Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN PENDAHULUAN PROSES MENUA

Untuk Menyelesaikan Tugas Profesi Keperawatan Gerontik


Program Profesi Ners

Disusun Oleh:

Made Adhitya Affanda, S. Kep


NIM: 11194692110106

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS SARI MULIA
BANJARMASIN
2021
LEMBAR PERSETUJUAN

LAPORAN PENDAHULUAN
PROSES MENUA

Tanggal 16 November 2021

Disusun oleh :
Made Adhitya Affanda
NIM: 11194692110106

Banjarmasin, November 2020


Mengetahui,

Preseptor Akademik (CT) Preseptor Klinik (CI)

Angga Irawan, S.Kep., Ns.,M. Kep M. Fitri Priyadi, Amd, Kep


NIK. 1166093011044 NRPTT: 01520162405
Proses Menua dan Hipertensi

A. Konsep Dasar Proses Menua


1. Definisi
Menua merupakan proses sepanjang hidup, tidak hanya dimulai
dari suatu waktu tertentu, tetapi dimulai sejak permulaan kehidupan.
Menjadi tua merupakan proses alamiah, yang berarti seseorang telah
melalui tiga tahap kehidupannya, yaitu anak, dewasa dan tua. Tiga tahap
ini berbeda baik secara biologis, maupun psikologis. Memasuki usia tua
berarti mengalami kemunduran, misalnya kemunduran fisik,yang ditandai
dengan kulit yang mengendur, rambut memutih, gigi mulai ompong,
pendengaran kurang jelas, penglihatan semakin memburuk,gerakan
lambat dan figur tubuh yang tidak proporsional (Deharnita, 2016).
Proses Menua (Aging) merupakan proses alamiah yang dihadapi
setiap manusia, yang mana pada tahap ini terjadi penurunan atau
perubahan baik itu perubahan kondisi fisik, kondisi psikologis maupun
sosial. Keadaan tersebut cendrung berpotensi menimbulkan masalah
kesehatan secara fisik maupun kesehatan jiwa pada lanjut usia
(Kemenkes RI, 2017).
Lanjut usia (lansia) berdasarkan undang-undang kesejahteraan
lanjut usia No. 13 tahun 1998, lanjut usia adalah penduduk yang telah
mencapai usia 60 tahun ke atas baik pria maupun wanita, produktif dan
ataupun yang tidak lagi produktif (Kemenkes RI, 2017). Proses penuaan
(aging) bukanlah suatu penyakit, melainkan proses degeneratif yang
bersifat alamiah/ fisiologis. Sehingga lambat laun akan menimbulkan
sejumlah perubahan kumulatif diikuti dengan penurunan kemampuan
berbagai organ, fungsi dan sistem tubuh untuk beradaptasi dalam
menghadapi rangsangan baik dari dalam maupun luar tubuh/lingkungan
(Sulaiman & Anggriani, 2018).
Perubahan signifikan yang terjadi pada lanjut usia utamanya
berkaitan dengan penurunan kemampuan jaringan tubuh pada fungsi
fisiologi sistem muskuloskeletal dan sistem neurologis yang akan
menimbulkan berbagai perubahan menyeluruh pada fisik lansia.
Penurunan tersebut diakibatkan karena jumlah dan kemampuan sel
tubuh ikut berkurang seiring bertambahnya usia (Ekasari et al., 2018).
2. Teori Proses Menua
Menurut Depkes (2016), ada beberapa teori yang berkaitan
dengan proses penuaan, yaitu teori biologi, teori psikososial dan teori
lingkungan.
a. Teori Biologis
Teori biologis dalam proses menua mengacu pada asumsi bahwa
proses menua merupakan perubahan yang terjadi dalam struktur dan
fungsi tubuh selama masa hidup. Teori ini lebih menekankan pada
perubahan kondisi tingkat struktural sel/ organ tubuh, termasuk
didalamnya adalah pengaruh agen patologis. Fokus dari teori ini
adalah mencari determinan- determinan yang menghambat proses
penurunan fungsi organisme yang dalam konteks sistemik, dapat
mempengaruhi/ memberi dampak terhadap organ/ sistem tubuh
lainnya dan berkembang sesuai dengan peningkatan usia kronologis.
1) Teori Genetik Clock
Teori ini menyatakan bahwa proses menua terjadi akibat
adanya program jam genetik didalam nukleus. Jam ini akan
berputar dalam jangka waktu tertentu dan jika jam ini sudah
habis putarannya maka akan menyebabkan berhentinya proses
mitosis. Radiasi dan zat kimia dapat memperpendek umur
menurut teori ini terjadi mutasi progresif pada DNA sel somatik
akan menyebabkan terjadinya penurunan kemampuan
fungsional sel tersebut.

