Anda di halaman 1dari 29

REFERAT

PENYAKIT HIRSCHSPRUNG

Disusun Oleh:
Wahyuni Herda
1102014278

Pembimbing:
dr. Kesuma Mulya, Sp. Rad

TUGAS KEPANITERAAN KLINIK ILMU RADIOLOGI RSUD KOTA CILEGON


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
PERIODE 24 DESEMBER – 12 JANUARI 2019
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmatnya
serta karunianya, sehingga syukur Alhamdulillah penulis dapat menyelesaikan referat
dengan judul “Penyakit Hirschsprung”. Referat ini disusun sebagai salah satu syarat untuk
menyelesaikan kepaniteraan klinik bagian Radiologi di RSUD Cilegon.
Penulis menyadari bahwa referat ini dapat terselesaikan berkat bantuan dari berbagai
pihak, untuk itu dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada yang terhormat para konsulen bagian Radiologi yaitu dr. Kesuma Mulya,
Sp.Rad, atas keluangan waktu dan bimbingan yang telah diberikan, serta kepada teman
sesama kepaniteraan klinik bagian radiologi dan staf bagian radiologi yang selalu
mendukung, memberi saran, motivasi, bimbingan dan kerjasama yang baik sehingga dapat
terselesaikannya referat ini.
Penulis menyadari bahwa dalam menyusun referat ini masih memiliki banyak
kekurangan. Oleh karena itu, kami sangat terbuka untuk menerima segala kritik dan saran
yang diberikan demi kesempurnaan referat ini.
Akhirnya semoga referat ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak dan setiap pembaca
pada umumnya. Amin.

Cilegon, 05 Januari 2019

Penyusun

1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit Hirschsprung atau megakolon aganglionik bawaan yang disebabkan
oleh kelainan inervasi usus, mulai pada sfingter ani interna dan meluas ke proksimal,
melibatkan panjang usus yang bervariasi, tetapi selalu termasuk anus dan setidak-
tidaknya sebagian rektum. Tidak adanya inervasi saraf adalah akibat dari kegagalan
perpindahan neuroblast dari usus proksimal ke distal. Segmen yang aganglionik terbatas
pada rektosigmoid pada 75% penderita, 10% sampai seluruh usus, dan sekitar 5% dapat
mengenai seluruh usus sampai pylorus.
Tidak adanya ganglion sel ini mengakibatkan hambatan pada gerakan peristaltik
sehingga terjadi ileus fungsional dan dapat terjadi hipertrofi serta distensi yang
berlebihan pada kolon yang lebih proksimal.
Penyakit ini pertama kali ditemukan oleh Herald Hirschsprung tahun 1886, dan
belum diketahui secara pasti patofisiologi terjadinya penyakit ini hingga tahun 1938,
dimana Robertson dan Kernohan menyatakan bahwa megakolon yang dijumpai pada
kelainan ini disebabkan oleh gangguan peristaltic dibagian distal usus akibat defisiensi
ganglion pada usus tersebut.
Insidensi penyakit Hirschprung di Indonesia tidak diketahui secara pasti, tetapi
berkisar 1 diantara 5000 kelahiran hidup, dengan jumlah penduduk Indonesia 200 juta
dan tingkat kelahiran 35 per mil, maka diprediksikan setiap tahun akan lahir sekitar
1400 bayi dengan penyakit Hirschprung. Laki-laki 4 kali lebih banyak dibanding
perempuan.
Trias klasik gambaran klinis pada neonatus adalah pengeluaran mekonium yang
terlambat, yaitu lebih dari 24 jam pertama, muntah hijau, dan perut membuncit
keseluruhan.
Pengobatan penyakit Hirschsprung terdiri atas pengobatan non bedah dan
pengobatan bedah. Pengobatan non bedah dimaksudkan untuk mengobati komplikasi-
komplikasi yang mungkin terjadi atau untuk memperbaiki keadaan umum penderita
sampai pada saat operasi definitif dapat dikerjakan. Tindakan bedah pada penyakit
Hirschsprung terdiri atas tindakan bedah sementara dan tindakan bedah definitif.

2
Tindakan bedah sementara dimaksudkan untuk dekompresi abdomen dengan cara
membuat kolostomi pada kolon yang mempunyai ganglion normal bagian distal.
Diagnosis penyakit Hirschsprung harus dapat ditegakkan sedini mungkin
mengingat berbagai komplikasi yang dapat terjadi dan sangat membahayakan jiwa
pasien seperti enterokolitis, pneumatosis usus, abses perikolon, perforasi, dan
septikimia yang dapat menyebabkan kematian. Enterokolitis merupakan komplikasi
yang amat berbahaya sehingga mortalitasnya mencapai 30% apabila tidak ditangani
dengan sempurna. Mortalitas dari kondisi ini dapat dikurangi dengan peningkatan
dalam diagnosis, perawatan intensif neonatus, teknik pembedahan, dan diagnosis
dan penatalaksanaan penyakit Hirschprung dengan enterokolitis.

