BLOK KARDIOVASKULAR
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
Kelompok: 11C
TUTOR : dr. Nurhikmawati, M.Kes,Sp.JP. FIHA
dr. Andi Sitti Fahirah A, M.Kes
Disusun Oleh :
11020220283 SYALIKA ANANTA BAHARUDDIN
11020220291 DEA PUTRI RAMADHANI
11020220299 ANDI NUR HIKMA
11020220313 RIFQI ADANI
11020220319 DEA ANANDA FIDELA
11020220321 AZWAR SALEH
11020220356 NANDA AULIA
11020220372 FASHYA RESKY BUDIRMAN
11020220375 A.MUH WAIS AL-QARNI AM
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya
sehingga laporan tutorial ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Aamiin. Kami
menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan modul ini. Oleh karena itu,
kami sangat mengharapkan kritik dan saran demi perbaikan dan kesempurnaan modul
ini.
Kami mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu
proses penyelesain modul ini, terutama kepada tutor kami yaitu : dr. Nurhikmawati,
M.Kes,Sp.JP.FIHA, dr. Andi Sitti Fahirah A, M.Kes yang telah membimbing kami
dalam pembuatan modul ini. Semoga modul ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Semoga Allah SWT dapat memberikan balasan setimpal atas segala kebaikan dan
pengorbanan dengan limpahan rahmat dari-Nya. Aamiin ya Robbal Aa’lamiin.
KASUS
SKENARIO 1 :
Seorang laki-laki berusia 40 tahun datang ke Rumah Sakit dengan keluhan sesak
napas yang tiba-tiba dirasakan 1 jam sebelum masuk Rumah Sakit. Sesak disertai nyeri dada
hebat disertai keringat dingin. Riwayat pekerjaan pasien baru adalah supir kendaraan antar
provinsi.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan denyut jantung 110x/menit, S : 37°C, denyut nadi :
130 x/menit, SaO2 : 85%. Pemeriksaan EKG : sinus takikardi, 115 x/ menit, CRBBB, RVH.
Pemeriksaan laboratorium D-dimer diapatkan hasil 5297 𝜇g/dl.
KATA SULIT:
2. D-dimer : D-dimer adalah produk sampingan dari proses pembekuan dan pemecahan
darah yang dapat diukur melalui analisis sampel darah. D-dimer dilepaskan ketika
bekuan darah mulai terurai.2
KATA KUNCI:
1. Seorang laki laki berusia 40 tahun
2. Keluhan sesak napas yang tiba-tiba dirasakan 1 jam sebelum masuk Rumah Sakit
3. Sesak disertai nyeri dada hebat disertai keringat dingin
4. Riwayat pekerjaan pasien baru adalah supir kendaraan antar provinsi
5. Pemeriksaan fisik di dapatkan denyut jantung 110x/menit (Takikardi), S : 37O C
(Normal), denyut nadi : 130x/menit (takikardi), SaO2 : 85% (menurun).
6. Pemeriksaan EKG: sinus takikardi, 115x/menit, CRBBB, RVH.
7. Pemeriksaan laboratorium D-dimer didapatkan hasil 5297 𝜇g/dl (meningkat).
PERTANYAAN :
Anatomi jantung
Jantung adalah organ berupa otot, berbentuk kerucut, berongga dan dengan basisnya
di atas dan puncaknya di bawah. Apeks nya (puncak) miring ke sebelah kiri. Jantung
berada di dalam thorak, antara kedua paru-paru dan dibelakang sternum, dan lebih
menghadap ke kiri daripada ke kanan. Ukuran jantung kira-kira sebesar kepalan
tangan. Jantung dewasa beratnya antara 220-260 gram. Jantung terbagi oleh sebuah
septum atau sekat menjadi dua belah, yaitu kiri dan kanan.
Jantung merupakan suatu organ otot berongga yang terletak di pusat dada. Bagian
kanan dan kiri jantung masing masing memiliki ruang sebelah atas (atrium) yang
mengumpulkan darah dan ruang sebelah bawah (ventrikel) yang mengeluarkan darah.
Agar darah hanya mengalir dalam satu arah, maka ventrikel memiliki satu katup pada
jalan masuk dan satu katup pada jalan keluar. Fungsi utama jantung adalah
menyediakan oksigen ke seluruh tubuh dan membersihkan tubuh dari hasil
metabolism (karbondioksida). Jantung melaksanakan fungsi tersebut dengan
mengumpulkan darah yang kekurangan oksigen dari seluruh tubuh dan memompanya
ke dalam paru- paru, dimana darah akan mengambil oksigen dan membuang
karbondioksida. Jantung kemudian mengumpulkan darah yang kaya oksigen dari
paru-paru dan memompanya ke jaringan di seluruh tubuh.
Lapisan Pembungkus Jantung
Perikardium
Jantung di bungkus oleh sebuah lapisan yang disebut lapisan perikardium, di mana
lapisan perikardium ini di bagi menjadi 3 lapisan yaitu :
1. Lapisan fibrosa, yaitu lapisan paling luar pembungkus jantung yang
melindungi jantung ketika jantung mengalami overdistention. Lapisan fibrosa
bersifat sangat keras dan bersentuhan langsung dengan bagian dinding dalam
sternum rongga thorax, disamping itu lapisan fibrosa ini termasuk penghubung
antara jaringan, khususnya pembuluh darah besar yang menghubungkan
dengan lapisan ini (exp: vena cava, aorta, pulmonal arteri dan vena pulmonal).
2. Lapisan parietal, yaitu bagian dalam dari dinding lapisan fibrosa
3. Lapisan Visceral, lapisan perikardium yang bersentuhan dengan lapisan luar
dari otot jantung atau epikardium.
Diantara lapisan pericardium parietal dan lapisan perikardium visceral terdapat ruang
atau space yang berisi pelumas atau cairan serosa atau yang disebut dengan cairan
perikardium. Cairan perikardium berfungsi untuk melindungi dari gesekan-gesekan
yang berlebihan saat jantung berdenyut atau berkontraksi. Banyaknya cairan
perikardium ini antara 15 – 50 ml, dan tidak boleh kurang atau lebih karena akan
mempengaruhi fungsi kerja jantung. Lapisan otot jantung terbagi menjadi 3 yaitu :
1. Epikardium,yaitu bagian luar otot jantung atau pericardium visceral
2. Miokardium, yaitu jaringan utama otot jantung yang bertanggung jawab atas
kemampuan kontraksi jantung
3. Endokardium, yaitu lapisan tipis bagian dalam otot jantung atau lapisan tipis
endotel sel yang berhubungan langsung dengan darah dan bersifat sangat licin
untuk aliran darah, seperti halnya pada sel-sel endotel pada pembuluh darah
lainnya.3
Anatomi Paru-paru (Pulmo)
Paru-paru terletak di dalam rongga dada bagian atas, di bagian samping dibatasi oleh
otot dan rusuk dan di bagian bawah dibatasi oleh diafragma yang berotot kuat. Letak
paru-paru di rongga dada datarnya menghadap ke tengah rongga dada / kavum
mediastinum.Pada bagian tengah terdapat tampuk paru-paru atau hilus. Pada
mediastinum depan terletak jantung. Paru- paru ada dua bagian yaitu paru-paru kanan
(pulmo dekster) yang terdiri atas 3 lobus ( lobus pulmo dekstra superior, lobus pulmo
dekstra media, lobus pulmo dekstra inferior) dan paru-paru kiri (pulmo sinister) yang
terdiri atas 2 lobus ( lobus sinistra superior dan lobus sinistra inferior). Tiap-tiap lobus
terdiri dari belahan yang lebih kecil yang bernama segmen. Paru-paru kiri memiliki
10 segmen yaitu :
1. Pulmo Sinister, lobus superior, yaitu :
a) Segmentum Apicoposterior
b) Segmentum Anterius
c) Segmentum Lingulare Superius
d) Segmentum Lingulare Inferius
2. Pulmo Sinister, lobus inferior, yaitu :
a) Segmentum Superius
b) Segmentum Basale Mediale
c) Segmentum Basale Anterius
d) Segmentum Basale Laterale
e) Segmentum Basale Posterius
Paru-paru dibungkus oleh dua selaput yang tipis, disebut pleura. Selaput bagian dalam
yang langsung menyelaputi paru-paru disebut pleura dalam (pleura visceralis) dan
selaput yang menyelaputi rongga dada yang bersebelahan dengan tulang rusuk disebut
pleura luar (pleura parietalis). Antara kedua lapisan ini terdapat rongga kavum yang
disebut kavum pleura. Pada keadaan normal, kavum pleura ini hampa udara. Paru-
paru tersusun oleh bronkiolus, alveolus, jaringan elastik, dan pembuluh darah.
