Anda di halaman 1dari 45

LAPORAN KASUS BESAR RADIOTERAPI

SEORANG WANITA USIA 65 TAHUN DENGAN


CARCINOMA CERVIX METASTASE EFUSI
PLEURA

Diajukan guna melengkapi tugas kepaniteraan senior


Radiologi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

Disusun Oleh:
Rufi Hafidz Alifian, S.Ked. 22010121220178
Joana Anjelia Nai Da Cruz, S.Ked. 22010121220125
Gabriella Olivia Liawidjaya, S.Ked. 22010121220120

Christoforus Adolf Meyer S, S.Ked. 22010121220042


Fadzila Nur 'aini, S.Ked. 22010121220164

Konsulen:
Dr. dr. Ch. H. Nawangsih P., Sp.Rad(K)Onk.Rad

Residen Pembimbing:
dr. Dewi Yuliati

BAGIAN RADIOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
DIPONEGORO SEMARANG
2022
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus Besar dengan:


Judul : Seorang Wanita 65 Tahun dengan Carcinoma Cervix
Metastase Efusi Pleura
Bagian : Radiologi
Konsulen : Dr. dr. Ch. H. Nawangsih P., Sp.Rad(K)Onk.Rad
Residen Pembimbing : dr. Dewi Yuliati

Telah diajukan dan disahkan pada tanggal 17 Juni 2022

Semarang, 17 Juni 2022


Residen Pembimbing Konsulen

dr. Dewi Yuliati Dr. dr. Ch. H. Nawangsih P., Sp.Rad(K)Onk.Rad

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
pertolongan Nya penulis dapat menyelesaikan Laporan Kasus yang berjudul
“SEORANG WANITA 65 TAHUN DENGAN CARCINOMA CERVIX
METASTASE EFUSI PLEURA” dengan tujuan sebagai bahan pembelajaran pada
kepaniteraan radiologi.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada :

1. Dr. dr. Ch. H. Nawangsih P., Sp.Rad(K)Onk.Rad selaku konsulen dan dr. Dewi
Yuliati selaku residen pembimbing yang telah membantu penulis dalam dalam
mengerjakan Laporan Kasus ini.
2. Orang tua yang telah memberikan support kepada penulis dalam penyelesaian
tulisan Laporan Kasus ini.
3. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah
memberikan kontribusi kepada penulis baik secara langsung maupun tidak
langsung dalam proses pembuatan Laporan Kasus ini.
Penulis berharap semoga Laporan Kasus ini dapat menjadi sesuatu yang berguna
bagi kita bersama. Semoga Laporan Kasus yang penulis sampaikan ini dapat membuat
kita mencapai kehidupan yang lebih baik lagi.

Semarang, 17 Juni 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

COVER
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................................... i
KATA PENGANTAR...................................................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................................... iv
BAB I ............................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ............................................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang................................................................................................... 1
1.2 Tujuan ................................................................................................................ 3
1.3 Manfaat .............................................................................................................. 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................... 4
2.1 Anatomi Serviks ................................................................................................ 4
2.2 Definisi Kanker Serviks .................................................................................... 5
2.3 Epidemiologi ..................................................................................................... 5
2.4 Etiologi Kanker Serviks .................................................................................... 6
2.5 Faktor Risiko Kanker Serviks ........................................................................... 7
2.6 Patogenesis Kanker Serviks ............................................................................ 11
2.7 Diagnosis dan tatalaksana ................................................................................ 15
2.8 Radioterapi ...................................................................................................... 16
BAB III LAPORAN KASUS......................................................................................... 21
BAB V KESIMPULAN ................................................................................................. 37
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 38

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Anatomi serviks ............................................................................................... 5


Gambar 2 Patogenesis HPV beserta peran gen terhadap siklus sel................................ 12
Gambar 3 Sistem klasifikasi displasia sel skuamus serviks ........................................... 15
Gambar 4 Derajat displasia pada lapisan epitel serviks ................................................. 15
Gambar 5 Sistem stadium kanker serviks berdasarkan FIGO........................................ 16

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kanker serviks merupakan salah satu jenis kanker yang paling sering
ditemui pada wanita di seluruh dunia, terutama pada negara berkembang. 1
Kanker serviks merupakan keganasan yang berasal dari serviks. Serviks
merupakan sepertiga bagian bawah uterus, berbentuk silindris, menonjol dan
berhubungan dengan vagina melalui ostium uteri eksternum.2
Data terakhir pada global cancer burden yang dikeluarkan oleh
International Agency for Research on Cancer (IARC) diperkirakan mencapai
18,1 juta kasus dengan kematian mencapai 9,6 juta kasus. Kanker serviks
menempati urutan ke-4 sebagai jenis kanker yang paling banyak ditemukan
pada wanita dengan insidensi 527.600 kasus baru dengan angka kematian
sebanyak 265.700 kasus, diperkirakan setiap 2 menit 1 wanita meninggal
akibat kanker serviks.3
Banyak penelitian sudah dilakukan terkait kasus kanker servis, dan
Human Papilloma Virus (HPV) dipercaya menjadi penyebab kanker serviks.
HPV 16 dan 18 merupakan jenis virus yang paling berisiko dalam
menyebabkan kanker serviks. HPV umumnya diperoleh melalui transmisi
seksual. Kanker serviks dipengaruhi oleh beberapa faktor risiko seperti
berhubungan seksual dengan multipartner, merokok, memiliki banyak anak,
sosial ekonomi yang rendah, konsumsi pil KB, dan gangguan imunitas.2
Pasien dengan kanker serviks umumnya asimtomatik pada tahap awal
perkembangan penyakit, anamnesis mengenai riwayat seksual perlu
ditanyakan, dikarenakan aktivitas seksual sangat berpengaruh dalam
munculnya kanker serviks. Pada wanita dengan kanker serviks akan
ditemukan lesi, erosi, perdarahan, dan serviks yang rapuh pada pemeriksaan
genitalia.4 Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan dalam menegakkan
diagnosis seperti kolposkopi, biopsi, sistoskopi, USG, BNO-IVP.2
Beberapa program dapat dilakukan sebagai bentuk pencegahan kanker
serviks. Edukasi, skrining dini, dan beberapa intervensi dapat dilakukan.
Seperti kasus kanker lainnya, diagnosis cepat dan penanganan yang tepat

1
diyakini akan menurunkan tingkat morbiditas dan mortalitas.5 Upaya skrining
dini seperti metode Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA), papsmear, dan
pemeriksaan payudara klinis (sadanis). Menurut United States Preventative
Services Task Force (USPTF), skrining disarankan dilakukan pada usia 21
tahun dan dilakukan setiap 3 tahun sekali.5
Metode dalam penatalaksanaan kanker yaitu tindakan pembedahaan,
terapi radiasi, dan kemoterapi. Prinsip penatalaksanaan dilakukan
berdasarkan staging dari kanker tersebut. Pada stadium awal dapat dilakukan
tindakan histerektomi. Kemoterapi dan radiasi dapat dilakukan setelah
histerektomi, terutama pada kanker serviks stadium lanjutan. Radiasi
merupakan terapi yang efektif pada jaringan yang membelah cepat, sehingga
sel-sel kanker akan semakin banyak yang mati dan tumor akan mengecil. 5,7
Efusi pleura merupakan kondisi terjadinya akumulasi cairan diantara
pleura parietal dan visceral, atau yang disebuat kavitas pleura. Normalnya
cairan pada kavitas pleura sekitar 0,1 - 0,3 ml/kgBB. Kondisi ini dapat
muncul dengan sendirinya ataupun disebabkan oleh infeksi, keganasan, atau
penyebab inflamasi yang lain. Efusi pleura merupakan penyebab utama
morbiditas dan mortalitas pada penyakit pulmo.8
Penderita efusi pleura umumnya tidak mengalami gejala, namun
beberapa gejala seperti batuk kering, sulit bernafas, dan nyeri dada dapat
timbul. Radiografi dada dapat digunakan sebagai pemeriksaan penunjang
untuk menegakkan diagnosis efusi pleura. Prinsip penatalaksanaan efusi
pleura adalah berdasarkan penyakit penyerta. Tindakan yang dapat dilakukan
pada pasien efusi pleura adalah dengan drainase.8

2
1.2 Tujuan

Pada laporan kasus ini disajikan suatu kasus yaitu seorang wanita 65
tahun dengan kanker serviks metastase efusi pleura. Laporan kasus ini dibuat
dengan tujuan untuk mempelajari lebih dalam mengenai pengertian,
epidemiologi, etiologi, faktor risiko, diagnosis, metode pengobatan, dan
terapi pada pasien dengan kasus kanker serviks.

