Anda di halaman 1dari 21

BAB IV

Resusitasi Jantung Paru (Cardio Pulmonari Resusitation)


Ns. Iman Nurjaman, M.Kep
Universitas Bhakti Kencana

A. Pendahuluan
Sejarah resusitasi jantung paru (CPR) dimulai setidaknya sejak abad kedua, ketika dokter
Yunani Galen pertama kali mencatat upayanya yang gagal untuk mengembangkan paru-paru
hewan yang mati dengan alat tiup. Meskipun resusitasi jantung paru (CPR) adalah inovasi medis
yang relatif baru. Berabad-abad berlalu dengan sedikit atau tidak ada kemajuan dalam resusitasi
hingga abad ke-18, ketika kematian karena tenggelam menjadi perhatian utama masyarakat, dan
minat terhadap resusitasi muncul kembali. Pada tahun 1740, Akademi Sains Paris menyarankan
resusitasi mulut ke mulut untuk korban tenggelam. Pada tahun 1767, sekelompok orang yang
prihatin di Amsterdam membentuk Society for Recovery of Drowned Persons, yang membuat
rekomendasi pertama untuk membalikkan kematian. Secara historis, prosedur yang disarankan
termasuk memberikan tekanan pada perut korban, menghangatkan tubuhnya, menstimulasi
tubuhnya melalui pengasapan asap tembakau di rektal, menggembungkan paru-parunya dengan
pernapasan mulut ke mulut atau tiupan, dan pertumpahan darah. Pada awal abad ke-19, orang
sudah tahu bahwa listrik dapat menghidupkan kembali jantung, dan ahli bedah Skotlandia Allan
Burns pertama kali menyarankan sengatan listrik dan ventilasi sebagai cara untuk membalikkan
kematian pada tahun 1809.
Abad berikutnya menyaksikan defibrilasi eksternal pertama dan penggunaan "pijat jantung
dada tertutup", yang sekarang dikenal sebagai kompresi dada, dengan sukses. Ahli bedah George
Washington Crile memperkenalkan penggunaan adrenalin, juga dikenal sebagai epinefrin, selama
serangan jantung pada tahun 1903. Dalam kedua makalah penting yang diterbitkan dalam Journal
of American Medical Association selama 55 tahun berikutnya, perbaikan bertahap dalam ventilasi,
defibrilasi, dan kompresi dada pada akhirnya dikodifikasi sebagai resusitasi jantung paru. Sambil
mencoba menghidupkan kembali jantung secepat mungkin, CPR bertujuan untuk memberikan
oksigen dan mengedarkan darah ke seluruh organ, terutama otak. Penyelamatan pernapasan dan
kompresi dada adalah komponen utama CPR yang sudah dikenal. Penggunaan defibrilator
eksternal yang memberikan kejutan listrik yang dapat memulai kembali atau mengembalikan ritme
jantung yang berdetak tidak normal dan obat seperti adrenalin yang dapat meningkatkan aliran
darah ke jantung dan otak telah ditambahkan ke metode dasar ini.
Namun, semua sistem yang ada masih sangat tidak efektif. Karena molekul hemoglobin
membawa oksigen ke seluruh tubuh, bahkan yang dilakukan oleh profesional, hanya dapat
memompa sekitar dua puluh persen dari aliran darah normal ke seluruh tubuh dan sekitar dua
puluh persen dari aliran darah normal ke otak. Tanpa aliran darah yang cukup, tubuh dan organ
penting akan kekurangan oksigen dan kehilangan fungsi dalam hitungan menit. Karena banyaknya
kekurangan resusitasi kardiovaskular (CPR), banyak orang tidak akan selamat dari serangan
jantung kecuali ada metode resusitasi baru yang diciptakan selain CPR konvensional (Eisenberg et
al., 2007; Stanley, 1966). Respon time CPR dalam 1 menit kemungkinan berhasil 98%,
penanganan dalam 4 menit kemungkinan berhasil 50% dan dalam 10 menit kemungkinan berhasil
hanya 1% maka dalam penyelamatan pasien yang mengancam nyawa dengan segera mengenali
tanda-tanda henti jantung dan segera mengaktifkan sistem respon kegawatdarutatan (Code Blue),
segera CPR dan segera defibrilasi dengan menggunakan AED (Automated External Defibrillator)

1
sesuai indikasi medis dan tenaga kesehatan menjadi kunci keberhasilan dalam penyelamatan
pasien (Nurjaman et al., 2023; Nurjaman & Saparlina, 2023a, 2023b)

