Anda di halaman 1dari 51

i

Laporan Kasus

TINEA CORPORIS ET CRURIS

Disusun Oleh
Amirah Nindhita Paramesthi, S.Ked
NIM : 71 2020 040

Pembimbing
dr. Lucille Annisa Suardin, Sp.KK., FINSDV

DEPARTEMEN KULIT DAN KELAMIN


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PALEMBANG BARI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2022
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus berjudul


Tinea Corporis et Cruris

Dipersiapkan dan disusun oleh


Amirah Nindhita Paramesthi, S.Ked
NIM : 71 2020 040

Telah diterima sebagai salah satu syarat dalam mengikuti kegiatan Kepaniteraan
Klinik Senior (KKS) di Bagian Ilmu Kulit dan Rumah Sakit Daerah Palembang
Bari Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang
Periode Mei 2022

Palembang, Mei 2022


Dosen Pembimbing

dr. Lucille Annisa Suardin, Sp.KK., FINSDV

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan Kasus mengenai
“Tinea Corporis et Cruris” sebagai salah satu tugas individu di Departemen Kulit
dan Kelamin Rumah Sakit Umum Daerah Palembang Bari. Shalawat dan salam
selalu tercurah kepada Rasulullah Muhammad SAW beserta para keluarga,
sahabat, dan pengikutnya sampai akhir zaman.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini belum sempurna. Oleh karena
itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun sebagai
bahan pertimbangan perbaikan dimasa mendatang.
Dalam penyelesaian laporan kasus ini, penulis banyak mendapat bantuan,
bimbingan, dan saran dari berbagai pihak, baik yang diberikan secara lisan
maupun tulisan. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa hormat
dan terima kasih terutama kepada:
1. dr. Lucille Annisa Suardin, Sp.KK., FINSDV selaku dosen pembimbing yang
telah memberikan banyak ilmu, saran, dan bimbingan selama penyusunan
laporan kasus ini.
2. Orang tua dan saudaraku tercinta yang telah banyak membantu dengan doa
yang tulus dan memberikan bantuan moral maupun spiritual.
3. Rekan sejawat seperjuangan serta semua pihak yang telah membantu dalam
menyelesaikan laporan kasus ini.
Penulis berharap semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi semua
pihak dan perkembangan ilmu pengetahuan kedokteran. Semoga selalu dalam
lindungan Allah SWT. Amin.
Palembang, Mei 2022

Penulis

iii
DAFTAR ISI

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Dermatofitosis adalah penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk,


misalnya stratum korneum pada epidermis, rambut, dan kuku, yang disebabkan
golongan jamur dermatofita. Jamur ini dapat menginvasi seluruh lapisan stratum
1
korneum dan menghasilkan gejala melalui aktivasi respons imun pejamu.
Terdapat berbagai variasi gambaran klinis dermatofitosis dan klasifikasinya,
salah satunya yaitu Tinea Corporis dan Tinea Cruris. Tinea Corporis merupakan
dermatofitosis pada kulit tubuh tidak berambut (glabrous skin) sedangkan Tinea
Cruris adalah dermatofitosis pada lipat paha, daerah perineum, dan sekitar anus.
Kelainan ini dapat bersifat akut atau menahun, bahkan dapat merupakan penyakit
yang berlangsung seumur hidup. 1
Mikosis kulit, termasuk tinea cruris, mempengaruhi 20 hingga 25 persen
populasi dunia.2 Presentase penyakit kulit akibat jamur diseluruh dunia 25%
diantaranya adalah infeksi jamur superfisial, sehingga dermatofitosis menjadi
3
penyakit menular yang umum terjadi. Negara-negara berkembang dan tropis
memiliki prevalensi infeksi dermatofita yang meningkat akibat suhu tinggi dan
4
kelembaban yang meningkat. Insidensi dermatomikosis di Indonesia masih
cukup tinggi. Dari data beberapa rumah sakit di Indonesia pada tahun 1998
didapatkan persentase dermatomikosis terhadap seluruh kasus dermatosis
bervariasi dari 2,93% (Semarang) sampai 27,6% (Padang). 5
Dermatofita ialah golongan jamur yang menyebabkan dermatofitosis.
Golongan jamur ini mempunyai sifat mencemakan keratin. Dermatofita termasuk
kelas Fungi imperfecti, yang terbagi dalam 3 genus, yaitu Microsporum,
Trichophyton, dan Epidemophyton. 1
Pada tinea cruris, lesi tampak pada daerah genitokrural saja, atau meluas
ke daerah sekitar anus, daerah gluteus dan perut bagian bawah, atau bagian tubuh
yang lain sedangkan pada Tinea Corporis biasanya terdapat pada kulit tubuh tidak
berambut (Kulit glabrosa). 1

1
Gambaran lesi berupa Peradangan (Inflamasi) pada tepi lebih nyata
daripada daerah tengahnya. Daerah tengahnya biasanya lebih tenang. Efloresensi
terdiri atas macam-macam bentuk yang primer dan sekunder (polimorf). Lesi
bulat atau lonjong, berbatas tegas terdiri atas eritema, skuama, kadangkadang
dengan vesikel dan papul di tepi. Kadang-kadang terlihat erosi dan krusta akibat
garukan. Bila penyakit ini menjadi menahun, dapat berupa bercak hitam disertai
sedikit sisik. Erosi dan keluarnya cairan biasanya akibat garukan. 1
Sebagian besar kasus tinea korporis berespon baik dengan preparat anti
jamur topikal. Preparat topikal yang dapat digunakan diantaranya alilamin
(naftitin, terbinafin), imidazol, tolnaftat, siklopiroks dan salep whietfield, sulfur
presipitatum 4-10% dan asidum salisilikum 2-3% yang merupakan obat topikal
konvensional. Akan tetapi pada lesi yang luas, tidak dapat mentoleransi obat
topikal, gagal dengan pengobatan topikal dan penderita dengan infeksi kronis
maka diperlukan pemberian preparat antijamur sistemik yaitu griseofulvin,
terbinafin, flukonazol atau itrakonazol. 1
Standar Kompetensi Dokter Umum untuk tinea korporis maupun Tinea
Cruris adalah 4A dan cukup sering dijumpai, sehingga perlu dilakukan laporan
kasus tinea korporis et cruris untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan
dalam mencegah dan mengatasinya.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinea Corporis et Cruris


2.1.1 Definisi
Tinea corporis adalah dermatofitosis pada kulit tubuh tidak berambut
(glabrous skin). 1
Sedangkan Tinea Kruris adalah dermatofitosis pada lipat paha, daerah
perineum, dan sekitar anus. 1 Berdasarkan bahasa latin “cruris” berarti kaki.
Penyakit ini adalah jenis penyakit kedua paling umum dari dermatofitosis di
seluruh dunia. 6

2.1.2 Epidemiologi
Dermatofit adalah agen yang paling umum dari infeksi jamur
superfisial. Panas yang berlebihan, kelembaban relatif yang tinggi, dan
pakaian yang pas memiliki korelasi dengan penyakit yang lebih parah dan
sering. Negara-negara berkembang dan tropis memiliki prevalensi infeksi
dermatofita yang meningkat akibat suhu tinggi dan kelembaban yang
3
meningkat. Di Amerika Serikat, diperkirakan ada 29,4 juta kasus infeksi
jamur superfisial dan lebih dari 51 juta dilaporkan mengunjungi dokter. 7
Tinea corporis adalah dermatofitosis yang paling umum. Tinea
corporis paling sering terjadi pada anak-anak pasca pubertas dan dewasa.
Infeksi dapat diperoleh sebagai akibat penyebaran dari tempat lain infeksi
dermatofita (misalnya tinea kapitis, tinea pedis, onikomikosis). Penularan
antar anggota keluarga sejauh ini merupakan jalur yang paling umum. 8,9
Faktor predisposisi termasuk riwayat pribadi dermatofitosis (misalnya
tinea kapitis, tinea pedis, tinea cruris, dan tinea unguium), anggota keluarga
yang terkena secara bersamaan, hewan peliharaan di rumah, berkerumun di
rumah, paparan rekreasi (misalnya gulat dan seni perkawinan),
hiperhidrosis, rendah -defensin 4 tingkat, imunodefisiensi, diabetes mellitus,

3
kecenderungan genetik (khususnya, tinea imbricata), xerosis, dan
ichthyosis.10
Sama seperti Tinea Corporis, Tinea Cruris menyebar melalui kontak
secara langsung dan bisa berulang karena iklim lembab. Autoinfeksi dari T.
Rubrum atau T. Interdigitale pada kaki biasanya merupakan yang tersering.
Tinea Kruris 3 kali lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan
perempuan dan orang dewasa bisanya lebih sering terkena dibanding anak-
11
anak. Tinea Kruris merupakan salah satu bentuk klinis yang sering dilihat
di Indonesia. 1

2.1.3 Etiologi
Dermatofita ialah golongan jamur yang menyebabkan dermatofitosis.
Golongan jamur ini mempunyai sifat mencemakan keratin. Dermatofita
termasuk kelas Fungi imperfecti, yang terbagi dalam 3 genus, yaitu : 1
1. Microsporum
2. Trichophyton
3. Epidemophyton
Selain sifat keratofilik masih banyak sifat yang sama di antara
dermatofita, misalnya sifat faali, taksonomis, antigenik, kebutuhan zat
makanan untuk pertumbuhannya, dan penyebab penyakit. 1

Gambar 2.1. Pola Infeksi Kulit akibat Jamur Superfisial 11

Hingga kini dikenal sekitar 41 spesies dermatofita, masing-masing 2


spesies Epidermophyton, 17 spesies Microsporum, dan 21 spesies
Trichophyton. Telah juga ditemukan bentuk sempurna (perfect stage) pada

4
spesies dermatofita tersebut. Adanya bentuk sempurna yang terbentuk oleh
dua koloni yang berlainan "jenis kelaminnya" ini menyebabkan dermatofita
dapat dimasukkan ke dalam famili Gymnoascaceae. Dari beberapa spesies
dermatofita, misalnya genus Nannizzia dan Arthroderma masing-masing
dihubungkan dengan genus Microsporum dan Trichophyton. 1
Untuk kepentingan klinis dan epidemiologis, dermatofita yang
menginfeksi manusia dibagi berdasarkan tempat hidupnya, yaitu geofilik
untuk jamur yang berasal dari tanah antara lain M. Gypseum; golongan
zoofilik berasal dari hewan, misalnya M. Canis; antropofilik khusus untuk
jamur yang bersumber dari manusia contohnya T. rubrum. 1
Pada penelitian yang dilakukan di Surabaya pada 2006–2007
ditemukan spesies terbanyak yang berhasil dikultur adalah M. audiouinii
(14,6%), T. rubrum (12,2%), T. mentagrophytes (7,3%). 12

