Anda di halaman 1dari 48

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN KELAINAN

KONGINETAL PADA SISTEM PERKEMIHAN: HIPOSPADIA

KEPERAWATAN ANAK

oleh :
Kelompok 7/ Kelas D
Stefanie Hapy Lisabella NIM 172310101173
Devita Ayu Styaningrum NIM 172310101194
Iqbal Maulana NIM 172310101215

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2019
ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK DENGAN KELAINAN
KONGINETAL PADA SISTEM PERKEMIHAN: HIPOSPADIA

KEPERAWATAN ANAK

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Anak


Dosen pengampu : Ns. Nuning Dwi Merina, S,Kep., M.Kep

Oleh :
Kelompok 7 / Kelas D
Stefanie Hapy Lisabella NIM 172310101173
Devita Ayu Styaningrum NIM 172310101194
Iqbal Maulana NIM 172310101215

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2019

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah Swt. yang melimpahkan karunia-Nya sehingga


penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Asuhan Keperawatan
Hipospadia pada Anak”. Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas dalam
mata kuliah Keperawatan Anak Fakultas Keperawatan Universitas Jember.
Penyusunan makalah ini tentunya tidak lepas dari kontribusi berbagai pihak.
Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Ns. Ira Rahmawati, M.Kep., Sp.Kep.A selaku dosen penanggung jawab mata
kuliah Keperawatan Anak.
2. Ns. Nuning Dwi Merina, S,Kep., M.Kep selaku dosen pengampu yang telah
membimbing dalam penyelesaian tugas ini sehingga penulis dapat
menyelesaikan tugas ini dengan baik,
3. Keluarga di rumah yang senantiasa memberikan dorongan dan doanya demi
terselesaikannya makalah ini,
4. Semua pihak yang secara tidak langsung membantu terciptanya makalah ini
yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Penulis juga menerima segala kritik dan saran dari semua pihak demi
kesempurnaan makalah ini. Akhirnya penulis berharap, semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi pembaca.

Jember, 10 November 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...............................................................................................


KATA PENGANTAR ............................................................................................. ii
DAFTAR ISI ............................................................................................................ iii
BAB 1. PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................................... 1
1.2 Tujuan ................................................................................................................ 1
1.3 Manfaat .............................................................................................................. 2
BAB 2. STUDI LITERATUR .................................................................................3
2.1 Definisi ................................................................................................................3
2.2 Klasifikasi ...........................................................................................................3
2.3 Patofisiologi ........................................................................................................5
2.4 Manifestasi Klinis ...............................................................................................6
2.5 Penatalaksanaan .................................................................................................6
BAB 3. ASUHAN KEPERAWATAN.....................................................................8
3.1 Pengkajian ...........................................................................................................8
3.2 Diagnosa .............................................................................................................18
3.3 Intervensi .............................................................................................................21
3.4 Evaluasi ...............................................................................................................31
3.5 Pendidikan kesehatan/SAP/Leaflet .....................................................................33
BAB 4. WOC/PATHWAYS ....................................................................................41
BAB 5. PENUTUP....................................................................................................43
5.1 Kesimpulan .........................................................................................................43
5.2 Rekomendasi isu menarik ..................................................................................43
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................44

iii
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hipospedia adalah cacat bawaan lahir yang diduga terjadi embriologis selama
perkembangan uretra, antara usia kehamilan 8 dan 20 minggu, struktur genital
eksternal lebih identik pada laki-laki terutama dibawah pengaruh testosteron. Alur
uretra terbuka meluas dari dasar ke tingkat korona. Pembukaan yang abnormal dapat
membentuk bagian mana saja dibawah ujung penis ke skrotum.
Jenis hipospadia anak laki-laki tergantung pada lokasi pembukaan uretra antara lain
1. Subcoronal : pembukaan uretra terletak di suatu tempat didekat kepala penis
2. Midshaft : pembukaan uretra terletak di sepanjang batang penis
3. Penoscrotal : pembukaan uretra terletak di mana penis dan skrotum bertemu
Anak laki-laki dengan hipospadia memiliki bentuk penis melengkung. Mereka bisa
memiliki masalah dengan pengeluaran urin abnormal dan mungkin harus duduk
untuk buang air kecil. Beberapa anak laki-laki dengan hipospadia memiliki testis
yang belum sepenuhnya turun ke dalam skrotum, jika hipospadia tidak diobati dapat
menyebabkan masalah di kemudian hari, seperti kesulitan melakukan hubungan
seksual atau kesulitan buang air kecil. Salah satu penanganan yaitu dengan tindakan
operasi yang biasa dilakukan ketika anak itu berusia antara umur 3-18 tahun
Prevalensi hipospadia di dunia sangat luas secara geografis dan bervariasi. Insidensi
kelainan ini berkisar 1:250 kelahiran bayi atau 1:300 kelahiran bayi. Peningkatan
insidensi hipospadia masih menuai berbagai kontroversi. Bergman et al melakukan
penelitian epidemiologi mengenai prevalensi hipospadia dari tahun 2001-2010
menemukan bahwa insidens hipospadia cukup stabil pada rentang waktu tersebut.
Hasil ini serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Aho et al di Finlandia untuk
mengetahui prevalensi hipospadia di tahun 1970-1994. Di negara Eropa terjadi
peningkatan prevalensi hipospadia pada tahun 1970-1980 tanpa diketahui
penyebabnya. Di Amerika Serikat berdasarkan Metropolitan Atlanta Congenital
Defect Program (MACDP) dan the Nationwide Birth Defects Monitoring Program
(BDMP) terdapat peningkatan 2 kali lipat terhadap insidens hipospadia. Hal ini
dikaitkan dengan peningkatan insidensi kelahiran prematur, berat lahir bayi rendah,

4
ataupun terpaparnya janin terhadap zat progestin atau anti androgen.

Di Indonesia prevalensi hipospadia belum dketahui secara pasti. Ada banyak peneliti
yang menemukan kasus terkait penyakit ini antara lain :
1. Limatahu et al menemukan 17 kasus di RSUP Prof. Dr. R. D di Kandau Manado
pada periode Januari 2009 sampai oktober 2010.
2. Duarsa et al melakukan penelitian deskriptif terhadap kasus hipospadia pada
Januari 2009 hingga april 2012 di RS Sanglah Bali menemukan sebanyak 53 kasus.
3. Tirtayasa et al juga melakukan penelitian mengenai hasil luaran dari pembedahan
urethroplasty pada kasus hipospadia di RS M. Djamil Padang pada rentang Januari
2012 - Januari 2014 dengan jumlah 44 kasus.
4. Maritzka et al pada studi observasinya pada rentang tahun 2010-2012 di Jawa
Tengah menemukan 120 kasus.
5. Mahadi et al menemukan 24 kasus pada rentang tahun 2009-2011 di RS Kanujoso
Djatiwibowo Balikpapan. Di RS Cipto Mangunkusumo Jakarta.
6. Aritonang et al melakukan studi retrospektif mengenai komplikasi TIP pada
rentang tahun 2002-2014 mendapatkan sampel sebanyak 124 kasus.
Hal ini menunjukkan bahwa pada daerah yang berbeda secara etnis dan geografis
hipospadia dapat ditemukankan dengan jumlah angka yang tidak jauh berbeda,
sehingga dapat disimpulkan prevalensi hipospadia di Indonesia cukup merata.

1.2 Tujuan

1.2.1 Untuk menjelaskan apa itu hipospadia pada anak.

1.2.2 Untuk menjelaskan penyebab penyakit hipospadia, tanda dan gejala serta serta
penyebabnya.

1.2.3 Untuk menjelaskan penatalaksanaan farmakologi dan non-farmakologi pada kasus


hipospadia yang terjadi pada anak.