1.3 Manfaat

Penulisan laporan kasus ini diharapkan dapat membantu mahasiswa


kedokteran untuk belajar menegakkan diagnosis, melakukan pengelolaan,
rujukan dan mengetahui prognosis penderita kanker serviks.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Serviks

Serviks merupakan bagian bawah dari uterus yang menghubungkan


vagina dengan corpus uterus. Secara anatomi histologis, serviks berbeda dari
uterus sehingga dianggap sebagai struktur anatomi yang terpisah. Serviks
dapat dilihat selama pemeriksaan spekulum. Seperti vagina, serviks dilapisi
selaput lendir namun lebih halus. Posisi anatomi serviks berada di bawah
isthmus, bagian atas setinggi plika vesico-uterina. Bagian belakang tertutup
peritoneum sedangkan bagian lateral dihubungkan dengan pelvis oleh
ligamentum kardinale/makenrodt.9 Serviks berbentuk silinder dengan
panjang sekitar 4 cm dan diameter sekitar 3 cm.8

Struktur anatomi serviks terdiri dari dua bagian yaitu ektoserviks dan
kanal endoserviks / kanalis servikalis.

● Bagian ektoserviks : Merupakan bagian yang menonjol ke dalam vagina


yang disebut Portio. Dibatasi oleh epitel skuamosa non-keratin
terstratifikasi. Bagian yang terbuka disebut eksternal os / ostium uteri
eksternum (OUE)
● Bagian endoserviks / kanal endoserviks : Merupakan bagian yang lebih
proksimal dan bagian ‘dalam’ dari serviks. Dilapisi oleh epitel kolumnar
sederhana yang mensekresi lendir. Kanal endoserviks disebut juga
kanalis servikalis. Pada bagian ujung dalam dari kanalis servikalis terjadi
penyempitan dan terdapat bagian yang terbuka disebut internal os /
ostium uteri internum (OUI). 8,10

Batas antara epitel skuomosa dan epitel kolumnar disebut


squamocolumnar junction (SCJ). SCJ bersifat dinamis dan bergerak selama
masa remaja awal dan selama kehamilan pertama. SCJ asli (origin SCJ)
berasal dari kanalis endoserviks, tetapi saat serviks bergerak selama usia
produktif, SCJ akan berada di atas ektoserviks dan menjadi SCJ baru (new
SCJ). Epitel diantara SCJ asli dan SCJ baru disebut zona transisi (TZ)

4
dimana posisinya pun bervariasi bisa kecil maupun besar, dan biasanya
menjadi lebih ektoserviks selama tahun-tahun reproduksi wanita, kembali
ke posisi endoserviks setelah menopause. Sebagian besar ca serviks berasal
dari zona transisi (TZ).9

Gambar 1. Anatomi Serviks

2.2 Definisi Kanker Serviks


Kanker primer yang berasal serviks (kanalis servikalis dan atau porsio)
akibat tumbuhnya sel-sel yang abnormal pada jaringan serviks, tepatnya di
daerah squamocolumnar junction epitel serviks yaitu daerah peralihan mukosa
vagina dan mukosa kanalis servikalis. Penyebab kanker serviks diketahui adalah
virus HPV (Human Papilloma Virus) sub tipe onkogenik, terutama sub tipe 16
dan 18.2,11

2.3 Epidemiologi

Berdasarkan hasil Riskesdas dapat diketahui bahwa prevalensi kanker


pada kelompok perempuan lebih besar dibandingkan laki laki. Pola ini terjadi
baik pada Riskesdas 2013 maupun Riskesdas 2018. Prevalensi pada
kelompok ini menunjukkan peningkatan pada dua survey, yaitu dari 0,6%
menjadi 2,2% pada laki-laki, dan 0,74% menjadi 2,85% pada perempuan.
Selisih atau perbedaan prevalensi antar jenis kelamin semakin melebar. Hal

5
ini dapat disebabkan karena jenis kanker spesifik perempuan seperti kanker
payudara dan kanker serviks merupakan jenis kanker utama yang paling
banyak dilaporkan di Indonesia.

WHO mengatakan kanker serviks adalah kanker keempat yang paling


sering terjadi pada wanita dengan perkiraan 604.000 kasus baru pada tahun
2020. Dari perkiraan 342.000 kematian akibat kanker serviks pada tahun
2020, sekitar 90% di antaranya terjadi di negara berpenghasilan rendah dan
menengah.12 Angka kejadian kasus baru kanker serviks sesuai data
GLOBOCAN 2018 untuk wanita di Indonesia berkisar 32.469 kasus (17.2%)
dengan angka kematian 18.279 (8.8%).3,6

2.4 Etiologi Kanker Serviks


Kanker serviks merupakan penyakit yang mempunyai perjalanan
karsinogenesis yang bertahap atau multistep, didahului oleh keadaan lesi
prakanker atau neoplasia intraepitel serviks (NIS) hingga menjadi kanker yang
invasif. Berdasarkan penyataan dari konsensus Institut Kesehatan Nasional, ada
hubungan yang kuat antara kejadian kanker serviks dengan infeksi HPV (Human
Papilloma Virus). Pernyataan tersebut didukung dengan ditemukannya DNA
dari virus HPV pada 90% kasus kanker serviks, maka tak heran jika virus HPV
sering dikatakan sebagai faktor inisiator yang menyebabkan terjadinya gangguan
pada sel serviks.
Virus HPV yang sering menyebabkan kanker serviks adalah tipe 16 dan 18.
Tipe 16 dan 18 ini mempunyai peran yang penting dalam proses replikasi virus
melalui onkoprotein E6 dan E7. Onkoprotein E6 akan berikatan dengan gen
penekan tumor (p53). Ikatan tersebut akan menyebabkan p53 menjadi tidak aktif.
Tidak aktifnya p53 menyebabkan proses apoptosis tidak berjalan, sehingga sel
akan terus bekerja dan membelah menjadi abnormal dan pertumbuhan tumor
tidak dapat di hambat. Kemudian onkoprotein E7 akan berikatan dengan protein
retinoblastoma (pRb). Ikatan tersebut akan menyebabkan terlepasnya E2F yang
merupakan faktor transkripsi pada siklus sel sehingga akan menstimulasi
proliferasi sel yang melebih batas normal, maka sel tersebut menjadi sel
karsinoma.13

6
2.5 Faktor Risiko Kanker Serviks
Berikut ada beberapa faktor yang meningkatkan risiko terjadinya kanker serviks,
diantaranya :
1) Usia
Kanker serviks sering ditemui pada wanita usia muda hingga usia
lebih dari 50 tahun dan jarang terjadi pada wanita usia dibawah 20 tahun. Di
RS dr. Hasan Sadikin Bandung, usia rata-rata pasien kanker serviks adalah
35 tahun untuk periode Januari 2000 sampai Juli 2001. Penelitian lain di
RSUP Sanglah Denpasar pada tahun 2014 menyatakan bahwa di dapatkan 48
penderita kanker serviks pada wanita usia dibawah 40 tahun. Sumber lain
menerangkan usia pasien rata-rata antara 30-60 tahun, terbanyak antara 45-
50 tahun. Dari penelitian diatas, dapat disimpulkan bahwa risiko kanker
serviks semakin tinggi seiring bertambahnya usia. Hal tersebut dapat
disebabkan karena lamanya terpapar oleh karsinogen serta makin
melemahnya sistem kekebaan tubuh akibat usia.14
2) Perilaku seksual
Perilaku seksual yang merupakan faktor risiko dari kanker serviks
adalah hubungan seks pada usia muda, berganti-ganti pasangan seksual,
pemakaian kontrasepsi saat melakukan hubungan seksual (kondom) dan atau
pasangan seksual mengidap penyakit kondiloma akuminata.6,15 Menurut
penelitian Rotkin, Christoperson dan Parker serta Barron dan Richart,
hubungan seksual pada usia muda jelas berpengaruh terhadap kanker serviks.
Penelitian Rotkin meyatakan bahwa karsinoma serviks cenderung timbul
pada wanita yang mulai aktif berhubungan seksual pada saat usia kurang dari
17 tahun, lebih lanjut dijelaskan bahwa usia 15-20 tahun merupakan periode
usia yang rentan. Periode rentan tersebut dihubungkan dengan kiatnya proses
metaplasia pada usia pubertas, sehingga apabila proses metaplasia tersebut
sampai terganggu maka akan memudahkan beralihnya proses menjadi
displasia yang lebih berpotensi untuk terjadinya keganasan.
Penelitian Christoperson dan Parker juga menyebutkan bahwa wanita
yang menikah di usia 15-19 tahun cenderung untuk terkena kanker serviks
dibandingkan wanita yang menikah di usia 20-24 tahun. Di Barbara Hindia
Barat, Barron dan Richart melakukan penelitian dengan mengambil sampel
sebanyak 7.000 wanita kemudian didapat dugaan bahwa epitel serviks wanita