B. Pembahasan
1. Anatomi dan Fisiologi Jantung
Jantung terletak pada bagian bawah kiri region tengah diantara dinding dada dan paru-
paru dilindungi oleh costae dan sternum. Pada bagian belakang dilindungi oleh columna
spinalis. Jantung terbagi atas 4 ruang, yaitu dua ruang bagian kiri yaitu atrium kiri dan ventrikel
kiri dan dua ruang bagian kanan yaitu atrium kanan dan ventrikel kanan. Atrium
mengakumulasi darah untuk membuat ventrikel terisi dengan cepat dan memperlambat siklus
pemompaan. Dengan setiap kontraksi ventrikel kanan, darah dipompakan ke paru-paru untuk
proses oksigenasi. Atrium kanan menerima darah dari vena seluruh tubuh kemudian
memompakan ke ventrikel kanan. Darah dari paru-paru kembali ke atrium kiri dan kemudian
dialirkan ke ventrikel kiri. Selanjutnya, melalui aorta, darah dipompakan ke seluruh tubuh.
Kegiatan sirkulasi terus-menerus menyebabkan tekanan pada darah (Joddar et al., 2022).
Jantung berkontraksi antara 60-80 kali per menit pada orang dewasa saat beristirahat.
Setiap kontraksi menimbulkan tekanan, yang ditunjukkan oleh denyut nadi. Dengan denyut
nadi, gelombang darah yang dikirim melalui arteri besar di atas tulang setiap kali jantung
memompa. Otak, paru-paru, dan jantung berfungsi bersama untuk memastikan kehidupan.
Ketiganya bergantung satu sama lain. Jika salah satu organ rusak atau tidak berfungsi dengan
baik, kedua organ lainnya akan mengalami hal yang sama (Mainali et al., 2023).
2. Penatalaksanaan
Penderita henti nafas dan henti jantung mengalami kematian klinis. Kematian klinis
masih dapat ditangani dengan RJP. Kematian klinis berlangsung selama enam hingga delapan
menit dan kemudian berlangsung selama delapan hingga sepuluh menit tanpa denyut nadi,
menyebabkan kerusakan otak yang berkelanjutan. Jantung dapat berhenti berdetak karena
banyak alasan, termasuk penyakit jantung, kejang, stroke, reaksi alergi, diabetes, dan penyakit
lainnya. Cedera berat juga dapat menyebabkan infark jantung. Pada bayi, henti nafas-henti
jantung dapat terjadi karena gangguan pernafasan yang berat. Semuanya berujung pada
kegagalan oksigenasi sel, khususnya di otak dan jantung (Rho & Page, 2007).
a. Umum
Sirkulasi secara umum terdiri dari tiga komponen diantaranya adalah jantung, pembuluh
darah dan darah.
1) Frekwensi denyut jantung
Orang dewasa normal memiliki denyut jantung 60-80 kali per menit; kurang dari 60
kali per menit disebut bradikardia, dan lebih dari 100 kali per menit disebut
takikardia. Pada bayi, frekuensi denyut jantung 85 hingga 200 kali per menit,
sedangkan pada anak-anak 60 hingga 140 kali per menit. Bradikardia adalah tanda
yang tidak baik untuk pasien (Camenzind et al., 2023).
2) Tekanan darah
Tekanan sistolik dewasa adalah kurang dari 120 mmHg dan tekanan diastolic kurang
dari 80 mmHg (Delker et al., 2022). Pada anak-anak dapat menggunakan rumus:
Denyutan sistolik minimal = 70+ (2x usia dalam tahun)
Tekanan darah tidak dapat dianggap sebagai pengukuran syok
Tekanan darah sistolik dapat menurun jika seseorang kehilangan darah lebih dari
30% volume darahnya
Tekanan darah yang turun mungkin dianggap normal pada penderita hipertensi.

2
3) Penentuan denyut nadi
Denyut nadi dapat dirasakan pada arteri karotis, yaitu arteri musculosterno-
cleidomastoideus medial, pada orang dewasa, dan pada arteri femoralis, pada anak-
anak, dan pada bayi di arteri brakhialis (Raphael et al., 2023).
b. Syok
Berbagai hal dapat menyebabkan syok. Semua orang yang mengalami syok harus
menerima infus, apapun penyebabnya. Kulit pucat dan dingin (akibat gangguan perfusi
kulit), takikardi, penurunan produksi urin (akibat gangguan perfusi ginjal), gangguan
kesadaran (akibat gangguan perfusi otak), dan penurunan tekanan darah adalah beberapa
gejala syok, meskipun penurunan tekanan darah tidak selalu merupakan gejala klinis syok.
Pengendalian syok berfokus pada sumbernya misalnya, jika syok disebabkan oleh
perdarahan, perdarahan harus dihentikan (Monnet et al., 2023).
c. Resusitasi Jantung Paru
1) Resusitasi Jantung Paru (RJP) pada Orang Dewasa
RJP adalah salah satu komponen utama bantuan hidup dasar. Pendekatan optimal
untuk RJP berbeda-beda tergantung pada penolong, korban, dan sumber daya yang
tersedia. Namun, hal-hal dasar, yaitu cara melakukan RJP dengan cepat dan efektif,
tidak berubah dan diterapkan terhadap pasien dengan usia lebih dari 14 tahun.
Pedoman AHA 2010 untuk RJP mengalami perubahan besar. Pedoman tersebut
menempatkan sirkulasi di atas penatalaksanaan jalan nafas dan pernafasan (Chest
Compression, Airway, and Breathing, atau CAB) karena masalah ini masih sangat
penting. Pedoman AHA 2015 untuk RJP dan Perawatan kardiovaskular Darurat
membedakan serangan jantung di dalam rumah sakit (HCA) dari serangan jantung di
luar rumah sakit (OHCA).

Gambar 4.1. Rantai Bertahan Hidup AHA untuk IHCA dan OHCA dewasa (Panchal
et al., 2020).