1.2.4 Mampu merumuskan diagnosa keperawatan serta menyyusun intervensi


keperawatan anak hipospedia.

5
1.3 Manfaat
1.3.1 Pada makalah ini, orang tua memahami tentang penyakit hipospadia dan alasan
pembedahan yang akan dilakukan, serta orang tua akan aktif dalam perawatan
setelah operasi
1.3.2 Anak akan bebas dari infeksi dengan ditandai analisis urine normal dan
temperatur tubuh dibawah 37,8°C
1.3.3 Anak akan merasa nyaman yang ditandai dengan tidak adanya tangisan,
kegelisahan dan tidak ada ekspresi nyeri
1.3.4 Rasa cemas orang tua menurun yang ditandai dengan mengespresikan perasaan
tentang adanya kecacatan pada genetalia anak
1.3.5 Anak akan bebas dari injury yang ditandai dengan pemasangan kateter tetap
bertahan hingga dilepas dokter atau perawat

6
BAB 2. STUDI LITERATUR

2.1 Definisi
Kata hipospadia berasal dari bahasa Yunani yaitu Hypo yang berarti bawah dan
Spadon yang berarti lubang. Hipospadia adalah kelainan bawaan pada anak laki-laki,
posisi anatomi pembukaan saluran kemih di bagian ventral atau bagian anterior penis,
bentuk penis biasanya melengkung dan ukurannya lebih pendek dari pada laki-laki
normal. Kelainan ini, apabila tidak di koreksi dapat mengakibatkan terganggunya
fertilitas dikemudian hari. hipospadia ini merupakan cacat bawaan yang diduga terjadi
embriologis selama perkembangan uretra, antara usia kehamilan 8 dan 20 minggu. Letak
hipospadia bervariasi sepanjang bagian ventral dari penis sebagai akibat gagalnya
penyatuan lempeng uretra, hipospadia berat didefinisikan sebagai duatu kondisi
hipospadia yang disertai dengan letak muara uretra eksternal diantara proximal penis
sampai dengan perbatasan penis dan skrotum dan mempunyai chordee (Tangkudung,
Patria, & Arguni, 2016).

2.2 Klasifikasi

7
Secara tradisional hipospadia dulunya diklasifikasikan berdasarkan posisi meatus
yaitu distal (glandular, coronal, dan distal penis) atau proksimal (proksimal penis, peno
scrotal atau perinel), klasifikasi berdasarkan atas letak muara uretra akan sangat mudah
untuk diketahui dan memudahkan komunikasi antara dokter yang tidak terlatih untuk
koreksi hipospadia. Bagaimanapun semakin dekat posisi uretra tidak memberikan
perkiraan tingkat keparahan untuk membantu dalam koreksi bedah. Saat ini klasifikasi
telah dideskripsikan dengan menyertakan tingkat pembagian corpus spongiosum,
curvature penis, hypoplasia ventral dan hubungan terhadap tulang pubis.
Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan dan rasio casio benefit untuk pasien adalah
sebagai berikut :
1) Hipospadia ringan
Hipospadia distal terisolasi (glandular, coronal atau penile) tanpa adanya chordae,
mikropenis atau anomali scrotal. Indikasi untuk koreksi pada tipe ini hanya
didasarkan atas alasan kosmetik, sehingga koreksi bedah hanya dilakukan jika angka
komplikasi yang sangat rendah dapat dijamin.
2) Hipospadia berat
Hipospadia tipe scrotal dan perineal atau tipe apapun dengan chordae, mikropenis
dan anomali scrotal. Indikasi untuk koreksi pada aksus ini adalah ditujukan untuk
masalah fungsional. Pada kasus ini terdapat angka komplikasi yang tinggi, akan
tetapi manfaat untuk pasien yang menjalani operasi adalah baik.
3) Redo hipospadia

8
Indikasi operasi pada kasus ini adalah untuk meminimalisir beban setelah menjalani
operasi.

2.3 Patofisiologi
Sekitar minggu ke-6 gestasi, tuberkulum genital berkembang ke arah anterior
menuju ke arah sinus urogenital. Sedangkan pada minggu ke-8, terjadi maskulanisasi
genetalia eksterna laki-laki yang disebabkan karena pengaruh sintesis testosteron oleh
testis fetus. Sintesis testosteron dilakukan oleh sel leydig dari testis fetus, dimana sel
Leydig tersebut dirangsang oleh hCG (Human Chorionic Gonadotropin). Kemudian
testosterone akan diubah menjadi bentuk yang lebih poten oleh enzim 5-reduktase tipe
II menjadi dihidrotestosteron. Dihidrotestosteron menjadi lebih efektif apabila berikatan
dengan reseptor androgen yang terdapat di jaringan genital. Menjauhnya jarak antara
anus dengan genital diikuti dengan pemanjangan dari phallus merupakan salah satu tanda
pertama dari maskulanisasi, pembentukan uretra dan pembentukan preputium.
Terbentuknya uretra disebabkan oleh adanya gabungan tepi medial lipatan endodermal
uretra. Proses dari penggabungan tepi medial lipatan endodermal uretra ini dimulai dari
arah proksimal kearah distal dan berakhir pada akhir trimester pertama. Tepi ektodermal
uretra bergabung menjadi preputium. Kegagalan menyatunya lipatan endodermal uretra
inilah yang akan memicu terjadinya hipospadia (Kalfa et al, 2013).
Hipospadia biasanya terjadi akibat kegagalan lipatan uretra untuk berfungsi dengan
sempurna pada saat masa pembentukan saluran uretral embrionik. Apabila tidak segera
diperbaiki, abnormalitas yang terjadi akan menyebabkan infertilitas dan juga masalah
psikologis (Muscari, 2005). Garis tengah dari lipatan uretra tidak berfungsi dengan
lengkap sehingga menyebabkan meatus uretra terbuka pada sisi ventral dari penis.
Terdapat berbagai macam derajat kelainan letak pada meatus. Kelainan meatus ringan
yaitu terdapat sedikit pergeseran pada glans, dan disepanjang batang penis sampai
dengan perineum. Tidak ada prepusium pada sisi ventral namun menutup sisi dorsal dari
glans. Pita dari jaringan fibrosa yang biasanya disebut dengan chordee, pada sisi ventral
mengakibatkan adanya lengkungan (kurvatura) ventral dari penis (anak hipospadia).
Terjadinya hipospadia disebabkan karena pengembangan uretra dalam Rahim tidak
lengkap. Penyebab pasti dari kecacatan tidak diketahui namun diperkirakan hal tersebut

9
berkaitan dengan pengaruh lingkungan dan hormonal genetik (Sugar, 1995). Perpindahan
dari meatus uretra biasanya tidak mengganggu kontinensia kemih. Akan tetapi, stenosis
pembukaan bisa saja terjadi, yang nantinya dapat menyebabkan obstruksi parsial
outflowing urin. Hal ini juga akan mengakibatkan ISK atau hidronefrosis (Kumor, 1992).
Apabila dibiarkan tidak terkoreksi, penempatan ventral pembukaan uretral dapat
mengganggu kesuburan pada pria dewasa.