7
remaja sangatlah rentan terhadap bahan-bahan karsinogenik yang dapat
ditularkan melalui hubungan seksual, dibanding epitel serviks pada wanita
dewasa. Begitupun di Indonesia, dilaporkan 63,1% penderita karsinoma
serviks menikah pada usia 15-19 tahun di Yogyakarta.16
Selain usia muda saat berhubungan seksual, berganti-ganti partner
seksual juga dapat meningkatkan risiko kejadian kanker serviks. Wanita
dengan pasangan seksual lebih dari 6 orang akan meningkatkan risiko kanker
serviks sampai 10 kali lipat. Hal tersebut dikaitkan karena berganti-ganti
pasangan seksual akan meningkatkan penularan penyakit kelamin, seperti
infeksi Human Papilloma Virus (HPV) pada infeksi kondiloma akuminata,
dimana virus tersebut terbukti sebagai penyebab tersering kanker serviks.13
3) Jumlah Paritas
Frekuensi kejadian kanker serviks lebih banyak pada pasien yang
pernah melahirkan dari pada yang belum pernah melahirkan. Risiko kanker
serviks 1,9 kali lebih besar pada wanita yang melahirkan sebanyak 6 kali atau
lebih dibandingkan pada golongan wanita yang melahirkan antara 1-5 kali.
Ada juga sumber lain yang menyebutkan bahwa risiko kanker serviks banyak
terjadi apabila kehamilan dan persalinan yang melebihi 3 orang dan jarak
kehamilan yang terlalu dekat. Multiparitas terutama dikaitkan dengan adanya
kemungkinan menikah pada usia muda atau hubungan seksual pada usia
muda, kebersihan yang buruk dan tingkat sosial ekonomi yang rendah.16
4) Merokok
Wanita perokok memiliki risiko terkena kanker serviks 2 kali lebih
besar dibanding wanita yang tidak merokok karena rokok mengandung
bahan-bahan yang bersifat karsinogenik. Penelitian menunjukan bahwa pada
wanita merokok di dapatkan nikotin dan zat-zat berbahaya lainnya yang ada
di dalam rokok pada lendir serviksnya. Selain bersifat karsinogenik, zat-zat
tersebut dapat menurunkan daya tahan serviks sehingga memudahkan
terjadinya suatu infeksi.13,16
5) Penggunaan Kontrasepsi oral jangka panjang
Penggunaan kontrasepsi oral dalam jangka panjang terhadap kanker
serviks masih menjadi kontroversional. Ada penelitian yang mengatakan
bahwa pemakaian kontrasepsi oral lebih dari 4 tahun dapat meningkatkan
risiko kanker serviks sebanyak 1,5-2,5 kali. Hal tersebut diperkirakan karena

8
jaringan leher rahim merupakan salah satu sasaran yang disukai oleh hormon
steroid pada perempuan. Namun di penelitan lainnya yang dilakukan oleh
Khasbiyah mengatakan bahwa pada studi kasus kontrolnya, tidak ditemukan
peningkatan risiko kanker serviks pada perempuan pengguna maupun mantan
pengguna kontrasepsi oral.13,16-17
6) Riwayat Kanker pada keluarga
Risiko 2-3 kali lebih besar terjadi apabila mempunyai saudara
kandung atau ibu penderita kanker serviks dibandingkan dengan orang yang
tidak mempunyai riwayat keluarga.16
7) Infeksi herpes genitalis atau klamidia menahun
Klamidia adalah jenis bakteri yang dapat menginfeksi organ genitalia
wanita, termasuk serviks. Penyebarannya ditularkan melalui hubungan
seksual. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa perempuan yang pernah
terinfeksi ataupun sedang terinfeksi bakteri klamidia saat ini berisiko tinggi
terkena kanker serviks.15
8) Nutrisi
Pola makan memiliki peranan penting terhadap timbulnya kanker,
disamping dari faktor perilaku. Berdasarkan data yang dilaporkan oleh Badan
Litbangkes Kementrian Kesehatan RI, pola makan yang tidak sehat seperti
kurangnya konsumsi buah dan sayur, mengkonsumsi makanan yang
mengandung lemak tinggi, kebiasaan mengonsumsi makanan yang
dibakar/dipanggang dan mengonsumsi makanan hewani yang mengandung
pengawet dilaporkan dapat meningkatkan risiko terjadinya kanker baik pada
usia tua maupun muda.13,16
Pada kasus kanker serviks, konsumsi tinggi nutrisi, dan mineral
tertentu, terutama yang memiliki kandungan antioksidan dan antiviral yang
tinggi cukup efektif dalam mencegah infeksi HPV. Beberapa penelitian juga
menyebutkan bahwa defisiensi asam folat pada wanita dapat meningkatkan
risiko terjadinya displasia ringan maupun sedang dan memungkinkan juga
meningkatkan risiko terjadinya kanker serviks pada wanita yang makanannya
rendah retinol (vitamin A) dan beta karoten.18-19
9) Tingkat Pendidikan
Pendidikan dapat mempengaruhi suatu proses pengubahan sikap dan
tata laku seseorang atau kelompok dalam upaya mendewasakan suatu

9
individu melalui pengajaran dan pelatihan. Tingkat pendidikan
mempengaruhi pengetahuan seseorang. Semakin tinggi pendidikan
seseorang, semakin tinggi pula pemahaman terhadap informasi yang di dapat.
Seseorang yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi cenderung
mempunyai pola pikir yang lebih logis dan lebih berkembang. Pendidikan
memiliki efek positif terhadap kesadaran kesehatan dan secara langsung
berimbas pada perilaku kesehatan.16,20
Penelitian di Pekanbaru pada tahun 2008 sampai tahun 2010
menyebutkan bahwa kejadian kanker serviks cenderung lebih banyak terjadi
pada wanita yang tingkat pendidikannya rendah dibanding wanita yang
tingkat pendidikannya tinggi. Hal tersebut dikarenakan ada kaitannya antara
pendidikan dengan tingkat sosio ekonomi, perilaku kebersihan dan kehidupan
seks seseorang. 16,20
10) Golongan sosial ekonomi rendah
Wanita dengan tingkat ekonomi yang rendah lebih berisiko 4 kali
lebih tinggi dibanding wanita yang tingkat ekonominya menengah ke atas.
Sosial ekonomi yang rendah sering dikaitkan dengan kurangnya pengetahuan
mengenai kanker serviks dan atau tidak terjangkaunya fasilitas kesehatan
masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya sehingga tidak bisa melakukan
pemeriksaan serviks secara rutin. Selain itu status ekonomi merupakan faktor
yang cukup penting yang mendasari seseorang termotivasi untuk berperilaku
hidup sehat, karena adanya biaya yang dapat mereka alokasikan untuk
memenuhi kebutuhan kesehatannya.21-22
Penelitian pada tahun 2014 di RSUD Semarang menyebutkan bahwa
ada hubungan antara tingkat penghasilan dengan keterlambatan diagnosis
penderita kanker leher rahim di rumah sakit tersebut. Penelitian lain pada
tahun 2012 di Kabupaten Banyumas juga menyebutkan bahwa ibu yang
mengikuti deteksi melalui metode Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA) paling
banyak pada ibu dengan status ekonomi yang lebih besar dari UMR yaitu
sebanyak 76 orang (80%), sedangkan pada ibu yang berstatus ekonomi
dibawah UMR tidak ada yang mengikuti deteksi dini melalui metode IVA. 23

10
2.6 Patogenesis Kanker Serviks
Kanker serviks merupakan sebuah kondisi yang muncul dengan proses yang
panjang dan bertahap, dimana pada awalnya dimulai dengan lesi intraepitel yang
akan mengalami perubahan neoplastik selama bertahun-tahun sebelum menjadi
kanker yang invasive. Berdasarkan histopatologinya, lesi pre kanker akan
melalui beberapa stadium dysplasia, mulai dari dysplasia tahap ringan (Cervical
Intraepithelial Neoplasia 1, CIN 1), sedang (CIN 2) dan berat (CIN 3 atau
dikenal karsinoma in situ), yang selanjutnya akan menjadi kanker serviks.24
Kanker serviks umumnya terjadi pada sebuah area transisi epitel yang disebut
dengan squamo-columnar junction (SCJ), dimana area ini merupakan pergantian
dari epitel skuamus berlapis pada ektoserviks (porsio) dengan epitel kolumner
selapis bersilia yang melapisi endoservik (kanalis servikalis). Letak dari SCJ ini
berbeda-beda akibat pengaruh dari beberapa faktor seperti faktor usia, aktivitas
seksual dan riwayat paritas. SCJ pada wanita muda umumnya berada di luar dari
ostium uteri eksternum, berbeda dengan wanita berusia diatas 35 tahun yang
berada di dalam kanalis servikalis. Oleh karena itu, akibat posisi nya diluar
ostium uteru eksternum, wanita berusia muda lebih rentan terhadap paparan
faktor luar atau mutagen yang bisa memicu proses dysplasia pada epitel di area
ini.25
Beberapa studi terkini menunjukan bahwa virus adalah salah satu faktor yang
menjadi penyebab utama dari kanker serviks, dengan paling banyak dikarenakan
Human Papilloma Virus (HPV). Perubahan lesi menjadi sebuah kanker
umumnya terjadi akibat dari mutase gen yang bertanggun jawab dalam
mengendalikan siklus sel, seperti tumor suppressor gene, oncogene dan repair
genes. Mayoritas individu immunokompeten yang terinfeksi HPV mampu
membersihkan infeksi viral dengan sendirinya dan tetap asimtomatik. Namun
masih kontroversial apakah virus tersebut benar-benar tereliminasi dari pasien
atau mengalami supresi sehingga tidak terdeteksi pada pendekatan sampling dan
analisis saat ini. Pada beberapa pasien, infeksi HPV dapat menetap dan
menyebabkan lesi yang dapat terdeteksi secara klinis yang mampu berkembang
menjadi kanker invasive dalam kurun waktu tahun sampai dekade.26
HPV memiliki predileksi untuk sel epithelial dari serviks, yang tersusun
sebagai lapisan tunggal basal yang tidak berdiferensiasi dan epidermis