Sekitar 350.000 orang dewasa di Amerika Serikat mengalami henti jantung di luar
rumah sakit (OHCA) nontraumatik yang ditangani oleh personel layanan medis
darurat (EMS) pada tahun 2015. Meskipun ada peningkatan baru-baru ini, kurang dari
40% orang dewasa menerima CPR yang dimulai oleh orang lain, dan kurang dari 12%

3
menggunakan defibrilator eksternal otomatis (atau AED) sebelum kedatangan EMS.
Ini adalah peningkatan yang signifikan dalam kelangsungan hidup pasien OHCA
sejak 2012. Selain itu, bantuan henti jantung di rumah sakit (IHCA) jauh lebih baik
daripada bantuan OHCA, dan terus meningkat pada sekitar 1,2% orang dewasa yang
dirawat di rumah sakit di Amerika Serikat. Pedoman 2020 menggabungkan
rekomendasi BLS untuk orang dewasa dan rekomendasi ACLS. Perubahan
mencakup: memulai CPR segera, pemberian epinefrin yang lebih awal, menjaga
kualitas CPR, ukur tekanan darah arteri dan ETCO2, tidak disarankan untuk
menggunakan defibrilasi sekuensial ganda secara teratur, pemberian obat yang paling
penting adalah intra vena dan jika tidak tersedia, akses intraosseous, perawatan
setelah ROSC, oksigenasi, kontrol tekanan darah, pengujian untuk intervensi koroner
perkutan, pengendalian suhu yang ditargetkan, dan neuroprognostikasi multimodal,
evaluasi formal dan mendapatkan dukungan untuk kebutuhan fisik, kognitif, dan
psikososial mereka karena pemulihan dari henti jantung memakan waktu yang lama,
henti jantung selama kehamilan berpusat pada resusitasi ibu, dengan mempersiapkan
bayi untuk persalinan sesar perimortem dini jika perlu untuk meningkatkan
kemungkinan keberhasilan resusitasi ibu.

Gambar 4.2. Algoritme Henti Jantung Dewasa (Panchal et al., 2020).

4
Untuk korban dewasa dan remaja, penolong yang telah mendapat pelatihan harus
melakukan kompresi dan napas buatan untuk darurat opioid, serta melakukan CPR
tangan jika mereka tidak terlatih untuk melakukannya. CPR untuk bayi dan anak-anak
harus mencakup kompresi napas buatan.

Gambar 4.3. Darurat Terkait Opioid untuk Algoritma Penyelamat Awam


(Panchal et al., 2020).

Gambar 4.4. Darurat Terkait Opioid untuk Algoritma Penyedia Layanan Kesehatan
(Panchal et al., 2020).

5
Gambar 4.5. Algoritma Perawatan Pasca-Henti Jantung Dewasa (Panchal et al.,
2020).

6
Gambar 4.6. Metode yang disarankan untuk neuroprognostikasi multimodal pada
orang dewasa yang mengalami henti jantung (Panchal et al., 2020).

Prosedur 1 kenali tanda henti jantung


Penolong harus segera mengenali tanda-tanda henti jantung ketika
menemukan orang yang mengalami henti jantung. Namun, sebelum
mendekati penderita, penolong harus memastikan bahwa mereka
menggunakan APD, memastikan lingkungan sekitar penderita aman, dan
menempatkan penderita pada tempat yang keras dan datar dengan posisi
supine.

Gambar 4.7. Mengenali tanda-tanda henti jantung (Herzog et al., 2020).

Setelah itu, mereka harus memeriksa tanggapan penderita. Tepuk bahu


korban dan katakan, "Apakah Anda baik-baik saja", untuk mengetahui apakah
mereka akan merespons. Penderita akan menjawab, bergerak, atau mengerang

7
jika ada respons. Jika tidak berespon, tenaga kesehatan harus melihat apakah
penderita tidak sadar dan memiliki tanda-tanda pernafasan yang tidak normal,
seperti tidak bernafas atau adanya gasping atau agonal. Jika tidak berespon,
segera aktifkan penolong awan atau sistem respon kegawatdaruratan sesuai
rantai IHCA atau OHCA (Sabashnikov & Wahlers, 2023).

Prosedur 2 aktifkan sistem respon kegawatdaruratan


Jika penderita tidak sadar dan memiliki pernapasan yang tidak normal
(seperti tidak bernafas, agonal, atau gasping), segera aktifkan sistem respon
kegawatdaruratan. Jika AED tersedia, ambil AED itu atau kirim penolong lain
untuk mengambilnya. Jika AED tidak tersedia, penolong akan melakukan cek
nadi dalam waktu kurang dari 10 detik. Jika ada lebih dari satu penolong, satu
mengaktifkan sistem respon kegawatdaruratan dan mengambil AED, dan
penolong lain segera mengecek nadi dan melakukan RJP jika nadi tidak teraba
diawali dengan kompresi dada. Jika nadi tidak teraba, segera lakukan RJP
diawali dengan kompresi dada.

Gambar 4.8. Mengaktifkan sistem respon kegawatdaruratan


(Herzog et al., 2020).

Ketika AED tiba, pasang pad pada dada penderita jika mungkin tanpa
mengganggu kompresi dada dan nyalakan AED. AED akan mengamati irama
dan menginstruksikan penolong untuk memberikan kejut (Shockable) atau RJP
berikutnya jika tidak dapat dikejut (Unshockable). Jika AED tidak tersedia,
lanjutkan RJP sampai ada tim bantuan hidup lanjut atau penderita bergerak
yang menunjukkan adanya sirkulasi spontan (ROSC).

