COMPRESSION MYELOPATHY
Disusun oleh:
Jason Tungadi
01073180156
Pembimbing:
IDENTITAS PASIEN
Nama : Ibu S.
Usia : 28 tahun
Pekerjaan : Sales
Agama : Islam
No.Rekam Medis : RSUS 00-67-12-XX
Tanggal masuk : 29 Agustus 2019
Tanggal pemeriksaan : 30 Agustus 2019
ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis di Rumah Sakit Umum Siloam Lippo Village pada
tanggal 30 Agustus 2019 pukul 06.00 WIB.
Keluhan Utama
Pasien mengeluhkan nyeri punggung yang memberat sejak 1 bulan lalu.
PEMERIKSAAN FISIK
Tanda-tanda vital
SpO2 : 99%
Status Generalis
Sistem Deskripsi
Kulit Warna sawo matang, lesi (-), perdarahan (-), jaundice (-)
OD OS OS
Nervus V:
Motorik: inspeksi dan palpasi baik, gerakan rahang dan
membuka mulut baik
Sensorik: sensibilitas V1, V2, V3 dalam batas normal
Tonus:
Normotonus Normotonus
Normotonus Normotonus
Kekuatan:
4433 3344
3322 2233
Refleks fisiologis:
Kanan Kiri
Biceps +2 +2
Triceps +2 +2
Brachioradialis +2 +2
Neurologis Patella +2 +2
Achilles +2 +2
Refleks patologis:
Babinski (-/-), Chaddock (-/-), Oppenheim (-/-),
Gordon (-/-), Schaffner (-/-), Hoffman Trommer (-/-)
Sensorik :
Eksteroseptif
Raba : Hypesthesia setinggi thoracal 12 ke bawah
Nyeri : Hypesthesia setinggi thoracal 12 ke bawah
Suhu: tidak dilakukan.
Proprioseptif:
Posisi sendi: Dalam batas normal
Getar: Tidak dilakukan
Koordinasi:
Tes tunjuk-hidung: Tidak dilakukan
Tes tumit-lutut: Tidak dilakukan
Disiadokinesis: Dalam batas normal
Otonom:
Miksi: Tidak ada rasa ingin kencing
Defekasi: Tidak ada rasa ingin BAB
Diagnosis
Klinis : Tetraparese, hypethesia setinggi thoracal 12
Topis : Medulla spinalis
Etiologi : Inflamasi
Patologi : Infeksi TB
1.3 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
1.4 Saran Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium : FBC, GDS, SGOT/SGPT, Kidney
function test, Liver function test
Lumbal puncture
Laboratorium (29-08-2019)
Differential Count
Basophil 0 % 0-1
Eosinophil 0 % 1-3
Lymphocyte 19 % 25-40
Monocyte 7 % 2-8
Biochemistry
Immunology/Serology
Urinalysis (29-08-2019)
Macroscopic
Color Yellow
pH 6.0 4.50-8.00
Microscopic
Casts Negative
Crystals Negative
Others Negative
XR-Thorax PA/AP View (29-08-2019)
Impressions:
Difus irregular opasitas dengan reticular pattern dan kalsifikasi pada lapangan atas dan
tengah paru bilateral DD/ asbestosis, TB, UIP
XR-Spine Thoracolumbalis AP, lateral views (30-08-2019)
Impressions:
Tidak tampak destruksi corpus vertebra thoracolumbalis
Tidak tampak paravertebral mass
Follow-up
31/08/2019 – 6H02 jam 06.00
S Pasien mengeluhkan adanya nyeri dan baal di kaki
KU : Tampak sakit sedang
2. Epidemiologi
Insiden ATM (Acute Tranverse Myelitis) dari seluruh usia dilaporkan sebanyak
1-8 kasus / 1 juta orang dengan perkiraan 1400 kasus baru per tahun yang didiagnosis
di Amerika Serikat.2 ATM dapat diderita oleh orang dewasa dan anak–anak terlepas
dari jenis kelamin maupun ras. ATM memiliki puncak insidensi yang berbeda yaitu
umur: 10-19 dan 30-39 tahun.3 Sekitar 20 % dari ATM terjadi pada anak-anak.2