BAB II

3
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Embriologi Kolon dan Rektum


2.1.1 Kolon
Secara embriologi, kolon kanan berasal dari usus tengah, sedangkan kolon kiri
sampai dengan rectum berasal dari usus belakang. Dalam perkembangan embriologik
kadang terjadi gangguan rotasi usus embrional, sehingga kolon kanan dan sekum
mempunyai mesenterium yang bebas. Keadaan ini memudahkan terjadinya putaran atau
volvulus sebagian besar usus yang sama halnya dapat terjadi dengan mesenterium yang
panjang pada kolon sigmoid dengan radiksnya yang sempit.
Usus besar merupakan tabung muscular berongga dengan panjang sekitar 5 kaki
(sekitar 1,5 m) yang terbentang dari sekum sampai kanalis ani. Diameter usus besar
lebih besar daripada usus kecil. Rata-rata sekitar 2,5 inchi (sekitar 6,5cm), tetapi makin
dekat anus diameternya makin kecil. Usus besar dibagi menjadi sekum, kolon, dan
rektum. Pada sekum terdapat katup ileosekal dan apendiks yang melekat pada ujung
sekum. Sekum menempati sekitar dua atau tiga inci pertama dari usus besar. Katup
ileosekal mengontrol aliran kimus dari ileum ke sekum. Kolon dibagi lagi menjadi
kolon ascendens, transversum, descendens, dan sigmoid. Tempat dimana kolon
membentuk kelokan tajam yaitu pada abdomen kanan dan kiri atas berturut-turut
dinamakan fleksura hepatika dan fleksura lienalis. Kolon sigmoid mulai setinggi krista
iliaka dan berbentuk suatu lekukan berbentuk S. Lekukan bagian bawah membelok ke
kiri waktu kolon sigmoid bersatu dengan rectum. Rectum terbentang dari kolon sigmoid
sampai dengan anus. Satu inci terakhir dari rectum terdapat kanalis ani yang dilindungi
oleh sfingter ani eksternus dan internus. Panjang rektum sampai kanalis ani adalah 5,9
inci.

4
Gambar 1. Anatomi Kolon

Dinding kolon terdiri dari empat lapisan, yaitu tunika serosa, muskularis, tela
submukosa, dan tunika mukosa, akan tetapi usus besar mempunyai gambaran-gambaran
yang khas berupa: lapisan otot longitudinal tidak sempurna tetapi terkumpul dalam tiga
pita yang disebut taenia koli yang bersatu pada sigmoid distal. Panjang taenia lebih
pendek daripada usus sehingga usus tertarik dan berkerut membentuk kantong-kantong
kecil yang disebut haustra. Pada taenia, melekat kantong-kantong kecil perineum yang
berisi lemak yang disebut appendices epiploika. Lapisan mukosa usus besar lebih tebal
dengan kriptus lieberkuhn terletak lebih dalam serta mempunyai sel goblet lebih banyak
daripada usus halus.

5
Gambar 2&3. Lapisan Dinding Kolon

Vaskularisasi usus besar diatur oleh arteri mesenterika superior dan inferior.
Arteri mesenterika superior memvaskularisasi kolon bagian kanan dari sekum sampai
dua pertiga proksimal kolon transversum. Arteri mesenterika superior mempunyai tiga
cabang utama, yaitu arteri ileokolika, arteri kolika dekstra, dan arteri kolika media.
Sedangkan arteri mesenterika inferior memvaskularisasi kolon bagian kiri (mulai dari
sepertiga distal kolon transversum sampai rectum bagian proksimal). Arteri mesenterika
inferior mempunyai tiga cabang, yaitu arteri kolika sinistra, arteri hemoroidalis
superior, dan arteri sigmoidea.

6
Gambar 4. Vaskularisasi Kolon

Vaskularisasi tambahan daerah rectum diatur oleh arteri sakralis media dan
arteri hemoroidalis inferior dan media. Aliran balik vena dari kolon dan rectum superior
melalui vena mesenterika superior dan inferior serta vena hemoroidalis superior, yaitu
bagian dari system portal yang mengalirkan darah ke hati.
Persarafan usus besar dilakukan oleh system saraf otonom dengan
perkecualian sfingter eksterna yang berada dibawah control voluntar. Serabut
parasimpatis berjalan melalui saraf vagus ke bagian tengah kolon transversum, dan
saraf pelvikus yang berasal dari daerah sacral mensuplai bagian distal. Serabut simpatis
meninggalkan medulla spinalis melalui saraf splangnikus untuk mencapai kolon.
Perangsangan simpatis menyebabkan penghambatan sekresi dan kontraksi, serta
perangsangan sfingter rectum, sedangkan perangsangan parasimpatis mempunyai efek
yang berlawanan.
Sistem saraf otonomik intrinsik pada usus terdiri dari 3 pleksus :
1. Pleksus Auerbach : terletak diantara lapisan otot sirkuler dan longitudinal
2. Pleksus Henle : terletak disepanjang batas dalam otot sirkuler
3. Pleksus Meissner : terletak di sub-mukosa
Pada penderita penyakit Hirschsprung, tidak dijumpai ganglion pada ketiga
pleksus tersebut.

7
Gambar 5. Skema Syaraf Autonom Intrinsik Usus
Jadi pasien dengan kerusakan medulla spinalis, maka fungsi ususnya tetap
normal, sedangkan pasien dengan penyakit hirschprung akan mempunyai fungsi usus
yang abnormal karena pada penyakit ini terjadi keabsenan pleksus aurbach dan
meissner.

