Disusun Oleh:
Drg. Fathia Agzarine Deandra
Drg. Ketherin
Drg. Mardikacandra Manggala Putra
Pembimbing:
Dr. Anggara Gilang Dwiputra, Sp. An
Dokter gigi, seperti profesional medis garis depan lainnya, diharapkan memiliki
pemahaman yang kuat tentang bantuan hidup dasar (BHD). Perawatan gigi tidak terkecuali
dapat terjadi kondisi serangan jantung mendadak di dalam ruang tindakan dokter gigi.
Kecemasan pasien, penggunaan anestesi lokal, penggunaan bahan gigi yang berpotensi
menyebabkan alergi, pasien dengan gangguan medis, dan kondisi mental pasien semuanya
telah dikaitkan dengan peningkatan risiko serangan jantung selama prosedur perawatan gigi.
Pasien yang memiliki respon buruk terhadap anestesi lokal dapat mengalami serangan
jantung dan membutuhkan perawatan medis segera jika mereka mengalami syok anafilaksis.
Dalam kasus henti jantung dan kurangnya denyut nadi, resusitasi kardiopulmonari
diperlukan, seperti yang direkomendasikan oleh The American Heart Association. Setelah
serangan jantung, perlu untuk memberikan CPR, kontak untuk meminta bantuan cepat
tanggap, menggunakan defibrillator, dan memberikan dukungan profesional lebih lanjut dan
perawatan lanjutan. Dokter gigi perlu memiliki pemahaman yang kuat tentang gagasan rantai
kelangsungan hidup, yang dapat dipelajari dalam lingkungan akademis. Agar pengetahuan
tentang bantuan hidup dasar menjadi efektif, perlu tidak hanya profesional medis tetapi juga
masyarakat luas untuk mengetahui dan sering melakukan pelatihan.2,3
Agar dokter gigi dapat memahami dan memberikan perawatan yang tepat dalam
keadaan darurat, mereka perlu memiliki akses ke pengetahuan tentang bantuan hidup dasar
dalam situasi seperti itu, itulah sebabnya makalah ini ditulis. Tujuan dari makalah ini juga
dapat berguna untuk membantu dokter gigi dalam memberikan tindakan CPR dengan lebih
baik dengan mengajari mereka tentang teknik ABC (jalan napas, pernapasan, dan kompresi).
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Saluran napas bagian bawah (saluran napas dibawah laring) dibagi menjadi pola yang
disebut dengan dichotomous branching atau bifurkasi, yang mana setiap saluran napas dibagi
menjadi dua saluran napas kecil. Setiap bifurkasi akan membentuk percabangan saluran
napas kecil lainnya (Gambar 2).2 Percabangan dari trakea dan bronkus membentuk suatu pola
pohon terbalik sehingga disebut dengan “tracheobronchial tree”. Trakea bercabang menjadi
bronkus kiri dan kanan, satu untuk tiap paru-paru (Gambar 3). Titik akhir dari trakea disebut
dengan carina. Seluruh saluran napas yang berjalan hingga sebelum alveoli, disebut dengan
sistem saluran napas konduksi, dimana tidak terdapat pertukaran gas sepanjang saluran
tersebut. Sistem saluran ini hanya mengantar udara mencapai alveoli, yang berperan sebagai
permukaan pertukaran gas dalam paru-paru.2 Paru-paru tersusun dari bronkus dan saluran
udara yang lebih kecil, alveoli, jaringan ikat, pembuluh darah, pembuluh limfa, dan syaraf.3
Gambar 2. Anatomi Saluran Napas Bagian Bawah
Apabila pemasangan endotracheal tube (ETT) terlalu jauh kedalam trakea saat proses
intubasi, maka ujung ETT akan cenderung mengarah ke bronkus kanan dibadingkan bronkus
kiri. Jika ini terjadi, maka paru-paru kiri tidak bisa terventilasi. Hal ini dapat dideteksi dengan
menggunakan stetoskop dan membandingkan intensitas suara napas antara sisi kiri dan
kanan, sambil dilakukan ventilasi secara manal pada paru-paru.2
Pada sistem sirkulasi, darah dikeluarkan dari ventrikel kiri melalui arteri yang besar,
yaitu aorta (diameter 2-4cm). Seluruh arteri pada sistem sirkulasi merupakan percabangan
dari aorta. Arteri kecil bercabang menjadi arterioles, yang kemudian bercabang lagi menjadi
