Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN KASUS

SINDROM NEFROTIK
DAN GIZI BAIK

Oleh:
dr. Bobiet Rian Siggit

Pembimbing :
dr. I Made Darma Yuda, M Biomed. Sp.A

0
I. Identitas
a. Identitas penderita
Nama : An. TP
Usia saat dijadikan kasus : 8 tahun
Tanggal lahir : 12 februari 2009
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Indonesia
Masuk rumah sakit : 4 Agustus 2017 pukul 19.25 WITA
Mulai dijadikan kasus : 4 Agustus 2017
Nomor rekam medis : 30 -03-95
b. Identitas orangtua
Ayah Ibu
Nama AD KJ
Usia 40 tahun 39 tahun
Pendidikan SMA SMA
Pekerjaan Petani Petani

II. Anamnesis (Subyektif)


Heteroanamnesis diperoleh dari orangtua penderita.
1. Riwayat penyakit sekarang
Keluhan utama: bengkak pada kelopak mata
Penderita datang dengan keluhan bengkak pada kelopak mata sejak 2
hari sebelum masuk rumah sakit (MRS). Bengkak muncul pada kedua
kelopak mata, semakin memberat sehingga penderita kesulitan membuka
mata. Bengkak pada kelopak mata dikatakan muncul terutama pagi hari
saat bangun tidur kemudian membaik pada siang dan sore hari.
Bengkak juga dikatakan timbul pada kedua tungkai bawah 1 hari
sebelum MRS, bengkak bertambah saat penderita berdiri atau
beraktifitas. Tungkai yang bengkak tersebut jika ditekan akan tampak
seperti cekungan pada kulit yang kembali lambat. Bengkak pada tungkai
dikatakan mengganggu aktifitas sehari-hari penderita.

1
Perut membesar sejak 1 hari sebelum MRS. Perut membesar tidak
membaik dengan pemberian obat oles pada perut. Keluhan perut
membesar tidak disertai rasa nyeri.
Penderita juga dikeluhkan demam dan sakit tengorokan tiga hari
sebelum MRS. tidak disertai mual dan muntah
Keluhan kencing sering dan sedikit-sedikit, tidak bisa menahan
kencing, ngompol, nyeri pinggang, nyeri saat kencing, maupun nyeri
perut bagian bawah disangkal.
Makan dan minum penderita dikatakan seperti biasa. Buang air
besar (BAB) saat ini tidak ada keluhan. Buang air kecil (BAK) dikatakan
seperti biasa dengan frekuensi sekitar 4 kali sehari, volume kencing ½
gelas/kali, berwarna kuning, serta tidak ada warna kemerahan seperti
cucian daging.
2. Riwayat penyakit dan pengobatan sebelumnya
Keluhan bengkak pada kelopak mata, wajah, perut, dan tungkai
merupakan keluhan yang pertama kali dialami penderita. Penderita
belom pernah berobat untuk penyakitnya.
Penderita dikatakan tidak pernah mengkonsumsi obat-obatan
sebelumnya, tidak mengalami keluhan batuk lama, demam lama, infeksi
gigi, radang telinga, maupun kecacingan.
3. Riwayat kesehatan keluarga
Riwayat keluarga dengan keluhan bengkak pada seluruh tubuh, kencing
kemerahan, dan memiliki penyakit ginjal disangkal. Riwayat tekanan
darah tinggi juga di sangkal.
4. Riwayat pribadi atau sosial
a. Riwayat kehamilan
Penderita merupakan anak pertama dari kehamilan pertama. Riwayat
keguguran sebelumnya disangkal. Ibu penderita selama hamil
melakukan kontrol kehamilan rutin di bidan dan dikatakan tidak ada
kelainan. Ibu penderita tidak pernah mengonsumsi obat-obatan, jamu-
jamuan tertentu, hanya meminum tablet vitamin penambah darah yang
diberikan bidan, tidak pernah menderita sakit selama hamil, tidak

2
mengkonsumsi alkohol dan merokok. Usia ibu saat hamil dan
melahirkan adalah 29 tahun. Ibu penderita tidak pernah melakukan
pemeriksaan rontgen selama kehamilan.
Kesan: riwayat kehamilan ibu normal.
b. Riwayat persalinan
Penderita lahir spontan ditolong oleh bidan, cukup bulan, segera
menangis. Berat lahir 3100 gram, panjang badan 50 cm dan lingkar
kepala dikatakan lupa.
Kesan: tidak ada masalah saat persalinan.
c. Riwayat pasca-lahir
Penderita dikatakan dalam keadaan sehat sejak lahir, tidak pernah
dirawat di rumah sakit karena kuning, sesak napas ataupun sakit berat
hingga harus dirawat inap di rumah sakit.
Kesan: riwayat pasca-lahir normal.
d. Riwayat makanan
Penderita mendapatkan ASI selama 24 bulan dengan frekuensi on
demand. Penderita tidak pernah diberikan susu formula. Bubur susu
diberikan sejak usia enam bulan, nasi tim sejak usia sembilan bulan dan
makanan dewasa sejak usia 12 bulan dengan frekuensi tiga kali sehari.
Makanan yang dikonsumsi sebelum masuk rumah sakit adalah nasi tiga
kali satu porsi dengan tempe dan sayur bayam ditambah selingan buah
atau cemilan. Total asupan kalori selama 24 jam sekitar 2100 kkal/hari
dan protein 28,35 gram/hari.
Kesan: riwayat asupan makanan sesuai kebutuhan.
e. Riwayat tumbuh kembang
Penderita bisa mengangkat kepala pada usia tiga bulan, membalikkan
badan pada usia empat bulan, duduk tanpa ditopang pada usia tujuh
bulan, merangkak pada usia delapan bulan, berdiri pada usia 11 bulan,
berjalan tanpa pegangan pada usia 14 bulan dan berbicara pada usia 18
bulan. Tinggi badan penderita sesuai dengan usia sebayanya.
Perkembangan penderita dikatakan baik sesuai dengan teman sebayanya.
Penderita saat ini duduk di kelas 2 SD. Penderita memiliki banyak teman

