Anda di halaman 1dari 54

Laporan Kasus

GERD PADA PASIEN ANAK DENGAN


BRONKOPNEUMONIA DAN PALATOSKISIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior
Pada Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK USK/RSUD
dr. Zainoel Abidin Banda Aceh

Disusun oleh:

Dendri Yaneski
2007501010063

Pembimbing:

Dr. dr. Sulaiman Yusuf, Sp. A (K)

BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
RSUD Dr. ZAINOEL ABIDIN
BANDA ACEH
2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah swt yang telah
menciptakan manusia dengan akal dan budi, kehidupan yang patut penulis
syukuri, keluarga yang mencintai dan teman-teman yang penuh semangat, karena
berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas laporan kasus
ini. Shalawat beriring salam penulis sampaikan kepada nabi besar Muhammad
Saw, atas semangat perjuangan dan panutan bagi ummatnya.

Tugas laporan kasus ini berjudul “GERD dan Bronkopneumonia


Berulang pada Anak” diajukan sebagai salah satu tugas dalam menjalani
kepaniteraan klinik senior Universitas Syiah Kuala BLUD RSUD dr. Zainoel
Abidin – Banda Aceh. Penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang
setinggi tingginya kepada Dr. dr. Sulaiman Yusuf, Sp. A (K) yang telah
meluangkan waktunya untuk memberi arahan dan bimbingan dalam
menyelesaikan tugas ini.

Dengan kerendahan hati, penulis menyadari bahwa tugas ini masih jauh
dari kesempurnaan. Saran dan kritik dari dosen pembimbing dan teman-teman
akan penulis terima dengan tangan terbuka, semoga dapat menjadi bahan
pembelajaran dan bekal di masa mendatang.

Banda Aceh, 14 September 2021


Penulis,

Dendri Yaneski

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i


DAFTAR ISI ............................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................ 1

BAB II LAPORAN KASUS .................................................................................... 3


2.1 Identitas Pasien ...................................................................................... 3
2.2 Identitas Keluarga Pasien ........................................................................ 3
2.3 Anamnesis ............................................................................................... 3
2.4 Pemeriksaan Fisik ................................................................................... 8
2.5 Pemeriksaan Penunjang ........................................................................... 8
2.6 Diagnosa Kerja ........................................................................................ 10
2.7 Penatalaksanaan ...................................................................................... 10
2.8 Planning .................................................................................................. 10
2.9 Prognosis ................................................................................................. 10

BAB III TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 11


3.1 Definisi ................................................................................................... 11
3.2 Epidemiologi ........................................................................................... 11
3.3 Patofisiologi ............................................................................................ 11
3.4 Klasifikasi ............................................................................................... 12
3.5 Manifestasi Klinis ................................................................................. 13
3.6 Diagnosis ................................................................................................ 14
3.7 Penatalaksanaan ...................................................................................... 15

BAB IV PEMBAHASAN ........................................................................................ 17

BAB V KESIMPULAN ........................................................................................... 22

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 23

LAMPIRAN ............................................................................................................. 25

ii
BAB I
PENDAHULUAN

Refluks Gastroesofageal (GER) adalah suatu keadaan, dimana terjadi


disfungsi sfingter esofagus bagian bawah sehingga menyebabkan regurgitasi isi
lambung ke dalam esofagus. Makanan yang kembali dari lambung ke esofagus
tersebut, mungkin masuk kembali ke dalam lambung atau dikeluarkan melalui
mulut menyerupai “muntah”.

Insiden GER di Indonesia yang pasti sampai saat ini belum diketahui,
tetapi menurut beberapa ahli, GER terjadi pada 50% bayi baru lahir dan
merupakan suatu keadaan yang normal. Secara klinis kadang-kadang sulit
membedakan refluks dari muntah. Refluks terjadi secara pasif karena katup
antara esofagus dan lambung belum berfungsi baik, baik karena hipotonia,
maupun karena posisi sambungan esofagus dan kardia atau belum berfungsi
sebagaimana lazimnya, sedangkan muntah adalah pengeluaran isi mulut melalui
mulut dengan paksa.

Pneumonia adalah suatu sindrom yang disebabkan oleh infeksi akut,


biasanya disebabkan oleh bakteri yang mengakibatkan adanya konsolidasi
sebagian dari salah satu atau kedua paru. Bronkopneumonia sebagai penyakit
yang menimbulkan gangguan pada sistem pernafasan, merupakan salah satu
bentuk pneumonia yang terletak pada alveoli paru.

Secara umum, GERD (gastroesophageal reflux disease) akan menyebabkan


gangguan pada pulmo melalui dua cara, yaitu rangsangan pada nervus vagus dan
mikroaspirasi. Refluks gastroesofagus akan merangsang refleks
esofagotrakeobronkial yang dimediasi oleh nervus vagus. Nervus vagus
menginervasi esofagus dan trakeobronkial karena memiliki asal embrionik yang
sama. Secara struktur anatomi, sfingter esofagus bagian atas berada di sisi
posterior laring. Pada rongga thorax, esofagus berada bersebelahan dengan trakea,
membentuk dinding posterior dari trakea. Sebuah studi di Amerika menemukan
bahwa refluks pada esofagus terjadi pada 78% pasien dengan batuk kronis dan
90% nya timbul dalam waktu 5 menit pasca refluks. Hal ini merupakan dasar

3
dugaan bahwa arkus refleks tersebut menjadi mekanisme yang mendasari batuk
kronis pada GERD (gastroesophageal reflux disease).
Penggunaan terapi empiris penghambat pompa proton pada kasus refluks
gastroesofagus dinilai dapat meningkatkan risiko pneumonia. Studi yang
dilakukan oleh Hsu, et al. menemukan bahwa risiko pneumonia pada kelompok
dengan refluks gastroesofagus adalah 156 per 10.000 orang-tahun, sedangkan
pada kelompok kontrol hanya 105 per 10.000 orang-tahun. Pasien dengan refluks
gastroesofagus memiliki risiko 48% lebih tinggi untuk mengalami pneumonia
dibandingkan kelompok kontrol.

4
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : Afdhal Alfandi
Rekam medis : 1-24-78-84
Jenis kelamin : Laki-laki
Usia : 2 tahun 8 bulan
Tanggal lahir : 14-12-2018
Alamat : Takengon

2.2 Identitas Keluarga Pasien


Nama Ibu : Dwi Purnama Sari
Usia Ibu : 29 tahun
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : IRT

2.3 Anamnesis
Pasien diterima oleh Dokter Muda tanggal 08 September 2021 pukul 12.00.
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis dari Ibu pasien.
Keluhan utama
Pasien datang dengan keluhan batuk pilek

Keluhan Tambahan
Demam, sesak nafas, mual dan muntah

Riwayat penyakit sekarang


Pasien datang ke IGD RSUDZA yang mrupakan pasien kiriman Dr. dr. Bakhtiar,
M.Kes Sp.A dengan diagnosa awal Pneumonia+Rhinitis+Palatoskisis. Pasien
datang dengan keluhan batuk pilek sejak 6 hari sebelum masuk rumah sakit.
Keluhan disertai demam dengan suhu 380C yang turun dengan pemberian
antipiretik. Keluhan sesak nafas yang dirasakan pasien setiap saat dan disertai
suara grok keluhan lebih memeberat ketika keadaan dingin. Keluhan mual muntah
dirasakan pasien ketika pasien sedang makan, dengan frekuensi 3 kali sehari

5
setiap makan, muntah pada pasien sebanyak 5 mL berbentuk bubur, keluhan
berkurang ketika pasien memiringkan posisi tidur, BAB konsisten 2kali sehari
dan BAK 2 jam terakir sebelum ke rumah sakit tanpa rasa nyeri dan warna urin
yang konsisten. Pada pasien didapatkan adanya celah di langit-langit mulut
pasien.

Riwayat penyakit dahulu


Pasien saat lahir pernah mendapatkan perawatan di NICU RSUD Takengon
selama 22 hari. Pasien pernah dirawat di RS sejak usia 8 bulan dengan keluhan
demam batuk pilek serta sesak nafas yang berulang.

Kesan: Riwayat penyakit dahulu berhubungan dengan kondisi saat ini.

Riwayat penyakit keluarga


Tidak ada keluarga yang pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya, ibu
pasien terdapat riwayat alergi dingin.

Kesan: Terdapat faktor resiko dari keluarga yang berhubungan dengan


penyakit pasien.

Riwayat pengobatan
Pasien sedang mengonsumsi antibiotik dan obat batuk pilek pulvis.

Kesan: Ada hubungan riwayat pengobatan pasien dengan kondisi saat ini.

Riwayat kehamilan dan persalinan


Pasien lahir secara pervaginam yang ditolong bidan, lahir dengan usia janin cukup
bulan, lahir segera menangis dengan berat badan lahir 3.500 gram, lahir dengan
palatoskisis dan dirawat di NICU selama 22 hari dengan keluhan minum tidak ade
kuat.

Kesan: Terdapat faktor resiko yang berhubungan dengan penyakit yang


dialami pasien

6
Riwayat Imunisasi
Riwayat imunisasi tidak lengkap, Hb0 dan BCG ada. Selain itu petugas posyandu
tidak memberikan imunisasi lanjutan dikarenakan pasien dalam keadaan sakit.

Kesan: Imunisasi dasar tidak lengkap

Riwayat nutrisi
Pasien mendapatkan tidak mendapatkan ASI ekslusif,usia 0-6 bulan pasien
mendapatkan susu formula, usia 6 bulan sampai 2 tahun pasien mendapatkan susu
formula dan MPASI. Cara pemberian makan pada pasien harus makanan harus
dihaluskan untuk mencegah tersedak akibat palatoskisis pada pasien.

Kesan: Ada faktor resiko yang berhubungan dengan penyakit yang dialami
pasien.

Riwayat tumbuh kembang


Pertumbuhan

Menurut ibu pasien, tinggi dan berat badan pasien tidak sesuai dengan anak seusia
pasien.

Kesan: Terdapat permasalahan pertumbuhan

Perkembangan
Pasien saat ini berusia 2 tahun 8 bulan, belum bisa bicara, pasien duduk dengan
dibantu, pasien sudah bisa merangkak.

Kesan: terdapat masalah perkembangan pada pasien.

Riwayat pemenuhan kebutuhan dasar


Pasien merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Pasien mendapat perhatian
serta kasih sayang dari keluarganya, kesehatan terpenuhi dengan baik oleh orang
tua pasien.

Kesan: Pemenuhan kebutuhan dasar asah, asih, dan asuh terpenuhi dengan
baik pada pasien.