11
suprabasal yang berdiferensiasi dan tidak berproliferasi. Lapisan basal berada di
atas dari lapisan stroma servikal. Sel basal imatur yang membelah akan bergerak
keatas melalui lapisan epidermal dimana akan terlepas sebagai proses alami dari
maturasi epitel. Mikro-abrasi traumatic seperti yang terjadi saat berhubungan
seksual, dapat membuat sel basal ini terpapar dengan HPV, dimana diduga
bahwa HPV masuk ke dalam sel dimediasi oleh reseptor. Sel basal yang
terinfeksi oleh HPV akan terus membelah dan membentuk 2 sel baru
mengandung material genomik viral. Satu sel dari sepasang tersebut akan tetap
berada di lapisan basal dan mempertahankan kapasitas pembelahannya, sehingga
berperan sebagai lokasi dari replikasi virus, yang memerlukan pembelahan sel
aktif untuk mempertahankan siklus hidupnya. Sedangkan sel anakan satunya
akan terus bergerak keatas melalui lapisan suprabasal, dimana akan
berdiferensiasi dan melalui proses maturase epithelial. 27
Untuk mempertahankan kondisi sel serviks yang akan terus tumbuh dan
membelah, HPV akan mengekspresikan protein yang menstimulasi dan
propagasi pertumbuhan sel melalui aksi dari gen E5, E6 dan E7. Setelah
diferensiasi seluler di lapisan suprabasal, genom viral ini akan bereplikasi
menjadi 10,000 atau lebih salinan, dan memicu ekspresi dari gen viral E4, L1
dan L2. Protein L1 dan L2 akan membentuk struktur kapsid di sekitar material
genomic dari virus, yang akan dilepaskan dari sel epithelial saat terlepas dari
lapisan epithelial. Progresi karsinogenik yang terjadi pada serviks bukan
merupakan proses dari siklus hidup HPV normal, melainkan sebuah kondisi
akhir yang non-produktif dimana diasosiasikan dengan subset tipe virus yang
lebih kecil dan terjadi setelah periode infeksi yang panjang.27
Lesi pra kanker, atau disebut dengan dysplasia serviks, adalah perkembangan
dan pertumbuhan yang abnormal dari sel-sel epitel serviks dan bersifat
reversible. Proses pertumbuhan sel ini berjalan dengan lambat namun berpotensi
untuk menjadi keganasan serviks. Lesi ini juga disebut dengan Cervical
Intraepithelial Neoplasia (CIN), dan diklasifikasikan ke dalam 3 kelompok
berdasarkan ketebalan dari lapisan epitel yang mengalami neoplasia. 27

12
Gambar 2. Patogenesis HPV beserta peran gen terhadap siklus sel

CIN 1 merupakan kondisi dysplasia ringan, dimana terjadi perubahan


pada ukuran, bentuk dan jumlah pada sel epitel yang terletak di 1/3 bawah
dari seluruh ketebalan serviks. CIN 1 terjadi akibat dari efek cytopathic HPV
dari lesi produktif. Lesi pada CIN 1 menunjukan perubahan patognomik
yang dikenal dengan koilositosis, dimana terdapat atypia nuclear
dikombinasikan dengan kaviotasi sitoplasmik, yang memberikan
penampakan bervakuola pada sel. Sitoplasma akan menjadi bergranulasi,
dengan adanya abnormalitas pada struktur kromosomal pada mitosis yang
menyebabkan terbentuknya penampakan multinuclear pada sel epithelial.
Studi telah menemukan bahwa pada tingkat CIN 1 masih terdapat peluang
untuk mengalami regresi sebesar 50% sampai 60% dalam waktu 1 tahun,
akan tetapi tetap tidak menutup kemungkinan dapat berkembang menjadi lesi
kanker yang invasive. CIN 1 banyak ditemukan pada pasien berusia 25
sampai 35 tahun. Sedangkan untuk CIN 2 dan 3 dianggap sebagai lesi tingkat
tinggi memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami kanker invasive,
meskipun rerata waktu dari progresi masih dalam beberapa tahun. CIN 2
melibatkan perubahan abnormal dari sel yang menyusun 2/3 ketebalan
serviks. Sedangkan CIN 3, atau disebut karsinoma in situ, melibatkan
keseluruhan ketebalan serviks. CIN 2 dan 3 ditandai dengan adanya sel
basaloid imatur pada 1/3 atas dari ketebalan lapisan epitel servikal. Sel yang
terdampak menunjukan granulasi sitoplasmik, peningkatan aktivitas mitotik,

13
hilangnya polaritas dan variasi pada ukuran dari nukleus nya. Proses
dysplasia ini apabila dibiarkan dapat menjadi invasive dengan menembus
membrane basalis dan berkembang menjadi kanker serviks.27

Gambar 3. Sistem klasifikasi displasia sel skuamus serviks

Gambar 4. Derajat displasia pada lapisan epitel serviks

14
Gambar 5. Sistem stadium kanker serviks berdasarkan FIGO

2.7 Diagnosis dan tatalaksana


Lesi pra kanker dan kanker stadium dini pada mayoritas individu bersifat
asimtomatik dan hanya terdeteksi apabila dilakukan pemeriksaan sitologi.
Apabila sudah muncul kanker maka gejala dan tanda yang akan muncul sesuai
dengan progresi dari kondisinya, yakni gejala lokal atau menyebar. Gejala yang
sering muncul adalah perdarahan pasca-senggama atau perdarahan yang terjadi
diluar siklus menstruasi atau pasca menopause. Pada kondisi tumor besar, dapat
terjadi infeksi yang menyebabkan cairan berbau mengalir keluar dari vagina.
Pada kondisi lanjut, nyeri panggul, gejala kandung kemih dan usus besar dapat
mulai muncul pada pasien. Pada kondisi metastasis, gejala yang muncul dapat
sesuai dengan lokasi dari penyebarannya. Nyeri kepala sering dikeluhkan pada
metastasis otak, sesak nafas atau batuk berdarah pada metastasis paru, nyeri
tulang pada metastasis tulang dan nyeri perut kanan atas, kuning, mual dan
muntah pada metastasis liver.28

15
Penegakan Diagnosis

Diagnosis dari kanker serviks ditegakan menggunakan dasar anamnesis


dan pemeriksaan klinis. Umumnya anamnesis dan pemeriksaan fisik saja
belum dapat menegakan diagnsosis dari lesi pra kanker akibat sifatnya yang
asimtomatik. Jika sudah menjadi invasif, gejala yang muncul dapat berupa
perdarahan dan keputihan. Sedangkan pada stadium lanjut, gejala ini akan
berkembang menjadi nyeri pinggang atau perut bawah dan sesuai dengan
lokasi organ apabila terdapat metastasis.29

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk membantu


menegakan diagnosis adalah inspeksi, kolposkopi, biopsy serviks,
sitotoskopi, retroskopi, USG, BNO-IVP, foto thoraks atau bon scan, CT scan,
MRI dan PET scan. Adanya curiga metastasis pada kandung kemih atau
rektum perlu dikonfirmasi dengan dilakukan pemeriksaan biopsy dan
histopatologi. Pemeriksaan sistoskopi dan rektoskopi dilakukan hanya pada
pasien dengan stadium IB2 atau lebih. Stadium kanker servis didasari pada
pemeriksaan klinis sehingga pemeriksaan harus dilakukan dengan seksama.29

Tatalaksana

Kanker serviks dapat diterapi meggunakan pendekatan pembedahan,


radioterapi, kemoterapi, imunoterapi atau metode lainnya. Pemilihan metode
yang akan digunakan didasari pada stadium klinis dari kondisi pasien, derajat
diferensiasi patologis yang terjadi pada sel epitelnya, ukuran dari tumor dan
keberadaan metastasis. Pada kanker serviks stadium dini, terapi dengan
pembedahan atau radioteraspi diketahui telah menghasilkan luaran yang baik,
sedangkan pada kanker serviks stadium lanjut, mayoritas memerlukan terapi
kombinasi.29

2.8 Radioterapi
Radioterapi merupakan salah satu modalitas perawatan kanker yang
menggunakan radiasi dengan dosis tinggi yang bertujuan untuk membunuh sel
kanker dan memperkecil ukuran tumor. Ahli onkologi radiasi menggunakan
terapi radiasi untuk mencoba menyembuhkan kanker, mengendalikan
pertumbuhan dari sel kanker, ataupun untuk meringankan gejala yang dialami

16
pasien. Radioterapi sendiri dapat diberikan sebagai perawatan kuratif atau
paliatif. Radioterapi kuratif biasanya diberikan pada pasien sebagai terapi
tunggal untuk menyembuhkan suatu kanker, mencegah rekurensi lokal maupun
regional, mencegah metastasis, ataupun memperkecil ukuran tumor agar dapat
dilakukan operasi. Sedangkan radioterapi paliatif diberikan untuk mengurangi
gejala yang dirasakan pasien, terutama rasa nyeri.