3
dan dapat bermain dengan teman sebayanya di lingkungan rumah
dengan baik. Prestasi belajar di sekolah dikatakan baik.
Kesan: tumbuh kembang penderita baik.
f. Riwayat imunisasi
Riwayat imunisasi BCG satu kali, polio empat kali, hepatitis B empat
kali, DPT tiga kali, campak usia sembilan bulan. Penderita mendapatkan
imunisasi campak dan DT di sekolah sebanyak sekali, yaitu saat kelas 1
SD. Mendapat imunisasi Td pada kelas 2.
Kesan: riwayat imunisasi lengkap berdasarkan imunisasi dasar
KEMENKES.
g. Riwayat kebutuhan dasar anak
Asuh : kebutuhan penderita akan sandang, pangan, dan papan cukup.
Penderita makan nasi, lauk-pauk, dan sayur-mayur tiga kali
sehari ditambah dengan makanan selingan seperti buah atau
cemilan. Penderita selalu dibawa ke Puskesmas bila sakit.
Ayah dan ibu penderita saat ini bekerja sebagai petani.
Penghasilan ayah dan ibu dikatakan cukup untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari
Asih : penderita merupakan anak tunggal dan orangtua sangat
menyayangi penderita. Perhatian diberikan dengan baik oleh
orangtuanya. Keluarga tidak pernah menggunakan
kekerasan, baik fisis maupun verbal pada penderita.
Asah : penderita sejak kecil ditemani dan diajari oleh orangtuanya.
Penderita saat ini duduk di kelas 2 SD. Pergaulan sehari-hari
dengan teman sebaya dikatakan baik.
Kesan : riwayat kebutuhan dasar anak tercukupi.
h. Keadaan sosial ekonomi dan lingkungan keluarga
Penderita tinggal bersama kedua orangtua dalam satu bangunan rumah
permanen yang terletak di pedesaan. Halaman rumah tidak begitu luas,
lingkungan rumah cukup bersih, dan ventilasi rumah cukup baik. Rumah
penderita terdiri dari dua kamar dengan ukuran 3 kali 3 meter yang
ditempati oleh penderita dan orangtua. Penghasilan ayah dan ibu

4
penderita tidak tetap dalam sebulan dengan pendapatan rata-rata 1.5-2
juta per bulan, dikatakan cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Sumber air sehari-hari berasal dari air sumur dan sumber penerangan
dari PLN. Hubungan anggota keluarga dengan tetangga baik. Saat ini
penderita menggunakan jaminan kesehatan.
Kesan: keadaan sosial ekonomi keluarga menengah kebawah, keadaan
lingkungan cukup bersih.

III. Pemeriksaan Fisis (Obyektif) saat dijadikan kasus (10 April 2017)
a. Status present
Kesadaran : Kompos mentis (E4V5M6)
Tekanan darah :100/70 mmHg (P50 98/59;
P90 112/73; P95 116/78;
P99 123/86)
Laju nadi : 80 kali/menit, teratur, isi cukup
Laju napas : 20 kali/menit, teratur
Suhu aksila : 37ºC
Skala nyeri (numeric pain scale) :2
Skor risiko jatuh (humpty-dumpty) : 10 (risiko rendah jatuh)
b. Status general
Kepala : bentuk normal, lingkar kepala normal, rambut hitam,
kokoh, dan tidak mudah dicabut.
Wajah : tidak tampak ada fasies sindrom tertentu, tampak
moon face.
Mata : udem palpebra kanan dan kiri, konjungtiva pucat
tidak ada, sklera tidak ikterik, celah kelopak mata
kanan dan kiri menyempit, kedua pupil bulat diameter
3 mm, refleks cahaya kedua pupil normal dan isokor,
tidak ada deviation conjugee maupun strabismus.
Telinga : tidak ada kelainan bentuk, tidak ada sekret, membran
timpani intak.

5
Hidung : tidak ada deviasi septum, tidak ada napas cuping
hidung, tidak ada sianosis, mukosa tidak hiperemi,
tidak ada sekret, dan tidak ada perdarahan.
Tenggorok : faring hiperemi, tonsil tidak membesar dan hiperemi.
Mulut : tidak tampak pucat, sianosis tidak ada, perdarahan
gusi tidak ada, celah palatum tidak ada, caries dentis
tidak ada
Leher : leher kanan dan kiri tidak teraba pembesaran kelenjar
getah bening.
Dada :
Jantung :
Inspeksi : tidak tampak adanya precordial bulging, iktus kordis
dan denyut epigastrium tidak tampak.
Palpasi : iktus kordis teraba di sela iga ke-4 pada perpotongan
dengan garis midklavikula kiri, tidak kuat angkat,
tidak teraba thrill, tidak teraba adanya left ventricle
impuls dan right ventricle heave.
Auskultasi : suara jantung I dan II normal, M1>T1 dan A2>P2,
tidak ada bising jantung.
Paru :
Inspeksi : bentuk normal, simetris saat diam maupun bergerak,
retraksi dinding dada tidak ada, tak tampak iga
gambang.
Palpasi : gerakan dada simetris.
Auskultasi : suara napas vesikuler kanan dan kiri, tidak ada rales
maupun wheezing.
Abdomen :
Inspeksi : distensi tidak ada, tidak tampak pelebaran pembuluh
darah.
Auskultasi : suara bising usus normal.
Palpasi : tidak ada nyeri tekan, tidak ada tahanan otot perut,
hepar dan limpa sulit tidak teraba, pemeriksaan

6
ballottement negatif, lingkar perut 56 cm kesan
membesar.
Perkusi : tes redup berpindah positif, tes undulasi positif, nyeri
ketok sudut kostovertebral tidak ada.
Anggota gerak :
Inspeksi : tidak tampak udem pada ekstremitas atas, tampak
udem pada pretibia kanan dan kiri, tidak ada sianosis,
tidak ada jari tabuh, tidak terlihat pucat, tidak tampak
adanya deformitas tulang.
Palpasi : terdapat udem pitting pretibia dan punggung kaki
kanan dan kiri, akral teraba hangat, tidak ada nyeri
tekan pada sendi maupun tulang panjang dan sendi
tidak lebih hangat dibanding kulit sekitarnya,
capillary refill time <2 detik, tidak ada pembesaran
kelenjar getah bening aksila dan inguinal.
Kulit : kulit teraba hangat, tidak pucat, tidak tampak ikterus,
tidak ditemukan petekie, tidak ditemukan purpura.