pembuluh darah dengan diameter yang sangat kecil, yaitu kapiler. Kemudian, darah akan
keluar dari kapiler dan menuju jantung melalui venula. 4
Jantung terletak ditengah rongga dada dan ditangguhkan oleh perlekatannya pada
pembuluh darah besar di dalam kantung jaringan fibrosa yang disebut perikardium. Terdapat
sejumlah kecil cairan di dalam kantung perikardium tersebut yang dikenal dengan cairan
perikardial. Cairan ini berperan untuk melumasi permukaan jantung dan memungkinkan
jantung untuk bergerak bebas selama berfungsi kontraksi dan relaksasi.4 Dinding jantung
terdiri dari tiga lapisan; epicardium, myocardium, serta endocardium. Jantung terbagi
menjadi dua atrium dan dua ventrikel.5
Saat kontraksi ventrikel terjadi, ventrikel kiri mengalami kenaikan tekanan internal
dari 0 hingga mencapai 120 mmHg. Oleh karena itu, katup aorta akan terbuka dan darah
dialirkan ke dalam aorta. Periode kontraksi ventrikel ini disebut dengan sistole. Setelah itu,
katup aorta akan tertutup kembali dan ventrikel mengalami relaksasi sehingga dapat diisi
kembali oleh darah yang dialirkan melalui atrium kiri via katup mitral. Periode relaksasi ini
disebut dengan diastole.6 Ketika atrium berkontraksi, ventrikel akan relaksasi, begitupun
sebaliknya.5
Darah yang rendah akan oksigen dan tinggi karbondioksida akan akan masuk ke
ventrikel kanan jantung, dan dipompa ke paru-paru. Setelah dilakukan oksigenasi di paru,
serta pembuangan CO2, darah dialirkan kembali ke jantung melalui atrium kiri kemudian ke
ventrikel kiri dan dipompa ke seluruh tubuh melalui siklus sistem sirkulasi sistemik (Gambar
4). 4,5,6
7
Gambar 4. Jalur Aliran Darah
Pada tahun 2010, AHA merubah sekuens lama CPR yang awalnya ABCD (Airway,
Breathing, Circulation, Defibrilation) diubah menjadi CAB (Compression, Airway,
Breathing) (Tabel 1). Perubahan ini dimaksudkan agar pasien segera menerima kompresi
dada, dan meminimalisir keterlambatan pada ventilasi.
BHD pada orang dewasa dibedakan menjadi pasien dengan serangan jantung di dalam
rumah sakit atau in hospital cardiac arrest (IHCA) dan diluar rumah sakit atau out hospital
cardiac arrest (OHCA). Penanganan BHD pada pasien OHCA tergantung pada respon dari
lingkungan sekitar pasien seperti pengetahuan akan serangan jantung, menghubungi bantuan
tenaga kegawatandaruratan medis, serta melakukan kompresi dada. Penanganan pasien IHCA
akan lebih cepat dibandingkan dengan OHCA memberikan angka keberhasilan yang lebih
tinggi. AHA membuat suatu chain of survival atau rantai keberlangsungan hidup untuk
OHCA dan IHCA seperti pada gambar 6.
Bantuan hidup dasar pada anak atau sering disebut Pediatric Basic Life Support
(BLS) merupakan hal yang penting untuk kelangsungan dan kualitas hidup anak.
Penatalaksaan bantuan hidup dasar pada anak dapat dilakukan di dalam rumah sakit maupun
di luar rumah sakit. Sebuah studi mengatakan, terdapat 20.000 bayi dan anak-anak
mengalami henti jantung tiap tahunnya di Amerika. Kelangsungan hidup pada pediatrik
setelah IHCA pada umumnya baik, akan tetapi setela OHCA kondisinya memburuk terutama
pada bayi. Penyebab henti jantung pada pediatrik yang dapat dipulihkan adalah hypovolemia,
hipoksia, ion hidrogen (asidosis), hipoglikemia, hipokalemia, hiperkalemia, hipotermia, tensi
penumotoraks, tamponade, jantung, toksin, thrombosis, paru dan thrombosis coroner.8
Pediatric Chain Survival berdasarkan American Heart Association tahun 2010 meliputi
tindakan preventif, resusitasi jantung paru (RJP) segera dengan mengutamakan pijat jantung
(teknik C-A-B atau Circulation-Airway- Breathing), mengaktifkan akses emergensi atau
emergency medical system (EMS), bantuan hidup lanjut, serta melakukan perawatan pasca
henti jantung. Pediatric chain survival ini dapat dilihat pada gambar 8.
