Anda di halaman 1dari 48

REFERAT ANESTESI

Fisiologi Pernafasan dan Anestesi Inhalasi

Disusun oleh:
Olivia Jeany Darmawan Adji Saroso
1305002546

Pembimbing:
dr. Carla Oktaviani Pandrya, SpAn

Kepaniteraan Klinik Ilmu Anestesi


Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan
Siloam Hospital Lippo Village – Rumah Sakit Umum Siloam
Tangerang
Pendahuluan

Fisiologi pernafasan dan anestesia inhalasi merupakan dua topik penting


dalam ilmu anestesia yang saling berhubungan dan tidak dapat dipisahkan.
Anestesia inhalasi merupakan agen-agen anestesia yang paling umum digunakan,
khususnya pada induksi (terlebih pada anak-anak) dan ​maintenance dari
pembiusan umum. Agen-agen anestesia inhalasi bergantung pada paru-paru untuk
penyerapan dan eliminasinya ke dalam sistem tubuh manusia. Oleh karenanya,
pembahasan dan pengertian yang baik akan fisiologi pernafasan dan anestesia
inhalasi adalah hal yang penting untuk mengerti mengenai bagaimana sifat dan
kerja serta eliminasi agen inhalasi dari tubuh. Hal ini akan memberikan pengertian
yang diperlukan bagi seorang praktisi untuk dapat mencapai efek-efek yang ingin
didapatkan dari agen-agen inhalasi ini dalam anestesia secara optimal. Selain itu
pengertian akan sifat suatu agen inhalasi dan pengaruh kondisi pernafasan,
khususnya paru-paru seseorang, juga akan membuat seorang praktisi sadar akan
efek samping serta kemungkinan munculnya efek-efek yang tidak diinginkan dari
penggunaan suatu agen anestesia inhalasi. Kesadaran akan munculnya efek-efek
samping, serta efek-efek yang tidak diinginkan ini akan memberikan kewaspadaan
lebih serta kesiapan dalam mengantisipasinya sehingga kerugian baik bagi pasien
maupun praktisi dapat dikurangi.
BAB I
Fisiologi Paru dan Hubungannya dengan Anestesia

A. Anatomi Fungsional Sistem Pernafasan​1


a. Tulang-tulang Iga dan Otot-otot Pernafasan
Rongga dada yang dibentuk tulang-tulang iga melindungi
dua paru-paru yang masing-masing dilindungi oleh pleuranya
sendiri. Pada bagian puncak rongga dada ini adalah suatu
pembukaan kecil yang memungkinkan masuknya trakea, esofagus,
dan pembuluh-pembuluh darah. Sedangkan pada bagian basal
rongga dada dibentuk oleh diafragma.
Diafragma merupakan otot pernafasan utama yang berperan
dalam 75% perubahan volume rongga dada. Saat berkontraksi,
diafragma akan menyebabkan turunnya dasar rongga thorax
sebanyak 1,5-7 cm, sehingga paru-paru yang berada di dalamnya
mengembang. Selain diafragma, otot-otot aksesoris juga membantu
dalam peningkatan volume rongga dada dan ekspansi paru, yaitu
dengan efeknya terhadap tulang-tulang iga. Setiap tulang iga,
kecuali 2 iga terbawah, berartikulasi secara posterior dengan
vertebra, terangulasi ke arah bawah bersamaan dengan melekatnya
tulang iga ini dengan sternum secara anterior. Pergerakan tulang
iga ke atas dan ke luar akan menyebabkan ekspansi dari rongga
dada.
Selama pernafasan normal, diafragma dan otot-otot
interkostalis eksterna bertanggung jawab untuk terjadinya inspirasi;
sedangkan proses ekspirasi umumnya terjadi secara pasif. Dengan
usaha tambahan, otot-otot sternocleidomastoideus, skaleneus, dan
pektoralis dapat digunakan saat inspirasi untuk mencapai inspirasi
maksimal. Otot sternocleiodmastoid membantu terangkatnya
rongga daad, sedangkan otot skaleneus mencegah perpindahan
iga-iga atas ke dalam. Otot pektoralis sendiri akan membantu
ekspansi dada saat lengan diposisikan secara tetap. Ekspirasi
sendiri, seperti yang telah disebutkan tadi, merupakan suatu proses
pasif, khususnya pada posisi berbaring (supinasi), namun akan
menjadi suatu proses aktif pada posisi tegakak dan dengan adanya
peningkatan usaha. Ekshalasi umumnya dibantu oleh otot-otot
abdominal (rektus abdominis, obliq internal dan eksternal, serta
transversus), dan juga oleh otot-otot interkostal interna yang
membantu pergerakan tulang-tulang iga ke arah bawah.
Meskipun seringkali tidak dianggap sebagai otot-otot
pernafasan, beberapa otot-otot faring berperan penting dalam
mempertahankan patensi jalan nafas. Aktifitas tonik dan reflek
inspiratorik pada genioglossus menjaga lidah dari dinding faring
posterior. Aktifitas tonik dari otot-otot levator palati, tensor palati,
palatopharyngeus, dan palatoglossu mencegah palatum mole jatuh
ke belakang ke faring posterior, khususnya saat posisi supinasi.

Gambar 1. Kontraksi dan ekspansi dari rongga thoraks saat


inspirasi dan ekspirasi, menunjukkan kontraksi diafragma, fungsi
otot-otot interkostalis, serta elevasi dan depresi dari tulang-tulang
iga.​2
Gambar 2. Anatomi saluran nafas atas yang berperan dalam
mempertahankan patensi jalan nafas.​3

b. Percabangan Trakeobronkial​1
Trakea berperan sebagai jalan udara untuk ventilasi serta
pengeluaran sekresi dari trakea atau bronkus. Trakea dimulai pada
batas bawah kartalago krikoid dan berlannjut hingga setinggi
karina. Trakea memiliki panjang rata-rata sekitar 10-13 cm. Trakea
tersusun dari cincin-cincin kartilago berbentuk C yang membentuk
dinding anterior dan lateral dari trakea dan terhubung secara
posterior dengan dinding membranosa dari trakea. Trakea memiliki
diameter eksternal sekitar 2,3 cm secara koronal dan 1,6 cm secara
sagital pada laki-laki, dan berturut-turut 2 cm dan 1,4 cm pada
perempuan. Kartilago krikoid merupakan bagian tersempit dari
trakea dengan rata-rata diameter 1,7 cm pada laki-laki dan 1,3 cm
pada perempuan.
Trakea bercabang dua pada karina dan berlanjut menjadi
bronkus utama kanan dan kiri. Lumen trakea menyempit sedikit
dengan semakin dekatnya dengan karina, dan bifurkasi trakea
berlokasi setinggi angulus sternalis. Bronkus utama kanan terletak
dengan orientasi yang lebih vertikal dibanding trakea, sedangkan
bronkus utama kiri lebih horizontal. Bronkus utama kanan
berlanjut menjadi bronkus intermedius setelah memasuki lobus
kanan atas. Jarak dari karina dan memasuki lobus kanan atas ini
rata-rata 2 cm pada laki-laki dan kira-kira 1,5 pada wanita.
Sedangkan bronkus utama kiri umumnya lebih panjang dengan
rata-rata 5 cm pada laki-laki dan 4,5 cm pada perempuan. Bronkus
utama kiri ini lalu terbagi menjadi bronkus lobus kiri atas dan lobus
kiri bawah.
Humidifikasi dan filter air yang masuk merupakan fungsi
dari jalan nafas atas (hidung, mulut, dan faring). Fungsi dari
percabangan trakeobronkial adalah menghantarkan aliran gas dari
dan ke alveolus. Pembagian dikotomi (tiap cabang terbagi menjadi
2 cabang yang lebih kecil) dimulai dari trakea dan berhenti pada
sakus alveolar diperkirakan melibatkan 23 divisi atau generasi.
Dengan tiap generasi, jumlah jalan nafas mengganda. Tiap sakus
alveolar mengandung kira-kira 17 alveollus. Tiga ratus juta
alveolus diperkirakan menyediakan membran yang sangat luas
(50-100 m​2​) untuk pertukaran gas pada manusia dewasa.
Gambar 3. Pembagian dikotomi dari jalan nafas.​1