2.1.4 Patofisiologi
Infeksi tinea korporis dimulai dengan kolonisasi hifa dan cabang-
cabangnya di dalam jaringan keratin yang mati, hifa melepaskan keratinase
serta enzim lainnya guna menginvasi lebih dalam stratum korneum dan
menimbulkan peradangan, walaupun umumnya, infeksi terbatas pada
epidermis, karena adanya mekanisme pertahanan tubuh non spesifik, seperti
komplemen, PMN, aktivasi faktor penghambat serum (serum inhibitory
factor) namun kadang-kadang dapat bertambah/meluas. Masa inkubasinya
sekitar 1-3 minggu. 13
Sebagai konsekuensi dari degradasi keratin dan pelepasan mediator
proinflamasi berikutnya, pejamu mengembangkan respons inflamasi dengan
derajat yang bervariasi. “Ring worm” klasik, atau morfologi annular tinea
Korporis dihasilkan dari respon inflamasi host terhadap penyebaran
dermatofita diikuti oleh pengurangan atau pembersihan elemen jamur dari
dalam plak, dan dalam banyak kasus dengan resolusi spontan dari infeksi. 11

5
2.1.5 Gejala Klinis
Tinea glabrosa atau dermatofitosis pada kulit tidak berambut
mempunyai morfologi khas. Penderita merasa gatal dan kelainan berbatas
tegas, terdiri atas macam-macam efloresensi kulit (polimorfi). Bagian tepi
lesi lebih aktif (lebih jelas tanda-tanda peradangan) daripada bagian tengah
sehingga kepustakaan lama menyebutkannya sebagai eczema marginatum
yang mencerminkan deskripsi klinis lesi dermatofitosis. 1
Gambaran klinis dermatofitosis yang bervariasi tidak hanya
bergantung pada spesies penyebab dan sistem imun pejamu namun juga
pada adanya keterlibatan folikel rambut. Bergantung pada berat ringannya
reaksi radang dapat dilihat berbagai macam lesi kulit. 1
Pasien dengan tinea kruris datang dengan keluhan ruam gatal yang
melibatkan selangkangan. Area tersebut dapat teriritasi dan nyeri jika
terdapat maserasi, dan infeksi sekunder dapat menyebabkan peradangan dan
ketidaknyamanan. Sedangkan pada tinea corporis pasien biasanya datang
dengan gatal, ruam merah. Ini biasanya hadir pada kulit leher, badan,
dan/atau ekstremitas yang terbuka. 3
Gambaran Klasik Lesi pada Tinea Corporis yaitu sebuah “Annular”
atau seperti “ringworm” atau plak seriginosa disertai skuama disekeliling
makula eritem yang lebih aktif. Batasnya mungkin bisa vesikular atau
sentrifugal. Bagian tengah plakat biasanya bersisik atau mungkin
menunjukkan bagian tengah yang bersih “central healing”. Infeksi
dermatofitosis yang disebabkan oleh T. Rubrum juga memiliki klinis yang
luas, konfluens polisiklik atau plak psoriasiform khususnya pada individu
dengan imunosupresi. 11

6
Gambar 2.2. Lesi pada Tinea Corporis 11
(a) Annular (b) Polisiklik (c) Psoriasiform.

Kelainan yang dilihat pada Tinea Corporis yaitu lesi bulat atau
lonjong, berbatas tegas terdiri atas eritema, skuama, kadangkadang dengan
vesikel dan papul di tepi. Daerah tengahnya biasanya lebih tenang. Kadang-
kadang terlihat erosi dan krusta akibat garukan. Lesi-lesi pada umumnya
merupakan bercak-bercak terpisah satu dengan yang lain. Kelainan kulit
dapat pula terlihat sebagai lesi-lesi dengan pinggir yang polisiklik, karena
beberapa lesi kulit yang menjadi satu. 1
Pada tinea korporis yang menahun, tanda radang akut biasanya tidak
terlihat lagi. Kelainan ini dapat terjadi pada tiap bagian tubuh dan bersama-
sama dengan kelainan pada sela paha. Dalam hal ini disebut tinea corporis et
cruris atau sebaliknya tinea cruris et corporis. Bentuk menahun yang
disebabkan oleh Trichophyton rubrum biasanya dilihat bersama-sama
dengan tinea unguium. 1

7
Gambar 2.3. Tinea Corporis
(a) Lesi Anular pada lengan dengan tepi yang lebih aktif. (b) lesi yang menyebar pada
bagian punggung dengan batas inferior bergigi. (c) Pustul dengan multipel lesi di lengan
atas.

Lesi kulit pada Tinea Cruris dapat terbatas pada daerah


genitokrural saja, atau meluas ke daerah sekitar anus, daerah gluteus dan
perut bagian bawah, atau bagian tubuh yang lain. Kelainan kulit yang
tampak pada sela paha merupakan lesi berbatas tegas. Peradangan pada tepi
lebih nyata daripada daerah tengahnya. Efloresensi terdiri atas macam-
macam bentuk yang primer dan sekunder (polimorf). Bila penyakit ini
menjadi menahun, dapat berupa bercak hitam disertai sedikit sisik. Erosi
dan keluarnya cairan biasanya akibat garukan. 1

Gambar 2.4. Tinea Cruris. Plak eritem anular dengan tepi yang meninggi menyebar dari
area inguinal hingga ke regio pubis. 11

8
Tinea Cruris mempunyai klinis klasik berupa plak anular dengan
skuama dibagian tepinya yang terlihat di daerah inguinal paha atas biasanya
bilateral. Patch eritroskuama dengan papul dan vesikel pada bagian paha
biasanya sering terlihat. Seringkali timbul gatal dan nyeri ketika plak
11
menjadi maserasi atau jika terjadi infeksi sekunder.

(a) (b)
Gambar 2.5. Tinea Cruris
(a) Tinea Cruris pada wanita (b) Tinea Cruris pada Laki-laki.

2.1.6 Pemeriksaan Penunjang


Diagnosis klinis infeksi dermatofita dapat dikonfirmasi dengan deteksi
mikroskopis elemen jamur, dengan identifikasi spesies melalui kultur, atau
dengan bukti histologis adanya hifa di stratum korneum. Selain itu, pola
fluoresensi di bawah pemeriksaan lampu Wood dapat mendukung
kecurigaan klinis. 11
Pemeriksaan mikologik untuk membantu menegakkan diagnosis
terdiri atas pemeriksaan langsung sediaan basah dan biakan. Pemeriksaan
lain, misalnya pemeriksaan histopatologik, percobaan binatang, dan
imunologik tidak diperlukan. 1

9
Gambar 2.5. Beberapa pemeriksaan untuk mengidentifikasi Dermatofitosis. 11

1. Pemeriksaan Mikologik
Pada pemeriksaan mikologik untuk mendapatkan jamur diperlukan
bahan klinis, yang dapat berupa kerokan kulit, rambut, dan kuku. Pada
bagian kulit tidak berambut (kulit glabrosa) diambil dari bagian tepi
kelainan sampai dengan bagian sedikit di luas kelainan sisik kulit dan
kulit dikerok dengan pisau tumpul steril. 1
Pemeriksaan langsung sediaan basah dilakukan dengan
mikroskop, mula-mula dengan pembesaran 10x10, kemudian dengan
pembesaran 10x45. Pemeriksaan dengan pembesaran 10x100 biasanya
tidak diperlukan. Sediaan basah dibuat dengan meletakkan bahan di
atas gelas alas, kemudian ditambah 1-2 tetes larutan KOH.
Konsentrasi larutan KOH untuk sediaan rambut adalah 10% dan untuk
kulit dan kuku 20%. Setelah sediaan dicampur dengan larutan KOH,
ditunggu 15-20 menit hal ini diperlukan untuk melarutkan jaringan.

10
Untuk melihat elemen jamur lebih nyata dapat ditambahkan zat warna
pada sediaan KOH, misalnya tinta Parker superchroom blue black. 1
Pada sediaan kulit dan kuku yang terlihat adalah hifa, sebagai dua
garis sejajar, terbagi oleh sekat, dan bercabang, maupun spora berderet
(artrospora) pada kelainan kulit lama dan/atau sudah diobati. 1

Gambar 2.6. Morfologi Mikroskopik pada Dermatofitosis.

2. Pemeriksaan Biakan Kultur


Pemeriksaan dengan pembiakan diperlukan untuk menyokong
pemeriksaan langsung sediaan basah dan untuk menentukan spesies
jamur. Pemeriksaan ini dilakukan dengan menanamkan bahan klinis
pada media buatan. Yang dianggap paling baik pada waktu ini adalah
medium agar dekstrosa Sabouraud. Pada agar Sabouraud dapat
ditambahkan antibiotik saja (kloramfenikol) atau ditambah pula
klorheksimid. Kedua zat tersebut diperlukan untuk menghindarkan
kontaminasi bakterial maupun jamur kontaminan. 1
Kolonisasi bisa mencapai 5-7 hari pada kasus Epidermophyton dan
hampir 4 minggu pada kasus Tricophyton verrucosum. Hasil biakan

11
menjadi warna merah akibat peningkatan aktivitas proteolitik
dermatofita yang meningkatkan pH menjadi 8 atau lebih. Sedangkan
11
jika bukan dermatofita maka akan berubah menjadi warna kuning.
3. Histopatologi
Biopsi kulit tidak sering digunakan dalam pemeriksaan
dermatofitosis tipikal. Erupsi kulit lokal yang diduga menunjukkan
dermatofitosis dengan pemeriksaan KOH yang samar-samar sering
diobati meskipun tidak ada konfirmasi. Biopsi dapat mengkonfirmasi
diagnosis ketika agen sistemik sedang dipertimbangkan untuk
pengobatan erupsi yang membandel atau lebih luas. Biopsi dapat
digunakan untuk membantu dalam diagnosis granuloma Majocchi di
mana pemeriksaan KOH pada permukaan mungkin lebih sering
negatif. Biopsi juga terkadang berguna dalam memastikan adanya hifa
yang melibatkan batang rambut pada kulit kepala pada tinea kapitis,
meskipun kultur diperlukan untuk memungkinkan spesiasi patogen.
Jika ada, hifa dapat terlihat pada stratum korneum pada pewarnaan
hematoxylin dan eosin. 1

2.1.7 Diagnosis Banding


Penyakit yang ada dalam diagnosis banding dapat menyerupai
penampilan tinea corporis maupun tinea cruris.