7
Riwayat sosial ekonomi & kondisi lingkungan
Selama ini pasien tinggal bersama dengan orang tua dan saudaranya. Tempat
tinggal rumah pasien merupakan bangunan permanen dan memiliki ventilasi serta
pencahayaan yang baik. Sumber air minum pasien berasal dari air PDAM dan
sumber listrik dari PLN. Ayah pasien bekerja sebagai pekerja kantoran, sedangkan
Ibu pasien bekerja sebagai ibu rumah tangga. Fasilitas kesehatan terjangkau dari
rumah pasien. Pembiayaan kesehatan pasien berasal dari JKA kelas III.

Kesan: Kondisi ekonomi dan lingkungan cukup baik.

2.4 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan fisik dilakukan di Ruang Arafah 1 K4B4 pada 07 September
2021 pukul 11.45.

Keadaan umum : Tampak sakit ringan

Tanda Vital

Tekanan Darah : 130/80 mmHg


Laju nadi : 96 kali/menit, regular, kuat angkat, isi cukup
Laju napas : 22 kali/menit
Suhu : 36,8°C
SPO2 : 98%
Skala nyeri : 5/NRS
Status Gizi dan Antropometri (kurva WHO)

Berat badan (BB) : 8 kg


Tinggi badan (TB) : 77 cm
BB/U : <-3 (perawakan berat badan sangat kurang)
TB/U : <-3 (perawakan sangat pendek)
BB/TB : -3 (perawakan gizi kurang)
Lingkar lengan atas : 16 cm
Lingkar kepala : 45 cm (microcephalia)
Height Age : 12 bulan

8
BBI : 18 kg
Kebutuhan kalori harian : 800 kkal/hari
Kebutuhan protein : 26 gram/ hari
Kebutuhan cairan : 800 cc/ hari

Berdasarkan kurva pertumbuhan WHO kesan: Gizi kurang

Sistem Deskripsi

Kulit Warna kulit putih, tidak tampak pucat

Kepala Lingkar kepala 45 cm (mikrosefali)

Rambut Hitam, sebaran rambut merata, dan tidak mudah dicabut

Konjungtiva palpebra inferior tidak tampak anemis, sklera


tidak ikterik, pupil bulat isokor, refleks cahaya langsung
Mata
positif di kedua mata, refleks cahaya tak langsung positif di
kedua mata. Mata tidak cekung

Hidung Tidak ada NCH, tidak ada sekret

Telinga Tidak terdapat deformitas, tidak ada sekret telinga

Mulut dan Tidak sianosis, mukosa bibir dan mulut dalam batas normal.
tenggorokan Palatoskisis

Leher Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening

Tidak ada deformitas, pergerakan simetris statis dan dinamis.


Dada
Tidak terdapat retraksi, sonor pada kedua lapangan paru

Bunyi napas ronkhi basah di kedua lapang paru, mengi tidak


Paru
ada

Bunyi jantung I dan II regular, tidak terdapat murmur dan


Jantung
gallop

Tidak distensi, hepar dan lien tidak teraba, Balotemen ginjal


Abdomen
negatif, nyeri tekan tidak ada, peristaltik normal

Akral teraba hangat, waktu pengisian kapiler < 2 detik.


Ekstremitas Pergerakan kedua ekstremitas tidak ada hambatan.tidak
sianosis, tidak tampak Anemis

Genital Laki-laki

9
2.5 Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan laboratorium, didapatkan data sebagai berikut:
Tabel 2.1 Hasil pemeriksaan laboratorium.
Pemeriksaan 06 September 2021 Rujukan
Hb 12,7 12-14,5 g/dl
Ht 37 37-47 %
Eritrosit 4,7 4,2-5,4 x 106/mm3
Trombosit 298 150-450 x103/ mm3
Leukosit 12,3 4,5-15 x103 /mm3
MCV 79 80-100 fL
MCH 27 27-31 pg
MCHC 34 32-36%
RDW 13,7 11,5-14,5 %
MPV 8,5 7,2-11,1 fL
PDW 9,2 fL
Eosinofil 1 0-6%
Basofil 1 0-2 %
N. Batang 0 2-6 %
N. Segmen 46 50-70 %
Limfosit 45 20-40 %
Monosit 7 2-8 %
Kimia Klinik
Kalsium (Ca) 10,4 8,6-10 mg/dL
Ureum 27 13-43 mg/dL
Kreatinin 0,40 0,67-1,17 mg/dL
Natrium (Na) 144 132-146 mmol/L
Kalium (K) 4,50 3,7-5,4 mmol/L
Klorida (Cl) 111 98-106 mmol/L

10
Gambar 2.1 Hasil pemeriksaan foto rongent.

Tabel 2.2 Hasil foto thorax


Pemeriksaan 5 Juli 2021 Rujukan

Cor Besar dan bentuk normal Normal


Pulmo Tampak ptchyinfiltrat di paru Normal
kanan kiri
Sinus prenicocostalis Kanan kiri tampak tajam Normal

Kesan: Bronkopneumonia.

2.6 Diagnosa Kerja


1. GERD
2. Bronkopneumonia
3. Palatoskisis
2.7 Penatalaksanaan
1. Omeprazole 5mg /12 jam IV
2. Sukralfat syr ½ cth /8 jam PO
3. Ampicilin 200mg/ 6 jam IV
4. Paracetamol syr cth/ 8 jam prn

2.8 Planning

11
1 Monitoring SpO2.
2 Konsultasi dengan bedah plastik untuk melakukan palatoplasti pada pasien.

2.9 Prognosis
1. Quo ad vitam : Bonam
2. Quo ad functionam : Bonam
3. Quo ad sanationam : Bonam

12
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 GERD
3.1.1 Definisi

Gastroesofageal reflux (GER) atau Refluks Gastroesofageal (GER) adalah


suatu keadaan, dimana terjadi disfungsi sfingter esofagus bagian bawah sehingga
menyebabkan regurgitasi isi lambung ke dalam esofagus. Gastroesophageal
reflux disease (GERD) adalah GER yang dihubungkan dengan gejala patologis
yang mengakibatkan komplikasi dan gangguan kualitas hidup.1

3.1.2 Etiologi

Inflamasi esophagus bagian distal terjadi ketika cairan lambung dan


duedonum, termasuk asam lambung, pepsin, tripsin, dan asam empedu mengalami
regurgitasi ke dalam esophagus. Penurunan tonus spingter esophagus bagian
bawah dan gangguan motilitas meningkatkan waktu pengosongan esophagus dan
menyebabkan GER. Inflamasi esophagus nantinya dapat mengakibatkan kedua
mekanisme diatas, seperti lingkaran setan.2

Walaupun penurunan tonus spingter bagian bawah terjadi pada bayi


dengan GER, GERD, dan kelainan dismotilitas, akan tetapi ada satu faktor yang
belakangan diakui sebagai pathogenesis terpenting pada GERD adalah terjadinya
relaksasi transien spingter esophagus bawah secara berulang. Faktor yang
meningkatkan waktu pengosongan esophagus termasuk didalamnya interaksi
antara postur dan gravitasi, ukuran dan isi makanan yang dimakan, pengosongan
lambung abnormal, dan kelainan peristalsis esophagus.2,3

3.1.3 Patofisiologi

Pada neonatus GER disebabkan oleh tonus otot SEB belum sempurna dan
panjang esofagus belum maksimal. GER merupakan suatu keadaan yang penting
pada bayi/anak karena dapat menimbulkan gangguan pertumbuhan, striktura,

13
14

esofagitis, hematemesis, infeksi saluran nafas berulang, dan kadang-kadang


menimbulkan kematian mendadak pada bayi (Sudden infant death sydrome). 1
Werlin SL dkk menyatakan patogenesis GER tidak jelas, tetapi para ahli
menyatakan penyebab terbanyak GER adalah ketidakmampuan SEB untuk
menahan kembalinya isi lambung, oleh karena rendahnya tekanan SEB. Peneliti
lain berpendapat bahwa GER tidak ad hubungannya dengan SEB, tetapi GER
cenderung terjadi pada periode relaksasi otot SEB. 1
Pada bayi baru lahir tekanan SEB tidak dipengaruhi oleh posisi bayi,
sehingga gejala GER seperti muntah pada neonatus tidak dipengaruhi oleh posisi.
Namun dalam perkembangan selanjutnya, perubahan posisi dapat mempengaruhi
kejadian refluks GER dapat juga terjadi pada peningkatan tekanan
intra abdominal. Tekanan intra abdominal yang meningkat dapat terjadi pada
keadaan patologis misalnya meteorismus, sepsis atau adanya tumor. 1,4
Pada keadaan normal, kenaikan tekanan intraabdominal atau adanya
kontraksi pada lambung akan diimbangi oleh peningkatan tekanan SEB sehingga
mencegah terjadinya refluks. Beberapa peneliti menyatakan GER terjadi karena
peningkatan tekanan intraabdominal disertai inkompetensi SBE. 1,3
Episode GER jarang terjadi pada waktu tidur. Hal ini dipengaruhi

pengosongan dari lambung dan aktifitas menelan lebih lambat. GER juga
dipengaruhi oleh posisi tidur. Posisi tengkurap dengan kepala lebih tinggi
menurunkan frekuensi GER. Disamping itu pengaruh pH dari esofagus sangat
berperan. Bila didapatkan pH < 4 yang diukur dalam 24 jam, akan merangsang
peningkatan peristaltik esofagus sehingga meningkatkan insidens GER. 1,5

3.1.4 Klasifikasi

Berdasarkan berat tingannya GER. Mc Cauley membagi GER menjadi 5


derajat yaitu : 1
a) Derajat I : Refluks hanya pada bagian distal esofagus
b) Derajat II : Refluks di atas karina tetapi belum sampai pada
esofagus pars servikalis
15

c) Derajat III : Refluks sampai esofagus servikalis


d) Derajat IV : Refluks persisten pada esofagus pars servikalis
dengan dilatasi kardia
e) Derajat V : Refluks dengan aspirasi ke dalam trakhea/paru

Jika dihubungkan dengan gejala klinik, GER dapat dikategorikan :1

a) Refluks Minor : GER derajat I-II


b) Refluks Mayor: GER derajat III-V

3.1.5 Manifestasi Klinis

Pada minggu pertama kasus GER mencapai 80% sedangkan pada usia 1-6
minggu adalah 10 % dan pada bayi berusia lebih dari 6 minggu hanya 1%.
Gejala klinis biasanya hanya muntah, tidak proyektil, sehingga kebanyakan
orangtua menganggapnya suatu hal yang normal, dan tidak merisaukan keadaan
bayinya kecuali jika muntah nya terus menerus. Gejala klinis lainnya adalah
gejala infeksi paru berulang tanpa adanya gejala muntah yang menonjol. Carre
J mendapatkan 80% gejala GER adalah muntah yang terjadi bila bayi ditidurkan
setelah diberi makan. Bila isi lambung mempunyai pH rendah (pH < 4), maka
sering terjadi esofagitis kemudaian menjadi striktura dengan gejala disfagia
atau perdarahan pada rsofagus (muntahan berisi darah). Bila timbul komplikasi
seperti ini penangannya lebih sulit.1
Gejala lain yang sering ditemukan pada kasus GER adalah gagal tumbuh
kembang (Failure to thrieve). Gagal tumbuh kembang ini terjadi karena muntah
yang berat dan terus-menerus sehingga makanan yang diperlukan untuk
pertumbuhan bayi terbuang percuma. Keadaan ini merupakan problema utama
pada bayi dan jarang ditemukan pada anak yang lebih besar. 1
Kibel MA mengadakan penelitian terhadap 30 bayi dengan GER ternyata 7
bayi mengalami penurunan berat badan sampai di bawah persentil 50 dari kartu
kenaikan berat badan. Herbst J. Dkk, menyatakan ada 3 hal yang dapat
menimbulkan gangguan tumbuh kembang yaitu : (1) Kekurangan diet makanan
karena penderita muntah terus-menerus, (2) Disfagia. perut kembung dan muntah
pada saat tidur, (3) Perdarahan di dalam esofagus karena iritasi. Apabila asam
16

lambung naik sampai ke faring, kemungkinan dapat terjadi aspirasi pneumonia.