Bronkiolus tidak mempunyai tulang rawan,tetapi ronga bronkus masih bersilia dan
dibagian ujungnya mempunyai epitelium berbentuk kubus bersilia. Setiap bronkiolus
terminalis bercabang-cabang lagi menjadi bronkiolus respirasi, kemudian menjadi
duktus alveolaris.Pada dinding duktus alveolaris mangandung gelembung-gelembung
yang disebut alveolus. Paru-paru merupakan sebuah alat tubuh yang sebagian besar
terdiri atas gelembung- gelembung kecil ( alveoli ). Alveolus yaitu tempat pertukaran
gas assinus terdiri dari bronkhiolus dan respiratorius yang terkadang memiliki
kantong udara kecil atau alveoli pada dindingnya.
Ductus alveolaris seluruhnya dibatasi oleh alveoilis dan sakus alveolaris terminalis
merupakan akhir paru-paru, asinus atau.kadang disebut lobolus primer memiliki
tangan kira-kira 0,5 s/d 1,0 cm. Terdapat sekitar 20 kali percabangan mulai dari
trachea sampai Sakus Alveolaris. Alveolus dipisahkan oleh dinding yang dinamakan
pori-pori kohn. Setiap arteria pulmonalis, membawa darah deoksigenasi dari ventrikel
kanan jantung, memecah bersama dengan setiap bronkus menjadi cabang-cabang
untuk lobus, segmen dan lobules. Cabang-cabang terminal berakhir dalam sebuah
jaringan kapiler pada permukaan setiap alveolus.Jaringan kapiler ini mengalir ke
dalam vena yang secara progresif makin besar, yang akhirnya membentuk vena
pulmonalis, dua pada setiap sisi, yang dilalui oleh darah yang teroksigenasi ke dalam
atrium kiri jantung.Artheria bronchiale yang lebih kecil dari aorta menyuplai jaringan
paru dengan darah yang teoksigenasi.4
PE yang tidak stabil secara hemodinamik (sebelumnya disebut PE masif atau berisiko
tinggi) adalah PE yang menghasilkan hipotensi (seperti yang didefinisikan oleh
tekanan darah sistolik (SBP) kurang dari 90 mmHg atau penurunan SBP 40 mm Hg
atau lebih dari awal atau hipotensi yang membutuhkan vasopressor atau inotropik),
istilah lama PE "masif" tidak menggambarkan ukuran PE tetapi menggambarkan efek
hemodinamiknya. Pasien dengan PE hemodinamik tidak stabil lebih mungkin
meninggal karena syok obstruktif (yaitu, gagal ventrikel kanan berat).
PE yang stabil secara hemodinamik adalah spektrum mulai dari PE kecil, gejala
ringan atau asimptomatik (PE risiko rendah atau PE kecil) hingga PE, yang
menyebabkan hipotensi ringan yang stabil sebagai respons terhadap terapi cairan, atau
mereka yang hadir dengan disfungsi ventrikel kanan (PE submasif atau risiko
menengah), tetapi stabil secara hemodinamik.6
2. Merokok
Risiko penyakit jantung koroner pada perokok 2-4 kali lebih besar dari
pada yang bukan perokok. Kandungan zat racun dalam rokok antara lain tar,
nikotin dan karbon monoksida. Rokok akan menyebabkan penurunan kadar
oksigen ke jantung, peningkatan tekanan darah dan denyut nadi, penurunan kadar
kolesterol- HDL (kolesterol baik), peningkatan penggumpalan darah, dan
kerusakan endotel pembuluh darah koroner.
3. Diabetes Melitus
Diabetes Melitus (DM) adalah kumpulan gejala akibat peningkatan kadar
gula darah (glukosa) akibat kekurangan hormon insulin baik absolut maupun
relatif. Gejala khas DM antara lain poliuria (sering buang air kecil), polidipsi
(banyak minum), polifagia(banyak makan), dan berat badan menurun tanpa sebab
yang jelas. Gejala tidak khas DM, antara lain kesemutan, gatal didaeran kemaluan,
keputihan, infeksi yang sulit sembuh, bisul yang hilang timbul, penglihatan kabur,
cepat lelah, mudah mengantuk, gangguan ereksi, dan lain-lain.
7. Pola Makan
Dewasa ini, perubahan pola makan menjurus ke sajian siap santap yang tidak
sehat dan tidak seimbang, karena mengandung kalori, lemak, protein, dan garam
tinggi, tetapi rendah serat pangan (dietary fiber). Selanjutnya pelajari pembahasan
tentang Peranan Pola Makan terhadap Risiko Penyakit Jantung.
8. Stres
Stres adalah reaksi tubuh berupa serangkaian respons yang bertujuan untuk
mengurangi dampak. Stresor adalah pengalaman traumatik yang luar biasa yang
dapat meliputi ancaman serius terhadap keamanan atau integritas fisik dari
individu atau orang-orang yang dicintainya. Misalnya bencana alam katastrofik,
kecelakaan, peperangan, serangan tindakan kriminal, perkosaan, atau perubahan
mendadak yang tidak biasa dan perubahan yang mengancam kedudukan sosial
dan/ atau jaringan relasi dari yang bersangkutan, seperti kedukaan yang bertubi-
tubi atau kebakaran. Risiko terjadinya gangguan ini makin bertambah apabila ada
kelelahan fisik atau faktor organik lain, misalnya usia lanjut. Selanjutnya pelajari
tentang Stress, Gejala, dan Pengaruh Buruk bagi Kesehatan.7
4. Bagaimana patomekanisme keluhan yang dialami oleh pasien pada skenario ?
1) Patomekanisme Sesak
Thrombus dapat berasal dari arteri dan vena. Thrombus arteri terjadi
karenarusaknya dinding pembuluh arteri (lapisan intima). Thrombus vena terjadi
karena aliran darah vena yang lambat, selain itu dapat pula karena pembekuan darah
dalam vena apabilaterjadi kerusakan endotel vena. Thrombus vena dapat juga berasal
dari pecahnya thrombusbesar yang terbawa aliran vena. Biasanya thrombus berisi
partikel-partikel fibrin(terbanyak), eritrosit dan trombosit. Ukurannya bervariasi,
mulai dari beberapa millimetersampai sebesar lumen venanya sendiri Adanya
perlambatan aliran darah vena (stasis) akan makin mempercepatterbentuknya
thrombus yang makin besar. Adanya kerusakan dinding pembuluh darah
vena(misalnya operasi rekonstruksi vena femoralis) jarang menimbulkan thrombus
vena.Thrombus yang lepas ikut aliran darah vena ke jantung kanan dan sesudah
mencapaisirkulasi pulmonal tersangkut pada beberapa cabang arteri pulmonalis, dapat
menimbulkanobstruksi total atau sebagian dan memberikan akibat lebih lanjut.
Thrombus pada vena dalam tidak seluruhnya akan lepas dan menjadi tromboemboli. 8
Sesak napas terjadi karena kongesti vena pulmonalis. Adanya tekanan pada
atrium kiri akan menimbulkan tekanan-tekanan vena pulmonalis, yang normalnya
berkisar 5 mmHg. Jika meningkat, seperti pada penyakit katub mitral dan aorta atau
disfungsi ventrikel kiri, vena pulmonalis akan meregang dan dinding bronkus akan
terjepit dan mengalami edema, menyebabkan batuk iritatif non produktif dan mengi.