Prosedur 3 cek nadi


Penolong awam harus segera memulai RJP dengan kompresi dada
setelah sistem kegawatdaruratan dihidupkan. Tenaga kesehatan harus segera
memeriksa nadi dan nafas dalam waktu kurang dari 10 detik. Sebuah
pemeriksaan nadi dilakukan pada nadi karotis.

8
Gambar 4.9. Memeriksa nadi karotis (Herzog et al., 2020).

Jika nadi tidak teraba dan tidak bernafas, mulai RJP dengan kompresi
dada pertama. Jika nadi teraba, berikan nafas dengan volume yang lebih besar
tiap 5 hingga 6 detik sampai terlihat perkembangan dada. Kemudian, cek nadi
kembali setiap 2 menit untuk rescue breathing.

Prosedur 4 segera RJP


Jika nadi tidak teraba, RJP dimulai dengan kompresi dada awal.
Penekanan teratur pada bagian bawah sternum adalah bagian dari kompresi
dada. Karena peningkatan tekanan intrathorax dan penekanan langsung pada
jantung, kompresi dada memberikan aliran darah dan oksigen ke otot
miokardium dan otak. Oleh karena itu, kompresi dada harus dilakukan pada
semua penderita henti jantung untuk menghasilkan aliran darah yang efektif.

Gambar 4.10. RJP dengan penekanan kompresi dada (Herzog et al., 2020).

Lakukan penekanan yang keras dan cepat untuk kompresi dada yang
efektif. Setelah kompresi dada, gunakan kecepatan 100–120 kali per menit
dengan kedalaman 2 inci atau 5 cm. Biarkan dada recoil sepenuhnya sebelum
kompresi berikutnya, yang akan menghasilkan pengisian jantung sepenuhnya

9
sebelum kompresi berikutnya. Jumlah total kompresi dada yang diberikan
kepada korban dipengaruhi oleh kecepatan kompresi dan waktu yang diberikan
saat kompresi tanpa interupsi (Lee et al., 2023).
Penolong juga harus meminimalkan interupsi terhadap kompresi dada
untuk memaksimalkan jumlah kompresi dada yang diberikan per menit.
Artinya, kompresi dada mengacu pada kecepatan kompresi daripada jumlah
kompresi permenit. Jumlah kompresi dada per menit dibatasi oleh kecepatan
kompresi, jumlah interupsi saat membuka jalan nafas, bantuan nafas, dan waktu
AED melihat irama. Rasio kompresi dan ventilasi yang disarankan adalah 30:2,
yang berarti memberikan 30 kompresi dada sebelum memberikan 2 ventilasi.
Saat memberikan ventilasi, setiap bantuan nafas diberikan selama 1 detik
dengan memberikan tidal volume yang cukup untuk menghasilkan
perkembangan dada. Hindari ventilasi yang berlebihan.

Gambar 4.11. Intubasi endotrakeal (Herzog et al., 2020).

Tidak perlu menghentikan kompresi saat memberikan ventilasi jika alat


jalan nafas definitif (intubasi endotrakeal) telah terpasang. Selama ventilasi,
kompresi harus diberikan secara terus menerus dengan kecepatan setidaknya
100-120 kali per menit tanpa berhenti. Dan diberikan ventilasi setiap 6-8 detik
(8-10 kali per menit). Sangat penting untuk diingat saat melakukan kompresi
dada bahwa dada harus recoil sepenuhnya setelah kompresi sampai kompresi
berikutnya dilakukan. Ini berkaitan dengan istilah "duty cycle", yang berarti
waktu yang diberikan saat kompresi harus proporsional, atau proposional,
antara waktu awal kompresi dada dan waktu berikutnya. Duty cycle yang
disarankan adalah 50% untuk meningkatkan perfusi ke jantung dan otak.
Untuk memaksimalkan jumlah kompresi yang diberikan per menit,
usahakan untuk meminimalkan interupsi pada kompresi dada. Saat melakukan
cek nadi, melihat irama, atau melakukan aktivitas lain selama resusitasi, seperti
pemasangan alat jalan nafas defintif atau saat pemberian shock pada tindakan
defibrilasi, interupsi dapat terjadi. Waktu interupsi yang diperbolehkan adalah
10 detik, kecuali saat pemasangan alat jalan nafas definitif atau saat pemberian
kejut pada tindakan defibrilasi. Dan segera setelah interupsi, kompresi harus

10
dilakukan. Penolong dapat lelah saat melakukan kompresi, yang dapat
menyebabkan kompresi dada tidak adekuat. Oleh karena itu, dalam situasi di
mana ada dua penolong, pengganti kompresi dan ventilasi harus diganti setiap 2
menit atau setelah 5 siklus kompresi dan ventilasi pada rasio 30:2 (Deng et al.,
2023).

Prosedur 5 gunakan AED


Ketika AED atau defibrilator tiba, letakkan pad pada dada penderita jika
memungkinkan tanpa mengganggu kompresi dada. Kemudian, nyalakan AED.
AED akan mengamati irama dan mengatakan kepada penolong untuk
memberikan kejut jika ada irama yang dapat dikejut (Shockable) atau
melanjutkan RJP jika tidak ada irama yang dapat dikejut (Unshockable). Jika
AED tidak tersedia, lanjutkan RJP sampai tim bantuan hidup lanjut datang atau
sampai penderita bergerak.

Gambar 4.12. Penggunaan Automated External Defibrillators (Herzog et al.,


2020).