Gambar 2.7. Diagnosis Banding Tinea Corporis dan Tinea Cruris. 11

Tidaklah begitu sukar untuk menentukan diagnosis tinea korporis pada


umumnya, namun ada beberapa penyakit kulit yang dapat mericuhkan

12
1
diagnosis itu, misalnya dermatitis seboroika, psoriasis, dan pitiriasis rosea.
sedangkan Diagnosis Banding tinea cruris yaitu psoriasis, Dermatitis
seboroik, eritrasma, kandidiasis kutaneus. 11
1. Psoriasis
Psoriasis dapat dikenal dari kelainan kulit pada tempat predileksi,
yaitu daerah ekstensor, misalnya lutut, siku, dan punggung.
Psoriasis pada sela paha dapat menyerupai tinea kruris. Lesi-lesi
pada psoriasis biasanya lebih merah, skuama lebih banyak dan
lamelar. Adanya lesi psoriasis pada tempat lain dapat membantu
menentukan diagnosis. 1
2. Ptiriasis Rosea
Pitiriasis rosea, yang distribusi kelainan kulitnya simetris dan
terbatas pada tubuh dan bagian proksimal anggota badan, sukar
dibedakan dengan tinea korporis tanpa herald patch yang dapat
membedakan penyakit ini dengan tinea korporis. Pemeriksaan
laboratorium yang dapat memastikan diagnosisnya. 1
3. Dermatitis Seboroik
Kelainan kulit pada dermatitis seboroika selain dapat menyerupai
tinea korporis, biasanya dapat terlihat pada tempattempat
predileksi, misalnya di kulit kepala (scalp), lipatan-lipatan kulit,
misalnya belakang telinga, daerah nasolabial, dan sebagainya.
Tinea korporis kadang-kadang sukar dibedakan dengan dermatitis
seboroika pada sela paha. Lesi-lesi di tempat-tempat predileksi
sangat menolong menentukan diagnosis. 1
4. Eritrasma
Eritrasma merupakan penyakit yang tersering berlokalisasi di sela
paha. Efloresensi yang sama, yaitu eritema dan skuama, pada
seluruh lesi merupakan tanda-tanda khas penyakit ini.
Pemeriksaan dengan lampu Wood dapat menolong dengan adanya
fluoresensi merah (coral red). 1
5. Kandidiosis

13
Kandidosis pada daerah lipat paha mempunyai konfigurasi hen
and chicken. Kelainan ini biasanya basah dan berkrusta. Pada
wanita ada tidaknya fluor albus dapat membantu pengarahan
diagnosis. Pada penderita-penderita diabetes melitus, kandidosis
merupakan penyakit yang sering dijumpai. 1

2.1.8 Tata Laksana


a. Non-Farmakologi 15
 Edukasi kepada pasien tantang penyakit hingga pengobatannya.
 Menghindari dan mengeliminasi agen penyebab untuk
mencegah terjadinya kekambuhan.
 Mencegah penularan.
 Menjaga hygiene dengan baik.
b. Farmakologi
Pada penggunaan obat topikal, selain pemilihan obat yang
begitu banyak ragamnya perlu juga diterapkan cara pengobatan
yang efektif dengan menggunakan vehikulum yang sesuai. 1
Terapi topikal efektif dan biasanya lebih disukai. Allylamines
(terbinafine, butenafine, naftifine) dan azoles (clotrimazole,
miconazole, sulconazole, oxiconazole, econazole, ketoconazole)
adalah andalan dari rejimen pengobatan topikal. Mereka umumnya
diresepkan sekali atau dua kali sehari selama dua sampai empat
minggu. 3
Preparat topikal yang dapat digunakan diantaranya alilamin
(naftitin, terbinafin), imidazol, tolnaftat, siklopiroks dan salep
whietfield, sulfur presipitatum 4-10% dan asidum salisilikum 2-
3% yang merupakan obat topikal konvensional. 15
Antifungal topikal golongan ali lamin yaitu Terbinafin.
Mekanisme kerjanya yaitu Menghambat epoksidasi squalen pada
jamur dan jika terjadi peningkatan kadar tersebut maka bersifat
toksik bagi jamur dan berefek mencegah pembentukan membran
sel jamur. 22

14
Preparat oral ada untuk mengatasi tinea kruris dan diindikasikan
16
untuk penyakit kronis, rekuren, dan bandel. berikut ini adalah
obat oral yang digunakan sebagai antijamur (dosis dewasa) : 1,11,16
1. Ketokonazol : 200 mg/hari selama 10-14 hari dimakan pagi
hari setelah makan. ketokonazol yang mempunyai sifat
hepatotoksik terutama bila diberikan lebih dari sepuluh hari. 1
2. Itrakonazol : 2x100-200 mg/hari dalam kapsul selama 3 hari.
Obat antijamur golongan azol dan golongan alilamin
mengalami proses metabolisme oleh enzim sitokrom P 450
sehingga dapat terjadi interaksi dengan berbagai obat lain
yang mengalami metabolisme oleh kelompok enzim yang
sama misalnya rifampisin, simetidin. Sebagai contoh interaksi
itrakonazol dengan berbagai obat lain. 1
3. Terbinafrine : 62,5-250 mg/hari tergantung berat badan
ddiberikan selama 2-3 minggu. bersifat fungisidal juga dapat
diberikan sebagai pengganti griseofulvin. Efek samping
terbinafin ditemukan pada kira-kira 10% penderita, yang
tersering gangguan gastrointestinal di antaranya nausea,
1
vomitus, nyeri lambung, diarea, konstipasi, umumnya ringan.
4. Gliseofulvin : 500 mg/hari selama 2-4 minggu. Griseofulvin
adalah obat fungistatik yang sangat tidak larut dan berasal dari
suatu spesies penisilium. Satu-satunya pemakaiannya adalah
dalam terapi sistemik dermatofitosis. Efek samping
griseofulvin jarang dijumpai, yang merupakan keluhan utama
ialah sefalgia, dizziness dan insomnia. Karena efeknya adalah
mencegah infeksi di struktur kulit yang baru ini, griseofulvin
harus diberikan selama 2-6 minggu untuk infeksi kulit dan
rambut agar keratin yang terinfeksi dapat diganti oleh struktur
22
yang resisten. Efek samping yang lain dapat berupa
gangguan traktus digestivus ialah nausea, vomitus, dan diare.
Obat tersebut juga bersifat fotosensitif dan dapat mengganggu
fungsi hepar. 1

15
Regimen yang aman dan efektif untuk anak-anak termasuk
terbinafine 3–6 mg/kg/hari selama 2 minggu, itrakonazol 5
mg/kg/hari selama 1 minggu, dan griseofulvin ultramicrosize 10–
20 mg/kg/hari hingga 2–4 minggu. 11
Antihistami H1 generasi kedua berikatan secara nonkompetitif dengan
reseptor H1. Obat AH1 generasi kedua antara lain: grup piperazin
yaitu cetirizine, levosetirizin, kemudian grup piperidin: feksofenadin,
loratadin, ebastin. Cetirizine memiliki afinitas dan selektivitas yang
tinggi untuk reseptor H1, akibatnya, ia memiliki onset yang lebih kuat,
lebih cepat, dan aksi yang lebih lama daripada antihistamin lainnya.
Cetirizine dapat mencapai puncak dalam 1 jam dengan lama masa
kerja 12-24 jam. Tidak seperti banyak antihistamin generasi kedua
lainnya, cetirizine tidak mengalami metabolisme hati sampai batas
tertentu tetapi diekskresikan sebagian besar tidak berubah dalam urin.
Kurangnya metabolisme hati menyebabkan rendahnya potensi
interaksi obat- obat, menghindari efek toksik dengan obat yang
mengalami metabolisme oleh enzim P450 dan transpor transmembran.
Cetirizine merupakan antihistamin (AH1) generasi kedua.
Anthistamin digunakan untuk mengurangi gatal. Antihistamin bekerja
secara kompetitif inhiibitor terhadap histamin pada resptor jaringan
sehingga mencegah kerja histamin pada organ sasaran. 1

2.1.9 Komplikasi
Komplikasi jarang terjadi pada infeksi dermatofita. Kegagalan terapi
dan kekambuhan adalah komplikasi yang paling mungkin dari tinea cruris.
Infeksi bakteri sekunder merupakan komplikasi potensial lain dari tinea
cruris. Granuloma Majocchi adalah komplikasi yang jarang dari infeksi
jamur kulit di mana dermatofit menyebar ke jaringan subkutan sekunder
akibat kerusakan kulit, imunosupresi, atau penggunaan steroid topikal yang
mengakibatkan penyakit inflamasi yang dalam. 17

2.1.10 Prognosis

16
Pasien dengan tinea kruris yang menjalani pengobatan yang tepat
17
mengalami tingkat kesembuhan berkisar antara 80 sampai 90 persen.

2.2. Ptiriasis Rosea


2.2.1 Definisi
Pitiriasis rosea ialah erupsi kulit akut yang sembuh sendiri, dimulai
dengan sebuah lesi inisial berbentuk eritema dan skuama halus. Kemudian
disusul oleh lesi-lesi yang lebih kecil di badan, lengan, dan tungkai atas
yang tersusun sesuai dengan lipatan kulit dan biasanya menyembuh dalam
waktu 3-8 minggu. 1

2.2.2 Epidemiologi
Pitiriasis rosea didapati pada semua umur, terutama antara 15-40
tahun, jarang pada usia kurang dari 2 tahun dan lebih dari 65 tahun. Ratio
perempuan dan laki-laki adalah 1,5 : 1. 1
Perkiraan insiden pitiriasis rosea adalah 0,5% sampai 2%. Ini
mempengaruhi orang-orang dari kedua jenis kelamin, biasanya antara 15
dan 30 tahun, tetapi juga mempengaruhi orang dewasa yang lebih tua dan
anak-anak. 18

2.2.3 Etiologi
Etiologi belum diketahui, tetapi berdasarkan gambaran klinis dan
epidemiologis diduga infeksi sebagai penyebab. Berdasarkan bukti ilmiah,
diduga pitiriasis rosea merupakan eksantema virus yang berhubungan
dengan reaktivasi Human Herpes Virus (HHV)-7 dan HHV-6. 1
Erupsi menyerupai pitiriasis rosea dapat terjadi setelah pemberian
obat, misalnya bismut, arsenik, barbiturat, metoksipromazin, kaptopril,
klonidin, interferon, ketotifen, ergotamin, metronidazol, inhibitor tirosin
kinase; dan telah dilaporkan timbul setelah pemberian agen biologik,
misalnya adalimumab. Walaupun beberapa erupsi obat dapat menyerupai
pitiriasis rosea, tetapi tidak ada bukti yang meyakinkan bahwa pitiriasis
rosea dapat disebabkan oleh obat. 1

17
Terdapat pula laporan erupsi menyerupai pitiriasis rosea yang timbul
setelah vaksinasi difteri, cacar, pneumokokus, virus Hepatitis B, BCG, dan
virus influenza H1 N1. 1