Jika tekanan vena pulmonalis naik lebih lanjut dan melebihi tekanan onkotik plasma
(sekitar 25 mmHg, jaringan paru menjadi lebih kaku karena edema intertisial
(peningkatan kerja otot pernafasan untuk mengembangkan paru dan timbul sesak
nafas), transudat akan terkumpul dalam alveoli yang mengakibatkan edema paru. Jika
keadaan berlanjut, akan terjadi produksi sputum yang berbuih, yang berwarna merah
akibat pecahnya pembuluh darah halus bronkus yang membawa darah ke dalam
cairan edema.8
Sesak napas pada jantung akan memburuk dalam posisi berbaring terlentang
(ortopnu), dan dapat membangunkan pasien pada dini hari (ini disertai dengan
keringat) dan berkurangnya pada saat duduk tegak. Aliran balik vena sistemik ke
jantung kanan meningkat pada posisi setengah duduk, terutama pada dini hari ketika
volume darah paling tinggi, menyebabkan aliran darah paru meningkat dan disertai
pula peningkatan lebih lanjut ketahanan pada pulmonalis. Teteapi jika kontraksi
ventrikel kanan sangat terganggu, seperti pada kardiomiopati dilatasi atau infark
ventrikel kanan, ortopnu dapat berkurang karena jantung kanan dapat meningkatkan
aliran darah paru sebagai respon terhadap peningkatan aliran balik vena. 8
5. Apa diagnosis utama dan diagnosis banding yang sesuai dengan skenario ?
1) Emboli Paru
a. Definisi
Emboli paru (PE) terjadi ketika ada gangguan aliran darah di arteri pulmonalis
atau cabang-cabangnya oleh trombus yang berasal dari tempat lain. Pada deep
vein thrombosis (DVT), trombus berkembang di dalam vena dalam, paling sering
di ekstremitas bawah. PE biasanya terjadi ketika sebagian dari trombusini pecah
dan memasukisirkulasi paru.
b. Etiologi
Sebagian besar emboli paru berasal dari DVT ekstremitas bawah. Oleh karena
itu, faktor risiko emboli paru (PE) sama dengan faktor risiko DVT. Trias Virchow
tentang hiperkoagulabilitas, stasis vena, dan cedera endotel memberikan
pemahaman tentang faktor risiko ini. Dapat diklasifikasikan sebagai genetik dan
didapat. Faktor risiko yang didapat termasukimobilisasi untuk waktu yang lama
(tirah baring lebih dari tiga hari, siapa saja yang bepergian lebih dari 4 jam
obesitas, merokok, dll.
c. Epidemiologi
Insiden emboli paru (PE) berkisar antara 39 hingga 115 per 100.000 penduduk
pertahun; untuk DVT, insidennya berkisar antara 53 hingga 162 per 100.000
orang. Setelah penyakit arteri koroner dan stroke, emboli paru akut adalah jenis
penyakit kardiovaskular ketiga yang paling umum. InsidenPE tercatat lebih
banyak pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan.
d. Patofisiologi
Emboli paru terjadi ketika gumpalan pecah dan menjadi emboli ke dalam
sirkulasi paru. Emboli paru biasanya multipel, dengan lobus bawah lebih sering
terlibat daripada atas, dan keterlibatan paru bilateral lebih sering terjadi. Emboli
besar cenderung menyumbat arteri pulmonalis utama, menyebabkan embolus
sadel dengan konsekuensi kardiovaskular yang merusak. Sebaliknya, emboli
berukuran lebih kecil memblokir arteri perifer dan dapat menyebabkan infark
paru, dimanifestasikan oleh perdarahan intra-alveolar. Infark paru terjadi pada
sekitar 10% pasien.
Pada PE, resistensi vaskular paru (PVR) meningkat karena obstruksi mekanis dari
dasar vaskular dengan trombus dan vasokonstriksi hipoksia. Tekanan arteri
pulmonal (PAP) meningkat jika tromboemboli menyumbat lebih dari 30% sampai
50% dari total luas penampang arteri pulmonalis. Peningkatan PVR meningkatkan
afterload ventrikel kanan, yang menghambat aliran keluar ventrikel kanan, yang
pada gilirannya menyebabkan dilatasi ventrikel kanan dan pendataran atau
pembengkokan septum interventrikular. Desinkronisasi ventrikel dapat
ditingkatkan dengan perkembangan blok cabang berkas kanan. Penurunan aliran
RV keluar dan pelebaran RV bersamaan mengurangi pengisian ventrikel kiri,
sehingga mengganggu curah jantung. Akibatnya, pengisian ventrikel kiri
berkurang pada awal diastol, dan ini menyebabkan penurunan curah jantung (CO),
dan menyebabkan hipotensi sistemik dan ketidakstabilan hemodinamik.
Kegagalan ventrikel kanan (RV) karena kelebihan tekanan akut adalah penyebab
utama kematian pada PE berat. Mengingat pertimbangan patofisiologi di atas,
gejala klinis, dan tanda-tanda kegagalan RV nyata dan ketidakstabilan
hemodinamik, merupakan indikasi risiko tinggi kematian dini.10
Terlepas dari gejala PE, sangat penting untuk mencari faktor risikotromboemboli
vena (VTE) untuk menentukan kemungkinan klinis PE. Pasien dengan PE
mungkin memiliki takipnea dantakikardia, yang merupakan temuan umum tetapi
tidak spesifik. Temuan pemeriksaan lain termasuk pembengkakan betis,
penurunan suara napas, tanda-tanda hipertensi pulmonal seperti peningkatan vena
leher.
f. Pemeriksaan Penunjang
1) Elektrokardiografi (EKG)
Kelainan EKG, pada pasien dengan dugaan PE, tidak spesifik. Temuan
EKG yang paling umum pada PE adalah takikardia dan segmen STnonspesifik
dan perubahan gelombang T, pola S1Q3T3, regangan ventrikel kanan, dan
blok cabang berkas kanan baru yang tidak lengkap jarang terjadi.
2) Troponin
Kadar troponin I dan T serum bermanfaat secara prognostik tetapi tidak
secara diagnostik. Sebagai penanda disfungsi ventrikel kanan, kadar troponin
meningkat pada 30 hingga 50 persen pasien dengan PE sedang hingga besar
dan terkait dengan perburukan klinis dan kematian setelah PE
3) Ekokardiografi
Ekokardiografi transtorakal sangat jarang dapat mendiagnosis PE secara
definitive ketika trombus terlihat di arteri pulmonalis proksimal. Diagnosis PE
pada ekokardiografi didukung oleh adanya bekuan darah di jantung kanan atau
regangan jantung kanan baru,terutama pada pasien yang tidak stabil secara
hemodinamik dengan dugaan PE dimana ekokardiogrammungkin berguna
untuk menegakkan diagnosis yang mungkin dan membenarkan penggunaan
darurat terapi trombolitik.
Dilatasi RV terlihat pada 25% atau lebih pasien dengan PE pada echo dan
bergun untuk stratifikasi risiko penyakit. Temuan ekokardiografi yang lebih
spesifik memberikan nilai prediksi positif yang tinggi untuk PE,bahkan
dengan adanya penyakit kardiorespirasi yang sudah ada sebelumnya. Ini
termasuk, kombinasi waktu percepatan ejeksi paru (diukurdalam saluran aliran
keluar RV) kurang dari 60 ms dengan gradien puncak katup trikuspid sistolik
kurang dari 60 mmHg (tanda '60/60'), atau tanda McConnell (dengan
kontraktilitas yang tertekan dinding bebas RV dibandingkan dengan puncak
RV), menunjukkan PE. Rasio diameter RV/LV 1,0 atau lebih dan perjalanan
sistolik bidang annular trikuspid (TAPSE) kurang dari 16 mm adalah temuan
yang paling sering dilaporkan berhubungan dengan prognosis yang tidak
menguntungkan.
g. Penatalaksanaan
1) Tindakan Pendukung
Pendekatan awal untuk pasien dengan emboli paru (PE) harus fokus pada
tindakan suportif. Oksigen tambahan diindikasikan pada pasien dengan
saturasi oksigen <90%. Ventilasi mekanis (non-invasif atau invasif) harus
digunakan pada pasien yang tidak stabil, tetapi penyedia harus memperhatikan
efek hemodinamik yang merugikan dari ventilasi mekanis. Kegagalan RV akut
adalah penyebab utama kematian pada pasien dengan PE yang tidak stabil
secara hemodinamik. Resusitasi volume yang agresif pada pasien tersebut
dapat menyebabkan RV berlebihan, memperburuk interdependensi ventrikel,
dan mengurangi curah jantung (CO). Oleh karena itu, pada pasien dengan PE
masif, resusitasi cairan intravena harus dicoba hanya pada pasien dengan
deplesi IVC/intravaskular yang dapat dilipat. Vasopresor mungkin diperlukan
untuk dukungan hemodinamik. Perangkat pendukung cardiopulmonary
mekanik, seperti oksigenasi membrane ekstrakorporeal (ECMO), dapat
digunakan pada pasien hemodinamik tidak stabil dengan emboli paru.
