Oleh :
Preseptor :
dr. Rina Gustia, Sp.KK (K), FINSDV, FAADV
dr. Gardenia Akhyar, Sp,KK (K), FINSDV
Puji dan syukur penulis ucapkan pada Allah karena berkat rahmat dan
hidayah- Nya penulis dapat menyelesaikan laporan Case Report Session yang
berjudul Tinea Korporis et Kruris. Laporan ini disusun untuk memenuhi salah satu
syarat dalam mengikuti kepaniteraan klinik di Bagian Kulit dan Kelamin di
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.
Terimakasih penulis ucapkan kepada dr. Rina Gustia, Sp.KK (K),
FINSDV, FAADV dan dr. Gardenia Akhyar, Sp,KK (K), FINSDV sebagai
pembimbing yang telah memberikan arahan dan petunjuk, dan semua pihak yang
telah membantu dalam penulisan laporan ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa laporan ini masih memiliki banyak
kekurangan. Untuk itu kritik dan saran sangat penulis harapkan untuk
menyempurnakan laporan ini. Akhir kata, semoga Case Report Session ini dapat
menjadi masukan yang berguna dan bisa menjadi informasi bagi tenaga medis dan
profesi lain yang terkait dengan masalah kesehatan khususnya Tinea Korporis et
Kruris ini.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Halaman:
Cover i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB 1 PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Batasan Masalah 2
1.3 Tujuan Penulisan 2
1.4 Metode Penulisan 2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 3
2.1 Definisi 3
2.2 Klasifikasi 3
2.3 Etiopatogenesis 4
2.4 Manifestasi Klinis 5
2.5 Pemeriksaan Penunjang 7
2.6 Diagnosis Banding 8
2.7 Tatalaksana 9
2.7.1 Tatalaksana non-farmakologis 9
2.7.2 Tatalaksana farmakologis 9
BAB 3 LAPORAN KASUS 11
BAB 4 DISKUSI 19
DAFTAR PUSTAKA 21
iii
BAB 1
PENDAHULUAN
1
berkembang pada jaringan yang hidup. Tinea korporis memiliki masa inkubasi
sekitar 1–3 minggu. Tinea korporis biasanya muncul sebagai plak berbatas tegas,
berbatas tajam, oval atau melingkar, eritematosa ringan, bersisik atau plak dengan
tepi depan menonjol.1,6
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Tinea korporis juga dikenal dengan sebutan kurap adalah infeksi
dermatofita superficial pada kulit. Ini merupakan penyakit infeksi jamur
superfisial yang disebabkan oleh jamur kelompok dermatofita (Trichophyton sp.,
Epidermophyton sp., dan Microsporum sp). Jamur-jamur ini menyerang jaringan
yang memiliki zat tanduk, seperti stratum korneum di epidermis, rambut, dan
kuku.1,2,6
2.2 Klasifikasi
Variasi gambaran klinis tinea bergantung pada spesies penyebab, ukuran
inokulum jamur, bagian tubuh yang terkena, dan sistem imun pejamu.2 klasifikasi
Tinea diantaranya:
a. Tinea Kapitis: dermatofitosis pada kulit dan rambut kepala
b. Tinea Barbe: dermatofitosis pada dagu dan jenggot
c. Tinea Kruris: dermatofitosis pada daerah genitokrural, sekitar anus,
bokong, dan kadang sampai perut bagian bawah
d. Tinea Pedis: dermatofitosis pada kaki
e. Tinea Manus: dermatofitosis pada tangan
f. Tinea Unguium: dermatofitosis pada kuku jari tangan dan kaki
g. Tinea Korporis: dermatofitosis pada kulit glabrosa pada bagian lain yang
tidak termasuk bentuk tinea di atas.
Selain bentuk tinea tersebut, masih dikenal istilah yang memiliki artian
khusus yang mana Tinea ini masih termasuk pada Tinea korporis,2 yaitu:
a. Tinea Imbrikata: dermatofitosis dengan susunan skuama yang konsentris
dan disebabkan Trichophyton concentricum
b. Tinea Favosa atau Favus: dermatofitosis yang disebabkan Trichophyton
schoenleini, secara klinis terbentuk scutula dan mousy odor (bau busuk
seperti bau tikus)
3
c. Tinea fasialis, tinea akralis
d. Tinea sirsinata, arkuata yang menunjukkan penamaan deskriptif
morfologis.