2.2.4 Patofisiologi
Meskipun etiologi pitiriasis rosea belum ditetapkan dengan jelas,
tetapi asal virus telah dicurigai selama bertahun-tahun. Baru-baru ini, ada
semakin banyak bukti yang menunjukkan peran human herpes virus (HHV)
dalam etiopatogenesis pitiriasis rosea. Bukti tambahan menunjukkan bahwa
pitiriasis rosea dikaitkan dengan reaktivasi HHV 6-7. Penurunan tingkat
natural killer cells dan aktivitas sel B pada lesi pitiriasis rosea telah diamati.
Hal ini menunjukkan peran imunitas yang dimediasi sel-T. Selain itu,
peningkatan jumlah CD4 sel T dan sel Langerhans telah ditemukan di
bagian dermis, yang mungkin mengarah pada pemrosesan dan penyajian
antigen virus. Namun, hal ini masih diperdebatkan karena beberapa individu
terinfeksi HHV 6-7 tidak berkembang menjadi penyakit. HHV-6 biasanya
menyerang anak-anak pada usia dua tahun, sedangkan HHV-7 biasanya
mempengaruhi anak-anak pada usia enam tahun. Beberapa studi
menunjukkan perkembangan pitiriasis rosea akibat dari reaktivasi virus ini
daripada infeksi primer. 19,20

2.2.5 Gejala Klinis


Gejala konstitusi pada umumnya tidak terdapat. Pada sebagian kecil
pasien dapat terjadi gejala menyerupai flu termasuk malese, nyeri kepala,
nausea, hilang nafsu makan, demam dan artralgia. Sebagian penderita
mengeluh gatal ringan. Pitiriasis berarti skuama halus. Kelainan kulit
diawali dengan lesi primer yang diikuti lesi sekunder.1-3 Timbul lesi
sekunder bervariasi antara 2 hari sampai 2 bulan setelah lesi primer, tetapi
umumnya dalam waktu 2 minggu. Kadang-kadang lesi primer dan sekunder
timbul secara bersamaan. 1,15

18
Gambar 2.8. Diagram Skematik lesi primer (Herald Patch) dan distribusi lesi sekunder
sepanjang garis dada yang menyerupai pola “Christmas tree”

Penyakit dimulai dengan lesi pertama (herald patch), umumnya di


badan, soliter, berbentuk oval dan anular, diametemya kira-kira 3 cm. Ruam
terdiri atas eritema dan skuama halus di pinggir. Lamanya beberapa hari
hingga beberapa minggu. 1

Gambar 2.9. lesi Primer (Herald Patch) pada ptiriasis rosea, terlihat berbentuk oval
dan ada skuama dipinggir plak.
Lesi berikutnya timbul 4-10 hari setelah lesi pertama, memberi
gambaran yang khas, sama dengan lesi pertama hanya lebih kecil,
susunannya sejajar dengan kosta, sehingga menyerupai pohon cemara
terbalik. Lesi tersebut timbul serentak atau dalam beberapa hari. Tempat

19
predileksi pada batang tubuh, lengan atas bagian proksimal dan tungkai atas,
sehingga menyerupai pakaian renang perempuan zaman dahulu. Kecuali
bentuk yang lazim berupa eritroskuama, pitiriasis rosea dapat juga
berbentuk urtika, vesikel dan papul, yang lebih sering terdapat pada anak-
anak. Lesi oral jarang terjadi. Dapat terjadi enantema dengan makula dan
plak hemoragik, bula pada lidah dan pipi, atau lesi mirip ulkus aftosa. Lesi
1
akan sembuh bersamaan dengan penyembuhan lesi kulit.

(a) (b)
Gambar 2.10. Distribusi lesi sekunder pada ptiriasis rosea.
(a) Distribusi sepanjang garis daerah punggung menyerupai “Christmas tree pattern”
(b) Distribusi sepanjang garis daerah dada pada individu kulit hitam.

Lesi primer biasanya terletak di bagian badan yang tertutup baju,


tetapi kadang-kadang ditemukan di leher atau ekstremitas proksimal seperti
paha atas atau lengan atas. Lesi primer jarang ditemukan di wajah, penis
atau kulit kepala berambut. Sedangkan lesi sekunder mengikuti Langer lines
sehingga pada punggung membentuk gambaran christmas-tree pattern. 15

2.2.6 Diagnosis Banding


Tinea corporis. Penyakit ini sering disangka jamur oleh pasien,
Gambaran klinis memang mirip dengan tinea korporis karena terdapat
eritema dan skuama di tepi lesi dan berbentuk anular. Perbedaannya pada

20
pitiriasis rosea, gatal tidak begitu berat seperti pada tinea korporis, dengan
skuama halus, sedangkan pada tinea korporis kasar. Pada tinea sediaan KOH
akan positif. Hendaknya dicari pula lesi inisial yang adakalanya masih ada.
Jika telah tidak ada, dapat ditanyakan kepada penderita tentang lesi inisial.
Sering lesi inisial tersebut tidak seluruhnya eritematosa lagi, tetapi
bentuknya masih tampak oval dan di tengahnya terlihat hipopigmentasi. 1
Sifilis Sekunder. Pada sifilis sekunder terdapat riwayat chancre dan
tidak terdapat riwayat herald patch. Pada sifilis sekunder terdapat
keterlibatan telapak tangan dan kaki, pembesaran kelenjar getah bening,
kondilomata lata, dan tes serologik sifilis positif. 1
Psoriasis gutata. Pada psoriasis gutata biasanya berukuran lebih kecil
daripada pitiriasis rosea dan tidak tersusun sesuai lipatan kulit, selain itu
skuamanya tebal. Bila terdapat keraguan, dapat dilakukan biopsi. 1
Pityriasis lichenoides chronica. Pada pityriasis /ichenoides chronica
penyakit berlangsung lebih lama, lesi lebih kecil, tidak terdapat herald
patch, dan lebih sering terjadi pada ekstremitas. 1
Erupsi Obat. gambaran klinis dapat menyerupai pitiriasis rosea klasik,
tetapi sering memberi gambaran atipikal. Lesi biasanya lebih besar,
selanjutnya terjadi hiperpigmentasi dan berubah menjadi dermatitis
likenoid. Perlu dilakukan pemeriksaan riwayat pemakaian obat. 1

2.2.7 Tata Laksana


Karena pitiriasis rosea bersifat self-limited. Edukasi diperlukan kepada
pasien tentang kelainan kulit ini dapat sembuh sendiri dan pengobatan yang
diberikan bertujuan untuk mengurangi gejala. 15
Pengobatan bersifat simtomatik, untuk gatalnya dapat diberikan
sedativa, sedangkan sebagai obat topikal dapat diberikan bedak asam
salisilat yang dibubuhi mentol 1/2% - 1%. 1
Bila terdapat gejala menyerupai flu dan atau kelainan kulit luas, dapat
diberikan asiklovir 5 x 800 mg per hari selama 1 minggu. Pengobatan ini
dapat mempercepat penyembuhan. 1

21
Pada kelainan kulit luas dapat diberikan terapi sinar UVB. UVB dapat
mempercepat penyembuhan karena menghambat fungsi sel Langerhans
sebagai penyaji antigen. Pemberian harus hatihati karena UVB
meningkatkan risiko terjadi hiperpigmentasi pasca-inflamasi. 1
Apabila gatal sangat mengganggu dapat diberikan antihistamin
seperti setirizin 1x10 mg per hari. 15

2.2.8 Komplikasi
Pasien mungkin mengalami gejala seperti flu, tetapi hal ini relatif
ringan jika terjadi. Sekitar sepertiga pasien dengan pitiriasis rosea
mengalami tingkat kecemasan dan depresi yang signifikan, sebagian besar
berpusat di sekitar ketidakpastian penyebab penyakit dan lamanya
pemulihan penyakit. 11

2.2.9 Prognosis
Prognosis baik karena penyakit sembuh spontan, biasanya dalam
waktu 3-8 minggu. Beberapa kasus menetap sampai 3 bulan. Dapat terjadi
hipo atau hiperpigmentasi pascainflamasi sementara yang biasanya hilang
tanpa bekas. Pitiriasis rosea jarang kambuh, tetapi dapat terjadi kekambuhan
pada 2% kasus. 1

2.3. Psoriasis Vulgaris


2.3.1 Definisi
Psoriasis adalah penyakit peradangan kulit kronik dengan dasar
genetik yang kuat dengan karakteristik perubahan pertumbuhan dan
diferensiasi sel epidermis disertai manifestasi vaskuler, juga diduga adanya
pengaruh sistem saraf. 1

2.3.2 Epidemiologi
Psoriasis menyebar diseluruh dunia tetapi prevalensi usia psoriasis
bervariasi di setiap wilayah. Prevalensi anak anak berkisar dari 0% di

22
Taiwan sampai dengan 2.1 % di ltali. Sedangkan pada dewasa di Amerika
Serikat 0.98% sampai dengan 8% ditemukan di Norwegia. Di Indonesia
pencatatan pernah dilakukan oleh sepuluh RS besar dengan angka
prevalensi pada tahun 1996, 1997, dan 1998 berturut-turut 0,62%; 0,59%,
dan 0,92%. Psoriasis terus mengalami peningkatan jumlah kunjungan ke
layanan kesehatan di banyak daerah di Indonesia. Remisi dialami oleh 17-
55% kasus, dengan beragam tenggang waktu. 1
Psoriasis dapat timbul pada semua usia, terutama 15-30 tahun. Sampai
saat ini pengobatan hanya menghilangkan gejala sementara (remisi),
sehingga psoriasis sering disebut sebagai penyakit seumur hidup. Penyakit
ini tidak membahayakan jiwa walaupun dapat mempengaruhi atau
mengganggu pekerjaan, kehidupan pribadi, dan kualitas hidup pasien. Bila
tidak diobati dengan benar penyakit dapat mengalami komplikasi dan
komorbiditas. 15

2.3.3 Etiopatogenesis
Sampai saat ini tidak ada pengertian yang kuat mengenai patogenesis
psoriasis, tetapi peranan autoimunitas dan genetik dapat merupakan akar
yang dipakai dalam prinsip terapi. 1
Mekanisme peradangan kulit psoriasis cukup kompleks, yang
melibatkan berbagai sitokin, kemokin maupun faktor pertumbuhan yang
mengakibatkan gangguan regulasi keratinosit, selsel radang, dan pembuluh
darah; sehingga lesi tampak menebal dan beskuama tebal berlapis. Aktivasi
sel T dalam pembuluh limfe terjadi setelah sel makrofag penangkap antigen
(antigen persenting cell/APC) melalui major histocompatibility complex
(MHC) mempresentasikan antigen tersangka dan diikat oleh ke sel T naif.
Pengikatan sel T terhadap antigen tersebut selain melalui reseptor sel T
harus dilakukan pula oleh ligan dan reseptor tambahan yang dikenal dengan
kostimulasi. Setelah sel T teraktivasi sel ini berproliferasi menjadi sel T
efektor dan memori kemudian masuk dalam sirkulasi sistemik dan
bermigrasi ke kulit. 1

