Anda di halaman 1dari 27

Case report section

TB milier paru + Susp.coxitis TB

Oleh:
Megi Kurnia Asri 1740312449

Preseptor

dr .Aumas Pabuti,Sp.A (K) MARS

ILMU KESEHATAN ANAK


RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
2018

1
BAB 1

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi

Tuberkulosis milier (TB milier) merupakan penyakit limfohematogen


sistemik akibat penyebaran kuman Mycobacterium tuberculosis dari kompleks
primer, yang biasanya terjadi dalam waktu 2-6 bulan pertama, setelah infeksi
awal. TB milier dapat mengenai 1 organ (sangat jarang, <5%), namun yang lazim
terjadi pada beberapa organ (seluruh tubuh, >90%), termasuk otak. TB milier
klasik diartikan sebagai kuman basil TB berbentuk millet (padi) ukuran rata-rata 2
mm, lebar 1-5 mm diparu, terlihat pada Rontgen. Pola ini terlihat pada 1-3 %
kasus TB.6,9

Etiologi

Mycobacterium Tuberculosis adalah penyebab utama penyakit tuberkulosis pada


manusia, berupa basil tidak membentuk spora, tidak bergerak, panjang 2-4 nm.
Obligat aerob yang tumbuh dalam media kultur Loweinstein-Jensen, tumbuh baik
pada suhu 37-410C, dinding sel yang kaya lemak menyebabkan tahan terhadap
efek bakterisidal antibodi dan komplemen, tumbuh lambat dengan waktu generasi
12-24 jam.4

Epidemiologi

Laporan mengenai TB anak jarang di dapatkan. Perkiraan jumlah kasus


TB anak pertahun adalah 5-6 % dari total kasus TB. Angka kejadian TB di
Amerika Serikat dan Kanada mengalami peningkatan pada anak berusia 0-4 tahun
(19%), sedangkan pada usia 5-15 tahun (40%). Angka kejadian TB di Asia
Tenggara selama 10 tahun, di perkirakan bahwa jumlah kasus baru adalah 35,1
juta. Penanggulangan TB Global yang di keluarkan WHO pada tahun 2004,
angka kejadian TB pada tahun 2002 mencapai 555.000 kasus (256 kasus/100.000
penduduk). Hasil survey prevalensi TB di Indonesia tahun 2004 menunjukkan

2
bahwa angka prevalensi TB BTA positif secara nasional 110 per 100.000
penduduk.7,8

TB milier mirip dengan banyak penyakit, pada beberapa kasus, hampir


50% kasus tidak dapat didiagnosis semasa hidup. Dari semua pasien TB, 1,5% di
perkirakan merupakan TB milier. Laporan dari Centers for Disease Control and
Prevention (CDC) Amerika Serikat, dari tahun 1996 menunjukkan bahwa 257
pasien (1,2%) dari 21.337 pasien TB adalah TB milier. Insiden TB milier lebih
tinggi pada orang Afrika Amerika di Amerika Serikat karena pengaruh faktor
sosial ekonomi, laki-laki lebih tinggi insidennya dari wanita. Pada beberapa kasus
di temukan bahwa kulit hitam lebih tinggi insidennya di bandingkan kulit putih
karena pengaruh sosial ekonomi.6

Gambar 1. Insidens TB didunia (WHO, 2004)

Tuberkulosis milier lebih sering terjadi pada bayi dan anak kecil, terutama
usia < 2 tahun, karena imunitas selular spesifik, fungsi makrofag, dan mekanisme
lokal pertahanan parunya belum berkembang sempurna, sehingga kuman TB
mudah berkembangbiak dan menyebar ke seluruh tubuh. TB milier juga dapat

3
terjadi pada anak besar dan remaja akibat pengobatan penyakit paru primer
sebelumnya yang tidak adekuat, atau pada usia dewasa akibat reaktivasi kuman
yang dorman.6

Terjadinya TB milier di pengaruhi oleh dua faktor, yaitu jumlah dan


virulensi kuman Mycobacterium tuberculosis dan status imunologis pasien (non
spesifik dan spesifik). Beberapa kondisi yang menurunkan sistem imun juga dapat
memudahkan timbulnya TB milier, seperti infeksi HIV, malnutrisi, infeksi morbili,
pertusis, diabetes melitus, gagal ginjal, keganasan, dan penggunaan kortikosteroid
jangka lama. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi perkembangan penyakit
adalah faktor lingkungan, yaitu kurangnya sinar matahari, perumahan yang padat,
polusi udara, asap rokok, penggunaan alkohol, obat bius, serta sosial ekonomi.7

Jumlah penderita TB milier di bagian Ilmu Kesehatan Anak RSCM pada


periode tahun Januari 2000 - Desember 2001 yang di diagnosis berdasarkan
gambaran klinis dan foto thorak adalah 19 pasien, laki-laki 11 pasien dan
perempuan 8 pasien dengan rentang usia 2,5-11 bulan, terbanyak berusia 1-6
bulan. Sedangkan di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUP Dr.M.Djamil pada
tahun 2006-2007 di dapatkan dari 27 pasien TB yang di rawat, di temukan 2
pasien (7%) dengan TB milier.