Prosedur 6 cek irama jantung


Analisis irama segera setelah pad AED atau padel defibrillator dipasang di
dada pasien. Tentukan apakah irama dapat kejut (Shockable) atau tidak dapat
kejut (Unshockable).

Gambar 4.13. Pemeriksaan irama jantung pada AED (Herzog et al., 2020).

11
Prosedur 7 Irama dapat dikejut
Berikan kejut (tindakan defibrilasi) segera jika terdapat irama yang dapat
dikejut (VF/VT tanpa nadi). Penolong akan diberitahu oleh AED untuk
menekan tombol kejut (Shock). Setelah itu, segera lakukan RJP selama 2 menit
atau 5 siklus kompresi dan ventilasi jika menggunakan rasio 30:2 (Neuber et
al., 2019).

Gambar 4.14. Ventrikel Fibrilasi (Kohen, 2023).

Gambar 4.15. Ventrikel Takikardia tanpa nadi (Kohen, 2023).

Prosedur 8 Irama tidak dapat dikejut


Jika ada irama tidak dapat dikejut (kecuali VF/VT tanpa nadi seperti gambaran
di atas), lakukan RJP segera selama 2 menit atau 5 siklus kompresi dan
ventilasi jika menggunakan rasio 30:2. Cek irama tiap 2 menit atau 5 siklus
kompresi dan ventilasi. Proses ini dilanjutkan sampai tim bantuan hidup lanjut
tiba atau penderita bergerak, yang menunjukkan bahwa ada tanda-tanda (Dey et
al., 2015).

2) Resusitasi Jantung Paru (RJP) pada Anak dan Infant


Resusitasi jantung paru (RJP) pada anak dan bayi merupakan bagian dari
komunitas rantai keberhasilan yang mencakup: 1) pencegahan; 2) segera
mengidentifikasi tanda-tanda henti jantung dan mengaktifkan sistem respons

12
kegawatdaruratan; 3) RJP dengan fokus pada kompresi dada; 4) bantuan hidup lanjut
yang baik; 5) perawatan paska henti jantung yang terintegrasi; 6) fase pemulihan,
rehabilitasi, dan evaluasi neurologis; dan 7) evaluasi neurologis. Menurut AHA 2020,
enam rantai keberhasilan ini merupakan mata rantai keberhasilan hidup. Tiga
rangkaian pertama termasuk dalam kategori bantuan hidup dasar. Pengembalian
sirkulasi spontan dan neurologi yang tidak terganggu pada anak terkait dengan RJP
yang efektif dan cepat. Salah satu efek yang paling umum pada anak adalah henti
nafas, dengan kemungkinan kelangsungan hidup neurologis utuh lebih dari 70%.
Selain itu, VF, dengan kemungkinan kelangsungan hidup sekitar 30% yang
dilaporkan. 2% hingga 10% pada anak-anak dengan kerusakan neurologis dan henti
jantung di rumah sakit. Menurut beberapa penelitian, melakukan RJP yang cepat
dapat meningkatkan kelangsungan hidup dan keutuhan neurologi. Malformasi
congenital, komplikasi premature, dan Sudden Infant Death Syndrome (SIDS) adalah
penyebab terbesar kematian bayi dan anak-anak.

Gambar 4.16. Algoritme Henti Jantung Anak (Panchal et al., 2020).

13
Gambar 4.17. Rantai Bertahan Hidup AHA untuk IHCA dan OHCA pediatrik
(Panchal et al., 2020).

Prosedur 1 kaji tanda henti jantung


Kenali tanda-tanda bahwa penderita memerlukan RJP, seperti tidak
berespon, tidak bernafas, atau nafas gasping.

Prosedur 2 cek respon dan cek napas


Jika Anda mengetahui nama penderita, tepuk pundak mereka dan
tanyakan dengan lantang, "apakah Anda baik-baik saja?" Dia akan mengerang,
bergerak, atau menjawab jika ada respons. Kemudian segera kaji apakah
penderita sakit atau memerlukan bantuan medis. Jika penolong dan penderita
bernafas bersama, tinggalkan penderita dan aktifkan sistem respon
kegawatdaruratan. Namun, kembalilah segera ke penderita untuk memeriksa
kondisinya. Pertahankan posisi yang nyaman bagi anak yang mengalami stres
pernafasan. Jika pasien tidak sadar, panggil bantuan dan berikan AED.
Jika penderita menunjukkan pernafasan yang teratur, RJP tidak
diperlukan. Jika tidak ada trauma, tempatkan penderita di posisi pemulihan
untuk mempertahankan jalan nafas yang cukup dan mengurangi risiko aspirasi.
Jika penderita tidak menunjukkan respons dan tidak mengeluarkan napas (atau
hanya mengeluarkan napas gasping), segera aktifkan sistem respon daruratan
atau SPGDT. Jika ada lebih dari satu penolong, satu penolong mengaktifkan
sistem dan penolong lainnya segera memulai tahapan RJP. Ketika sistem
diaktifkan, informasi harus diberikan tentang lokasi kejadian, apa yang terjadi,
kondisi korban, dan penolong

Prosedur 3 cek nadi


Pastikan korban berada di posisi supine (muka ke atas) pada permukaan
yang keras, seperti meja, lantai, atau tanah, jika mereka tidak menunjukkan
respons. Jika korban dibalikkan, penolong harus minimal membalikkan kepala
atau lehernya. Jika ada lebih dari 2 penolong, segera lakukan cek nadi selama
tidak lebih dari 10 detik. Orang awam tidak diajarkan untuk melakukan cek
nadi jika tidak ada nadi RJP.