23
Akibat peristiwa banjirnya efek mediator terjadi perubahan fisiologis
kulit normal menjadi Keratinosit akan berproliferasi lebih cepat, normal
terjadi dalam 311 jam, menjadi 36 jam dan produksi harian keratinosit 28
kali lebih banyak dari pada epidermis normal. Pembuluh darah menjadi
berdilatasi, berkelok-kelok, angiogenesis dan hipermeabilitas vakular
diperankan oleh vascular endothelial growth factor (VEGF) dan Vascular
permaebility factor (VPF) yang dikeluarkan oleh keratinosit. 1

2.3.4 Faktor Predisposisi 1,21


 Trauma fisikal (fenomena Koebner) adalah faktor mayor
memunculkan lesi; menggosok, menggaruk dan termal
menstimulasi proliferasi psoriasis.
 Faktor lingkungan : Beberapa faktor pencetus kimiawi, mekanik
dan termal akan memicu psoriasis melalui mekanisme Koebner,
misalnya garukan, aberasi superfisial, reaksi fototoksik, atau
pembedahan.
 Infeksi : Bakteri, virus, dan jamur juga merupakan faktor
pembangkit psoriasis. Endotoksin bakteri, berperan sebagai
superantigen dapat mengakibatkan efek patologik dengan aktivasi
sel limfosit T, makrofag, sel langerhans dan keratinosit.
 Obat-obatan : Beberapa macam obat misalnya beta-bloker,
angiotensin-converting enzyme inhibitors, antimalaria, litium,
nonsteroid antiinflamasi, gembfibrosil dan beberapa antibiotik.
 Stress : Ketegangan emosional dapat menjadi pencetus yang
mungkin diperantarai mekanisme neuroimunologis.

2.3.5 Gejala Klinis


Penyakit ini dapat menyerang kulit, kuku, mukosa dan sendi tetapi
tidak mengganggu rambut. Keluhan biasanya berupa bercak merah bersisik
mengenai bagian tubuh terutama daerah ekstensor dan kulit kepala. Disertai
rasa gatal. Pengobatan menyembuhkan sementara kemudian dapat muncul

24
kembali. Dapat pula dijumpai keluhan berupa nyeri sendi, bercak merah
disertai dengan nanah, dan bercak merah bersisik seluruh tubuh. 1,15
Gambaran klasik berupa plak eritematosa diliputi skuama putih
disertai titik-titik perdarahan bila skuama dilepas, berukuran dari seujung
jarum sampai dengan plakat menutupi sebagian besar area tubuh, umumnya
simetris. Penampilan berupa infiltrat eritematosa, eritema yang muncul
bervariasi dari yang sangat cerah ("hof' psoriasis) biasanya diikuti gatal
sampai merah pucat ("cold' psoriasis). 1 Fenomena Koebner adalah peristiwa
munculnya lesi psoriasis setelah terjadi trauma maupun mikrotrauma pada
kulit pasien psoriasis. Stadium akut dapat dijumpai pada orang muda, tetapi
dalam waktu tidak terlalu lama dapat berjalan kronik residif. 1

Gambar 2.11. Lesi kronis pada Psoriasis. Terlihat lesi yang simetris. 11

2.3.6 Diagnosis Banding dan Pemeriksaan Penunjang

25
Diagnosis psoriasis hampir selalu dibuat berdasarkan penemuan
secara klinis, dengan memperhatikan tingkat warna merah pada kulit, luas
daerah yang terkena, dan ketebalan plak. Umumnya diagnosis dapat dibantu
dg pemeriksaan Auspitz sign (titik-titik perdarahan bila skuama diangkat),
fenomena tetesan lilin (digores benda agak tajam, maka bagian bening akan
tampak lebih putih, bentuk linear) dan fenomena Koebner (munculnya lesi
1
serupa setelah 3 minggu di tempat gooresan atau gosokan).
Psoriasis pada kuku sulit dibedakan dengan infeksi kuku akibat jamur,
walaupun terkadang keduanya dapat terjadi pada saat bersamaan.
Pemeriksaan psoriasis kuku dapat menggunakan sampel kuku untuk
menentukan apakah gejalanya disebabkan oleh infeksi jamur. Biopsi kulit
dapat mengkonfirmasi psoriasis, biasanya untuk kasus atipikal atau
menyingkirkan keadaan lain pada kasus yang tidak pasti. 1
Pada pemeriksaan histopatologis psoriasis plakat yang matur dijumpai
tanda spesifik berupa: penebalan (akantosis) dengan elongasi seragam dan
penipisan epidermis di atas papila dermis. Masa sel epidermis meningkat 3-
5 kali dan masih banyak dijumpai mitosis di atas lapisan basal. Ujung rete
ridge berbentuk gada yang sering bertaut dengan rete ridge sekitarnya.
Tampak hiperkeratosis dan parakeratosis dengan pernp1san atau
menghilangnya stratum granulosum. 1
Diagnosis banding psoriasis: dermatitis numularis, pitiriasis
likenoides, mikosis fungoides, penyakit bowen, dermatitis seboroik, sifilis
psoriasiformis, eritroderma karena penyebab lain (penyakit kulit lain, alergi
obat, penyakit sistemik), lupus eritematosus kutan, neurodermatitis,
15
pitiriasis rubra pilaris, kandidosis intertriginosa, intertrigo, onikomikosis.

2.3.7 Tata Laksana


Pengobatan psoriasis bertujuan menghambat proses peradangan dan
proliferasi epidermis, karena keterkaitannya dengan sindrom metabolik
maka diperlukan pula penanganan kegemukan, diabetes melitus, ganguan
pola lipid dan hipertensi. 1
Pengobatan topikal 1,15

26
Sebagian besar pasien psoriasis mengalami kelainan kulit yang
terbatas, misalnya di siku dan lutut. Untuk keadaan ini pengobatan topikal
menjadi pilihan dengan atau tanpa penambahan terapi sistemik untuk
artritis.
 Kortikosteroid: kortikosteroid potensi sedang dan kuat dapat
dikombinasi dengan obat topikal lain, fototerapi, obat sistemik.
Skalp: lotion, spray, solusio dan gel. Wajah: potensi rendah, hindari
poten-superpoten. Lipatan tubuh: potensi rendah bentuk krim atau
gel. Palmar dan plantar: steroid potensi sangat poten, hanya sedikit
efektif.
 Keratolitik: asam salisilat adalah keratolitik yang paling sering
digunakan. Jangan digunakan pada saat terapi sinar karena asam
salisilat dapat mengurangi efikasi UVB.
 Emolien: misalnya urea, petrolatum, parafin cair, minyak mineral,
gliserin, asam glikolat dan lainnya
 Analog Vitamin D: preparat yang tersedia adalah kalsipotriol, dapat
digunakan sebagai terapi rumatan
 Tar: LCD 3-10%
 Retinoid (topikal): paling baik dikombinasi dengan topikal
kortikosteroid
Fototerapi/Fotokemoterapi
 Efek : penyembuhan awal terlihat setelah 4 minggu terapi, kulit
bersih (clearance) dapat tercapai setelah 20-30 terapi, terapi
pemeliharaan (maintenance) dapat memperpanjang masa remisi.
 Dosis awal : menurut tipe kulit 20-60 mJ/cm2 atau 50% minimal
erythemal dose (MED), dosis dinaikan 5-30 mJ/cm2 atau ≤25%
MED awal, penyinaran 3-5 kali/minggu.
Terapi Sistemik
 Metotreksat : diberikan sebagai dosis oral 2,5-5 mg selang 12 jam,
dosis maksimal tidak boleh melebihi 25 mg/minggu. Obat ini
kontraindikasi terhadap ibu hamil.

27
 Siklosporin : dosis 2,5-4 mg/kgBB/hari dosis terbagi. Dosis
dikurangi 0,5-1,0 mg/kgBB/hari bila sudah berhasil, atau
mengalami efek samping. Pengobatan dapat diulang setelah masa
istirahat tertentu, dan dapat berjalan maksimal selama 1 tahun,
selama tidak ada efek samping. Pemakaian jangka lama tidak
dianjurkan karena dapat menyebabkan nefrotoksisitas dan
kemungkinan keganasan.
 Sulfasalazin : dosis awal 500 mg tiga kali/hari, dapat naik dosis
sampai 1,0 gram tiga kali/hari. Jika dapat ditoleransi dosis dapat
dinaikan menjadi 1,0 gram empat kali/hari. Cukup efektif untuk
psoriasis berat. Mekanisme kerja sebagai agen anti-inflamasi,
menghambat 5- lipoksigenase, mekanisme secara molekular belum
ditemukan.
 Mofetil mikofenolat atau turunannya : dosis inisial 500-750 mg,
dua kali/hari dan dapat naik dosis hingga 1,0-1,5 gram dua
kali/hari. Cukup efektif untuk psoriasis. Mekanisme kerja sebagai
inhibitor non-kompetitif inosin monofosfat dehidrogenase,
mencegah biosintesis purin de novo. Secara selektif bersifat
sitotoksik terhadap sel-sel yang bergantung pada sintesis purin de
novo (limfosit).

2.3.8 Komplikasi
Pasien psoriasis juga mempunyai peningkatan risiko limfoma
malignum. Gangguan emosional yang diikuti masalah depresi sehubungan
dengan manifestasi klinis berdampak terhadap menurunnya harga diri,
penolakan sosial, merasa malu, masalah seksual, dan gangguan kemampuan
profesional. Semuanya diperberat dengan perasaan gatal dan nyeri, dan
1
keadaan ini menyebabkan penurunan kualitas hidup pasien.

2.3.9 Prognosis
Psoriasis adalah kondisi kronis yang diketahui berdampak negatif
pada kualitas hidup pasien serta anggota keluarga. Psoriasis adalah penyakit

28
seumur hidup yang ditandai dengan kekambuhan dan remisi. Sekitar 10%
pasien mengalami artritis deformasi parah. Remisi dialami pada 10-60%
pasien.
Sampai saat ini pengobatan psoriasis tetap hanya bersifat remitif,
kekambuhan yang boleh dikatakan hampir selalu ada mengakibatkan
pemakaian obat dapat berlangsung seumur hidup. Menjaga kualitas hidup
pasien dengan efek samping yang rendah menjadi seni pengobatan psoriasis
yang akan terus berkembang. 1

29
BAB III
LAPORAN KASUS

3. 1 Identitas Pasien
Nama : Tn. A
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Usia : 35 tahun
Tempat, Tanggal Lahir : Palembang, 27 April 1987
Alamat : Jalan Panca
Agama : Islam
Status Pernikahan : Menikah
Pendidikan : S1
Pekerjaan : Swasta
Tanggal Pemeriksaan : 26 Mei 2022 (Pukul 10.00 WIB)

3. 2 Anamnesis
3.2.1. Keluhan Utama
Timbul bercak-bercak kemerahan dilengan dan sela paha sejak 3
minggu yang lalu.