ATM mungkin timbul dari berbagai penyebab, tetapi paling sering terjadi sebagai
fenomena autoimun setelah infeksi atau vaksinasi (jumlah 60% kasus pada anak-
anak) atau karena infeksi langsung, penyakit dasar seperti autoimun sistemik, atau
diperoleh penyakit demielinasi seperti multipel sklerosis atau spektrum dari
gangguan yang berhubungan dengan neuromyelitis optik.3
3. Etiologi
ATM terjadi karena berbagai etiologi seperti infeksi langsung oleh virus, bakteri,
jamur, maupun parasit, human immunodeficiency virus (HIV), varicella zoster,
cytomegalovirus, dan TBC. Namun juga dapat disebabkan oleh proses non – infeksi
atau melalui jalur inflamasi. ATM sering terjadi setelah infeksi atau setelah
vaksinasi. ATM dapat juga terjadi sebagai komplikasi dari syphilis, campak,
penyakit lyme, dan beberapa vaksinasi seperti chikenpox dan rabies.1
Faktor etiologi lain yang dikaitkan dengan kejadian ATM adalah penyakit
autoimmune sistemik (SLE, multiple sklerosis, Sjogren’s syndrome), sindrom
paraneoplastik, penyakit vaskuler, iskemik sumsum tulang belakang meskipun tidak
jarang tidak ditemukannya faktor penyebab ATM sehingga disebut sebagai
“idiopatik”.
4. Gejala dan Tanda Klinis
Keluhan utama pasien ATM adalah nyeri yang terlokalisir di pinggang seperti
tertusuk atau tertembak yang menyebar ke kaki, lengan atau badan. Gejala lain yang
sering dikeluhkan adalah kebas, defisit motorik, ataxic gait, kehilangan kontrol miksi
dan defekasi. Gejala sensorik pada ATM adalah kehilangan sensorik pada daerah distal
sering terjadi, terutama dengan lesi di level thoracal. Sensasi yang dirasakan itu dapat
berupa kebas, paresthesia, allodynia.4
Gejala motorik pada ATM berupa tingkatan kelemahan yang bervariasi pada kaki
dan lengan. Kelemahan seringkali ditemukan pada ekstremitas bawah namun juga
sering pada torso dan ekstremitas atas. Kekuatan otot dapat mengalami penurunan
secara progresif dan menimbulkan ataxic gait (kelemahan kaki secara menyeluruh).
Terjadi paraparesis (kelemahan pada sebagian kaki) yang dapat menjadi paraplegia
(kelemahan pada kedua kaki dan punggung bagian bawah).
Gejala otonom pada ATM berupa gangguan fungsi kandung kemih seperti retensi
urin dan buang air besar hingga gangguan passage usus dan disfungsi seksual sering
terjadi.5,6 Tergantung pada segmen medulla spinalis yang terlibat, beberapa penderita
mengalami masalah dengan sistem respiratori.
Pemeriksaan penunjang untuk diagnosis ATM berupa MRI dan pungsi lumbal.
MRI spine direkomendasikan sebagai langkah pertama untuk menyingkirkan adanya
lesi struktural akibat compression (penekanan). Jika melalui anamnesis dan
pemeriksaan fisik dicurigai mielopati, MRI spinal cord dengan pemakaian kontras
godalinium harus dilakukan segera. Jika tidak ditemukan lesi struktural seperti massa
tulang belakang atau spondylolisthesis, maka langkah kedua adalah dilakukan pungsi
lumbal untuk mengidentifikasi ada atau tidaknya peradangan saraf tulang belakang.