2.1.2 Rektum
Rektum memiliki 3 buah valvula: superior kiri, medial kanan dan inferior kiri.
2/3 bagian distal rektum terletak di rongga pelvik dan terfiksasi, sedangkan 1/3 bagian
proksimal terletak dirongga abdomen dan relatif mobile. Kedua bagian ini dipisahkan
oleh peritoneum reflektum dimana bagian anterior lebih panjang dibanding bagian
posterior. Saluran anal (anal canal) adalah bagian terakhir dari usus, berfungsi sebagai
pintu masuk ke bagian usus yang lebih proximal; dikelilingi oleh sphincter ani
(eksternal dan internal) serta otot-otot yang mengatur pasase isi rektum ke dunia luar.
Sphincter ani eksterna terdiri dari 3 sling : atas, medial dan depan.7

8
Gambar 6. Anatomi Anus dan Rektum

Persarafan motorik spinchter ani interna berasal dari serabut saraf simpatis (N.
hipogastrikus) yang menyebabkan kontraksi usus dan serabut saraf parasimpatis (N.
splanknicus) yang menyebabkan relaksasi usus. Kedua jenis serabut saraf ini
membentuk pleksus rektalis. Sedangkan muskulus levator ani dipersarafi oleh N.
sakralis III dan IV. Nervus pudendalis mempersarafi sphincter ani eksterna dan
m.puborektalis. Saraf simpatis tidak mempengaruhi otot rektum. Defekasi sepenuhnya

9
dikontrol oleh N. N. splanknikus (parasimpatis). Akibatnya kontinensia sepenuhnya
dipengaruhi oleh N. pudendalis dan N. splanknikus pelvik (saraf parasimpatis).

2.2 Fisiologi Kolon


Fungsi usus besar ialah menyerap air, vitamin dan elektrolit, ekskresi mucus
serta menyimpan feses, dan kemudian mendorongnya keluar. Dari 700-1000 ml cairan
usus halus yang diterima oleh kolon, hanya 150-200 ml yang dikeluarkan sebagai feses
setiap harinya. Udara ditelan sewaktu makan, minum, atau menelan ludah.
Oksigen dan karbondioksida didalamnya diserap di usus, sedangkan nitrogen
bersama dengan gas hasil pencernaan dari peragian dikeluarkan sebagai flatus. Jumlah
gas di dalam usus mencapai 500 ml sehari. Pada infeksi usus, produksi gas meningkat
dan bila mendapat obstruksi usus, gas tertimbun di saluran cerna yang menimbulkan
flatulensi.

2.3 Penyakit Hirschsprung


2.3.1 Definisi
Penyakit Hirschsprung atau megakolon aganglionik bawaan adalah kelainan
bawaan yang disebabkan oleh kelainan inervasi usus, mulai pada sfingter ani interna
dan meluas ke proksimal, melibatkan panjang usus yang bervariasi, tetapi selalu
termasuk anus dan setidak-tidaknya sebagian rectum. Tidak adanya inervasi saraf
adalah akibat dari kegagalan perpindahan neuroblast dari usus proksimal ke distal.
Segmen yang aganglionik terbatas pada rektosigmoid pada 75% penderita, 10% sampai
seluruh usus, dan sekitar 5% dapat mengenai selruh usus sampai pylorus.

Gambar 7. Gambaran Megacolon Kongenital


2.3.2 Epidemiologi

10
Insidensi penyakit Hirschsprung tidak diketahui secara pasti, tetapi berkisar 1
diantara 5000 kelahiran hidup. Dengan jumlah penduduk Indonesia 200 juta dan tingkat
kelahian 35 permil, maka diprediksikan akan lahir 1400 bayi dengan penyakit
hirschsprung. Kartono mencatat 20-40 pasien penyakit hirschsprung akan dirujuk setiap
tahunnya ke RSUPN Cipto MAngunkusumo Jakarta.
Menurut catatan Swenson, 81,1% dari 880 kasus yang diteliti adalah laki-laki,
sedangkan Richardson dan Brown menemukan tendensi faktor keturunan pada penyakit
ini (ditemukan 57 kasus dalam 24 keluarga). Beberapa kelainan kongenital dapat
ditemukan bersamaan dengan penyakit Hirschsprung, namun hanya 2 kelainan yang
memiliki angka yang cukup signifikan, yaitu Down Syndrome (5-10%) dan kelainan
urologi seperti refluks vesikoureter, hydronefrosis dan gangguan vesica urinaria
(mencapai 1/ kasus).

2.3.3 Etiologi
Sampai tahun 1930an etiologi Penyakit Hirschsprung belum jelas diketa-hui.
Penyebab sindrom tersebut baru jelas setelah Robertson dan
Kernohan pada tahun 1938 serta Tiffin, Chandler,dan Faber pada tahun 1940
mengemukakan bahwa megakolon pada penyakit Hirschsprung primer disebabkan oleh
gangguan peristalsis usus dengan defisiensi ganglion di usus bagian distal.
Sebelum tahun 1948 belum terdapat bukti yang menjelaskan apakah defek
ganglion pada kolon distal menjadi penyebab penyakit Hirschprung ataukah defek
ganglion pada kolon distal merupakan akibat dilatasi dari stasis feses dalam kolon. Dari
segi etiologi, Bodian dkk menyatakan bahwa aganglionosis pada penyakit Hirschprung
bukan disebabkan oleh kegagalan perkembangan inervasi parasimpatik ekstrinsik,
melainkan lesi primer, sehingga terdapat ketidakseimbangan autonomik yang tidak
dapat dikoreksi dengan simpatektomi.
Kenyataan ini mendorong Swenson untuk mengengembangkan prosedur bedah
definitif penyakit Hirschsprung dengan pengangkatan segmen aganglion disertai dengan
preservasi sfingter anal.

