Anda di halaman 1dari 31

BRONKOPNEUMONIA

(CASE REPORT)

Preceptor:
dr. Firdaus Djuned, Sp. A

Disusun oleh:
Zahra Wafiyatunisa
1618012098

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH JENDERAL AHMAD YANI
METRO
2017

1
DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI...................................................................................................... 1

PENDAHULUAN.............................................................................................. 3

I. STATUS PASIEN...................................................................................... 5

II. TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................16

III. ANALISIS KASUS....................................................................................28

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................31

2
PENDAHULUAN

Bronkopneumonia disebut juga pneumonia lobularis adalah peradangan

pada parenkim paru yang melibatkan bronkus/bronkiolus yang berupa distribusi

berbentuk bercak-bercak (patchy distribution). Konsolidasi bercak berpusat

disekitar bronkus yang mengalami peradangan multifokal dan biasanya bilateral.

Konsolidasi pneumonia yang tersebar (patchy) ini biasanya mengikuti suatu

bronkitis atau bronkiolitis.

Bronkopneumonia dapat juga dikatakan suatu peradangan pada parenkim

paru yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur.Bakteri seperti Diplococus

pneumonia,Pneumococcus sp,Streptococcus sp, Hemoliticus aureus,Haemophilus

influenza, Basilus friendlander (Klebsial pneumonia), dan Mycobacterium

tuberculosis. Virus seperti Respiratory syntical virus, Virus influenza, dan Virus

sitomegalik. Jamur seperti Citoplasma capsulatum, Criptococcus nepromas,

Blastomices dermatides, Cocedirides immitis, Aspergillus sp, Candinda albicans,

dan Mycoplasma pneumonia. Meskipun hampir semua organisme dapat

menyebabkan bronkopneumonia, penyebab yang sering adalah stafilokokus,

streptokokus, H. influenza, Proteus sp dan Pseudomonas aeruginosa.

Insiden penyakit ini pada negara berkembang hampir 30% pada anak-anak

di bawah umur 5 tahun dengan resiko kematian yang tinggi, sedangkan di

Amerika pneumonia menunjukkan angka 13% dari seluruh penyakit infeksi pada

anak di bawah umur 2 tahun.

3
Penyakit Bronkopneumonia sering terjadi pada anak-anak, sehingga

apabila tidak segera ditangani akan mengakibatkan komplikasi seperti empiema,

otitis media akut, atelektasis, emfisema, dan meningitis. Selain itu juga dapat

menyebabkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan pada anak.

4
BAB II
STATUS PASIEN

1.1 IDENTITAS PASIEN

Nama : By. Mia


Jenis kelamin : Laki-Laki
Umur : 4 bulan
BB : 7 Kg
PB : 62 cm
Anak ke- : 4
Status Gizi : Cukup
Nama Ayah : Tn. M
Umur : 50 tahun
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Buruh
Nama Ibu : Ny. G
Umur : 35 tahun
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Nunggarejo
No. rekam medis : 312726
Masuk rumah sakit : 30 Maret 2017 pukul 01.35

1.2 ANAMNESA

Alloanamnesa orangtua pasien pada tanggal 5 April 2017 pukul 14.20 WIB.

Keluhan utama : Sesak

5
Keluhan tambahan : Demam, Batuk, Pilek

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien seorang anak laki-laki berusia 4 bulan datang diantar kedua orang

tuanya ke RSAY Kota Metro dengan keluhan sesak sebelum masuk rumah

sakit, orangtua os mengeluh anaknya sesak, demam, batuk dan pilek. Paisen

merupakan rujukan dari RS Mutiara Bunda dan telah dirawat selama 3 hari

disana dengan suspect diagnosis bronkopneumonia berat.

Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat bronkopneumonia (-)

Riwayat kuning (-)

Riwayat kejang (-)

Radang tenggorokan atau ISPA (-)

Asma sebelumnya (-)

Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat batuk lama pada anggota keluarga disangkal

Ayah merokok (+)

Riwayat keluhan yang sama pada keluarga disangkal

Riwayat Sosial Ekonomi

Anak ke- 4 dari 4 bersaudara

Menggunakan air sumur untuk kebutuhan sehari-hari

Kebiasaan memasak air sebelum diminum

Ventilasi di rumah cukup, sinar matahari dapat masuk rumah

6
Riwayat Kehamilan Ibu

Pemeriksaan di : Bidan

Frekuensi : Trimester I : 3x

Trimester II : 3x

Trimester III : 3x

Keluhan selama kehamilan: tidak ada

Obat dan jamu yang dikonsumsi selama hamil : Tablet besi dan asam folat

Kesan : Ibu kontrol kehamilan teratur dan tidak terdapat masalah pada

kehamilan.