3.2.2. Keluhan Tambahan


Gatal.

3.2.3. Riwayat Perjalanan Penyakit


Sejak 3 minggu yang lalu, pasien mengeluh timbul bercak-bercak
dilengan dan sela paha. Bercak disertai dengan gatal. Awalnya timbul
bercak kemerahan kecil berjumlah 3 buah. Bercak awalnya muncul dibagian
lengan kanan lalu menyebar ke lengan kiri, bahu dan ke sela paha. Pasien
juga mengelum gatal-gatal. Rasa gatal biasanya muncul sesudah melakukan
aktivitas atau saat berkeringat. Pasien mengatakan jika timbul rasa gatal
maka pasien menggaruknya dan setelahnya timbul luka dan lama kelamaan

30
menjadi lecet. Terdapat sisik putih halus pada bercak kemerahan. Keluhan
tidak bertambah berat ketika pasien stress. Saat bekerja pasien kadang-
kadang berkeringat. Pasien sehari-hari menggunakan pakaian 1 lapis dan
singlet.
Keluhan ini sudah pernah diobati ke puskesmas. Saat berobat, pasien
diberikan obat makan dan obat salep untuk mengurangi gatal. Setelah
diobati, keluhan gatal menghilang tetapi bercaknya semakin melebar.

3.2.4. Riwayat Penyakit Dahulu


 Riwayat keluhan serupa sebelumnya tidak ada.
 Riwayat penyakit kencing manis tidak ada.
 Riwayat Alergi makanan atau debu tidak ada.
 Riwayat Asma tidak ada.

3.2.5. Riwayat Penyakit Keluarga


 Riwayat keluhan serupa sebelumnya tidak ada.
 Riwayat penyakit kencing manis tidak ada.
 Riwayat Alergi dan atau asma tidak ada.

3.2.6. Riwayat Pekerjaan, Sosio-ekonomi, Hygiene


Pasien mandi 2x dalam sehari dan mandi menggunakan sabun.
Pakaian dan alat mandi pasien menggunakannya sendiri tidak bersama
dengan anggota keluarga yang lain. Handuk yang digunakan dicuci setiap 3
hari sekali dan dijemur dibawah terik matahari. Pasien menyangkal
menggunakan pakaian yang sama berulang kali tanpa dicuci.

3. 3 Pemeriksaan Fisik
3.3.1. Status Generalis
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan Darah : 110/70 mmHg
Nadi : 88x/menit

31
Suhu : 36,5oC
Pernapasan : 22x/menit
BB : 50 kg
TB : 165 cm
Gizi : Baik

3.3.2. Keadaan Spesifik


Kepala : Dalam batas normal
Leher : Dalam batas normal
Thorax : Dalam batas normal
Abdomen : Dalam batas normal

3.3.3. Status Dermatologicus

 Pada regio brachiii dextra, femur dextra et sinistra terdapat vesikel,


difus, multipel, bentuk bulat dengan ukuran O 0,3-0,4 cm, tersebar
diskret – konfluens.
 Pada regio brachii dextra terdapat makula eritema, berbatas tegas,
multipel, berbentuk bulat dengan ukuran 0,2 cm x 0,5 cm, tersebar
secara diskret-konfluens dan dibagian tepinya ditutupi skuama.
 Pada regio brachii dextra, femur dextra et sinistra terdapat makula
hiperpigmentasi, difus, multipel, irreguler dengan ukuran miliar-
lentikular, tersebar secara diskret-konfluens dan dibagian tepinya
ditutupi skuama.

32
 Pada regio brachii dextra, femur dextra et sinistra terdapat krusta
berwarna kuning kecoklatan, difus, multipel, irreguler dengan
ukuran O 0,3 cm dan 0,1 cm x 0,2-0,4 cm, tersebar secara diskret-
konfluens.
 Pada regio femur dextra terdapat erosi, difus, multipel, irreguler
ukuran 0,1-0,2 cm x 0,4-0,9 cm, tersebar secara diskret-konfluens
dengan bagian tengahnya bersih seperti “central healing”.

3. 4 Pemeriksaan Penunjang
1. Kerokan Kulit KOH 10-20% : Positif, ditemukan hifa bersepta
atau bercabang.
2. Flouresensi : Ada.

3. 5 Rencana Pemeriksaan
1. Histopatologi

3. 6 Diagnosis Banding
1. Tinea Corporis et Cruris
2. Ptiriasis Rosea
3. Psoriasis Vulgaris

3. 7 Diagnosis Kerja
Tinea Corporis et Cruris.

3. 8 Penatalaksanaan
1. Non-Farmakologi
 Menjelaskan kepada pasien tentang penyakit yang dimulai dari
pengertian, faktor resiko, penyebab penyakit, perkembangan
penyakit, cara penularan, penyulit, hingga prognosis.
 Menjelaskan kepada pasien bagaimana cara pemberian obat dimulai
dari dosis, cara pemakaian, lama pengobatan hingga kemungkinan
efek samping yang mungkin terjadi.

33
 Edukasi kepada pasien untuk rajin mengganti baju terutama saat
beraktifitas yang menimbulkan keringat berlebih, tidak bertukar
pakaian atau handuk. Menjemur pakaian/handuk dibawah terik
matahari dan mandi dengan sabun.
2. Farmakologi
 Topikal : krim terbinafine 1x sehari selama 2 minggu.
 Sistemik
Antijamur
- Griseofulvin p.o 1x500 mg/hari selama 4 minggu.
Antihistamin (AH1)
- Cetirizine 10 mg 1x1 hari diberikan selama 7 hari.

3. 9 Prognosis
Quo Ad Vitam : Bonam
Quo Ad Functionam : Bonam
Quo Ad Sanationam : Bonam
Quo Ad Kosmetika : Bonam

34
BAB IV
ANALISA KASUS

Pada laporan kasus, membahas tentang Tn. A berumur 35 tahun yang datang
dengan keluhan timbul bercak kemerahan di lengan dan sela paha sejak 3 minggu
yang lalu disertai rasa gatal. Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik,
didapatkan tiga diagnosis banding yaitu tinea korporis et cruris, pitiriasis rosea,
dan psoriasis vulgaris. Dari ketiga diagnosis banding tersebut, tinea korporis et
kruris merupakan penyakit yang paling mendekati diagnosis.
Tinea corporis adalah dermatofitosis pada kulit tubuh tidak berambut
(glabrous skin). Sedangkan Tinea Kruris adalah dermatofitosis pada lipat paha,
daerah perineum, dan sekitar anus. Berdasarkan bahasa latin “cruris” yang berarti
1,6
kaki. Tinea corporis adalah dermatofitosis yang paling umum. Dermatofit
1
adalah agen yang paling umum dari infeksi jamur superfisial.
Berdasarkan identitas pasien, didapatkan Tn. A adalah seorang laki-laki
berusia 35 tahun, bekerja sebagai karyawan swasta, pendidikan terakhir S1, sudah
menikah, dan beragama islam. Berdasarkan epidemiologinya, Tinea Kruris 3 kali
lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan dan orang dewasa
bisanya lebih sering terkena dibanding anak-anak. 11
Negara-negara berkembang dan tropis memiliki prevalensi infeksi
3
dermatofita yang meningkat akibat suhu tinggi dan kelembaban yang meningkat.
Sama seperti Tinea Corporis, Tinea Cruris menyebar melalui kontak secara
langsung dan bisa berulang karena iklim lembab. Autoinfeksi dari T. Rubrum atau
11
T. Interdigitale pada kaki biasanya merupakan yang tersering. Pitiriasis rosea
didapati pada semua umur, terutama antara 15-40 tahun, jarang pada usia kurang
dari 2 tahun dan lebih dari 65 tahun. Ratio perempuan dan laki-laki adalah 1,5 : 1.
1
Perkiraan insiden pitiriasis rosea adalah 0,5% sampai 2%. Ini mempengaruhi
orang-orang dari kedua jenis kelamin, biasanya antara 15 dan 30 tahun, tetapi juga
mempengaruhi orang dewasa yang lebih tua dan anak-anak. 18 Psoriasis menyebar
diseluruh dunia tetapi prevalensi usia psoriasis bervariasi di setiap wilayah.
Prevalensi anak anak berkisar dari 0% di Taiwan sampai dengan 2.1 % di ltali.

35
Sedangkan pada dewasa di Amerika Serikat 0.98% sampai dengan 8% ditemukan
di Norwegia. 1 Psoriasis dapat timbul pada semua usia, terutama 15-30 tahun. 15

Tabel 4.1. Diagnosis Banding Berdasarkan Epidemiologi


Kasus Tinea Ptiriasis Rosea Psoriasis
Corporis Vulgaris
Epidemiologi - Laki laki - Semua usia - Wanita>pria - Dewasa
- 35 tahun (anak-anak - 15-40 tahun lebih sering
dan dibanding
dewasa) anak-anak
- Pria>wanita - Pria=wanita
- Tersering
di iklim
tropis

Sejak 3 minggu yang lalu, pasien mengeluh timbul bercak-bercak


dilengan dan sela paha. Bercak disertai dengan gatal. Awalnya timbul
bercak kemerahan kecil berjumlah 3 buah. Rasa gatal biasanya muncul
sesudah melakukan aktivitas atau saat berkeringat. Pasien mengatakan jika
timbul rasa gatal maka pasien menggaruknya dan setelahnya timbul luka
dan lama kelamaan menjadi lecet. Pasien dengan tinea kruris datang dengan
keluhan ruam gatal yang melibatkan selangkangan. Area tersebut dapat
teriritasi dan nyeri jika terdapat maserasi, dan infeksi sekunder dapat
menyebabkan peradangan dan ketidaknyamanan. Sedangkan pada tinea
corporis pasien biasanya datang dengan gatal, ruam merah. Ini biasanya
3
hadir pada kulit leher, badan, dan/atau ekstremitas yang terbuka. Sama
seperti Tinea Corporis, Tinea Cruris menyebar melalui kontak secara
11
langsung dan bisa berulang karena iklim lembab. Sebagian penderita
Ptiriasis Rosea mengeluh gatal ringan. Pitiriasis berarti skuama halus.
Gejala konstitusi pada umumnya tidak terdapat. Pada sebagian kecil pasien
dapat terjadi gejala menyerupai flu termasuk malese, nyeri kepala, nausea,
1,15
hilang nafsu makan, demam dan artralgia. Pada Psoriasis, Keluhan
biasanya berupa bercak merah bersisik mengenai bagian tubuh terutama
daerah ekstensor dan kulit kepala disertai rasa gatal. 1,15

36
Tabel 4.2. Diagnosis Banding Berdasarkan Gejala
Kasus Tinea Ptiriasis Rosea Psoriasis
Corporis Vulgaris
Gejala Gatal terutama Gatal terutama - Gatal Bercak merah
saat berkeringat saat berkeringat ringan bersisik
disertai mengenai
gejala bagian tubuh
konstitusi terutama daerah
ekstensor dan
kulit kepala
disertai rasa
gatal.