2) Antikoagulasi
Sangat penting untuk diingat bahwa andalan pengobatan PE akut adalah
antikoagulasi. Penting untuk dicatat bahwa baik heparin berat molekul rendah
(LMWH) atau fondaparinux atau heparin tak terfraksi (UFH) dapat digunakan
untuk antikoagulasi pada PE akut. LMWH dan fondaparinux lebih disukai
karena memiliki insiden yang lebih kecil dalam menginduksi perdarahan
mayor dan trombositopenia yang diinduksi heparin. UFH biasanya hanya
digunakan pada pasien dengan ketidakstabilan hemodinamik di mana
pengobatan reperfusi primer mungkin diperlukan, atau pada pasien dengan
gangguan ginjal. Antikoagulan oral yang lebih baru (NOACs) dan antagonis
vitamin K (VKA) juga dapat digunakan untuk antikoagulasi pada PE. Untuk
pasien dengan dugaan PE, pengobatan dikelompokkan menurut jenis PE
apakah PE stabil secara hemodinamik atau tidak stabil) ,dan sesuai dengan
kecurigaan PE pada pasien individu. Pasien diklasifikasikan ke dalam
kecurigaan rendah, sedang, atau tinggi untuk PE berdasarkan skor Jenewa atau
Wells yang direvisi. Pasien Stabil secara Hemodinamik:
I. Pasien dengan kecurigaan klinis yang tinggi untuk PE, antikoagulasi
dimulai bahkan sebelum pencitraan diagnostik diperoleh.
II. Untuk pasien dengan kecurigaan klinis rendah untuk PE, jika
pencitraan diagnostik dapat dilakukan dalam waktu 24 jam, maka
tunggu pencitraan untuk menegakkan diagnosis definitif sebelum
memulai pengobatan dengan antikoagulasi.
III. Untuk pasien dengan kecurigaan klinis menengah untuk PE, jika
pencitraan diagnostik dapat dilakukan dalam waktu 4 jam, maka
tunggu pencitraan untuk menegakkan diagnosis definitif sebelum
memulai pengobatan denganantikoagulasi.
IV. Untuk pasien yang antikoagulasi dikontraindikasikan, penempatan
filter IVC harus dipertimbangkan setelah diagnosis PE dikonfirmasi
Pasien dengan kecurigaan klinis tinggi untuk PE yang
hemodinamiknya tidak stabil, CTPA emergensi, pemindaian perfusi
portabel, atau ekokardiografi transtoraks samping tempat tidur harus
dilakukan bila memungkinkan. Pengobatan reperfusi primer, biasanya,
trombolisis, adalah pengobatan pilihan untuk pasien dengan PE akut
yang hemodinamik tidak stabil. Embolektomi paru bedah atau terapi
yang diarahkan dengan kateter perkutan adalah pilihan reperfusi
alternatif pada pasien dengan kontraindikasi trombolisis. Setelah
pengobatan reperfusi dan stabilisasi hemodinamik, pasien yang pulih
dari PE berisiko tinggi dapat dialihkan dari antikoagulan parenteral ke
oral.
3) Strategi Reperfusi
• Trombolisis
Trombolisis telah menunjukkan penurunan yang efektif pada tekanan
dan resistensi arteri pulmonalis pada pasien dengan PE bila dibandingkan
dengan UFH saja, perbaikan ini dinilai dengan penurunan dilatasi RV
padaekokardiografi. Trombolisis lebih disukai ketika terapi dapat
dilakukan dalam waktu 48 jam setelah onset gejala, tetapi masih
menunjukkan manfaatpada pasien yang gejalanya dimulai kurang dari 14
hari yang lalu. Sebuah meta-analisis menyarankan penurunan yang
signifikan dalam mortalitas dan PE berulang dengan penggunaan
trombolitik.
• Pencegahan Kekambuhan
Tujuan antikoagulasi setelah manajemen akut PE adalah untuk
menyelesaikan pengobatan episode akut dan juga mencegah kekambuhan
VTE dalam jangka panjang. Uji klinis telah menilai berbagai durasi terapi
antikoagulan dengan antagonis vitamin K (VKA) untuk VTE.
I. Pertama,semua pasiendengan PE harus menerima tiga atau lebih
dari tiga bulan pengobatan antikoagulan.
II. Kedua, setelah pengobatan antikoagulan dihentikan, risiko
kekambuhan diperkirakan sama jika antikoagulan dihentikan
setelah 3-6 bulan dibandingkan dengan periode pengobatan yang
lebih lama (misalnya,12-24 bulan).
III. Ketiga, pengobatan antikoagulan oral yang diperpanjang
mengurangi risiko VTE berulang sebesar 90%, tetapi risiko
perdarahan sebagian mengimbangi manfaat ini. Antikoagulan oral
sangat efisien dalam mencegah VTE berulang pada saat
pengobatan, tetapi setelah penghentian pengobatan, mereka tidak
menghilangkan risiko kekambuhan berikutnya. Penting untuk
dicatat bahwa sekitar 30% PE tidak diprovokasi. PE yang tidak
diprovokasi PE tanpa adanya faktor risiko yang dapat
diidentifikasi) dikaitkan dengan peningkatan dua hingga tiga kali
lipat risiko kekambuhan dibandingkan dengan pasien yang
memiliki PE yang diprovokasi. Pasien dengan faktor risiko
persisten (misalnya, kanker atau peningkatan Antibody
antifosfolipid) memiliki tingkat kekambuhan yang lebih tinggi
dibandingkan dengan faktor risiko sementara (misalnya,
imobilisasi, pembedahan, atau trauma).
b. Etiologi
Hal lain yang dapat mengakibatkan terjadinya CHF yaitu: kelainan otot
jantung, aterosklerosis coroner, hipertensi sistemik atau pulmonal, peradangan
dan penyakit miokardium degeneratif. Anda dan gejala yang ditimbulkan
seperti dipsneu, batuk, malaise, ortopnea, nokturia,kegelisahan dan
kecemasan, serta sianosi. Faktor yang dapat menimbulkan perawatan ulang
yaitu yaitu gaya hidup yang tidak sehat dan tidak teraturnya pola makan dari
pasien, merokok, stress sehingga membuat kondisi pasien akan semakin
menurun. Hal tersebut jika tidak segera diatas dapat menyebabkan komplikasi
dan berakibat kepada hospitalisasi ulang. Komplikasi yang dapat terjadi pada
CHF seperti: edema paru, infark miokardium akut, syok kardiogenik, emboli
limpa, gangguan motorik, perubahan penglihatan.
1) Umur
Distribusi penyakit CHF meningkat pada usia 40 tahun keatas. Hal ini
dikarenakan telah terjadinya penurunan fungsi sistem organ tubuh bagian
dalam manusia seperti sistem kardiovaskuler. Asumsi dari peneliti tersebut
sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa dengan meningkatnya usia,
jantung dan pembuluh darah mengalami perubahan baik struktural maupun
fungsional. Dengan bertambahnya usia, sistem aorta dan arteri menjadi kaku.
Perubahan ini akibatm hilangnya serat elastis dalam lapisan media arteri.