Pada penderita ini gejala muntahnya tidak selalu nampak. Pada bayi terutama
prematur, muntah-muntah kronis pada saat tidur dapat menyebabkan pneumonia.
Kadang-kadang infiltrat pada bayi menimbulkan obstruksi sehingga gejalanya
seperti asma.1,6
Kriteria untuk menguatkan hubungan antara GER dan penyakit paru pada
anak adalah : (1) Adanya serangan apnea, (2) Pneumonia berulang, (3) Batuk
pada malam hari yang kronis, (4) Wheezing berulang. (5) Muntah sering pada
malam hari. Pada GER jika didapatkan pH esofagus < 4, dengan gambaran
parenkim paru yang mengalami kerusakan. Bila terjadi komplikasi pneumonia
berulang, akan mengalami kesulitan dalam penyembuhannya, oleh karena
bila aspirasi pneumonia sebagai penyebabnya, bahan muntahan akan sulit
diabsorbsi.7
Danus dkk. Telah meneliti bronhitis obstruktif kronik pada penderita GER.
Pada penelitiannya terhadap 242 anak yang mengalami komplikasi paru
sebanyak 17 anak. Beberapa peneliti lain menemukan kejadian pneumonia
berulang dimana penyebabnya tidak diketahui, ternyata pada peda pemeriksaan
klinik dan laboratorium yang lebih cerma penyebabnya adalah GER. 1
Pada bayi sering terjadi kasus kematian mendadak (sudden infant death
syndrome=SIDS) . Ternyata pada usia 4 bulan kurang lebih 50 % dan 40 % pada
tahun pertama pada pemeriksaan autopsi penyebabnya adalah GER. Mekanisme
terjadinya GER diduga karena imaturitas saluran pernafasan, sehingga sangat
rentan terjadi infeksi, sindroma kesulitan pernafasan (respiratory distress
syndrome), infeksi paru berulang, dan spasme pada laring.1
Perdarahan pada mukosa esofagus bagian distal terjadi karena asam
lambung, terjadi pada 20-25% dan sebagai penyebabnya adalah erosi dan radang
kronis.Herbst dkk. Menemukan adanya fistula esofageal pada GER. Pada GER
yang berat sering terdapat gerakan mengangguk (head cocking), anemia
defisiensi Fe (Sindroma Sandifer). Adanya head cocking sampai saat ini
mekanismenya tidak diketahui.1
Kita harus ingat bahwa gejala tipical / khas (misalnya, heartburn, muntah,
regurgitasi) pada orang dewasa tidak dapat langsung dinilai pada bayi dan anak-
17

anak. Pasien anak dengan refluks gastroesophageal (GER) biasanya menangis


dan gangguan tidur serta penurunan nafsu makan. Berikut ini adalah beberapa
dari tanda-tanda umum dan gejala refluks gastroesofagus pada populasi anak-
anak:3

Tanda dan gejala gastroesophageal reflux pada bayi dan anak kecil :

a) Tangisan khas atau tidak khas / gelisah


b) Apnea / bradikardi
c) Kurang nafsu makan
d) Peristiwa yang mengancam nyawa/ALTE (Apparent Life Threatening
Event)
e) Muntah
f) mengi (wheezing)
g) Nyeri perut / dada
h) Stridor
i) Berat badan atau pertumbuhan yang buruk (failure to thrive)
j) Pneumonia berulang
k) Sakit tenggorokan
l) Batuk kronis
m) Waterbrash
n) Sandifer sindrom (yaitu, sikap dengan opisthotonus atau torticollis)
o) Suara serak / laringitis

Tanda dan gejala pada anak yang lebih tua - Semua yang diatas, ditambah
heartburn dan riwayat muntah, regurgitasi, gigi tidak sehat, dan mulut berbau
(halitosis).3
Pada balita dan anak-anak yang lebih tua, regurgitasi yang berlebihan dapat
mengakibatkan masalah gigi signifikan disebabkan oleh efek asam pada
enamel gigi.3 Beberapa pasien memiliki gejala atipikal (misalnya, batuk malam
hari, mengi, atau suara serak sebagai keluhan utama saja). Refluks
gastroesophageal merupakan faktor penyulit pada asma. Mekanisme ini dapat
mencakup microaspiration, yang mengarah ke reflex bronkokonstriksi. Asosiasi
18

gastroesophageal reflux dan jalan nafas atau penyakit saluran pernapasan adalah
umum. Batuk, stridor, dan faringitis semuanya telah dikaitkan dengan
refluks gastroesophageal. Selain itu, asosiasi dengan ruminasi umumnya diamati
pada pasien dengan gangguan perkembangan.3
Regurgitasi makanan, salah satu gejala presentasi yang paling umum pada
anak-anak, berkisar dari air liur sampai muntah proyektil. Paling sering,
regurgitasi adalah postprandial, meskipun penundaan 1-2 jam terjadi. Kita juga
harus mempertimbangkan anomali anatomi dan alergi protein pada anak muntah,
serta gangguan metabolisme bawaan (jarang).3
Esophagitis dapat bermanifestasi sebagai menangis dan rewel pada bayi
yang belum bisa bicara. Kegagalan untuk berkembang dapat mengakibatan
asupan kalori yang tidak cukup karena muntah berulang. Cegukan, gangguan
tidur, dan sindrom Sandifer (melengkung) juga telah terbukti berhubungan
dengan refluks gastroesofagus dan esofagitis.3

3.1.6 Diagnosis

Tujuan dari mengetahui riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik dalam


evaluasi GERD adalah untuk mengeliminasi kemungkinan penyakit lain dengan
gejala yang sama dan untuk mengidentifikasi komplikasi GERD. Gejala khas
dari penyakit refluks pada anak bervariasi sesuai dengan umur dan kondisi medis
yang mendasari, namun patofisiologi yang mendasari GERD dianggap sama
pada segala usia termasuk bayi prematur. Berdasarkan hasil studi, regurgitasi
atau muntah, sakit perut, dan batuk, kecuali heartburn, adalah gejala yang
paling sering dilaporkan pada anak-anak dan remaja dengan GERD. 5
Pada tahun 1993 dan 1996, Orenstein merumuskan sebuah kuisioner klinis
sebagai metode sederhana untuk mengidentifikasi anak dengan GERD. Namun
oleh Poddar dimodifikasi menjadi pertanyaan sekaligus skor untuk mendiagnosis
GERD. Jika Skor > 7, sensitivitas: 74% dan spesifisitas: 94% untuk
mendiagnosis GERD.8
19

Tabel 1. Modifikasi Kuesioner Orenstein pada Anak-anak dengan GER.8

Pertanyaan
Poin
1. Seberapa sering bayi biasanya muntah?
•1-3 kali/ hari 1
•3-5 kali/hari 2
•>5 kali/hari 3
2. Berapa kali biasanya bayi muntah?
•1 sendok teh hingga 1 sendok makan 1
•1 sendok teh hingga 1 ons 2
•>1 ons 3
3. Apakah muntah tampak tidak menyenangkan bagi bayi Anda?
2
4. Apakah bayi menolak makan ketika lapar? 1
5. Apakah bayi mengalami kesulitan mendapatkan kenaikan berat badan yang cukup?
1
6. Apakah bayi banyak menangis selama atau setelah makan?
3
7. Apakah Anda berpikir bayi menangis atau rewel lebih dari biasanya?
1
8. Berapa jam yang bayi menangis atau rewel setiap hari?
•1 hingga 3 jam 1
•>3 jam 2
9. Apakah Anda pikir cegukan bayi Anda lebih banyak dari kebanyakan bayi?
1
10
Apakah bayi memiliki kebiasaan untuk melengkungkan punggungnya?
.
2

Apakah bayi pernah berhenti bernapas saat terjaga dan berjuang untuk 6
11. bernapas atau mengubah biru atau ungu?
Total Skor Maksimal
25

3.1.7 Penatalaksanaan

Pada 80% pasien gejala teratasi dengan intervensi minimal, tanpa


memerlukan pengobatan medikamentosa, makanan disamping pemberian obat-
obatan. Bila tindakan tersebut tidak menolong, barulah dipertimbangkan tindakan
pembedahan.4

Tujuan pengobatan GER termasuk eliminasi gejala, penyembuhan


esofagitis, manajemen komplikasi dan mempertahankan remisi. Pilihan terapi
termasuk perubahan gaya hidup, terapi farmakologi dan pembedahan anti refluks.
20

Juga sangat penting pemberian edukasi kepada pasien atau keluarga dan
melakukan tindakan yang tepat pada bayi yang mengalami refluks gastroesofagus
tanpa komplikasi.1

a. Pemberian ASI atau Susu Formula dan Posisi Bayi

1. ASI dan Susu Formula

ASI yang mempunyai sifat easy in-easy out harus terus diberikan
karena ASI hipoalegernik dan mudah dicerna, pengosongan lambung 2x lebih
cepat daripada susu formula dan pemberian ad libitum, volumenya lebih
sedikit daripada susu formula. 1

Cara menyusui :1

a. Bayi hanya menetek pada satu payudara sampai habis.

b. Biarkan bayi terus menghisap (walaupun payudara telah kosong) sampai


tertidur. Selama bayi menghisap payudara, gerakan menghisap lidah
bayi merupakan trigger terhadap kontraksi lambung, sehingga reflux
tidak akan terjadi.

c. Hindari perlakuan yang kasar/tergesa-gesa, atau perlakuan yang tidak


perlu.

d. Setelah menyusui, bayi jangan langsung ditidurkan. Bayi baru


ditidurkan dengan posisi kepala lebih tinggi dan miring ke sebelah kiri,
paling cepat ½ jam setelah menyusu/minum susu formula.

e. Hindari paparan asap rokok dan konsumsi kopi pada ibu (kafein yang
berlebihan pada ibu mempengaruhi terjadinya GER pada bayi).

f. Hindari pemakaian baju bayi yang ketat.