2.3.4 Patogenesis
Kelainan pada penyakit ini berhubungan dengan spasme pada distal colon dan
spingter anus internal sehingga terjadi obstruksi. Maka dari itu bagian yang abnormal
akan mengalami kontraksi di segmen bagian distal sehingga bagian yang normal akan

11
mengalami dilatasi di bagian proksimalnya. Bagian aganglionik selalu terdapat dibagian
distal rectum.
Dasar patofisiologi dari HD adalah tidak adanya gelombang propulsive dan
abnormalitas atau hilangnya relaksasi dari sphincter anus internus yang disebabkan
aganglionosis, hipoganglionosis atau disganglionosis pada usus besar.

Gambar 8. Gambaran Segmen Aganglion Pada Penyakit Hirschprung

a. Hipoganglionosis
Pada proximal segmen dari bagian aganglion terdapat area hipoganglionosis.
Area tersebut dapat juga merupakan terisolasi. Hipoganglionosis adalah keadaan
dimana jumlah sel ganglion kurang dari 10 kali dari jumlah normal dan kerapatan
sel berkurang 5 kali dari jumlah normal. Pada colon inervasi jumlah plexus
myentricus berkurang 50% dari normal. Hipoganglionosis kadang mengenai
sebagian panjang colon namun ada pula yang mengenai seluruh colon.
b. Imaturitas dari sel ganglion
Sel ganglion yang imatur dengan dendrite yang kecil dikenali dengan
pemeriksaan LDH (laktat dehidrogenase). Sel saraf imatur tidak memiliki
sitoplasma yang dapat menghasilkan dehidrogenase.
Sehingga tidak terjadi diferensiasi menjadi sel Schwann’s dan sel saraf
lainnya. Pematangan dari sel ganglion diketahui dipengaruhi oleh reaksi
succinyldehydrogenase (SDH). Aktivitas enzim ini rendah pada minggu pertama
kehidupan. Pematangan dari sel ganglion ditentukan oleh reaksi SDH yang
memerlukan waktu pematangan penuh selama 2 sampai 4 tahun. Hipogenesis
adalah hubungan antara imaturitas dan hipoganglionosis.
c. Kerusakan sel ganglion

12
Aganglionosis dan hipoganglionosis yang didapatkan dapat berasal dari
vaskular atau nonvascular. Yang termasuk penyebab nonvascular adalah infeksi
Trypanosoma cruzi (penyakit Chagas), defisiensi vitamin B1, infeksi kronis seperti
Tuberculosis. Kerusakan iskemik pada sel ganglion karena aliran darah yang
inadekuat, aliran darah pada segmen tersebut, akibat tindakan pull through secara
Swenson, Duhamel, atau Soave.

2.3.5 Klasifikasi
Menurut letak segmen aganglionik maka penyakit ini dibagi dalam :
1. Megakolon kongenital segmen pendek
Bila segmen aganglionik meliputi rektum sampai sigmoid (70-80%).
2. Megakolon kongenital segmen panjang
Bila segmen aganglionik lebih tinggi dari sigmoid (20%).
3. Kolon aganglionik total
Bila segmen aganglionik mengenai seluruh kolon (5-11%)
4. Kolon aganglionik universal
Bila segmen aganglionik meliputi seluruh usus sampai pylorus (5%).

Gambar 9. Tipe penyakit hirschsprung,: (a) rectosigmoid aganglionosis, (b) short atau ultrashort
segment, (c) long segment, (d) total colonic aganglionosis, (e) aganglionosis ke seluruh kolon
dan sebagian ke usus kecil

2.3.6 Manifestasi Klinis


Gambaran klinis penyakit Hirschsprung dapat kita bedakan berdasarkan usia
gejala klinis mulai terlihat :
1. Periode Neonatal

13
Ada trias gejala klinis yang sering dijumpai, yakni pengeluaran mekonium
yang terlambat, muntah hijau dan distensi abdomen. Pengeluaran mekonium
yang terlambat (lebih dari 24 jam pertama) merupakan tanda klinis yang
signifikan. Swenson (1973) mencatat angka 94% dari pengamatan terhadap 501
kasus, sedangkan Kartono mencatat angka 93,5% untuk waktu 24 jam dan
72,4% untuk waktu 48 jam setelah lahir. Muntah hijau dan distensi abdomen
biasanya dapat berkurang manakala mekonium dapat dikeluarkan segera.
Sedangkan enterokolitis merupakan ancaman komplikasi yang serius bagi
penderita penyakit Hirschsprung ini, yang dapat menyerang pada usia kapan
saja, namun paling tinggi saat usia 2-4 minggu, meskipun sudah dapat dijumpai
pada usia 1 minggu. Gejalanya berupa diarrhea, distensi abdomen, feces berbau
busuk dan disertai demam. Swenson mencatat hampir 1/3 kasus Hirschsprung
datang dengan manifestasi klinis enterokolitis, bahkan dapat pula terjadi meski
telah dilakukan kolostomi.

2. Anak
Pada anak yang lebih besar, gejala klinis yang menonjol adalah konstipasi
kronis dan gizi buruk. Dapat pula terlihat gerakan peristaltik usus di dinding
abdomen. Jika dilakukan pemeriksaan colok dubur, maka feces biasanya keluar
menyemprot, konsistensi semi-liquid dan berbau tidak sedap. Penderita biasanya
buang air besar tidak teratur, sekali dalam beberapa hari dan biasanya sulit untuk
defekasi. Kasus yang lebih ringan mungkin baru akan terdiagnosis di kemudian
hari.