Awalnya timbul bercak kemerahan kecil berjumlah 3 buah. Bercak


awalnya muncul di lengan kanan lalu menyebar ke lengan kiri, bahu dan ke
sela paha. Terdapat sisik putih halus pada bercak kemerahan. Keluhan tidak
bertambah berat ketika pasien stress. Saat bekerja pasien kadang-kadang
berkeringat. Pasien sehari-hari menggunakan pakaian 1 lapis dan singlet.
Pada tinea korporis yang menahun, tanda radang akut biasanya tidak terlihat
lagi. Pasien dengan tinea kruris datang dengan keluhan ruam gatal yang
melibatkan selangkangan. Area tersebut dapat teriritasi dan nyeri jika
terdapat maserasi, dan infeksi sekunder dapat menyebabkan peradangan dan
ketidaknyamanan. Sedangkan pada tinea corporis pasien biasanya datang
dengan gatal, ruam merah. Ini biasanya hadir pada kulit leher, badan,
3
dan/atau ekstremitas yang terbuka. Kelainan ini dapat terjadi pada tiap
bagian tubuh dan bersama-sama dengan kelainan pada sela paha. Dalam hal
1
ini disebut tinea corporis et cruris atau sebaliknya tinea cruris et corporis.
Faktor predisposisi termasuk riwayat pribadi dermatofitosis (misalnya tinea
kapitis, tinea pedis, tinea cruris, dan tinea unguium), anggota keluarga yang
terkena secara bersamaan, hewan peliharaan di rumah, berkerumun di
rumah, paparan rekreasi (misalnya gulat dan seni perkawinan),
hiperhidrosis, rendah-defensin 4 tingkat, imunodefisiensi, diabetes mellitus,
kecenderungan genetik (khususnya, tinea imbricata), xerosis, dan
ichthyosis.10 Lesi pada ptiriasis rosea timbul serentak atau dalam beberapa

37
hari. Tempat predileksi pada batang tubuh, lengan atas bagian proksimal dan
tungkai atas, sehingga menyerupai pakaian renang perempuan zaman
dahulu. 1 Pada Psoriasis, Penyakit ini dapat menyerang kulit, kuku, mukosa
dan sendi tetapi tidak mengganggu rambut. Keluhan biasanya berupa bercak
merah bersisik mengenai bagian tubuh terutama daerah ekstensor dan kulit
kepala. Biasanya dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti trauma, faktor
lingkungan, infeksi, obat-obatan dan stress. 1,15

Tabel 4.3. Diagnosis Banding Berdasarkan Faktor Predisposisi dan


Predileksi
Kasus Tinea Corporis Ptiriasis Rosea Psoriasis
Vulgaris
Faktor Berkeringat Berkeringat, Faktor-faktor
Predisposisi kelembapan seperti trauma,
tinggi, iklim faktor
tropis, oklusi, lingkungan,
imunodefisiensi, infeksi, obat-
diabetes obatan dan
mellitus. stress.
Predileksi Regio inguinal, T. Corporis : Batang tubuh, Daerah
brachii dextra, leher, badan, lengan atas ekstensor dan
femur dextra et ekstremitas proksimal dan kulit kepala.
sinistra T. Cruris : sela tungkai atas
paha, perineum.

Keluhan ini sudah pernah diobati ke puskesmas. Saat berobat, pasien


diberikan obat makan dan obat salep untuk mengurangi gatal. Setelah
diobati, keluhan gatal menghilang tetapi bercaknya semakin melebar.
Kelainan yang dilihat pada Tinea Corporis yaitu lesi bulat atau lonjong,
berbatas tegas terdiri atas eritema, skuama, kadangkadang dengan vesikel
dan papul di tepi. Daerah tengahnya biasanya lebih tenang. Kadang-kadang
terlihat erosi dan krusta akibat garukan. Lesi-lesi pada umumnya merupakan
bercak-bercak terpisah satu dengan yang lain. Kelainan kulit dapat pula
terlihat sebagai lesi-lesi dengan pinggir yang polisiklik, karena beberapa lesi
kulit yang menjadi satu. 1

38
Pada status dermatologicus didapatkan Pada regio brachiii dextra,
femur dextra et sinistra terdapat vesikel, difus, multipel, bentuk bulat
dengan ukuran O 0,3-0,4 cm, tersebar diskret – konfluens. Pada regio
brachii dextra terdapat makula eritema, berbatas tegas, multipel, berbentuk
bulat dengan ukuran 0,2 cm x 0,5 cm, tersebar secara diskret-konfluens dan
dibagian tepinya ditutupi skuama. Pada regio brachii dextra, femur dextra et
sinistra terdapat makula hiperpigmentasi, difus, multipel, irreguler dengan
ukuran miliar-lentikular, tersebar secara diskret-konfluens dan dibagian
tepinya ditutupi skuama. Pada regio brachii dextra, femur dextra et sinistra
terdapat krusta berwarna kuning kecoklatan, difus, multipel, irreguler
dengan ukuran O 0,3 cm dan 0,1 cm x 0,2-0,4 cm, tersebar secara diskret-
konfluens. Pada regio femur dextra terdapat erosi, difus, multipel, irreguler
ukuran 0,1-0,2 cm x 0,4-0,9 cm, tersebar secara diskret-konfluens dengan
bagian tengahnya bersih seperti “central healing”. Gambaran Klasik Lesi
pada Tinea Corporis yaitu sebuah “Annular” atau seperti “ringworm” atau
plak seriginosa disertai skuama disekeliling makula eritem yang lebih aktif.
Batasnya mungkin bisa vesikular atau sentrifugal. Bagian tengah plakat
biasanya bersisik atau mungkin menunjukkan bagian tengah yang bersih
“central healing”. Infeksi dermatofitosis yang disebabkan oleh T. Rubrum
juga memiliki klinis yang luas, konfluens polisiklik atau plak psoriasiform
11
khususnya pada individu dengan imunosupresi. Penyakit Ptiriasis Rosea
dimulai dengan lesi pertama (herald patch), umumnya di badan, soliter,
berbentuk oval dan anular, diametemya kira-kira 3 cm. Ruam terdiri atas
eritema dan skuama halus di pinggir. Lamanya beberapa hari hingga
beberapa minggu. 1 Lesi primer jarang ditemukan di wajah, penis atau kulit
kepala berambut. Sedangkan lesi sekunder mengikuti Langer lines sehingga
15
pada punggung membentuk gambaran christmas-tree pattern. Gambaran
klasik pada Psoriasis yaitu berupa plak eritematosa diliputi skuama putih
disertai titik-titik perdarahan bila skuama dilepas, berukuran dari seujung
jarum sampai dengan plakat menutupi sebagian besar area tubuh, umumnya
simetris. Penampilan berupa infiltrat eritematosa, eritema yang muncul
bervariasi dari yang sangat cerah ("hof' psoriasis) biasanya diikuti gatal

39
sampai merah pucat ("cold' psoriasis). Fenomena Koebner adalah peristiwa
munculnya lesi psoriasis setelah terjadi trauma maupun mikrotrauma pada
kulit pasien psoriasis. Stadium akut dapat dijumpai pada orang muda, tetapi
dalam waktu tidak terlalu lama dapat berjalan kronik residif. 1

Tabel 4.4. Diagnosis Banding Berdasarkan Efloresensi.


Kasus Tinea Corporis Ptiriasis Rosea Psoriasis
Vulgaris
Efloresensi 3 minggu yang sebuah Dimulai Plak eritema
lalu timbul “ringworm” dengan lesi yang muncul
bercak disertai skuama pertama (herald bervariasi dari
kemerahan disekeliling patch), yang sangat
yang semakin makula eritem umumnya di cerah ("hof'
lama semakin yang lebih aktif. badan, soliter, psoriasis)
melebar dengan Bagian tengah berbentuk oval biasanya diikuti
bentuknya plakat biasanya dan anular, gatal sampai
tersusun bersisik atau Ruam eritema merah pucat
polisiklik mungkin dan skuama ("cold'
dengan central menunjukkan halus di psoriasis) dan
healing. bagian tengah pinggirnya. adanya
yang bersih Lesi sekunder Fenomena
“central mengikuti garis Koebner.
healing”. batang tubuh
membentuk
gambaran
christmas-tree
patter.

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan yaitu pemeriksaan KOH 20%, dan


Lampu wood. Pada pemeriksaan KOH 20% didapatkan hifa (benang-benang)
panjang yang bersepta. Hal ini menunjang diagnosis tinea corporis maupun tinea
cruris. Pada bagian kulit tidak berambut (kulit glabrosa) diambil dari bagian tepi
kelainan sampai dengan bagian sedikit di luas kelainan sisik kulit dan kulit
1
dikerok dengan pisau tumpul steril. Sediaan basah dibuat dengan meletakkan
bahan di atas gelas alas, kemudian ditambah 1-2 tetes larutan KOH. Pada sediaan
kulit dan kuku yang terlihat adalah hifa, sebagai dua garis sejajar, terbagi oleh

40
sekat, dan bercabang, maupun spora berderet (artrospora) pada kelainan kulit lama
dan/atau sudah diobati. 1

Tabel 4.5. Diagnosis Banding Berdasarkan Pemeriksaan Penunjang


Kasus Tinea Corporis Ptiriasis Psoriasis
Rosea Vulgaris
Pemeriksaan KOH : hifa KOH : hifa - Fenomena
Penunjang bersepta/bercabang. bersepta/bercabang. tetesan lilin
(digores
benda agak
tajam, maka
bagian
bening akan
tampak lebih
putih, bentuk
linear) dan
fenomena
Koebner
(munculnya
lesi serupa
setelah 3
minggu di
tempat
gooresan
atau
gosokan).