Riwayat Kelahiran

Tempat lahir : RS dikota metro

Penolong : Bidan dan dokter

Cara persalinan : Spontan, per vaginam

Berat lahir : 3.300 gram

Panjang lahir : 51 cm

Masa gestasi : Cukup bulan

Keadaan bayi setelah lahir : Warna kulit kemerahan, nadi baik, bayi

menangis kuat, ekstremitas fleksi dan bergerak aktif

Kelainan bawaan : Tidak ada

Kesan : Riwayat kelahiran baik.

7
Riwayat Imunisasi

Tabel 1. Riwayat Imunisasi Pasien An. Mia


Jenis
Lahir 1 bln 2 bln 3 bln 4 bln 5 bln 6 bln 9 bln
Imunisasi
Hepatitis B + + -
Polio + + -
BCG +
DTP + - -
Campak -
Kesan : Imunisasi dasar belum lengkap

Riwayat Nutrisi

0-6 bulan : ASI

6 bulan-2 tahun :

2 tahun-sekarang :-

Kesan : makanan diberikan sesuai usia

1.3 PEMERIKSAAN FISIK

a. Status Pasien Ketika Datang

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang


Kesadaran : Compos mentis (GCS = 15)
Suhu : 36,4°C
Frekuensi Nadi : 95 x/menit
Frekuensi Napas : 60
SpO2 : 98 % dengan bantuan O2 2L
Berat Badan : 7 kg
Panjang Badan :62 cm

8
Status Gizi (berdasarkan kurva WHO)

 Berat badan : 7 Kg,


 Usia : 4 bulan

Gambar 1. Kurva berat per usia untuk anak laki-laki usia 0-2 tahun WHO

Kesan : gizi cukup

 Panjang badan : 75 cm

Gambar 2. Kurva panjang per usia untuk anak laki-laki usia 0-2 tahun WHO

Kesan : Perawakan sesuai usia

9
Status Generalis

Kelainan Mukosa Kulit/ Subkutan Yang Menyeluruh

Pucat :-
Kulit : dbn
Sianosis :-
Ikterus :-
Oedem :-
Turgor : dbn
Pembesaran KGB :-
Kesan : tidak terdapat kelainan pada mukosa kulit pasien

Kepala

Muka : Simetris, normochepal, facies cooley (-)

Rambut : Warna hitam, pertumbuhan merata, allopecia (-)

Mata : Mata kiri tampak lebih kecil, isokor, tidak anemis

Telinga : Simetris, sekret (-)

Hidung : Nafas cuping hidung (+), sekret (-), darah (-)

Mulut : Sianosis (+), bibir kering (+), lidah bersih.

Kesan : pasien tampak sesak

Leher

Trakea : Deviasi trachea (-), faring hiperemis (-)

KGB : Tidak pembesaran pada KGB mandibula

Kesan : dalam batas normal

10
Thorak

Jantung

Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat


Palpasi : Thrill tidak teraba
Perkusi : Batas jantung normal
Auskultasi : SI/SII reguler, murmur (-), gallop (-)
Kesan : Pemeriksaan jantung dalam batas normal

Paru

Inspeksi : Gerak napas simetris, retraksi (+)


Palpasi : Ekspansi dinding dada simetris
Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru
Auskultasi : Ronki basah halus nyaring (+)
Kesan : Pasien tampak sesak, sumbatan jalan napas (+),
suara tambahan +

Abdomen

Inspeksi : Datar
Palpasi : Hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Kesan : Pemeriksaan abdomen dalam batas normal

Ekstremitas

Superior : Lengkap, tanpa cacat, tidak sianosis, tidak oedem


Infrerior : Lengkap, tanpa cacat, tidak sianosis, tidak oedem
Akral dingin (+)
Kesan : Dalam batas normal, akral dingin +

11
1.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG YANG TELAH DILAKUKAN

Laboratorium darah rutin (30 maret 2017)

Leukosit : 7,5x103/μL MCHC : 30,5 g/dL


Eritrosit : 3,44x106/μL Trombosit : 464 x103/μL
Hemoglobin : 8,5g/dL RDW : 11,4%
Hematokrit : 27,9% MPV : 7,1 fL
MCV : 81,1 fL GDS : 88 mg/dL
MCH : 24,7 pg

Pemeriksaan rontgent thoraks

Gambar 3. Hasil rontgent thoraks pasien An. Mia

Kesan : bronkopneumonia, besar cor normal

12
1.5 DIAGNOSA BANDING

 Bronkiolitis • Tuberkulosis
 Pneumonia aspirasi • Abses paru
 Atelektasis
1.6 DIAGNOSIS KERJA

Bronkopneumonia

1.7 RENCANA PEMERIKSAAN PENUNJANG

 biakan darah dan swab tenggorok


 analisa gas darah

1.8 PENATALAKSANAAN

Non farmakologi :
 Tirah baring
 Monitoring keadaan pasien (terutama temperatur, RR, saturasi O2)

Farmakologi :