Gambar 8. Rantai Keberlangsungan Hidup AHA untuk IHCA dan OHCA Pediatrik
Gambar 9. Algoritma Henti Jantung Pediatrik
Sebagian besar kasus henti jantung pada anak disebabkan oleh hipoksia. Pada
anak jarang dijumpai gangguan primer jantung yang dapat menyebabkan henti jantung
mendadak. Hal ini menyebabkan teknik A-B-C masih banyak dikerjakan pada pasien
anak, meskipun proses Airway-Breathing dilakukan dalam waktu sesingkat mungkin.
AHA menyatakan bahwa bila pijat jantung terlambat dilakukan, angka keberhasilkan
resusitasi menjadi lebih kecil.9 Kualitas CPR pada pediatrik adalah tekanan kuat yaitu
≥ 1/3 diameter anteroposterior dada dengan kecepatan 100-120 kali/ menit dan
dipastikan rekoil dada selesai. Interupsi selama kompresi harus diminimalisir dan
apabila tidak ada saluran napas lanjutan, rasio ventilasi-kompresi adalah 15:2,
sementara bila ada saluran napas lanjutan, napas diberikan setiap 2-3 detik. Energi
syok untuk defibrilasi pertama sebesar 2 J/kg, syok kedua 4J/kg, dan syok seterusnya
≥ 4 J/kg dengan maksimum adalah 10 J/kg atau dosis dewasa.10
Dosis terapi obat IV/IO epinefrin sebesar 0.01 mg/kg (0.1 mL/kg dari
konsentrasi 0.1 mg/mL) dengan dosis maksimal 1 mg diulang setiap 3-5 menit. Bila
tidak ada akses IO/IV, dapat diberikan dosis endotrakeal sebesar 0.1 mg/kg (0.1
mL/kg dari konsentrasi 1 mg/mL). Dosis terapi obat IV/IO Amiodarone yaitu sebesar
5 mg/kg bolus selama henti jantung dan dapat diulang hingga 3 dosis total untuk VF
refraktori/ VT tanpa denyut atau dosis IV/IO lidocaine dosis awal sebesar 1 mg/kg.11
Pada kondisi bradikardia dan takikardia pada pasien pediatrik, terdapat algoritma yang
dapat digunakan sebagai kaidah sebagai berikut:
Beberapa perbedaan penatalaksanaan BHD antara infant dan anak-anak adalah pada
posisi kepala infant dan teknik CPR yang digunakan.12,13 Posisi kepala pada infant yang
dianjurkan adalah posisi netral.13 Teknik CPR untuk infant ada dua, pertama adalah dua jari
pada sternum (gambar 8), dimana teknik ini lebih direkomendasikan jika hanya terdapat satu
penyelamat. Kedua adalah teknik dua ibu jari (gambar 9) melingkar di bawah garis tengah
dada, teknik ini direkomendasikan jika terdapat dua orang penyelamat. Sebuah penelitian
pada manekin mengatakan bahwa teknik dua ibu jari melingkar memberikan kompresi dada
yang rendah, tingkat kelelahan yang tinggi pada penyelamat dan recoil dada yang tidak
sempurna terutama jika hanya ada satu penyelamat. Pada penelitian manekin lainnya
melaporkan teknik dua jari pada sternum memberikan kedalaman kompresi yang lebih baik,
tekanan kompresi yang tepat, dan tingkat kelelahan yang rendah bagi penyelamat, akan tetapi
sejauh ini belum terdapat parameter klinis yang dapat digunakan untuk menentukan teknik
CPR yang terbaik bagi infant.12
Kegawatdaruratan di bidang medis juga dapat dialami dokter gigi sebagai salah satu
tenaga medis yang bertugas. Penelitian sebelumnya menemukan bahwa kegawatdaruratan
medis pernah dialami paling tidak satu kali oleh dua pertiga dokter gigi dalam rentang waktu
penelitian (12 bulan). Bantuan hidup dasar sebagai penanganan kegawatdaruratan medis
14
harus dikuasai oleh seluruh tenaga medis termasuk dokter gigi. Salah satu jenis
kegawatdaruratan yang dapat ditemui dokter gigi adalah respon hipersensitivitas terhadap
anestesi lokal berupa syok anafilaktik. Lidocaine adalah obat anestesi lokal yang diberikan
secara lokal (topikal maupun parenteral) dan dalam kadar yang cukup dapat menghambat
hantaran impuls pada saraf yang ditargetkan. Obat anestesi lokal dari golongan ester dapat
mcnimbulkan efek samping berupa: dermatitis alergik, serangan asma ataupun reaksi
anafilaktik yang fatal. Reaksi alergi ini diduga terjadi karena hasil hidrolisis golongan ester
menjadi Para Amino Bercoic Acid (PABA). PABA seringkali dikaitkan dengan inisiator
respon alergi terhadap obat anestesi.15
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
Daftar Pustaka
1. Patwa, A., & Shah, A. (2015). Anatomy and physiology of respiratory system relevant
to anaesthesia. Indian journal of anaesthesia, 59(9), 533-541.