Patogenesis

Paru merupakan port d´entree lebih dari 98% kasus infeksi TB. Ukuran
kuman TB sangat kecil (<5µm), sehingga kuman yang terhirup dalam percik renik
(droplet nuclei) dapat mencapai alveolus. Sebagian kasus, kuman TB dapat
dihancurkan seluruhnya oleh mekanisme imunologis nonspesifik, sehingga tidak
terjadi respons imunologis spesifik, sedangkan sebagian kasus lainnya, tidak
seluruhnya dapat dihancurkan. Individu yang tidak dapat menghancurkan seluruh
kuman, makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB yang sebagian besar di
hancurkan. Sebagian kecil kuman TB yang tidak dapat dihancurkan akan terus
berkembang biak dalam makrofag, dan akhirnya menyebabkan lisis makrofag.
Selanjutnya kuman TB membentuk lesi di tempat tersebut, yang di namakan fokus

4
primer Ghon. Penyebaran selanjutnya, kuman TB dari fokus primer Ghon
menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar
limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus primer. Penyebaran ini
menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar
limfe (limfadenitis) yang terkena. Gabungan antara fokus primer, limfangitis, dan
limfadenitis di namakan kompleks primer (primary complex). Waktu yang di
perlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks primer secara
lengkap di sebut sebagai masa inkubasi. Masa inkubasi TB berlangsung selama 2-
12 minggu, biasanya berlangsung selama 4-8 minggu. Selama masa inkubasi,
sebelum terbentuknya imunitas selular, dapat terjadi penyebaran limfogen dan
hematogen. Penyebaran limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe regional
membentuk kompleks primer, atau berlanjut menyebar secara limfohematogen.
Penyebaran hematogen secara langsung bisa juga terjadi, yaitu kuman masuk ke
dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh (gambar 2).6,9

Pada TB milier penyebaran hematogennya adalah penyebaran


hematogenik generalisata akut (acute generalized hematogenic spread) dengan
kuman yang besar. Kuman ini akan menyebar ke seluruh tubuh, dalam
perjalanannya di dalam pembuluh darah akan tersangkut di ujung kapiler, dan
membentuk tuberkel di tempat tersebut. Semua tuberkel yang di hasilkan melalui
cara ini akan mempunyai ukuran yang lebih kurang sama. Istilah milier berasal
dari gambaran lesi diseminata yang menyerupai butir padi-padian (millet seed).
Secara patologi anatomik, lesi ini berupa nodul kuning berukuran 1-3 mm ,
sedangkan secara histologik merupakan granuloma. Tuberkulosis diseminata ini
timbul dalam waktu 2-6 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit
bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB yang beredar serta frekuensi
berulangnya penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak adekuatnya
sistem imun pejamu (host) dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada anak
dibawah 5 tahun (balita) , terutama dibawah 2 tahun.10,11,12

Gambar 2. Bagan Patogenesis Tuberkulosis8


Imunopatogenesis TB

Setelah terinhalasi di paru, kuman TB mempunyai beberapa kemungkinan.


Kemungkinan pertama, respon imun awal pejamu secara efektif membunuh
semua kuman TB, sehingga TB tidak terjadi. Kedua, segera setelah infeksi terjadi
multiplikasi, pertumbuhan kuman TB dan muncul manifestasi klinis, yang dikenal
sebagai TB primer. Ketiga, kuman TB dalam keadaan dorman, terjadi infeksi laten
dengan uji tuberkulin positif sebagai satu-satunya manifestasi. Keempat, kuman
TB laten tumbuh dan muncul manifestasi klinis, disebut sebagai reaktivasi TB
(TB pasca-primer)6

Pada infeksi TB terjadi respon imunologi berupa imunitas seluler dan


hipersensitivitas tipe lambat. Imunitas seluler menyebabkan proliferasi limposit-T
CD4+ dan memproduksi sitokin lokal. Sebagai respon terhadap antigen yang
dikeluarkan M. TB limposit-T CD4+ mempengaruhi limposit-T Th1 untuk
mengaktifkan makrofag dan limposit-T Th2 untuk memproduksi sitokin lokal TNF
α dan INF γ. Sitokin ini akan menarik monosit darah ke lesi TB dan
mengaktifkannya. Monosit aktif atau makrofag dan limposit-T CD4+
memproduksi enzim lisosom, oksigen radikal, nitrogen intermediate khususnya
nitrogen oksida dan Interleukin-12. Nitrogen oksida ini selanjutnya diaktifkan oleh
TNF α dan INF γ untuk menghambat pertumbuhan dan membunuh M. TB yang