 IVFD D5 ¼ NS 6 tpm (mikro)


 Ampicillin 3 x 250mg/hari
 Ceftazidine 3 x 250mg/hari
 Dexamethason 3x 3 mg
 Nebu ventolin tiap 8 jam
 O2 3 l/m – headbox 7 l/m
 Paracetamol injeksi 10 cc jika demam > 38,5

1.9 PROGNOSIS

Quo ad vitam : Dubia ad bonam


Quo ad functionam : Dubia ad bonam
Quo ad sanationam : Dubia ad bonam

13
FOLLOW UP HARIAN

Tabel 2. Follow up harian pasien An. Mia


Tanggal Follow Up Terapi
S/ os terlihat lemas dan sesak  IVFD D5 ¼ NS 6 tpm
O/ KU: Sakit sedang (mikro)
Kesadaran : Compos mentis (GCS=15)  Ampicillin 3 x 250
Kamis, HR : 95x/mnt mg/hari
30/3/17 RR : 60  Ceftazidine 3 x 250
SPO2 : 98% mg/hari
T : 36,5ºC  Dexamethason 3x 3
A/: BP mg
 Nebu ventolin tiap 8
jam
 O2 3 l/m – headbox 7
l/m
 Paracetamol injeksi 10
cc jika demam > 38,5
Bila SPO2 turun terus
rujuk ke RSAM
Jum’at, S/ sesak, demam  IVFD D5 ¼ NS 6 tpm
31/3/17 O/ KU: Sakit sedang (mikro)
Kesadaran: compos mentis (GCS=15)  Ampicillin 3 x 250
HR: 143x/mnt mg/hari
RR: 58x/mnt  Ceftazidine 3 x 250
T: 37,8 ºC mg/hari
SpO2: 97%  Dexamethason 3x 3
A/ bronkopneumonia mg
 Nebu ventolin tiap 8
jam
 O2 3 l/m – headbox 7
l/m
 Paracetamol injeksi 10
cc
Sabtu, S/ os sesak, demam  IVFD D5 ¼ NS 6 tpm
01/4/2017 O/ KU : compos mentis (mikro)
HR : 122x/menit  Ampicillin 3 x 250
T : 37,8 mg/hari
RR: 72 x/menit  Ceftazidine 3 x 250
SpO2 : 93% mg/hari
A/ bronkopneumonia  Dexamethason 3x 3
mg
 Nebu ventolin tiap 8
jam
 O2 3 l/m – headbox 7
l/m
Minggu, S/ os sesak  IVFD D5 ¼ NS 6 tpm
02/4/2017 O/ KU : Baik (mikro)
Kesadaran : Compos Mentis  Ampicillin 3 x 250
T: 36,3˚C mg/hari
HR: 130x/menit  Ceftazidine 3 x 250
RR: 63 x/meni mg/hari
SpO2 : 97%  Dexamethason 3x 3
A/ bronkopneumonia mg
 Nebu ventolin tiap 8
jam

14
 O2 3 l/m – headbox 7 l/m
Senin, S/ sesak membaik,demam, batuk  IVFD D5 ¼ NS 6 tpm
03/4/2017 O/ KU lemah (mikro)
T: 38,6˚C  Ampicillin 3 x 250
HR: 102x/menit mg/hari
RR: 60x/meni  Ceftazidine 3 x 250
SpO2 : 98% mg/hari
A/ bronkopneumonia  Dexamethason 3x 3
mg
 Nebu ventolin tiap 8
jam
 O2 3 l/m – headbox 7
l/m
 Paracetamol injeksi 10
cc
Selasa, S/ sudah tidak sesak, demam malam hari, batuk,  IVFD D5 ¼ NS 6 tpm
04/4/2017 retraksi dada masih ada. (mikro)
O/ KU baik  Ampicillin 3 x 250
T: 37,3˚C mg/hari
HR: 105x/menit  Ceftazidine 3 x 250
RR: 42x/meni mg/hari
SpO2 : 99%  Dexamethason 3x 3
A/ bronkopneumonia mg
 Nebu ventolin tiap 8
jam
 O2 3 l/m – headbox 7
l/m
Rabu, Pulang 
05/04/2017

15
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Bronkopneumonia disebut juga pneumonia lobularis adalah peradangan


pada parenkim paru yang melibatkan bronkus/bronkiolus yang berupa
distribusi berbentuk bercak-bercak (patchy distribution). Konsolidasi bercak
berpusat disekitar bronkus yang mengalami peradangan multifokal dan
biasanya bilateral. Konsolidasi pneumonia yang tersebar (patchy) ini biasanya
mengikuti suatu bronkitis atau bronkiolitis.
Bronkopneumonia dapat juga dikatakan suatu peradangan pada parenkim
paru yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur. Bakteri seperti Diplococus
pneumonia, Pneumococcus sp, Streptococcus sp, Hemoliticus aureus,
Haemophilus influenza, Basilus friendlander (Klebsial pneumonia), dan
Mycobacterium tuberculosis. Virus seperti Respiratory syntical virus, Virus
influenza, dan Virus sitomegalik.Jamur seperti Citoplasma capsulatum,
Criptococcus nepromas, Blastomices dermatides, Cocedirides immitis,
Aspergillus sp, Candinda albicans, dan Mycoplasma pneumonia.
Meskipun hampir semua organisme dapat menyebabkan
bronkopneumonia, penyebab yang sering adalah stafilokokus, streptokokus,
H. influenza, Proteus sp dan Pseudomonas aeruginosa.