14
Prosedur 3 kompresi dada
Lakukan kompresi segera jika bayi atau anak tidak menunjukkan
respons, tidak bernafas, atau nadi tidak teraba. Jika hanya ada 1 penolong,
lakukan kompresi dengan teknik 2 jari untuk bayi. Jika ada 2 penolong,
gunakan teknik 2 ibu jari dan lingkari penderita dengan tangan. Tempatkan
kedua tangan Anda di atas dada bayi dengan jari-jari melingkari seluruh rongga
thorax dan letakkan ibu jari setengah atas bagian bawah sternum. Tekan secara
kuat dengan menggunakan ibu jari. Teknik 2 ibu jari lebih baik daripada teknik
2 jari karena dapat meningkatkan tekanan perfusi arteri koroner, kedalaman,
dan kekuatan kompresi, serta tekanan sistolik dan diastolik yang lebih tinggi.

Gambar 4.18. Kompresi dada 1 penolong pada bayi (Panchal et al., 2020).

Setelah menerima 30 kompresi pada satu penolong (15 kompresi untuk


dua penolong), buka jalan nafas dengan head tilt-chin lift dan beri bantuan
nafas 2 kali. Untuk membuka jalan nafas penderita, gunakan gerakan jow thrust
tanpa ekstensi kepala jika terlihat tanda-tanda trauma atau cedera spinal. Jika
jalan nafas tidak terbuka dengan jaw thrust atau dengan sniffing position,
gunakan head tilt-chin lift. Ini karena sangat penting untuk RJP untuk pediatrik
untuk mempertahankan kepatenan jalan nafas dan memberikan ventilasi yang
cukup.

Gambar 4.19. Kompresi dada 2 penolong pada bayi (Panchal et al., 2020).

Rasio kompresi dan ventilasi untuk satu penolong adalah 30:2, dan untuk
dua penolong adalah 15:2. Pertahankan jalan nafas terbuka selama kompresi
dada. Berikan ventilasi dengan meminimalkan interupsi pada kompresi dada.

15
Setelah jalan nafas definitive terpasang, kompresi dengan kecepatan 100–120
kali per menit tanpa menghentikan kompresi saat memberikan ventilasi dengan
kedalaman 2 inci atau 5 cm. Dan ventilasi tidak boleh terlalu banyak—8-10
kali per menit atau tiap 6-8 detik.

Prosedur 4 gunakan AED


Setelah melakukan RJP selama dua menit atau lima siklus, aktifkan
sistem respon kegawatdaruratan (SPGDT). Kemudian, ambil AED tanpa
menghentikan kompresi dada dan ventilasi. Segera setelah kejut atau
defibrilasi, ikuti petunjuk suara dan lakukan kompresi dada. Sequence of
Defibrilation with AED: nyalakan AED, ikuti instruksi, dan akhiri siklus RJP
(untuk mengevaluasi dan melakukan shock atau defibrilasi) dengan kompresi
jika memungkinkan. Segera lakukan RJP setelah shock atau defibrilasi untuk
mengurangi interupsi terhadap kompresi dada (Almiro et al., 2023).

Gambar 4.20. Penggunaan AED pada anak (Panchal et al., 2020).

Prosedur 5 cek irama jantung


Jika AED/defibrillator manual datang, segera lakukan cek irama untuk
menentukan apakah irama dapat di lakukan pemberian kejut/defibrilasi
(shockable) atau irama tidak dapat dikejut (unshockable).

Prosedur 6 irama yang dapat diberikan kejut


Irama ventrikel fibrilasi (VF) dan ventrikel takikardi (VT) tanpa nadi
adalah irama yang dapat dikejut, defibrilasi, atau shockable. Jika ada irama ini,
segera kejut atau defibrilasi. Energi pertama yang digunakan adalah 2
Joule/kgBB. Jika masih ada irama VF/VT tanpa nadi, kejut/defibrilasi harus
diberikan setiap dua menit. Dosis kedua ditingkatkan dua kali lipat, yaitu 4
Joule/kgBB (Neuber et al., 2019).

Prosedur 7 irama yang tidak dapat diberikan kejut


Jika ada irama yang tidak dapat dikejutkan, defibrilasi atau gambaran
asistol dan PEA segera lakukan RJP dengan perbandingan kompresi 30 kali dan
ventilasi 2 kali selama 2 menit. Cek irama tiap 2 menit dan lanjutkan sampai
tim lain tiba atau penderita bergerak (Dey et al., 2015).

16
3) Resusitasi Jantung Paru (RJP) pada ibu hamil
Penting untuk menghindari henti jantung dan henti nafas selama kehamilan:
penderita hamil harus diletakkan di sisi kiri untuk mengurangi kemungkinan
tertekannya vena cava inferior. Hipotensi, henti nafas, dan henti jantung dapat terjadi
karena sumbatan pada uterine.

Gambar 4.21. Pemindahan uteri dengan tehnik kedua tangan dan tehnik posisi
lateral kiri dengan kemiringan 30° (Panchal et al., 2020).