2) Teori error
Menurut teori ini proses menua diakibatkan oleh
menumpuknya berbagai macam kesalahan sepanjang kehidupan
manusia akibat kesalahan tersebut akan berakibat kesalahan
metabolisme yang dapat mengakibatkan kerusakan sel dan
fungsi sel secara perlahan. Sejalan dengan perkembangan umur
sel tubuh, maka terjadi beberapa perubahan alami pada sel pada
DNA dan RNA, yang merupakan substansi pembangun atau
pembentuk sel baru. Peningkatan usia mempengaruhi
perubahan sel dimana sel- sel nukleus menjadi lebih besar tetapi
tidak diikuti dengan peningkatan jumlah substansi DNA.
3) Teori Autoimun
Pada teori ini penuaan dianggap disebabkan oleh adanya
penurunan fungsi sistem imun. Perubahan itu lebih tampak
secara nyata pada Limposit –T, disamping perubahan juga
terjadi pada Limposit –B. Perubahan yang terjadi meliputi
penurunan sistem imun humoral, yang dapat menjadi faktor
predisposisi pada orang tua untuk :
a) Menurunkan resistansi melawan pertumbuhan tumor dan
perkembangan kanker.
b) Menurunkan kemampuan untuk mengadakan inisiasi proses
dan secara agresif memobilisasi pertahanan tubuh terhadap
patogen.
c) Meningkatkan produksi autoantingen, yang berdampak pada
semakin meningkatnya risiko terjadinya penyakit yang
berhubungan dengan autoimun.
4) Teori Free Radical
Teori radikal bebas mengasumsikan bahwa proses menua
terjadi akibat kurang efektifnya fungsi kerja tubuh dan hal itu
dipengaruhi oleh adanya berbagai radikal bebas dalam tubuh.
Radikal bebas merupakan zat yang terbentuk dalam tubuh
manusia sehingga salah satu hasil kerja metabolisme tubuh.
Walaupun secara normal terbentuk dari proses metabolisme
tubuh, tetapi dapat terbentuk akibat :
a) Proses oksigenasi lingkungan seperti pengaruh polutan,
ozon, dan pestisida.
b) Reaksi akibat paparan dengan radiasi.
c) Sebagai reaksi berantai dengan molekul bebas lainnya.
Penuaan dapat terjadi akibat interaksi dari komponen radikal
bebas dalam tubuh manusia. Radikal bebas dapat berupa:
superoksida (O2), radikal hidroksil, dan H2O2. Radikal
bebas sangat merusak karena sangat reaktif, sehingga
dapat bereaksi dengan DNA, protein, dan asam lemak tak
jenuh. Makin tua umur makin banyak terbentuk radikal bebas
sehingga proses pengerusakan harus terjadi, kerusakan
organel sel makin banyak akhirnya sel mati.
5) Teori Kolagen
Kelebihan usaha dan stres menyebabkan sel tubuh rusak.
6) Wear Teori Biologi
Peningkatan jumlah kolagen dalam jaringan menyebabkan
kecepatan kerusakan jaringan dan melambatnya perbaikan sel
jaringan.
b. Teori Psikososial
1) Activity Theory (Teori Aktivitas)
Teori ini menyatakan bahwa seseorang individu harus
mampu eksis dan aktif dalam kehidupan sosial untuk mencapai
kesuksesan dalam kehidupan di hari tua. Aktivitas dalam teori ini
dipandang sebagai sesuatu yang vital untuk mempertahankan
rasa kepuasan pribadi dan diri yang positif. Teori ini berdasarkan
pada asumsi bahwa :
a) Aktif lebih baik daripada pasif
b) Gembira lebih baik daripada tidak gembira
c) Orang tua merupakan orang yang baik untuk mencapai
sukses dan akan memilih alternatif pilihan aktif dan
bergembira. Penuaan mengakibatkan penurunan jumlah
kegiatan secara langsung.
2) Continuitas Theory (Teori Kontinuitas)
Teori ini memandang bahwa kondisi tua merupakan kondisi
yang selalu terjadi dan secara berkesinambungan yang harus
dihadapi oleh orang lanjut usia. Adanya suatu kepribadian
berlanjut yang menyebabkan adanya suatu pola perilaku yang
meningkatkan stres.
3) Disanggement Theory
Putusnya hubungan dengan dunia luar seperti dengan
masyarakat, hubungan dengan individu lain.
4) Teori Stratisfikasi
Usia Karena orang yang digolongkan dalam usia tua akan
mempercepat proses penuaan.

5) Teori Kebutuhan Manusia


Orang yang bisa mencapai aktualisasi menurut penelitian
5% dan tidak semua orang mencapai kebutuhan yang sempurna.
6) Jung Theory
Terdapat tingkatan hidup yang mempunyai tugas dalam
perkembangan kehidupan.
7) Course of Human Life Theory
Seseorang dalam hubungan dengan lingkungan ada tingkat
maksimumnya.
8) Development Task Theory
Tiap tingkat kehidupan mempunyai tugas perkembangan
sesuai dengan usianya.

c. Teori Lingkungan
1) Radiation Theory (Teori Radiasi)
Setiap hari manusia terpapar dengan adanya radiasi baik
karena sinar ultraviolet maupun dalam bentuk gelombang-
gelombang mikro yang telah menumbuk tubuh tanpa terasa yang
dapat mengakibatkan perubahan susunan DNA dalam sel hidup
atau bahkan rusak dan mati.
2) Stress Theory (Teori Stress)
Stres fisik maupun psikologi dapat mengakibatkan
pengeluaran neurotransmitter tertentu yang dapat mengakibatkan
perfusi jaringan menurun sehingga jaringan mengalami gangguan
metabolisme sel sehingga terjadi penurunan jumlah cairan dalam
sel dan penurunan eksisitas membran sel.
3) Pollution Theory (Teori Polusi)
Tercemarnya lingkungan dapat mengakibatkan tubuh
mengalami gangguan pada sistem psikoneuroimunologi yang
seterusnya mempercepat terjadinya proses menua dengan
perjalanan yang masih rumit untuk dipelajari.
4) Exposure Theory (Teori Pemaparan)
Terpaparnya sinar matahari yang mempunyai kemampuan
mirip dengan sinar ultra yang lain mampu mempengaruhi
susunan DNA sehingga proses penuaan atau kematian sel bisa
terjadi.
3. Klasifikasi Lanjut Usia (Lansia)
Menurut Ekasari et al (2018), World Health Organization (WHO)
membagi lansia dalam empat batasan kelompok, yaitu:
1. Usia pertengahan (middle age) : 45 ─ 59 tahun,