2) Jenis kelamin
Sebagian besar pasien yang menderita gagal jantung berjenis kelamin laki-
laki (60%) dan perempuan (40%). insiden gagal jantung kongestif lebih rendah
pada perempuan dibanding laki-laki karena pada umumnya laki-laki lebih sering
melakukan aktivitas fisik yang dapat memperberat kerja jantung. Selain itu,
hormon estrogen dapat melindungi perempuan dari penyakit degeneratif, salah
satunya penyakit jantung.13
c. Epidemiologi
Kejadian gagal jantung meningkat dengan bertambahnya usia. Tingkat
kematian untuk gagal jantung sekitar 50% dalam waktu 5 tahun. 11 Di Indonesia
berdasarkan survei Sample Registration System (SRS) pada tahun 2019
menunjukkan bahwa penyakit jantung merupakan penyebab kematian tertinggi
kedua setelah stroke, dengan persentase 12,9%. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas) tahun 2013, prevalensi penyakit gagal jantung di Indonesia
berdasarkan diagnosis dokter yang sudah ditegakkan diperkirakan sebesar 0,13%
atau 229.696 orang, dan berdasarkan diagnosis kerja sebesar 0,3% atau 530.068
orang.
d. Patofisiologi
Terjadinya gagal jantung diawali dengan adanya kerusakan pada jantung atau
miokardium. Hal tersebut akan menyebabkan menurunnya curah jantung. Bila
curah jantung tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolisme, maka
jantung akan memberikan respon mekanisme kompensasi untuk
mempertahankan fungsi jantung agar tetap dapat memompa darah secara
adekuat. Bila mekanisme tersebut telah secara maksimal digunakan dan curah
jantung normal tetap tidak terpenuhi, maka setelah akan itu timbul gejala gagal
jantung.Terdapat tiga mekanisme primer yang dapat dilihat dalam respon
kompensatorik, yaitu meningkatnya aktivitas adrenergik simpatis,
meningkatnya beban awal akibat aktivasi Sistem Renin Angiotensin
Aldosteron (RAAS), hipertrofi ventrikel. Menurunnya volume sekuncup pada
gagal jantung akan membangkitkan respon simpatis kompensatorik. Hal ini
akan merangsang pengeluaran katekolamin dari saraf-saraf adrenergik jantung
dan medula adrenal. Denyut jantung dan kekuatan kontraksi akan meningkat
untuk menambah curah jantung. Selain itu juga terjadi vasokonstriksi arteri
perifer untuk menstabilkan tekanan arteri dan redistribusi volume darah untuk
mengutamakan perfusi ke organ vital seperti jantung dan otak. Aktivasi sistem
renin angiotensin aldosteron akan menyebabkan retensi natrium dan air oleh
ginjal, meningkatkan volume ventrikel dan regangan serabut. Peningkatan
beban awal ini akan menambah kontraktilitas miokardium sesuai dengan
mekanisme Frank Starling. 10 Respon kompensatorik yang terakhir pada gagal
jantung adalah hipertrofi miokardium atau bertambahnya ketebalan otot
jantung. Hipertrofi akan meningkatkan jumlah sarkomer dalam sel-sel
miokardium. Sarkomer dapat bertambah secara paralel atau serial bergantung
pada jenis beban hemodinamik yang mengakibatkan gagal jantung. Awalnya,
respon kompensatorik sirkulasi ini memiliki efek yang menguntungkan.
Namun, pada akhirnya mekanisme kompensatorik dapat menimbulkan gejala
dan meningkatkan kerja jantung. Hasil akhir dari peristiwa di atas adalah
meningkatnya beban miokardium dan terus berlangsungnya gagal jantung.14
e. Manifestasi klinis
f. Pemeriksaan Penunjang
1) EKG
Electrocardiography tidak dapat digunakan untuk mengukur anatomi LVH
tetapi hanya merefleksikan perubahan elektrik (atrial dan ventrikular aritmia)
sebagai faktor sekunder dalam mengamati perubahan anatomi. Hasil
pemeriksaan ECG tidak spesifik menunjukkan adanya gagal jantung.
2) Radiologi
Foto thorax dapat membantu dalam mendiagnosis gagal jantung.
Kardiomegali biasanya ditunjukkan dengan adanya peningkatan cardiothoracic
ratio / CTR (lebih besar dari 0,5) pada tampilan postanterior. Pada
pemeriksaan ini tidak dapat menentukan gagal jantung pada disfungsi siltolik
karena ukuran bias terlihat normal.
3) Echocardiografi
Pemeriksaan ini direkomendasikan untuk semua pasiengagal jantung. Tes
ini membantu menetapkan ukuran ventrikel kiri, massa, dan fungsi.
Kelemahan echocardiography adalah relative mahal, hanya ada di rumah sakit
dan tidak tersedia untuk pemeriksaan skrining yang rutin untuk hipertensi pada
praktek umum.
g. Penatalaksanaan
1) Terapi awal
Yang dapat dilakukan adalah mengoreksi atau stabilisasi berbagai
keabnormalan yang terjadi yang dapat menginduksi munculnya CHF,
misalkan iskemia dapat dikontrol dengan terapi medis atau pembedahan,
hipertensi harus selalu terkontrol, dan kelainan pada katup jantung dapat
ditangani dengan perbaikan pada katup tersebut.
2) Terapi non farmakologi
Dapat dilakukan dengan restriksi garam, penurunan berat badan, diet
rendah garam dan rendah kolesterol, tidak merokok, olahraga.
Penatalaksanaan non farmakologi yang dapat dilakukan yaitu edukasi,
exercise dan peningkatan kapasitas fungsional. Salah satu penyelesaian
masalah dyspnea yang dapat dilakukan dengan:
• Pemberian oksigenasi untuk menurunkan laju pernafasan.
• Pemberian posisi dan breathing exercise dapat dilakukan untuk
mengurangi usaha serta meningkatkan fungsi otot pernafasan.
• Latihan fisik yang dapat ditoleransi juga menjadi penatalaksanaan
dalam meningkatkan perfusi jaringan dan memperlancar sirkulasi.
Latihan fisik dilakukan 20-30 menit dengan frekuensi 3-5 kali setiap
minggu. Sebelum memulai latihan fisik, pasien dengan CHF
memerlukan penilaian yang komprehensif untuk stratifikasi risiko dan
dianjurkan untuk beristirahat jika kelelahan. Latihan ini merupakan
salah satu latihan yang berada di rumah sakit (inpatient) yang dapat
dilakukan oleh pasien.
• Breathing exercise merupakan latihan untuk meningkatkan pernafasan
dan kinerja fungsional. Salah satu breathing exercise yang dapat
dilakukan adalah deep breathing exercise yaitu aktivitas keperawatan
yang berfungsi meningkatkan kemampuan otot-otot pernafasan untuk
meningkatkan compliance paru dalam meningkatkan fungsi ventilasi
dan memperbaiki oksigenasi. Breathing exercise pada pasien gagal
jantung yang dilakukan selama 15 menit sebanyak 3 kali sehari dalam
waktu 14 hari, hasilnya menunjukkan p=0,000 dalam penurunan
dyspnea. Latihan fisik dapat meningkatkan saturasi oksigen (p=0,004)
dan kualitas hidup (0,006) pada pasien gagal jantung.15
3) Terapi farmakologi
• Diuretics
Golongan obat-obatan yang digunakan adalah diuretik, antagonis
aldosteron, ACE-inhibitor (Angiotensin Converting Enzyme inhibitor),
ARB (Angiotensin Receptor Blocker), beta blocker, glikosida jantung,
vasodilator, agonis beta, bypiridine, dan natriuretic peptide.Urutan terapi
pada pasien gagal jantung biasanya diawali dengan diuretik untuk
meredakan gejala kelebihan volume. Kemudian, ditambahkan Angiotensin
Receptor Blocker atau ARB jika ACE inhibitor tidak ditoleransi. Namun,
penambahan ARB dilakukan hanya setelah terapi diuretik diberikan secara
optimal. Dosis diatur secara bertahap hingga dihasilkan curah jantung
optimal. Efek utama dari pemberian diuretik yakni mengurangi tekanan
darah dan preload ventrikel. Selain itu, pada pasien gagal jantung kiri,
pemberian diuretik akan membantu mengurangi pembengkakan jantung
sehingga pemompaan lebih efisien.
• Vasodilator drugs
o Nitrate (isosorbide).
o Hydralazine (terutama apabila ditambah dengan regimen digoxin
dan terapi diuretic).
o Ace inhibitors (captopril, enalapril) : obat ini bekerja dengan
menghambat conversi angiotensin 1 menjadi angiotensin 2 melalui
angiotensinconverting enzyme (ACE).
o ACE2 reseptor blocker (losartan) : obat ini mengeblok reseptor A2,
menyebabkan vasodilatasi dan menghambat proliferasi dari sel
otot. Obat ini biasanya digunakan pada pasien yang intolerance
terhadap ACE inhibitor, akibat efek samping yang dapat
ditimbulkan yaitu batuk.