6
virulen. Peran imunitas seluler mengaktifkan makrofag dan menghancurkan basil
terutama pada jumlah basil yang sedikit. Kemampuan membunuh M. TB juga
bergantung pada jumlah makrofag setempat yang aktif.6,13

Gambar 3. Hipersensitifitas tipe IV14

Hipersensitifitas tipe lambat merupakan bagian dari respon imun seluler,


yaitu terjadinya peningkatan aktifitas limposit-T CD4+ dan limposit-T CD8+
sitotoksik serta sel pembunuh yang memusnahkan makrofag setempat, jaringan
sekitar dan perkijuan. Hipersensitifitas tipe lambat dapat mengisolasi lesi aktif,
menyebabkan M. TB menjadi dorman, kerusakan jaringan, fibrosis dan jaringan
parut. Proses ini dapat merugikan tubuh, dimana M. TB dapat keluar dari bagian
pinggir daerah nekrosis dan membentuk hipersensitifitas tipe lambat kemudian
difagositosis oleh makrofag setempat. Apabila makrofag belum diaktifkan oleh
imunitas seluler, maka M. TB dapat tumbuh dalam makrofag sampai
hipersensitifitas tipe lambat merusak makrofag dan menambah daerah nekrosis.
Saat itu imunitas seluler menstimulasi makrofag setempat untuk membunuh basil
dan mencegah perkembangan penyakit. Hipersensitifitas tipe lambat lebih
berperan pada jumlah basil yang banyak dan menyebabkan nekrosis jaringan.
.Apabila M. TB masuk ke dalam aliran limfe atau darah biasanya akan
dihancurkan di tempat yang baru dengan terbentuknya tuberkel. Adanya reseptor

7
spesifik terhadap antigen yang dihasilkan M. TB pada limposit-T di darah dan
jaringan limfe, menyebabkan pengumpulan dan aktivasi makrofag lebih cepat dan
destruksi M. TB. Tuberkel yang terjadi tetap kecil dengan perkijuan yang
minimal, cepat sembuh dan tidak diikuti oleh terjadinya penyebaran hematogen
atau limfogen ke jaringan lain.6

Gambar 4. Respon imunologis pada infeksi Mycobacterium tuberculosis6

Manifestasi klinis

Manifestasi klinis TB milier bermacam-macam, bergantung pada


banyaknya kuman dan jenis organ yang terkena. Gejala yang sering di jumpai
adalah keluhan kronik yang tidak khas, seperti TB pada umumnya, misalnya
anoreksia dan BB turun atau gagal tumbuh (dengan demam ringan atau tanpa
demam), demam lama dengan penyebab yang tidak jelas, serta batuk dan sesak
nafas. TB milier juga dapat di awali dengan serangan akut berupa demam tinggi
yang sering hilang timbul (remittent), pasien tampak sakit berat dalam beberapa
hari, tetapi gejala dan tanda respiratorik belum ada. Lebih kurang 50% pasien,
limfadenopati superfisial, splenomegali, dan hepatomegali akan terjadi dalam
beberapa minggu. Demam kemudian bertambah tinggi dan berlangsung terus-

8
menerus/kontinu, tanpa disertai gejala respiratorik atau disertai gejala minimal,
dan foto toraks biasanya masih normal. Gejala klinis biasanya timbul akibat
gangguan pada paru, yaitu gejala respiratorik seperti batuk dan sesak nafas di
sertai ronki atau mengi.6,9 Anemia bisa terjadi baik akibat penyakit kronik ataupun
defisiensi besi. Anemia penyakit kronis sering bersamaan dengan anemia
defisiensi besi dan keduanya memberikan gambaran penurunan besi serum,
namun TIBC (Total Iron Binding Capacity) pada anemia defisiensi besi
meningkat. Rendahnya besi pada anemia penyakit kronis disebabkan aktifitas
mobilisasi besi sistem retikuloendotelial ke plasma menurun, sedangkan
penurunan saturasi transferin pada anemia defisiensi besi diakibatkan oleh
degradasi transferin yang meningkat.6 Kriteria diagnosis anemia defisiensi besi
menurut WHO adalah : (1) kadar hemoglobin kurang dari normal sesuai usia, (2)
Konsentrasi hemoglobin eritrosit rata-rata <31% (nilai normal:32%-35%), (3)
Kadar fe serum <50µg/dL (nilai normal:80-180µg/dL), dan (4) Saturasi transferin
<15% (nilai normal:20%-25%). Cara lain untuk menentukan anemia defisiensi
besi dapat juga dilakukan uji percobaan pemberian preparat besi dosis 3-6
mg/kgBB/hari dalam 2-3 dosis selama 3-4 minggu terjadi peningkatan kadar
hemoglobin besi.6