Selain itu juga dikenal Tinea incognito, yang berarti dermatofitosis dengan
bentuk klinis yang tidak khas karena telah diobati dengan steroid topikal kuat.2
2.3 Etiopatogenesis
Tinea corporis paling sering disebabkan oleh Trichophyton rubrum, T.
tonsurans, dan Microsporum canis. T. rubrum sejauh ini merupakan penyebab
paling umum dari dermatofitosis di seluruh dunia. Tapi beberapa tahun terakhir T.
interdigitale telah menggantikan T. rubrum sebagai penyebab paling umum dari
tinea korporis di Asia Tenggara.6 Tinea korporis akibat tinea kapitis sering kali
disebabkan oleh T. tonsurans. Sedangkan, tinea korporis akibat kontak dekat
dengan anjing atau kucing sering kali disebabkan oleh M. canis.6
Golongan jamur ini akan mencerna keratin. Untuk dapat menimbulkan
suatu penyakit, jamur harus dapat mengatasi pertahanan tubuh baik pertahanan
non spesifik maupun pertahanan spesifik. Jamur harus mempunyai kemampuan
melekat pada kulit dan mukosa pejamu, serta kemampuan untuk menembus
jaringan, dan mampu bertahan dalam lingkungan dengan menyesuaikan diri
dengan suhu dan keadaan biokimia pejamu untuk dapat berkembang biak dan
menimbulkan reaksi jaringan atau radang.2
Dermatofita memiliki sifat penghambat kekebalan. Hal ini memungkinkan
jamur tetap berada di kulit tanpa terkelupas sebelum menyerang kulit. Jamur
penyebab dapat menghasilkan protease (enzim yang mencerna keratin), serin-
subtilisin (enzim yang mencerna protein dengan memulai serangan nukleofilik
pada ikatan peptida melalui residu serin di situs aktif), dan keratinase (enzim yang
menembus jaringan keratin), yang memungkinkan jamur menyerang lapisan
tanduk pada kulit dan menyebar ke luar. Infeksi biasanya terjadi di kulit dan
terbatas pada lapisan kulit terluar yang tidak hidup dan terkornifikasi. Jamur tidak
dapat menembus jaringan yang lebih dalam pada inang imunokompeten yang
sehat karena mekanisme pertahanan inang, seperti aktivasi faktor penghambat
4
serum, leukosit polimorfonuklear, dan pelengkap. Penskalaan batas aktif
dihasilkan dari peningkatan proliferasi sel epidermis sebagai respons terhadap
infeksi jamur.6
Infeksi jamur pada tinea melalui tiga proses, yaitu perlekatan ke
keratinosit, penetrasi melewati dan di antara sel, dan perkembangan respon
pejamu. Awalnya terjadi perlengketan artrokonidia pada jaringan keratin, tercapai
maksimal setelah 6 jam yang dimediasi oleh serabut dinding terluar dermatofit
yang memproduksi keratinase (keratolitik) yang menghidrolisis stratum corneum.
spora aseksual yang dibentuk dari hasil fragmentasi hifa, ke permukaan jaringan
berkeratin setelah melewati beberapa pertahanan pejamu, antara lain asam lemak
yang dihasilkan oleh kelenjar sebasea yang bersifat fungistatik dan kompetisi
dengan flora normal. Dalam beberapa jam, secara in vitro 2 jam setelah terjadinya
kontak, pertumbuhan dan invasi spora mulai berlangsung.1,7,8
5
yang terinfeksi, benda-benda seperti pakaian, alat-alat dan lain-lain. Kulit di lipat
paha yang basah dan tertutup menyebabkan terjadinya peningkatan suhu dan
kelembaban kulit sehingga memudahkan infeksi. Faktor lingkungan, berupa
higiene sanitasi dan lokasi geografis beriklim tropis, merupakan faktor
predisposisi terjadinya penyakit jamur.