Pemindahan uterine ke kiri dilakukan dengan teknik dua tangan. Jika metode
ini tidak berhasil, tempatkan pasien di sisi kiri dengan kemiringan 30 derajat (4-6
inci) dengan alas yang keras untuk melindungi pelvis dan thorax. Lakukan sectio
caesarea jika tetap tidak adekuat. Beri oksigen 100%. Untuk mengetahui apakah ada
hipotensi, pasang akses intra vena di atas diafragma. Hipotensi didefinisikan sebagai
tekanan darah sistolik kurang dari 100 mmHg atau 80% dari baseline. Larutan koloid
dan kristaloid dapat meningkatkan preload pada pasien yang tidak mengalami henti
nafas atau henti jantung. Pertimbangkan hal-hal yang menyebabkan keadaan menjadi
lebih buruk dan cari tahu apa yang dapat dilakukan untuk menghentikannya (Eric J. et
al., 2020).

17
Gambar 4.22. Henti Jantung pada Algoritma ACLS Kehamilan di Rumah Sakit
(Panchal et al., 2020).

18
Referensi
Almiro, A., AlQassab, O., Alzeidan, R., Binhaddab, A. S., Alkhorisi, A. M., Almalki, H. A.,
Ghouthalsayd, M. A., Kashour, T., Hersi, A., & Alqarawi, W. (2023). Characteristics of out-of-
hospital cardiac arrest patients in Riyadh province, Saudi Arabia: a cross-sectional study.
Frontiers in Cardiovascular Medicine, 10, 1192795. https://doi.org/10.3389/fcvm.2023.1192795
Camenzind, M., Stämpfli, R., & Rossi, R. M. (2023). Pressure Sensors to Measure Interface-Pressure.
Compression Textiles for Medical, Sports, and Allied Applications, 109–123.
https://doi.org/10.1201/9781003298526-9
Delker, E., Bandoli, G., LaCoursiere, Y., Ferran, K., Gallo, L., Oren, E., Gahagan, S., Ramos, G. A.,
& Allison, M. (2022). Chronic hypertension and risk of preterm delivery: National Longitudinal
Study of Adolescents to Adult Health. Paediatric and Perinatal Epidemiology, 36(3), 370–379.
https://doi.org/10.1111/ppe.12858
Deng, J., Zeng, Z., & Zhang, Z. (2023). Case report of non-tracheal intubation-an alternative for
postpneumonectomy patients undergoing contralateral pulmonary resection. Journal of
Cardiothoracic Surgery, 18(1), 282. https://doi.org/10.1186/s13019-023-02386-z
Dey, J., Kumar, S., Aswal, V. K., Panicker, L. V., Ismail, K., & Hassan, P. A. (2015). Effect of
sodium salicylate and sodium deoxycholate on fibrillation of bovine serum albumin:
Comparison of fluorescence, SANS and DLS techniques. Physical Chemistry Chemical Physics,
17(23), 15442–15451. https://doi.org/10.1039/c5cp01666e
Eisenberg, M. S., Baskett, P., & Chamberlain, D. (2007). A history of cardiopulmonary resuscitation.
Cardiac Arrest: The Science and Practice of Resuscitation Medicine, 9780521847, 3–25.
https://doi.org/10.1017/CBO9780511544828.003
Eric J., Lavonas, MD, MS; David J. Magid, MD, MPH; Khalid Aziz, MBBS, BA, MA, MEd(IT);
Katherine M. Berg, MD; Adam Cheng, M., Amber V. Hoover, RN, MSN; Melissa Mahgoub,
PhD; Ashish R. Panchal, MD, PhD; Amber J. Rodriguez, P. A. A. T., & MD, MSCE; Comilla
Sasson, MD, P. dan T. P. F. U. P. A. (2020). Kejadian penting American Heart Association
Tahun 2020. In American Heart Association (AHA). https://cpr.heart.org/-/media/cpr-files/cpr-
guidelines-files/highlights/hghlghts_2020eccguidelines_indonesian.pdf
Herzog, E., Herzog, L., Aziz, E. F., & Mayer, S. A. (2020). Cardiac Arrest. Mount Sinai Expert
Guides: Critical Care, 159–166. https://doi.org/10.1002/9781119293255.ch19
Joddar, B., Natividad-Diaz, S. L., Padilla, A. E., Esparza, A. A., Ramirez, S. P., Chambers, D. R., &
Ibaroudene, H. (2022). Engineering approaches for cardiac organoid formation and their
characterization. Translational Research, 250, 46–67. https://doi.org/10.1016/j.trsl.2022.08.009
Kohen, C. J. (2023). Electrocardiogram Interpretation. Advanced Monitoring and Procedures for
Small Animal Emergency and Critical Care: Second Edition, 135–151.
https://doi.org/10.1002/9781119581154.ch11
Lee, H., Kim, J., Joo, S., Na, S. H., Lee, S., Ko, S. B., Lee, J., Oh, S. Y., Ha, E. J., & Ryu, H. G.
(2023). The effect of audiovisual feedback of monitor/defibrillators on percentage of appropriate
compression depth and rate during cardiopulmonary resuscitation. BMC Anesthesiology, 23(1),
12871. https://doi.org/10.1186/s12871-023-02304-9
Mainali, S., Diesing, T. S., Toledano, M., Marulanda, E., Tornes, L., Ghoshal, S., Mauermann, M. L.,
Southerland, A. M., Morris, N. A., Sarwal, A., Reda, H., Porter, A. B., Stitt, D., Gill, C., & Cho,
T. A. (2023). Neurology of Systemic Disease: Article 1: Neurologic Complications of Cardiac
and Pulmonary Disease. CONTINUUM Lifelong Learning in Neurology, 29(3), 63140.
https://doi.org/10.1212/01.CON.0000944380.63140.f5
Monnet, X., Lai, C., Ospina-Tascon, G., & De Backer, D. (2023). Evidence for a personalized early
start of norepinephrine in septic shock. Critical Care, 27(1), 13054.
https://doi.org/10.1186/s13054-023-04593-5
Neuber, J. U., Varghese, F., Pakhomov, A. G., & Zemlin, C. W. (2019). Using Nanosecond Shocks
for Cardiac Defibrillation. Bioelectricity, 1(4), 240–246. https://doi.org/10.1089/bioe.2019.0030
Nurjaman, I., & Saparlina, I. (2023a). Leadership Style Affects Nursing Quality Improvement: Study
Meta-analysis. ORGANIZE: Journal of Economics, Management and Finance, 2(3), 119–134.
https://organize.pdfaii.org/index.php/i/article/view/54/18
Nurjaman, I., & Saparlina, I. (2023b). The Relationship between Nurse’s Knowledge Regarding
Health Laws and the Performance of Nurses at Intan Husada Hospital Garut. Kohesi: Jurnal