2.4 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis pada hipospadia antara lain:

1. Glans penis berbentuk datar da terdapat lekukan dibagian bawah penis yang
menyerupai meatus uretra eksternus.
2. Pada penderita hipospadia biasanya terdapat penis yang melengkung kearah
bawah yang akan tampak lebih jelas pada saat ereksi.
3. Preputium (kulup) tidak terdapat dibagian bawah penis, namun menumpuk di
bagian punggung penis.
4. Terdapat chordee, yaitu jaringan fibrosa yang mengelilingi meatus dan
membentang sampai ke glans penis, jika diraba akan lebih keras dari jaringan
sekitar.
5. Kulit penis pada bagian bawah biasanya sangat tipis.
6. Tidak ada tunika dartos, fasia buch, dan korpus spongiosum.
7. Bila meatus terletak pada dasar dari glans penis, dapat timbul tanpa chordee.
8. Chordee dapat timbul tanpa tanpa hipospadia sehingga penis menjadi bengkok.
9. Sering disertai dengan undescended testis (testis tidak turun ke kantung skrotum).
10. Terkadapat dapat disertai kelainan pada ginjal.

Pada kebanyakan penderita, biasanya penisnya melengkung kearah bawah yang


terlihat lebih jelas ketika ereksi. Hal tersebut diakibatkan karena adanya chordee atau
jaringan fibrosa yang menyebar mulai dari meatus yang memiliki letak abnormal ke
glands penis. Jaringan fibrosa ini merupakan bentuk rudimeter dari uretra, korpus
spongiosum, dan tunika dartos. Adanya chordee merupakan suatu ciri dari khas untuk
mencurigai adanya hipospadia, namun perlu diingat tidak hipospadia memiliki chordee.

10
2.5 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan medis yang dapat dilakukan adalah dengan cara pembedahan atau
operasi. Terdapat banyak teknik pada pembedahan pada hipospadia, dan umumnya
memiliki beberapa tahap diantaranya:

1. Operasi pelepasan chordee dan tunneling


Operasi ini dilakukan pada anak usia satu setengah sampai dua tahun. Operasi
eksisi chordee pada tahap ini dilakukan dari muara uretra hingga ke glans penis.
Setelah dilakukan eksisi chordee, penis akan menjadi lurus tetapi letak meatus
uretra masih abnormal. Agar dapat melihat keberhasilan dari eksisi chordee,
dilakukan tes ereksi buuatan intraoperative dengan cara menyuntikkan cairan
NaCl 0,9% kedalam korpus kavernosum.
2. Operasi Uretroplasti
Operasi ini umumnya dilakukan 6 bulan setelah operasi pertama. Uretra dibuat
dari kulit tipis pada bagian ventral yang di insisi secara longitudinal parallel pada
kedua sisi.
3. Pada tahun-tahun terakhir ini, telah mulai di terapkannya operasi satu tahap.
Namun. Operasi ini hanya dapat dilakukan pada hipospadia tipe distal dengan
ukuran penis yang cukup besar.

Sebelum melakukan tindakan operasi, terdapat beberapa tindakan yang perlu di


perhatikan dalam melakukan persiapan operasi yaitu dengan melakukan evalusi
preoperatif. Evaluasi preoperative yang dilakukan termasuk ultrasonografi bertujuan
untuk meyakinkan sistem urinari atas normal dan standar prosedur pemeriksaan darah
dan urin lengkap. Pasien diberikan antibiotik profilaksis sebelum dilakukan tindakan
operasi. Sebelum operasi juga dilakukan uretroskopi untuk memastikan tidak ada
anomaly urinary track seperti veromontanum, valve uretra atau striktur uretra. Jahitan
traksi di letakkan di dorsal glans sehingga tekanan yang konstan di tempatkan pada penis
sehingga dapat mengakibatkan perdarahan.

Tujuan dilakukannya pembedahan antara lain:

1. Memperbaiki chordee yang bertujuan untuk membuat penis yang lurus.


2. Membentuk uretra dan juga meatus bermuara pada ujung penis (uretroplasti)

11
3. Untuk mengembalikan aspek normal dari genitalia eksterna (kosmetik)

Terdapat beberapa teknik dalam pembedahan hipospadia, diantaranya adalah


Tunneling Shidiq-Chaula dan juga Teknik Horton dan Devine.

1. Teknik Tunneling Shidiq-Chaula


a. Tahap pertama dari eksisi chordee bisa dibuatkan terowongan yang berepitel
pada glans penis. Teknik dilakukan pada anak berusia satu setengah hingga
dua tahun. Tujuannya agar penis menjadi lurus, akan tetapi meatus masih
berada di tempat yang abnormal. Penutupan luka operasi menggunakan
preputium bagian dorsal dan kulit penis.
b. Tahap kedua yaitu dilakukan uretroplasti yaitu 6 bulan pasca operasi, saat
perut sudah lunak. Insisi parallel dibuat dibuat pada tiap sisi uretra atau saluran
kemih hingga ke glans, kemudian dibuat pipa pipa dari kulit pada bagian
tengah. Setelah uretra terbentuk, luka ditutup dengan flap dari kulit preputium
pada bagian sisi yang ditarik kebawah dan di pertemukan pada garis tengah.
Dilakukan 6 bulan setelah pembedahan tahap pertama, dengan harapan bekas
luka operasi telah matang.
2. Teknik Horton dan Devine
Teknik ini dilakukan satu tahap dengan anak yang lebih besar dan memiliki
kelainan hipospadia jenis distal (letaknya lebih ke ujung penis). Uretra dibuat dari
flap mukosa dan kuliat pada bagian punaggung dan ujung penis dengan pedikel
(kaki) lalu dipindah ke bawah. Sebaiknya tindakan penyunatan ditunda dan
dilakukan bersamaan dengan pembedahan hipospadia karena preputium penting
untuk bahan dasar hipospadia.

Perawatan pasca operasi, pasien diberikan kompres dingin di area operasi pada
dua hari pertama. Metode ini bertujuan untuk mengurangi edema, nyeri, dan juga
menjaga bekas luka operasi agar tetap bersih. Pada pasien dengan repair “flip-flop”
diversi urinary dilakukan dengan menggunakan kateter dengan ukuran paling kecil dan
juga steril melewati uretra hingga kandung kemih. Pasien dengan kateter suprapubik
dilepas pada hari kelima post operasi lalu di evaluasi ada atau tidaknya fistula.

12
BAB 3. ASUHAN KEPERAWATAN

Anak laki-laki bernama An. V berusia 12 tahun datang ke RS X bersama


Ibunya dengan keluhan kencing lewat bawah penis. Ibunya mengatakan klien lahir
tidak mempunyai lubang anus dan pernah dilakukan tindakan operasi pembuatan
stoma dan pungtum sebanyak 3 kali saat berumur 1 bulan. Pasien juga pernah
dilakukan uretrotomi sebanyak 7 kali sejak kelas 2 SD. Setelah dilakukan
pengkajian, diketahui hasil TTV: Nadi 102 x/mnt, reguler, RR 24x/mnt, suhu 36,8
℃. Pemeriksaan penunjang Hb 12,8 g/dL, Hct 36,9%, eritrosit 4,62 x106/uL,
leukosit 13,17x103/uL, trombosit 407x103/uL. Diagnosa medis hipospadia. Pasien
melakukan tindakan operasi urethroplasty.