Gejala lain yang dapat di temukan adalah kelainan kulit berupa


tuberkuloid, papula nekrotik, nodul, atau purpura. Tuberkel koroid di temukan
pada 13-87% pasien, dan jika di temukan dini dapat menjadi tanda yang sangat
spesifik dan sangat membantu diagnosis TB milier, sehingga pada TB milier
perlu di lakukan funduskopi untuk menemukan tuberkel koroid.13

Lesi milier dapat terlihat pada foto thorak dalam waktu 2-3 minggu
setelah penyebaran kuman secara hematogen. Gambarannya sangat khas, yaitu
berupa tuberkel halus (millii) yang tersebar merata diseluruh lapangan paru,
dengan bentuk yang khas dan ukuran yang hampir seragam (1-3mm). Lesi-lesi
kecil dapat bergabung membentuk lesi yang lebih besar, kadang-kadang
membentuk infiltrat yang luas. Sekitar 1-2 minggu setelah timbulnya penyakit,
pada foto thorak dapat di lihat lesi yang tidak teratur seperti kepingan salju.6,9

9
Diagnosis

Diagnosis TB milier pada anak dibuat berdasarkan adanya riwayat kontak


dengan pasien TB dewasa yang infeksius (BTA positif), gambaran klinis,
gambaran radiologis yang khas, serta uji tuberkulin yang positif. Uji tuberkulin
tetap merupakan alat bantu diagnosis TB yang penting pada anak. Uji tuberkulin
yang negatif belum tentu menunjukkan tidak adanya infeksi atau penyakit TB,
atau sebaliknya. Uji tuberkulin dapat negatif pada anak dengan TB berat dengan
anergi, yaitu pada keadaan malnutrisi, penyakit sangat berat, pemberian
imunosupresif, infeksi virus (HIV). Jika uji tuberkulin negatif atau meragukan
dilakukan uji ulang.6,8,13

Uji tuberkulin untuk diagnosis imunologik terhadap infeksi M.tb


mempunyai banyak keterbatasan. Uji ini membutuhkan 2 kali kunjungan pasien,
ketrampilan petugas untuk melakukan uji dan pembacaan. Selain itu juga tidak
mampu memisahkan infeksi TB laten dengan vaksinasi BCG atau infeksi oleh
Mycobacteria other than tuberculosis (MOTT). Sekarang ada pemeriksaan baru
secara in vitro yaitu IFN-γ. Pemeriksaan in vitro ini awalnya diteliti di peternakan
sapi, berdasarkan inkubasi darah dengan purified protein derivative (PPD)
selanjutnya dilakukan pemeriksaan imunologi IFN-γ yang dilepaskan sel T
sebagai reaksi terhadap PPD. Pemeriksaan darah in vitro ini akan menghindari
kunjungan kedua untuk menilai hasil uji tuberkulin dan reaksi kulit. Kelebihan
lain adalah kemampuannya untuk membedakan antara reaktivitas terhadap M.tb
dengan MOTT.10

Uji tuberkulin dan pemeriksaan IFN-γ dalam darah tidak menilai


komponen yang sama pada respons imunologi dan tidak saling menggantikan.
Black meneliti hubungan antara kadar IFN-γ dalam darah dengan hasil uji
tuberkulin pada 554 orang sehat. Terdapat hubungan yang kuat (P < 0,001) antara
median IFN-γ dengan respon hipersensitifitas tipe lambat. Gold standard (baku
emas) merupakan standar untuk pembuktian ada atau tidaknya penyakit pada
pasien dan merupakan sarana diagnostik terbaik yang ada. Baku emas yang ideal
selalu memberikan nilai positif pada semua subjek dengan penyakit dan selalu
memberikan hasil negatif pada semua subjek tanpa penyakit. Baku emas untuk

10
infeksi TB laten belum ada maka sulit unuk menilai apakah uji yang baru lebih
baik daripada uji tuberkulin. Penilaian secara langsung sensitiviti dan spesitiviti
alat uji baru tidak mungkin dilakukan tanpa referensi uji sebagai baku emas.10

Pemeriksaan sputum atau bilas lambung dan kultur M.tuberculosis tetap penting
di lakukan. Pemeriksaan M.tuberculosis akan menunjukkan hasil positif pada 30-
50% pasien. Pemeriksaan sputum atau bilas lambung kurang sensitif pada
diagnosis dini di bandingkan dengan pemeriksaan bakteriologis dan histologis
dari biopsi hepar atau sumsum tulang. Untuk menentukan diagnosis meningitis
TB, sebaiknya di lakukan pungsi lumbal pada setiap pasien TB milier walaupun
belum timbul kejang atau penurunan kesadaran.6,8,13

Penatalaksanaan

Tujuan utama pengobatan TB adalah :