• Inotropic Drugs
Digitalis glycosides (digoxin)
• Beta blockers
Obat ini memiliki fungsi untuk memperbaiki fungsi ventrikel kiri,
gejala, dan functional class, serta memperpanjang survival dari
pasien CHF.beta blocker juga memiliki peranan dalam
memodifikasi cytokine (interleukin-10, tumor necrosis alpha (TNF-
alpha) dan soluble TNF reseptor (sTNF-R-1 dan R2) pada pasien
dengan kardiomiopati. Indikasi pemakaian beta blocker:
✓ Pasien yang tergolong dalam klas II dan III , klasifikasi NYHA.
✓ Hindari terapi ini pada pasien dengan NYHA klas I atau IV.
✓ Sebelum menambahkan beta blocker, pastikan bahwa pasien
stabil dan dalam terapi standard gagal jantung.Mulai pemakaian
terapi beta blocker dengan memakai dosis rendah (carvedilol
3.125 mg PO bid; metoprolol CR/XL, 12.5 mg PO qd;
bisoprolol, 1.25 mg PO qd).
✓ tingkatkan dosis dengan interval waktu 2 sampai 3 minggu
(carvedilol, 25-50 mg PO bid; metoprolol CR/XL, 200 mg PO
qd; bisoprolol, 10 mg PO qd)
Kontraindikasi pemakaian beta blocker terapi pada CHF:
4) Terapi infasif
• Coronary Reperfusion, terutama pada akut gagal jantung berulang
dihubungkan dengan edema pulmonary.
• Valvular Heart Disease.
• Reduction ventriculoplasty meliputi eksisi pada bagian dari otot
ventrikel kiri yang diskinetik. Hal ini biasanya dilakukan pada gagal
jantung klas akhir.
• Prosedur operasi perbaikan fungsi jantung
o Intra-aortic balloon pump
o Permanent implantable balloon pump
o Total artificial heart
• Transplantasi Jantung (terapi paling efektif pada keadaan gagal jantung
berat).16
b. Patofisiologi
Sederhananya, manifestasi angina adalah hasil dari ketidakseimbangan antara
suplai oksigen miokard dan kebutuhan oksigen miokard. Penting untuk
memahami faktor-faktor yang berkontribusi pada masing-masing tindakan ini.
Sel-sel endotel melapisi arteri koroner; sel-sel ini bertanggung jawab untuk
mengatur tonus vaskular dan mencegah trombosis intravaskular. Setiap
gangguan pada kedua fungsi ini dapat menyebabkan penyakit jantung koroner.
Beberapa mekanisme dapat mengakibatkan cedera atau kerusakan lapisan
endotel. Mekanisme ini termasuk, tetapi tidak terbatas pada, stres, hipertensi,
hiperkolesterolemia, virus, bakteri, dan kompleks imun. Cedera endotel
memicu respons imun, yang akhirnya mengarah pada pembentukan jaringan
fibrosa. Remodeling otot polos/fibrous caps dapat menyebabkan stenosis arteri
koroner atau bahkan sindrom koroner akut.
Stenosis arteri koroner adalah penyebab paling umum dari iskemia miokard.
Selama masa peningkatan kebutuhan oksigen miokard, stenosis mencegah
suplai oksigen miokard yang memadai. Empat faktor utama yang
berkontribusi terhadap kebutuhan oksigen: denyut jantung, tekanan darah
sistolik, ketegangan dinding miokard, dan kontraktilitas miokard. Dalam
keadaan peningkatan permintaan seperti sakit, stres, dan olahraga – kami
mengandalkan kemampuan tubuh untuk mengatur suplai oksigen miokard
dengan tepat.
Empat faktor utama yang berkontribusi terhadap suplai oksigen miokard
meliputi diameter dan tonus arteri koroner, aliran darah kolateral, tekanan
perfusi, dan denyut jantung. Sementara stenosis arteri koroner adalah yang
paling umum,
c. Etiologi
Mekanisme dibalik angina stabil adalah hasil dari ketidakcocokan
pasokanpermintaan. Kebutuhan oksigen miokard secara sementara melebihi
suplai oksigen miokard, yang sering menyebabkan manifestasi gejala. Ada
beberapa faktor yang berkontribusi terhadap angina stabil; etiologi yang paling
umum adalah stenosis arteri koroner.
d. Faktor Resiko
Faktor resiko dari penyakit angina pectoris ini dibagi menjadi 2 jenis, faktor
resiko yang dapat diubah dan faktor resiko yang tidak dapat diubah. Faktor
resiko yang dapat diubah meliputi
• diet (hiperlipidemia)
• rokok
• hipertensi
• stress
• obesitas
• kurang aktivitas
• diabetes mellitus
Sedangkan faktor resiko yang tidak dapat diubah adalah usia, jenis kelamin dan
keturunan.
e. Pemeriksaan penunjang
• Elektrokardiography (EKG)
Pemeriksaan EKG sangat penting baik untuk diagnosis maupun
stratifikasi risiko pasien angina tak stabil. Adanya depresi segmen ST yang
baru akan menunjukkan kemungkinana adanya iskemia akut. Pada angina
tak stabil 4% mempunyai EKG normal.
• Uji Latih
Pasien yang telah stabil dengan terapi medikamentosa dan
menunjukkan tanda risiko tinggi perlu pemeriksaan exercise test dengan
alat treadmill. Bila hasilnya negative maka prognosis baik sedangkan bila
hasilnya positif lebih-lebih bila didapatkan depresi segmen ST yang dalam
dianjurkan untuk pemeriksaan angiografi coroner untuk menilai keadaan
pembuluh darah koronernya apakah perlu Tindakan revaskularisasi (PCI
atau CABG) karena risiko terjadinya komplikasi kardiovaskuler dalam
waktu mendatang cukup besar.
• Ekokardiografi
Bila tampak adanya gangguan faal ventrikel kiri adanya insufisiensi
mitral dan abnormalitas.
• Rontgen toraks
Berperan untuk mengidentifikasi adanya kongesti pulmonal atau
edema
• Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan troponin T atau I dan pemeriksaan CK-MB telah diterima
sebagai penanda paling penting dalam diagonisis SKA. Menurut Europian
Society of Cardiology (ESC) dan ACC dianggap ada mionekrosis bila
troponin T atau I positif dalam 24 jam. Risiko kematian bertambah dengan
tingkat kenaikan troponin.
f. Penatalaksanaan
Pasien dengan angina berpusat pada pengobatan yang memodifikasi
gejala (AP) dan yang mencegah efek samping. Penilaian dari bukti yang
tersedia sangat mendukung baik modifikasi gaya hidup dan manajemen
farmakologis pada semu pasien ini. Pengobatan angina stabil ditujukan
untuk mengelola gejala serta memperlambat perkembangan kejadian
jantung. Manajemen multifaktorial dan melibatkan modifikasi gaya hidup,
modifikasi faktor risiko, dan terapi medis sebagai komponen penting dari
pengobatan. Dalam kasus di mana gejala refrakter terhadap terapi medis,
revaskularisasi dapat dicoba; namun, meskipun mungkin berhasil dalam
mengendalikan gejala, tidak terbukti mengurangi kejadian kardiovaskular
utama dibandingkan dengan terapi medis.
- Modifikasi gaya hidup termasuk olahraga teratur, pengendalian berat badan,
dan berhenti merokok dan harus didorong. Modifikasi faktor risiko meliputi
pengendalian tekanan darah, kolesterol, dan gula darah. Obat untuk modifikasi
faktor risiko dan untuk mencegah perkembangan penyakit termasuk aspirin,
statin, penghambat enzim pengubah angiotensin, atau penghambat reseptor
angiotensin.