3.1 Pengkajian
3.1.1 Identitas Klien
Nama pasien : An. V
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tanggal lahir : 26 Agustus 2007
Umur : 12 tahun
Suku : Jawa
Alamat : Sumbersari, Jember
Tanggal masuk RS : 22 Oktober 2019
Diagnosa medis : Hipospadia dengan Strictuma Uretra Post
Uretroskopi, Uretrotomi Interna H+0
3.1.2 Keluhan Utama
Ibu pasien mengatakan ketika pasien buang air kecil, urinnya keluar dari
bawah penis bukan dari ujung penis
3.1.3 Riwayat Kesehatan Pasien
1. Riwayat Penyakit Sekarang.
a. Awal serangan

13
Ibu pasien menyatakan saat pasien kelas 2 SD, pasien dibawa berobat
ke RS X karena ketika buang air kecil, urinnya keluar dari bawah
penis. Pada saat pasien kelas 2 SD dilakukan operasi yang pertama.

b. Timbul keluhan : Akut


c. Upaya pengobatan
Pasien dibawa berobat di RS X dan dilakukan operasi yang pertama
pada saat pasien kelas 2 SD. Pasien sudah menjalani operasi
hipospadia sebanyak 8 kali.

2. Riwayat Penyakit Dahulu


1) Riwayat Prenatal
Selama hamil, Ibu kontrol rutin di Puskesmas dan bidan dekat tempat
tinggalnya dan ANC dilakukan sebanyak 4-5 kali selama kehamilan.
Terdapat riwayat muntah. Tidak mempunyai riwayat hipertensi,
maupun perdarahan selama kehamilan.

2) Riwayat Natal
Pasien (anak) lahir di klinik bidan, ditolong bidan, secara spontan,
pada umur kehamilan 38 minggu, BBL 3000 gram, PB 42 cm. Anak
langsung menangis, tidak ada kejang maupun ikterik, namun pasien
tidak mempunyai lubang anus.

3) Riwayat Postnatal
Ibu menyatakan rutin membawa anaknya untuk imunisasi di bidan dan
kontrol di Puskesmas. Imunisasi yang pernah dilakukan: vaksin BCG,
Hepatitis B, DPT, Polio dan campak.

4) Riwayat Penyakit yang pernah diderita


Ibu pasien menyatakan pasien mempunyai riwayat Atresia Ani. Sejak
bayi, pasien tidak mempunyai lubang anus. Pasien pernah menjalani
operasi untuk pembuatan stoma pada umur 1 bulan. Operasi dilakukan
sebanyak 3 kali dan pada umur 1,5 bulan dilakukan operasi pembuatan

14
pungtum. Ibu pasien menyatakan selain mempunyai riwayat Atresia
Ani, pasien juga pernah menjalani operasi 7 kali pada penisnya.
5) Riwayat Hospitalisasi/ tindakan operasi
Ibu pasien menyatakan pasien pernah dilakukan tindakan operasi
pembuatan stoma dan pungtum sebanyak 3 kali saat berumur 1 bulan.
Pasien juga pernah dilakukan uretrotomi sebanyak 7 kali sejak kelas 2
SD.

6) Riwayat Injury/ kecelakaan


Keluarga menyatakan pasien belum pernah jatuh dan mengalami
kecelakaan hingga terluka.

7) Riwayat Alergi
Keluarga mengatakan pasien tidak memiliki riwayat alergi.

8) Imunisasi
Ibu menyatakan rutin membawa anaknya untuk imunisasi di bidan.

Imunisasi Sudah/belum Umur (bulan)


BCG √ (1x) 0 bulan (scar 2x2 mm)
Hepatitis √ (4x) 0, 2, 3, 4
DPT √ (3x) 2, 3, 4
Polio √ (3x) 2, 3, 4
Campak √ (1x) 9
Imunisasi lainnya - -

3.1.4 Riwayat Pertumbuhan

Umur tengkurap : 4 bulan

Umur duduk : 8 bulan

Umur mengoceh : 8 bulan

Umur bicara : 12 bulan

15
Umur berjalan : 17 bulan

3.1.5 Riwayat Kesehatan Keluarga


1. Sosial ekonomi
Kondisi sosial ekonomi pasien termasuk dalam kelompok ekonomi
menengah kebawah. Ayah pasien bekerja sebagai ojek online.

2. Lingkungan rumah
Pasien tinggal bersama ibu, kakek, dan saudara laki-lakinya. Pasien tinggal
di desa dengan ventilasi udara dan cahaya baik.

3. Penyakit keluarga
Ibu pasien mengatakan dalam keluarganya tidak memiliki riwayat
penyakit tertentu seperti hipertensi, diabetes, atau penyakit genetik
lainnya.

4. Genogram

Keterangan :

: pasien
: perempuan
: laki-laki

16
: laki-laki meninggal
: perempuan meninggal
: garis perkawinan
: garis keturunan
: tinggal serumah

3.1.6 Pengkajian Pola Fungsi Kesehatan


1. Aspek fisik biologis
a. Pemeliharaan kesehatan
Ibu pasien membawa pasien untuk operasi ke 8 untuk memperbaiki
bentuk penis di RS X.

b. Nutrisi dan Metabolisme


Sebelum sakit, Ibu pasien mengatakan pasien makan 3-4 kali sehari,
tiap kali makan sebanyak 1 porsi nasi dengan lauk, pasien menyukai
segala jenis makanan. Pasien minum air putih ±1500 ml sehari,

Selama sakit (Post op), Ibu pasien menyatakan pasien belum makan
dan minum karena belum kentut.

c. Pola Oksigenasi
Sebelum dan selama sakit
Pasien menyatakan tidak mempunyai riwayat sesak napas dan asma.
d. Pola Aktivitas – Istirahat – Tidur
Sebelum sakit
Ibu pasien mengatakan pasien tidur selama 5 jam sehari, pasien bisa
tidur nyenyak dan sering terbangun. Pasien jarang tidur siang karena
biasanya bermain bersama teman sebaya.
Selama sakit
Post op
Ibu pasien mengatakan ada perubahan yang berarti antara sebelum
sakit dan selama sakit. Pasien tidur kurang dari 4 jam sehari. Pasien
tidak bisa tidur nyenyak dan sering terbangun.

17
e. Eliminasi
Sebelum sakit

Ibu pasien menyatakan pasien b.a.b 2 kali sehari dengan konsistensi


lunak dan berwarna kuning. b.a.k sebanyak 6-7 kali , warna kuning
jernih, berbau khas urin.

Selama sakit

Post op

Ibu pasien menyatakan pasien b.a.b 1 kali dengan konsistensi sedikit


padat. pasien b.a.k melalui selang kateter (DC) yang terpasang.
Volume urine dalam 24 jam 300 mL.

f. Kebersihan Diri
Sebelum sakit

Kemampuan yang dinilai 0 1 2 3 4


Makan dan minum 
Mandi 
Toileting 
Berpakaian 
Mobilitas 

ROM 

Keterangan :
0 : Mandiri 3 : Dibantu orang lain dan alat
1 : Alat bantu 4 : Tergantung total
2 : Dibantu orang lain

Selama sakit
Post Op
Kemampuan yang dinilai 0 1 2 3 4

18
Makan dan minum 
Mandi 
Toileting 
Berpakaian 
Mobilitas di tempat tidur 
ROM 
Keterangan :
0 : Mandiri 3 : Dibantu orang lain dan alat
1 : Alat bantu 4 : Tergantung total
2 : Dibantu orang lain
Ibu pasien menyatakan pasien mandi sebelum dilakukan tindakan
operasi pada pagi hari.
2. Aspek Mental-sosial-spiritual
a. Mekanisme koping
Pasien mengatakan takut dan gelisah sebelum di operasi. Wajah pasien
nampak tegang. Setelah di operasi, pasien merasa khawatir dengan
perubahan di bagian penisnya dan sulit tidur.
b. Intelektual (keluarga)
Ibu pasien sudah memahami tentang proses penyakit anaknya dan
perawatan luka pada post operasi anaknya karena sudah
berpengalaman sebelumnya.
c. Spiritual (keluarga)
Pasien dan keluarga selalu berdoa untuk kesembuhan pasien.
3.1.7 Pemeriksaan Fisik
1. Keadaaan umum
Post op