2. Usia lanjut (elderly) : usia 60 ─ 74 tahun,

3. Usia tua (old) : usia 74 ─ 90 tahun, dan

4. Usia sangat tua (very old) : usia 90 tahun ke atas.

4. Perubahan Yang Terjadi Pada Lansia (Secara Fisik, Psikososial)


Menurut Kholifah (2016), sejumlah perubahan akibat proses penuaan
terjadi pada fungsi fisiologis dan psikologis. Perubahan tersebut
diantaranya yaitu:
1. Perubahan Fisik
1) Sistem Indra (Sensori)
Perubahan pada sistem sensori melibatkan lima indra tubuh.
Pada indra penglihatan akan nampak penurunan dalam fokus
serta toleransi silau. Indra penghidu atau penciuman mengalami
penurunan fungsi dalam mendeteksi aroma. Indra perasa yang
mengalami penurunan terhadap deteksi ketajaman rasa. Indra
peraba yang mengalami penurunan dalam sensitivitas terhadap
identifikasi sentuhan atau tekanan pada kulit (Muhith & Siyoto,
2016). Indra pendengaran yang mulai kehilangan fungsinya
disebabkan oleh kemampuan (daya) pendengaran pada telinga
bagian dalam terdapat gangguan pendengaran sensorineural
(Lukito, 2019).Selain itu, pada lanjut usia juga terjadi penurunan
sensasi dan propriosepsi yang mengatur informasi mengenai
pergerakan dan posisi tubuh (Muhith & Siyoto, 2016).
2) Sistem Integumen
Sistem integumen pada lansia mengalami perubahan seperti
otot atropi, kendur, kulit kehilangan elastisitasnya serta kering dan
berkerut. Hal tersebut dikarenakan kulit kekurangan cairan,
menyebabkan kulit menjadi tipis dan muncul bercak-bercak.
Terjadinya atropi pada glandula sebasea dan sudoritera
menyebabkan kekeringan kulit pada lansia kemudian timbul
pigmen kecoklatan pada kulit yang disebut sebagai ―liver spot”
(Kholifah, 2016).
3) Sistem Muskuloskeletal
Perubahan sistem muskuloskeletal yang terjadi pada lansia,
yaitu kolagen mengalami perubahan menjadi bentangan yang
tidak teratur. Kartilago pada persendian menjadi lunak dan
mengalami granulasi, sehingga menyebabkan permukaan sendi
menjadi rata, kemampuan untuk regenerasi menurun dan
degenerasi yang terjadi justru ke arah yang progresif, sehingga
berdampak pada persendian menjadi lebih rawan terhadap
gesekan. Pada tulang terjadi penurunan kepadatan tulang yang
mengakibatkan osteoporosis dan bermanifestasi menghasilkan
nyeri, deformitas bahkan fraktur. Pada otot terjadi perubahan
struktur dan komponen otot, berkurangnya jumlah dan ukuran
serabut otot, serta peningkatan jaringan penghubung dan jaringan
lemak pada otot menimbulkan efek negatif. Sendi mengalami
penuaan elastisitas pada jaringan ikat sekitar sendi, yaitu pada
tendon, ligament, dan fascia (Kholifah, 2016).
4) Sistem Kardiovaskuler
Perubahan pada sistem ini yaitu terjadinya pertambahan
massa jantung, hipertropi pada ventrikel kiri sehingga
berkurangnya peregangan pada jantung. Hal tersebut terjadi
adanya perubahan jaringan ikat yang diakibatkan oleh
penumpukan lipofusin, dan klasifikasi SA Node serta jaringan
konduksi berubah menjadi jaringan ikat (Kholifah, 2016).
5) Sistem Pernapasan (Respirasi)
Proses penuaan pada sistem pernapasan dimulai ketika
terjadi perubahan jaringan ikat paru, kapasitas total paru tetap
tetapi volume cadangan paru bertambah sebagai kompensasi dari
kenaikan ruang paru, sehingga udara yang mengalir ke paru
berkurang. Perubahan pada otot, kartilago dan sendi thorax
menyebabkan terganggunya gerakan pernapasan dan
kemampuan peregangan thorax berkurang (Kholifah, 2016).
6) Sistem Pencernaan dan Metabolisme
Pada usia lanjut mengalami penurunan produksi dan
mempertahankan nutrisi yang adekuat oleh karena penurunan
fungsi akibat kehilangan gigi, penurunan indra pengecap,
sensitivitas akan rasa lapar juga ikut menurun, liver (hati)
mengalami penyusutan ukuran dan menurunnya tempat
penyimpanan, serta berkurangnya pasokan aliran darah (Kholifah,
2016).
7) Sistem Perkemihan
Perubahan signifikan sangat terlihat pada sistem
perkemihan lansia. Sejumlah fungsi dalam sistem ini mengalami
kemunduran, seperti laju filtrasi, ekskresi, dan reabsorpsi ginjal
(Kholifah, 2016).
8) Sistem Saraf
Susunan sistem saraf mengalami perubahan dari segi
anatomi dan terjadinya atropi yang bersifat progresif pada serabut
saraf lansia. Konsekuensinya adalah penurunan koordinasi dan
mobilitas lansia menjadi terganggu (Kholifah, 2016).
9) Sistem Reproduksi
Pada sistem reproduksi lansia perubahan yang terjadi yaitu
ukuran ovarium dan uterus menjadi menciut. Payudara mengalami
atropi. Sedangkan pada lansia laki-laki testis masih mampu dalam
memproduksi spermatozoa, namun tetap terjadi penurunan
(Kholifah, 2016).
2. Perubahan Kognitif
Menurut Febriyenti (2017), adapun faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi perubahan kognitif pada lanjut usia adalah sebagai
berikut:

1) Memory (Daya Ingat)

2) IQ (Intellegent Quotient)

3) Kemampuan Belajar (Learning)

4) Kemampuan Pemahaman (Comprehension)