2.3.7 Diagnosis
Berbagai teknologi tersedia untuk menegakkan diagnosis penyakit
Hirschsprung. Namun demikian, dengan melakukan anamnesis yang cermat,
pemeriksaan fisik yang teliti, pemeriksaan radiografi, serta pemeriksaan patologi
anatomi biopsi isap rectum, diagnosis penyakit Hirschsprung pada sebagian kasus dapat
ditegakkan.
1. Anamnesis
a. Pada neonatus :
1) Mekonium keluar terlambat > 24 jam
2) Tidak dapat buang air besar dalam waktu 24-48 jam setelah lahir
3) Perut cembung dan tegang

14
4) Muntah
5) Feses encer 

b. Pada anak
1) Konstipasi kronis
2) Failure to thrive (gagal tumbuh)
3) Berat badan tidak bertambah
4) Nafsu makan tidak ada (anoreksia)

Gambar 10. Foto pasien penderita Hirschsprung

Sumber: Diambil dari http://freddypanjaitan.wordpress.com/2011

2. Pemeriksaan Fisik12
Pada inspeksi abdomen terlihat perut cembung atau membuncit
seluruhnya, didapatkan perut lunak hingga tegang pada palpasi, bising usus
melemah atau jarang. Pada pemeriksaan colok dubur terasa ujung jari terjepit
lumen rektum yang sempit dan sewaktu jari ditarik keluar maka feses akan
menyemprot keluar dalam jumlah yang banyak dan kemudian kembung pada
perut menghilang untuk sementara.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi merupakan pemeriksaan yang penting pada
penyakit Hirschsprung. Pada foto polos abdomen dapat dijumpai gambaran
obstruksi usus letak rendah, meski pada bayi sulit untuk membedakan usus halus
dan usus besar.11

15
Gambar 11. Foto polos abdomen pada penyakit Hirschsprung
menunjukkan dilatasi yang ditandai dari usus kecil tanpa udara di rektum

Pemeriksaan yang merupakan standard dalam menegakkan diagnosa


Hirschsprung adalah barium enema, dimana akan dijumpai 3 tanda khas.
1) Tampak daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal yang
panjangnya bervariasi
2) Terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah penyempitan kearah
daerah dilatasi
3) Terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah transisi.
Apabila dari foto barium enema tidak terlihat tanda-tanda khas penyakit
Hirschsprung, maka dapat dilanjutkan dengan foto retensi barium, yakni foto
setelah 24-48 jam barium dibiarkan membaur dengan feces. Gambaran khasnya
adalah terlihatnya barium yang membaur dengan feces kearah proksimal kolon.
Sedangkan pada penderita yang bukan Hirschsprung namun disertai dengan

16
obstipasi kronis, maka barium terlihat menggumpal di daerah rektum dan
sigmoid.11

Gambar 12. Terlihat gambar barium enema penderita Hirschsprung.


Tampak rektum yang mengalami penyempitan, dilatasi sigmoid dan daerah transisi yang
melebar

17
b. Anorectal manometry dapat digunakan untuk mendiagnosis penyakit
hirschsprung, gejala yang ditemukan adalah kegagalan relaksasi sfingter ani
interna ketika rectum dilebarkan dengan balon. Keuntungan metode ini adalah
dapat segera dilakukan dan pasien bisa langsung pulang karena tidak dilakukan

18
anestesi umum. Metode ini lebih sering dilakukan pada pasien yang lebih besar
dibandingkan pada neonatus.
c. Biopsy rectal merupakan “gold standard” untuk mendiagnosis penyakit
hirschprung. Pada bayi baru lahir metode ini dapat dilakukan dengan morbiditas
minimal karena menggunakan suction khusus untuk biopsy rectum. Untuk
pengambilan sample biasanya diambil 2 cm diatas linea dentata dan juga
mengambil sample yang normal jadi dari yang normal ganglion hingga yang
aganglionik. Metode ini biasanya harus menggunakan anestesi umum karena
contoh yang diambil pada mukosa rectal lebih tebal.

2.3.8 Diagnosis Banding


1. Meconium plug syndrome
Riwayatnya sama seperti permulaan penyakit Hirscprung pada neonatus, tapi setelah
colok dubur dan mekonium bisa keluar, defekasi selanjutnya normal.
2. Akalasia recti
Keadaan dimana sfingter tidak bisa relaksasi sehingga gejalanya mirip dengan
Hirschprung tetapi pada pemeriksaan mikroskopis tampak adanya ganglion Meissner
dan Aurbach.

2.3.9 Penatalaksanaan
1. Tindakan Non Bedah
Pengobatan non bedah dimaksudkan untuk mencegah komplikasi-komplikasi
yang mungkin terjadi atau untuk memperbaiki keadaan umum penderita sampai pada
saat operasi definitif dapat dikerjakan. Pengobatan non bedah diarahkan pada
stabilisasi cairan, elektrolit, asam basa dan mencegah terjadinya over distensi
sehingga akan menghindari terjadinya perforasi usus serta mencegah terjadinya
sepsis. Tindakan-tindakan nonbedah yang dapat dikerjakan adalah pemasangan pipa
nasogastrik, pemasangan pipa rektum, pemberian antibiotik, lavase kolon dengan
irigasi cairan, koreksi elektrolit serta pengaturan nutrisi.