Tinea kruris adalah dermatofitosis pada lipat paha, daerah perineum, dan
sekitar anus. Kelainan ini dapat bersifat akut atau menahun, bahkan dapat
merupakan penyakit yang berlangsung seumur hidup. Lesi kulit dapat terbatas
pada daerah genitokrural saja, atau meluas ke daerah sekitar anus, daerah gluteus
dan perut bagian bawah, atau bagian tubuh yang lain. Kelainan kulit yang tampak
pada sela paha merupakan lesi berbatas tegas. Peradangan pada tepi lebih nyata
dari pada daerah tengahnya. Efloresensi terdiri atas macam-macam bentuk yang
primer dan sekunder (polimorf). Bila penyakit ini menjadi menahun, dapat berupa
bercak hitam disertai sedikit sisik. Erosi dan keluarnya cairan biasanya akibat
garukan. Tinea kruris merupakan salah satu bentuk klinis yang sering dilihat di
Indonesia.9
6
2.5 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada kasus tinea bisa dilakukan pemeriksaan
mikologik. Pemeriksaan mikologik untuk mendapatkan jamur memerlukan bahan
klinis, yang dapat berupa kerokan kulit, rambut, dan kuku. Bahan untuk
pemeriksaan mikologik diambil dan dikumpulkan sebagai berikut: terlebih dahulu
tempat kelainan dibersihkan dengan spiritus 70%, kemudian untuk kulit tidak
berambut, dari bagian tepi kelainan sampai dengan bagian sedikit di luas kelainan
sisik kulit dan kulit dikerok dengan pisau tumpul steril. Dan untuk kulit berambut,
rambut dicabut pada bagian kulit yang mengalami kelainan. Kulit di daerah
tersebut dikerok untuk mengumpulkan sisik kulit. Pemeriksaan dengan lampu
Wood dilakukan sebelum pengumpulan bahan untuk mengetahui lebih jelas
daerah yang terkena infeksi dengan kemungkinan adanya fluoresensi pada kasus-
kasus tinea kapitis tertentu.9
Pemeriksaan langsung sediaan basah dilakukan dengan mikroskop, mula-
mula dengan pembesaran 10x10, kemudian dengan pembesaran 1Ox45.
Pemeriksaan dengan pembesaran 1Ox100 biasanya tidak diperlukan. Sediaan
basah dibuat dengan meletakkan bahan di atas gelas alas, kemudian ditambah 1-2
tetes larutan KOH. Konsentrasi larutan KOH untuk sediaan rambut adalah 10%
dan untuk kulit dan kuku 20%. Setelah sediaan dicampur dengan larutan KOH,
ditunggu 15-20 menit hal ini diperlukan untuk melarutkan jaringan. Untuk
mempercepat proses pelarutan dapat dilakukan pemanasan sediaan basah di atas
api kecil. Pada saat mulai ke luar uap dari sediaan tersebut, pemanasan sudah
cukup. Bila terjadi penguapan, maka akan terbentuk kristal KOH, sehingga tujuan
yang diinginkan tidak tercapai. Untuk melihat elemen jamur lebih nyata dapat
ditambahkan zat warna pada sediaan KOH, misalnya tinta Parker superchroom
blue black. Pada sediaan kulit dan kuku yang terlihat adalah hifa, sebagai dua
garis sejajar, terbagi oleh sekat, dan bercabang, maupun spora berderet (
artrospora) pada kelainan kulit lama dan/ atau sudah diobati. Pada sediaan rambut
yang dilihat adalah spora kecil (mikrospora) atau besar (makrospora). Spora dapat
tersusun di luar rambut (ektotriks) atau di dalam rambut (endotriks). Kadang-
kadang dapat terlihat juga hifa pada sediaan rambut.9
Kultur jamur adalah standar emas untuk mendiagnosis dermatofitosis,
7
terutama jika diagnosis meragukan dan hasil tes lain tidak meyakinkan, atau
infeksi tersebar luas, parah, atau tidak responsif terhadap pengobatan. Kultur
jamur dapat membantu membedakan spesies jamur. Namun, biakan jamur mahal
dan biasanya membutuhkan waktu 7-14 hari untuk memperoleh hasilnya. Media
kultur yang paling umum adalah Sabouraud pepton – agar glukosa (4% pepton,
glukosa 1%).6 Pada keadaan yang mirip, perlu dilakukan pemeriksaan Woods
Lamp, pemeriksaan ini tidak dilakukan untuk melihat diagnosis pasti tinea, tetapi
menyingkirkan penyakit lain.