- Terapi medis dapat digunakan untuk mengontrol gejala serta membantu
mengurangi risiko perkembangan aterosklerosis dan kejadian jantung. Agen
antiangina dapat dipisahkan berdasarkan mekanisme pengurangan gejala pada
angina. Secara umum, kontrol simtomatik dicapai dengan cara mengurangi
konsumsi oksigen miokard.17
Terapi Suportif
Terapi farmakologi :
1) Obat-obat yang di gunakan adalah jenis pengencer darah dan pelarut gumpalan
darah; Golongan Antikoagulan Heparin sekarang ini merupakan pengobatan
standar awal pada pasientromboemboli vena karena memiliki fungsi seperti
membuat pelarutan thrombus oleh sibatfibrinolitik tetapi tidak dihambat oleh
pertumbuhan thrombus dan heparin mencegahtimbulnya emboli berulan serta
heparin juga menghambat agregasi trombosit.Pemberian heparin dapat dengan
berbagai cara: Drip heparin dengan infuse IV,suntikan IV intermiten dan
suntikan subkutan. Dosis heparin: bolus 3000-5000 unit IV diikuti sebanyak
30.000-35.000 unit/hari dalam infuse glukosa 5% atau NaCl 0,9%
ataudisesuaikan. Pengobatan sampai mencapai target PTT (partial
tromboplastin time)mencapai 1,5-2 kali nilai normal. Pengobatan diberikan
selama 7-10 hari lalu dilanjutkandengan obat antikoagulan oral.Pemberian
subkutan lebih menguntungkan karena lebih mudah. Dosis mulai
dengansuntikan bolus IV 3000-5000 unit bersama suntikan subkutan pertama,
kemudian suntikansubkutan diberikan 5000 unit/4 jam atau 10.000 unit/8 jam
atau 15.000-20.000 unit tiap 12jam sampai mencapai PTT 1,5-2,5 kali nilai
normal. Heparin tidak boleh diberikanintramuscular karena dapat
menyebabkan hematom pada tempat suntikan.Kesuksesan pengobatan dengan
heparin mencapai 92% dan bisa diberikan pada ibuhamil karena aman tidak
melewati plasenta.37 Warfarin juga dapat sebagai emboli paru. obat ini
bekerja dengan menghambat aktivitas vitamin K, yaitu denganmempengaruhi
sintersis prokoagulan primer (factor II, VII dan X). Karena awal
kerjanyalambat, oleh karena itu pemberian warfarin dilakukan setelah heparin.
Warfarin diberikanpada pasien dengan thrombosis vena atau emboli paru
berulang dan pada pasien denganfactor risiko menetap.Dosis yang diberikan
ialah 10-15 mg/kg BB, dengan target sampai terjadipemanjangan (lebih dari
15-25%) dari nilai normal waktu protombin yang maksimum.Pemberian
warfarin adalah secara oral. Lama pemberian warfarin sekitar 3 bulan
(12minggu) terus menerus. Warfarin diberikan terus pada pasien defisiensi
antitrombin III,defisiensi protein C atau S, pasien dengan antikoagulan lupus
atau antikardiolipin.
2) Golongan Trombolitik
Cara ini merupakan pengobatan difinitif karena bertujuan untuk
menghilangkan sumbatanmekanik karena tromboemboli. Cara kerja obat ini
adalah mengadakan trombolisis. Obatyang tersedia ada dua sediaan yaitu:
streptokinase dan urokinase. Streptokinase adalahprotein nonenzim, disekresi
oleh kuman streptokokus beta hemolitik grup C. sedangkanurokinase adalah
protein enzim, dihasilkan oleh parenkim ginjal manusia. Urokinasesekarang
dapat diproduksi lewat kultur jaringan ginjal.Dua macam obat ini kerjanya
memperkuat aktivitas fibrinolisis endogen denganlebih mengaktifkan plasmin.
Plasmin dapat langsung melisiskan dan mempunyai efeksekunder sebagai
antikoagulan. Tetapi trombolitik selain mempercepat resolusi emboli paru,
juga dapat menurunkan tekanan arteri pulmonalis dan jantung kanan
sertamemperbaiki fungsi ventrikel kiri dan kanan pada kasus yang jelas
menderita emboli paru.Terapi ini sering diindikasikan pada pasien emboli paru
massif akut, thrombosisvena dalam, emboli paru dengan gangguan
hemodinamik dan teradapat penyakit jantungatau paru tetapi belum
mengalami perbaikan dengan terapi heparin. Terapi trombolitikboleh
diberikan bila gejala-gejala yang timbul (emboli paru) kurang dari 7 hari.
Selamapengobatan trombolitik tidak boleh melakukan suntikan intra arteri,
intravena atauintramuscular pada pasien, dan jangan memberikan obat
antikoagulan, anti platelet bersama.Dosis awal streptokinase: 250.000 unit
dalam larutan garam fisiologis atau glukosa5%, diberikan IV selama 30 menit.
Dosis pemeliharaannya: 100.000 unit/jam diberikanselama 24-72 jam.Dosis
awal urokinase: 4.400 unit/kg BB, dalam larutan garam fisiologis atauglukosa
5%, diberikan IV selama 15-30 menit. Dosis pemeliharaannya: 4.400 unit/kg
BB/jam selama 12-24 jam. Perbaikan atau keberhasilan terapi sudah terlihat
dalam waktu 12jam untuk urokinase dan 24 jam untuk streptokinase.Terapi
trombolitik tidak boleh dilakukan apabila pasien dalm 10 hari terakhirterdapat
tindakan atau biopsy didaerah yang sulit dievaluasi, hipertensi maligna
danperdarahan aktif di traktus, gastrointestinal.37 Komplikasi terapi
trombolitik adalah seringterjadi perdarahan dengan insidensi 5-7%.
3) Digitalis
Digitalis hanya digunakan pada pasien kor pulmonal bila disertai gagal
jantung kiri. Digitalis tidak terbukti meningkatkan fungsi ventrikel kanan pada
pasien kor pulmonal dengan fungsi ventrikel normal, hanya pada pasien kor
pulmonal dengan fungsi ventrikel kiri yang menurun, digoksin bisa
meningkatkan fungsi ventrikel kanan. Pada pemberian digitalis perlu
diwaspadai resiko aritmia. Pemberian dosis digitalis biasanya 0,125-0,25 mg
sehari jika fungsi ginjal normal(pada lansia biasanya 0,25 mg).
4) Diuretik
Diuretik diberikan untuk mengurangi tanda-tanda gagal jantung kanan. Namun
harus dingat, pemberian diuretika yang berlebihan dapat menimbulkan
alkalosis metabolik yang bisa memicu peningkatan hiperkapnia. Disamping
itu, dengan terapi diuretika dapat terjadi kekurangan cairan yang
mengakibatkan preload ventrikel kanan dan curah jantung menurun.
Pemberian dosis diuretik lengkung (loop) diberikan dengan dosis 20-80 mg
atau 2-3 xsehari.19
Emboli paru jika tidak diobati, dikaitkan dengan angka kematian hingga 30 persen.
Penelitian juga menunjukkan peningkatan risiko stroke, yang diduga disebabkan oleh
emboli paradoks melalui paten foramen ovale (PFO) pada pasien dengan PE akut.
1) Tromboemboli Berulang
Dalam satu hingga dua minggu setelah diagnosis, kondisi pasien mungkin
memburuk dan mengalami kekambuhan. Antikoagulasi yang tidak memadai
adalah alasan paling umum terjadinya tromboemboli vena berulang saat menjalani
terapi.