5) Pemecahan Masalah (Problem Solving)


6) Pengambilan Keputusan (Decision Making)

7) Kebijaksanaan (Wisdom)

8) Kinerja (Performance)

9) Motivasi (Motivation)
3. Perubahan Mental
Menurut Febriyenti (2017), adapun faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi perubahan mental pada lanjut usia adalah sebagai
berikut:

1) Kesehatan umum

2) Tingkat pendidikan

3) Keturunan (hereditas)

4) Lingkungan

5) Gangguan syaraf panca indra, timbul gangguan pendengaran dan


penglihatan.
6) Gangguan konsep diri akibat kehilangan karir atau jabatan.
7) Rangkaian dari kehilangan, yaitu kehilangan hubungan dengan
teman dan keluarga.
8) Hilangnya kekuatan dan ketegapan fisik, perubahan terhadap
gambaran diri (body image), serta perubahan konsep diri.
B. Konsep Dasar Penyakit Demensia
1. Definisi
Hipertensi adalah suatu keadaan ketika seseorang mengalami

peningkatan tekanan darah diatas normal atau peningkatan abnormal

secara terus menerus lebih dari suatu periode, dengan tekanan sistolik

diatas 140 mmHg dan tekanan diastolik diatas 90mmHg (Aspiani, 2014).

Hipertensi adalah keadaan di mana tekanan darah


mengalami peningkatan yang memberikan gejala berlanjut pada
suatu organ target di tubuh. Hal ini dapat menimbulkan kerusakan
yang lebih berat, misalnya stroke (terjadi pada otak dan
menyebabkan kematian yang cukup tinggi), penyakit jantung
koroner (terjadi kerusakan pembuluh darah jantung), dan hipertrofi
ventrikel kiri (terjadi pada otot jantung). Hipertensi juga dapat
menyebabkan penyakit gagal ginjal, penyakit pembuluh lain dan
penyakit lainnya (Syahrini et al., 2017).
Hipertensi adalah suatu keadaan ketika seseorang
mengalami peningkatan tekanan darah diatas normal atau
peningkatan abnormal secara terus menerus lebih dari suatu
periode, dengan tekanan sistolik diatas 140 mmHg dan tekanan
diastolik diatas 90mmHg. (Aspiani, 2014).

2. Etiologi
Berdasarkan penyebabnya hipertensi terbagi menjadi dua golongan

menurut (Aspiani, 2014) :

1) Hipertensi primer atau hipertensi esensial

Hipertensi primer atau hipertensi esensial disebut juga hipertensi

idiopatik karena tidak diketahui penyebabnya. Faktor yang

memengaruhi yaitu : (Aspiani, 2014)


a) Genetik

Individu yang mempunyai riwayat keluarga dengan

hipertensi, beresiko tinggi untuk mendapatkan penyakit ini. Faktor

genetik ini tidak dapat dikendalikan, jika memiliki riwayat keluarga

yang memliki tekanan darah tinggi.

b) Jenis kelamin dan usia

Laki - laki berusia 35- 50 tahun dan wanita menopause

beresiko tinggi untuk mengalami hipertensi. Jika usia bertambah

maka tekanan darah meningkat faktor ini tidak dapat dikendalikan

serta jenis kelamin laki–laki lebih tinggi dari pada perempuan.

c) Diet

Konsumsi diet tinggi garam secara langsung berhubungan

dengan berkembangnya hipertensi. Faktor ini bisa dikendalikan

oleh penderita dengan mengurangi konsumsinya, jika garam yang

dikonsumsi berlebihan, ginjal yang bertugas untuk mengolah

garam akan menahan cairan lebih banyak dari pada yang

seharusnya didalam tubuh. Banyaknya cairan yang tertahan

menyebabkan peningkatan pada volume darah. Beban ekstra

yang dibawa oleh pembuluh darah inilah yang menyebabkan

pembuluh darah bekerja ekstra yakni adanya peningkatan tekanan

darah didalam dinding pembuluh darah dan menyebabkan

tekanan darah meningkat.

d) Berat badan

Faktor ini dapat dikendalikan dimana bisa menjaga berat

badan dalam keadaan normal atau ideal. Obesitas (>25% diatas

BB ideal) dikaitkan dengan berkembangnya peningkatan tekanan

darah atau hipertensi.


e) Gaya hidup

Faktor ini dapat dikendalikan dengan pasien hidup dengan

pola hidup sehat dengan menghindari faktor pemicu hipertensi

yaitu merokok, dengan merokok berkaitan dengan jumlah rokok

yang dihisap dalam waktu sehari dan dapat menghabiskan berapa

putung rokok dan lama merokok berpengaruh dengan tekanan

darah pasien. Konsumsi alkohol yang sering, atau berlebihan dan

terus menerus dapat meningkatkan tekanan darah pasien

sebaiknya jika memiliki tekanan darah tinggi pasien diminta untuk

menghindari alkohol agar tekanan darah pasien dalam batas stabil

dan pelihara gaya hidup sehat penting agar terhindar dari

komplikasi yang bisa terjadi.

2) Hipertensi sekunder

Hipertensi sekunder terjadi akibat penyebab yang jelas salah satu

contoh hipertensi sekunder adalah hipertensi vaskular rena, yang

terjadiakibat stenosi arteri renalis. Kelainan ini dapat bersifat

kongenital atau akibat aterosklerosis.stenosis arteri renalis

menurunkan aliran darah ke ginjalsehingga terjadi pengaktifan

baroreseptor ginjal, perangsangan pelepasn renin, dan pembentukan

angiostenin II. Angiostenin II secara langsung meningkatkan tekanan

darahdan secara tidak langsung meningkatkan sintesis andosteron

danreabsorbsi natrium. Apabiladapat dilakukan perbaikan pada

stenosis,atau apabila ginjal yang terkena diangkat,tekanan darah

akan kembalike normal (Aspiani, 2014).