Pemeriksaan neurologis pada keempat ekstremitas atas dan bawah:


Ekstremitas atas Ekstremitas bawah
Tenaga 555 555
Tonus Normal Normal
Tropik Normal Normal
Refleks fisiologis Normal Normal
Refleks patologis Tidak ada Tidak ada

c. Status pubertas
Pubis : tidak didapatkan rambut pubis.
Sesuai dengan G1 P1 (tanner tahap 1).
d. Status antropometri (kurva CDC 2000)
Berat badan (BB), BB/U : 21 kg, P10 (normal)
Tinggi badan (TB), TB/U : 120 cm, P10 (normal)

7
BB/TB : P25-P50 (normal)
Indeks Masa Tubuh (IMT), IMT/U : 14,5 kg/m2, P10- P25 (normal)
Berat badan ideal (BBI) : 22 kg
LILA standar : 21 cm
TB ayah : 156 cm
TB ibu : 157 cm
Potensi tinggi genetik : 154.5 – 171.5 cm (penderita saat ini
masih dalam rentang potensi tinggi
genetik)

e. Status perkembangan
Skor Pediatrics Quality of Life (PedsQL) versi 4 berdasarkan laporan
orangtua penderita didapatkan nilai 75,15%, dan menurut laporan anak
75,62%, Kesan kualitas hidup penderita saat ini terganggu.
Pemeriksaan Pediatric Symptom Checklist (PSC 17) didapatkan nilai
internalisasi 2, nilai ekternalisasi 1, nilai perhatian 0 dengan total nilai
keseluruhan 3. Kesan saat ini tidak ada gangguan perilaku.
f. Pemeriksaan penunjang
Hasil pemeriksaan penujang urinalisis pada tanggal 5 agustus 2017:
makroskopis: warna kuning; pH 7; leukosit negatif; nitrit negatif; protein
positif (+3); glukosa normal; keton negatif; bilirubin negatif; eritrosit
positif (-), mikroskopis: leukosit sedimen 1-2/Lp; eritrosit sedimen 1-2/Lp;
silinder granula (2-4/lp). Pemeriksaan profil lipid: kolesterol total 210
mg/dL; trigliserida 201 mg/dL;, albumin 2,4 g/dL. Pemeriksaan fungsi
ginjal :BUN :51 mg/dL; kreatinin 0,5 mg/dL,.

IV. Resume
Penderita lelaki usia 8 tahun datang ke IGD RSUD DOMPU 8 Agustus
2017 dengan keluhan bengkak pada mata sejak 2 hari sebelum MRS,
bengkak pada tungkai bawah sejak 1 hari sebelum MRS, dan demam dan
sakit pada tenggorokan 3 hari sebelum MRS. Pemeriksaan fisis didapatkan
udem pada kedua palpebra dan pretibia kanan dan kiri. Pemeriksaan

8
penunjang urinalisis ditemukan proteinuria positif 3, hipoalbuminemia,
hiperkolesterolemia, dan Pemeriksaan fungsi ginjal dalam batas normal.

V. Diagnosis Kerja
Sindrom Nefrotik + tonsilofaringitis + Gizi Baik

VI. Permasalahan
a. Saat ini:
1. Diagnosis
Saat ini tidak ada permasalahan diagnosis pada penderita, karena
diagnosis sindrom nefrotik sudah ditegakkan melalui pemeriksaan
klinis dan pemeriksaan penunjang seperti urin lengkap, pemeriksaan
profil lipid, pemeriksaan albumin.
2. Tatalaksana
a. Tatalaksana pasien dengan sindrom nefrotik
3. Prognosis
a. Respon terapi inisial steroid pada kasus ini
b. Kualitas hidup penderita sindrom nefrotik
c. Jangka panjang:
1. Kemungkinan terjadinya remisi, resisten steroid dan relaps.
2. Komplikasi penyakit sindrom nefrotik
3. Efek samping pengobatan kortikosteroid
4. Potensi gangguan tumbuh kembang
5. Risiko penurunan kualitas hidup dan penanganan dampak
psikologis anak dan orangtua.
Beberapa permasalahan yang ada dilakukan penelusuran jurnal
berdasarkan evindence based practice.

9
VII. Rencana Pengelolaan (Planning)
1. Rencana terapi medikamentosa
a. Tata laksana kegawat-daruratan
Saat tidak ada kegawatdaruratan pada penderita.
b. Rencana pemeriksaan penunjang diagnosis
1. Penderita direncanakan untuk pemeriksaan C3 komplemen.
2. Urin lengkap setiap hari untuk pemantauan proteinuria masif.
c. Tatalaksana saat ini
1) Penatalaksanaan cairan
 Ifvd d5 ¼ ns 10 ttpm
2) Penatalaksaan kortikosteroid
Penderita direncanakan untuk diberikan metiprednisolon dosis
penuh (full dose) 36 mg/hari selama 4 minggu pertama untuk
menginduksi remisi. Bila terjadi remisi dalam 4 minggu
pertama, dilanjutkan dengan 4 minggu kedua dengan dosis 24
mg (2/3 dosis awal) secara alternating (selang sehari), 1 kali
sehari setelah makan pagi. Bila setelah 4 minggu pengobatan
steroid dosis penuh, tidak terjadi remisi, pasien dinyatakan
sebagai sindrom nefrotik resisten steroid (SNRS).
Penatalaksanaan oedem
 Diberikan obat diuretic golongan diuretic loop furosemide 1-
3 mg/kgbb/ hari yaitu furosemide 2 x 10 mg.
 Diberikan diuretik hemat kalium , spironolakton 1-3
mg/kgbb/hari 2 x 12,5 mg
3) Penatalaksanaan antipiretik
 Paracetamol 3x 250mg
4) Penatalaksanaan suportif
 Multivitamin 2x 1cth
5) Penatalaksanaan antibiotic
 inj ceftriaxone 2 x500 mg

10
6) Penatalaksanaan anti proteinuria
- Obat antiproteinuria yang diberikan kaptopril dosis 0,3-0,5
mg/kg/kali, pada pasien ini dengan dosis 12,5 mg setiap 12
jam.
- Terapi non-farmakologis yang diberikan berupa diet rendah
garam 1-2 gram/hari.

2. Asuhan nutrisi pediatrik


a. Nutritional assessment: pemeriksaan antropometri penderita dengan
status gizi baik. Berdasarkan food recall penderita sebelum sakit
sesuai recommended dietary allowance (RDA).
b. Nutritional requirement: kebutuhan kalori sesuai dengan RDA.
Kebutuhan kalori yang diberikan adalah 70 kkal/kg/hari, yaitu 2100
kkal/hari dengan protein 1,5 g/kg/hari ~ 45 gram/hari. Kebutuhan
cairan 1730 ml/hari. Diet rendah garam 1-2 g/hari. Lemak kurang
dari 30% kalori total (420 kkal/hari), diet rendah kolesterol kurang
dari 200 mg/hari.
c. Nutritional route: per-oral.
d. Nutritional selection: diberikan dalam bentuk nasi 3 kali sehari 1
porsi, makanan selingan berupa snack dan buah 2 kali sehari 1 porsi.
e. Nutritional monitoring: dilakukan pemantauan asupan, toleransi,
akurasi, berat badan setiap hari, dan lingkar lengan atas.
3. Rencana pemantauan
Penderita dengan sindrom nefrotik dengan hipertensi derajat 2, diberikan
terapi inisial dengan prednison dosis penuh dan antihipertensi. Penderita
memerlukan pemantauan efektivitas terhadap terapi yang diberikan dan
efek samping pengobatan :
a. Efektivitas terapi yang diberikan seperti udem berkurang dinilai dari
penurunan berat badan, keluhan kencing berbuih tidak ada, dan
tekanan darah terkontrol kurang dari P 90.