2. Tindakan Bedah
a. Tindakan Bedah Sementara
Tindakan bedah sementara dimaksudkan untuk dekompresi abdomen
dengan cara membuat kolostomi pada kolon yang mempunyai ganglion
normal bagian distal. Tindakan dimaksudkan guna menghilangkan obstruksi

19
usus dan mencegah terjadinya enterokolitis yang diketahui sebagai
penyebab utama terjadinya kematian pada penderita penyakit
Hirschsprung. Manfaat lain dari kolostomi adalah menurunkan angka
kematian pada saat dilakukan tindakan bedah definitif dan mengecilkan
kaliber usus pada penderita Hirschsprung yang telah besar sehingga
memungkinkan dilakukan anastomose.
b. Tindakan Bedah Definitif
Ada beberapa cara tindakan pembedahan yang dapat digunakan untuk
tindakan bedah definitif antara lain teknik Swenson, Duhamel, Soave dan
Rehbein Operation.

Gambar 13. Tekhnik Operasi Definitif pada Hirschprung Disease

1) Prosedur Swenson
Swenson memperkenalkan prosedur rektosigmoidektomi dengan
preservasi sfingter anal. Anastomosis dilakukan langsung di luar rongga
peritoneal. Pembedahan ini disebut sebagai prosedur rektosigmoidektomi
dilanjutkan dengan pull-through abdomino-perineal. Puntung rektum
ditinggalkan 2-3 cm dari garis mukokutan. Pada masa pascabedah
ditemukan beberapa komplikasi seperti kebocoran anastomosis, stenosis,
inkontinensi, enterokolitis dan lain-lain.
Teknik Pembedahan
Reseksi kolon aganglion dimulai dengan pemotongan arteri dan vena
sigmoidalis dan hemoroidalis superior. Segmen sigmoid dibebaskan
beberapa sentimeter dari dasar peritoneum sampai 1-2 cm proksimal

20
kolostomi. Puntung rektosigmoid dibebaskan dari jaringan sekitarnya di
dalam rongga pelvis untuk dapat diprolapskan melalui anus. Pembebasan
kolon proksimal dilakukan untuk memungkinkan kolon tersebut dapat
ditarik ke perineum melalui anus tanpa tegangan.
Puntung rektum diprolapskan dengan tarikan klem yang dipasang di
dalam lumen. Pemotongan rektum dilakukan 2 cm proksimal dari garis
mukokutan, bagian posterior dan bagian anterior sama tinggi (Prosedur
Swenson I). Atau pemotongan dilakukan dengan arah miring, 2 cm di
bagian anterior dan 0,5 cm di bagian posterior (prosedur Swenson II).
Selanjut-nya, kolon proksimal ditarik ke perineum melalui puntung rektum
yang telah terbuka. Anastomosis dilakukan dengan jahitan dua lapis
dengan menggunakan benang sutera atau benang vicryl. Setelah
anastomosis kolorektal selesai dilakukan, kemudian rektum dimasukkan
kembali ke rongga pelvis. Reperitonealisasi dilakukan dengan perhatian
pada vaskularisasi kolon agar tidak terjahit. Penutupan dinding abdomen
dilakukan setelah pencucian rongga peritoneum. Kateter dan pipa rektal
kecil dipertahankan untuk 2 - 3 hari.

Gambar 14. Prosedur Swenson

2) Prosedur Duhamel
Prosedur ini diperkenalkan Duhamel tahun 1956 untuk mengatasi
kesulitan diseksi pelvik pada prosedur Swenson. Prinsip dasar prosedur ini
adalah menarik kolon proksimal yang ganglionik ke arah anal melalui
bagian posterior rectum yang aganglionik, menyatukan dinding posterior
rektum yang aganglionik dengan dinding anterior kolon proksimal yang

21
ganglionik sehingga membentuk rongga baru dengan anastomose end to
side. Prosedur Duhamel asli memiliki beberapa kelemahan, diantaranya
sering terjadi stenosis, inkontinensia dan pembentukan fekaloma di dalam
puntung rektum yang ditinggalkan apabila terlalu panjang.
Oleh sebab itu dilakukan beberapa modifikasi prosedur Duhamel,
diantaranya :
a) Modifikasi Grob (1959)
Anastomose dengan pemasangan 2 buah klem melalui sayatan endoanal
setinggi 1,5-2,5 cm, untuk mencegah inkontinensi
b) Modifikasi Talbert dan Ravitch
Modifikasi berupa pemakaian stapler untuk melakukan anastomose side to
side yang panjang
c) Modifikasi Ikeda
Ikeda membuat klem khusus untuk melakukan anastomose, yang terjadi
setelah 6-8 hari kemudian
d) Modifikasi Adang
Pada modifikasi ini, kolon yang ditarik transanal dibiarkan prolaps
sementara. Anastomose dikerjakan secara tidak langsung, yakni pada hari
ke 7-14 pasca bedah dengan memotong kolon yang prolaps dan
pemasangan 2 buah klem; kedua klem dilepas 5 hari berikutnya.
Pemasangan klem disini lebih dititik beratkan pada fungsi hemostasis.

Gambar 15. Skema tahapan bedah definitif prosedur Duhamel modifikasi. (1)
gambar kolon dan rektum setelah reseksi kolon dilatasi; (2) pembebasan ruang
retrorektal dari lantai dasar peritoneum; (3) posisi kolon setelah pull-through
retrorektal, kolon dibiarkan prolaps; (4) dan (5), tahapan anastomosis, reseksi
kolon yang diprolapskan dan setelah reseksi septum.