3. Klasifikasi

Menurut (WHO, 2018) batas normal tekanan darah adalah

tekanan darah sistolik kurang dari 120 mmHg dan tekanan darah

diastolik kurang dari 80 mmHg. Seseorang yang dikatakan

hipertensi bila tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg dan

tekanan diastolik lebih dari 90 mmHg.

Klasifikasi Tekanan Darah pada Orang Dewasa Sebagai Patokan


dan Diagnosis Hipertensi (mmHg)
Kategori Tekanan Darah
Sistolik Diastolik
Normal <120 mmHg <80 mmHg
Pre Hipertensi 120-129 mmHg <80 mmHg
Hipertensi Stage I 130-139 mmHg 80-89 mmHg
Hipertensi Stage II ≥ 140 mmHg ≥ 90 mmHg
(Sumber : American Heart Association, Hypertension Highlights
2018 : Guideline For The Prevention, Detection, Evaluation And
Management Of High Blood Pressure In Adults 2013)

Klasifikasi Hipertensi Menurut WHO:


Kategori Sistol (mmHg) Diastol (mmHg)
Optimal <120 <80
Normal <130 <85
Tingkat I (hipertensi ringan) 140-159 90-99
Sub group: Perbatasan 140-149 90-94
Tingkat 2 (Hipertensi Sedang) 160-179 100-109
Tingkat 3 (Hipertensi Berat) >180 >110
Hipertensi Sistol terisolasi >140 <90
Sub group: Perbatasan 140-149 <90
(Andy Sofyan, 2012)

Klasifikasi Hipertensi Urgensi dan Emergensi


Kategori Sistol (mmHg) Diastol
(mmHg)
Hipertensi Urgensi >180 >120
Hipertensi Emergensi >220 >140
Klasifikasi hipertensi berdasarkan penyebabnya yaitu hipertensi
primer dan hipertensi sekunder (Aspiani, 2014). Hipertensi primer
adalah peningkatan tekanan darah yang tidak diketahui penyebabnya.
Dari 90% kasus hipertensi merupakan hipertensi primer. Beberapa
faktor yang diduga berkaitan dengan berkembangnya hipertensi primer
adalah genetik, jenis kelamin, usia, diet, berat badan, gaya hidup.
Hipertensi sekunder adalah peningkatan tekanan darah karena suatu
kondisi fisik yang ada sebelumnya seperti penyakit ginjal atau
gangguan tiroid. Dari 10% kasus hipertensi merupakan hipertensi
sekunder. Faktor pencetus munculnya hipertensi sekunder antara lain:
penggunaan kontrasepsi oral, kehamilan, peningkatan volume
intravaskular, luka bakar dan stres (Aspiani,2014).

4. Patofisiologi
Tekanan arteri sistemik adalah hasil dari perkalian cardiac output

(curah jantung) dengan total tahanan prifer. Cardiac output (curah

jantung) diperoleh dari perkalian antara stroke volume dengan heart rate

(denyut jantug). Pengaturan tahanan perifer dipertahankan oleh sistem

saraf otonom dan sirkulasi hormon. Empat sistem kontrol yang berperan

dalam mempertahankan tekanan darah antara lain sistem baroreseptor

arteri, pengaturan volume cairan tubuh, sistem renin angiotensin dan

autoregulasi vaskular (Udjianti, 2013).

Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan relaksasi pembuluh

darah terletak di vasomotor, pada medula diotak. Pusat vasomotor ini

bermula pada saraf simpatis, yang berlanjut ke bawah korda spinalis dan

keluar dari kolumna medulla spinalis ganglia simpatis di toraks dan

abdomen. Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk

implus yang bergerak kebawah melalui sistem saraf simpatis ke ganglia

simpatis. Titik neuron preganglion melepaskan asetilkolin, yang akan

merangsang serabut saraf paska ganglion ke pembuluh darah, dimana


dengan dilepaskannya noreepineprin mengakibatkan konstriksi pembuluh

darah (Padila, 2013).

Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat

mempengaruhi respon pembuluh darah terhadap rangsangan

vasokontriksi. Individu dengan hipertensi sangat sensitif terhadap

norepinefrin, meskipun tidak diketahui dengan jelas mengapa hal tersebut

bisa terjadi (Padila, 2013).

Meski etiologi hipertensi masih belum jelas, banyak faktor diduga

memegang peranan dalam genesis hiepertensi seperti yang sudah

dijelaskan dan faktor psikis, sistem saraf, ginjal, jantung pembuluh darah,

kortikosteroid, katekolamin, angiotensin, sodium, dan air (Syamsudin,

2011).

Sistem saraf simpatis merangsang pembuluh darah sebagai

respon rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang,

mengakibatkan tambahan aktivitas vasokontriksi. Medulla adrenal

mensekresi epinefrin, yang menyebabkan vasokontriksi. Korteks adrenal

mensekresi kortisol dan steroid lainnya, yang dapat memperkuat respon

vasokonstriktor pembuluh darah (Padila, 2013).

Vasokonstriksi yang mengakibatkan penurunan aliran keginjal,


menyebabkan pelepasan rennin. Rennin merangsang pembentukan
angiotensin I yang kemudian diubah menjadi angiotensin II, suatu
vasokonstriktor kuat, yang pada gilirannya merangsang sekresi
aldosteron oleh korteks adrenal. Hormon ini menyebabkan retensi natrium
dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan peningkatan volume intra
vaskuler. Semua faktor ini cendrung mencetuskan keadaan hipertensi
(Padila, 2013).
5. Pemeriksaan Penunjang

1) Darah lengkap (Complete Blood cells Count) meliputi pemeriksaan

hemoglobin, hematokrit untuk menilai viskositas dan indikator faktor

risiko seperti hiperkoagulabilitas, anemia.