11
b. Efek samping pengobatan kortikosteroid meliputi gangguan
pertumbuhan, diabetes, hipertensi, osteoporosis, supresi renal,
hipertofi gusi, leukopenia, maupun trombositopenia.
4. Pemberian komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) dan rencana
pemantauan jangka panjang
- Edukasi kepada orangtua mengenai diagnosis penderita, perjalanan
penyakit, terapi jangka panjang, komplikasi yang mungkin timbul
akibat terapi tersebut dan prognosis penderita. Orangtua juga
diminta untuk membantu mengawasi keteraturan minum obat dan
penjelasan untuk tidak menghentikan obat secara sepihak dan tidak
memberikan diet yang tidak dianjurkan, informasi ini penting untuk
menjamin kepatuhan pasien selama proses pemantauan dan juga
dalam hal ketaatan pasien minum obat setelah rawat jalan.
- Komunikasi yang informatif dan edukatif (KIE) mengenai dampak
psikologis anak dan orangtua perlu dilakukan berkesinambungan
dan bekerja sama dengan psikiater dan psikolog apabila diperlukan.

12
VIII. Follow up

Pemeriksaan Tangga
5/08/17 6/08/17 7/08/16 8/08/17 9/8/2016
S Kelopak mata, Kelopak mata Bengkak pada Bengkak pada Bengkak pada
perut, dan bengkak mata,perut dan mata,perut mata,perut
Keluhan tungkai menurun , perut kaki menurun kembung (+) kembung (+)
bengkak dan tungkai dan kaki berkurang dan kaki
bengkak menurun menurun
O KU Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang
Kesadaran Composmentis Composmentis Composmentis Composmentis Composmentis

Tanda HR 80x/m HR 100x/m HR 100x/m HR 100x/m HR 115x/m


Vital RR 20x/m RR 24x/m RR 24x/m RR 24x/m RR 26x/m
Suhu 37 C Suhu 37 C Suhu 37, C Suhu 37 C Suhu 36,2 C
Td 100/70 Td 100/70 Td 100/70 mmhg Td 140/100 Td 120/80 mmhg
mmhg mmhg mmhg
Kepala Normochepale Normochepale Normochepale Normochepale Normochepale
Mata SI -/- CA -/- SI -/- CA -/- SI -/- CA -/- SI -/- CA -/- SI -/- CA -/-
edema palpebra edema palpebra edema palpebra edema palpebra edema palpebra +/+
+/+ +/+ +/+ +/+ (berkurang)
(berkurang) (berkurang)
THT Dbn Dbn dbn Dbn Dbn
Thorax SSD, retraksi - SSD, retraksi - SSD, retraksi - SSD, retraksi - SSD, retraksi -

Cor S1S2 reguler, S1S2 reguler, S1S2 reguler, S1S2 reguler, S1S2 reguler,
Murmur -/- Murmur -/- Murmur -/- Murmur -/- Murmur -/-
Gallop -/- Gallop -/- Gallop -/- Gallop -/- Gallop -/-
Pulmo Vesikuler -/- Vesikuler -/- Vesikuler -/- Vesikuler -/- Vesikuler -/-
Rhonki -/- Rhonki -/- Rhonki -/- Rhonki -/- Rhonki -/-
Wheezing -/- Wheezing -/- Wheezing -/- Wheezing -/- Wheezing -/-
Abdomen BU +, BU +, cembung BU +, cembung BU +, cembung BU +, cembung
cembung, Perkusi : redup Perkusi : redup Perkusi : redup Perkusi : redup
Perkusi : redup Shifting dullness Lingkar perut : Lingkar perut : 56

13
Shifting (+/+) 57 cm cm
dullness (+/+)
Extremitas Akral Hangat Akral Hangat Akral Hangat Akral Hangat Akral Hangat
CRT <2, edema CRT <2, edema CRT <2, edema CRT <2, edema CRT <2, edema
pretibial +/+ pretibial +/+ pretibial +/+ pretibial +/+ pretibial +/+
(berkurang) (berkurang) (berkurang)
BB : 21 kg BB : 21kg BB :22 kg BB : 21 kg BB : 21 kg
Protein +++ Protein++
A Sindrom Sindrom Sindrom Nefrotik Sindrom Sindrom Nefrotik +
Nefrotik + Nefrotik + + tonsilofaringitis Nefrotik + tonsilofaringitis
tonsilofaringitis tonsilofaringitis akut tonsilofaringitis akut
akut akut akut
P -Bed Rest -Bed Rest -Bed Rest -Bed Rest -Bed Rest
-ivfd d51/4 ns -ivfd d51/4 ns 10 -ivfd d51/4 ns 10 -ivfd d51/4 ns -ivfd d51/4 ns 10
10 ttpm mikro ttpm mikro ttpm mikro 10 ttpm mikro ttpm mikro
-paracetamol -paracetamol syr -paracetamol syr -paracetamol syr -paracetamol syr 3
syr 3 x 250 mg 3 x 250 mg 3 x 250 mg 3 x 250 mg x 250 mg
-inj ceftriaxone -inj ceftriaxone 2 -inj ceftriaxone 2 -inj ceftriaxone -inj ceftriaxone 2 x
2 x 500mg x 500mg x 500mg 2 x 500mg 500mg
- cek albm, ul, - -metylprednisolon - -metylprednisolon
profile lipid metylprednisolo 3x 12 mg metylprednisolo 3x 12 mg
-bila td n 3x 12 mg -multivitamin 2x n 3x 12 mg -multivitamin 2x
>140/110 hub -multivitamin 2x cth -multivitamin cth
dr jaga cth -ranitidine 2x 2x cth -ranitidine 2x 50mg
-jika mual 50mg -ranitidine 2x -furosemide tab
ranitidine 2x -captopril 12,5 mg 50mg 2x10 mg
50mg 3 x1/2 tab -furosemide tab -spironolakton
2x10 mg 2x12,5 mg
-spironolakton -captopril12,5 mg 3
2x12,5 mg x ½ tab
-captopril12,5 -cek tekanan darah
mg 3 x ½ tab pagi sore
-cek tekanan
darah pagi sore

14
15
IX. Prognosis
Ad vitam : dubius ad bonam.
Penderita datang dengan kondisi tidak ditemukan tanda
kegawatan seperti renjatan dan krisis hipertensi.
Ad functionam : dubius ad bonam.
Penderita dengan fungsi ginjal (laju filtrasi glomerolus)
dalam batas normal, perjalan penyakit menunjukan
edema membaik dan hipertensi terkontrol dengan obat.
Ad sanactionam : dubius ad bonam
Sindrom nefrotik kelainan minimal memiliki sensitif
steroid yang lebih besar

16
X. SKEMA PERJALANAN PENYAKIT

X.
1 Agustus 2017 2 Agustus 2017 4 Agustus 2017
XI. bengkak pada
Timbul Timbul bengkak pada Pasien berobat ke
kedua kelopak mata, kedua tungkai dan igd rsud dompu
XII.
semakin hari semakin perut.
XIII.
bertambah berat sehingga
penderia kesulitan
XIV.
membuka mata.
XV.
XVI.
XVII.