1. Mengobati penyakit TB itu sendiri


2. Mencegah kematian dari TB aktif atau komplikasi TB
3. Mencegah TB relaps
4. Mencegah resistensi obat karena pemakaian kombinasi obat
5. Mengurangi (menurunkan) penularan TB terhadap orang lain
Pengobatan anti tuberkulosis di kelompokkan menjadi dua fase: fase yang
pertama adalah fase intensif (awal) yang bertujuan membunuh dengan cepat
sebagian besar kuman dan mencegah resistensi obat, dan fase yang kedua adalah
fase lanjutan, yang bertujuan membunuh kuman yang dormant (tidak aktif). Pada
fase intensif di berikan 4 macam obat (rifampisin, isoniazid, pirazinamid, dan
ethambutol atau streptomisin). Pada fase lanjutan di berikan rifampisin dan
isoniazid selama 10 bulan sesuai dengan perkembangan klinis. Dosis OAT dapat
dilihat pada tabel dibawah ini (tabel.2).3,4

Tabel 1. Obat Antituberkulosis yang Biasa Dipakai dan dosisnya

Nama obat Dosis harian Dosis Efek samping

11
maksimal
(mg/kgBB/hari)
(mg per hari)
Isoniazid 5 – 15* 300 Hepatitis, neuritis perifer,
hipersensitivitas
Rifampisin 10 – 20 600 Gastrointestinal, reaksi kulit,
trombositopenia, peningkatan
enzim hati, cairan tubuh berwarna
oranye kemerahan
Pirazinamid 15 – 20 2000 toksisitas hati, artralgia,
gastrointestinal
Etambutol 15 – 20 1250 Neuritis optik, ketajaman mata
berkurang, buta warna merah
hijau, penyempitan lapang
pandang, hipersentivitas,
gastrointestinal
Streptomisin 15 – 40 1000 ototoksik, nefrotoksik.

(*) Bila isoniazid dikombinasikan dengan rifampisin, dosisnya tidak melebihi


10 mg/kgBB/hari

Beberapa ahli merekomendasikan ethionamid (ETH) sebagai obat pilihan


keempat.

Tabel 2. Regimen pengobatan TB Milier menurut WHO


6

Fase intensif Fase lanjutan Referensi


2HRZS 4HR WHO (pedoman therapi)
2HRZ (S or Eth) 7-10HR American Academy of
Pediatrics
6HRZEth Tidak ada (regimen Donald, 1998

12
total untuk 6 bulan)

Kortikosteroid (prednison) diberikan pada TB milier, meningitis TB,


perikarditis TB, efusi pleura, dan peritonitis TB. Prednison biasanya diberikan
dengan dosis 2 mg/kgBB/hari selama 4 minggu, kemudian diturunkan perlahan-
lahan (tappering off) selama 2-6 minggu.7

Semua anak yang diduga atau di diagnosis TB milier seharusnya dirawat


dirumah sakit sampai keadaan klinisnya stabil.6

Evaluasi Hasil Pengobatan

Evaluasi hasil pengobatan dilakukan setelah 2 bulan terapi. Evaluasi


pengobatan dilakukan dengan beberapa cara, yaitu evaluasi klinis, evaluasi
radiologis, dan pemeriksaan LED. Evaluasi yang terpenting adalah evaluasi klinis,
yaitu menghilang atau membaiknya kelainan klinis yang sebelumnya ada pada
awal pengobatan, misalnya penambahan berat badan yang bermakna, hilangnya
demam, hilangnya batuk, perbaikan nafsu makan, dan lain-lain. Evaluasi
radiologis pada pasien TB milier perlu diulang setelah 1 bulan untuk evaluasi
hasil pengobatan. Gambaran milier pada foto toraks biasanya menghilang dalam 1
bulan, kadang-kadang berangsur menghilang dalam 5-10 minggu, tetapi mungkin
saja belum ada perbaikan hingga beberapa bulan.6,8

BAB 2

LAPORAN KASUS

Identitas Pasien

 Nama : FA
 Umur : 8 tahun
 Jenis kelamin : Laki-laki
 No MR : 01.03.17.27
 Nama ayah / ibu : Tn. E / Ny. W
 Alamat : Kerinci
 Tanggal masuk : 3 November 2018

13
Anamnesis
Keluhan Utama

Sesak nafas sejak 2 hari sebelum masuk rumah sakit

Riwayat Penyakit Sekarang


 Anak riwayat jatuh terduduk 1 tahun yang lalu. Anak hanya dibawa ke

tukang urut hingga tidak bisa menggerakkan tungkai kanan dan hanya bisa

berbaring.
 timbul tukak di bokong sejak 8 bulan yang lalu, semakin lama makin

meluas hingga tampak tulang.


 Demam sejak 1 minggu yang lalu, tidak tinggi, tidak berkeringat, tidak

menggigil, tidak ada kejang, riwayat demam lama disangkal.