2) Kimia darah
a) BUN, kreatinin : peningkatan kadar menandakan penurunan

perfusi atau faal renal.

b) Serum glukosa : hiperglisemia (diabetes militus adalah presipiator

hipertensi) akibat dari peningkatan kadar katekolamin.

c) Kadar kolesterol atau trigliserida : peningkatan kadar

mengindikasikan predisposisi pembentukan plaque atheromatus.

d) Kadar serum aldosteron : menilai adanya aldosteronisme primer.

e) Studi tiroid (T3 dan T4) : menilai adanya hipertiroidisme yang

berkontribusi terhadap vasokontriksi dan hipertensi.

f) Asam urat : hiperuricemia merupakan komplikasi faktor risiko

hipertensi.

3) Elektrolit

a) Serum potasium atau kalium (hipokalemia mengindikasikan

adanya aldosteronisme atau efek samping terapi diuretik).

b) Serum kalsium bila mengikat berkontribusi terhadap hipertensi.

4) Urine

a) Analisis urine adanya darah, protein, glukosa dalam urine

mengindikasikan disfungsi renal atau diabetes.

b) Urine VMA (catecholamine metabolite): peningkatan kadar

mengindikasikan adanya pheochromacytoma.

c) Steroid urine : peningkatan kadar mengindikasikan

hiperadrenalisme, pheochromacytoma, atau disfungsi pituitary,

sindrom cushing : kadar renin juga meningkat

5) Radiologi

a) Intra Venous Pyelografi (IVP) : mengidentifikasi penyebab

hipertensi seperti renal pharenchymal disease, urolithiasis, benign

prostate hyperplasia (BPH).


b) Rontgen toraks : menilai adanya klasifikasi obstruksi katup

jantung, deposit kalsium pada aorta, dan pembesaran jantung

6) EKG

Menilai adanya hipertrofi miokard, pola strain, gangguan konduksi

atau disritmia (Udjianti, 2013).

6. Penatalaksanaan

a. Penatalaksanaan nonfarmakologis dengan modifikasi gaya hidup

sangat penting dalam mencegah tekanan darah tinggi dan merupakan

bagian yang tidak dapat dipisahkan mengobati tekanan darah tinggi ,

berbagai macam cara memodifikasi gaya hidup untuk menurunkan

tekanan darah yaitu : (Aspiani, 2014)

b. Pengaturan diet

a) Rendah garam, diet rendah garam dapat menurunkan tekanan

darah pada klien hipertensi. Dengan pengurangan konsumsi

garam dapat mengurangi stimulasi sistem renin- angiostensin

sehingga sangata berpotensi sebagai anti hipertensi. Jumlah

asupan natrium yang dianjurkan 50-100 mmol atau setara dengan

3-6 gram garam per hari.

b) Diet tinggi kalium, dapat menurunkan tekanan darah tetapi

mekanismenya belum jelas. Pemberian kalium secara intravena

dapat menyebabkan vasodilatasi, yang dipercaya dimediasi oleh

oksidanitat pada dinding vaskular.

c) Diet kaya buah sayur.

d) Diet rendah kolesterol sebagai pencegah terjadinya jantung

koroner.
c. Penurunan berat badan

Mengatasi obesitas, pada sebagian orang dengan cara menurunkan

berat badan mengurangi tekanan darah, kemungkinan dengan

mengurangi beban kerja jantung dan voume sekuncup. Pada

beberapa studi menunjukan bahwa obesitas berhubungan dengan

kejadian hipertensi dan hipertrofi ventrikel kiri. Jadi, penurunan berat

badan adalah hal yangs angat efektif untuk menurunkan tekanan

darah. Penurunan berat badan (1 kg/minggu) sangat dianjurkan.

Penurunan berat badan dengan menggunakan obat-obatan perlu

menjadi perhatian khusus karenan umumnya obat penurunan

penurunan berat badan yang terjual bebas mengandung

simpasimpatomimetik, sehingga dapat meningkatkan tekanan darah,

memperburuk angina atau gejala gagal jantung dan terjadinya

eksaserbasi aritmia.

d. Olahraga teratur seperti berjalan, lari, berenang, bersepeda

bermanfaat untuk menurunkan tekanan darah dan memperbaiki

keadaan jantung. Olahraga isotonik dapat juga meningkatkan fungsi

endotel, vasoldilatasin perifer, dan mengurangi katekolamin plasma.

Olahraga teratur selama 30 menit sebanyak 3-4 kali dalam satu

minggu sangat dianjurkan untuk menurunkan tekanan darah.

Olahraga meningkatkan kadar HDL, yang dapat mengurangi

terbentuknya arterosklerosis akibat hipertensi.

e. Memeperbaiki gaya hidup yang kurang sehat dengan cara berhenti

merokok dan tidak mengkonsumsi alkohol, penting untuk mengurangi

efek jangka oanjang hipertensi karena asap rokok diketahui

menurunkan aliran darah ke berbagai organ dan dapat meningkatkan

kerja jantung.
f. Penatalaksanaan Farmakologis

a) Terapi oksigen

b) Pemantauan hemodinamik

c) Pemantauan jantung

d) Obat-obatan :

Diuretik : Chlorthalidon, Hydromax, Lasix, Aldactone, Dyrenium

Diuretic bekerja melalui berbagai mekanisme untuk mengurangi

curah jantung dengan mendorong ginjal meningkatkan ekskresi

garam dan airnya. Sebagai diuretik (tiazid) juga dapat menurunkan

TPR.