22
3) Prosedur Soave atau Endorectal Pull Through
Soave mengerjakan prosedur bedah yang berbeda dengan dua
prosedur bedah seperti diuraikan di atas. la melakukan pendekatan
abdominoperineal dengan membuang lapisan mukosa rektosigmoid dari
lapisan seromuskular. Selanjutnya dilakukan penarikan kolon berganglion
normal keluar anus melalui selubung seromuskular rektosigmoid. Prosedur
ini disebut juga sebagai prosedur pull-through endorektal. Setelah 21 hari,
sisa kolon yang diprolapskan dipotong. Boley pada waktu yang hampir
bersamaan melakukan prosedur pull-through endorektal persis seperti
prosedur Soave dengan anastomosis langsung tanpa kolon diprolapskan
lebih dahulu. Tehnik ini dilakukan untuk mencegah retraksi kolon bila
terjadi nekrosis bagian kolon yang diprolapskan.

Gambar 16. Skema tahapan bedah prosedur Soave (sigmoidektomi dengan tarik-
melalui endorektal). Reseksi kolon disertai diseksi mukosa rektum, sehingga
tersisa selubung seromuskular.

4) Prosedur Rehbein
Prosedur ini tidak lain berupa deep anterior resection, dimana
dilakukan anastomose end to end antara usus aganglionik dengan rektum
pada level otot levator ani (2-3 cm diatas anal verge), menggunakan
jahitan 1 lapis yang dikerjakan intra abdominal ekstraperitoneal. Pasca
operasi, sangat penting melakukan businasi secara rutin guna mencegah
stenosis.

23
Gambar 17. Skema tahapan bedah prosedur Rehbein, deep anterior resection (rekto-
sigmoidektomi dengan anastomosis ujung-ke-ujung, dilakukan intraabdominal
extraperitoneal).

2.3.10 Komplikasi
Secara garis besar, komplikasi pasca tindakan bedah penyakit Hirschsprung
dapat digolongkan atas kebocoran anastomose, stenosis, enterokolitis dan gangguan
fungsi spinkter. Beberapa hal dicatat sebagai faktor predisposisi terjadinya penyulit
pasca operasi, diantaranya : usia muda saat operasi, kondisi umum penderita saat
operasi, prosedur bedah yang digunakan, keterampilan dan pengalaman dokter bedah,
jenis dan cara pemberian antibiotik serta perawatan pasaca bedah.
1. Kebocoran Anastomose
Kebocoran anastomose pasca operasi dapat disebabkan oleh ketegangan
yang berlebihan pada garis anastomose, vaskularisasi yang tidak adekuat pada
kedua tepi sayatan ujung usus, infeksi dan abses sekitar anastomose serta trauma
colok dubur atau businasi pasca operasi yang dikerjakan terlalu dini dan tidak
hati-hati.
Kartono mendapatkan angka kebocoran anastomese hingga 7,7% dengan
menggunakan prosedur Swenson, sedangkan apabila dikerjakan dengan prosedur
Duhamel modifikasi hasilnya sangat baik dengan tak satu kasus pun mengalami
kebocoran.
Manifestasi klinis yang terjadi akibat kebocoran anastomose ini beragam.
Kebocoran anastomosis ringan menimbulkan gejala peningkatan suhu tubuh,
terdapat infiltrat atau abses rongga pelvik, kebocoran berat dapat terjadi demam
tinggi, pelvioperitonitis atau peritonitis umum , sepsis dan kematian. Apabila
dijumpai tanda-tanda dini kebocoran, segera dibuat kolostomi di segmen
proksimal.

24
2. Stenosis
Stenosis yang terjadi pasca operasi dapat disebabkan oleh gangguan
penyembuhan luka di daerah anastomose, infeksi yang menyebabkan
terbentuknya jaringan fibrosis, serta prosedur bedah yang dipergunakan.
Stenosis sirkuler biasanya disebabkan komplikasi prosedur Swenson atau
Rehbein, stenosis posterior berbentuk oval akibat prosedur Duhamel sedangkan
bila stenosis memanjang biasanya akibat prosedur Soave. Manifestasi yang
terjadi dapat berupa gangguan defekasi yaitu kecipirit, distensi abdomen,
enterokolitis hingga fistula perianal. Tindakan yang dapat dilakukan bervariasi,
tergantung penyebab stenosis, mulai dari businasi hingga sfingterektomi
posterior.
3. Enterokolitis
Enterokolitis merupakan komplikasi yang paling berbahaya, dan dapat
berakibat kematian. Swenson mencatat angka 16,4% dan kematian akibat
enterokolitis mencapai 1,2%. Kartono mendapatkan angka 14,5% dan 18,5%
masing-masing untuk prosedur Duhamel modifikasi dan Swenson. Sedangkan
angka kematiannya adalah 3,1% untuk prosedur Swenson dan 4,8% untuk
prosedur Duhamel modifikasi. Tindakan yang dapat dilakukan pada penderita
dengan tanda-tanda enterokolitis adalah
a. Segera melakukan resusitasi cairan dan elektrolit,
b. Pemasangan pipa rektal untuk dekompresi,
c. Melakukan wash out dengan cairan fisiologis 2-3 kali perhari
d. Pemberian antibiotika yang tepat.
Sedangkan untuk koreksi bedahnya tergantung penyebab/prosedur operasi
yang telah dikerjakan. Businasi pada stenosis, sfingterotomi posterior untuk
spasme spingter ani, dapat juga dilakukan reseksi ulang stenosis. Prosedur
Swenson biasanya disebabkan spinkter ani terlalu ketat sehingga perlu
spinkterektomi posterior. Sedangkan pada prosedur Duhamel modifikasi,
penyebab enterokolitis biasanya adalah pemotongan septum yang tidak
sempurna sehingga perlu dilakukan pemotongan ulang yang lebih panjang.
Enterokolitis dapat terjadi pada semua prosedur tetapi lebih kecil pada
pasien dengan endorektal pullthrough. Enterokolitis merupakan penyebab
kecacatan dan kematian pada megakolon kongenital, mekanisme timbulnya
enterokolitis menurut Swenson adalah karena obtruksi parsial. Obtruksi usus
25
pasca bedah disebabkan oleh stenosis anastomosis, sfingter ani dan kolon
aganlionik yang tersisa masih spastik. Manifestasi klinis enterokolitis berupa
distensi abdomen diikuti tanda obtruksi seperti muntah hijau atau fekal dan feses
keluar eksplosif cair dan berbau busuk. Enterokolitis nekrotikan merupakan
komplikasi paling parah karena terjadi nekrosis, infeksi dan perforasi. Hal yang
sulit pada megakolon kongenital adalah terdapatnya gangguan defekasi pasca
pullthrough, kadang ahli bedah dihadapkan pada konstipasi persisten dan
enterokolitis berulang pasca bedah.