Dengan tiap-tiap divisi, epithel mukosa dan


struktur-struktur yang menyokong jalan nafas berubah secara
gradual. Perubahan ini terjadi secara perlahan, dari epithel
kolumnar bersilia, menjadi epithel kuboidal, dan akhirnya menjadi
epithel gepeng alveolar. Pertukaran gas hanya terjadi pada epitel
yang gepeng ini, yang mulai muncul pada bronkiolus respiratorik
(generasi 17-19). Dinding dari jalan nafas secara perlahan juga
kehilangan sokongan kartilagonya (pada bronkiolus) lalu otot
polosnya juga menghilang secara perlahan. Hilangnya sokongan
kartilago ini mengakibatkan patensi jalan nafas yang lebih kecil
menjadi bergantung (dependen) pada traksi radial dari rekoil elastis
dari jaringan-jaringan yang mengelilinginya; sebagai akibatnya
diameter jalan nafas menjadi tergantung pada volume paru total.
Silia-silia pada epithel kolumnar dan kuboidal bergerak
dengan sinkron sehingga mukus yang diproduksi oleh
kelenjar-kelenjar sekretorik yang melapisi jalan nafas (termasuk
bakteri-bakteri dan debris yang ada padanya) dapat bergerak ke
atas menuju mulut untuk dikeluarkan.
i. Alveolus
Ukuran dari alveolus merupakan fungsi dari baik gravitasi
dan volume paru. Alveolus memiliki rata-rata diameter sebesar
0,05-0,33 mm. Pada posisi tegak, alveolus terbesar terdapat pada
puncak pernafasan, sedangkan diameter terkecil cenderung terdapat
di dasar. Dengan inspirasi, perbedaan ukuran alveolus ini
menghilang.
Tiap-tiap alveolus berkontak dekat dengan jaring-jaring
kapiler pulmoner. Dinding tiap alveolus tersusun secara asimeteris,
yaitu pada bagian permukaan yang tipis di mana pertukaran gas
terjadi, epithel alveolus hanya dipisahkan dari endothel kapiler oleh
masing-masing membran seluler dan membran basalisnya;
sedangkan pada sisi yang tebal, di mana pertukaran cairan dan zat
terjadi, rongga interstitial pulmoner memisahkan epithel alveolus
dari kapiler endothel. Rongga interstitial pulmoner ini paling
banyak mengandung elastin, kolagen, dan mungkin serabut-serabut
saraf. Pertukaran gas terjadi pada sisi tipis membran alveolokapiler
yang memiliki ketebalan kurang dari 0,4 μm. Sisi tebal (1-2 μm)
memberikan sokongan struktural bagi alveolus.
Epithel pulmoner mengandung paling tidak dua tipe sel.
Pneumosit tipe I bersifat gepeng dan membentuk ​tight junctions
(1-nm) antara satu sama lain. ​Tight junctions ini memiliki peran
penting untuk mencegah lewatnya molekul aktif yang besar dan
onkotik seperti albumin ke dalam alveolus. Pneumosit tipe II
memiliki jumlah lebih banyak dari pada tipe I, merupakan sel-sel
bulat yang mengandung inklusi sitoplasmik prominen (badan
lamellar). Inklusi-inklusi ini mengandung surfaktan, yang
merupakan zat penting untuk mekanisme pulmoner normal.
Pneumosit tipe II memiliki kemampuan untuk berdivisi, dan
bahkan dapat memproduksi pneumosit tipe I bila pneumosit tipe I
hancur, sedangkan pneumosit tipe I tidak. Pneumosit tipe II juga
tahan terhadap toksisitas O​2​.
Gambar 4. Rongga interstisial paru dengan kapiler di antara dua
alveolus.​1

Sel-sel lain yang terdapat pada jalan nafas bagian bawah


termasuk makrofag-makrofag alveolar pulmoner, sel mast, limfosit,
dan sel ​amino precursor uptake and decarboxylation (APUD).
Neutrofil biasanya ditemukan pada perokok dan pasien-pasien
dengan cedera paru akut.
Gambar 5. Diagram skematik alveolus dengan sel-sel yang
menyusun serta mengelilinginya.​5

c. Sirkulasi dan Saluran Limfatik Pulmoner​1


Paru-paru disokong oleh dua sirkulasi, yaitu sirkulasi
pulmoner dan bronkial. Sirkulasi bronkial dimulai dari jantung kiri
dan mempertahankan kebutuhaan metabolik dari percabangan
trakeobronkial. Sirkulasi bronkial menyediakan sedikit aliran darah
(kurang dari 4% dari ​cardiac output [CO]). percabangan dari arteri
bronkial mensuplai dinding bronkus dan mengikuti jalan nafas
sejauh bronkiolus terminal. Sepanjang perjalanannya pembuluh
darah-pembuluh darah bronkial beranastomosis dengan sirkulasi
arteri pulmoner dan berlanjut sejauh duktus alveolar. Di bawah itu,
jaringan paru disokong oleh kombinasi dari gas alveolar dan
sirkulasi pulmoner. Hampir semua darah yang dibawa arteri-arteri
bronkial akan memasuki sirkulasi pulmoner, kecuali yang pada
bronkus utama di dalam mediastinum.
Sirkulasi pulmoner umumnya mendapatkan output total dari
jantung kanan melalui arteri pulmoner, yang akan terbagi menjadi
cabang kanan dan kiri untuk mensuplai tiap-tiap paru, darah yang
terdeoksigenasi melewati kapiler-kapiler pulmoner di mana O​2
diambil dan CO​2 dieliminasi. Darah yang teroksigenasi lalu
dikembalikan ke jantung kiri oleh empat vena pulmoner utama (2
dari tiap-tiap paru). Meskipun aliran melewati sirkulasi sistemik
dan pulmoner setara, resistensi vaskuler pulmoner uang lebih
rendah menyebabkan tekanan pada pembuluh darah pulmoner
hanya ⅙ dari yang ada pada sirkulasi sistemik. Sebagai
konsekuensinya, baik arteri maupun vena pulmoner secara normal
memiliki dinding yang lebih tipis dibanding pembuluh darah
sistemik, dengan jumlah otot polos yang juga lebih sedikit.
Terdapat koneksi antara sirkulasi bronkial dan pulmoner.
Komunikasi arteriovena langsung, melewati kapiler-kapiler
pulmoner biasanya insignifikan, namun dapat menjadi penting pada
kondisi-kondisi patologis tertentu. Sirkulasi bronkial akan berperan
penting dalam ​admixture vena yang normal yang akan dibahas
lebih lanjut.
i. Kapiler Pulmoner
Kapiler-kapiler pulmoner tergabung dalam dinding
alveolus. Diameter rata-rata dari kapiler-kapiler ini sangat kecil
(kira-kira 10 μm) sehingga hampir pas untuk lewatnya satu sel
darah merah. Karena tiap jaring-jaring kapiler mensuplai lebih dari
satu alveolus, darah dapat melewati beberapa alveolus sebelum
mencapai vena pulmoner. Karena tekanan pada sirkulasi pulmoner
yang relatif rendah, jumlah darah yang mengalir melalui
jaring-jaring kapiler dipengaruhi oleh gravitasi dan ukuran
alveolus. Alveolus-alveolus yang besar memiliki kapiler yang lebih
kecil dan konsekuensinya ada peningkatan resistensi terhadap
aliran darah. Pada posisi tegak, kapiler di apeks cenderung
memiliki aliran yang berkurang, sedangkan aliran di basal lebih
tinggi.
Endothel kapiler pulmoner memiliki ​junctions yang relatif
besar (5 μm), dan memungkinkan molekul-molekul besar seperti
albumin untuk lewat. Sebagai akibatnya, cairan interstisial
pulmoner relatif kaya albumin. Makrofag-makrofag dan neutrofil
yang bersirkulasi dapat melewati endothel dan ​junctions ​epithel
alveolus yang lebih kecil, dengan gampang. Makrofag-makrofag
pulmoner umumnya dapat ditemukan pada rongga interstisial dan
di dalam alveolus. Makrofag-makrofag ini bertugas mencegah
infeksi bakteri dan mengambil benda-benda asing.
ii. Saluran Limfatik Pulmoner
Saluran limfatik paru berasal dari rongga interstisial dari
septum-septum besar yang berdekatan dengan arteri bronkial.
Saluran limfatik bronkial mengembalikan cairan, protein yang
hilang, dan berbagai macam sel yang lolos ke interstisial
peribronkovaskuler ke sirkulasi darah, sehingga memastikan terjadi
homeostasis dan memungkinkan fungsi paru terus berjalan. Karena
adanya ​junctions endothelial yang besar, limfa pulmoner memiliki
kadar protein yang tinggi dan aliran limfatik pulmoner total dapat
mencapai 20mL/jam. Pembuluh-pembuluh limfatik yang besar ini
bergerak ke atas sepanjang jalan nafas, membentuk rantai nodus
limfatik. Saluran drainasi limfatik dari kedua paru berhubungan
sepanjang trakea.
d. Inervasi
Diafragma yang merupakan otot pernafasan utama
diinervasi oleh saraf-saraf phrenic yang berasal dari akar saraf
C3-C5. Blok atau kelumpuhan saraf phrenic unilateral tidak
menurunkan fungsi pulmoner terlalu banyak (sekitar 25%) pada
individu normal. Meskipun kelumpuhan otot phrenic bilateral
mengakibatkan gangguan yang lebih parah, aktifitas otot-otot
aksesoris kemungkinan dapat mempertahankan ventilasi yang
adekuat pada beberapa pasien. Otot-otot interkostal diinervasi oleh
akar saraf thorakal sesuai tingkatnya. Cedera pada korda servikal di
atas C5 mengakibatkan tidak mungkin terjadinya ventilasi spontan
karena baik saraf phrenic dan saraf-saraf interkostal terpengaruh.
Saraf vagus menyediakan persarafan sensorik untuk
percabangan traeobronkial. Baik inervasi simpatetik dan
parasimpatetik otot polos bronkial dan kelenjar-kelenjar sekretorik
juga dipersarafi oleh saraf vagus. Aktifitas saraf vagal
mengakibatkan bronkokonstriksi dan meningkatkan sekresi
bronkial via reseptor muskarinik. Aktifitas simpatetik (T1-T4)
mengakibatkan bronkodilatasi dan menurunkan sekresi via reseptor
β​2​.
Baik reseptor α dan β adrenergik terdapat pada pembuluh
darah pulmoner, namun biasanya sistem persarafan simpatetik
hanya memberikan sedikit efek pada tonus vaskular pulmoner.
Aktifitas α​1 mengakibatkan vasokonstriksi, β​2 mengakibatkan
vasodilatasi. Aktifitas vasodilator parasimpatis dimediasi via
pelepasan ​nitric oxide​ (NO).
B. Mekanisme Pernafasan​1,4
Pertukaran gas alveolus dengan gas segar dari saluran pernafasan
atas mereoksigenasi darah yang terdesaturasi dan mengeliminasi CO​2​.
Pertukaran udara ini diakibatkan adanya gadient tekanan siklik yang kecil
yang ada sepanjang saluran pernafasan. Selama ventilasi spontan, gradient
ini terjadi karena adanya variasi pada tekanan intrathorakal, sedangkan
selama ventilasi mekanis, gradient ini ada akibat tekanan postive
intemittent di saluran nafas atas.
a. Ventilasi Spontan
Tekanan di dalam alveolus selalu lebih besar dari tekanan yang
mengelilinginya (tekanan intrakthorakal) kecuali alveolus kolaps. Tekanan
alveolus biasanya sama dengan atmosfer (0) pada akhir-inspirasi dan
akhir-ekspirasi. Pada fisiologi pulmoner, tekanan pleura digunakan sebagai
perhitungan tekanan intrathorakal. Tekanan transpulmoner (P​transpulmoner​)
didefinisikan sebagai berikut:
P​transpulmoner​ = P​alveolar​ - P​intrapleural
Pada akhir-inspirasi, tekanan intrapleural biasanya sekitar -5 cm
H​2​O hingga -8 atau -9 cm H​2​O. sebagai akibatnya, tekanan alveolar juga
menurun (antara 13 dan 14 cm H​2​O), dan terjadilah gradien tekanan
alveolar-saluran nafas atas; gas mengalir dari saluran nafas atas ke
alveolus. Pada akhir-inspirasi (saat masuknya gas berhenti) tekanan
alveolar kembali ke 0, namun tekanan intrapleural tetap menurun, tekanan
transpulmoner yang baru terjadi ini (5 cm H​2​O) mempertahankan ekspansi
dada.
Selama ekspirasi, relaksasi diafragma kembali ke tekanan
intrapleural -5 cm H​2​O. Tekanan transpulmoner ini tidak mendukung
volume paru yang baru, sedangkan rekoil elastis dari paru menyebabkan
kembalinya gradient alveolus-saluran nafas atas ke awal; gas mengalir
keluar alveolus, dan volume awal paru-paru dikembalikan.
Gambar 6. Perubahan volume paru, tekanan alveolar, tekanan pleural, dan
tekanan transpulmoner selama nafas normal.​2