2. W B. Respiratory Care Anatomy and Physiology: Foundations for Clinical Practice.
Elsevier; 2018.
3. Patel, Dipal & Sharma, Komal & Chauhan, Chetan Singh & Jadon, Gunjan. (2013).
An Overview on Respiratory System.
4. Iaizzo P. Handbook of cardiac anatomy, physiology, and devices. Humana Press Inc;
2015.
5. Moini, J. (2015). Anatomy and physiology for health professionals. Jones & Bartlett
Publishers.
6. Aaronson, P. I., Ward, J. P. T., & Connolly MJ. The cardiovascular system at a glance.
5th ed. Wiley Blackwell.; 2020.
7. Chapter 5: Cardiovascular System. (n.d.). Retrieved September 16, 2022, from
https://www.pearsonhighered.com/assets/samplechapter/0/1/3/4/0134760611.pdf
8. Berg RA, Hemphill R, Abella BS, Aufderheide TP, Cave DM, Hazinski MF, Lerner
EB, Rea TD, Sayre MR, Swor RA. Part 5: Adult basic life support: 2010 American
Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency
Cardiovascular Care. Circulation. 2010;122(suppl 3):S685–S705.
9. Olasveengen TM, Semeraro F, Ristagno G, Castren M, Handley A, Kuzovlev A, et al.
European Resuscitation Council Guidelines 2021: Basic Life Support. Resuscitation
[Internet]. 2021;161:98–114. Available from:
https://doi.org/10.1016/j.resuscitation.2021.02.009
10. Yafen Liang, Ala Nozari, Kumar SR. Cardiopulmonary Resuscitation and Advanced
Cardiac Life Support. In: Micahel A. Gropper, editor. Miller’s Anesthesia. 9th ed.
Philadelphia: Elsevier; 2020.
11. Topjian AA, Raymond TT, Atkins D, Chan M, Duff JP, Joyner BL, et al. Part 4:
Pediatric Basic and Advanced Life Support: 2020 American Heart Association
Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care.
Vol. 142, Circulation. 2020. 469–523 p.
12. Van de Voorde P, Turner NM, Djakow J, de Lucas N, Martinez-Mejias A, Biarent D, et
al. European Resuscitation Council Guidelines 2021: Paediatric Life Support.
Resuscitation [Internet]. 2021;161:327–87. Available from:
https://doi.org/10.1016/j.resuscitation.2021.02.015
13. Ferretti J, Di Pietro L, De Maria C. Open-source automated external defibrillator.
HardwareX [Internet]. 2017;2:61–70. Available from:
https://doi.org/10.1016/j.ohx.2017.09.001
14. Alotaibi O, Alamri F, Almufleh L, Alsougi W. Basic life support: Knowledge and
attitude among dental students and Staff in the College of Dentistry, King Saud
University. Saudi J Dent Res [Internet]. 2016;7(1):51–6. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.sjdr.2015.06.001
15. Martina Nahak, M., 2022. SHOCK ANAFILAKSIS AKIBAT ANESTESI LOKAL
MENGGUNAKAN LIDOCAINE - Repository Politeknik Kesehatan Denpasar. [online]
Repository.poltekkes-denpasar.ac.id. Available at:
<http://repository.poltekkes-denpasar.ac.id/3808/>.
16. Assembly G. FDI POLICY STATEMENT Basic Life Support ( BLS ) and
Cardiopulmonary Resuscitation. 2021;(September):27–9.