 Pasien sesak nafas sejak 2 hari yang lalu sebelum masuk rumah sakit,

tidak menciut, tidak dipengaruhi aktifitas, cuaca, & makanan, riwayat

kebiruan tidak ada,


 riwayat penurunan berat badan ada. Anak tampak semakin kurus namun

tidak pernah ditimbang


 batuk tidak ada
 Riwayat kontak TB ada. kakak kandung pasien menderita TB Paru dan

meninggal 1 tahun yang lalu.


 Tampak pucat namun tidak disadari orang tua
 BAK jumlah dan warna biasa
 BAB warna dan konsistensi biasa
 Pasien telah dirawat di RSU Mayjen H.A Thalib selama 4 hari dan telah

mendapat transfusi PRC 200 cc , infus RL selama 4 hari,injeksi

metronidazol 3x100 mg, lalu pasien dirujuk ke RSUP DR Mdjamil dengan

Ulkus dekubitus et gluteus dextra + closed fracture et femur dextra + low

intake + anemia

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien tidak pernah mengalami penyakit seperti ini sebelumnya

14
Riwayat Penyakit Keluarga

kakak kandung pasien menderita TB Paru dan meninggal 1 tahun yang lalu.

Riwayat Persalinan

 Lama hamil : Cukup bulan (38-39 minggu)


 Cara lahir : Spontan
 Ditolong oleh : Bidan
 Berat lahir : 2.700 g
 Panjang lahir : 46 cm
 Saat lahir : Langsung menangis kuat

 Kesan : Riwayat persalinan normal, cukup bulan

3.1.1. Riwayat Makanan dan Minuman


 Bayi
o ASI : Eksklusif 0 bulan- 18 bulan
o Susu formula : 18 – 36 bulan
o Buah biskuit : 6 bulan - 8 bulan
o Bubur susu : 6 bulan – 8 bulan
o Nasi tim : 8 bulan – 12 bulan
o Makanan utama : 1 tahun - sekarang
 Anak
o Makan utama : 3 x/hari, menghabiskan ¼ - ½ porsi
o Daging : 1 x/minggu
o Ikan : 3 x/mingu
o Telur : 3 x/mingu
o Sayur : 3 x/mingu
o Buah :1 x/mingu
 Kesan:, makanan harian kualitas dan kuantitas kurang.

Riwayat Imunisasi

Imunisasi Dasar (Umur) Booster (Umur)


BCG 1 -
DPT 1 2 -
2 4 -
3 6 -
Polio 1 - -
2 - -
3 - -

15
Hepatitis B 1 Saat lahir -
2 4 -
3 6 -
Haemofilus influenza B 1 - -
2 - -
3 - -
Campak 9 -
Kesan: Imunisasi dasar tidak lengkap

Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan

Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan Umur


Tertawa 1,5 bulan
Miring 3 bulan
Tengkurap 4 bulan
Duduk 9 bulan
Merangkak 11 bulan
Berdiri 13 bulan
Lari 20 bulan
Gigi pertama 11 bulan
Bicara 15 bulan
Membaca 7 tahun
Prestasi di sekolah 11/30 siswa
Riwayat Gangguan Perkembangan Mental Umur
Isap jempol -
Gigit kuku -
Sering mimpi -
Mengompol -
Aktif sekali -
Apatik -
Membangkang -
Ketakutan -
Pergaulan jelek -
Kesukaran belajar -
Kesan: perkembangan dalam batas normal

Riwayat Keluarga

Ayah Ibu
Nama Tn. E Ny.W
Umur 37 tahun 20 tahun
Pendidikan SMA SMA
Pekerjaan Swasta IRT
Penghasilan Rp3.000.000,- -
Perkawinan 1 1

16
Penyakit yang pernah diderita Tidak ada Tidak ada

No. Saudara Kandung Umur Keadaan Sekarang


1 perempuan 13 tahun Meninggal karena TB
2 pasien 8 tahun Pasien
3 perempuan 2 bulan Sehat
4

Riwayat Perumahan dan Lingkungan


 Rumah tempat tinggal : Rumah papan, semi permanen
 Sumber air minum : sumur
 Buang air besar : Di dalam rumah
 Pekarangan : Sempit
 Sampah : Dibakar

 Kesan : Higiene dan sanitasi kurang baik

3.2. Pemeriksaan Fisik


Umum
 Keadaan umum : Sakit berat
 Kesadaran : Sadar
 Tekanan darah :100/70 mmHg
 Frekuensi nadi : 98 x/menit
 Frekuensi napas : 24 x/menit
 Suhu : 36,8°C
 Edema : tidak ada
 Ikterus : tidak ada
 Anemia : ada
 Sianosis : tidak ada
 Berat badan : 16 Kg
 Tinggi badan : 120 cm
 Lila : 14 cm
 BB/U : 61,5 %
 TB/U : 93,7 %
 BB/TB : 69,5 %
 Status gizi : Gizi buruk
Khusus
 Kulit : tampak lebam di tangan kanan, lemak subkutis

tipis
 Kelenjar getah bening : Tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening
 Kepala : Bulat, simetris, normocephal