17
XI. Skema Analisis Kasus

Penderita
Faktor
risiko

berusia 8 Sekunder
Primer/Idiopatik tahun

Sindrom Nefrotik
Masalah

Demam
Diagnostik

Anamnesis: bengkak pada Pemeriksaan Fisis: edema Laboratorium: proteinuria +3,


kedua kelopak dan bengkak palpebra, edema pretibia hipoalbuminemia,
kedua tungkai bawah hiperkolesterolemia

Jurnal 2, Level of evidence 2b,


metilPrednisolon full dose grade of recommendation B Terapi
Terapi

36 mg/kg/hari selama 4 suportif


minggu
Jurnal 3, Level of evidence 2b,
grade of recommendation B Imbang cairan Hipertensi Nutrisi Asah, Asih, Asuh
Prognosis

Jurnal 1, Level of evidence 2b, grade of recommendation B Ad vitam dan ad Tumbuh


functionam: dubius
ad bonam, ad
kembang
Jurnal 4, Level of evidence 2b, grade of recommendation B sanactionam: dubia optimal 18
bonam
XII. Analisis Kasus
Sindrom nefrotik (SN) merupakan penyakit ginjal terbanyak pada anak. Sindrom
nefrotik adalah sindroma klinis yang ditandai dengan proteinuria masif (>40
mg/m2 LPB/jam atau rasio protein/kreatinin sewaktu >2 mg/mg, atau dipstik ≥2+),
hipoalbuminemia (<2,5 g/dL), udem, dan hiperkolesterolemia (>200 mg/dL).1,2
Pada SN terjadi gangguan pada membran basal glomerolus yang mengakibatkan
terjadinya kebocoran protein plasma pada urin. Sindrom nefrotik 15 kali lebih
sering ditemukan pada anak jika dibandingkan dengan dewasa. Insiden sindrom
nefrotik di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000 per-tahun pada anak berusia
kurang dari 14 tahun. Perbandingan lelaki dan perempuan adalah 2:1. Penderita
sindrom nefrotik biasanya datang dengan keluhan udem palpebra atau pretibia.1,3
Kasus yang berat disertai asites, efusi pleura, dan udem genitalia. Gejala dapat
juga disertai oliguria dan gejala infeksi, napsu makan berkurang, dan diare.
Peritonitis harus diwaspadai apabila penderita mengeluhkan nyeri perut.1 Pada
kasus, penderita lelaki usia 8 tahun datang dengan udem pada kedua kelopak mata
dan kedua tungkai bawah. Pemeriksaan laboratorium didapatkan adanya
proteinuria masif (+3), hipoalbuminemia (2,4 g/dL), hiperkolesterolemia (210
mg/dL).
Etiologi sindrom nefrotik dibagi menjadi 3 yaitu kongenital,
primer/idiopatik, dan sekunder. Sindrom nefrotik primer menunjukkan bahwa
penyakit terbatas pada ginjal dan umumnya penyebabnya tidak diketahui dengan
pasti (idiopatik). Sindrom nefrotik sekunder terjadi apabila terdapat manifestasi
penyakit sistemik di luar ginjal atau terdapat penyebab yang spesifik misalnya
sindrom nefrotik dengan dasar penyakit lupus eritematosus sistemik, purpura
Henoch Schonlein, dan lain-lain.1Pada kasus ini, keluhan penderita dengan
udem. Selain gejala tersebut berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang tidak didapatkan manifestasi klinis khas dari suatu
penyakit sistemik lainnya di luar ginjal yang mendasari sindrom nefrotik pada
kasus ini. Berdasarkan data yang terkumpul maka kemungkinan besar kasus ini
adalah suatu sindrom nefrotik primer/idiopatik.
Sindrom nefrotik idiopatik berdasarkan gambaran histopatologis dibagi
menjadi sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM) dan sindrom nefrotik

19
kelainan non-minimal (SNKNM).2 Kelainan patologi yang terjadi pada kasus
sindrom nefrotik dapat diketahui bila dilakukan biopsi ginjal. Bentuk tersering
SNKNM pada anak adalah glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS), diikuti
dengan glomerulonefritis membranoproliferatif (GNMP), mesangial proliferative
difus (MPD), dan nefropati membranosa (GNM).4 Glomerulosklerosis fokal
segmental terjadi jaringan parut yang progresif pada glomerulus, awalnya fokal
kemudian berkembang sampai beberapa segmen dari glomerulus. Gambaran klinis
pada GSFS adalah adanya proteinuria masif (>1 gram), hipoalbuminemia,
hiperkolesterolemia, udem perifer. Glomerulosklerosis fokal segmental
merupakan penyebab tersering lesi non-minimal pada anak dengan sindrom
nefrotik mencapai 20%, dengan insidens 7 per-1 juta anak.5 Pada anak, 80 % SN
idiopatik mempunyai gambaran patologi anatomi kelainan minimal, 22 % SNKM
ditemukan dengan hematuria mikroskopis, 15-20 % dengan hipertensi dan 32 %
dengan peningkatan kadar kreatinin dan ureum darah yang bersifat sementara.
Indikasi melakukan biopsi ginjal antara lain awitan sindrom nefrotik pada usia <1
tahun atau >16 tahun, hematuria nyata, hematuria mikroskopik persisten, kadar
komplemen C3 serum yang rendah, hipertensi yang menetap, penurunan fungsi
ginjal yang tidak disebabkan oleh hipovolemia, serta tersangka sindrom nefrotik
sekunder, dan bila setelah pengobatan inisial penderita resisten steroid dan
sebelum memulai terapi siklosporin.1,2 Pada kasus, penderita didapatkan
proterinuria masif, hipoalbuminemia, hiperkolesterolemia, udem,. Penderita
kemungkinan termasuk dalam SNKNM.
Penderita sindrom nefrotik yang baru pertama kali terdiagnosis sebaiknya
dirawat di rumah sakit untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi pengaturan
diet, penanggulangan edema, memulai pengobatan steroid, dan edukasi orangtua.
Penderita sindrom nefrotik idiopatik mendapatkan terapi awal kortikosteroid,
kecuali bila ada kontraindikasi.1 Jenis steroid yang diberikan adalah prednison
atau prednisolone. Kortikosteroid diberikan dengan dosis 60 mg/m2 LPB/hari atau
2 mg/kgbb/hari (maksimal 80 mg/hari) dalam dosis terbagi, sesuai dengan berat
badan. Prednison dosis penuh (full dose) inisial diberikan selama 4 minggu. Bila
terjadi remisi dalam 4 minggu pertama, dilanjutkan dengan 4 minggu kedua
dengan dosis 40 mg/m2 LPB (2/3 dosis awal) atau 1,5 mg/kgbb/hari, secara