b. Ventilasi Mekanis
Sebagian besar ventilasi mekanis secara intermitten memberikan
tekanan udara positif pada saluran nafas atas. Saat inspirasi, gas mengalir
ke alveolus hingga tekanan alveolar setara dengan tekanan pada saluran
nafas atas. Saat fase ekspirasi, tekanan udara positif dihilangkan atau
dikurangi; sehingga gradien tekanan kembali, dan memungkinkan gas
mengalir keluar dari alveolus.

C. Mekanisme Paru​1,4
Pergerakan paru merupakan suatu proses pasif dan ditentukan oleh
impedansi dari sistem pernafasan. Impedansi ini dapat dibagi menjadi
resistensi elastis dari jaringan dan interfase gas-cairan dan resistensi
nonelastis terhadap aliran gas. Resistensi elastis mengatur volume paru dan
tekanan yang berhubungan pada kondisi statis (tidak ada aliran udara).
Resistensi terhadap aliran udara berkorelasi dengan resistensi friksional
terhadap aliran udara dan deformasi jaringan. Usaha yang diperlukan
untuk melampaui resistensi disimpan sebagai energi potensial, sedangkan
usaha yang diperlukan untuk melampaui resistensi nonelastis ini hilang
sebagai panas.
a. Resistensi Elastis
Baik paru-paru maupun dinding dada memiliki sifat elastis, di
mana dinding dada memiliki kecenderungan untuk meluas keluar,
sedangkan paru-paru memiliki tendensi untuk kolaps. Saat dinding dada
terpapar tekanan atmosferik (pneumothoraks terbuka), dinding dada dapat
meluas hingga 1 L pada orang dewasa. Sebaliknya, bila paru-paru terpapar
dengan tekanan atmosferik, maka akan kolaps secara keseluruhan dan
semua gas yang berada di dalam paru dikeluarkan. Sifat rekoil dari dinding
dada diakibatkan karena komponen struktural yang melawan deformasi
dan tonus otot dinding dada, sedangkan rekoil elastis dari paru adalah
akibat tingginya konsentrasi serabut-serabut elastis, dan yang lebih penting
yaitu adanya gaya tensi permukaan (​surface tension forces​) yang bekerja
pada interfase udara-cairan pada alveolus.
i. Gaya Tensi Permukaan
Interfase gas udara-cairan yang melapisi alveolus
menyebabkan alveolus ini bersifat seperti gelembung. Gaya tensi
permukaan cenderung menurunkan area interfase dan mendukung
kolaps alveolus. Hukum Laplace dapat digunakan untuk
menghitung gaya ini.
2 x tensi permukaan
T ekanan = radius

Tekanan yang didapatkan dari perhitungan ini merupakan


tekanan yang terdapat dalam alveolus. Namun, berbeda dari
gelembung, adanya surfaktan menurunkan tensi permukaan
alveolus. Kemampuan surfaktan untuk menurunkan tensi
permukaan secara berbanding lurus dengan konsentrasinya di
dalam alveolus, mengakibatkan tekanan intraalveolar yang lebih
rendah pada alveolus yang lebih kecil. Semakin kecil alveolus,
surfaktan di dalamnya menjadi lebih terkonsentrasi sehingga tensi
permukaannya tereduksi secara lebih efektif. Sebaliknya, saat
alveolus terlalu terdistensi, surfaktan menjadi kurang terkonsentrasi
dan tensi permukaan meningkat. Efek nett dari adanya ini adalah
untuk menstabilkan alveolus; di mana alveolus kecil dicegah dari
menjadi lebih kecil, sedangkan alveolus besar dicegah dari menjadi
lebih besar.
ii. Kompliansi
Rekoil elastis biasanya diukur berdasarkan kompliansi (C),
yang didefinisikan sebagai perubahan volume dibagi perubahan
tekanan yang mendistensi. Pengukuran kompliansi dapat
didapatkan dari rongga dada, paru-paru, atau keduanya. Pada posisi
supinasi, kompliansi dinding dada (C​W​) berkurang karena beban
dari isi rongga abdomen terhadap diafragma. Pengukuran ini
biasanya didapatkan pada kondisi statis. Kompliansi paru-paru
didefinisikan (C​L​) sebagai:
perubahan volume rongga dada
Cw = perubahan tekanan transthorakal

perubahan volume paru


CL = perubahan tekanan transpulmoner

C​L normal
​ bernilai 150-200 mL/cm H​2​O. Berbagai faktor,
termasuk volume paru, volume darah pulmoner, air ekstravaskuler
paru, dan proses-proses patologis (misalnya inflamasi dan fibrosis)
mempengaruhi C​L di
​ mana tekanan transthorakal sama dengan
tekanan atmosferik dikurangi tekanan intrapleural.
Kompliansi rongga dada normal adalah 200 mL/cm H​2​O.
kompliansi total adalah 100 mL/cm H​2​O dan didapatkan dari
persamaan berikut
1 1 1
Ctotal = Cw + Cl

b. Volume-Volume Paru
Volume-volume paru merupakan parameter penting dalam fisiologi
respirasi dan praktek klinis. Jumlah dari semua volume-volume paru sama
dengan nilai maksimal paru dapat dikembangkan. Kapasitas pari secara
klinis merupakan pengukuran yang berguna yang merepresentasikan
kombinasi dari 2 atau lebih volume-volume.