Penghambat enzim mengubah angiostensin II atau inhibitor ACE

berfungsi untuk menurunkan angiostenin II dengan menghambat

enzim yang diperlukan untuk mengubah angiostenin I menjadi

angiostenin II. Kondisi ini menurunkan darah secara langsung

dengan menurunkan TPR, dan secara tidak langsung dengan

menurunakan sekresi aldosterne, yang akhirnya meningkatkan

pengeluaran natrium

7. Pengkajian fokus keperawatan pada lansia


Menurut (Wijaya & Putri, 2013) yang harus dikaji pada klien hipertensi
adalah :
1) Data biografi : Nama, alamat, umur, pekerjaan, tanggal masuk rumah

sakit, nama penanggung jawab dan catatan kedatangan.

2) Riwayat kesehatan :

a) Keluhan utama :Alasan utama pasien datang ke rumah sakit atau

pelayanan kesehatan.
b) Riwayat kesehatan sekarang : Keluhan pasien yang dirasakan

saat melakukan pengkajian.

c) Riwayat kesehatan terdahulu : Biasanya penyakit hipertensi

adalah penyakit yang sudah lama dialami oleh pasien dan

biasanya dilakukan pengkajian tentang riwayat minum obat klien.

d) Riwayat kesehatan keluarga : Mengkaji riwayat keluarga apakah

ada yang menderita riwayat penyakit yang sama.

3) Data fisiologis, respirasi, nutrisi/cairan, eliminasi, aktifitas/istirahat,

neurosensori, reproduksi/seksualitas, psikologi, perilaku, relasional

dan lingkungan. Pada klien dengan ketidakpatuhan dalam katagori

perilaku, sub katagori penyuluhan dan pembelajaran perawat harus

mengkaji data tanda dan gejala mayor dan minor yang sudah

tercantum dalam buku Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia

(Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2016), yaitu : Tanda dan gejala mayor

a) Subyektif :

(1) Mengungkapkan minat dalam belajar

(2) Menjelaskan pengetahuan tentang suatu topic

(3) Menggambarkan pengalaman sebelumnya yang sesuai dengan

topic

b) Obyektif

Perilaku sesuai dengan pengetahuan

8. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan merupakan suatu penilaian klinis

mengenai respons klien terhadap masalah kesehatan atau proses

kehidupan yang dialaminya baik yang berlangsung actual maupun

potensial. Diagnosis keperawatan bertujuan untuk mengidentifikasi


respons klien individu, keluarga dan komunitas terhadap situasi yang

berkaitan dengan kesehatan (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017).

Berikut adalah uraian dari masalah yang timbul bagi klien menurut

(Nurarif, 2015) dengan hipertensi :

1) Nyeri akut b.d peningkatan tekanan vaskuler selebral dan iskemia

2) Risiko perfusi serebral tidak efektif b.d hipertensi

3) Hipervolemia b.d gangguan mekanisme regulasi

4) Gangguan mobilitas fisik b.d nyeri

5) Defisit pengetahuan b.d kurang minat dalam belajar

No. Diagnosa SLKI SIKI

1. Nyeri akut b.d Tujuan : setelah dilakukan Manajemen nyeri (I.08238)


peningkatan tekanan tindakan keperawatan 1) Identifikasi lokasi,
vaskuler selebral dan diharapkan tingkat nyeri karakteristik nyeri, durasi,
iskemia menurun frekuensi,
intensitas nyeri
Kriteria hasil : 2) Identifikasi skala nyeri
Tingkat nyeri (L.08066) 3) Identifikasi faktor yang
1) Pasien mengatakan nyeri memperberat dan
berkurang dari skala 7 memperingan
menjadi 2 nyeri
2) Pasien menunjukan ekspresi 4) Berikan terapi non
wajah tenang farmakologis untuk
3) Pasien dapat beristirahat mengurangi rasa
dengan nyaman nyeri (mis: akupuntur,terapi
musik hopnosis,
biofeedback,
teknik imajinasi
terbimbing,kompres
hangat/dingin)
5) Kontrol lingkungan yang
memperberat rasa nyeri
(mis: suhu ruangan,
pencahayaan,kebisingan)