17
 Rambut : Hitam, mudah rontok
 Mata : Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-),
refleks cahaya +/+
 Telinga : tidak ada kelainan
 Hidung : Napas cuping hidung tidak ada
 Tenggorok :Tonsil T1-T1 tidak hiperemis, faring tidak hiperemis
 Gigi dan mulut : candidiasis oral ada
 Leher : Tidak teraba pembesaran KGB
 Toraks
o Paru
 Inspeksi : normochest, retraksi ada
 Palpasi : fremitus kiri = kanan
 Perkusi : redup
 Auskultasi : Suara napas bonkovesikuler, Rh -/-, Wh -/-

o Jantung
 Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
 Palpasi : Iktus kordis teraba 1 jari lateral LMCS RIC V
 Perkusi : batas jantung atas = RIC II, kanan = LSD, kiri = 1

jari medial LMCS RIC V


 Auskultasi : irama reguler, bising tidak ada
 Abdomen
o Inspeksi : distensi tidak ada, permukaan datar
o Palpasi : supel, hepar teraba ¼ - ¼ , lien tidak teraba
o Perkusi : timpani
o Auskultasi : Bising usus (+) normal
 Punggung : Tidak ada kelainan
 Genitalia : A1P1G1
Colok dubur tidak dilakukan
 Anggota gerak : Akral dingin , CRT < 2 detik, edem pretibia +/+
Gluteus : ulkus gluteal grade IV
Pemeriksaan Laboratorium
Tanggal 3 november 2018
Darah

Hb : 7,1 g/dL

Leukosit : 5060 / mm3

Trombosit : 60000 /mm3

Hematokrit : 23 %

Hitung jenis : 0 / 0 / 7 / 87 / 5 / 1

Na : 135 mmol/L

K : 4,7 mmol/L

Ca 9,9 mg/dl

Ur 27 gr/dl

Cr 0,4 gr/dl

Alb 1,9 gr/dl

18

SGOT 89 u/l

SGPT 81 u/l
Kesan : anemia sedang , neutrofilia shift to the left, trombositopenia

Rontgen thorax

Kesan : TB

aktif dengan

infeksi

sekunder

Diagnosis Kerja dan

Diagnosis Banding
TB paru. Ec Susp TB

milier
Candidiasis oral

19
Susp.coxitis TB dengan dislokasi hip joint (D)
Ulkus dekubitus gluteal bilataral grade IV
Gizi buruk tipe marasmus kwashiorkor kondisi V

Penatalaksanaan
 Kegawatdaruratan : Oksigen 2 liter/menit nasal kanul
 Nutrisi :makanan lunak 1000 kkal
 Medika mentosa : ampicilin 4x750 mg IV
Gentamicin 2 x 40 mg IV
Paracetamol 160 mg IV
INH 1 x 150 mg IV
Rifampicin 1x250 mg PO
Pirazinamid 1 x 600 mg PO
Etambutol 1 x 300 mg PO
Prednison 3 x 15 mg PO
B6 1x10 mg PO

Follow up

20
26/11/18 S/ Demam tidak ada
Kejang tidak ada
Sesak napas tidak ada

Ku kesadaran TD HR RR T
Berat sadar 120/80 107 x/i 24 x/i 36,4 C
O/
Mata : konjungtiva anemis -/-, sclera ikterik (-/-),
Thoraks : Retraksi epigastrium (-), Rh -/-
Abdomen: distensi (-)
Ekstremitas : CRT < 2’

 TB paru. Susp TB milier


 Susp.coxitis TB : dislokasi hip joint (D)
 Ulkus dekubitus gluteal bilataral grade IV
 Gizi buruk tipe marasmus kwashiorkor kondisi V
A/  Oksigen 2 liter/ menit
 IVFD D 12,5% + e
 INH 1x150 mg PO
 Rifampisin 1x250 mg po
 Etambutol 1x300 mg
 Pirazinamid 1x600 mg
 Prednison 3x15 mg
 B6 1x10 mg
 Ampicilin 4x750 mg
 Gentamisin 2x40 mg
P/  Paracetamol 160 mg

27/11/18 S/ Demam tidak ada


Kejang tidak ada
Sesak napas tidak ada
BAB dan BAK tidak ada keluhan

Ku kesadaran TD HR RR T
O/ Berat sadar 110/80 98 x/i 22 x/i 37 C

Mata : konjungtiva anemis -/-, sclera ikterik (-/-),


Thoraks : Retraksi epigastrium (-), Rh -/-
Abdomen: distensi (-),
Ekstremitas : CRT < 2’