Tingkat kesadaran : Composmentis

2. Tanda vital
a. Nadi : 102 x/menit
b. Suhu : 36,80C

19
c. Respirasi : 24 x/menit
3. Status gizi
BB : 47 kg
TB : 137 cm
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑏𝑎𝑑𝑎𝑛 (𝑘𝑔)
IMT = 𝑇𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖 𝐵𝑎𝑑𝑎𝑛 (𝑚2 )

= 47 kg
(1,37)²
= 25,04 kg/m2 (Kategori : )

3.1.8 Pemeriksaan Cephalo Caudal


a. Kulit
Kulit pasien berwarna kuning langsat. Tidak ada ikterik, warna kulit
bagian kaki dan tangan sama dengan sekitarnya. Capilarry refill <2
detik, kulit pasien teraba hangat normal

b. Kepala
Bentuk kepala pasien normocephal. Rambut pasien berwarna hitam,
lebat dan rapi. Tidak ada ketombe. Wajah pasien simetris.
c. Mata
Mata pasien tidak tampak sembab, conjungtiva tidak anemis, refleks
terhadap cahaya baik, tidak terdapat udem palpebral, tidak ada ikterik.

d. Telinga
Bentuk normal, daun dan lubang telinga pasien bersih, tidak keluar
cairan, fungsi pendengaran pasien baik.

e. Hidung
Pernapasan cuping hidung tidak ada, posisi septum simetris, tidak ada
sekret yang keluar dari hidung.

f. Mulut
Mulut utuh, tidak ada bentuk bibir sumbing, palatum utuh. Tidak ada
sariawan, membran mukosa bibir lembab..

20
g. Leher
Bentuk leher pasien simetris, tidak ada penggunaan otot bantu
pernafasan tambahan. JVP tidak meningkat. Tidak ada pembesaran
kelenjar tiroid.

h. Dada (Paru dan Jantung)


1) Inspeksi
Dada simetris, tidak ada retraksi, diameter anteroposterior:lateral
1:1. Saat bernapas pergerakan sama dan tidak ada bagian yang
tertinggal pergerakannya. Tidak ada lesi, ikterik, keloid, warna
kulit merata. Iktus kordis tidak terlihat.

2) Palpasi
Tidak terdapat nyeri tekan. Iktus kordis teraba normal
3) Perkusi
Suara sonor pada paru kanan dan kiri. Suara IC 4-5 sinistra redup
4) Auskultasi
Seluruh lapang dada terdengar suara vesikuler. Tidak ada murmur
dan gallop.
i. Abdomen
1) Inspeksi
Bentuk simetris, terdapat luka bekas operasi di abdomen kuadran
kanan bawah.
2) Auskultasi
Terdengar bising usus 2x/menit.
3) Perkusi
Terdengar suara timpani di semua kuadran abdomen.
4) Palpasi
Nyeri tekan, tidak terdapat massa abnormal, tidak ada
hepatomegaly dan splenomegaly.
j. Genetalia

21
Pasien berjenis kelamin laki-laki dan genetalianya. Terpasang Dower
Catheter. Terdapat luka bedah pada penis dan terbalut kassa steril.
Luka tampak bersih, tidak ada rembesan darah, dan tidak ada tanda-
tanda inflamasi. Pasien menyatakan nyeri pada penis karena bekas
operasi. Pasien tampak menhan nyeri.

P: nyeri timbul saat diam atau bergerak

Q: nyeri seperti terkena benda tajam

R: nyeri pada penis

S: skala nyeri 5

T: semakin parah jika digerakkan

k. Eksremitas
1) Ekstremitas atas : anggota gerak lengkap tidak ada kelainan.
Capillary refill <2 detik. Kulit bewarna putih. Akral teraba hangat
(+/+). Terpasang infus pada tangan kiri.
2) Ekstremitas bawah : anggota gerak lengkap tidak ada kelainan.
Capillary refill <2 detik. Kulit bewarna putih. Akral teraba hangat
(+/+)
l. Anus

Lubang anus (+)

3.1.9 Pemeriksaan Penunjang


a. Pemeriksaan Lab
Hari, tanggal : Kamis, 22 Oktober 2019

Pukul : 16:26:10

NAMA HASIL SATUAN NILAI KETERANGAN


PEMERIKSAAN RUJUKAN

DARAH LENGKAP

22
Eritrosit 4.62 10^6µL 4.00-5.20 Normal

Hemoglobin 12.8 g/dL 11.5-15.5 Normal

Hematokrit 36.9 % 35.0-45.0 Normal

MCH 27.7 Pg 27.0-32.0 Normal

MCV 79.9 fL 80.0-99.0 Rendah

MCHC 34.6 g/dL 32.0-36.0 Normal

RDW 14.9 % 11.5-15.5 Normal

CH 26.7 Pg - -

CHCM 33.6 g/dL 33.0-37.0 Normal

HDW 2.40 % 2.20-3.20 Normal

Lekosit 13.17 10^3/µL 4.50-14.50 Normal

Netrofil # 8.36 10^3/µL 2.20-4.80 Tinggi

Limfosit # 3.87 10^3/µL 1.30-2.90 Tinggi

Monosit # 0.47 10^3/µL 0.30-0.80 Normal

Eosinofil # 0.16 10^3/µL 0.00-0.20 Normal

Basofil # 0.08 10^3/µL 0.00-0.10 Normal

LUC # 0.24 10^3/µL 0.00-0.40 Normal

Netrofil % 63.4 % 50.0-70.0 Normal

Limfosit % 29.4 % 22.0-40.0 Normal

Monosit % 3.6 % 2.0-8.0 Normal

Esinofil % 1.2 % 2.0-4.0 Normal

Basofil % 0.6 % 0.0-1.0 Normal

23
LUC % 1.8 % 0.0-4.0 Normal

Trombosit 407 x10^3/µL 150-450 Normal

MPV 5.6 Fl 7.2-10.4 Rendah

3.1.10 Terapi
Cefotaxime 2x 500 mg
Ranitidin 2 x25 mg
Novalgin 2x 300 mg

24
3.2 Analisa Data

No Data Penunjang Etiologi Masalah Paraf


.

1. DS: Nyeri akut Nyeri akut


Pasien mengatakan £
nyeri pada penis
Post operasi Ns. A
karena bekas
operasi.
P: nyeri timbul saat Pembedahan eksisi
diam atau bergerak chorde
Urethroplasty
Q: nyeri seperti
terkena benda tajam
Hipospadia
R: nyeri pada penis pariteral

S: skala nyeri 5

T: semakin parah
jika digerakkan,
nyeri pada bagian
anus yg dilakukan
operasi.