8
penyakit ini. Pemeriksaan dengan lampu Wood dapat menolong dengan adanya
fluoresensi merah (coral red).9
2.7 Tatalaksana
2.7.1 Tatalaksana non-farmakologis
Pasien disarankan untuk mengenakan pakaian longgar yang terbuat dari
katun atau bahan sintetis yang dirancang untuk menghilangkan kelembapan dari
permukaan. Kaus kaki harus memiliki sifat yang serupa. Area yang mungkin
terinfeksi harus dikeringkan sepenuhnya sebelum ditutup dengan pakaian. Pasien
juga harus disarankan untuk menghindari berjalan tanpa alas kaki dan berbagi
pakaian.10
Edukasi pasien untuk mencegah infeksi berulang. Bagian yang terinfeksi
dijaga agar tetap kering dan terhindar dari sumber infeksi serta mencegah
pemakaian peralatan mandi bersama. Pengurangan keringat dan penguapan,
seperti penggunaan pakaian yang menyerap keringat dan longgar juga penting
dalam pencegahan. Pencucian rutin pakaian, sprei, handuk yang terkontaminasi
dan penurunan berat badan pada seorang dengan obesitas juga dapat dilakukan.9
2.7.2 Tatalaksana farmakologis
Tersedia bermacam pengobatan topikal maupun sistemik untuk berbagai
tipe dermatofitosis. Sejalan dengan penetrasi dermatofita ke dalam folikel rambut,
maka lnfeksi yang mengenai daerah berambut memerlukan pengobatan oral.
Secara umu m, dosis griseofulvin 0,5-1 g untuk orang dewasa dan 0,25-0,5 g
untuk anak-anak sehari atau 10-25 mg/kg berat badan. Diberikan 1-2 kali sehari,
lama pengobatan bergantung pada lokasi penyakit, penyebab penyakit, dan
keadaan imunitas penderita. Setelah sembuh klinis pengobatan dilanjutkan hingga
2 minggu. Untuk mempercepat waktu penyembuhan, kadang-kadang diperlukan
tindakan khusus atau pemberian obat topikal tambahan.9
Efek samping griseofulvin jarang dijumpai, yang merupakan keluhan
utama ialah sefalgia, dizziness dan insomnia. Efek samping yang lain dapat
berupa gangguan traktus digestivus ialah nausea, vomitus, dan diare. Obat tersebut
juga bersifat fotosensitif dan dapat mengganggu fungsi hepar.9
Obat per oral, yang juga efektif untuk dermatofitosis yaitu ketokonazol
9
yang bersifat fungistatik. Pada kasus-kasus resisten terhadap griseofulvin dapat
diberikan obat tersebut sebanyak 200 mg/hari selama 10 hari-2 minggu pad a pagi
hari setelah makan. Ketokonazol merupakan kontraindikasi untuk penderita
kelainan hepar. Sebagai pengganti ketokonazol yang mempunyai sifat
hepatotoksik terutama bila diberikan lebih dari sepuluh hari, dapat diberikan suatu
obat triazol yaitu itrakonazol yang merupakan pemilihan nyang baik. Pemberian
obat tersebut untuk penyakit kulit dan selaput lendir oleh penyakitjamur biasanya
cukup 2 x 100-200 mg sehari dalam kapsul selama 3 hari. Khusus untuk
onikomikosis dikenal sebagai dosis denyut selama 3 bulan Cara pemberiannya
sebagai berikut, diberikan 3 tahap dengan interval 1 bulan. Setiap tahap selama 1
minggu dengan dosis 2 x 200 mg sehari dalam kapsul. Hasil pemberian
itrakonazol dosis denyut untuk onikomikosis hampir sama dengan pemberian
terbinafin 250 mg sehari selama 3 bulan. Kelebihan itrakonazol terhadap
terbinafin adalah efektif terhadap onikomikosis. Obat antijamur golongan azol dan
golongan alilamin mengalami proses metabolisme oleh enzim sitokrom P
sehingga dapat terjadi interaksi dengan berbagai obat lain yang mengalami
metabolisme oleh kelompok enzim yang sama misalnya rifampisin, simetidin.