Jenis radioterapi
Menurut Susworo dan Kodrat (2017), radioterapi memiliki beberapa
jenis yakni:30
Radiasi eksternal
Metode pemberian radiasi yang berasal dari sumber yang terletak pada
jarak tertentu dari tubuh pasien. Radiasi yang digunakan memiliki jangkauan
yang luas sehingga tidak hanya tumor primer dan kelenjar disekitarnya yang
mendapatkan radiasi, namun jaringan sehat juga mendapatkan radiasi.
Penggunaan metode ini memberikan risiko yang lebih tinggi terhadap jaringan
yang sehat, sehingga berpotensi meningkatkan efek samping baik jangka pendek
maupun jangka panjang. Pada awalnya radiasi eksternal menggunakan unit
kobalt sebagai sumber, namun saat ini akselerator linear paling banyak
digunakan, yang mana ukuran dan intensitas dari sinar yang dihasilkan dapat
dimodifikasi sesuai dengan keperluan. Sinar electron sangat berguna dalam
menerapi lesi superfisial dikarenakan deposisi dosis maksimum berada di dekat
permukaan, dimana dosis akan berkurang secara cepat dengan kedalaman,
sehingga meminimalisir jaringan di bawahnya.31
Brakiterapi
Brakiterapi merupakan metode radioterapi dengan menempatkan sumber
radiasi ke dalam tumor. Tujuan dari penggunaan terapi ini adalah untuk
memberikan dosis terapi tambahan pasca pemberian radiasi eksterna, sehingga
efek yang diinginkan terhadap tumor tercapai. Efikasi dari brakiterapi
mengandalkan pemberian dosis radiasi tinggi secara langsung pada tumor, dekat
dengan sumbernya. Spesifitas dari brakiterapi adalah terdapatnya penurunan
dosis yang cepat pada jarak tertentu dari sumber, sehingga membatasi paparan
dosis pada jaringan disekitarnya. Brakiterapi memberikan keunggulan
dosimetrik dengan menggabungkan gradien tumor terhadap jaringan normal

17
yang optimal sembari meminimalisir dosis integral pada pasien. Studi dosimetrik
telah menemukan bahwa brakiterapi merupakan alat yang optimal dalam konteks
penggunaan radiasi untuk mencapai dosis tumor tinggi dan menurunkan dosis
terhadap organ yang berisiko.32
Kombinasi radiasi eksterna dan brakiterapi
Kombinasi dari metode radioterapi ini digunakan untuk memperoleh hasil
pengobatan kanker yang maksimal dan optimal, dimana menggunakan dosis
maksimal terhadap tumor dan meminimalisir efek terhadap jaringan sehat. Salah
satu faktor determinan dari keberhasilan terapi ini adalah keberadaan dari respon
tumor terhadap radiasi eksternal.

Dasar Biologi dari Radioterapi


Mekanisme pasti dari kematian sel akibat radiasi masih menjadi area dari
investigasi aktif. Mayoritas bukti mengarah pada dugaan dimana terjadinya
double-strand breaks dari DNA sebagai efek seluler paling penting dari radiasi.
Pematahan ini menyebabkan hilangnya integritas reproduktif dari sel yang
ireversibel dan berujung pada kematian sel. Kerusakan radiasi dapat secara
langsung mengionisasi. Namun, pada terapi klinis, mayoritas kerusakan
disebabkan oleh ionisasi indirek melalui pembentukan radikal bebas dari
radiolysis air seluler. Radiasi dapat juga berdampak pada proses dari siklus sel
yang mengatur pertumbuhan sel dan apoptosis.33
Pada radioterapi, kesuksesan dari mengeradikasi tumor bergantung pada
radiosensitivitas dari tumor dan juga toleransi jaringan normal disekitarnya
(normal tissue tolerance/NTT). Dosis letal tumor (tumor lethal dose/TLD)
diartikan sebagai dosis radiasi yang menghasilkan regresi kompllit dan
permanen pada tumor in vivo. Indeks terapeutik merupakan rasio dari NTT/TLD
yang menentukan apakah suatu penyakit dapat diterapi atau tidak.
Radiosensitivitas mengekspresikan respon dari tumor terhadap radiasi dan tinggi
pada sel yang sangat mitotik, tidak berdiferensiasi seperti sel ganas.34
Pemberian dosis tumorosidal dalam beberapa fraksi dosis kecil pada metoda
regimen multifraksi konvensional didasari pada prinsip 4R dari radiobiologi
yakni repair of sub lethal damage, repopulation, redistribution, dan
reoxygenation. Repair dianggap sebagai rasional paling penting dari fraksionasi.
Fraksionasi dari dosis membuat jaringan normal dapat pulih diantara 2 fraksi

18
untuk mengurangi kerusakan pada jaringan normal. Redistribusi populasi sel
yang berproliferasi dari fase radioresistant menjadi radiosensitive selama siklus
sel meningkatkan cell kill pada terapi berfraksi dibandingkan sesi tunggal. Sel
dapat repopulasi jika interval lebih dari 6 jam, sehingga meningkatkan
kebertahanan fraksi. Sel yang berada di pusat tumor adalah sel hipoksik dan
resisten terhadap radiasi, sehingga saat di reoksigenasi, akan membuat sel lebih
radiosensitive terhadap dosis radiasi.33

Efek samping radioterapi


Radioterapi untuk kanker serviks dapat menimbulkan efek smaping
antara lain :35
Kelelahan
Seluruh pasien yang menjalani radioterapi akan mengalami kelelahan yang
berat selama proses pengobatan, sehingga kondisi pasien harus diperhatikan dan
diberikan dukungan serta bantuan dalam aktivitas sehari-hari.
Hilangnya nafsu makan
Pasien dapat mengalami hilangnya nafsu makan akibat kelelahan yang terjadi
saat menjalani perawatan. Hilangnya nafsu makan akan menurunkan asupan
nutrisi pasien, dan oleh karena itu berpotensi menyebabkan gangguan nutrisi,
yang kerap menjadi permasalahn utama dari pasien kanker.
Masalah kulit
Kulit dari pasien yang terpapar dengan sinar radiasi dapat tampak lebih
merah, berwarna lebih gelap atau teriritasi. Kulit akan menjadi lebih sensitif
sehingga pasien terkadang tidak bisa terpapar langsung dengan sinar matahari,
tidak bisa menggunakan lotion tubuh atau menggunakan pakaian ketat selama
terapi dan beberapa periode setelahnya.
Sistitis akut
Sistisis akut adalah infeksi saluran kemih bawah akut yang menjadi salah satu
efek samping terbanyak yang dialami pasien pasca menjalani terapi sinar. Pada
pasien dengan kanker serviks, sistitis akut ditandai dengan adanya keluhan
keinginan untuk buang air yang sering muncul akan tetapi tidak ada kencing
yang keluar.
Efek lain
Efek samping lainnya yang dapat muncul akibat radioterapi adalah alopesia,

19
dimana pemberian radioterapi dengan dosis 30 sampai 35 Gy dapat
menyebabkan rambut rontok, namun dapat tumbuh kembali dalam beberapa
waktu setelah terapi. Efek samping lainnya dapat berupa fibrotik dari dinding
anterior rektum yang sering menyebabkan perdarahan pada saat buang air besar.