20
alternating (selang sehari), 1 x sehari setelah makan pagi. Penderita direncanakan
pemberian prednison.1,5 Untuk mengetahui dosis yang lebih baik antara
penghitungan berdasarkan berat badan dibandingkan berdasarkan luas permukaan
tubuh maka dilakukan penelusuran jurnal berbasis bukti dan didapatkan jurnal
dengn judul “Body weight-based prednisolone versus body surface area-based
prednisolone regimen for induction of remission in children with nephrotic
syndrome: a randomized, open-label, equivalence clinical trial” oleh Raman V,
Krishnamuthy S, Harichandrakumar KT. Dalam Pediatr Nephrol jurnal ini valid,
penting, dan dapat diterapkan (level of evidence 2b, grades of recommendation B).
Kesimpulan yang dapat tidak ditemukan perbedaan yang signifikan antara kedua
kelompok dalam waktu terjadinya remisi. Pada kelompok dengan menggunakan
luas permukaan tubuh didapatkan kadar kumulatif dan insiden terjadinya
hipertensi lebih tinggi dibandingkan pada pemberian berdasarkan berat badan.
Kejadian relap antara kedua kelompok juga tidak berbeda bermakna. Pada kasus,
telah memulai terapi inisial kortikosteroid dengan dosis berdasarkan berat badan
ideal sehingga tidak terjadi akumulasi dosis dan memperburuk kondisi hipertensi
yang telah ada.
Pada sindrom nefrotik terjadi retensi natrium dan peningkatan ekspansi
cairan yang dapat menyebabkan terjadinya hipertensi. Hipertensi pada SN dapat
ditemukan pada awal kasus ataupun dalam perjalanan penyakit akibat pemberian
steroid jangka panjang. Hipoalbuminemia pada SN menyebabkan menurunnya
tekanan onkotik plasma sehingga cairan intravaskular akan keluar ke intersisial
dan retensi natrium oleh ginjal.9 Tatalaksana hipertensi diberikan regimen
inhibitor Angiotensin Converting Enzyme inhibitors (ACE-inhibitors),
Angiotensin Receptor Blockers (ARBs), Calcium Channel Blockers (CCBs), atau
antagonis β adrenergik, hingga tekanan darah anak berada diantara persentil 50-
90. Penderita rawat jalan dengan sindrom nefrotik yang mendapatkan pengobatan
steroid, maka harus dilakukan pemantauan tekanan darah setiap 6 bulan sekali.
Tujuan mengontrol tekanan darah pada kasus sindrom nefrotik untuk
memproteksi risiko lanjutan kardiovaskular dan menunda penurunan LFG yang
progresif. Kontrol tekanan darah pada anak dengan sindrom nefrotik akan menjadi
lebih baik bila berada di persentil 50 tekanan darah sesuai usia dan jenis kelamin.

21
Terapi menggunakan ACE-inhibitors atau ARB menjadi lini pertama hipertensi
pada kasus SN.7.
Proteinuria pada sindrom nefrotik adalah proteinuria masif yang terjadi
karena peningkatan permeabilitas dinding kapiler glomerolus yang menyebabkan
hilangnya muatan negatif glikoprotein pada dinding kapiler glomerolus. Kelainan
pada glomerulus ini merupakan kelainan utama pada sindrom nefrotik, sedangkan
gejala klinis lainnya merupakan manifestasi sekunder. Jenis protein yang keluar
pada SN bervariasi bergantung pada kelainan dasar glomerulus. Pada SNKM
protein yang keluar hampir seluruhnya terdiri atas albumin dan disebut sebagai
proteinuria selektif. Pada SN dengan kelainan glomerulus yang lain, keluarnya
protein terdiri atas campuran albumin dan protein dengan berat molekul besar, dan
jenis proteinuria ini disebut proteinuria non selektif.3 Pada SN akan terjadi
kehilangan protein lebih dari 2 gram per hari terutama albumin yang
menyebabkan hipoalbuminemia. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan
tekanan onkotik plasma sehingga terjadi transudasi cairan dari ekstravaskular ke
ruang interstisial dan menimbulkan klinis edema. Udem didasarkan pada 2 teori
yaitu underfilled theory yang mengatakan bahwa pembentukan udem pada
sindrom nefrotik akibat berkurangnya tekanan onkotik plasma yang menyebabkan
cairan berpindah dari intravaskular ke ruang interstisial. Teori kedua adalah
overfilled theory, yang menyebutkan bahwa retensi natrium dan air terjadi karena
mekanisme intrarenal. Retensi mengakibatkan ekspansi volume plasma dan cairan
ekstraseluler. Hipervolemia yang terjadi mengakibatkan peningkatan tekanan
hidrostatik, sehingga terjadi perpindahan cairan dari intravaskular ke
interstisial.1,2,4 Pada kasus, penderita didapatkan udem yang tampak jelas pada
kelopak mata dan tungkai bawah. Bengkak pada penderita bersifat udem pitting
yang menunjukkan udem diakibatkan rendahnya kadar albumin.
Pada sindrom nefrotik kadar kolesterol, trigliserida dan lipoprotein serum
meningkat. Hipoproteinemia akan merangsang sintesis protein menyeluruh di hati
termasuk lipoprotein dan menurunkan kadar lipoprotein lipase plasma. Penurunan
kadar lipoprotein lipase plasma menyebabkan gangguan pada katabolisme lemak
yang menyebabkan hiperkolesterolemia dan hipertrigliserida.1 Pada kasus,
ditemukan peningkatan kadar kolesterol total yaitu 439 mg/dL. Tatalaksana yang