Sebagai contoh interaksi itrakonazol dengan berbagai obat lain. Terbinafin yang
bersifat fungisidal juga dapat diberikan sebagai pengganti griseofulvin selama 2-3
minggu, dosisnya 62,5 mg-250 mg sehari bergantung pada berat badan. Efek
samping terbinafin ditemukan pada kira-kira 10% penderita, yang tersering
gangguan gastrointestinal di antaranya nausea, vomitus, nyeri lambung, diarea,
konstipasi, umumnya ringan. Efek samping yang lain dapat berupa gangguan
pengecapan, presentasinya kecil. Rasa pengecapan hilang sebagian atau
seluruhnya setelah beberapa minggu makan obat dan bersifat sementara. Sefalgia
ringan dapat pula terjadi. Gangguan fungsi hepar dilaporkan pada 3,3-7% kasus.
lnteraksi obat dapat terjadi antara lain dengan enmetideine dan ritompisin.9
Pada masa kini selain obat-obat topikal konvensional,misalnya asam
salisilat 2-4%, asam benzoat 6-12%, sulfur 4-6%, vioform 3%, asam undesilenat
2-5%, dikenal banyak obat topikal baru. Obat-obat baru ini di antaranya tolnaftat
2%;tolsiklat, haloprogin, derivat-derivat imidazol, siklopiroksolamin, dan
naftifine masing-masing 1 %.
10
BAB 3
LAPORAN KASUS
3.2. Anamnesis
Seorang pasien perempuan berusia 44 tahun datang ke Poliklinik
Kulit dan Kelamin RSUP dr. M. Djamil Padang.
a. Keluhan Utama
Gatal yang semakin hebat disertai bercak merah dan sisik di kedua
paha, dada sebelah kanan, perut, dan punggung sejak 1 bulan yang
lalu.
11
Pasien beraktivitas sebagai petani di sawah di Kerinci Pasien
biasanya aktif beraktivitas dari pukul 07.00 – 13.00 dengan celana
panjang dan baju lengan panjang, sering berkeringat sehingga
pakaian dalam kondisi lembab.
Pakaian dalam pasien ketat/sempit
Pasien sering bergantian handuk dengan suami dan menggunakan
sabun mandi yang sama dengan anggota keluarga dirumah.
Pasien memelihara hewan peliharaan. Yaitu kucing di rumah dan
mengakui bahwa bulu kucing tersebut mudah rontok.
Keluhan gatal dan bercak merah pada kuku, tangan, dan kulit
kepala tidak ada. Keluhan rambut rontok dan kebotakan tidak ada.
Bercak dan gatal tidak berhubungan dengan kontak bahan
tertentu.
Keluhan bercak merah yang terasa gatal tidak hilang-timbul
12
Kesadaran umum : composmentis kooperatif
Status gizi : baik
Tekanan darah : 140/98
Nadi : 88 x/ menit
Nafas : 18 x/menit
Suhu : 36,8ºC
Mata : Konjunctiva anemis (-/-), sklera ikterik (-
/-)
Pembesaran KGB : tidak ada
Jantung
Inspeksi : tidak tampak iktus kordis
Palpasi : teraba iktus kordis 1 jari medial LMCS
Perkusi : batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : irama jantung reguler, bising (-)
Paru
Inspeksi : simetris saat statis dan dinamis
Palpasi : fremitus kanan = kiri
Perkusi : sonor
Auskultasi : s.n bronkovesikular, Rh (+/+) di apeks paru
b. Status Dermatologikus
Lokasi : punggung, perut, dada kanan, paha atas dan
sela paha
Distribusi : regional
Bentuk : tidak khas
Susunan : polisiklik
Batas : tidak tegas - tegas
Ukuran : lentikular-plakat
Efloresensi : plak eritem dengan papul-papul eritem di
pinggir lesi, skuama putih kasar.
c. Status Venerologikus : Tidak dilakukan pemeriksaan
d. Kelainan Kuku : Tidak ada kelainan
e. Kelainan Rambut : Tidak ada kelainan
13
14
3.4. Pemeriksaan Penunjang
KOH 20% ditemukan hifa panjang bercabang-cabang yang
merupakan gambaran jamur dermatofita.