DO:

- Terdapat luka
bedah pada penis
dan terbalut kassa
steril.
- Luka tampak
bersih, tidak ada
rembesan darah,
dan tidak ada

25
tanda-tanda
inflamasi.
- Pasien tampak
menahan nyeri
- Nadi: 102 x/ menit

2. DS: Konstipasi Konstipasi


Ibu pasien £
mengatakan pasien
diet pos operasi Ns. A
belum makan dan
minum karena
belum kentut, pasien Pembedahan eksisi
juga belum BAB. chorde
Urethroplasty
DO:

- pasien BAK Hipospadia


melalui selang
kateter (DC) yang
terpasang.
- Terdengar bising
usus 2x/menit

3. DS: Ansietas Ansietas


Pasien mengatakan £
takut dan gelisah
Wajah pucat Ns. A
sebelum di operasi.
Setelah di operasi,
pasien merasa Pre dan Post
khawatir dengan operasi

perubahan di bagian
penisnya dan sulit Pembedahan eksisi
tidur. chorde
Urethroplasty

26
DO:
- Wajah pasien
Hipospadia
nampak tegang pariteral

Daftar prioritas masalah

1. Nyeri akut b.d agen cidera fisik d.d ekspresi wajah meringis skala nyeri 5.

2. Konstipasi b.d asupan serat kurang d.d bising usus hipoaktif.

3. Ansietas b.d stressor d.d wajah pasien nampak tegang

27
28
3.3 Intervensi

No. Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Paraf

1. Nyeri akut b.d agen cidera Tujuan: setelah dilakukan Pemberian Analgesik (2210)
fisik d.d ekspresi wajah perawatan selama 3x24 jam 1. Tentukan lokasi, karakteristik, £
meringis skala nyeri 5. diharapkan nyeri dapat kualitas, dan keparahan nyeri
berkurang. sebelum mengobati pasien. Ns. A
2. Monitor tanda vital sebelum
Kriteria hasil:
dan setelah memberikan
Status kenyamanan (2008) analgesic
1. Ksesjahteraan fisik di 3. Berikan kebutuhan
tingkatkan dari skala 2 kenyamanan dan aktivitas
(banyak terganggu) ke skala lain yang dapat membantu
5 (tidak terganggu). relaksasi untuk memfasilitasi
2. Kontrol terhadap gejala di penurunan nyeri.
tingkatkan dari skala 2 4. Evaluasi keefektifan analgesik
(banyak terganggu) ke skala dengan interval yang teratur
5 (tidak terganggu). pada setiap setelah pemberian
3. Lingkungan fisik analgesik.
ditingkatkan dari skala 2 Pengurangan Kecemasan

29
(banyak terganggu) ke skala (5820)
5 (tidak terganggu). 1. Gunakan pendekatan yang
4. Perawatan sesuai dengan tenang dan meyakinkan.
kebutuhan ditingkatkan dari 2. Berada di sisi klien untuk
skala 2 (banyak terganggu) meningkatkan rasa aman dan
ke skala 5 (tidak terganggu). mengurangi ketakutan.
5. 3. Puji/kuatkan perilaku yang
Tingkat ketidaknyamanan baik secara tepat.
(2109) 4. Instruksikan klien untuk
1. Nyeri di tingkatkan dari skala menggunakan teknik
2 (cukup berat) ke skala 5 relaksasi.
(tidak ada).
2. Sindrom restless legs (kondisi Manajemen Lingkungan:
dimana tubuh tidak merasa Kenyamanan (6482)
nyaman baik dalam keadaan 1. Hindari gangguan yang tidak
duduk maupun berdiri) di perlu dan berikan untuk
tingkatkan dari skala 2 waktu istirahat.
(cukup berat) ke skala 5 2. Ciptakan lingkungan yang
(tidak ada). tenang dan mendukung.
3. meringis di tingkatkan dari 3. Sediakan lingkungan yang

30
skala 2 (cukup berat) ke skala aman dan bersih.
5 (tidak ada). 4. Pertimbangkan sumber-
sumber ketidaknyamanan,
Nyeri: efek yg menggangggu seperti balutan yang lembab,
(2101) posisi selang, balutan yang
1. Ketidaknyamanan di tertekan, seprei kusut,
tingkatkan dari skala 2 maupun lingkungan yang
(cukup berat) ke skala 5 mengganggu.
(tidak ada). 5. Posisikan pasien untuk
2. Gangguan dalam perasaan memfasilitasi kenyamanan.
mengontrol di tingkatkan dari
skala 2 (cukup berat) ke skala
5 (tidak ada).
3. Gangguan pergerakan fisik di
tingkatkan dari skala 2
(cukup berat) ke skala 5
(tidak ada).
1.

31
2. Konstipasi b.d asupan Tujuan: setelah dilakukan Manajemen
serat kurang d.d bising perawatan selama 3x24 jam Konstipasi/Impaksi (0450) £
usus hipoaktif. diharapkan BAB klien lancar. 1. Monitor tanda dan gejala
konstipasi Ns. A
Kriteria hasil:
2. Monitor bising usus
Pengetahuan: Pengobatan 3. Buatlah jadwal untuk BAB
(1808) dengan cara yang tepat.
1. Efek terapeutik obat di 4. Instruksikan pasien/keluaraga
tingkatkan dari skala pada diet tinggi serat, dengan
(pengetahuan terbatas) ke cara yang etpat.
skala 5 (pengetahuan sangat 5. Evaluasi catatan asupan untuk
banyak). apa saja nutrisi yang telah di
2. Efek samping obat di konsumsi.
tingkatkan dari skala 2
(pengetahuan terbatas) ke Penahapan Diet
skala 5 (pengetahuan sangat 1. Tentukan munculnya suara
banyak). perut.
3. Teknik pemantauan sendiri di 2. Tentukan apakah pasien bisa
tingkatkan dari skala 2 buang angina.
(pengetahuan terbatas) ke 3. Tingkatkan diet dari cairan

32
skala 5 (pengetahuan sangat jernih, cair, lembut sampai
banyak). dengan diet regular atau
khusus untuk anak dan
Status Nutrisi: Asupan dewasa.
Makanan & Cairan (1008) 4. Temukan cara untuk bisa
1. Asupan makanan secara oral memasukkan makanan
di tingkatkan dari skala 1 kesukaan pasien dalam diet
(tidak adekuat) ke skala 5 yang di anjurkan.
(sepenuhnya adekuat)
2. Asupan cairan secara oral di
tingkatkan dari skala 1 (tidak
adekuat) ke skala 5
(sepenuhnya adekuat).
3. Asupan nutrisi parenteral di
tingkatkan dari skala 3
(cukup adekuat) ke skala 5
(sepenuhnya adekuat).

Perawatan Diri: Eliminasi


(0310)

33
1. Menanggapi dorongan untuk
buang air besar secara tepat
waktu di tingkatkan dari skala 2
(banyak terganggu) ke skala 5
(tidak terganggu).
2. Memposisikan diri dari di
toilet atau alat bantu eliminasi di
tingkatkan dari skala 2 (banyak
terganggu) ke skala 5 (tidak
terganggu).
3. Sampai ke toilet antara
dorongan atau sampai keluarnya
feses di tingkatkan dari skala 2
(banyak terganggu) ke skala 5
(tidak terganggu).
1.
3. Ansietas b.d stressor d.d Tujuan: setelah dilakukan Teknik Menenangkan (5880)
wajah pasien nampak perawatan selama 3x24 jam 1. Pertahankan sikap yang £
tegang diharapkan klien lebih tenang. tenang dan hati-hati.
2. Pertahankan kontak mata. Ns. A

34
Kriteria Hasil: 3. Kurangi stimuli yang
menyebabkan perasaan takut
Kontrol Kecemasan Diri
maupun cemas.
(1402)
4. Yakinkan keselamatan dan
1. Memantau intensitas keamanan klien.
kecemasan di tingkatkan dari 5. Instruksikan klien untuk
skala 2 (jarang dilakukan) ke menggunakan teknik
skala 5 (dilakukan secara menenangkan.
konsisten). 6. Tawarkan usapan pada

2. Menggunakan strategi koping punggung jika di perlukan.

yang efektif di tingkatkan 7. Instruksikan klien untuk

dari skala 2 (jarang menggunakan metode

dilakukan) ke skala 5 mengurangi kecemasan.

(dilakukan secara konsisten).