2. Formula hipoalegernik
21

Formula hipoalegernik dapat dicoba selama 1-2 minggu pada bayi yang
mendapat formula yang mengalami muntah, karena beberapa bayi memiliki
alergi terhadap susu sapi.

3. Penambahan sereal

Belum ada kesepakatan mengenai manfat penambahan sereal pada susu


formula (1-2 sendok teh sereal setiap 8 ounces susu) ini pada GER, tetapi hal ini
dapat dicoba sebelum memutuskan pemberian obat pada medikamentosa.
Beberapa ahli menyatakan penambahan sereal ini dapat menurunkan episode
muntah dan juga dapat memberikan kalori tambahan, yang menguntungkan bagi
bayi yang berat badannya belum mencukupi.1,8

4. Posisi

Bayi dengan GER berat harus ditidurkan telungkup dengan posisi kepala
lebih tinggi (30°). Pada anak-anak elevasi dan memposisikan kepala pada sisi kiri
tammpaknya menguntungkan (bayi normal harus ditidurkan terlentang karena
resiko terjadinya sudden infant death syndrome). Setelah menetek/ minum susu
formula bayi digendong setinggi payudara ibu, dengan muka menghadap dada ibu
(seperti metoda kangguru, hanya baju yang tidak perlu dibuka). Hal ini
menyebabkan bayi tenang, sehingga mengurangi refluks. Mendekap bayi di
pundak ternyata saat ini diragukan manfaatnya. 1

Posisi terlentang mengurangi jumlah paparan asam lambung pada esofagus


yang bisa dikteahui melalui pemeriksaan PH, dibandingkan dengan posisi
telungkup. Akan tetapi, posisi telentang dan posisi lateral berhubungan
dengan meningkatnya angka kejadian sindrom bayi mati mendadak atau sudden
infant death syndrome (SIDS). Oleh karena resiko tersebut, maka posisi telentang
atau lateral tidak terlalu direkomendasikan untuk bayi dengan GERD, tetapi
sebagian besar bayi usia dibawah 12 bulan lebih disarankan untuk ditidurkan
dengan posisi telungkup.1
22

Gambar 6. Modifikasi posisi pada bayi.1

Gambar 7. Posisi telungkup dengan kepala ditinggikan.9

Perubahan pola hidup pada anak dan dewasa. Pada anak yang lebih
besar, tidak ada bukti yang jelas tentang pengurangan konsumsi makanan-
makanan tertentu. Pada dewasa, obesitas, makan berlebih, dan makan pada malam
hari sebelum tidur berhubungan dengan timbulnya gejala GERD. Posisi tidur
telentang atau posisi tidur pada sisi kiri dan atau peninggian kepala tempat tidur,
bisa mengurangi gejala refluks.4

b. Farmakoterapi
23

Farmakoterapi yang ideal untuk mengobati pasien anak-anak yang


mengalami GER adalah yang menunjukkan efikasi yang baik pada populasi
pasien, mengurangi volume dan asiditas refluks, meningkatkan kompetensi LES,
meningkatkan klirens esofagus, meningkatkan resistensi mukosa esofagus, tidak
ada efek yang merugikan dan aman serta biaya yang rendah.Obat yang tersedia
saat ini adalah antasid, pelindung mukosa, obat prokinetik, antagonis reseptor
histamin H2, dan penghambat pompa proton. Menurut The Food and Drugs
Andministration (FDA) tidak semua obat diijinkan penggunaannya pada bayi dan
anak-anak karena efikasi dan keamanannya belum diketahui dengan pasti. Masih
diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui efikasi dan keamanan obat-
obat pada bayi dan anak-anak.1

a. Antasida dan Pelindung Mukosa

Antasida menetralisir asam lambung dan sodium alginate melindungi


mukosa esofagus dengan membentuk suatu gel pada permukaan. Sukralfat (Suatu
kompleks alumunium dari sukrose sulfat) terikat pada mukosa dan melindungi
mukosa esofagus. Efikasi obat ini pada anak- anak yang mengalami refluks
gastroesofageal belum diketahui dengan pasti. Obat ini tidak dibenarkan
penggunaanya pada bayi dan anak oleh FDA dalam pengobatan GER.
Penggunaan antasid yang mengandung alumunium dalam jangka panjang harus
dihindari karena resiko toksisitas alumunium. Obat ini digunakan secara
intermitten untuk meredakan gejala GER pada anak yang berumur lebih besar.10

b. Obat Prokinetik

Obat prokinetik meningkatkan tekanan LES, memperbaiki peristaltik


esofagus dan mempercepat pengosongan lambung. Obat ini dapat mengurangi
frekuensi refluks. Yang termasuk obat ini adalah : betanechol, metoklopramid,
domperidone, cisapride, eritromisin, gonadotropin releasing hormon agonist
dan ockretida.1

Obat prokinetik yang sering dipakai pada bayi dan anak-anak adalah
domperidone dan metoklopramide, hanya perlu diingat efek samping
24

metoklopramide terjadi pada 10-20% berupa gangguan syaraf pusat kadag terjasi
efek samping pada gastrointestinal berupa diare dan kejang abdomen.1 Cisapride
efektif untuk mengurangi gejala pada bayi dan anak-anak yang menderita GER.
Obat ini dapat menyebabkan aritmia jantung yang serius sehingga pemberian pada
anak-anak sangat terbatas, hanya diberikan kepada pasien yang mengalami GER
yang bersifat refrakter.1

c. Antagonis Reseptor H2

Antagonis reseptor H2 secara kompetitif menghambat anti histamin pada


reseptor histamin H2 pada sel parietal lambung. Obat ini sangat efektif pada
reseptor histamin H2 pada sel parietal lambung. Obat ini sangat selektif pada
reseptor histamin H2 dan memiliki sedikit atau tanpa efek pada reseptor histamin
H1. Sel parietal memiliki reseptor untuk histamin, asetilkolin, dan gastrin yang
semuanya itu dapat merangsang sekresi asam hidroklorida ke dalam lumen gaster.
Antagonist reseptor histamin H2 menghambat sekresi asam hidroklorida ke
dalam lumen gaster. Antagonis reseptor histamin H2 menghambat sekresi asam
yang dihasilkan oleh reseptor histamin, tapi tidak memiliki ekef pada sekresi
asam yang disebabkan oleh asetilkolin atau gastrin.1

Obat yang termasuk golongan ini adalah Cimetidin, Ranitidine, Famotidine


dan Nizatidine. Obat cepat diserap setelah pemberian per oral. Efek antagonist
reseptor histamin H2 pada sekresi asam tergantung pada dosis dan
konsentrasi. Pada pemberian jangka panjang obat ini akan kehilangan efikasi
secara bertahap. Hal ini terjadi kemungkinan sebagai akibat dari beberapa
mekanisme, termasuk stimulasi reseptor asetilkolin atau gastrin, takifilaksis
(kehilangan efikasi yang berhubungan dengan diskoneksi antara stimulasi reseptor
dan sinyal aktifitas di dalam sel) atau regulasi reseptor histamin H2.1

Antagonis reseptor histaminH2 dapat menurunkan penyerapan obat yang


memerlukan nsuasana asam (ketokonazol, itrakonazol). Simetidin menghambat
enzimsitokrom P-450 dan memiliki potensi untuk berinteraksi dengan obat lain
yang dimetabolisme oleh isoenzim ini (misalnya Fenitoin, Propanolol, Teofilin,
Warfarin). Ranitidine berinteraksi dengan enzim sitokrom dengan cara berbeda
25

dibandingkan simetidin dan hanya sedikit menghambat metabolisme obat lain.


Antagonis reseptor histamin H2 yang lainnya tidak menghambat enzim sitokrom.1

Simetidin dan Nizatidin pada pasien anak yang menderita GER pada
penelitian yang dilakukan dengan menggunakan kontrol plasebo. Pada penelitian
yang dilakukan secara randomized double blind selama 12 minggu pada 32 orang
pasien yang berusia 14 tahun yang mengalami refluks esofagitis, dosis oral
simetidin 30-40 mg/kgBB/hari secara signifikan lebih bermakna daripada plasebo
di dalam mengobati esofagitis dan mengurangi gejala. Pemberian nizatidin 10
mg/kgBB/hari selama 8 minggu secara signifikan lebih bermakna daripada
plasebo di dalam mengobati esofagitis dan mengurangi gejala serta waktu dimana
pH esofagus di bawah 4 pada 24 orang pasien yang berusia 6 bulan sampai
dengan 8 tahun.1

Ranitidin dan Famotidin tampaknya sama efektifnya dengan simetidin dan


nizatidin. Suatu penelitian mengenai farmakokinetik dan farmakodinamik
ranitidine 5 mg/kg pada bayi yang berusia 6 minggu sampai 6 bulan yang
menderita refluks gastroesofageal yang diberi ranitidine dengan dosis 5
mg/kgBB ternyata pH esofagus paralel dengan konsentrasi ranitidine dalam
plasma dan pH dalam lambung tetap di atas 4 selama 9 jam setelah pemberian
obat ini. Pemberian makanan meningkatkan pH esofagus selama 9 jam setelah
pemberian obat ini. Pemberian makanan meningkatkan pH esofagus di atas 4
selama kurang lebih 2 jam. Oleh karena itu jika ranitidine diberikan 2 jam setelah
makan, akan terjadi supresi asam dan ranitidine diberikan dua dosis harian akan
menyebabkan hampir 24 jam. 1