Gambar 7. Volume dan kapasitas paru​1

i. Kapasitas Residual Fungsional (​Functional Residual


Capacity ​= FRC)
Kapasitas residual fungsional adalah jumlah udara yang
masih terdapat di dalam paru-paru setelah ekspirasi normal. FRC
memiliki volume sekitar 3-4L dan dipengaruhi oleh jenis kelamin,
usia, tinggi, dan berat seseorang. FRC meningkat seiring dengan
tinggi dan usia, dan menurun dengan peningkatan berat badan,
sedangkan secara umum jumlahnya lebih kecil pada wanita
dibandingkan pada pria. Keseimbangan antara gaya tarik ke dalam
paru (rekoil elastis) dan gaya ke luar dinding dada menentukan
besarnya volume FRC ini
Paling tidak ada dua alasan yang baik mengapa tetap ada
udara di dalam paru-paru setelah ekspirasi. Yang pertama yaitu bila
alveolus kolaps setelah ekspirasi, besarnya usaha yang nantinya
harus dikeluarkan untuk membuka kembali alveolus-alveolus
tersebut akan melebihi udara yang dikeluarkan selama pernapasan
biasa. Alasan lainnya yaitu udara yang diinspirasi bercampur
dengan udara yang masing menetap di paru-paru, sehingga
menyetarakan variasi konsentrasi O​2 ​dan CO​2 ​yang terjadi selama
siklus pernafasan. Bila hanya terdapat sedikit udara di paru, variasi
udara di alveolus akan lebih luas dan variasi ini akan menyebabkan
variasi Pao​2​ dan Paco​2 dalam
​ darah.
Dengan peningkatan ventilasi, volume tidal (Vt) juga
mengalami peningkatan baik saat inspirasi maupun saat ekspirasi.
Peningkatan Vt ini menyebabkan penurunan FRC sebanyak kurang
lebih 0,5L. Namun dengan adanya obstruksi jalan nafas, ekspirasi
diperlambat sehingga volume akhir-ekspirasi justru mengalami
peningkatan dibanding penurunan. Fenomena ini disebut
“​air-trapping​” dan merupakan cara menurunkan resistensi terhadap
aliran udara di jalan nafas yang menyempit. Meskipun demikian,
air-trapping ini harus dibayar karena dengan peningkatan tingkat
pernafasan akan meningkatkan usaha elastis dari pernapasan.
FRC meningkat dengan usia akibat hilangnya jaringan paru
yang elastis, sehingga gaya kontraktilitas dari paru akan berkurang
dan menggeser titik keseimbangan antara rekoil elastis dengan
tarikan keluar rongga dada yang memungkinkan paru untuk
memiliki volume yang lebih besar. Pada pasien-pasien dengan
penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), peningkatan FRC lebih
cepat dibandingkan orang-orang normal karena efek dari
air-trapping kronis dan hilangnya jaringan elastis yang lebih parah
(khususnya pada empisema).
FRC berkurang pada penyakit-penyakit paru yang
dikarakteristikan dengan adanya fibrosis dari paru seperti fibrosis
idiopatik, pneumokoniosis, dan berbagai macam granulomatosis
dan vaskulitis.
ii. Kapasitas Paru Total (​Total Lung Capacity ​= TLC) dan
Subdivisi-Subdivisi
Volume udara dalam paru setelah inspirasi maksimal
disebut sebagai kapasitas paru total. Besarnya TLC ini biasanya
sekitar 6-8L. TLC dapat meningkat pada pasien dengan PPOK baik
karena overekspansi atau hiperinflasi dari alveolus atau karena
destruksi dinding alveolus akibat hilangnya jaringan elastis seperti
pada empisema. Pada kasus-kasus yang ekstrim, TLC dapat
meningkat hingga 50% atau hingga mencapai 11-12L. Sedangkan
pada kasus-kasus penyakit restriktif, TLC dapat menurun seimbang
dengan keparahan proses fibrosis dan dapat serendah 3-4L.
Bahkan setelah usaha ekspirasi maksimal, sebagian udara
masih tertinggal dalam paru dan tidak ada daerah yang kolaps.
Volume udara yang menetap ini disebut volume residual (​residual
volume ​= RV) yang berkisar antara 2-2,5L. Terhentinya ekspirasi
sebelum semua udara keluar dari paru diakibatkan 2 hal. Yang
pertama yaitu jalan nafas pada bagian distal yang memiliki
diameter 2mm atau kurang akan menutup sebelum terjadi
kolapsnya alveolus. Hal ini akan mencegah alveolus terjepit hingga
kosong. Yang kedua, dinding dada, tulang-tulang iga, dan
diafragma tidak dapat terdistorsi yang menyebabkan hingga semua
udara dalam paru keluar.
Volume maksimal yang dapat diinspirasi dan ekspirasi
disebut kapasitas vital (​vital capacity ​= VC). sehingga VC
merupakan perbedaan antara TLC dan RV yang berkisar antara
4-6L (60-70mL/kgBB). VC menurun pada penyakit paru restriktif
sebelum terjadinya penurunan RV. VC juga menurun pada
penyakit paru obstruktif, yang kemungkinan terjadi akibat adanya
air-trapping kronis yang meningkatkan RV, namun mengorbankan
VC. Namun TLC juga dapat meningkat, namun tidak proporsional
dengan peningkatan RV. Efek net nya dapat berupa TLC sebesar
12L, yang terdiri dari 11L RV dan VC sekecil 1L.
iii. Kapasitas Penutupan (​Closing Capacity ​= CC)
Saluran-saluran nafas kecil yang tidak memiliki sokongan
kartilago bergantung penuh pada traksi radial yang disebabkan
adanya rekoil elastis dari jaringan-jaringan di sekitarnya untuk
tetap terbuka. Patensi saluran nafas ini, khususnya pada daerah
basal dari paru, sangat bergantung pada volume paru. Volume paru
dimana saluran-saluran nafas ini mulai menutup disebut sebagai
kapasitas penutupan (CC). Pada volume paru yang lebih rendah,
alveolus pada daerah yang dependen akan tetap terperfusi namun
tidak lagi terventilasi mengakibatkan terjadinya ​shunting
intrapulmoner dari darah yang terdeoksigenasi yang mendukung
terjadinya hipoksemia. CC ini biasanya diukur menggunakan gas
pengusut (xenon-133) yang diinhalasi saat mendekati RV dan
diekhalasi dari TLC.
Gambar 8. Hubungan antara kapasitas residual fungsional, volume penutupan, dan
kapasitas penutupan​1