Peningkatan Koping (5230)
3. Menggunakan teknik
1. Bantu pasien untuk
relaksasi untuk mengurangi
menyelesaikan masalah
kecemasan di tingkatkan dari
dengan cara yang konstruktif.
skala 2 (jarang dilakukan) ke
2. Berikan penilaian mengenai
skala 5 (dilakukan secara
pemahaman pasien terhadap

35
konsisten). proses penyakit.
3. Gunakan pendekatan yang
Koping (1302)
tenang dan memberikan
1. Mengidentifikasi pola koping jaminan.
yang efektif di tingkatkan dari 4. Cari jalan untuk memahami
skala 2 (jarang menunjukkan) ke perspektif pasien terhadap
skala 5 (secara konsisten situasi yang penuh stress.
menunjukkan). 5. Dukung keterlibatan keluarga,

2. Melaporkan pengurangan dengan cara yang tepat.

stres di tingkatkan dari skala 2 6. Instruksikan pasien untuk

(jarang menunjukkan) ke skala 5 menggunakan teknik

(secara konsisten menunjukkan). relaksasi sesuai dengan


kebutuhan.
3. Mengidentifikasi beberapa
strategi koping di tingkatkan dari
Terapi relaksasi (6040)
skala 2 (jarang menunjukkan) ke
1. Dorong klien untuk
skala 5 (secara konsisten
mengambil posisi yang
menunjukkan).
nyaman dengan pakaian
4. Menggunakan strategi koping longgar dan mata tertutup.
yang efektif di tingkatkan dari 2. Dapatkan perilaku yang

36
skala 2 (jarang menunjukkan) ke menunjukkan relaksasi,
skala 5 (secara konsisten misalnya bernafas dalam,
menunjukkan). menguap, pernafasan perut,
atau bayangan yang
Tingkat Rasa Takut: Anak
menenangkan.
(1213)
3. Minta klien untuk rileks dan
1. Gelisah di tingkatkan dari merasakan sensasi yang
skala 3 (sedang) ke skala 5 terjadi.
(tidak ada). 4. Tunjukkan dan praktikkan

2. Ketakutan di tingkatkan dari teknik relaksasi pada klien.

skala 3 (sedang) ke skala 5 5. Dorong kontrol sendiri ketika

(tidak ada). relaksasi dilakukan.


6. Evaluasi dan dokumentasikan
3. Kepanikan di tingkatkan dari
respon terhadap terapi
skala 3 (sedang) ke skala 5
relaksasi.
(tidak ada).

37
1.4 Pendidikan Kesehatan

SATUAN ACARA PENYULUHAN (SAP)

PERAWATAN LUKA POST OPERASI DI RUMAH DAN PERAWATAN


GENETALIA

Topik : Perawatan luka post operasi di rumah dan perineal hygiene

Sub Topik : Pengertian perawatan luka, Tujuan perawatan luka, Cara perawatan luka,
Berapa kali sehari ganti balutan, Komplikasi, Perawatan genetalia

Sasaran : Orang tua anak yang mengalami hipospadia di RS Bina Sehat

Tempat : Aula RS Bina Sehat

Waktu : 25 Menit

Penyuluh : Stefany Hapylisabela

Devita Ayu Styaningrum

Iqbal Maulana

I. Analisa Data
A. Kebutuhan Peserta Didik
Kasus hipospadia di Jember mencapai 21 kasus di Rumah Sakit Bina
Sehat Jember, Rumah Sakit Paru Jember, dan Rumah Sakit Bhayangkara
Bondowoso. Dari hasil penelitian 21 kasus hipospadia post operasi. Berdasarkan
hasil penelitian menunjukkan 7 kasusu (33,3%) mengalai komplikasi fistula
uretrokutaneus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 11 kasus hipospadia proksimal
dan 10 kasus hipospadia distal. Rata-rata usia operasi hipospadia adalah usia 6-10
tahun. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan teknik Tubularized Incisd Plate (TIP)
lebih banyak digunakan dala teknik operasi hipospadia. Pada kasus yang digunakan
dalam operasi hipospadia dengan jumlah 36,8% yang mengalami komplikasi
dibandingkan dengan kasus non komplikasi.

38
Dari data yang tertera, dapat disimpulkan bahwa banyaknya kasus post
operasi hipospadia yang ada di masyarakat, memunculkan ide kepada penyuluh
untuk melakukan penyuluhan tentang perawatan luka post operasi dan perawatan
organ reproduksi (perineal hygiene) kepada orang tua.
B. Karakteristik Peserta Didik
Orang tua dari anak-anak yang mengalami hipospadia di RS Bina Sehat dengan rata-
rata tingkat pendidikannya tidak sekolah, Lulusan SD, SMP, SMA.
II. Tujuan Instruksional Umum
Setelah dilakukan penyuluhan kesehatan perawatan luka post operasi dan perawatan
organ reproduksi (perineal hygiene) diharapkan orang tua yang ada di Desa
Sumbersari Kabupaten Jember menjadi mampu/bisa melakukan perawatan luka post
operasi dan perawatan organ reproduksi (perineal hygiene) secara mandiri.
III. Tujuan Instruksional Khusus
Setelah mengikuti penyuluhan kesehatan selama 1 x 25 menit, diharapkan orang tua
mampu :
a. Mengerti pengertian perawatan luka.
b. Mengerti cara perawatan luka & perawatan genetalia
c. Melaksanakan perawatan luka & perawatan genetalia secara mandiri di rumah
IV. Materi (Terlampir)
a. Pengertian perawatan luka.
b. Cara perawatan luka dan perawatan genetalia
V. Metode
Ceramah dan diskusi.
VI. Media
Leaflet
VII. Kegiatan Penyuluhan

NO Waktu Kegiatan Penyuluhan Kegiatan Peserta


1 Pembukaan 5  Memberikan salam  Menjawab salam
menit  Perkenalan  Mendengarkan dan
 Kontrak waktu memperhatikan

39
 Menejalaskan TIU dan TIK
 Menyebutkan materi yang
akan diberikan
2 Inti 15 menit  Menjelaskan materi tentang :  Menjawab
a. Pengertian perawatan luka. pertanyaan
b. Cara perawatan luka post penyuluh
operasi.  Mendengarkan dan
c. Cara perawatan genetalia mempehatikan
 Bertanya pada
penyuluh bila
masih ada yang
belum jelas
3 Penutup 5  Evaluasi  Menjawab
menit  Menyimpulkan pertanyaan
 Mengucapkan salam dan  Memperhatikan
penutup  Menjawab salan

VIII. Evaluasi
a. Jelaskan pengertian perawatan luka.
b. Jelaskan cara/langkah-langkah perawatan luka.
c. Jelaskan caea/langkah-langkah perawatan genetalia

IX. Rerefensi
Sjamsuhidajat. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta : EGC
Widjajana, Desy P.,. 2017. Hubungan Tipe Hipospadia, Usia dan Teknik Operasi
terhadap Komplikasi Fistula Uretrokutaneus pada Kasus Hipospadia
Anak. Skripsi. Jember : Fakultas Kedokteran Universitas jember.