Tabel 3. Etiologi bronkopneumonia tersering berdasarkan usia


Usia Etiologi yang sering Etiologi yang jarang
Bakteri Bakteri
 E.coli  Bakteri anaerob
 Sreptococcus group B  Streptococcus group D
Lahir – 20 hari  Listeria Monocytogenes  Haemophillus influenza
 Streptococcus pneumoniae
 Ureaplasma urealyticum
Virus
 Virus Sitomegalo
 Virus Herpes simpleks
Bakteri Bakteri
Virus  Bordetella pertussis
 Virus Adeno  Hamophillus influenza tipe B
 Virus Influenza  Moraxella catharallis

16
3 minggu – 3 bulan  Virus Parainfluenza 1,2,3  Staphylococcus aureus
 Repiratory Syncytial virus  Ureaplasma urealyticum
Virus
 Virus Sitomegalo
Bakteri Bakteri
 Chlamydia trachomatis  Hamophillus influenza tipe B
 Mycoplasma pneumoniae  Moraxella catharallis
 Streptococcus pneumoniae  Neisseria meningitidis
 Staphylococcus aureus

4 bulan - 5 tahun Virus Virus


 Virus adeno  Virus varisella zoster
 Virus influenza
 Virus parainfluenza
 Virus rino
 Repiratory Syncytial virus
Bakteri Bakteri
 Chlamydia trachomatis  Hamophillus influenza tipe B
 Mycoplasma pneumoniae  Legionella sp
 Streptococcus pneumoniae  Staphylococcus aureus
Virus
5 tahun – remaja  Virus adeno
 Virus Epstein Barr
 Virus influenza
 Virus parainfluenza
 Virus rino
 Repiratory Syncytial virus
 Virus varisella zoster

Menurut Kemenkes RI tahun 2012, klasifikasi dibagi atas kelompok


usia yaitu, usia < 2 bulan dan 2 bulan-5 tahun.
Pada usia < 2 bulan terbagi atas:
a. Batuk Bukan Bronkopneumonia
Batuk bukan bronkopneumonia ditandai dengan tidak adanya tarikan
dinding dada kuat dan tidak ada nafas cepat (<60 x/m)
b. Bronkopneumonia Berat
Bronkoneumonia berat ditandai dengan tarikan dinding dada bagian bawah
kedalam yang kuat (TTDK) atau adanya nafas cepat (>60 x/m)

Pada rentang usia 2 bulan-5 tahun terbagi atas :


a. Bukan Bronkopneumonia
Bukan bronkopneumonia ditandai dengan tidak ada TTDK dan tidak ada
nafas cepat (2 bulan-12 bulan <50 x/m dan 12 bulan-5 tahun <40 x/m).

17
b. Bronkopneumonia
Bronkopneumonia ditandai dengan nafas cepat (2 bulan-12 bulan >50 x/m
dan 12 bulan-5 tahun >40 x/m) dan tidak ada TTDK
c. Bronkopneumonia Berat
Bronkoneumonia berat ditandai dengan TTDK, kejang, letargis

Menurut WHO bronkopneumonia terdiri dari :


a. Bronkopneumonia
Bronkopneumonia ditandai dengan batuk, sulit nafas, takipneu dan tanpa
tanda bronkopneumonia berat.
b. Bronkopneumonia berat
Bronkopneumonia berat ditandai dengan tanda bronkopneumonia dan
minimal 1 tanda .perkembangan dinding dada rendah, nafas cuping
hidung, atau dengkur saat ekspirasi.
c. Bronkopneumonia sangat berat
Bronkopneumonia sangat berat ditandai tanda bronkopneumonia berat dan
minimal 1 tanda tak nafsu makan, sianosis, respiratory distress syndrome,
atau gangguan kesadaran.

2.2 Patogenesis dan Patofisiologi

Saluran pernafasan steril dari daerah sublaring sampai parenkim paru.