Secara normal, CC berada jauh di bawah FRC, namun CC


ini akan meningkat secara stabil seiring dengan bertambahnya usia.
Peningkatan ini mungkin bertanggungjawab untuk penurunan
normal tekanan arterial O​2 yang
​ terkait usia. Pada rata-rata usia 44
tahun, CC setara dengan FRC saat posisi supinasi, sedangkan pada
usia 66 tahun, CC setara atau melebihi FRC pada posisi tegak pada
sebagian besar individu. Tidak seperti FRC, CC tidak dipengaruhi
oleh postur.
Gambar 9. Hubungan kapasitas residual fungsional, kapasitas penutupan, usia,
posisi, dan anestesia pada individu sehat.​4
c. Resistensi Nonelastik
i. Resistensi Saluran Nafas terhadap Aliran Udara
Aliran udara di dalam paru merupakan campuran antara
aliran laminar dengan turbulen. Aliran laminar dapat dianggap
sebagai silinder konsentris aliran udara yang berjalan dengan
kecepatan yang berbeda, di mana kecepatan tertinggi adalah di
pusat dan berkurang semakin ke pinggir. Aliran turbulen dicirikan
dengan adanya pergerakan acak dari molekul-molekul gas melalui
jalan nafas. Resistensi terhadap aliran udara tidaklah bersifat
konstan, melainkan meningkat sesuai dengan aliran udara. Terlebih
lagi, resistensi berbanding lurus dengan densitas udara dan terbalik
dengan ⅕ diameter. Turbulensi biasanya terjadi pada aliran udara
tinggi, pada sudut-sudut tajam atau titik-titik percabangan, dan
sebagai respons terhadap perubahan diameter jalan nafas yang
mendadak. Aliran udara yang turbulen atau laminar dapat
diprediksi dengan angka Reynolds yaitu:
kecepatan linear x diameter x densitas gas
Angka Reynolds = viskositas gas
Angka Reynold <1000 diasosiasikan dengan aliran laminar,
sedangkan >1500 menghasilkan aliran turbulen. Aliran laminar
biasanya ada hanya pada distal bronkiolus kecil, sedangkan aliran
udara di jalan nafas yang lebih luas turbulen.
Resistensi jalan nafas normal adalah sekitar 0,5-2
H​2​O/L/detik, dengan kontibusi terbesar diberikan oleh bronkus
berukuran sedang (sebelum generasi ke-7). Resistensi pada bronkus
yang besar rendah karena diameternya yang besar, sedangkan pada
bronkus kecil resistensinya rendah karena total area
potong-lintangnya yang luas. Penyebab paling sering
meningkatnya resistensi jalan nafas termasuk brokospasme, sekresi
dan edema mukosal, dan juga kolaps jalan nafas yang berhubungan
dengan volume dan aliran udara.
1. Kolaps Jalan Nafas Berhubungan dengan Volume
Pada volume paru yang rendah, hilangnya traksi
radial meningkatkan kontribusi jalan nafas kecil ke
resistensi total di mana resistensi jalan nafas berbanding
terbalik dengan volume paru. Peningkatan volume paru
dengan tekanan positif akhir-ekspirasi (​positive
end-expiratory pressure ​= PEEP) dapat menurunkan
resistensi jalan nafas.
2. Kolaps Jalan Nafas Berhubungan dengan Aliran
Udara
Saat ekshalasi paksa, kembalinya tekanan
transmural yang normal dapat mengakibatkan kolaps dari
jalan nafas ini (kompresi jalan nafas dinamis). Dua faktor
yang berkontribusi adalah adanya pembentukan tekanan
pleura positif dan turunnya tekanan secara drastis sepanjang
jalan nafas intrathorakal sebagai akibat dari meningkatnya
resistensi jalan nafas. Titik di jalan nafas di mana kompresi
dinamis terjadi disebut sebagai titik tekanan setara.
Normalnya titik ini berada setelah generasi ke11-13
bronkiolus di mana sokongan kartilago sudah tidak ada.
Dengan berkurangnya volume paru, maka titik tekanan
setara bergeser ke jalan nafas yang kecil. Pada pasien
dengan asma, bronkokonstriksi dan edema mukosa
memperburuk kolaps jalan nafas dan mempromosikan
kembalinya gradien tekanan transmuran sepanjang jalan
nafas. Pasien mengalami terminasi ekshalasi yang prematur
atau mengecilkan mulut untuk meningkatkan resistensi
ekspirasi pada mulut. Terminasi prematur ekshalasi dapat
meningkatkan FRC di atas normal, mengakibatkan
air-trapping​ dan ​auto-PEEP​.
3. Kapasitas Vital Paksa (​Forced Vital Capacity ​=
FVC)
Pengukuran kapasitas vital sebagai ekshalasi semaksimal
dan secepat mungkin memberikan informasi penting
tentang resistensi jalan nafas. Rasio dari volume ekspirasi
paksa pada detik pertama ekshalasi (FEV​1​) terhadap FVC
berbanding lurus dengan derajat obstruksi jalan nafas.
Normalnya, FEV​1​/FVC ≥80%.
ii. Resistensi Jaringan
Komponen resistensi nonelastis ini sering
diremehkan dan tidak dianggap, namun sesungguhnya
dapat berperan hingga setengah dari resistensi jalan nafas
total. Resistensi jaringan ini utamanya akibat resistensi
viskoelastis dari jaringan terhadap aliran udara.
d. Usaha Pernafasan
Karena ekspirasi normal merupakan suatu proses yang pasif, baik
usaha nafas inspiratorik maupun ekspiratorik dikerjakan oleh otot-otot
inspiratorik, terutama diafragma. Tiga faktor harus dilampaui selama
ventilasi:
● Rekoil elastis dari rongga dada dan paru-paru
● Resistensi friksional terhadap aliran udara di jalan nafas
● Resistensi friksional jaringan.
Usaha pernafasan dapat dieskspresikan sebagai hasul volume dan
tekanan. Selama inhalasi, baik resistensi jalan nafas inspiratorik dan rekoil
elastis paru harus dilampaui; hampir 50% energi disimpan di rekoil elastis
pulmoner. Saat ekshalasi, energi potensial yang disimpan tadi dilepaskan
dan mengalahkan resistensijalan nafas ekspiratorik. Peningkatan pada
resistensi inspiratorik ataupun ekspiratorik dikompensasi oleh peningkatan
usaha otot-otot inspirasi. Saat resistensi ekspiratorik meningkat, respons
kompensasi normal adalah peningkatan volume paru sehingga pernafasan
volume tidal terjadi pada FRC yang lebih tinggi dari normal. Semakin
besar energi rekoil elastis yang tersimpan pada volume paru yang lebih
tinggi melampaui resistensi ekspiratorik tambahan. Jumlah berlebihan dari
resistensi ekspiratorik juga mengaktifkan otot-otot ekspirasi.
Usaha yang diperlukan untuk melewati resistensi elastis meningkat
seiring dengan bertambahnya Vt, sedangkan usaha yang doperlukan untuk
melewati resistensi jalan nafas bertambah dengan meningkatnya laju nafas.
Oleh karennya, pasien akan mengurangi usaha nafas antara dengan
mengurangi laju nafas atau Vt. pasien dengan kompliansi yang berkurang
memiliki tendensi untuk bernafas dengan cepat dan dangkal, sedangkan
pasien dengan peningkatan resistensi jalan nafas biasanya bernafas lambat
dan dalam.
e. Efek Anestesia Pada Mekanisme Pernafasan
Efek anestesia pada pernafasan merupakan suatu fenomena
kompleks yang terkait dengan perubahan posisi dan dengan pemberian
agen anestesia itu sendiri.
i. Efek terhadap Volume Paru dan Kompliansi
Perubahan mekanisme pernafasan akibat anestesia umum
terjadi beberapa saat setelah induksi dilakukan. Posisi supinasi
mengurangi FRC sebanyak 0,8-1L, sedangkan induksi anestesia
mengurangi FRC lebih jauh lagi sebanyak 0,4-0,5L. Menurunnya
FRC ini diakibatkan karena kolaps alveolr dan atelektasis kompresi
yang terjadi akibat hilangnya tonus otot inspiratorik, perubahan
rigiditas dinding dada, serta pergeseran ke atas diafragma.
Mekanisme masing-masingnya mungkin lebih rumit, misalnya
yaitu hanya bagian dependen (dorsal) dari diafragma yang bergerak
ke arah cephalad pada posisi supinasi. Faktor lain kemungkinan
diakibatkan adanya peningkatan volume darah di paru-paru dan
perubahan pada bentuk dinding dada. Posisi diafragma dorsal yang
lebih tinggi dan perubahan rongga dada itu sendiri mengurangi
volume paru-paru. Berkurangnya FRC ini tidak berkorelasi dengan
dalamnya anestesia dan dapat menetap selama beberapa jam atau
hari setelah anestesia. Posisi kepala di bawah (Trendelenburg) >30​0
mungkin mengurangi FRC lebih jauh lagi dengan meningkatnya
aliran darah ke intrathorakal. Sebaliknya, induksi anestesia pada
posisi duduk sepertinya memiliki efek yang minimal terhadap
FRC. Kelumpuhan otot tidak memiliki pengaruh terhadap
perubahan FRC secara signifikan bila pasiennya sudah dianestesi.
Efek anestesia terhadap CC lebih bervariasi. Baik FRC
ataupun CC secara umum tereduksi dengan seimbang selama
dilakukan anestesia. Oleh karenanya, resiko terjadinya peningkatan
shunting intrapulmnar sesungguhnya sama dengan saat pasien
bangun, di mana resiko terbesar terdapat pada orang-orang tua,
obesitas, dan pada pasien dengan penyakit paru.
Gambar 10. Perubahan posisi diafragma dan rongga dada pada posisi supinasi
dengan pengaruh anestesia.​1