20
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 IDENTITAS PENDERITA

Nama : Ny. S

Usia : 65 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Tembalang

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

No. CM : C921141

3.2 DATA DASAR


A. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan pada hari Rabu, 8 Juni 2022 pukul 11.00 di Instalasi
Kasuari RSUP Dr. Kariadi.
Keluhan Utama : Rencana terapi radiasi dan CT Simulator
Riwayat Penyakit Sekarang :
± 3 bulan SMRS pasien mengeluh adanya cairan yang keluar dari
jalan lahir. Cairan berwarna coklat kehitaman seperti darah, bau (+) seperti
busuk. Cairan yang keluar tidak disertai dengan gatal namun pasien
mengeluhkan adanya nyeri perut bagian bawah. Nyeri tidak berkurang saat
istirahat, dan terus-menerus memberat. Pasien akhirnya diperiksakan ke
dokter dan didiagnosis adanya tumor pada serviks dan rahim lalu dilakukan
operasi dan dikatakan bahwa tumor ganas. Demam (-), mual (-), muntah (-).
Pasien juga mengeluh sesak napas yang dirasa semakin memberat
sampai akhirnya pasien dibawa ke RS KRMT Wongsonegoro dan
didapatkan adanya cairan pada paru. Sesak tidak berkurang dengan istirahat.
Lalu pasien dilakukan pungsi cairan untuk dilakukan pemeriksaan serta
didapatkan cairan berwarna kecoklatan dan dikatakan merupakan
penyebaran dari kanker. Akhirnya 1 minggu kemudian, pasien dirujuk ke RS

21
Kariadi karena kurangnya fasilitas yang memadai. Kemudian di RS Kariadi
pasien dilakukan pemasangan selang dada. Pasien kemudian diopname
selama 3 minggu sebelum akhirnya diperbolehkan pulang. Lalu pasien
dijadwalkan untuk dilakukan kemoterapi dan radioterapi. Pasien sudah
melakukan 1x kemoterapi dan terdapat efek samping mual. Sekarang pasien
hendak konsultasi untuk dilakukan radioterapi.
Riwayat Obstetri
Pasien merupakan P8A0, riwayat melahirkan per vaginam dibantu oleh
dukun beranak. Persalinan sulit (-). Pasien terakhir melahirkan tahun 1994
dan riwayat menopause usia 55 tahun.
Riwayat Penyakit Dahulu

● Riwayat operasi debulking (BSO Omentectomy, sitologi ascites,


adhesiolisis) atas indikasi suspek Ca Ovarii (30/3/2022)

● Riwayat alergi disangkal

● Riwayat hipertensi disangkal

● Riwayat diabetes mellitus disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada keluhan serupa di anggota keluarga

Riwayat Pribadi dan Sosial Ekonomi

Pasien seorang ibu rumah tangga dan biaya pengobatan ditanggung oleh
JKN PBI.

3.3 PEMERIKSAAN FISIK


Status Generalis
● Keadaan umum : Tampak Baik

● Tanda-tanda vital

- Frekuensi Napas : 20x/menit, regular, simetris, kedalaman cukup

- Frekuensi Nadi : 76x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup

- Tekanan Darah : 130/80 mmHg

22
- Suhu : 36,6oC aksiler

- Kesadaran : Composmentis, GCS E4M6V5

- Skala nyeri : VAS 1

● Berat Badan : 45 Kg

● Tinggi Badan : 155 cm

Status Internus

Kepala : Mesosefal

Mata : Konjungtiva palpebra pucat (-/-), pupil bulat isokor, refleks


cahaya(+/+), Sklera ikterik(-)
Hidung : Nafas cuping hidung (-/-), discharge (-)
Telinga : Deformitas(-/-), discharge (-/-), jejas (-)
Mulut : Jejas (-), bibir kering (-), sianosis (-)
Leher : Simetris, trakea di tengah, pembesaran nnll (-)

Paru

Inspeksi : Gerakan dinding dada simetris saat statis dan dinamis, jejas (-)

Palpasi : Stem fremitus hemithoraks kanan sama dengan kiri.

Perkusi : Sonor pada seluruh lapangan paru


Auskultasi : Suara dasar paru vesikuler kanan kiri sama, tidak didapatkan
ronkhi maupun wheezing

Jantung

Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak

Palpasi : Ictus cordis teraba di SIC V linea midclavicularis sinistra

Perkusi : Konfigurasi jantung dalam batas normal


Auskultasi : Bunyi Jantung I-II reguler, bising (-), gallop (-)

23
Abdomen

Inspeksi : Datar, terdapat bekas operasi insisi mediana

Auskultasi : Bising usus normal


Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), defans muskular (-), hepar dan lien tidak
teraba
Perkusi : Timpani seluruh region abdomen, pekak hepar (+), pekak sisi
dan pekak alih (-)

Genitalia Eksterna :

Perempuan, dalam batas normal

Status Ginekologik:

Vaginal Toucher : Fluxus (-) / Fluor (-)

Vulva-uretra : tak ada kelainan

Vagina : infiltrat (-)

Portio : berbenjol-benjol, rapuh

Corpus uteri : sebesar telur ayam

Cavum douglas : tidak menonjol

Rektal Toucher :

Tonus sfingter ani cukup, mukosa licin, infiltrat -/-, Free cancer space -/-

Ekstremitas

Superior Inferior
Edema -/- -/-

Sianosis -/- -/-

Akral Dingin -/- -/-

Capillary refill time <2”/<2” <2”/<2”

Jejas -/- -/-

3.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG

24
a. Pemeriksaan Laboratorium Darah (17/5/2022)

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai rujukan Keterangan


Hematologi Paket
Hemoglobin 12.3 g/dl 11.7-15.5
Hematokrit 39.5 % 32-62
Eritrosit 4.54 10^6/ul 4.4-5.9
MCH 27.1 Pg 27-32
MCV 87 fL 76-96
MCHC 31.1 g/dl 29-36
Leukosit 7.8 10^3/ul 3.6-11
Trombosit 528 10^3/ul 150-400 H
RDW 14.7 % 11.6-14.8
MPV 10 fL 4.00-11.00
Kimia Klinik
Glukosa Sewaktu 91 mg/dL 80 - 160
Ureum 10 mg/dL 15-39 L
Kreatinin 1.0 mg/dL 0.6-1.3

25
b. Radiologi
1) X-Foto Thorax AP Semierect(12/3/2022)

Klinis: Sesak napas

Deskripsi:

- Cor: batas kanan jantung tertutup perselubungan homogen, batas kiri


baik

- Pulmo: Corakan bronkovaskuler paru kiri meningkat

Tampak bercak pada perihiler dan paracardial kiri

- Tampak perselubungan homogen pada seluruh hemitoraks kanan

- Diafragma dan sudut kostofrenikus kanan tertutup perselubungan


homogen, kiri lancip

- Tulang dan soft tissue baik

Kesan:

● Cor sulit dievaluasi


● Gambaran bronkopneumonia kiri
● Efusi pleura kanan massif, adanya kemungkinan massa maupun
atelektasis belum dapat disingkirkan

26
2) USG Abdomen (13/3/2022)

- Hepar: ukuran dan bentuk normal, parenkim homogen, ekogenisitas


normal, tepi rata, sudut tajam, tak tampak nodul, v. porta dan v. hepatica
tak melebar.

- Duktus biliartis intra-ekstrahepatal: tak melebar

- Vesika felea: tak membesar, dinding tak menebal, tak tampak batu, tak
tampak sludge

- Lien: ukuran normal, parenkim homogen, v. lienalis tak melbar, tak


tampak nodul

- Pankreas: ukuran normal, parenkim homogen, duktus pancreaticus tak


melebar

- Ginjal kanan dan kiri: ukuran dan bentuk normal, batas kortikomeduler

27
jelas, PCS tak melebar, tak tampak batu, tak tampak massa

- Aorta: tak tampak melebar, tak tampak pembesaran limfonodi paraaorta

- Vesika urinaria: dinding tak menebal, permukaan reguler, tak tampak


batu/massa

- Uterus: ukuran normal, parenkim homogen, tak tampak massa,


endometrial line baik

- Tampak efusi pleura dupleks, tampak cairan bebas intraabdomen dan


paravesika.

- Pada regio adneksa kanan, tampak lesi anekoik multilobulated batas


tegas tepi reguler dengan adanya bagian iso-hiperekoik, ukuran ± 8,4 x
4,84 cm.

- Pada regio posterior uterus, tampak lesi anekoik oval batas tegas tepi
reguler ukuran ± 1,9 x 1,86 cm.