Paru-paru dilindungi dari infeksi bakteri melalui mekanisme pertahanan
anatomis dan mekanis, dan faktor imun lokal dan sistemik. Mekanisme
pertahanan awal berupa filtrasi bulu hidung, refleks batuk dan mukosilier
aparatus. Mekanisme pertahanan lanjut berupa sekresi Ig A lokal dan respon
inflamasi yang diperantarai leukosit, komplemen, sitokin, imunoglobulin,
makrofag alveolar, dan imunitas yang diperantarai sel.
Dalam keadaan sehat pada paru tidak akan terjadi pertumbuhan
mikroorganisme, keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan
paru. Terdapatnya bakteri di dalam paru merupakan ketidakseimbangan
antara daya tahan tubuh, sehingga mikroorganisme dapat berkembang biak

18
dan berakibat timbulnya infeksi penyakit. Masuknya mikroorganisme ke
dalam saluran nafas dan paru dapat melalui berbagai cara, antara lain :

1) Inhalasi langsung dari udara


2) Aspirasi dari bahan-bahan yang ada di nasofaring dan orofaring.
3) Perluasan langsung dari tempat-tempat lain.
4) Penyebaran secara hematogen.

Bila pertahanan tubuh tidak kuat maka mikroorganisme dapat melalui


jalan nafas sampai ke alveoli yang menyebabkan radang pada dinding alveoli
dan jaringan sekitarnya. Setelah itu mikroorganisme tiba di alveoli
membentuk suatu proses peradangan yang meliputi empat stadium, yaitu :
a. Stadium I (4 – 12 jam pertama/kongesti)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang
berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan
peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi.
Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari
sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-
mediator tersebut mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel
mast juga mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama
dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler
paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini mengakibatkan
perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstisium sehingga terjadi
pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan
di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh
oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah
paling berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen
hemoglobin.
b. Stadium II (48 jam berikutnya)
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah
merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu (host) sebagai
bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh
karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna

19
paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini
udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah
sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam.
c. Stadium III (3 – 8 hari)
Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih
mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin
terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa
sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap
padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu
dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.
d. Stadium IV (7 – 11 hari)
Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan
peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh
makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.

Beberapa bakteri tertentu lebih sering menimbulkan gejala tertentu bila


dibandingkan dengan bakteri lain. Demikian pula bakteri tertentu lebih
seringditemukan pada kelompok umur tertentu. MisalnyaStreptococus
Pnemoniaebiasanya bermanifestasi sebagai bercak-bercak konsolidasi merata
diseluruhlapangan paru, namun pada anak besar atau remaja dapat berupa
konsolidasi pada satu lobus (pneumonia lobaris).

20
21
2.3 MANIFESTASI KLINIS
Bronchopneumonia biasanya didahului oleh infeksi traktusrespiratoris
bagian atas selama beberapa hari suhu tubuh naik sangat mendadak sampai
39-40 derajat celcius dan kadang disertai kejang karena demam yang tinggi.
Anak sangat gelisah, dispenia pernafasan cepat dan dangkal disertai
pernafasan cuping hidung serta sianosis sekitar hidung dan mulut, kadang
juga disertai muntah dan diare. Batuk biasanya tidak ditemukan pada
permulaan penyakit tapi setelah beberapa hari mula-mula kering kemudian
menjadi produktif. Pada stadium permulaan sukar dibuat diagnosis dengan
pemeriksaan fisik tetapi dengan adanya nafs dangkal dan cepat, pernafasan
cuping hidung dan sianosis sekitar hidung dan mulut dapat diduga adanya
pneumonia. Hasil pemeriksaan fisik tergantung luas daerah auskultasi yang
terkena, pada perkusi sering tidak ditemukan kelainan dan pada auskultasi
mungkin hanya terdengar ronchi basah nyaring halus dan sedang.

Beberapa faktor yang mempengaruhi gambaran klinis pneumonia


pada anak adalah imaturitas anatomik dan imunologik, mikroorganisme
penyebab yang luas, gejala klinik yang kadang-kadang tidak khas terutama
pada bayi, terbatasnya penggunaan prosedur diagnostik invasif, etiologi non
infeksi yang relatif lebih sering, dan faktor patogenesis.
Dalam pemeriksaan fisik penderita bronkopneumonia umumnya
ditemukan hal-hal sebagai berikut :
a. Pada setiap nafas terdapat retraksi otot epigastrik, interkostal, suprasternal,
dan pernapasan cuping hidung. Tanda objektif yang merefleksikan adanya
distres pernapasan adalah retraksi dinding dada; penggunaan otot
tambahan yang terlihat dan cuping hidung; orthopnea; dan pergerakan
pernafasan yang berlawanan. Tekanan intrapleura yang bertambah negatif
selama inspirasi melawan resistensi tinggi jalan nafas menyebabkan
retraksi bagian-bagian yang mudah terpengaruh pada dinding dada, yaitu
jaringan ikat inter dan subkostal, dan fossae supraklavikula dan
suprasternal. Kebalikannya, ruang interkostal yang melenting dapat terlihat
apabila tekanan intrapleura yang semakin positif. Retraksi lebih mudah