Pada pasien anak-anak berumur 6 bulan sampai 13 tahun dan


mengalami esofagitis yang refrakter dengan dosis normal ranitidin adalah 8
mg.kgBB/hari. Penggunaan ranitidine dosis tinggi 20 mg/kgBB/hari dapat
mengurangi gejala dan memberikan penyembuhan. Ranitidine dosis tinggi
dalam hal efikasi mengurangi gejala dan menyembuhkan esofagitis dapat
diperbandingkan dengan omeprazole.1
26

d. Inhibitor Pompa Proton

Inhibitor pompa proton terikat dengan hydrogen/potassium adenosine


triphosphatase suatu enzim yang berperan sebagai pompa proton pada sel parietal,
karena itu dapat menghambat pertukaran ion yang merupakan langkah akhir pada
sekresi asam tanpa memandang apakah distimulasi oleh histamin, asetilkolin atau
gastrin. Untuk sekresi dari sel parietal inhibitor pompa proton memerlukan
aktivasi dalam lingkungan. Supaya makanan tidak dapat mempengaruhi absorpsi
dan konsentrasi puncak obat dalam plasma, obat ini paling baik diminum sekitar
30 menit sebelum makan. Obat ini kurang efektif selama kondisi puasa saar
sekresi asam lebh rendah. 6

Inhibitor pompa proton dinonaktifkan oleh asam lambung. Oleh karena itu
obat ini diformulasi dengan enteric coating, sehingga obat ini mampu melewati
lambung dalam keadaan utuh dan memasuki usus, dimana pH nya kurang asam
dan obat diserap. Inhibitor pompa proton memiliki eliminasi waktu paruh yang
pendek namun durasi aksi yang panjang karena ikatan dengan pompa proton
ireversibel dan penghentian aktivitas farmakologik memerlukan sintesis enzim
yang baru. Inhibitor pompa proton tidak mempengaruhi motilitas lambung atau
sekresi enzim lambung yang lainnya.10

Inhibitor pompa proton dapat berinteraksi dengan obat yang memerlukan


lingkungan asam untuk penyerapan (misalnya ketokonasol, itrakonasol).
Inhibitor pompa proton dimetabolisme oleh sitokrom P-450 2C19 dan 3A4 secara
bervariasi dan dapat berinteraksi dengan obat lain yang dimetabolisme oleh enzim
ini. 1

Omeprasol dan lansoprasol golongan inhibitor pompa proton telah diijinkan


penggunaannya oleh FDA pada pasien anak-anak. Keduanya tersedia dalam
bentuk kapsul yang mengandung granula salut enterik. Oleh karena itu obat ini
tidak boleh dikunyah, harus ditelan dalam bentuk utuh karena akan menurunkan
efektivitasnya. Esomeprasol (bentuk isomer S dari Omeprasol) tersedia
27

sebagai kapsul yang mengandung enteric coated pellet dan rabeprasol


sedangkan pantoprasol tersedia dalam bentuk enteric coated tablets. 1

Pantoprasol, rabeprasol dan esomeprasol tidak dibenarkan penggunaannya


oleh FDA pada anak-anak. Saat ini percobaan klinis pada pasien anak-anak
sedang dilaksanakan. Omeprasol dan lansoprasol sebaiknya diminum dengan
sedikit jus buah yang agak asam (jus apel, jeruk) atau jeruk. Inhibitor pompa
proton lebih efektif daripada antagonis reseptor histamine H2 dalam mengurangi
sekresi asam, mengurangi gejala GER dan menyembuhkan esofagitis.
Inhibitor pompa proton juga lebih efektif daripada antagonis reseptor histamin H2
dalam mempertahankan remisi.1

Pada penelitian yang dilakukan pada pasien anak-anak yang menderita


esofagitis yang resisten terhadap antagonis reseptor histamin H2, omeprasol
efektif dalam memeprbaiki gejala dan menyembuhkan esofagitis. Pengobatan
selama 8 minggu dengan omeprasol 40 mg/hari/1,73m2 luas permukaan tubuh
atau ranitidine dosis tinggi (20 mg/kg/hari) mengurangii paparan asam pada
esofagus dan mempercepat kesembuhan pada 25 orang bayi dan anak-anak yang
berusia 6 bulan sampai 13 tahun dengan refluks esofagitis yang berat. Pada suatu
penelitian yang dilakukan pada pasien anak-anak yang berumur3-18 tahun yang
mengalami refluks esofagitis yang refrakter atau ulkus peptikum, omeprasol (0,3-
0,7 mg/kgBB/hari) memberikan supresi asam yang lebih besar daripada antagonis
reseptor histamin H2. Pada 12 orang bayi yang menderita esofagitis yang gagal
memberikan respon pada pengobatan simetidin, cisapride, antasid yang
mengandung sodium alginate dan perubahan pada posisi tubuh, omeprasol 0,5
mg/kgBB sekali sehari dalam 6 minggu dapat mengurangi keasaman lambung
dan gejala. Penyembuhan esofagus ditunjukkan oleh endoskopi pada 9 dari 12
orang pasien. 1

Dosis omeprasol yang diperlukan untuk menyembuhkan esofagitis kronik


dan berat pada pasien anak-anak adalah 0,7-3,5 mg/kgBB/hari. Pada suatu
penelitian yang dilakukan pada 115 bayi (0,7-21,8 bulan) dengan dosis omeprasol
0,5, 1, atau 1,5 mg/kgBB/hari selama 8 minggu, onset waktu terjadinya
28

pengurangan gejala lebih pendek dengan dosis yang lebih besar daripada dengan
dosis yang lebih kecil.1
29

2.2 Bronkopneumonia

2.2.1 Definisi
Pneumonia adalah suatu sindrom yang disebabkan oleh infeksi akut,
biasanya disebabkan oleh bakteri yang mengakibatkan adanya konsolidasi
sebagian dari salah satu atau kedua paru. Bronkopneumonia sebagai penyakit
yang menimbulkan gangguan pada sistem pernafasan, merupakan salah satu
bentuk pneumonia yang terletak pada alveoli paru.11

2.2.2 Etiologi

Pneumonia adalah suatu sindrom yang disebabkan oleh infeksi akut,


biasanya disebabkan oleh bakteri yang mengakibatkan adanya konsolidasi
sebagian dari salah satu atau kedua paru. Bronkopneumonia sebagai penyakit
yang menimbulkan gangguan pada sistem pernafasan, merupakan salah satu
bentuk pneumonia yang terletak pada alveoli paru.12

Pneumonia hingga saat ini masih tercatat sebagai masalah kesehatan utama
pada anak di Negara berkembang. Pneumonia merupakan penyebab utama
morbiditas dan mortalitas anak berusia di bawah lima tahun (balita). Diperkirakan
hampir seperlima kematian anak diseluruh dunia, lebih kurang 2 juta anak balita,
meninggal setiap tahun akibat pneumonia, sebagian besar terjadi di Afrika dan
Asia Tenggara . Menurut survey kesehatan nasional (SKN), 2001, 27,6 %,
kematian bayi dan 22,8 % kematian balita di Indonesia disebabkan oleh penyakit
system respiratori, terutama pneumonia.13

Terdapat berbagai faktor risiko yang menyebabkan tingginya angka


mortalitas pneumonia pada anak balita di Negara berkembang. Faktor resiko
tersebut adalah : pneumonia yang terjadi pada masa bayi, berat badan lahir rendah
(BBLR), tidak mendapat imunisasi, tidak mendapat ASI yang adekuat, malnutrisi,
defisiensi vitamin A, tingginya prevalens kolonisai bakteri pathogen di
30

nasofaring, dan tingginya pajanan terhadap polusi udara (polusi industri atau asap
rokok).14

Bronchopneumonia adalah radang paru-paru yang mengenai satu atau


beberapa lobus paru-paru yang ditandai dengan adanya bercak-bercak Infiltrat.
Bronchopneumina adalah frekuensi komplikasi pulmonary, batuk produktif yang
lama, tanda dan gejalanya biasanya suhu meningkat, nadi meningkat, pernapasan
meningkat. Bronchopneumonia disebut juga pneumoni lobularis, yaitu radang
paru-paru yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur dan benda-benda asing.13

Pneumonia adalah infeksi saluran pernafasan akut bagian bawah yang


mengenai parenkim paru. Pneumonia pada anak dibedakan menjadi:

1) Pneumonia lobaris
2) Pneumonia interstisial
3) Bronkopneumonia.

Gambar 1, jenis-jenis pneumonia

Bronkopneumonia disebut juga pneumonia lobularis yaitu suatu


peradangan pada parenkim paru yang terlokalisir yang biasanya mengenai
bronkiolus dan juga mengenai alveolus disekitarnya, yang sering menimpa anak-
31

anak dan balita, yang disebabkan oleh bermacam-macam etiologi seperti bakteri,
virus, jamur dan benda asing. 14

Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa


Bronkopneumonia adalah radang paru-paru yang mengenai satu atau beberapa
lobus paru-paru yang ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrat yang
disebabkan oleh bakteri,virus, jamur dan benda asing.14

Pneumonia hingga saat ini masih tercatat sebagai masalah kesehatan utama
pada anak di negara berkembang. Pneumonia merupakan penyebab utama
morbiditas dan mortalitas anak berusia di bawah lima tahun (balita). Diperkirakan
hampir seperlima kematian anak diseluruh dunia, lebih kurang 2 juta anak balita,
meninggal setiap tahun akibat pneumonia, sebagian besar terjadi di Afrika dan
Asia Tenggara. Menurut survei kesehatan nasional (SKN) 2001, 27,6% kematian
bayi dan 22,8% kematian balita di Indonesia disebabkan oleh penyakit sistem
repiratori, terutama pneumonia.14

Terdapat berbagai faktor risiko yang menyebabkan tingginya angka


mortalitas pneumonia pada anak balita di negara berkembang. Faktor risiko
tersebut adalah: pneumonia yang terjadi pada masa bayi, berat badan lahir rendah
(BBLR), tidak mendapat imunisasi, tidak mendapat ASI yang adekuat, malnutrisi,
defisiensi vitamin A, tingginya prevalens kolonisasi bakteri patogen di nasofaring,
dan tingginya pajanan terhadap polusi udara (polusi industri atau asap rokok).11