19
Sains Dan Teknologi, 1(4), 50–60.
https://ejournal.warunayama.org/index.php/kohesi/article/view/193
Nurjaman, I., Setiawan, A., & Setiawati. (2023). Analisis Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan
Kualitas Mutu Pelayanan Keperawatan di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Slamet Garut.
Indonesian Nursing Journal of Education and Clinic, 3(4), 183–195.
https://ejournal.penerbitjurnal.com/index.php/health/article/view/475
Panchal, A. R., Bartos, J. A., Cabañas, J. G., Donnino, M. W., Drennan, I. R., Hirsch, K. G.,
Kudenchuk, P. J., Kurz, M. C., Lavonas, E. J., Morley, P. T., O’Neil, B. J., Peberdy, M. A.,
Rittenberger, J. C., Rodriguez, A. J., Sawyer, K. N., & Berg, K. M. (2020). Part 3: Adult Basic
and Advanced Life Support: 2020 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary
Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. In Circulation (Vol. 142, Issue 16 2).
https://doi.org/10.1161/CIR.0000000000000916
Raphael, C. K., El Hage Chehade, N. A., Khabsa, J., Akl, E. A., Aouad-Maroun, M., & Kaddoum, R.
(2023). Ultrasound-guided arterial cannulation in the paediatric population. Cochrane Database
of Systematic Reviews, 2023(3), 14651858. https://doi.org/10.1002/14651858.CD011364.pub3
Rho, R. W., & Page, R. L. (2007). The automated external defibrillator. Journal of Cardiovascular
Electrophysiology, 18(8), 896–899. https://doi.org/10.1111/j.1540-8167.2007.00822.x
Sabashnikov, A., & Wahlers, T. (2023). ECMO Retrieval Program Foundation. In A. Sabashnikov &
T. Wahlers (Eds.), ECMO Retrieval Program Foundation. Springer International Publishing.
https://doi.org/10.1007/978-3-031-20260-5
Stanley, M. (1966). Closed chest cardiac massage. Occupational Medicine, 16(1), 15–18.
https://doi.org/10.1093/occmed/16.1.15

20
PROFIL PENULIS

Ns. Iman Nurjaman, M.Kep


Penulis lahir di Garut 18 Spetember 1990, adalah kepala UGD (Unit Gawat Darurat) di
Rumah Sakit Intan Husada Garut. Menyelesaikan pendidikan Ahli Madya
Keperawatan di Akademi Keperawatan Pemda Garut (2008-2011), S1 Keperawatan di
STIKES Karsa Husada Garut (2018-2020), Profesi Ners di STIKES Cirebon (2020-
2021), Program S2 Keperawatan di FITKes Universitas Jenderal Achmad Yani Cimahi
dengan predikat Cumlaude (2021-2023). Pengalaman kerja sebagai praktisi dan leader di ICU
(Intensive Care Unit) dimulai pada tahun 2013-2020. Saat ini diamanahkan sebagai dan Ketua Pokja
AKP (Akses dan Kontinuitas Pelayanan) di Rumah Sakit Intan Husada Garut yang telah Terakreditasi
Paripurna LAM-KPRS (Lembaga Akreditasi Mutu dan Keselamatan Pasien Rumah Sakit). Penulis
juga merupakan Dosen pada Fakultas Keperawatan Program Studi D-III Keperawatan, Universitas
Bhakti Kencana PSDKU (Program Studi di Luar Kampus Utama) Garut dan Program Studi S1
Keperawatan, Sekolah Tinggi Kesehatan Indonesia Wirautama Bandung. Sebagai seorang yang
sepenuhnya mengabdikan dirinya sebagai dosen, selain pendidikan formal yang telah ditempuhnya
penulis juga mengikuti berbagai pelatihan untuk meningkatkan kinerja dosen, khususnya di bidang
pengajaran, penelitian dan pengabdian. Selain itu, penulis juga aktif melakukan penelitian yang
diterbitkan di berbagai jurnal nasional terakreditasi maupun internasional yang bereputasi. Penulis
juga aktif menjadi pemakalah diberbagai kegiatan dan menjadi narasumber pada seminar/pelatihan
emergency, intensive care, wound care dan situational leadership.
Email: imannurjaman16@gmail.com

21

Anda mungkin juga menyukai