22
terlihat pada bayi baru lahir dimana jaringan ikat interkostal lebih tipis dan
lebih lemah dibandingkan anak yang lebih tua.
Kontraksi yang terlihat dari otot sternokleidomastoideus dan
pergerakan fossae supraklavikular selama inspirasi merupakan tanda yang
paling dapat dipercaya akan adanya sumbatan jalan nafas. Pada palpasi
ditemukan vokal fremitus yang simetris. Konsolidasi yang kecil pada paru
yang terkena tidak menghilangkan getaran fremitus selama jalan napas
masih terbuka, namun bila terjadi perluasan infeksi paru (kolaps
paru/atelektasis) maka transmisi energi vibrasi akan berkurang.
b. Pada perkusi tidak terdapat kelainan
c. Pada auskultasi ditemukan crackles sedang nyaring.
Crackles atau rhonki adalah bunyi non musikal, tidak kontinyu, interupsi
pendek dan berulang dengan spektrum frekuensi antara 200-2000 Hz. Bisa
bernada tinggi ataupun rendah (tergantung tinggi rendahnya frekuensi
yang mendominasi), keras atau lemah (tergantung dari amplitudo osilasi)
jarang atau banyak (tergantung jumlah crackles individual) halus atau
kasar (tergantung dari mekanisme terjadinya). Crackles dihasilkan oleh
gelembung-gelembung udara yang melalui sekret jalan napas/jalan napas
kecil yang tiba-tiba terbuka.

2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG


1. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan darah pada pneumonia umumnya didapatkan
Lekositosis hingga > 15.000/mm3 seringkali dijumpai dengan dominasi
netrofil pada hitung jenis. Lekosit > 30.000/mm 3 dengan dominasi
netrofil mengarah ke pneumonia streptokokus. Trombositosis >
500.000 khas untuk pneumonia bakterial. Trombositopenia lebih
mengarah kepada infeksi virus. Biakan darah merupakan cara yang
spesifik namun hanya positif pada 10-15% kasus terutama pada anak-
anak kecil.

23
2. Pemeriksaan rontgen
Secara umum gambaran rontgen thoraks terdiri dari :
 Infiltrat interstisial, ditandai dengan peningkatan corakan
bronkovaskuler, peribronchial cuffing dan hiperaerasi
 Infiltrat alveoler, merupakan konsolidasi paru dengan air
bronchogram. Konsolidasi dapat mengenai satu lobus (pneumonia
lobaris), atau terlihat sebagai lei tunggal yang biasanya cukup
besar, berbentuk sferis, batas tidak terlalu tegas, menyerupai lesi
tumor paru, dikenal sebagai round pneumonia
 Bronkopneumonia, ditandai dengan gambaran difus merata pada
kedua paru, berupa bercak-bercak infiltrat yang meluas hingga ke
daerah perifer paru, disertai dengan peningkatan corakan
peribronkial.
Gambaran radiologis pneumonia meliputi infiltrat ringan pada
satu paru hingga konsolidasi luas pada kedua paru. Pada satu
penelitian, ditemukan bahwa lesi pneumonia pada anak terbanyak
berada di paru kanan, terutama di lobus atas. Bila ditemukan di paru
kiri dan terbanyak di lobus bawah, hal itu merupakan prediktor
perjalanan penyakit yang lebih berat dengan risiko terjadinya pleuritis
lebih besar.
3. C-Reactive Protein
Adalah suatu protein fase akut yang disintesis oleh hepatosit.
Sebagai respon infeksi atau inflamasi jaringan, produksi CRP
distimulai oleh sitokin, terutama interleukin 6 (IL-6), IL-1 dan tumor
necrosis factor (TNF). Secara klinis CRP digunakan sebagai
diagnostik untuk membedakan antara faktor infeksi dan non infeksi,
infeksi virus dan bakteri, atau infeksi superfisialis dan profunda. Kadar
CRP biasanya lebih rendah pada infeksi virus dan bakteri. CRP
kadang-kadang digunakan untuk evaluasi respon terapi antibiotik.

24
4. Uji serologis

Uji serologis digunakan untuk mendeteksi antigen dan antibodi pada


infeksi bakteri atipik. Peningkatan IgM dan IgG dapat
mengkonfirmasi diagnosis.

5. Pemeriksaan mikrobiologi

Diagnosis terbaik adalah berdasarkan etiologi, yaitu dengan


pemeriksaan mikrobiologi spesimen usap tenggorok, sekresi
nasopharing, sputum, aspirasi trakhea, fungsi pleura. Sayangnya
pemeriksaan ini banyak sekali kendalanya, baik dari segi teknis
maupun biaya. Bahkan dalam penelitianpun kuman penyebab spesifik
hanya dapat diidentifikasi pada kurang dari 50% kasus.