6) Anjurkan memonitor nyeri


secara mandiri

7) Ajarkan teknik non


farmakologis untuk
mengurangi nyeri
2. Risiko perfusi Setelah dilakukan pengkajian Manajemen peningkatan
serebral tidak efektif selama 1x24 jam di harapkan tekanan intracranial
b.d hipertensi Perfusi Serebral meningkat. (I. 06198)
kriteria hasil : Observasi
Perfusi Serebral (l.02014) 1. Identifikasi penyebab
1. Tingkat kesadaran peningkatan TIK (mis.
meningkat Lesi, gangguan
2. Tekanan intracranial metabolisme, edema
meningkat serebral)
3. Sakit kepala menurun 2. Monitor tanda/gejala
peningkatan TIK (mis.
Tekanan darah meningkat,
tekanan nadi melebar,
bradikardia, pola napas
ireguler, kesadaran
menurun)
3. Monitor MAP (Mean
Arterial Pressure)
4. Monitor CVP (Central
Venous Pressure), jika
perlu
5. Monitor PAWP, jika perlu
6. Monitor PAP, jika perlu
7. Monitor ICP (Intra Cranial
Pressure), jika tersedia
8. Monitor CPP (Cerebral
Perfusion Pressure)
9. Monitor gelombang ICP
10. Monitor status pernapasan
11. Monitor intake dan output
cairan
12. Monitor cairan serebro-
spinalis (mis. Warna,
konsistensi)
Terapeutik
1. Minimalkan stimulus
dengan menyediakan
lingkungan yang tenang
2. Berikan posisi semi
fowler
3. Hindari maneuver
Valsava
4. Cegah terjadinya kejang
5. Hindari penggunaan
PEEP
6. Hindari pemberian
cairan IV hipotonik
7. Atur ventilator agar
PaCO2 optimal
8. Pertahankan suhu tubuh
normal
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian
sedasi dan
antikonvulsan, jika perlu
2. Kolaborasi pemberian
diuretic osmosis, jika
perlu
3. Kolaborasi pemberian
pelunak tinja, jika perlu
3. Hipervolemia b.d Tujuan : setelah dilakukan Manajemen hipervolemia
gangguan tindakan keperawatan (I.03114)
mekanisme regulasi diharapkan keseimbangan 1) Periksa tanda dan gejala
cairan meningkat hipervolemia (mis:
ortopnes,
Kriteria hasil : dipsnea, edema, JVP/CVP
Keseimbangan cairan meningkat, suara nafas
(L.03020) tambahan)
1) Terbebas dari edema 2) Monitor intake dan output
2) Haluaran urin meningkat cairan
3) Mampu mengontrol asupan 3) Monitor efek samping
cairan diuretik (mis : hipotensi
ortortostatik,
hipovolemia, hipokalemia,
hiponatremia)
4) Batasi asupan cairan dan
garam
5) Anjurkan melapor haluaran
urin <0,5 mL/kg/jam dalam
6
jam
6) Ajarkan cara membatasi
cairan
7) Kolaborasi pemberian
diuretic
4. Gangguan mobilitas Setelah dilakukan tindakan Dukungan Ambulasi
fisik berhubungan asuhan keperawatan selama (I.06171)
dengan nyeri 1x24 jam Pasien menyatakan Observasi :
mobilitas fisik meningkat a. Identifikasi adanya nyeri
atau keluhan fisik lainnya
dengan kriteria hasil:
b. Identifikasi toleransi
Mobilitas Fisik (L.05042) fisik melakukan ambulasi
c. Monitor frekuensi jantung
1) Pergerakan extremitas
dan tekanan darah
meningkat
sebelum memulai
2) Kekuatan otot meningkat
ambulasi
3) Rentang gerak meningkat
d. Monitor kondisi umum
4) Nyeri menurun
selama melakukan
5) Kecemasan menurun
ambulasi
6) Kaku sendi menurun
Terapeutik :
7) Gerakan tidak
terkoordinasi menurun a. Fasilitasi aktivitas
8) Gerakan terbatas menurun ambulasi dengan alat
9) Kelemahan fisik menurun bantu
b. Fasilitasi melakukan
mobilisasi fisik
c. Libatkan keluarga untuk
membantu pasien dalam
meningkatkan ambulasi
Edukasi :
a. Jelaskan tujuan dan
prosedur ambulasi
b. Anjurkan melakukan
ambulasi dini
1) Ajarkan ambulasi
sederhana yang harus
dilakukan
5. Defisit pengetahuan Tujuan : setelah dilakukan Edukasi kesehatan ( I.12383)
b.d kurang minat tindakan keperawatan
dalam belajar diharapkan tingkat 1) Identifikasi kesiapan dan
pengetahuan meningkat kemampuan menerima
informasi
Kriteria Hasil : 2) Identifikasi factor-faktor
Tingkat pengetahuan yang dapat meningkatkan
(L.12111) dan menurunkan motivasi
perilaku hidup bersih dan
1) Pasien melakukan sesuai sehat
anjuran 3) Sediakan materi dan
2) Pasien tampak mampu media pendidikan
menjelaskan kembali kesehatan
materi yang disampaikan 4) Jadwalkan pendidikan
3) Pasien mengajukan kesehatan sesuai
pertanyaan kesepakatan
5) Berikan kesempatan untuk
bertanya
6) Jelaskan factor risiko yang
dapat mempengaruhi
kesehatan
7) Ajarkan perilaku hidup
bersih dan sehat
8) Ajarkan strategi yang
dapat digunakan untuk
meningkatkan perilaku
hidup bersih dan sehat

DAFTAR PUSTAKA

Febriyenti, dkk (2017). Perbedaan Status Psikososial Lanjut Usia Yang Tinggal
Di Panti Werdha Damai Ranomuut Manado Dengan Yang Tinggal Bersama
Keluarga Di Desa Sarongsong II Kecamatan Airmadidi Kabupaten
Minahasa Utara. Jurnal Keperawatan Universitas Sam Ratulangi Manado.
Vol.5 No.1

Deharnita,dkk. (2016). Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Fungsi Kognitif


Pada Lansia. Jurnal Keperawatan Program Studi Ilmu Keperawatan Solok
Poltekes Kemenkes Padang. Vol.10 Jilid.2

Depkes. Lansia yang sehat, lansia yang jauh dari demensia.2016. Diunduh dari
http://www.depkes.go.id/article/view/16031000003/menkes-lansia-
yangsehat-lansia-yang-jauh-dari-demensia.html. 20 Oktober 2016.

Ekasari, et al. (2018). Meningkatkan Kualitas Hidup Lansia Konsep dan Berbagai
Intervensi. Malang: Wineka Media. 117 hlm.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Analisis Lansia di Indonesia. Pusat


Data dan Informasi. Jakarta Selatan: Kementerian Kesehatan RI; 2017.

Muhith, A., & Siyoto, S. (2016). Pendidikan Keperawatan Gerontik. Yogyakarta:


ANDI.

Kholifah, S.N. (2016). Modul Bahan Ajar Cetak Keperawatan Gerontik. Jakarta :
Kemenkes RI Pusdik SDM Kesehatan.

Sulaiman & Anggriani. (2018). Efek Postur Tubuh Terhadap Keseimbangan


Lanjut Usia Di Desa Suka Raya Kecamatan Pancur Batu. Jurnal Jumantik,
3(2), 127-140.

Anda mungkin juga menyukai