Pada pemindaian V/Q, pasien dengan CTEPH umumnya memiliki setidaknya satu
defek ventilasi-perfusi yang tidak sesuai segmental atau lebih signifikan. Bagi
pasien dengan bukti CTEPH pada pemindaian paru V/Q, kateterisasi jantung
kanan dan angiografi paru diindikasikan untuk memastikan hipertensi pulmonal,
mengukur derajat hipertensi pulmonal, mengecualikan diagnosis pesaing,
menentukan aksesibilitas bedah dari lesi trombotik yang menghalangi, dan
memastikan bahwa komponen peningkatan resistensi pembuluh darah paru yang
dapat diterima disebabkan oleh penyakit yang dapat diakses melalui pembedahan
dan bukan karena obstruksi distal atau arteriopati sekunder. Untuk semua pasien
dengan CTEPH, terapi antikoagulan seumur hidup dianjurkan. Selain itu, rujukan
dini untuk evaluasi tromboendarterektomi paru sangat dianjurkan. 20
b) Rehabilitasi kardiovaskuler
• Program Rehabilitasi Kardiovaskular Fase I
Program rehabilitasi kardiovaskular fase I (juga dikenal sebagai fase inpatient)
dilakukan ketika pasien masih dalam perawatan. Tujuan utama fase I adalah
mencegah efek buruk dari penyakit, tindakan medis, atau pembaringan yang lama,
dan memfasilitasi mobilitas dini agar pasien dapat segera keluar dari rumah sakit,
dapat melakukan aktivitas sehari-hari, serta merawat diri sendiri. Dalam kasus
pasien dengan penyakit kardiovaskular, dokter spesialis jantung (SpJP) bekerja
sama dengan tim medis lainnya untuk menentukan apakah pasien memerlukan
program rehabilitasi kardiovaskular khusus. Dalam upaya meredakan nyeri,
memulai mobilitas awal, membersihkan dahak, melakukan fisioterapi pernapasan,
dan memfasilitasi mobilitas pasien pasca operasi jantung atau mereka yang
menjalani perawatan intensif, dokter SpJP bisa bekerja sama dengan dokter
spesialis rehabilitasi fisik dan medis (SpKFR) atau fisioterapis. Peran utama
dokter SpJP adalah memastikan stabilitas kondisi kardiovaskular pasien dan
memeriksa apakah program atau intervensi tersebut bisa diberikan secara aman
dan efektif. Dokter SpJP juga harus mulai mengevaluasi program pencegahan
sekunder yang mungkin diperlukan atau segera diberikan kepada pasien.
• Program Rehabilitasi Kardiovaskular Fase II
Program Rehabilitasi Kardiovaskular Fase II (juga dikenal sebagai fase
outpatient atau intervensi) merupakan serangkaian kegiatan rehabilitasi yang
ditujukan untuk pasien pasca-perawatan dengan penyakit kardiovaskular. Tujuan
utama dari program ini adalah untuk mengintervensi faktor risiko dan memulihkan
pasien ke kondisi fisik, mental, dan sosial terbaik mereka. Dalam fase ini, dokter
Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah (SpJP) memiliki peran utama, seperti:
1. Evaluasi Pasien: Menilai kondisi terakhir pasien dan kebutuhannya.
2. Pendidikan dan Konseling: Memberikan informasi tentang faktor risiko, tata
cara pencegahan, pengendalian faktor risiko, target yang harus dicapai,
aktivitas fisik yang aman, kembalinya ke tempat kerja dengan aman,
kepatuhan terhadap obat-obatan, dan lain-lain sesuai kebutuhan pasien.
3. Pengendalian Faktor Risiko: Mencapai target pengendalian faktor risiko
melalui perubahan gaya hidup dan terapi obat-obatan.
4. Uji Latih Jantung: Menilai kebugaran dan kapasitas fungsional pasien untuk
menyusun program latihan fisik, menentukan tingkat beratnya pekerjaan yang
dapat dilakukan, dan mendeteksi risiko komplikasi atau gangguan jantung.
5. Rekomendasi Aktivitas Fisik: Memberikan saran aktivitas fisik dan program
latihan yang sesuai dengan kondisi pasien.
6. Pengawasan Program Latihan: Melakukan pengawasan dan konsultasi
program latihan fisik, baik di fasilitas kesehatan maupun di rumah atau
komunitas.
7. Konsultasi Pencegahan Sekunder: Memberikan informasi dan konseling
mengenai pencegahan penyakit, aktivitas fisik yang aman, dan persiapan
pasien untuk kembali bekerja.
Program fase II dapat dilakukan selama 1 hingga 3 bulan, disesuaikan dengan
kebutuhan pasien dan tersedianya sumber daya di institusi pelayanan medis.
• Program Rehabilitasi Kardiovaskular Fase III
Program Rehabilitasi Kardiovaskular Fase III, yang juga disebut fase maintenance,
bertujuan untuk menjaga kontrol faktor risiko dan mendorong kebiasaan hidup sehat
yang dapat dilakukan secara mandiri oleh pasien. Dalam fase ini, dokter Spesialis
Jantung dan Pembuluh Darah (SpJP) memiliki peran dalam memberikan reedukasi,
mengembangkan program perawatan di rumah, mengevaluasi kembali faktor risiko,
memantau tingkat kebugaran, dan merencanakan program perawatan lanjutan.
Konsultasi dan evaluasi ulang biasanya dilakukan setiap 6 hingga 12 bulan sekali. 20
“Ingatlah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula
seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia
adalah hati (jantung)” (HR. Bukhari no. 52 dan Muslim no. 1599).
1. Dorland. 2020. Kamus Saku Kedokteran Dorland. Edisi 30. Jakarta : EGC
2. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK431064/
3. Saxton A, Chaudhry R, Manna B. StatPearls [Internet]. Penerbitan StatPearls;
Treasure Island (FL): 25 Juli 2022. Anatomi, Thorax, Arteri Koroner Kanan Jantung.
[ PubMed ]
4. Carter YM, Wehrle CJ, Mahajan K. StatPearls [Internet]. Penerbitan StatPearls;
Treasure Island (FL): 8 Agustus 2022. Anatomi, Thorax, Arteri Koroner Kiri Anomali
Jantung. [ PubMed ]
5. Vrinda Vyas; Amandeep Goyal.(2022). Acute Pulmonary Embolism.statpearls.ncbi
jurnal international.
6. Muhammad F. Hashmi ; Pranav Modi ; Hajira Basit ; Sandeep Sharma.(2023).
DYSPENIA.statpearls.ncbi.international jurnal
7. Permenkes No 854/MENKES/SK/IX/2009 tentang Pedoman Pengendalian Penyakit
Jantung dan Pembuluh Darah
8. Price, A. Sylvia, dan Wilson, Lorraine M., 2006, Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
proses Penyakit Edisi 6 Volume 1, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta
9. Lange RA. Hillis LD 2015. Cardiovascular complications of cocaine use MED
10. Raskob G E, Angchaisuksiri P, Blanco A N et al.Thrombosis: a major contributor to
global disease burden. Semin Thromb Hemost. 2014;40(07):724–735.
11. Smith S B, Geske J B, Kathuria P et al.Analysis of national trends in admissions for
pulmonary embolism. Chest. 2016;150(01):35–45.
12. Khoiriah,F.,Anggraini,DI.,2017., Congestive Heart Failure NYHA IV et caus
Penyakit Jantung Rematik dengan Hipertensi Grade II dan Gizi Kurang.,Vol.6.,No.3
13. Budiono., Ristanti,RS.,2019., Pengaruh Pemberian Contrast Bathdengan Elevasi Kaki
30 derajat terhadap Penurunan Derajat Edema Pada Pasien Gagal Jantung Kongestif.,
Hijp : Health Information Jurnal Penelitian.,Vo.11.,No.2.
14. Rachma,LN.,2014., Patomekanisme Penyakit Gagal Jantung Kongestif., ElHayah
Vol. 4, No.2
15. Nirmalasari,N.,2017., Deep Breathing Exercise Dan Active Range Of Motion Efektif
Menurunkan Dyspnea Pada Pasien Congestive Heart Failure., NurseLine
Journal.,Vol.2.,No.2
16. Nurkhalis.,Adista, RJ.,2020., Manifestasi Klinis dan Tatalaksana Gagal Jantung.,
Jurnal Kedokteran Nanggore Medika., Vol.3.,No.3
17. American Heart Association.(2015). Statistic fact sheet 2015 update women &
cardiovascular disease.
18. Bastian. Lubis. 2019. Emboli Paru. Departemen Anastesiologi dan Terapi Intensif
Fakultas Kedokteran. Universitas Sumatera Utara. Medan
19. Simadibrata M, Setiati S, et al. Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang Ilmu Peyakit
Dalam. Jakarta : Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
20. Vrinda Vyas; Amandeep Goyal. Acute Pulmonary Embolism. 2022. NCBI
21. Radi, B. (2019). Panduan Rehabilitasi Kardiovaskuler (Edisi 1). Pengurus Pusat
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia (PP PERKI).