15
3.5. Resume
Seorang pasien perempuan berusia 44 tahun datang ke bagian poliklinik
kulit dan kelamin RSUD Dr M Djamil Padang dengan keluhan bercak merah yang
terasa gatal pada punggung, perut, dada kanan, sela paha kiri dan kanan yang
semakin terasa gatal sejak 1 bulan yang lalu. Awalnya terdapat bercak kemerahan
kecil berbentuk bulat di bagian sela paha 3 tahun yang lalu yang terasa gatal.
Makin lama bercak tersebut makin banyak, meluas dan menyatu setelah itu
tampak sisik, bercak kemerahan kemudian muncul di punggung, perut yang
semakin terasa gatal sejak 1 bulan yang lalu.
Keluhan tidak di rasa nyeri, keluhan tersebut terasa semakin gatal saat sedang
bekerja dan berkeringat. Pasien baru pertama kali merasakan keluhan ini. Pasien
bekerja sebagai petani dan sering berkeringat saat bekerja dan baju tidak segera
diganti meskipun basah. Pasien menggunakan handuk secara bergantian dengan
suami. Pasien memiliki binatang peliharaan yaitu kucing dan bulu kucing tersebut
mudah rontok. Bercak dan gatal tidak berhubungan dengan kontak bahan tertentu.
Terdapat keluhan yang sama pada keluarga yaitu anak terakhir pasien.
3.8. Diagnosis
Tinea Kruris et Korporis
3.9. Tatalaksana
a. Terapi Umum
Menjelaskan ke pasien bahwa penyakit yang dialami diakibatkan oleh
jamur
Mengedukasi pasien tentang kebersihan
Menganjurkan pasien untuk menggunakan pakaian yang longgar dan
menyerap keringat
16
Menganjurkan pasien untuk menggunakan pakaian ketika badan sudah
kering
Menganjurkan pasien untuk mengganti pakaiannya ketika berkeringat
banyak dan tidak membiarkan pakaian kering di badan
Menganjurkan tidak bertukar handuk dan menggunakan sabun mandi
(sabun batang) bersama orang lain, sebaiknya menggunakan sabun cair.
Menganjurkan anak terakhir yang memiliki keluhan yang sama untuk
berobat
Menganjurkan untuk tidak menggaruk lesi dan mencuci tangan dengan
menggunakan sabun saat setelah menggaruk
Mengedukasi cara menggunakan obat oles dengan benar yaitu lebihkan
2cm dari pinggir lesi
Lakukan pengobatan dan kontrol penyakit sampai tuntas
b. Terapi Khusus
Sistemik
o Griseofulvin 1 x 625 mg(2 – 4 minggu)
o Cetirizine 1 x 10 mg (1 – 2 minggu)
Topikal
o Ketokonazol krim 2 % (2 x sehari selama 2 – 4 minggu)
3.10. Prognosis
a. Quo ad sanationam : Bonam
b. Quo ad Vitam : Bonam
c. Quo ad functionam : Bonam
d. Auo ad Kosmetikum : Bonam
17
RESEP
RSUP DR. M DJAMIL PADANG
dr. Venera
SIP: 20201211
Praktik Senin-Jumat
08.00 - 14.00
Jalan Perintis Kemerdekaan No. 43, Padang
Telp 0752 765234
Pro : Ny. V
Umur : 44 tahun
Alamat: Kerinci
18
BAB 4
DISKUSI
19
Pemeriksaan fisik dari status generalis, kondisi pasien dalam keadaan normal.
Pada status dermatologikus didapatkan lokasi di punggung, perut, dada kanan,
paha atas, dan sela paha ditemukan plak eritem-hiperpigmentasi dengan papul-
papul eritem di pinggir lesi, skuama putih kasar, distribusi regional, bentuk tidak
khas, berbatas tidak tegas - tegas, dan berukuran lentikular-plakat. Pada pasien ini
dilakukan pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan KOH 20% ditemukan hifa
panjang bersekat yang merupakan gambaran jamur dermatofita.