Dasar diagnosis pneumonia menurut Henry Gorna dkk tahun 1993 adalah
ditemukannya paling sedikit 3 dari 5 gejala berikut ini :
a. sesak nafas disertai dengan pernafasan cuping hidung dan tarikan dinding
dada
b. panas badan
c. Ronkhi basah sedang nyaring (crackles)
d. Foto thorax menunjukkan gambaran infiltrat difus
e. Leukositosis (pada infeksi virus tidak melebihi 20.000/mm3 dengan limfosit
predominan, dan bakteri 15.000-40.000/mm3 neutrofil yang predominan)

2.5 PENATALAKSANAAN
a. Penatalaksaan umum
- Pemberian oksigen lembab 2-4 L/menit sampai sesak nafas hilang atau
PaO2 pada analisis gas darah ≥ 60 torr
- Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi elektrolit.
- Asidosis diatasi dengan pemberian bikarbonat intravena.

25
b. Penatalaksanaan khusus
- Mukolitik, ekspektoran dan obat penurun panas sebaiknya tidak
diberikan pada 72 jam pertama karena akan mengaburkan interpretasi
reaksi antibioti awal.
Obat penurun panas diberikan hanya pada penderita dengan suhu tinggi,
takikardi, atau penderita kelainan jantung
- Pemberian antibiotika berdasarkan mikroorganisme penyebab dan
manifestasi klinis
Pneumonia ringan diberikan amoksisilin 10-25 mg/kgBB/dosis (di
wilayah dengan angka resistensi penisillin tinggi dosis dapat dinaikkan
menjadi 80-90 mg/kgBB/hari).

Faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan terapi :


a. Kuman yang dicurigai atas dasas data klinis, etiologis dan
epidemiologis
b. Berat ringan penyakit
c. Riwayat pengobatan selanjutnya serta respon klinis
d. Ada tidaknya penyakit yang mendasari

Antibiotik :
Bila tidak ada kuman yang dicurigai, berikan antibiotik awal (24-72 jam
pertama) menurut kelompok usia.
a. Neonatus dan bayi muda (< 2 bulan) :
 ampicillin + aminoglikosid
 amoksisillin-asam klavulanat
 amoksisillin + aminoglikosid
 sefalosporin generasi ke-3
b. Bayi dan anak usia pra sekolah (2 bulan-5 tahun)
 beta laktam amoksisillin
 amoksisillin-amoksisillin klavulanat
 golongan sefalosporin
 kotrimoksazol
 makrolid (eritromisin)

26
c. Anak usia sekolah (> 5 tahun)
 amoksisillin/makrolid (eritromisin, klaritromisin, azitromisin)
 tetrasiklin (pada anak usia > 8 tahun)

Karena dasar antibiotik awal di atas adalah coba-coba (trial and


error) maka harus dilaksanakan dengan pemantauan yang ketat, minimal
tiap 24 jam sekali sampai hari ketiga.
Bila penyakit bertambah berat atau tidak menunjukkan perbaikan
yang nyata dalam 24-72 jam maka diganti dengan antibiotik lain yang
lebih tepat sesuai dengan kuman penyebab yang diduga (sebelumnya perlu
diyakinkan dulu ada tidaknya penyulit seperti empyema, abses paru yang
menyebabkan seolah-olah antibiotik tidak efektif).

27
BAB III
ANALISA KASUS

3.1 Apakah diagnosis yang ditegakkan pada kasus sudah tepat?

Penegakan diagnosis pada basien An. Mia berdasarkan dengan kriteria

diagnosis bronkopneumonia yang terdiri atas anamnesis dan pemeriksaan

fisik, serta dilakukan dan dilengkapi dengan tindakan pemeriksaan penunjang.

Berdasarkan anamnesis yang dilakukan kepada orang tua pasien mengatakan

bahwa sesak pada An. Mia tidak kunjung membaik setiap hari semakin parah

dan disertai batuk dan demam selama terjadinya sesak. Anak terlihat lemah

dan gelisah, nafsu makan menurun.

Pada hasil pemeriksaan fisik ditemukan pasien demam, dan

peningkatan laju pernafasan > 60 x/menit. Dan disertai dengan alat bantu

nafas seperti cuping hidung (+), retraksi/ tarikan dinding dada, bibir tampak

pucat (sianosis). Pada pemeriksaan auskultasi didapatkan suara rongki basah

halus nyaring (crackles). Dan pada pemeriksaan foto toraks terdapat adanya

infiltrasi pada difus (bronkopneumonia) dan pemeriksaan laboratorium hasil

leukosit pada pasien An. Mia sebesar 7,5 x103 /µL. Hal ini dikarenakan

pemeriksaan laboratorium telah dilakukan setelah pasien mendapatkan

pengobatan selama 3-5 hari di rumah sakit sebelumnya. Pemeriksaan SPO2

pada pasien juga sangat menentukan bahwa pasien harus dirawat atau tidak.