22
diberikan berupa pengaturan diet lemak kurang dari 30% kalori total (420
kkal/hari), diet rendah kolesterol kurang dari 200 mg/hari.
Penderita sindrom nefrotik setelah mendapatkan terapi inisial
kortikosteroid diharapkan mengalami remisi yang ditandai dengan proteinuria
negatif atau trace (proteinuria < 4 mg/m2 LPB/jam) 3 hari berturut-turut dalam 1
minggu. Sebagian besar penderita sindrom nefrotik mengalami remisi selama
pengobatan inisial.1,4,6 Jika setelah pemberian inisial terapi penderita tidak
mengalami remisi maka penderita dikatakan resisten steroid. Sekitar 80 - 90%
sindrom nefrotik pada anak merupakan SNKM dan 95% memberikan respon yang
baik terhadap pengobatan steroid. Anak sindrom nefrotik yang tidak menunjukkan
respons terhadap pengobatan steroid pada umumnya menunjukkan gambaran
histologis GSFS dan GNMP.1,4 Pada kasus ini, sampai saat pengamatan terakhir
penderita baru mendapatkan terapi steroid selama 4 hari, selama pengamatan
sudah didapatkan respon berupa udem kelopak mata dan pretibial yang berkurang.
Walaupun sudah menunjukkan adanya perbaikkan secara klinis, saat ini masih
terlalu dini untuk dapat menilai respon penderita terhadap terapi prednisone full
dose yang diberikan. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang meningkatkan
risiko resisten steroid, maka kami melakukan penelusuran jurnal dan didapatkan
jurnal "Steroid response pattern and outcome of pediatric idiopathic nephrotic
syndrome: a single-center experience in northwest Iran” oleh Mortazavi F,
Khiavi YS dalam Therapeutics and Clinical Risk Management, jurnal ini valid,
penting, dan dapat diterapkan (level of evidence 1b, grade of recommendation A).
Kesimpulan jurnal ini adalah risiko resisten steroid lebih tinggi pada anak
perempuan daripada anak laki-laki. Kejadian hematuria , hipertensi dan usia lebih
tua saat onset kejadian penyakit juga merupakan faktor risiko resisten steroid.
Pemberian kortikosteroid pada penderita sindrom nefrotik mengakibatkan
penderita berada pada kondisi imunokompromais. Untuk mencegah terjadinya
infeksi dikarenakan infeksi oportunistik maka dilakukan pemeriksaan uji Mantoux
sebelum pengobatan kortikosteroid dimulai. Bila hasilnya positif maka diberikan
profilaksis INH bersama steroid. Bila ditemukan TB aktif diberikan obat anti
tuberkulosis (OAT).1,2 Pada kasus ini, hasil uji Mantoux tidak dilalukan.
Komplikasi pada kasus sindrom nefrotik meliputi trombosis, rentan terhadap

23
infeksi, hiperlipidemia, hipokalsemia, hipovolemia dan hipertensi. Komplikasi
infeksi pada SN terutama selulitis, peritonitis primer, varicella dan pneumonia.
Komplikasi trombosis pada pembuluh vaskular paru terjadi karena defek pada
ventilasi-perfusi didapatkan pada 15 % dari kasus sindrom nefrotik.8
Penderita sindrom nefrotik berisiko mengalami hipokalsemia dan defisiensi
vitamin D. Hipokalsemia pada penderita sindrom nefrotik disebabkan oleh
albumin serum yang rendah, dan berakibat menurunnya kadar kalsium yang
terikat albumin sedangkan fraksi yang terionisasi jumlahnya dapat normal atau
menetap. Penggunaan steroid jangka panjang dapat menimbulkan osteoporosis
dan osteopenia, serta kebocoran metabolit vitamin D.10 Penelusuran jurnal
dilakukan untuk mengetahui efek pemberian steroid jangka panjang terhadap
pertumbuhan anak dan didapatkan jurnal dengan judul ” Effect of glucocorticoid
on growth and bone mineral density in children with nephrotic syndrom”
oleh Riberio D dkk. dalam Eur Journal Pediatric tahun 2014. Jurnal ini valid,
penting, dan dapat diterapkan (level of evidence 1b, grade of recommendation A).
Pada jurnal didapatkan penggunaan glukokortikoid jangka panjang secara
signifikan berhubungan dengan tinggi badan dan bone mineral density (BMD)
yang lebih rendah pada penderita sindrom nefrotik idiopatik sehingga pemberian
suplementasi kalsium dan vitamin D dapat dipertimbangkan pada kasus ini. Pada
kasus ini akan mendapat terapi kortikosteroid jangka panjang sehingga memiliki
risiko mengalami penurunan kadar BMD dan tinggi badan yang lebih rendah
sehingga diperlukan pemantauan tinggi badan berkala dan dapat dipertimbangkan
pemberian suplementasi kalsium dan vitamin D (125-250 IU) setelah terapi
steroid lebih dari 3 bulan.1
Kualitas hidup penderita juga merupakan permasalahan yang menjadi
komplikasi dari penyakit yang diderita. Untuk mengetahui kualitas hidup
penderita.1 Penelusuran jurnal dilakukan untuk mengetahui kualitas hidup
penderita sindrom nefrotik dan didapatkan judul "The impact of disease duration
on quality of life in children with nephrotic syndrome: a Midwest Pediatric
Nephrology Consortium study” oleh Selewski DT dkk dalam Pediatr Nephrol
tahun 2015. Jurnal ini valid, penting, dan dapat diterapkan (level of evidence 1b,
grade of recommendation A). Simpulan jurnal ini adalah pengukuran dengan

24
Patient Reported Outcomes Measurement Information System (PROMIS) dan
PedsQL menunjukkan adanya gangguan fisis, fungsional, emosi dan gangguan
sekolah pada penderita sindrom nefrotik. Penderita sindrom nefrotik lama juga
menunjukkan kualitas hidup yang lebih rendah dari penderita baru. Pada kasus,
Penderita adalah penderita yang baru tegak terdiagnosis sindrom nefrotik dengan
skor PedsQL versi 3 berdasarkan laporan orangtua penderita didapatkan nilai
75,15 %, dan menurut laporan anak 75,62 % sehingga dapat disimpulkan bahwa
kualitas hidup penderita saat ini terganggu. Pada penderita terdapat risiko
mengalami perburukan kualitas hidup yang lebih buruk sehingga pada kasus
diperlukan pemantauan skor PedsQL secara berkala.
Prognosis sindrom nefrotik tergantung pada respon terhadap steroid dan
gambaran patologi anatomi. Sekitar 80% dari anak-anak dengan sindrom nefrotik
idiopatik mengalami remisi lengkap terjadi dalam 30 hari. Dalam jangka panjang,
risiko untuk kambuh dan efek samping dari perawatan tetap perhatian utama.
Hasil jangka panjang pada pasien dewasa dengan dengan riwayat sindrom nefrotik
steroid dependen selama masa kanak-kanak menunjukkan bahwa tidak lebih dari
10% mengalami kekambuhan saat dewasa. Survei lebih baru menunjukkan tingkat
kekambuhan setelah usia 18 tahun antara 27-42%. Faktor risiko kekambuhan saat
dewasa adalah usia muda saat onset, frekuensi kekambuhan selama masa kanak-
kanak, dan penggunaan alkylating agen dan siklosporin. Prognosis jangka panjang
SNKM selama pengamatan 20 tahun hanya 4-5% menjadi gagal ginjal terminal,
sedangkan pada GSFS 25% menjadi gagal ginjal terminal dalam 5 tahun. SNKM
sebagian besar respon terhadap steroid. Respon terhadap terapi steroid merupakan
indikator bahwa penderita memiliki prognosis yang baik.2 Pada kasus ini,
penderita dalam tahap awal pengobatan steroid sehingga masih terlalu dini untuk
dapat menilai respon pasien terhadap terapi steroid yang diberikan, biopsi ginjal
untuk melihat gambaran histopatologis juga tidak diindikasikan pada penderita
sehingga belum dapat dipastikan prognosis jangka panjang.