Pada kasus ini diberikan tatalaksana medikamentosa dan non


medikamentosa. Tatalaksana non medikamentosa yang diberikan yaitu
Menjelaskan kepada pasien tentang penyakit yang dimulai dari pengertian, faktor
resiko, penyebab penyakit, perkembangan penyakit, cara penularan, penyulit,
hingga prognosis. Menjelaskan kepada pasien bagaimana cara pemberian obat
dimulai dari dosis, cara pemakaian, lama pengobatan hingga kemungkinan efek
samping yang mungkin terjadi. Edukasi kepada pasien untuk rajin mengganti baju
terutama saat beraktifitas yang menimbulkan keringat berlebih, tidak bertukar
pakaian atau handuk. Menjemur pakaian/handuk dibawah terik matahari dan
mandi dengan sabun. Sedangkan tatalaksana medikamentosa yaitu obat topikal :
krim terbinafine 1x sehari selama 2 minggu dan obat sistemik yang diberikan

41
yaitu antijamur Griseofulvin p.o 1x500 mg/hari selama 4 minggu dan antihistamin
Cetirizine 10 mg 1x1 hari diberikan selama 7 hari.
Preparat topikal yang dapat digunakan diantaranya alilamin (naftitin,
terbinafin), imidazol, tolnaftat, siklopiroks dan salep whietfield, sulfur
presipitatum 4-10% dan asidum salisilikum 2-3% yang merupakan obat topikal
15
konvensional. Antifungal topikal golongan ali lamin yaitu Terbinafin.
Mekanisme kerjanya yaitu Menghambat epoksidasi squalen pada jamur dan jika
terjadi peningkatan kadar tersebut maka bersifat toksik bagi jamur dan berefek
mencegah pembentukan membran sel jamur. 22
Dosis terbinafine yang dibutuhkan pada pasien ini berdasatrkan satuan
finger tip unit adalah pada usia dewasa, FTU atau finger tip unit yang digunakan
adalah 3 untuk lengan dan 6 untuk paha. Karena pada pasien ini lesi pada regio
brachii, femur dan inguinal diperkirakan jumlahnya setengah dari bagian lengan
maupun paha yaitu 1,5 untuk lengan dan 3 untuk paha. Kemudian dikalikan 0,5
gram sehingga didapatkan 2,5 gram untuk lengan dan paha untuk sekali
pemakaian. Karena pada pasien diberikan obat selama 14 hari maka 2,5 gram x 14
hasilnya 35 gram. Pasien ini dapat diresepkan terbafine krim 1% sebanyak 35
gram.
Obat antifungal sistemik yang diberikan adalah Griseofulvin P.O 1x500
mg/hari selama 4 minggu. Pilihan antifungal sistemik untuk tinea korporis adalah
terbinafine, itraconazole, fluconazole, dan griseofulvin. Griseofulvin adalah obat
fungistatik yang sangat tidak larut dan berasal dari suatu spesies penisilium. Satu-
satunya pemakaiannya adalah dalam terapi sistemik dermatofitosis. Karena
efeknya adalah mencegah infeksi di struktur kulit yang baru ini, griseofulvin harus
diberikan selama 2-6 minggu untuk infeksi kulit dan rambut agar keratin yang
22
terinfeksi dapat diganti oleh struktur yang resisten. Obat per oral, yang juga
efektif untuk dermatofitosis yaitu ketokonazol yang bersifat fungistatik tetapi
Ketokonazol merupakan kontraindikasi untuk penderita kelainan hepar. 1
Cetirizine merupakan antihistamin (AH1) generasi kedua. Anthistamin
digunakan untuk mengurangi gatal. Antihistamin bekerja secara kompetitif
inhiibitor terhadap histamin pada resptor jaringan sehingga mencegah kerja
histamin pada organ sasaran. Cetirizine memiliki afinitas dan selektivitas yang

42
tinggi untuk reseptor H1, akibatnya, ia memiliki onset yang lebih kuat, lebih
cepat, dan aksi yang lebih lama daripada antihistamin lainnya. Cetirizine dapat
mencapai puncak dalam 1 jam dengan lama masa kerja 12-24 jam. 1
Prognosis kasus tinea tergantung dari berat ringannya inflamasi yang
ditimbulkan oleh organisme penyebab, sensitivitas organisme terhadap
pengobatan dan adanya kekambuhan. Kekambuhan biasanya tidak terjadi bila
telah diberikan terapi yang adekuat serta penemuan dan pengobatan terhadap
binatang atau orang lain di sekitarnya yang terinfeksi dan juga karier
asimptomatik. Prognosis pitiriasis rosea baik karena penyakit sembuh spontan,
biasanya dalam waktu 3-8 minggu. Beberapa kasus menetap sampai 3 bulan.
Dapat terjadi hipopigmentasi atau hiperpigmentasi pasca inflamasi sementara
yang biasanya hilang tanpa bekas. Pitiriasis rosea jarang kambuh, tetapi dapat
terjadi kekambuhan pada 2% kasus. Meskipun psoriasis bukan penyakit yang
ganas, itu adalah penyakit seumur hidup dengan remisi dan eksaserbasi. Psoriasis
harus ditatalaksana secara komprehensif agar tidak terjadi penurunan kualitas
hidup. 1

43
BAB V
KESIMPULAN

1. Diagnosis pada Tn. A adalah Tinea Korporis et cruris


2. Penegakkan diagnosis pada pasien Tn. A ini berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, status dermatologikus dan pemeriksaan penunjang.
3. Tatalaksana yang dapat diberikan pada pasein yaitu edukasi kepada pasien
tentang penyakit yang dimulai dari pengertian hingga prognosis,
Menjelaskan kepada pasien bagaimana cara pemberian obat, Edukasi
kepada pasien untuk rajin mengganti baju terutama saat beraktifitas yang
menimbulkan keringat berlebih, tidak bertukar pakaian atau handuk.
Menjemur pakaian/handuk dibawah terik matahari dan mandi dengan sabun.
Pengobatan topikal yang diberikan yaiut Terbinafine krim 1x sehari selama
2 minggu dan obat sistemiknya adalah Griseofulvin P.O 1x500 mg / hari
selama 4 minggun dan Cetirizine P.O. 1x10 mg/ hari selama 2 minggu
untuk mengurangi gatalnya.
4. Prognosis pada pasien ini quo ad vitam bonam, quo ad funtionam bonam,
quo ad sanationam bonam, dan quo ad kosmetikum bonam.

44
DAFTAR PUSTAKA

1. Menaldi, S L., Bramono, K., Indriatmi, W. 2016. Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Edisi Ketujuh. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
2. Sahoo AK, Mahajan R. Management of tinea corporis, tinea cruris, and tinea
pedis: A comprehensive review. Indian dermatology online journal. 2016
Mar;7(2):77. Diakses di https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/27057486/ tanggal
27 Mei 2022.
3. Gupta AK, Chaudhry M, Elewski B. Tinea corporis, tinea cruris, tinea nigra,
and piedra. Dermatol Clin. 2003 Jul;21(3):395-400, doi: 10.1016/s0733-
8635(03)00031-7.
4. Vena GA, Chieco P, Posa F, Garofalo A, Bosco A, Cassano N. Epidemiology
of dermatophytoses: retrospective analysis from 2005 to 2010 and comparison
with previous data from 1975. Microbiologica-Quarterly Journal of
Microbiological Sciences. 2012 Apr 1;35(2):207.
5. Kuswadji, Budimulja U. Penatalaksanaan Dermatofitosis di Indonesia. MDVI
1997;24(1):36-39.
6. Wolff, Klaus dan Richard Allen Johnson. Fitzpatrick’s; Color Atlas &
Synopsis of Clinical Dermatology. 2012. United States: The McGraw-Hill
Companies. 6th Edition.
7. Gupta AK, Foley KA, Versteeg SG. Agen Antijamur Baru dan Formulasi
Baru Terhadap Dermatofit. Mikopatologi. 2017 Februari; 182 (1-2):127-141.
8. Poudyal Y, Joshi SD. Praktek pengobatan pasien dengan
dermatofitosis. JNMA J Nepal Med Assoc. 2016; 55 (203):7–10. doi:
10.31729/jnma.2830.
9. Kelly BP. Infeksi jamur superfisial. Pediatr Rev. 2012; 33 (4):e22–e37. doi:
10.1542/pir.33-4-e22.
10. Nenoff P, Kruger C, Ginter-Hanselmayer G, Tietz HJ. Mikologi –
pembaruan. Bagian 1: dermatomikosis: agen penyebab, epidemiologi dan

45
patogenesis. J Dtsch Dermatol Ges. 2014; 12 (3):188–209. doi:
10.1111/ddg.12245.
11. Wolff, Klaus dan Richard Allen Johnson. Fitzpatrick’s; Color Atlas &
Synopsis of Clinical Dermatology. 2012. United States: The McGraw-Hill
Companies. 8th Edition.
12. Fauzi N, Suyoso S. Penelitian Retrospektif Mikosis Superfisialis di Divisi
Mikologi URJ Penyakit Kulit dan Kelamin RSU Dr. Soetomo Surabaya
Periode 2006–2007 (2 tahun). Surabaya; 2008.
13. Lakshmipathy DT, Kannabiran K. Review on dermatomycosis: pathogenesis
and treatment. Biomolecules and Genetics, School of Biosciences and
Technologi, VIT University, Vellore. 2010. 2(7):726-731.
14. Anderson B, editor. The netter collection of medical illustrations:
integumentary system. Elsevier Health Sciences; 2012 Mar 29.
15. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (PERDOSKI).
Panduan Layanan Klinis Dokter Spesialis Dermatologi dan Venereologi.
Suriadiredja A, Toruan TL, Widaty S, Listyawan Y, Siswati AS, Darnati R, et
al, editors. Jakarta: PERDOSKI; 2017.
16. Ely JW, Rosenfeld S, Seabury Stone M. Diagnosis dan pengelolaan infeksi
tinea. 2014 November 15; 90 (10):702-10.
17. Pippin MM, Madden ML. Tinea cruris. InStatPearls [Internet] 2022 Feb 17.
StatPearls Publishing. Diakses di
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK554602/
18. Van Ravenstein K, Edlund BJ. Diagnosis and management of pityriasis rosea.
The Nurse Practitioner. 2017 Jan 20;42(1):8-11.
19. Urbina, F., Das, A., Sudy, E. 2017. Clinical Variants of Pityriasis Rosea.
World Journal of W J C C Clinical Cases June 16; 5(6): 203-211. Published
by Baishideng Publishing Group Inc.
20. Gomez, J. 2018. Pityriasis Rosea: Diagnosis and Treatment. American
Family Physician Journal. January 1, 2018. Volume 97, Number 1. Emory
University School of Medicine, Atlanta, Georgia.

46
21. Amiruddin MD. Ilmu penyakit kulit. Makassar: Percetakan LKiS, 2003.
Budimulja U. Bramono K. Pitiriasis Rosea. 2015. Dalam: Menaldi SL,
Hamzah.
22. Katzung, B.G., Masters, S.B. dan Trevor, A.J., 2014, Farmakologi Dasar &
Klinik, Vol.2, Edisi 12, Editor Bahasa Indonesia Ricky Soeharsono et al.,
Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta

47

Anda mungkin juga menyukai