Analisis isi seluler CSF berfungsi sebagai indikator dari besarnya peradangan. Jika
ditemukan adanya enhancement gadolinium, pleocytosis WBC SCF atau peningkatan
CSF immunoglobulin, maka perlu dipikirkan adanya infeksi sebagai penyebab
myelopathy. Bila tidak ditemukan adanya pleositosis, maka perlu dipertimbangkan
myelopathy yang mengarah ke non-inflammatory seperti arteriovenous malformation
(AVM) dan emboli fibrocartilaginous.5
Pemeriksaan darah/ tes serologi sering membantu dalam mengesampingkan
adanya gangguan sistemik (seperti penyakit Sjogren atau lupus eritematosa sistemik)
dan gangguan metabolisme. Pemeriksaan penunjang seperti CBC dengan differential
count, ANA, ESR dilakukan dengan tujuan menyingkirkan transverse myelitis dengan
penyebab penyakit sistemik.5
Dilakukan MRI brain dengan kontras dan visual evoked potential untuk melihat
distribusi regional dari demyelination di saraf kepala. Hal ini bertujuan untuk
menyingkirkan beberapa kelainan seperti multiple sclerosis dan acute disseminated
encephalomyelitis. Tidak ditemukan adanya area demyelination multifocal dapat
menegakkan diagnosa transverse myelitis.5
7. Diagnosis Banding
Transverse myelitis sering salah didiagnosa dengan GBS (Guillain-Barré
syndrome) karena keduanya merupakan penyakit yang memiliki progress kehilangan
sensorik dan motorik yang cepat, terutama untuk ekstremitas bawah. Namun terdapat
beberapa perbedaan antara TM dan GBS. Perbedaannya adalah5
8. Penatalaksanaan
Acute transverse myelitis sering diberikan steroid dosis tinggi untuk
mengurangi inflamasi dan terbukti efektif. Obat methylprednisolone diberikan
dosis 0.5-1gram IV pada dewasa dan dosis 10-30 mg/kg untuk anak-anak selama
3-7 hari. Jika tidak ada perbaikan deficit neurologis, maka diberikan kortikosteroid
oral selama 2-6 minggu.8 Pemberian obat kortikosteroid menjadi sedikit berbeda
bila ditemukan adanya meningitis. Obat dexamethasone menjadi pilihan dengan
dosis 0.6 mg/kg/hari selama 4 hari untuk meningitis bacterial. Sedangkan untuk
meningitis tuberculosis diberikan dosis 12-16 mg/hari selama 3 minggu.1
Pemberian obat anti-tuberkulosis perlu diberikan pada pasien dengan myelitis
tuberkulosis selama 9-12 bulan. Obat lini pertama meliputi isoniazid, rifampicin,
pyrazinamide, streptomycin and ethambutol.9
Lini kedua adalah pemberian immunoglobulin intravena atau plasmapheresis.
Pemberiannya dipertimbangkan pada pasien dengan kesulitan berjalan, terganggu
fungsi otonom, kehilangan sensorik di ekstremitas bawah, dan tidak ada perbaikan
dalam 5-7 hari setelah pemberian steroid (derajat keparahan sedang-berat).
Belum tersedia tata cara penggunaan immunomodulatory untuk acute
transverse myelitis seperti cyclophosphamide 500-1000 mg/m2 secara intravena.
Namun, untuk transverse myelitis berulang dapat diberikan azathioprine 150-200
mg/hari, methotrexate 15-20 mg/minggu atau mycophenolate 2-3 gram/kg/hari.5
DAFTAR PUSTAKA
1. West TW. Transverse Myelitis — a Review of the Presentation , Diagnosis , and Initial
Management. 2019;
2. Wolf VL, Lupo PJ, Lotze TE. Pediatric Acute Transverse Myelitis Overview and
Differential Diagnosis. 2012;(August).
3. Frohman EM, Ph D, Wingerchuk DM. Transverse Myelitis. 2010;
4. Pidcock FS, Se G. What is acute transverse myelitis in children? ´. 2017;(May):243–54.
5. Kaplin AI, Pardo CA, Kerr D. Transverse myelitis : Pathogenesis , diagnosis and
treatment. 2004;(May 2014).
6. Kalita J, Shah S, Kapoor R, Misra UK. Bladder dysfunction in acute transverse myelitis :
magnetic resonance imaging and neurophysiological and urodynamic correlations.
2002;154–9.
7. Besteiro B. Review of the Etiological Causes and Diagnosis of Myelitis and Its Medical
Orientation Protocol. 2017;8(1):1–8.
8. Putruele AM, Legarreta CG, Limongi L, Rossi SE. Tuberculous Transverse Myelitis Case
Report and Review of the Literature. 2005;12(1):46–52.
9. Garg RK, Malhotra HS, Gupta R. Spinal cord involvement in tuberculous meningitis.
Spinal Cord. 2015;53(9):649–57.