Usia Etiologi yang Sering Etiologi yang Jarang

Lahir-20 hari Bakteri Bakteri

E. colli Bakteri anaerob

Streptococcus group B Streptococcus group D

Listeria moonocytogenes Haemophillus influenzae

Streptococcus
pneumoniae

Ureaplasma urealyticum
32

Virus

Virus Sitomegalo

Virus Herpes Simpleks

Usia Etiologi yang Sering Etiologi yang Jarang

3 minggu-3 bulan Bakteri Bakteri

Chlamydia trachomatis Bordetella pertussis

Streptococcus Haemophillus influenzae


pneumoniae tipe B

Virus Moraxella catharalis

Virus Adeno Staphylococcus aureus

Virus Influenza Ureaplasma urealyticum

Virus Parainflueza 1,2,3 Virus

Respiratory Syncytial Virus Sitomegalo


virus

Usia Etiologi yang Sering Etiologi yang Jarang

4 bulan-5 tahun Bakteri Bakteri

Chlamydia pneumoniae Haemophillus influenzae


tipe B

Mycoplasma pneumoniae Moraxella catharalis

Streptococcus Neisseria meningitidis


pneumoniae

Virus Staphylococcus aureus


33

Virus Adeno Virus

Virus Influenza Virus Varisela-Zoster

Virus Parainfluenza

Virus Rino

Respiratory Syncytial
virus

Usia Etiologi yang Sering Etiologi yang Jarang

5 tahun-remaja Bakteri Bakteri

Chlamydia pneumoniae Haemophillus influenzae

Mycoplasma pneumoniae Legionella sp

Streptococcus Staphylococcus aureus


pneumoniae

Virus

Virus Adeno

Virus Epstein-Barr

Virus Influenza

Virus Parainfluenza

Virus Rino

Respiratory Syncytial
virus

Virus Varisela-Zoster
34

Sumber: Said M. Pneumonia. Buku Ajar Respirologi Anak. Badan Penerbit IDAI.
Jakarta:Cetakan Kedua;350-365 15

Proses patogenesis terkait dengan 3 faktor, yaitu imunitas host,


mikroorganisme yang menyerang, dan lingkungan yang berinteraksi. Cara
terjadinya penularan berkaitan dengan jenis kuman, misalnya infeksi melalui
droplet sering disebabkan Streptococcus pneumonia, melalui selang infus oleh
Staphylococcus aureus, sedangkan infeksi pada pemakaian ventilator oleh
Enterobacter dan P. aeruginosa. Pada masa sekarang, terlihat perubahan pola
mikrorganisme adanya perubahan keadaan pasien seperti gangguan kekebalan,
penyakit kronik, polusi lingkungan, dan penggunaan antibiotic yang tidak tepat
menimbulkan perubahan karakteristik kuman. Dijumpai peningkatan pathogenesis
kuman akibat adanya berbagai mekanisme terutama oleh S. aureus, H. influenza
dan Enterobacteriaceae serta berbagai bakteri gram negatif.15

Patogen mikrobial dapat berasal dari flora orofaringeal termasuk S.


pneumonia, S. pyogens, M. pneumonia, H. influenza, Moraxalla catarrhalis.
Kolonisasi bakteri ini meningi merusak fibronektin, glikoprotein yang melapisi
permukaan mukosa. Fibronektin merupakan reseptor bagi flora normal gram
positif orofaring. Hilangnya fibronektin menyebabkan reseptor pada permukaan
sel terpajan oleh bakteri gram negative. Sumber basil gram negative dapat berasal
dari lambung pasien sendiri atau alat respirasi yang tercemar.15

Penyebaran hematogen ke seluruh paru biasanya dengan infeksi S. aureus


dapat terjadi pada pasien seperti pada keadaan penyalahgunaan obat melalui
intravena, atau pada pasien dengan infeksi akibat kateter intravena. Dua jalur
penyebaran bakteri ke paru lainya adalah melalui jalan inokulasi langsung sebagai
akibat intubasi trakeaatau luka tusuk dada yang berdekatan denga tempat infeksi
yang berbatasan. 15

Usia merupakan predictor lain yang penting untuk meramalkan


mikroorganisme penyebab infeksi. Chlamidia trachomatis dan virus sisitial
pernafasan sering terdapat pada bayi berusia dibawah 6 bulan. H. influenza pada
anak berusia antara 6 bulan sampai 5 tahun, M. pneumonia dan C. pneumonia
35

pada orang dewasa muda dan H. influenza serta M. catarrhalis pada pasie lanjut
usia dengan penyakit paru kronis. H. influenza juga lebih sering didapatkan pada
pasien perokok. Bakteri gram negative lebih sering pada pasien lansia.
Pseudomonas aeruginosa pada pasien bronkiektasis, terapi steroid, malnutrisi dan
imunisupresi disertai lekopeni.15

2.2.3 Patofisiologis

Bakteri Streptococcus pneumoniae umumnya berada di nasopharing dan


bersifat asimptomatik pada kurang lebih 50% orang sehat. Adanya infeksi virus
akan memudahkan Streptococcus pneumoniae berikatan dengan reseptor sel epitel
pernafasan. Jika Streptococcus pneumoniae sampai di alveolus akan menginfeksi
sel pneumatosit tipe II. Selanjutnya Streptococcus pneumoniae akan mengadakan
multiplikasi dan menyebabkan invasi terhadap sel epitel alveolus. Streptococcus
pneumoniae akan menyebar dari alveolus ke alveolus melalui pori dari Kohn.
Bakteri yang masuk kedalam alveolus menyebabkan reaksi radang berupa edema
dari seluruh alveolus disusul dengan infiltrasi sel-sel PMN.13
36

Proses radang dapat dibagi atas 4 stadium yaitu : 15

1. Stadium I (4 – 12 jam pertama/kongesti)

Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang


berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan
peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia
ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-sel mast setelah
pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut mencakup
histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur
komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk
melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru.

Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang


interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus.
Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus
ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah
paling berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen
hemoglobin.

2. Stadium II (48 jam berikutnya)

Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah,
eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu ( host ) sebagai bagian dari
reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya
penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah
dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau
sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung
sangat singkat, yaitu selama 48 jam.
37

Gambar 1. tampak alveolus terisi sel darah merah dan sel sel inflamasi (netrofil)

3. Stadium III (3 – 8 hari)

Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih


mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin
terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel.
Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat
karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler
darah tidak lagi mengalami kongesti.

Gambar 2. tampak alveolus terisi dengan eksudat dan netrofil

4. Stadium IV (7 – 11 hari)

Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan
peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh
makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.
38

Sebagian besar pneumonia timbul melalui mekanisme aspirasi kuman atau


penyebaran langsung kuman dari respiratorik atas. Hanya sebagian kecil
merupakan akibat sekunder dari bakterimia atau viremia atau penyebaran dari
infeksi intra abdomen. Dalam keadaan normal mulai dari sublaring hingga unit
terminal adalah steril. Dalam keadaan sehat, tidak terjadi pertumbuhan
mikroorganisme di paru. Keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme
pertahanan paru. Apabila terjadi ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh,
mikroorganisme dan lingkungan, maka mikroorganisme dapat masuk,
berkembang biak dan menimbulkan penyakit.

Paru terlindung dari infeksi dengan beberapa mekanisme :15

1. Filtrasi partikel di hidung


2. Pencegahan aspirasi dengan refleks epiglottis
3. Ekspulsi benda asing melalui refleks batuk
4. Pembersihan kearah kranial oleh mukosiliar
5. Fagositosis kuman oleh makrofag alveolar
6. Netralisasi kuman oleh substansi imun lokal
7. Drainase melalui sistem limfatik.

2.2.4 Diagnosis

1. Anamnesis

Gejala yang timbul biasanya mendadak tetapi dapat didahului dengan


infeksi saluran nafas akut bagian atas. Gejalanya antara lain batuk, demam
tinggi terus-menerus, sesak, kebiruan sekitar mulut, menggigil (pada
anak), kejang (pada bayi), dan nyeri dada. Biasanya anak lebih suka
berbaring pada sisi yang sakit. Pada bayi muda sering menunjukkan gejala
non spesifik seperti hipotermi, penurunan kesadaran, kejang atau
kembung. Anak besar kadang mengeluh nyeri kepala, nyeri abdomen
disertai muntah.
39

2. Pemeriksaan Fisik

Manifestasi klinis yang terjadi akan berbeda-beda berdasarkan kelompok


umur tertentu. Pada neonatus sering dijumpai takipneu, retraksi dinding
dada, grunting, dan sianosis. Pada bayi-bayi yang lebih besar jarang
ditemukan grunting. Gejala yang sering terlihat adalah takipneu, retraksi,
sianosis, batuk, panas, dan iritabel.

Pada anak pra sekolah, gejala yang sering terjadi adalah demam, batuk
(non produktif / produktif), takipneu dan dispneu yang ditandai dengan
retraksi dinding dada. Pada kelompok anak sekolah dan remaja, dapat
dijumpai panas, batuk (non produktif / produktif), nyeri dada, nyeri kepala,
dehidrasi dan letargi.

Pedoman klinis membedakan penyebab pneumonia, sebagai berikut :


40

Pemeriksaan Bakteri Virus Mikoplasma

Anamnesis

Umur Berapapun, bayi Berapapun Usia sekolah

Awitan Mendadak Perlahan Tidak nyata

Sakit serumah Tidak Ya, bersamaan Ya, berselang

Batuk Produktif nonproduktif kering

Gejala penyerta Toksik Mialgia, ruam, Nyeri kepala, otot,


tenggorok
organ bermukosa

Fisik

Keadaan umum Klinis > temuan Klinis ≤ temuan Klinis < temuan

Demam Umumnya ≥ 39ºC Umumnya < 39ºC Umumnya < 39ºC

Auskultasi Ronkhi ±, suara Ronkhi bilateral, Ronkhi unilateral,


mengi. 14
Napas melemah Difus, mengi

Takipneu berdasarkan WHO:

a. Usia < 2 bulan : ≥ 60 x/menit

b. Usia 2-12 bulan : ≥ 50 x/menit

c. Usia 1-5 tahun : ≥ 40 x/menit

d. Usia 6-12 tahun : ≥ 28 x/menit

3. Pemeriksaan Laboratorium
41

Pemeriksaan darah pada pneumonia umumnya didapatkan Lekositosis


hingga > 15.000/mm3 seringkali dijumpai dengan dominasi netrofil pada hitung
jenis. Lekosit > 30.000/mm3 dengan dominasi netrofil mengarah ke pneumonia
streptokokus. Trombositosis > 500.000 khas untuk pneumonia bakterial.
Trombositopenia lebih mengarah kepada infeksi virus. Biakan darah merupakan
cara yang spesifik namun hanya positif pada 10-15% kasus terutama pada anak-
anak kecil.

4. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan radiologis

Foto toraks (AP/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk


menegakkan diagnosis. Foto AP dan lateral dibutuhkan untuk menentukan lokasi
anatomik dalam paru. Infiltrat tersebar paling sering dijumpai, terutama pada
pasien bayi. Pada bronkopneumonia bercak-bercak infiltrat didapatkan pada satu
atau beberapa lobus. Jika difus (merata) biasanya disebabkan oleh Staphylokokus
pneumonia.

b. C-Reactive Protein

Adalah suatu protein fase akut yang disintesis oleh hepatosit. Sebagai
respon infeksi atau inflamasi jaringan, produksi CRP distimulai oleh sitokin,
terutama interleukin 6 (IL-6), IL-1 dan tumor necrosis factor (TNF). Secara klinis
CRP digunakan sebagai diagnostik untuk membedakan antara faktor infeksi dan
non infeksi, infeksi virus dan bakteri, atau infeksi superfisialis dan profunda.
Kadar CRP biasanya lebih rendah pada infeksi virus dan bakteri. CRP kadang-
kadang digunakan untuk evaluasi respon terapi antibiotik.

c. Uji serologis
42

Uji serologis digunakan untuk mendeteksi antigen dan antibodi pada


infeksi bakteri atipik. Peningkatan IgM dan IgG dapat mengkonfirmasi diagnosis.

d. Pemeriksaan mikrobiologi

Diagnosis terbaik adalah berdasarkan etiologi, yaitu dengan pemeriksaan


mikrobiologi spesimen usap tenggorok, sekresi nasopharing, sputum, aspirasi
trakhea, fungsi pleura. Sayangnya pemeriksaan ini banyak sekali kendalanya, baik
dari segi teknis maupun biaya. Bahkan dalam penelitianpun kuman penyebab
spesifik hanya dapat diidentifikasi pada kurang dari 50% kasus.
43

2.2.5 Tatalaksana 14,15

Penatalaksaan umum

- Pemberian oksigen lembab 2-4 L/menit  sampai sesak nafas hilang atau
PaO2 pada analisis gas darah ≥ 60 torr

- Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi elektrolit.

- Asidosis diatasi dengan pemberian bikarbonat intravena.

Penatalaksanaan khusus

- mukolitik, ekspektoran dan obat penurun panas sebaiknya tidak diberikan


pada 72 jam pertama karena akan mengaburkan interpretasi reaksi antibioti
awal.

Obat penurun panas diberikan hanya pada penderita dengan suhu tinggi,
takikardi, atau penderita kelainan jantung

- pemberian antibiotika berdasarkan mikroorganisme penyebab dan


manifestasi klinis

Pneumonia ringan  amoksisilin 10-25 mg/kgBB/dosis (di wilayah


dengan angka resistensi penisillin tinggi dosis dapat dinaikkan menjadi
80-90 mg/kgBB/hari).

Faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan terapi :

a. Kuman yang dicurigai atas dasas data klinis, etiologis dan


epidemiologis

b. Berat ringan penyakit

c. Riwayat pengobatan selanjutnya serta respon klinis

d. Ada tidaknya penyakit yang mendasari


44

Antibiotik :

Bila tidak ada kuman yang dicurigai, berikan antibiotik awal (24-
72 jam pertama) menurut kelompok usia.

a. Neonatus dan bayi muda (< 2 bulan) :

- ampicillin + aminoglikosid

- amoksisillin-asam klavulanat

- amoksisillin + aminoglikosid

- sefalosporin generasi ke-3

b. Bayi dan anak usia pra sekolah (2 bl-5 thn)

- beta laktam amoksisillin

- amoksisillin-amoksisillin klavulanat

- golongan sefalosporin

- kotrimoksazol

- makrolid (eritromisin)

c. Anak usia sekolah (> 5 thn)

- amoksisillin/makrolid (eritromisin, klaritromisin, azitromisin)

- tetrasiklin (pada anak usia > 8 tahun)

Karena dasar antibiotik awal di atas adalah coba-coba (trial and error) maka
harus dilaksanakan dengan pemantauan yang ketat, minimal tiap 24 jam sekali
sampai hari ketiga. Bila penyakit bertambah berat atau tidak menunjukkan
perbaikan yang nyata dalam 24-72 jam  ganti dengan antibiotik lain yang lebih
45

tepat sesuai dengan kuman penyebab yang diduga (sebelumnya perlu diyakinkan
dulu ada tidaknya penyulit seperti empyema, abses paru yang menyebabkan
seolah-olah antibiotik tidak efektif).

2.3 Hubungan antara Gerd dan Bronkopneumonia


Secara umum, GERD (gastroesophageal reflux disease) akan
menyebabkan gangguan pada pulmo melalui dua cara, yaitu rangsangan pada
nervus vagus dan mikroaspirasi. Refluks gastroesofagus akan merangsang refleks
esofagotrakeobronkial yang dimediasi oleh nervus vagus. Nervus vagus
menginervasi esofagus dan trakeobronkial karena memiliki asal embrionik yang
sama. Secara struktur anatomi, sfingter esofagus bagian atas berada di sisi
posterior laring. Pada rongga thorax, esofagus berada bersebelahan dengan trakea,
membentuk dinding posterior dari trakea. Sebuah studi di Amerika menemukan
bahwa refluks pada esofagus terjadi pada 78% pasien dengan batuk kronis dan
90% nya timbul dalam waktu 5 menit pasca refluks. Hal ini merupakan dasar
dugaan bahwa arkus refleks tersebut menjadi mekanisme yang mendasari batuk
kronis pada GERD (gastroesophageal reflux disease). 16
Mekanisme yang kedua adalah mikroaspirasi konten lambung.
Mikroaspirasi ini menjadi penyebab 10 – 15% kasus batuk kronis. Adanya
kandungan asam pada refluks akan menyebabkan inflamasi baik pada laring
maupun bronkus. Inflamasi ini akan menyebabkan kerusakan pada mukosa dan
menimbulkan gejala suara serak dan batuk berkepanjangan.16
Gangguan sistem respirasi juga dapat memperparah refluks gastroesofagus
dengan ditemukannya peningkatan perbedaan tekanan antara intratorakal dan
intraabdominal sehingga terjadi relaksasi sfingter esofagus bagian bawah yang
berkepanjangan.17
Penggunaan terapi empiris penghambat pompa proton pada kasus refluks
gastroesofagus dinilai dapat meningkatkan risiko pneumonia. Studi yang
dilakukan oleh Hsu, et al. menemukan bahwa risiko pneumonia pada kelompok
dengan refluks gastroesofagus adalah 156 per 10.000 orang-tahun, sedangkan
pada kelompok kontrol hanya 105 per 10.000 orang-tahun. Pasien dengan refluks
gastroesofagus memiliki risiko 48% lebih tinggi untuk mengalami pneumonia
dibandingkan kelompok kontrol. 17
46

Insidens pneumonia meningkat pada pasien yang menggunakan penghambat


pompa proton lebih dari 4 bulan maupun kurang dari 4 bulan dibandingkan
dengan kelompok kontrol. Semakin lama penggunaan penghambat pompa proton
maka risiko terjadinya pneumonia juga akan semakin meningkat. Akan tetapi,
setelah penggunaan penghambat pompa proton dihentikan, angka kejadian
pneumonia tidak berkurang secara signifikan sehingga refluks sendiri diduga juga
memiliki hubungan dengan pneumonia.17
Akan tetapi, studi ini hanya menggunakan database NHIRD (National
Health Insurance Research Database) Taiwan sebagai sumber data dan tidak
melakukan konfirmasi dengan pemeriksaan laboratorium. Selain itu kepatuhan
konsumsi penghambat pompa proton juga tidak disertakan dalam studi ini. Pasien
yang mengalami pneumonia sebelum pemberian terapi juga tidak dimasukkan
sehingga tidak dapat menilai kejadian pneumonia berulang. 17
Penghambat pompa proton yang rutin digunakan sebagai terapi empiris
refluks diduga membantu menciptakan lingkungan yang kondusif untuk patogen
di kavum oral dan intestinal, terutama patogen yang seharusnya dapat dieliminasi
17
dengan asam lambung.

2.4 Palatoskisis

Palatoskisis adalah kelainan bawaan yang terjadi oleh karena tidak adanya
penyatuan secara normal dari palatum pada proses embrional, dimana terjadi
kegagalan penutupan penonjolan frontonasal, maksilaris dan mandibularis baik
secara sebagian atau sempurna. Insidensi terjadinya palatoskisis berbeda-beda
tergantung ras dan daerah dan terjadi sekitar 1 per 2500 kelahiran. 18

Terjadinya palatoskisis karena terganggunya penggabungan tiga komponen


embrio palatum mulut. Celah langit-langit juga akan terbentuk apabila
pengangkatan daun-daun palatum tertunda dari posisi vertikal ke horizontal.
Terjadinya kelainan ini belum begitu jelas etiologinya namun bersifat
multifaktorial dan kelainan ini sering terkait dengan anomali lainnya atau suatu
sindrom. 18
47

Untuk klasifikasi dapat digunakan sistem LAHSAL dan ini penting dalam
strategi penanganan dan evaluasi post operasi. Penanganan yang dilakukan
tergantung pada tipe kelainan dan waktu untuk dilakukannya repair tergantung
pada tipe palatoskisis yang terlibat, gejala-gejala yang timbul pada pasien, dan
kapabilitas tim dalam menangani kelainan ini.18

Anak dengan palatoskisis berpotensi untuk menderita flu, otitis media, tuli,
gangguan bicara, dan kelainan pertumbuhan gigi. Selain itu dapat menyebabkan
gangguan psikososial. Komplikasi post operatif yang dapat terjadi berupa
perdarahan, fistula, infeksi luka operasi, terjadinya malformasi wajah dan
obstruksi jalan nafas. 18

Waktu untuk dilakukannya repair tergantung pada tipe palatoskisis yang


terlibat, gejala-gejala yang timbul pada pasien, dan kapabilitas tim dalam
menangani kelainan ini. Telah diargumentasikan bahwa keuntungan repair yang
lebih dini dalam perkembangan bicara karena proses berbicara pada anak-anak
dimulai pada usia 1 tahun; sebaliknya, repair yang ditunda secara teori dapat
memungkinkan pertumbukan maksilo-fasial yang lebih baik karena pertumbuhan
transversal fasial belum sermpurna hingga anak berusia 5 tahun. Sehingga hal ini
memberikan protokol waktu penanganan yang berbeda-beda antara berbagai
institusi. Protokol yang sering dianut adalah mengutamakan perkembangan bicara
yang lebih dini pada pasien dengan celah palatum; oleh karena itu, waktu
palatoplasti primer yang lebih dini (sebelum berusia 2 tahun) telah ditetapkan.18