25
XIII. Daftar Pustaka
a. Daftar pustaka (analisis kasus)
1. Trihono PP, Alatas H, Tambunan T, Pardede SO. Konsensus
tatalaksana sindrom nefrotik idiopatik pada anak. Edisi kedua.
Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2012.
2. Noer MS, Soemyarso NA, Subandiyah K. Sindrom nefrotik
idiopatik. Kompendium Nefrologi Anak. Jakarta: Badan Penerbit
IDAI; 2011.h.72-90.
3. Camici M. The nephrotic syndrome is an immunoinflamatory
disorder. Medical Hypotheses 2007;68:900-5.
4. Wirya NW, Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO.
Sindrom nefrotik. Buku Ajar Nefrologi Anak. 2nd ed. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI; 2002.h.381-426.
5. Agati VD, Kaskel FJ, Falk RJ. Focal segmental glomerulosclerosis
The New England Journal of Medicine. 2011;365:2398-411.
6. Nilawati GAP. Profil sindrom nefrotik pada ruang perawatan anak
RSUP Sanglah Denpasar. Sari Pediatri. 2012;4:269-72.
7. Wuhl E, Trivelli A. Strict blood-pressure control and progression of
renal failure in children. Engl J Med. 2009;361:1639-50.
8. Wang CS, Yan J, Palmer R, Bost J, Wolf MF, Greenbaum LA.
Childhood nephrotic syndrome management and outcome: a single
center retrospective analysis. International Journal of Nephrology.
2017;5:1-7.
9. Selewski DT, Troost JP, Massengill SF, Gbadegesin RA, Greenbaum
LA, Shatat IF, dkk. The impact of disease duration on quality of life
in children with nephrotic syndrome: a Midwest Pediatric
Nephrology Consortium study. Pediatr Nephrol. 2015;6:1-10.
10. Ribeiro D, Zawadynski S, Pittet LF, Chevalley T, Girrardin E,
Parvex P. Effect of glucocorticoticoids on growth and bone mineral
density in children with nephrotic syndrome. Eur J Pediatr. 2014;1-7.

26
b. Daftar jurnal (evidence based practice)
1. Raman V, Krishnamuthy S, Harichandrakumar KT. Body weight-
based prednisolone versus body surface area-based prednisolone
regimen for induction of remission in children with nephrotic
syndrome: a randomized, open-label, equivalence clinical trial.
Pediatr Nephrol. 2016;31(4):595-604.
2. Selewski DT, Troost JP, Massengill SF, Gbadegesin RA,
Greenbaum LA, Shatat IF, dkk. The impact of disease duration on
quality of life in children with nephrotic syndrome: a Midwest
Pediatric Nephrology Consortium study. Pediatr Nephrol.
2015;10:1-10.
3. Ribeiro D, Zawadynski S, Pittet LF, Chevalley T, Girrardin E,
Parvex P. Effect of glucocorticoticoids on growth and bone mineral
density in children with nephrotic syndrome. Eur J Pediatr.
2015;174(7);911-7.
4. Mortazavi F, Khiavi YS. Steroid response pattern and outcome of
pediatric idiopathic nephrotic syndrome: a single-center experience
in nortwest Iran. Ther Clin Risk Manaq. 2011;7:167-71.

XIV. Daftar Singkatan


ACE-inhibitors : Angiotensin Converting Enzyme inhibitors
ARB : Angiotensin Receptor Blockers
ASI : Air Susu Ibu
BAB : Buang Air Besar
BAK : Buang Air Kecil
BB : Berat Badan
BBI : Berat Badan Ideal
BCG : Bacillus Calmette Guerin
BMD : Bone mineral density
C : Celcius
CCB : Calcium Channel Blockers
cm : Centimeter

27
DPT : Diptheria Pertusis Tetanus
Dt : Diptheria tetanus
g : Gram
g/dL : Gram per desiliter
GNM : Nefropati membranosa
GNMP : Glomerulonefritis membranoproliferatif
GSFS : Glomerulosklerosis fokal segmental
Hb : Hemoglobin
HCT : Hematocrit
IMT : Indeks Massa Tubuh
IU : International unit
KEMENKES : Kementrian Kesehatan
kg : Kilogram
kgBB : Kilogram berat badan
KIE : Komunikasi, Informasi, dan Edukasi
kkal : Kilokalori
LED : Laju Endap Darah
LFG : Laju Filtrasi Glomerulus
LILA : Lingkar Lengan Atas
LPB : Luas permukaan badan
MCH : Mean Corpuscular Hemoglobin
MCHC : Mean Corpuscular Heemoglobin Concentration
MCV : Mean Corpuscular Volume
mg : Miligram
mg/dL : Miligram/desiliter
ml : Mililiter
mm : Milimeter
mmHg : Milimeter air raksa
MPD : Mesangial proliferative difus
MRS : Masuk Rumah Sakit
OAT : Obat anti tuberkulosis
P : Persentil

28
PedsQL : Pediatrics Quality of Life
PLN : Perusahaan Listrik Negara
PROMIS : Patient Reported Outcomes Measurement Information
System
PSC : Pediatric Symptoms Checklist
RDA : Recommended dietary allowance
RSUP : Rumah Sakit Umum Pusat
SD : Sekolah Dasar
SN : Sindrom Nefrotik
SNKM : Sindrom nefrotik kelainan minimal
SNKNM : Sindrom nefrotik kelainan non-minimal
SNRS : Sindrom nefrotik resisten steroid
TB : Tinggi Badan
TB : Tuberkulosis
Td : Tetanus difteri
UL : Urin lengkap
USG : Ultrasonografi
WITA : Waktu Indonesia Tengah
WBC : White Blood Cell

29
30

Anda mungkin juga menyukai