KESAN:

● Ascites
● Efusi pleura dupleks
● Lesi kistik multilobulated batas tegas tepi reguler dengan ada bagian
solid di regio adneksa kanan (ukuran ± 8,4 x 4,84 cm) dan lesi kistik
oval batas tegas tepi reguler di regio posterior uterus (ukuran ± 1,9 x
1,86 cm) -> dd/ ovarian mass, intraperitoneal mass.
3) X-Foto Thorax AP Semierect (18/3/2022)

28
Klinis: Efusi pleura, riwayat tumor rahim

Deskripsi:

- Cor: batas kanan jantung tertutup perselubungan homogen, batas kiri


baik

- Pulmo: Corakan vaskuler paru kiri tampak normal

Tak tampak bercak maupun nodul pada lapangan paru kiri

- Tampak perselubungan homogen pada apikolaterobasal hemitoraks


kanan

- Diafragma kanan tertutup perselubungan homogen

- Sudut kostofrenikus kanan tertutup perselubungan homogen, kiri lancip

- Tak tampak lesi litik, sklerotik, dan destruksi pada os costae, scapulae,
dan claviculae kanan kiri yang tervisualisasi

Kesan:

● Cor sulit dievaluasi


● Pulmo kiri tak tampak kelainan
● Efusi pleura kanan
4) X-Foto Thorax AP Semierect (25/3/2022) dibandingkan dengan foto
(18/3/2022)

Klinis: Evaluasi pasca repair, riwayat tumor rahim

Tampak terpasang chest tube dari arah lateral hemithoraks kanan

29
dengan tip pada SIC 4 posterior kanan

Deskripsi:

- Cor: Apeks jantung bergeser ke laterocaudal

- Pulmo: Corakan vaskuler masih tampak meningkat, tampak bercak pada


lapangan bawah paru kiri

- Masih tampak perselubungan homogen pada apikolaterobasal


hemitoraks kanan yang berkurang dibandingkan sebelumnya

- Diafragma kanan tertutup perselubungan homogen

- Sudut kostofrenikus kanan tertutup perselubungan homogen, kiri suram

- Tak tampak lesi litik, sklerotik, dan destruksi pada os costae, scapulae,
dan claviculae kanan kiri yang tervisualisasi

Kesan:

● Chest tube terpasang dengan tip pada SIC 4 posterior kanan


● Cardiomegaly (LV)
● Infiltrat pada lapangan bawah paru kiri, curiga bronkopneumonia
● Efusi pleura kanan berkurang
5) X-Foto Thorax AP Semierect (02/4/2022) dibandingkan dengan foto
(25/3/2022)

Klinis: Evaluasi pasca repair, riwayat tumor rahim

Masih tampak terpasang chest tube dari arah lateral hemithoraks kanan

30
dengan tip pada SIC 7 posterior kanan

Deskripsi:

- Cor: Apeks jantung bergeser ke laterocaudal

- Pulmo: Corakan vaskuler masih tampak meningkat, tak tampak bercak


pada kedua lapangan paru

- Masih tampak perselubungan homogen pada apikolaterobasal


hemitoraks kanan yang relatif sama dibandingkan sebelumnya

- Diafragma kanan tertutup perselubungan homogen

- Sudut kostofrenikus kanan tertutup perselubungan homogen, kiri suram

- Tak tampak lesi litik, sklerotik, dan destruksi pada os costae, scapulae,
dan claviculae kanan kiri yang tervisualisasi

Kesan:

● Konfigurasi jantung relatif sama (Cardiomegaly (LV))


● Pulmo tak tampak infiltrat
● Efusi pleura kanan relatif sama
6) X-Foto Thorax AP Erect-Lateral (05/4/2022) dibandingkan dengan
foto (25/3/2022), kondisi foto berbeda

Klinis: NOK, Efusi pleura

Tampak terpasang chest tube dari arah lateral hemithoraks kanan

31
dengan tip pada SIC 7 posterior kanan

Deskripsi:

- Cor: Apeks jantung bergeser ke laterocaudal

- Pulmo: Corakan vaskuler masih tampak meningkat, tampak bercak pada


lapangan bawah paru kiri

- Masih tampak perselubungan homogen pada laterobasal hemitoraks


kanan yang relatif sama dibandingkan sebelumnya

- Diafragma kanan tertutup perselubungan homogen

- Sudut kostofrenikus kanan tertutup perselubungan homogen, kiri lancip

- Tak tampak lesi litik, sklerotik, dan destruksi pada os costae, scapulae,
dan claviculae kanan kiri yang tervisualisasi

Kesan:

● Konfigurasi jantung relatif sama (Cardiomegaly (LV))


● Gambaran bronkopneumonia
● Efusi pleura kanan relatif sama

c. Sitologi Pungsi Cairan Efusi Pleura (25/3/2022)

KESIMPULAN:

Gambaran di atas sesuai untuk :

- Sel-sel ganas (+) positif.

- Metastasis malignant epithelial tumor kesan adenocarcinoma pada pleura


kanan yang dapat berasal dari serviks

d. Hasil PA Biopsi Serviks (19/3/2022)

KESIMPULAN :

Gambaran di atas menyokong diagnosis adenocarcinoma pada serviks.

e. Hasil PA Operasi Debulking (31/3/2022)

KESIMPULAN:

High grade adenocarcinoma, memberi kesan high grade serous carcinoma


ovarii bilateral dengan infiltrasi ke tuba bilateral, omentum dan metastasis
pada cairan ascites.

32
f. Hasil Imunohistokimia Biopsi Serviks

P16 : (+) positif

Kesimpulan :

Berdasarkan gambaran morfologi dan profil immunohistokimia menyokong


diagnosis villoglandular papillary adenocarcinoma, HPV associated (ICD-O
: 8483/3)

3.5 DIAGNOSIS KERJA

Adenocarcinoma cervix uteri stadium IVB

Metastase paru

Efusi pleura kanan, pasca chest tube dan WSD system pleura dextra

Pasca debulking (BSO Omentectomy, sitologi ascites, adhesiolisis) atas indikasi


Carcinoma ovarii (30/3/2022)

3.6 RENCANA TERAPI


● CT Simulator Pelvis Tanpa Kontras

33
● Radiasi whole pelvis 25 x 2 Gy
● Brakiterapi intrakaviter 3 x 7 Gy

3.7 EDUKASI
● Menjelaskan kepada pasien mengenai tujuan dan tahapan terapi yang akan
diberikan
● Menjelaskan kepada pasien mengenai efek samping terapi yang akan
diberikan
● Menjelaskan kepada pasien mengenai prognosis terapi
● Memberikan motivasi kepada pasien untuk mengikuti terapi

34
BAB IV

PEMBAHASAN

Pada kasus ini, pasien Ny. S datang dengan indikasi hendak memulai terapi
radiasi. Dari anamnesis pasien didapatkan adanya riwayat cairan yang keluar dari
jalan lahir. Cairan berwarna coklat kehitaman seperti darah, bau (+) seperti busuk.
Cairan yang keluar tidak disertai dengan gatal namun pasien mengeluhkan adanya
nyeri perut bagian bawah.
Hasil pemeriksaan fisik dengan vaginal toucher pasien Ny. S tidak
didapatkan fluxus (-) dan fluor (-). Pada pemeriksaan vulva dan uretra, tidak
ditemukan adanya kelainan, dan pada vagina tidak didapatkan infiltrate (-). Pada
portio pasien didapatkan adanya massa berbenjol-benjol dan rapuh. Corpus uteri
sebesar telur ayam, dan pada cavum douglas tidak menonjol. Pada pemeriksaan
rectal toucher didapatkan tonus sfingter ani cukup, mukosa licin, infiltrat -/-, free
cancer space -/-.
Dari hasil pemeriksaan laboratorium hematologi klinik, didapatkan adanya
peningkatan trombosit. Sedangkan pada pemeriksaan kimia klinik, seluruh
komponen yang diperiksa mendapatkan hasil dalam batas normal. Berdasarkan
biopsy dan pemeriksaan PA didapatkan hasil villoglandular papillary
adenocarcinoma, HPV associated (ICD-O : 8483/3). Pemeriksaan USG abdomen
menunjukkan adanya asites, efusi pleura dupleks dan didapatkan lesi kistik
multilobulated batas tegas tepi reguler dengan ada bagian solid di regio adneksa
kanan (ukuran ± 8,4 x 4,84 cm) dan lesi kistik oval batas tegas tepi reguler di regio
posterior uterus (ukuran ± 1,9 x 1,86 cm). Sedangkan hasil dari pemeriksaan x foto
thoraks didapatkan adanya gambaran bronkopneumonia kiri dan efusi pleura kanan
massif. Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
Ny. S didapatkan diagnosis adenocarcinoma cervix uteri stadium IVB metastase
paru.
Tatalaksana yang diberikan adalah radiasi whole pelvis 25 x 2 Gy dan
brakiterapi intrakaviter 3 x 7 Gy. Dosis terapi yang diberikan pada pasien ini sudah
sesuai dengan pedoman nasional tatalaksana kanker serviks yang dikeluarkan oleh
Kemenkes. Dosis radiasi dibagi menjadi beberapa dosis kecil yang diberikan setiap
hari. Hal ini berguna untuk meminimalisir efek radiasi pada sel yang sehat.

35
Pemberian brakhiterapi setelah eksternal radiasi dimasudkan untuk pengecilan
volume tumor yang maksimal. Pemberian brakhiterapi memungkinkan pemberian
radiasi dosis tinggi dengan efek samping ke jaringan sekitar lebih rendah.
Pemeriksaan darah rutin dilakukan setiap 5 kali radiasi untuk memantau efek
samping pada darah seperti anemia, trombositopenia dan leukopenia.