ii. Efek terhadap Resistensi Jalan Nafas


Berkurangnya FRC yang diasosiasikan dengan anestesia
umum akan diantisipasi memiliki efek untuk meningkatkan
resistensi jalan nafas. Namun pengingkatan resistensi ini biasanya
tidak muncul karena adanya efek bronkodilator dari anestesia
inhalasi volatil. Peningkatan resistensi jalan nafas lebih sering
terjadi akibat faktor-faktor patologis (pergeseran ke posterior dari
lidah, laringospasme, bronkokonstriksi, atau sekresi, darah, atau
tumor di jalan nafas) atau masalah peralatan (tube atau konektor
trakeal yang kecil, malfungsi katub-katub, atau adanya obstruksi
pada sirkuit pernafasan).
iii. Efek terhadap Usaha Nafas
Peningkatan usaha nafas di bawah pengaruh anestesia
paling sering terjadi akibat menurunnya kompliansi paru dan
dinding dada, dan lebih jarang diakibatkan peningkatan resistensi
jalan nafas. Masalah dengan usaha nafas biasanya ditangani dengan
ventilasi mekanik terkendali.
iv. Efek terhadap Pola Pernafasan
Apapun agen anestesia yang digunakan, anestesia ringan
biasanya akan mengakibatkan pola pernafasan yang ireguler dan
tahan nafas sering terjadi. Nafas menjadi lebih reguler dengan
anestesia yang lebih dalam. Agen-agen inhalasi secara umum akan
menyebabkan nafas yang cepat dan dangkal, sedangkan teknik
nitrous-opioid akan berujung pada nafas yang pelan dan dalam.
D. Hubungan Ventilasi/Perfusi
a. Ventilasi
Ventilasi merupakan udara yang keluar dan masuk dari udara bebas
ke alveolus. Ventilasi biasanya diukur menggunakan jumlah semua
volume udara yang diekshalasi dalam 1 menit (minute ventilation atau V).
Minute ventilation = lanju nafas x volume tidak. Pada orang dewasa yang
beristirahat, minute ventilation adalah sekitar 5L/menit.
Tidak semua gas yang diinspirasi akan mencapai alveolus,
beberapa darinya akan tetap di sepanjang jalan nafas dan dikeluarkan tanpa
bertukar dengan udara alveolus. Vt yang tidak berpartisipasi dalam
pertukaran gas alveolus ini disebut ​dead space (VD). Ventilasi alveolus
(VA) adalah volume dari udara yang diinspirasi yang benar-benar terlibat
dalam pertukaran udara dalam 1 menit. VA = laju nafas x (Vt-VD)
Dead space ​terdiri dari udara-udara pada jalan nafas nonrespiratori
(​dead space ​anatomis) dan pada alveolus yang tidak terperfusi (​dead
spance ​alveolus). Jumlah total dari dua komponen ini menjadikan ​dead
space ​fisiologis. Pada posisi tegak, ​dead space ​normal berkisar 150 mL
(2mL/kgBB) pada dewasa, dan hampir semuanya adalah ​dead space
anatomis. Berat seseorang secara kasar memperkirakan ​dead space nya
dalam mililiter. Vt sendiri pada dewasa memiliki rata-rata 450 mL
(6mL/kgBB). VD/Vt normalnya memiliki nilai 33%.
i. Distribusi Ventilasi
Ventilasi alveolus terdistribusi secara tidak merata di dalam
paru. Paru-paru kanan mendapatkan ventilasi yang lebih banyak
dibanding yang kiri (53% vs 47%) dan daerah paru yang lebih
bawah (dependen) cenderung lebih terventilasi dibandingkan jalan
nafas bagian karena adanya gradient di tekanan intrapleural yang
diakibatkan gravitasi (tekanan transpulmonar). Tekanan pleura
menurun sekitar 1 cm H​2​O tiap 3 cm penurunan di ketinggian
paru-paru. Akibat tekanan transpulmonar yang lebih tinggi,
alveolus di bagian paru-paru yagn lebih di atas terinflasi hingga
hampir maksimal dan relatif tidak komplian, sehingga saat inspirasi
hanya mengalami sedikit perubahan.
Resistensi jalan nafas juga dapat berkontribusi terhadap
perbedaan pada ventilasi pulmonar. Volume inspirasi alveolus final
bergantung pada komplansi bila waktu inspirasi tidak terhingga.
Pada kenyataan, waktu inspirasi selalu terbatas karena adanya laju
nafas dan adanya waktu yang dibutuhkan untuk ekspirasi. Sebagai
konsekuensinya, waktu inspirasi yang terlalu pendek akan
mencegah alveolus mencapai perubahan volume yang diharapkan.
Lebih lagi, pengisian alveolus mengikuti fungsi eksponensial yang
bergantung pada baik kompliansi dan resistensi jalan nafas. Oleh
karenanya, bahkan dengan waktu inspirasi yang normal, kelainan
pada kompliansi dan resistensi dapat mengganggu pengisian
alveolus yang lengkap.
ii. Konstan waktu
Inflasi paru dapat dideskripsikan secara matematis sebagai
konstan waktu, T. Di mana T = kompliansi total x resistensi jalan
nafas. Adanya variasi regional dari resistensi atau kompliansi tidak
hanya mengganggu pengisian alveolus selama inspirasi, namun ini
juga berarti bahwa beberapa unit alveolus ada yang terus terisi saat
yang lain kosong. Variasi konstan waktu pada paru-paru normal
dapat ditunjukkan pada individu normal yang bernafas secara
spontan di saat laju nafas yang tinggi. Pernafasan yang dangkal dan
cepat mengembalikan distribusi normal dari ventilasi, yang lebih
mendukung pengisian saluran nafas daerah atas (nondependent)
dibanding area yang di bawah (dependen).
b. Perfusi Pulmonar
Dari total 5 L/menit darah yang mengalir melewati paru-paru,
hanya sekitar 70-100 mL pada satu waktu yang berada di dalam kapiler
pulmonar dan mengalami pertukaran gas. Pada membran alveolus-kapiler,
volume yang kecil ini membentuk 50-100 m​2 lembar darah dengan
ketebalan kira-kira 1 sel. Lebih lagi, untuk memastikan pertukaran gas
yang optimal, tiap kapiler memperfusi lebih dari satu alveolus.
Meskipun volume kapiler cenderung konstan, volume darah
pulmonar total dapat bervariasi antara 500 - 1000 L. Peningkatan dari CO
atau volume darah ditoleransi dengan perbedaan kecil di tekanan sebagai
hasil dari dilatasi pembuluh darah kecil, dan kemungkinan beberapa
pembuluh darah pulmonar yang kolaps. Peningkatan kecil dari volume
darah pulmonar biasanya terjadi saat sistol jantung dan dengan tiap
inspirasi normal. Perubahan posisi dari supinasi ke tegak mengurangi
volume darah pulmonar hingga 27%, sedangkan posisi Trendelenburg
memiliki efek kebalikannya. Perubahan pada kapasitans sistemik juga
mempengaruhi volume darah pulmonar: venokonstriksi sistemik
menggeser darah dari sirkulasi sistemik ke sirkulasi pulmonar, sedangkan
vasodilatasi memberi efek sebaliknya. Dengan begini, paru-paru menjadi
reservoir dari sirkulasi sistemik.
Faktor-faktor lokal memiliki peran lebih penting dalam sistem
otonom yang mempengaruhi tonus vaskuler pulmonar. Hipoksia adalah
stimulus kuat untuk terjadinya vasokonstriksi pulmonar (kebalikan dari
efek sistemik). Baik hipoksia pada arteri pulmonar dan alveolus
menginduksi vasokonstriksi, namun hipoksia pada alveolus merupakan
stimulus yang lebih kuat. Respons ini kemungkinan akibat efek langsung
hipoksia terhadap vaskulatur pulmonar atau peningkatan produksi
leukotrienes relatif terhadap prostaglandin yang bersifat vasodilator.
Vasokonstriksi pulmoner hipoksik (​Hypoxic Pulmonary Vasoconstriction
= HPV) merupakan mekanisme fisiologi yang penting dalam mengurangi
shunting intrapulmoner dan mencegah terjadinya hipoksemia. Hiperoksia
memiliki efek yang kecil terhadal sirkulasi pulmonar pada individu
normal. Hiperkapnia dan asidosis memiliki efek konstriktor, sedangkan
hipokapnia menyebabkan vasodilatasi pulmonar, kebalikan terhadap apa
yang terjadi di sirkulasi sistemik.
i. Distribusi Perfusi Pulmonar
Aliran darah pulmonar juga tidak sama pada seluruh bagian
paru. Secara umum, area paru bagian bawah (dependen)
mendapatkan aliran darah yang lebih banyak dibandingkan bagian
atas (nondependen). Pola ini disebabkan karena adanya gradien
gravitasional sebesar 1 cm H​2​O/cm tinggi paru. Tekanan yang
rendah ada sirkulasi pulmonar memungkinkan gravitasi untuk
memberikan efek yang signifikan pada aliran darah. Selain itu pada
pemindaian perfusi in vivo pada individu normal, ditemukan
bahwa terdapat distribusi perfusi yang berlapis-lapis sepertu
bawang, di mana aliran darah di perifer paru lebih rendah dan
menuju ke hilum lebih banyak.
Meskikun tekanan perfusi pulmonar tidak sama pada
seluruh lapang paru, tekanan distensi alveolus cenderung konstan.
Adanya hubungan ini membagi paru-paru menjadi 4 zona berbeda
yang dinamakan Zona West.

Gambar 11. (A) Zona West. (B) Pemindaian perfusi secara in vivo.​1

ii. Rasio Ventilasi/Perfusi


Karena ventilasi alveolus (Va) normalnya sekitar 4L/menit,
sedangkan perfusi kapiler pulmonar (Q) adalah 5 L/meinit, maka
rasio V/Q secara keseluruhan adalah 0,8 V/Q untuk tiap unit paru
(tiap alveolus dengan kapilernya), dan dapat berkisar dari 0 (tidak
ada ventilasi) hingga tak terhingga (tidak ada perfusi). Kondisi
tanpa ventilasi ini dinamakan ​shunt ​intrapulmonar, sedangkan
kondisi tanpa perfusi membentuk ​dead space ​alveolar. V/Q secara
normal berkisar antara 0,3-3,0; namun pada mayoritas lapang paru
rasio V/Q nya mendekati 1,0. Karena pada bagian paru yang
nondependen perfusinya meningkat dengan laju yang lebih cepat
dibanding dengan ventilasinya, maka bagian apikal paru cenderung
memiliki rasio V/Q yang lebih tinggi dibanding yang berada di
basal (dependen).
Pentingnya rasio V/Q ini berkorelasi dengan efisiensi
satuan paru untuk menresaturasi darah vena dengan O​2 dan
mengeliminasi CO​2​. Darah vena pulmonar dari area dengan rasio
V/Q rendah memiliki tensi O​2 yang rendah dan tensi CO​2 yang
tinggi, serupa dengan darah vena sistemik. Darah dari satuan ini
memiliki kecenderungan untuk menekan tensi arterial O​2 dan
meningkatkan tensi arterial CO​2​. Efeknya pada tensi arterial O​2
lebih jelas daripada tensi arterial CO​2​. Bahkan pada kenyataannya
tensi arterial CO​2 seringkali
​ menurun dari peningkatan ventilasi
alveolus akibat refleks yang diinduksi hipoksemia. Peningkatan
pengambulan O​2 tidak
​ dapat dicapai di area V/Q normal karena
biasanya darah pulmonar akhir-kapiler biasanya sudah tersaturasi
penuh dengan O​2​.
c. Shunts
Shunts menunjukkan suatu proses dimana darah vena yang
tercampur dan terdesaturasi dari jantung kanan kembali ke jantung kiri
tanpa mengalami resaturasi O​2 di
​ paruparu. Efek keseluruhan dari adanya
shunting ini adalah penurunan konsentrasi O​2 arterial.
​ ​Shunt ​tipe ini
dinamakan ​shunt kanan-ke-kiri. ​Shunt ​kiri-ke-kanan bila tidak disertai
kongesti paru tidak akan mengakibatkan hipoksemia.
Shunts ​intrapulmonar seringkali diklasifikasikan sebagai absolut
atau relatif. ​Shunt absolut merujuk pada ​shunt anatomis dan unit paru
dimana rasio V/Q adalah 0, sedangkan ​shunt relatif adalah area paru di
mana rasio V/Q rendah. Secara klinis, hipoksemia dari ​shunt relatif dapat
dikoreksi parsial dengan meningkatkan fraksi inspirasi O​2 sedangkan
​ ​shunt
absolut tidak akan terkoreksi.
i. Venous Admixture
Venous admixture merupakan jumlah darah vena yang
tercampur yang akan bergabung dengan darah akhir-kaliper
pulmonar yang menyebabkan adanya perbedaan tensi O​2 darah

arterial dan darah akhir-kapiler pulmonar. Darah di akhir-kapiler


pulmonar dianggap memiliki konsentrasi yang sama dengan
alveolus. ​Venous admixture ​biasanya diekspresikan sebagai fraksi
dari total CO (Qs/Qt). Ekuasi singkatnya yaitu
Cc′o2 − Cao2
Qs/Qt = Cc′o2 − Cvo2

Venous admixture yang terhitung mengasumsikan bahwa


semua ​shunt ​intrapulmonar yang ada adalah akibat shunt absolut.
Namun pada kenyataannya tidak demikian. ​Venous admixture
biasanya adalah akibat adanya komunikasi dari vena-vena bronkial
dalam dengan vena pulmonar, sirkulasi thebesian jantung, dan
daerah V/Q rendah di paru. ​Venous admixture normal pada
individu sehat (​shunt ​fisiologis) biasanya kurang dari 5%.