Karena lebih dari separuh anak-anak dengan deformitas palatoskisis


memiliki anomali lainnya, waktu strategis untuk palatoplasti dapat berubah-ubah
karena adanya komorbid ini. Pada anak dengan adanya Pierre-Robin, waktu untuk
dilakukannya palatoplasti tergantung pada status pernafasan anak tersebut; ini
sering perlu dilakukan penutupan primer yang ditunda hingga usia 18 bulan dan 2
tahun untuk meminimalisasi risiko obstruksi pernafasan. Strategi yang sama pula
dilakukan pada pasien dengan sindrom lainnya dengan adanya ketelibatan
gangguan pernafasan seperti sindrom Treacher-Collins, Apert, atau Crouzon.
Secara keseluruhan, waktu untuk dilakukannya palatoplasti yang paling sering
adalah sebelum berusia 1 tahun.18
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien datang ke IGD RSUDZA yang mrupakan pasien kiriman Dr. dr.
Bakhtiar, M.Kes Sp.A dengan diagnosa awal Pneumonia+Rhinitis+Palatoskisis.
Pasien datang dengan keluhan batuk pilek sejak 6 hari sebelum masuk rumah
sakit. Keluhan disertai demam dengan suhu 380C yang turun dengan pemberian
antipiretik. Keluhan sesak nafas yang dirasakan pasien setiap saat dan disertai
suara grok keluhan lebih memeberat ketika keadaan dingin. Keluhan mual muntah
dirasakan pasien ketika pasien sedang makan, dengan frekuensi 3 kali sehari
setiap makan, muntah pada pasien sebanyak 5 mL berbentuk bubur, keluhan
berkurang ketika pasien memiringkan posisi tidur, BAB konsisten 2 kali sehari
dan BAK 2 jam terakir sebelum ke rumah sakit tanpa rasa nyeri dan warna urin
yang konsisten. Pada pasien didapatkan adanya celah di langit-langit mulut
pasien. Dari hasil laboratorium didapatkan peningkatan leukosit dan pada hitung
jenis leukosit ditemukan peningkatan jumlah neutrofil segmen yang menandakan
gambaran left shift dan pemanjangan PT, sedangkan hasil laboratorium lainnya
dalam batas normal. Hasil foto thorax pasien yang dilakukan pada 5 September
2021 dengan adanya bronkopneumonia.
Pasien di diagnosis dengan GERD, bronkopneumonia, palatoskisis. Pasien
diberikan terapi injeksi intravena Omeprazole 5mg /12 jam, Sukralfat syr ½ cth /8
jam PO, Ampicilin 200mg/ 6 jam IV, dan Paracetamol syr cth/ 8 jam prn. Pasien
dirawat di RSUD Zainoel Abidin pada 6 September 2021 sampai 19 September
2021.
Berdasarkan gejala yang dialami oleh pasien menunjukkan bahwa pasien
mengalami GERD, Bronkopneumonia dan palatoskisis. Gastroesofageal reflux
(GER) atau Refluks Gastroesofageal (GER) adalah suatu keadaan, dimana terjadi
disfungsi sfingter esofagus bagian bawah sehingga menyebabkan regurgitasi isi
lambung ke dalam esofagus. Gastroesophageal reflux disease (GERD) adalah
GER yang dihubungkan dengan gejala patologis yang mengakibatkan komplikasi
dan gangguan kualitas hidup.

48
49

Menurut ibu pasien, pasien sering cepat merasa kenyang, sering mual
muntah ketika ketika makan muntah pada pasien sebanyak 5 mL berbentuk bubur
dan sering rewel. Hal inilah yang menjadi kecurgiaan terhadap GERD pasien.
Setelah menggunakan quisioner oreinstein didapatkan skor lebih dari 7 untuk
mengkonfrimasi diagnosis GERD.
Terapi Gerd dimulai berdasarkan sindroma klinis yang dominan (belum
diinvestigasi) dan dilanjutkan sesuai hasil investigasi. Terapi GERD pada pasien
diberikan obat golongan PPI (Proton Pump Inhibitor) yaitu omeprazole. Proton
pump inhibitor (PPI) mengurangi sekresi asam lambung. Obat ini bertindak
dengan menghambat H+/K+-ATPase secara ireversibel dalam sel parietal
lambung. Sel parietal merupakan “pompa proton” yang bertanggung jawab untuk
mengeluarkan H+ dan menghasilkan asam lambung. Selain itu juga diberikan
Sukralfat (Suatu kompleks alumunium dari sukrose sulfat) terikat pada mukosa
yang berfungsi melindungi mukosa esofagus sehingga dapat mengurangi resiko
iritasi akibat refluks ataupun regurgitasi asam lambung.

Pada pasien ini didapatkan hasil pemeriksaan foto thorax dengan hasil
gambaran infiltrat pada kedua lapang pandang paru dengan kesimpulan yaitu
bronkopneumonia. Pada pasien ini juga diberikan antibiotik ampisilin pada
pasien atas indikasi sedang berlangsungnya infeksi yang ditandai dengan klinis
pasien yang mengalami demam sejak beberapa hari SMRS dan hasil lab pasien
yang menunjukkan leukosit 12,3x103/mm3 (leukositosis).

Pemberian parasetamol 500 mg tab PO k/p pada pasien ini bertujuan untuk
mengurangi rasa nyeri yang ditimbulkan dan menurunkan kenaikan suhu yang
dialami oleh pasien dikarenkanan terdapat infeksi khususnya bronkopneumonia
pasien. Paraseta mol merupakan obat yang memiliki efek analgesik terhadap
nyeri akut maupun kronis dan efek antipiretik untuk mengurangi demam dan
gejala lainnya. Mekanisme kerja parasetamol kurang dipahami. Parasetamol
adalah penghambat lemah siklooksigenase (COX), enzim yang terlibat dalam
metabolisme prostaglandin. Dalam sistem saraf pusat, penghambatan COX
tampaknya meningkatkan ambang nyeri dan mengurangi konsentrasi
prostaglandin (PGE2) di wilayah termoregulasi hipotalamus yang mengendalikan
50

demam. Parasetamol lebih khusus menghambat COX-2 (isoform yang diinduksi


pada inflamasi) daripada COX-1 (isoform yang terlibat dalam melindungi mukosa
lambung dan mengatur aliran dan pembekuan darah ginjal).

Kondisi palatoskisis pada pasien juga merupakan suatu keadaan dimana


kelainan bawaan yang terjadi oleh karena tidak adanya penyatuan secara normal
dari palatum pada proses embrional, dimana terjadi kegagalan penutupan
penonjolan frontonasal, maksilaris dan mandibularis baik secara sebagian atau
sempurna. Hal ini dapat memperburuk baik kondisi bronkopneumonia dan GERD
pada pasien, hal ini dikarenkan memudahkan aspirasi kelsaluran nafas saat pasien
makan dan mual muntah,keadaan ini dapat memperburuk kondisi klinis maupun
gizi pasien. Kondisi palatoskisis pada pasien juga mempengaruhi gangguan
tumbuh kembang pasien, seperti gangguan bicara dan gizi dan tinggi kurang
akibat gizi yang tidak adekuat.
51

BAB V
KESIMPULAN

Gastroesofageal reflux (GER) atau Refluks Gastroesofageal (GER) adalah


suatu keadaan, dimana terjadi disfungsi sfingter esofagus bagian bawah sehingga
menyebabkan regurgitasi isi lambung ke dalam esofagus. Gastroesophageal
reflux disease (GERD) adalah GER yang dihubungkan dengan gejala patologis
yang mengakibatkan komplikasi dan gangguan kualitas hidup. Penegakan
diagnosis GERD pada bayi dapat dilakukan dengan menggunakan kuisioner
oreinstein.Kondisi GERD memungkinkan terjadinya bronkopneumonia berulang
pada pasien, maka memerlukan terapi yang holistik terkait GERD dan
Bronkopneumonia.
52

DAFTAR PUSTAKA

1. S S. Kapita Selekta Gastroenterologi Anak. Jakarta; 2007.


2. Schwarz S, Hebra A, Cuffar I, Li, BUK, Liburd J, et al. Pediatric
Gastroesophageal Reflux.
3. Mousa H, Hassan M. Gastroesophageal Reflux Disease. Pediatr Clin North
Am [Internet]. 2017;64(3):487–505. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.pcl.2017.01.003
4. Yvan V. Pediatric Gastroesophageal Reflux Clinical Practice Guidelines. J
Pediatr Gastroenterol Nutr. 2009;Vol. 49.
5. Ruigómez A, Wallander M, Lundborg P, Johansson S, Rodriguez L.
Gastroesophageal Reflux Disease in Children and Adolescents in Primary
Care. Scand J Gastroenterol. 2010;
6. Poddar U. Gastroesophageal reflux disease (GERD) in children. Paediatr
Int Child Health [Internet]. 2019;39(1):7–12. Available from:
https://doi.org/10.1080/20469047.2018.1489649
7. Pediatric GE Reflux Clinical Practice Guideline. Gastroenterol, J Pediatr
Nutr.
8. Orienstein S, Peters J, Khan S, Youssef N, Hussain Z. The Esophagus. In:
RE B, Kliegman RM JH, editors. Nelson Textbook of pediatrics.
Philadelphia;
9. Pollywog Baby. Practical Solutions for Infant Reflux and Colic [Internet].
Available from:
http://www.pollywogbaby.com/refluxandcolic/babyproducts.html
10. Jay W, Marks. Esophageal pH Monitoring (Esophageal pH Test) [Internet].
[cited 2021 Sep 10]. Available from:
http://www.medicinenet.com/esophageal_ph_monitoring/article.htm
11. Messinger AI, Kupfer O, Hurst A, Parker S. Management of pediatric
community-acquired bacterial pneumonia. Pediatr Rev. 2017;38(9):394–
409.
12. Alexander D, Anggraeni W. Tatalaksana Terkini Bronkopneumonia pada
Anak di Rumah Sakit Abdul Moeloek. J Medula [Internet]. 2017;7(2):6–12.
Available from: c
13. Kaunang CT, Runtunuwu AL, Wahani AM. Gambaran karakteristik
pneumonia pada anak yang dirawat di ruang perawatan intensif anak RSUP
Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periode 2013 – 2015. e-CliniC. 2016;4(2).
14. Supriyatno B. Infeksi Respiratorik Akut pada Anak. Sari Pediatr.
2006;8(2):100–6.
15. M S. Pneumonia. In: Buku Ajar Respirologi Anak. Jakarta; p. 350–65.
16. KC M. Gastroesophageal Reflux and Lung Disease. Expert Rev respir
53

Med. 2015;9(4):383–285.
17. WT H, CC L, YH W. Risk of Pneumonia in Patients With
Gastroesophageal Reflux Pisease: a Population-based Cohort Study. Am J
Gastroenterol. 2009;104.
18. Lewis CW, Jacob LS, Lehmann CU; SECTION ON ORAL HEALTH. The
Primary Care Pediatrician and the Care of Children With Cleft Lip and/or
Cleft Palate. Pediatrics. 2017 May;139(5):e20170628.

Anda mungkin juga menyukai