4. Gangguan Fungsi Sphingter


Hingga saat ini, belum ada suatu parameter atau skala yang diterima
universal untuk menilai fungsi anorektal ini. Fecal soiling (kecepirit) merupakan
parameter yang sering dipakai peneliti terdahulu untuk menilai fungsi anorektal
pasca operasi, meskipun secara teoritis tersebut tidaklah sama. Kecipirit adalah
suatu keadaan keluarnya feces lewat anus tanpa dapat dikendalikan oleh
penderita, keluarnya sedikit-sedikit dan sering. Untuk menilai kecipirit, umur
dan lamanya pasca operasi sangatlah menentukan, Swenson memperoleh angka
13,3% terjadinya kecipirit, sedangkan Kleinhaus justru lebih rendah yakni 3,2%
dengan prosedur yang sama. Kartono mendapatkan angka 1,6% untuk prosedur
Swenson dan 0% untuk prosedur Duhamel modifikasi. Sedangkan prosedur
Rehbein juga memberikan angka 0%. Pembedahan dikatakan berhasil bila
penderita dapat defekasi teratur dan kontinen.

2.3.10 Prognosis
Secara umum prognosisnya baik jika gejala obstruksi segera diatasi, 90% pasien
dengan penyakit hirschprung yang mendapat tindakan pembedahan mengalami
penyembuhan dan hanya sekitar 10% pasien yang masih mempunyai masalah dengan
saluran cernanya sehingga harus dilakukan kolostomi permanen. Angka kematian
akibat komplikasi dari tindakan pembedahan pada bayi sekitar 20%.

BAB III
KESIMPULAN
Hirschsprung Disease (HD) adalah kelainan kongenital dimana tidak

26
dijumpai pleksus aurbach dan pleksus meisneri pada kolon. Dasar patofisiologi
karena tidak adanya gelombang propulsive dan abnormalitas atau hilangnya
relaksasi dari sphincter anus internus yang disebabkan aganglionosis,
hipoganglionosis atau disganglionosis pada usus besar.
Hirschsprung dikategorikan berdasarkan seberapa banyak colon yang
terkena meliputi:Ultra short segment, Short segment, Long segment, Very longs
segment. Gejala kardinalnya yaitu gagalnya pasase mekonium pada 24 jam
pertama kehidupan, distensi abdomen dan muntah. Pemeriksaan penunjang
diantaranya Barium enema, Anorectal manometry dan Biopsy rectal sebagai
gold standard. Tatalaksana operatif dengan cara tindakan bedah sementara dan
bedah definitive (Prosedur Swenson, Duhamel, Soave dan Rehbein). Komplikasi
utama adalah enterokolitis post operatif, konstipasi dan striktur anastomosis.
Prognosis baik. Umumnya, dalam 10 tahun follow up lebih dari 90% pasien yang
mendapat tindakan pembedahan mengalami penyembuhan.

DAFTAR PUSTAKA

27
Alehossein, Mehdi., Ahad Roohi, Masoud Pourgholami, et al. 2015. Diagnostic Accuracy of
Radiologic Scoring System for Evaluation of Suspicious Hirschsprung Disease in
Children. Tehran University of Medical Sciences; Iran.
Kartono, Darmawan, 2004. Penyakit Hirschsprung.. Jakarta : Sagung Seto, 3-82.
KA Sari. 2011. Penyakit Hirschsprung. Medan: Universitas Sumatra Utara.
Medscape. 2018. Hirschsprung Disease. Diakses Tanggal 05 Januari 2019
[https://emedicine.medscape.com/article/409150-overview]
Pratap, Akhshay., Davendra A. Gupta, Aadesh Tiwari, et al. 2007. Application of a Plain
Abdominal Radiograph Transisition Zone (PARTZ) in Hirschsprung Disease. BMC
Pediatric.
Urban, Fischer. 2007. Atlas of Human Anatomy Sobotta.

28

Anda mungkin juga menyukai