Gambar 12. Komponen dari ​venous admixture​ normal.​1

d. Efek Anestesia pada Pertukaran Gas


Kelainan pertukaran gas selama anestesia merupakan hal yang
umum terjadi. Efek-efek ini yaitu:
i. Peningkatan ​dead space
ii. Hipoventilasi
iii. Peningkatan ​shunting​ intrapulmoner.
iv. Peningkatan ​scatter​ rasio V/Q
v. Peningkatan ​venous admixture hingga 5-10% akibat
atelektasis dan kolaps jalan nafas pada bagian paru yang
dependen. Pada orang tua peningkatan ​venous mixture
paling tinggi. FiO​2 30-40% dapat mencegah hipoksemia,
menunjukkan bahwa anestesia meningkatkan ​shunt relatif.
PEEP juga seringkali efektif menurunkan ​venous admixure
dan mencegah hipoksemia selama anestesi umum selama
CO dipertahankan. Pemberian oksigen konsentrasi tinggi
dalam jangka panjang diasosiasikan dengan atelektasis dan
pembentukan ​shunt ​absolut. Atelektasis di sini adalah yang
dikenal dengan atelektasis resorpsi yang terjadi di daerah
dengan V/Q rendah pada FiO​2 mendekati 100%. Perfusi
akan mengakibatkan transport oksigen keluar alveolus lebih
cepat dari masuknya, sehingga pengosongan alveolus akan
terjadi secara utuh dan terjadilah kolaps alveolus.
vi. Agen-agen inhalasi termasuk N​2​O menghambat HPV pada
dosis tinggi.
E. Kontrol Pernafasan
Ventilasi spontan merupakan hasil dari aktifitas neural yang ritmis pada
pusat pernafasan pada batang otak. Aktifitas ini mengatur otot-otot pernafasan
untuk menjaga tensi O​2 dan CO​2 yang seimbang. Aktifitas neural yang mengatur
pernafasan dipengaruhi berbagai input dari area di luar otak, secara volunter
maupun autonom, serta berbagai reseptor sentral dan perifer.
a. Pusat Pernafasan Sentral
Ritme pernafasan dasar berasal dari medulla. Terdapat dua grup
neuron di medulla yang dikenal: grup respiratorik dorsal yang aktif selama
inspirasi, dan grup respiratorik ventral yang aktif saat ekspirasi. Asosiasi
yang dekat antara grup respiratorik dorsal dengan traktus solitararius
menjelaskan adanya perubahan secara refleks dalam bernafas dengan
stimulasi vagal atau glossofaringeal.
Terdapat dua area di pons juga yang mempengaruhi pusat inpsirasi
dorsal. Pusat pontine bawah (apneustik) memiliki efek eksitatori,
sedangkan pusat pintine atas (pneumotaxic) inhibitori. Pusat di pons ini
memberikan ritme dan laju nafas yang halus.
b. Pusat Sentral
Sensor yang paling penting adalah kemoreseptor yang merespon
terhadap perubahan konsentrasi ion hidrogen. Sensor ini adalah
kemoreseptor yang terletak di permukaan anterolateral dari medulla dan
merespon secara primer terhadap perubahan di liquor serebrospinal (LCS).
Peningkatan PaCO​2 akan meningkatkan konsentrasi ion hidrogen di LCS
yang akan mengaktifkan kemoreseptor.
c. Sensor Perifer
i. Kemoreseptor Perifer
Badan karotid (pada bifurkasio arteri karotis komunis) -
merupakan kemoreseptor perifer yang paling penting pada manusia
dan sensitif terhadap perubahan Pao​2​, Paco​2​, pH, serta tekanan
perfusi arteri. Kemoreseptor ini berinteraksi dengan pusat
pernafasan sentral via nervus glossofaringeus.
ii. Reseptor Paru
Impuls dari reseptor-reseptor ini dibawa ke sentral oleh
nervus vagus. Reseptor regang terdistribusi di seluruh otot polos
jalan nafas; reseptor ini akan bertanggungjawab menginhbisi
inspirasi saat paru-paru terinflasi berlebihan (refleks inflasi
Hering-Breuer) dan memendekkan ekshalasi saat paru terdeflasi
(refleks deflasi). Reseptor regang hanya memiliki efek kecil pada
manusia.
Reseptor-reseptor iritan pada mukosa trakeobronkial
bereaksi terhadap gas-gas iritan, asap, debu, dan dingin yang akan
mengaktifkan refleks yang meningkatkan laju nafas,
bronkokonstriksi, dan batuk. Reseptor J (juxta-capillary) ada di
rongga interstisial di dalam dinding alveolus dan akan menginduksi
dyspnea sebagai respon terhadap ekspansi volume rongga
interstisial dan mediator-mediator kimia yang lain.
iii. Reseptor Lain
Termasuk berbagai reseptor otot dan sendi-sendi pada
otot-otot pulmoner dan dinding dada.
d. Efek Anestesia terhadap Kontrol Pernafasan
i. Efek anestesia yang terpenting adalah promosi hipoventilasi
akibat depresi sentral kemoreseptor dan depresi terhadap
aktifitas otot interkostalis. Besarnya hipoventilasi
berbanding lurus dengan kedalaman anestesia. Semakin
dalam anestesia, kecuraman kurva Paco​2​/minute ventilation
berkurang dan threshold apnea bertambah.

Gambar 13. Efek anestesia terhadap Paco​2​/minute ventilation.


ii. Respon perifer terhadap hipoksemia lebih sensitif terhadap
anestesia daripada respons sentral CO​2​, yang bahkan hilang
dengan dosis subanestetik sebagian besar agen-agen
inhalasi (termasuk N​2​O) dan banyak agen-agen intravena.
BAB II
Anestesia Inhalasi

Pada pembahasan ini akan agen-agen anestesia inhalasi yang akan


dijelaskan adalah 2 gas yaitu xenon dan N​2​O, serta beberapa zat volatile. Sebelum
dibahas lebih lanjut, perlu diketahui bahwa potensi dari suatu anestesia inhalasi
dicerminkan dari MAC nya atau (​minimal alveolar concentration​) yang pada
tekanan 1 atm akan menghilangkan response motorik terhadap respons nyeri pada
50% pasien.​1,4

Gambar 14. Definisi MAC​7

A. Farmakokinetik Anestesia Inhalasi​1


Meskipun mekanisme kerja anestesia inhalasi sangatlah rumit, jelas yang
dapat menimbulkan efek anestesia tergantung dari penyerapan kadar terapeutik di
jaringan sistem saraf pusat (SSP). Terdapat banyak langkah dari alat ​vaporizer
anestesia hingga terdeposisinya zat di otak.
Gambar 15. Gambar skematis langkah-langkah dari alat anestesia hingga ke otak.
a. Faktor yang Mempengaruhi Konsentrasi Inspirasi (F​I​)
i. Rate​ aliran gas segar.
ii. Volume sistem pernafasan
iii. Absorpsi oleh mesin atau sirkuit pernafasan.
Semakin tinggi ​rate ​gas segar yang masuk, semakin kecil volume
sistem pernafasan, dan semakin rendahnya absorpsi mesi, maka semakin
dekat konsentrasi gas yang ternspirasi dengan konsentrasi gas segar.
Secara klinis ini akan nampak sebagai induksi dan waktu pemulihan yang
lebih cepat.
B. Faktor yang Mempengaruhi Konsentrasi Alveolar (F​A​)​1
a. Penyerapan oleh tubuh. Bila tidak ada penyerapan oleh tubuh,
maka konsentrasi gas alveolus akan mencapai konsentrasi gas
inspirasi dengan cepat. Namun karena agen-agen anestesia diserap
oleh sirkulasi pulmonar saat induksi, konsentrasi alveolar berada di
bawah konsentrasi yang diinspirasi. Semakin besar penyerapannya,
semakin lambat peningkatan konsentrasi alveolus dan rasio F​A​:F​I
lebih rendah. Karena konsentrasi gas berbanding lurus dengan
tekanan parsialnya, tekanan parsial alveolus juga akan lambat
peningkatannya. Tekanan parsial alveolus ini penting karena akan
menentukan tekanan parsial anestesia di darah dan akhirnya di
otak. Tekanan parsial anestesia di otak akan berbanding lurus
dengan konsentrasi di jaringan otak yang menentukan efek
klinisnya. Oleh karenanya, semakin besar penyerapan agen-agen
anestesia, semakin lama kecepatan induksinya.
Terdapat 3 faktor yang menentukan penyerapan anestesia:
i. Kelarutan dalam darah
ii. Aliran darah alveolus
iii. Perbedaan tekanan parsial gas di alveolus dan vena
n
Gambar 16. Koefisien Partisisi Anestesia Inhalasi.​6