40
Materi Penyuluhan Perawatan Luka Post Operasi di Rumah dan Perawatan
Genetalia
1) Pengertian perawatan luka
Perawatan luka adalah perawatan yang dilakukan pada luka setelah prosedur
pembedahan/operatif yang dilakukan oleh dokter.
2) Tujuan perawatan luka
a. Melindungi luka dari kontaminasi mikroorganisme
b. Membantu homestasis
c. Mempercepat proses penyembuhan
d. Menjaga kelembaban luka baik luka bersih maupun luka kotor
e. Menghilangkan sekresi yang terakumulasi dan jaringan mati dari luka
f. Menurunkan pertumbuhan mikroorganisme.
3) Cara perawatan luka
a) Cuci tangan 6 langkah dengan sabun atau anti septic sebelum merawat luka
b) Buka balutan dengan hati-hati
c) Bersihkan luka dengan larutan NaCl 0,9& atau menggunakan air matang
d) Lalu keringkan
e) Beri Salf atau bethadine sesuai instruksi dokter
f) Tutup luka dengan kasa steril
g) Ganti balutan 3 x dalam sehari atau saat kasa terlihat rembesan dan kotor
4) Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi karena :
a) Terjadinya infeksi
b) Luka lama sembuh
c) Klien menjadi demam
5) Cara Perineal Hygiene dirumah.
alat : 1) kapas sublimat
2) pinset
3) bengkok
4) pispot
5) urinal

41
6) baskom berisi air hangat
7) pengalas
8) handscon
9) handuk
10) baskom berisi desinfeksi
cara :
1) dekatkan alat-alat pada klien
2) tutup pintu dan jendela kamar klien
3) atur tempat tidur klien/yang nyaman
4) mencuci tangan
5) ganti selimut dengan selimut mandi, dengan 1 ujung selimut diantara kaki klien
dan 2 ujung yang lain ke sisi tempat tidur, 1 ujung lain pada dada klien
6) atur posisi klien mengangkang, lepas baju bawah/celana
7) lilitkan ujung selimut ke sekeliling tungkai terjauh dengan menarik ujung selimut
dan melipatnya ke bawah panggul. lakukan pada keduannya.
8) perlahan-lahan angkat penis dan letakkan handuk dibawahnya, pegang ujung
penis.
9) bersihkan ujung penis, lakukan gerakkan memutar, bersihkan ke arah keluar.
10) Basuh batang penis perlahan, tetapi kuat dengan menggosok kea rah pangkal
penis, gunakan waslap dan air hangat.
11) basuh dan keringkan penis secara menyeluruh, minta klien meregangkan kakinya.
12) dengan perlahan bersihan skrotum, angkat testis dengan hati-hati dan cuci lipatan
dibawahnya. basuh dengan waslap dan keringkan.
13) bantu klien untuk miring, bersihkan daerah anal dan perineum ke anus dengan
satu gosokan ulangi dengan waslap dan keringkan
14) bantu klien terlentang
15) lepaskan handscone
16) ganti selimut mandi dengan selimut tidur
17) rapikan dan atur posisi klien
18) tanyakan apakah sudah terasa nyaman dan bersih
19) bereskan alat dan cuci tangan

42
Leaflet

43
44
BAB 4. WOC/PATHWAYS

Penyatuan glandula
Proses Pembentukan uretra
uretra di garis
perkembangan janin terganggu
tengah lipatan uretra
usia 8-15 minggu
tidak lengkap

Meatus uretra
Hipospadia Pembentukan saluran (lubang kencing)
kencing tidak terbuka pada sisi
sempurna ventral penis

Stenosis meatus
Tidak dilakukan (aliran urine sulit Pembedahan
operasi diatur) (operasi)
kriptokirdisme

Pada jenis Defisiensi Eksisi chordee


penoskrotal/perinial pengetahuan uretroplasty
Ansietas

Pra pembedahan
Infertilitas

Pemasangan kateter Gangguan rasa


inwhelling nyaman
Hubungan seksual
terganggu

Post de entry kuman Nyeri

Disfungsi seksual
Resiko infeksi

45
BAB 5. PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Hipospadia masih menjadi masalah kesehatan dengan angka insidensi yang tinggi di
dunia. Kelainan ini merupakan kelainan kongenital yang tidak diketahui dengan pasti
penyebabnya. Namun beberapa faktor resiko dapat dihindari dan dikendalikan. Di
Indonesia masih belum diketahui angka insidensi pasti dan apakah terdapat
peningkatan kejadian seperti yang terjadi di Amerika dan Eropa. Di Indonesia paling
sering ditemukan hipospadia distal dengan teknik pembedahan TIP sebagai
tatalaksananya. Semakin dini dilakukan tindakan rekonstruksi semakin baik pula
hasil luarannya. Apabila kelainan ini tidak ditangani dengan baik, beberapa
komplikasi terkait kualitas hidup dapat mengganggu penderita, termasuk kehidupan
seksual dan fertilitas.

5.2 Rekomendasi isu menarik


Hipospedia adalah cacat bawaan lahir yang diduga terjadi embriologis selama
perkembangan uretra, antara usia kehamilan 8 dan 20 minggu, struktur genital
eksternal lebih identik pada laki-laki terutama dibawah pengaruh testosteron. Alur
uretra terbuka meluas dari dasar ke tingkat korona. Pembukaan yang abnormal dapat
membentuk bagian mana saja dibawah ujung penis ke skrotum. Faktor penyebab
wanita memiliki bayi laki-laki dengan hipospadia antara lain umur dan berat badan
ibu, perawatan kesuburan(bantuan kehamilan) dan hormon tertentu pada ibu.
Anak laki-laki dengan hipospadia memiliki ciri-ciri penis melengkung. Mereka bisa
memiliki masalah dengan pengeluaran urin abnormal dan mungkin harus duduk
untuk buang air kecil. Beberapa anak laki-laki dengan hipospadia memiliki testis
yang belum sepenuhnya turun ke dalam skrotum Letak hipospadia bervariasi
sepanjang bagian ventral dari penis sebagai akibat gagalnya penyatuan lempeng
uretra, hipospadia berat didefinisikan sebagai duatu kondisi hipospadia yang disertai
dengan letak muara uretra eksternal diantara proximal penis sampai dengan
perbatasan penis dan skrotum dan mempunyai chordee

46
DAFTAR PUSTAKA

Center for Disease Control and Prevention. Congenital Malformation of Genital Organ.
2015.
(Internet).<https://www.cdc.gov/ncbddd/birthdefects/surveillancemanual/photo-
atlas/gen.html?>accessed March 9, 2017

Center for the Study & Treatment of Hypospadias | UCSF Departement of Urology
[internet]. Urology. Ucsf.edu. 2016 [cited 9 November 2016]. Availabel from:
https:/ /urology.ucsf.edu/research/children/center-study-treatment-hypospadias

Corwin, Elizabeth J. (2009). Pathofisiologi : Buku saku. Jakarta : EGC.

Grace, P. A. & Borley, N. R. (2007). At a Glance: Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.

Kalfa, N., Philibert, P,. et al. (2013). Minor Hypospadias: The Tip of the Iceberg of the
Partial Androgen Insensitivity Syndrome. Plos One. 8(4): 2-3.

Ketut Mendri S., Prayogi Sarwo, A. Asuhan keperawatan pada anak sakit & bayi resiko
tinggi. Jakarta:Pustaka Baru Press

Tangkudung, F. J., Patria, S. Y., & Arguni, E. (2016). Faktor Risiko Hipospadia pada
Anak di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Sari Pediatri, 17(5), 396.
https://doi.org/10.14238/sp17.5.2016.396-400

Snodgrass WT, Bush NC. Hypospadia. In In Campbell M, Wein A, Kavoussi L, Walsh


P. Campbell-Walsh urology. Philadelphia: Elsevier; 2016;p2365-77

Speer, Kathleen Morgan. (2007). Rencana Asuhan Keperawatan Pediatrik dengan


Clinical Pathways. Jakarta: EGC.

47

Anda mungkin juga menyukai