Pasien diberi bantuan headbox dengan 7 l/menit sehingga SPO2 nya normal

>96% tetapi bila dilepas pada saat awal masuk SPO2 hanya 79%.

28
3.2Apakah penatalaksanaan pada kasus ini sudah tepat ?

IVFD D5 ¼ NS 6 tpm (mikro), Ampicillin 3 x 250 mg/hari,


Ceftazidine 3 x 250 mg/hari, Dexamethason 3x 3 mg, Nebu ventolin tiap 8
jam, O2 3 l/m – headbox 7 l/m, Paracetamol injeksi 10 cc jika demam > 38,5
Pemberian terapi ini sudah sesuai dengan keadaan pasien. Pada
penatalaksanaan pneumonia berat di rumah sakit, maka hal-hal yang harus
diperhatikan adalah sebagai berikut :
a. Terapi Antibiotik
 Beri kombinasi ampicillin dan ceftaidine bolus masing-masing 3 x 250
mg per hari yang harus dipantau dalam 24 jam selama 72 jam pertama.
Bila anak memberi respons yang baik maka diberikan selama 5 hari.
 Bila anak tidak membaik dalam 48 jam, maka bila memungkinkan buat
foto dada.
 Apabila diduga pneumonia stafilokokal ganti antibiotik dengan
gentamisin (7.5 mg/kgBB IM sekali sehari) dan kloksasilin (50
mg/kgBB IM atau IV setiap 6 jam) atau klindamisin (15 mg/kgBB/hari
–3 kali pemberian).
 Bila keadaan anak membaik, lanjutkan kloksasilin (atau dikloksasilin)
secara oral 4 kali sehari sampai secara keseluruhan mencapai 3 minggu,
atau klindamisin secara oral selama 2 minggu.

b. Terapi Dexamethason
Pemberian obat kortikosteroid pada pasien ini untuk membantu tingkat
kesembuhan dari keparahan penyakit yang diderita oleh An. Mia. Untuk
memperbaiki dan mengurangi gejala inflamasi yang terjadi di saluran
nafas.

c. Terapi Oksigen
 Beri oksigen pada semua anak dengan pneumonia berat
 Bila tersedia pulse oximetry, gunakan sebagai panduan untuk terapi
oksigen (berikan pada anak dengan saturasi oksigen < 90%, bila
tersedia oksigen yang cukup).

29
 Lakukan periode uji coba tanpa oksigen setiap harinya pada anak yang
stabil. Hentikan pemberian oksigen bila saturasi tetap stabil >90%
Pemberian oksigen setelah saat ini tidak berguna
 Gunakan nasal prongs, kateter nasal, atau kateter nasofaringeal.
Penggunaan nasal prongs adalah metode terbaik untuk menghantarkan
oksigen pada bayi muda. Masker wajah atau masker kepala tidak
direkomendasikan.
 Oksigen harus tersedia secara terus-menerus setiap waktu.
 Perbandingan terhadap berbagai metode pemberian oksigen yang
berbeda
 Lanjutkan pemberian oksigen sampai tanda hipoksia (seperti tarikan
dinding dada bagian bawah ke dalam yang berat atau napas > 70/menit)
tidak ditemukan lagi.

d. Pemberian antipiretik
Paracetamol 3 x 10 cc diberikan hanya jika dibutuhkan, yaitu ketika pasien
demam. Jika pasien tetap demam setelah diinjeksi parasetamol, maka
pasien perlu dikompres dengan air biasa dan terus dimonitoring
temperaturnya. Jika tetap febris, antipiretik perlu diganti dengan golongan
lain, misalnya santagesix.

30
DAFTAR PUSTAKA

Hay WW, Levin MJ, Sondgeimer JM, Deterding RR. 2009. Current Diagnosis &
Treatment: Pediatrics 19th Edition. Colorado: McGraw Hill

IDAI. 2013. Buku AjarRespirologi Anak. Jakarta: Badan Penerbit IDAI

Kemenkes RI. 2012. Modul Tatalaksana Standar Pneumonia. Jakarta

Noenoeng Rahajoe, Nastiti N.Rahajoe, ”Perkembangan dan Masalah Pulmonologi

Anak Saat ini” 2000. Jakarta : FKUI.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. Pneumonia Komuniti Pedoman


Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia.

Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia 2007. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jakarta: IPD FKUI Pusat.
Ramali, Ahmad.Kamus Kedokteran. Jakarta : PT. Djambata. 2000.

Smeltzer, Suzanne C. dan Bare, Brenda G, 2002,Buku Ajar Keperawatan Medikal


Bedah Brunner dan Suddarth (Ed.8, Vol. 1,2), Alih bahasa oleh Agung
Waluyo.(dkk), EGC, Jakarta.

Wong, Donna L. (2004). Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik Edisi 4. Jakarta:


EGC

31

Anda mungkin juga menyukai