risiko terjadi otitis media
dengan efusi dan otitis media rekuren, pada anak yang pernah
menjalankan miringotomi dan insersi tuba timpanosintesis, tetapi hasil
masih tidak memuaskan.
2.9. Komplikasi
13
DAFTAR PUSTAKA
1 Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala & Leher Edisi Ketujuh. 2012; : 1–4.
2 Lieberthal AS, Dkk. The Diagnosis and Management of Acute Otitis Media. .
3 Sakina Umar. Prevalensi Dan Faktor Risiko Otitis Media Akut Pada Anak-anak di
Kotamadya Jakarta Timur. 2013.http://lib.ui.ac.id/naskahringkas/2015-09/SP-Sakina
Umar (accessed 10 Aug2018).
14