Dari keluhan dan gambaran klinis terdapat beberapa diagnosis banding yaitu
eritrasma dan ptiriasis rosea. Diagnosis banding ini dapat disingkirkan melalui
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Eritrasma biasanya
juga didapatkan efloresensi yang mirip dengan tinea kruris berupa eritema dan
skuama, namun hal ini terjadi pada keseluruhan lesi dan tidak terdapat central
clearing. Pada keadaan yang mirip, perlu dilakukan pemeriksaan Woods Lamp,
pada pemeriksaan ini, eritrasma menunjukkan fluoresensi merah (coral red). Pada
pitiriasis rosea juga memiliki gambaran eritem dengan skuama halus di pinggir
namun keluhan gatal tidak sehebat tinea korporis.
Pada pasien ini diberikan tatalaksana umum dan khusus. Tatalaksana umum
yang diberikan yaitu mengedukasi pasien mengenai penyakitnya, menjaga
kebersihan diri, menjelaskan cara menggunakan obat, dan melakukan pengobatan
hingga tuntas. Untuk tatalaksana khusus, pada pasien diberikan tablet griseovulvin
500mg yang diminum 1x sehari sebagai terapi sistemik, tablet cetirizine 10mg 1x
sehari untuk mengurangi keluhan gatal pasien, sehingga pasien dapat mengurangi
keinginan menggaruk yang dapat memperparah lesi dan meningkatkan penyebaran
ke daerah lain. Terapi topikal yang diberikan pada paasien yaitu krim ketokonazol
2% yang dioleskan 2x sehari pada lesi dengan melebihkan 2cm pada lesi setiap
setelah mandi.
Prognosis pasien ini adalah quo ad sanationam bonam, quo ad vitam bonam,
quo ad comesticum bonam, quo ad functionam bonam.
20
DAFTAR PUSTAKA
1. Wolff K, Goldsmith LA, Freedberg IM, Kazt SI, Gilchrest BA, Paller AS,
Leffell DJ, editor. Dalam: Fitzpatrick’s Dematology in general medicine.
Edisi ke-8. New York: McGraw-Hill;
2. Budimulja U. Mikosis. Dalam Djuanda A, Hamzah M, dan Aisah, S, eds.
Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke-7. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2015. Hal. 109-116
3. James WD, Berger TG, Elston DM, eds. Andrews’ Disease of the Skin,
Clinical Dermatology. 11th Ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2011.
4. Yossela T. Diagnosis dan Treatment of Tinea Cruris. J Majority. 4(2);122-
8:2015.
5. Husni H, Asri E, Gustia R. Identifikasi Dermatofita Pada Sisir Tukang
Pangkas di Kelurahan Jati Kota Padang. Jurnal Kesehatan Andalas. 7(8);331-
5:2018.
6. Leung AK, Lam JM, Leong KF, Hon KL. Tinea corporis: an updated review.
Drugs Context. 2020 Jul 20;9:2020-5-6. doi: 10.7573/dic.2020-5-6. PMID:
32742295; PMCID: PMC7375854.
7. Kurniati, CS. Etiopatogenesis Dermatofitosis. Berkala Ilmu Kesehatan Kulit
dan Kelamin. 20(3);243-50(2008).
8. Sobera JO, Elewski BE. Infections, investations, and bites: fungal disease. In:
Bolognia, Jean L, Jorizzo JL, Rapini RP. eds. Dermatology. 2nd Ed: Volume
1. Philadelphia: Churchill Livingstone Elsevier. p.1135-62.
9. Pravitasari, D. N., Setyaningrum, T., Melyawati, S. L., Bernadette, I., &
Legiawati, L. (2012). S, editor. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Edisi ke 5.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2007. hal. 289-95. 4. Umborowati MA,
Rahmadewi. Studi Retrospektif: Diagnosis dan Terapi Pasien Melasma.
Journal Unair Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin. 2014; 26 (1): 109-
16.
10. Sahoo, Alok & Mahajan, Rahul. (2016). Management of tinea corporis, tinea
cruris, and tinea pedis: A comprehensive review. Indian Dermatology Online
Journal. 7. 77. 10.4103/2229-5178.178099.
21