36
BAB V
KESIMPULAN

Karsinoma serviks merupakan keganasan yang berasal dari serviks, dan


merupakan salah satu jenis kanker yang kasusnya cukup tinggi di dunia. Karsinoma
serviks memiliki tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi dan merupakan
penyebab kematian tertinggi kedua pada wanita setelah karsinoma payudara. Metode
skrining dan diagnosis dini dapat dilakukan dalam mencegah prognosis yang buruk
pada karsinoma serviks. Penegakkan diagnosis pada pasien karsinoma serviks yaitu
dengan anamnesis seperti riwayat aktivitas seksual dan status ginekologis pasien,
pada pemeriksaan fisik dapat dilakukan vaginal toucher, dan pemeriksaan penunjang
seperti biopsi PA, USG, dll. Tindakan pembedahan, radioterapi, dan kemoterapi
merupakan penatalaksanaan yang dapat dilakukan.

Efusi pleura merupakan kondisi meningkatnya cairan pada kavitas pleura.


Umumnya efusi pleura menimbulkan gejala, namun beberapa gejala dapat muncul
seperti batuk kering, sulit bernafas dan nyeri pada dada. Efusi pleura dapat terjadi
sebagai salah satu manifestasi dari metastasis kanker ke paru. Tatalaksana pasien
dengan efusi pleura dapat dilakukan drainase untuk mengeluarkan cairan dari kavitas
plura.

Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik (vaginal toucher), dan


pemeriksaan penunjang (biopsi PA, USG, X-foto thorax), dapat ditegakkan diagnosis
pada pasien ini yaitu Carcinoma Cervix Metastase Efusi Pleura. Tatalaksana yang
akan diberikan yakni radiasi whole pelvis 25 x 2 Gy dan brakiterapi intrakaviter 3 x
7 Gy.

37
DAFTAR PUSTAKA

1. Kashyap, N., Krishnan, N., Kaur, S., & Ghai, S. (2019). Risk Factors of Cervical
Cancer: A Case-Control Study. Asia-Pacific journal of oncology nursing, 6(3),
308–314
2. Kementrian Kesehatan RI. Panduan Penatalaksanaan Kanker Serviks
3. Agustiansyah P, Sanif R, Nurmaini S. Bioscientia Medicina : Journal of
Biomedicine & Translational Research Epidemiology and Risk Factors for
Cervical Cancer. Biosci Med J Biomed Transl Res Epidemiol. 2021;5(3):626–33.
4. Denny L, Herrero R, Levin C, et al. Cervical Cancer. In: Gelband H, Jha P,
Sankaranarayanan R, et al., editors. Cancer: Disease Control Priorities, Third
Edition (Volume 3). Washington (DC): The International Bank for
Reconstruction and Development / The World Bank; 2015 Nov 1. Chapter 4.
5. Fowler JR, Maani EV, Jack BW. Cervical Cancer. [Updated 2022 Apr 5]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022 Jan-
6. Pangribowo S. Beban Kanker di Indonesia. Pus Data Dan Inf Kesehatan
Kementerian Kesehatan RI. 2019;1–16.
7. Krishna R, Rudrappa M. Pleural Effusion. [Updated 2021 Aug 11]. In: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022 Jan-.
8. M.Keb RESS, Hesty Widowati, S.Keb., Bd. MK. Genetika & Biologi
Reproduksi. Universitas Muhammadiyah Sidoarjo. 2020. 1–67 p.
9. Prendiville W, Sankaranarayanan R. Colposcopy and Treatment of Cervical
Precancer. Lyon (FR): International Agency for Research on Cancer; 2017.
(IARC Technical Report, No. 45.) Chapter 2., Anatomy of the uterine cervix and
the transformation zone.
10. Sherwood L. Fisiologi Manusia : Dari Sel ke Sistem. edisi 8. Vol. 53, EGC.
Jakarta: EGC; 2014. 472–475 p.
11. Zhang S, Xu H, Zhang L, Qiao Y. Cervical cancer: Epidemiology, risk factors
and screening. Chinese J Cancer Res. 2020;32(6):720.
12. World Health Organization (WHO). Cervical Cancer. 2022.
https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/cervical-cancer
13. Rafika N. Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu Tentang Kanker Serviks Dengan
Perilaku Ibu Dalam Melakukan Tes Pap Smear Di Kelurahan Tugu Utara Pada

38
Tahun 2013. 2018;5.
14. Aprilia A, Surya I. Profil Kanker Serviks Pada Wanita Dengan Usia Di Bawah 40
Tahun Di Rsup Sanglah Denpasar Periode Juli 2013-Juni 2014. E-Jurnal Med
Udayana. 2016;5(11).
15. Musfirah M. Faktor Risiko Kejadian Kanker Serviks Di RSUP Dr. Wahidin
Sudirohusodo Makassar. J-KESMAS J Kesehat Masy. 2019;4(1):1.
16. Lembahmanah L. Analisa Faktor Pendidikan pada Wanita Peserta Program
Penapisan Kanker Leher Rahim dengan Pendekatan “See and Treat.” 2009;
17. What Are the Risk Factors for Cervical Cancer? | CDC. Centers for Disease
Control and Prevention (CDC). 2021.
18. Aziz MF. Vaksin Human Papillomavirus : Suatu Alternatif dalam Pengendalian
Kanker Serviks di Masa Depan. Maj Obstet Ginekol Indones. 2006;30:10–24.
19. Kim J, Kim MK, Lee JK, Kim J-H, Son SK, Song E-S, et al. Intakes of vitamin
A, C, and E, and β-carotene are associated with risk of cervical cancer: a case-
control study in Korea. Taylor Fr. 2010 Feb;62(2):181–9.
20. Mirayashi D, Raharjo W, Wicaksono,Arif. Hubungan antara tingkat pengetahuan
tentang kanker serviks dan keikutsertaan melakukan pemeriksaan Inspeksi Visual
Asetat di puskesmas. jurnal.untan.ac.id.
21. Rasjidi I. Manual prakanker serviks. Jakarta CV Sagung Seto. 2008;16–9.
22. Mukharomah K, Perspective WC-PH, 2016 undefined. Hubungan faktor sosial
ekonomi dengan keterlambatan diagnosis penderita kanker leher rahim di rsud
kota semarang. journal.unnes.ac.id.
23. Ningrum, RD & Fajarsari, D. Faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi ibu
mengikuti deteksi dini kanker serviks melalui metode inspeksi visual asam asetat
(IVA) di Kabupaten Banyumas tahun 2012. Bidan Prada. 2013; 4(1)
24. Aziz MF. Vaksin Human Papillomavirus : Suatu Alternatif dalam Pengendalian
Kanker Serviks di Masa Depan. Maj Obstet Ginekol Indones. 2006;30:10–24.
25. Herfs M, Yamamoto Y, Laury A, Wang X, Nucci MR, McLaughlin-Drubin ME, et
al. A discrete population of squamocolumnar junction cells implicated in the
pathogenesis of cervical cancer. Proc Natl Acad Sci U S A. 2012;109(26):10516–21.
26. Burd EM. Human papillomavirus and cervical cancer. Clin Microbiol Rev.
2003;16(1):1–17.
27. Ibeanu OA. Molecular pathogenesis of cervical cancer. Cancer Biol Ther.
2011;11(3):295–306.

39
28. Mwaka AD, Orach CG, Were EM, Lyratzopoulos G, Wabinga H, Roland M.
Awareness of cervical cancer risk factors and symptoms: Cross-sectional community
survey in post-conflict northern Uganda. Heal Expect. 2016;19(4):854–67.
29. Komite Penanggulangan Kanker Nasional. Panduan Penatalaksanaan Kanker
Serviks. 2015;
30. Suswono R, Kodrat H. Radioterapi: Dasar-dasar radioterapi Tatalaksana
Radioterapi Penyakit Kanker. 2nd ed. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia;
2017.

31. Klein EE, Mamalui-Hunter M, Low DA. Delivery of modulated electron beams
with conventional photon multi-leaf collimators. Phys Med Biol. 2009;54(2):327-
339. doi:10.1088/0031-9155/54/2/010

32. Chargari C, Deutsch E, Blanchard P, Gouy S, Martelli H, Guérin F, et al.


Brachytherapy: An overview for clinicians. CA Cancer J Clin. 2019;69(5):386–
401.

33. Mehta SR, Suhag V, Semwal M, Sharma N. Radiotherapy: Basic concepts and
recent advances. Med J Armed Forces India [Internet]. 2010;66(2):158–62.
Available from: http://dx.doi.org/10.1016/S0377-1237(10)80132-7

34. Fernet M, Hall J. Genetic biomarkers of therapeutic radiation sensitivity. DNA


Repair (Amst). 2004;3(8–9):1237–43

35. Klee M, Thranov I, Machin D. The patients’ perspective on physical symptoms


after radiotherapy for cervical cancer. Gynecol Oncol. 2000;76(1):14–23.

40

Anda mungkin juga menyukai