Gambar 17. Peningkatan F​A mencapai F​I pada agen yang larut dan tidak larut
dalam darah.
b. Ventilasi. Rendahnya tekanan parsial alveolar akibat penyerapan
dapat dilawan dengan meningkatkan ventilasi alveolar. Hal ini
akan menggantikan zat yang diserap sehingga ​maintenance
konsentrasi alveolar akan suatu anestesia lebih baik. Efek dari
peningkatan ventilasi adalah peningkatan F​A​/F​I yang paling jelas
terlihat pada agen-agen larut dalam darah.
c. Konsentrasi. Lamanya waktu induksi akibat penyerapan zat-zat
anestesi dapat diakali dengan meningkatkan konsentrasi zat yang
diinspirasi. Peningkatan konsentrasi inspirasi ini tidak hanya
meningkatkan konsentrasi alveolar, namun juga meningkatkan
F​A​/F​I​. Hal ini disebabkan adanya “​concentrating effect​” dan
“​augmented inflow effect​”
C. Faktor yang Mempengaruhi Konsentrasi Arterial (F​a​)
Ketidaksesuaian Ventilasi/Perfusi merupakan faktor yang mempengaruhi
konsentrasi arterial. Ketidaksesuaian ini menyebabkan restriksi aliran gas.
Ketidaksesuaian ini akan menyebabkan peningkatan tekanan di depan restriksi,
dan menurunkan tekanan setelah restriksi, dan menurunkan aliran sepanjang
restriksi. Efek keseluruhannya adalah peningkatan tekanan parsial alveolar
(khususnya bagi agen-agen yang mudah larut) dan menurunkan tekanan parsial
arterial (khususnya bagi agen-agen yang tidak mudah larut).
D. Faktor yang Mempengaruhi Eliminasi
Anestesia dapat dieliminasi melalui 3 cara yaitu biotransformasi,
kehilangan transkutan, atau ekshalasi. Biotransformasi berperan dalam
peningkatan minimal dari penurunan tekanan parsial alveolar. Efek paling
jelas dari biotransformasi adalah pada agen-agen yang mudah larut. Difusi
anestesia dari kulit insignifikan.
Rute paling baik untuk eliminasi dari agen-agen inhalasi adalah
ekshalasi dari alveolus. Berbagai faktor berperan dalam kecepatan induksi
dan pemulihan:
a. Eliminasi ​rebreathing
b. Aliran gas segar yang tinggi
c. Volume anestesi-sirkuit yang rendah
d. Absorbsi rendah oleh sirkuit anestesi
e. Kelarutan yang menurun
f. Tingginya aliran darah ke otak
g. Peningkatan ventilasi
Eliminasi dari N​2​O sangatlah cepat hingga oksigen alveolar dan
CO​2 terdilusi. Hasilnya adalah hipoksia difusi yang dapat dicegah dengan
memberikan 100% oksigen selama 5-10 menit setelah penghentian N​2​O.
E. Farmakodinamik Anestesia Inhalasi​6
a. Teori dari Kerja Anestesia Inhalasi
i. Teori Meyer dan Overton yang mengobservasi peningkatan
koefisien partisi minyak-ke-gas berkorelasi dengan
potensitas anestesi.
ii. Franks dan Lieb menemukan bahwa anestesia pasti
memiliki bagian polar dan non-polar.
iii. Modifikasi teori Meyer dan Overton mengenai ekspansi
membran: teori volume berlebih, di mana anestesia terjadi
ketika komponen polar membran sel dan anestesia yang
amphophilik secara sinergis membentuk volume sel yang
lebih luas dibandingkan jumlah dua volume bersama
iv. Hipotesis volume kritikal, anestesia terjadi ketika volume
sel pada bagian anestesia mencapai ukuran kritikal.
v. Teori baru yang diterima:
1. Anestesia inhalasi bekerja pada target-target
molekuler dan lokasi-lokasi anatomis dan bukan
pada volume atau dinding sel yang tidak spesifik.
2. Anestesi volatil dipikirkan bekerja dengan
meningkatkan reseptor inhibitorik pada channel ion
termasuk γ-aminobutyric acid (GABA) tipe A dan
reseptor glisin. Pemblokan channel eksitatorik juga
terjadi dan dimediasi lewat eksitasi reseptor NMDA.
3. Efek imobilisasi dan amnesia dari agen-agen
inhalasi dipikirkan disebabkan oleh mekanisme
terpisah pada berbagai situs anatomis. Pada
setingkat medulla spinalis, agen-agen anestesia
mengakibatkan supresi respons motorik terhadap
stimulus nosiseptif dan oleh karenanya terjadi
imobilisasi. Efek supraspinal di otak menyebabkan
efek amnesia dan hipnosis. Efek pada formatio
reticularis di thalamus dan midbrain adalah adanya
penekanan yang lebih pada regio ini.
4. Amnesia, kesadaran, dan immobilitas tidak
ditanggung pada semua kasus, khususnya bila
pasien sudah menerima pelumpuh otot.
b. Second-gas Effect ​N​2​O​6
Berdasar teori, fenomena ini seharusnya akan mempercepat induksi
anestesia. Karena N​2​O sangatlah tidak larut dalam darah, absorbsinya dari
alveoli akan menyebabkan peningkatan tiba-tiba pada konsentrasi alveola
dari agen anestesia volatil yang diberikan bersamaan dengannya. Namun
pada penelitian-penelitian terbaru, hasil yang membingungkan
memberikan kebimbangan apakah fenomena ini sungguh benar adanya
(pada konsentrasi N​2​O setinggi 70%, peningkatan konsentrasi anestesia
volatil relatif minor)
c. Efek Anestesia Volatil terhadap Efek Ventilasi
i. Dose-dependent ​depresi nafas yang dimediasi oleh pusat
pernafasan di medulla, dan juga bekerja secara tidak
langsung pada otot interkostalis.
ii. Minute ventilation berkurang akibat penurunan volume
tidal.
iii. Dorongan nafas terhadap hipoksia dalam 1 MAC dan
diturunakan pada konsentrasi lebih rendah.
d. Efek terhadap HPV, Kaliber Jalan Nafas, Fungsi Mukosilier, dan
Tekanan Intrakranial
i. HPV diturunkan oleh anestesia inhalasi
ii. Resistensi jalan nafas diturunkan akibat relaksasi otot polos
bronkial dan penurunan bronkokonstriksi dari hipokapnia
iii. Fungsi mukosilier dihilangkan.
iv. Merupakan penyebab hipertermia maligna
v. Menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial
e. Efek terhadap Sirkulasi

Gambar 18. Efek Anestesia Inhalasi terhadap Sirkulasi.


f. Perbandingan Beberapa Anestesia Inhalasi​7

Nama N​2​O Halothane Isoflurane Sevoflurane Desflurane

Aroma Agak manis Manis

Warna Tidak berwarna


Menyengat Tidak ada Sedang Tinggi Rendah Sangat tinggi

Efek TD Dapat Dose-dependent hypotension


diabaikan

Efek Vaskular Dapat Dapat Dilatasi Dilatasi Konstriksi →


diabaikan diabaikan dilatasi

Efek Inotropik Dapat Negatif Agak Agak negatif Positif →


diabaikan negatif Negatif

Efek Dapat Bradikardi Takikardi Takikardia Takikardia


Chronotropic diabaikan a a >1 MAC

Resiko terbakar Mendukung Non-flammable

Catatan Mual muntah Mual/munt mual/mun Mual/munta Mual/muntah/irit


ah tah, h; nduksi asi jalan nafas;
Bradikardi/ takikardi inhalasi simpatomimetik
asistole signifikan
DAFTAR PUSTAKA

1. Butterworth J, Mackey D, Wasnick J, Morgan G, Mikhail M, Morgan G.


Morgan and Mikhail's clinical anesthesiology.
2. Hall J, Guyton A. Guyton and Hall textbook of medical physiology.
Philadelphia, Pa.: Elsevier; 2016.
3. Patwa A, Shah A. Anatomy and physiology of respiratory system relevant
to anaesthesia. Indian Journal of Anaesthesia. 2015;59(9):533.
4. Miller R, Cohen N. Miller's anesthesia. 7th ed. Philadelphia, Pa: Elsevier,
Saunders; 2015.
5. Paxton S, Adele, Peckham M. The Leeds Histology Guide [Internet].
Histology.leeds.ac.uk. 2018 [cited 10 April 2018]. Available from:
https://www.histology.leeds.ac.uk/respiratory/respiratory.php
6. Duke J, Keech B. Anesthesia Secrets, Fifth Edition. Elsevier; 2016.
7. UpToDate®. Emergency Medicine News [Internet]. 2017;39(10):34.
Available from:
https://www.uptodate.com/contents/general-anesthesia-maintenance-and-e
mergence?sectionName=INHALATION%20ANESTHESIA&topicRef=3
99&anchor=H1762635082&source=see_link#H1762635082

Anda mungkin juga menyukai