 TB paru. Susp TB milier


 Susp.coxitis TB : dislokasi hip joint (D)
 Ulkus dekubitus gluteal bilataral grade IV

21
A/  Gizi buruk tipe marasmus kwashiorkor kondisi V
 Oksigen 2 liter/ menit
 IVFD D 12,5% + e
 INH 1x150 mg PO
 Rifampisin 1x250 mg po
 Etambutol 1x300 mg
 Pirazinamid 1x600 mg
 Prednison 3x15 mg
 B6 1x10 mg
 Ampicilin 4x750 mg
P/  Gentamisin 2x40 mg
Paracetamol 160 mg
28/11/18 S/ Demam tidak ada
Kejang tidak ada
Sesak napas tidak ada
BAB dan BAK tidak ada keluhan

Ku kesadaran TD HR RR T
Berat sadar 120/80 96 x/i 24 x/i 36,5 C
O/
Mata : konjungtiva anemis -/-, sclera ikterik (-/-),
Thoraks : Retraksi epigastrium (-), Rh -/-
Abdomen: distensi (-),
Ekstremitas : CRT < 2’

 TB paru. Susp TB milier


 Susp.coxitis TB : dislokasi hip joint (D)
 Ulkus dekubitus gluteal bilataral grade IV
 Gizi buruk tipe marasmus kwashiorkor kondisi V
 Oksigen 2 liter/ menit
A/  IVFD D 12,5% + e
 INH 1x150 mg PO
 Rifampisin 1x250 mg po
 Etambutol 1x300 mg
 Pirazinamid 1x600 mg
 Prednison 3x15 mg
 B6 1x10 mg
 Ampicilin 4x750 mg
 Gentamisin 2x40 mg
Paracetamol 160 mg
P/

22
DISKUSI

ANALISIS KASUS

Telah diajukan sebuah kasus seorang anak perempuan umur 5 tahun 8 bulan,
dengan diagnosis TB Milier. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis adanya demam
lama, batuk berdahak, berat badan turun, riwayat kontak dengan penderita TB positif.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan hepatosplenomegali, uji tuberkulin positif (indurasi 17
mm). Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan LED yang tinggi. Foto thorak di
dapatkan kesan TB milier. Dari pemeriksaan BTA sputum didapatkan hasil negatif. Hasil
pemeriksaan BTA sputum yang negatif tidak menyingkirkan diagnosis TB karena
pemeriksaan BTA menunjukkan hasil positif hanya pada 30-50 % pasien. Hal ini
kemungkinan disebabkan karena pada TB anak bersifat paucibacillary (jumlah kuman
sedikit) dan lokasi kuman di parenkim yang jauh dari bronkus. 7 Lumbal punksi yang
dilakukan pada pasien memiliki kesan yang meragukan, dengan jumlah sel normal,
dengan PMN 90% dan MN 10%, pandi (+), kadar glukosa LCS yang menurun, sehingga
meningitis belum dapat disingkirkan. Adanya peningkatan PMN pada LCS bisa timbul
pada fase awal meningitis TB, tetapi jumlah sel yang hanya 10 tidak mendukung ke arah
meningitis. Diagnosis Tb disseminata pada pasien ini tidak bisa dibuktikan karena hasil
USG abdomen yang meragukan dengan hasil hepatomegali non spesifik, dan adanya

23
splenomegali juga tidak terbukti dari USG. Tapi ini belum bisa menyingkirkan adanya TB
hepar karena pemeriksaan radiologi pada TB hepar dan lien tidak spesifik. 20 Pada pasien
ini dilakukan pemeriksaan kultur BTA cairan LCS tapi hasilnya belum keluar.

Dari anamnesis diketahui anak tidak pernah mendapat imunisasi BCG. Hal ini
sesuai dengan literatur yang menyebutkan bahwa imunisasi BCG bisa memberikan efek
proteksi atau pencegahan terhadap terjadinya TB berat pada anak, seperti TB milier dan
meningitis TB. Sebuah penelitian meta analisis terhadap 5 penelitian acak terkontrol dan
8 kasus kontrol studi menyatakan tidak terdapat perbedaan yang signifikan, dengan rata-
rata efek proteksi sekitar 80 % terhadap TB berat. 21,23 Pada studi meta analisis lainnya
diperkirakan pada 100,5 juta vaksin BCG yang telah diberikan pada bayi pada tahun 2002
telah mencegah 29.729 kasus meningitis tuberkulosis (satu kasus dalam 3.435 vaksinasi)
dan 11.486 kasus TB miliar (satu kasus dalam 9.314 vaksinasi). Jumlah kasus terbanyak
yang dapat dicegah adalah di Asia Tenggara (46%), sub Sahara Afrika (27%), wilayah
Barat Pasifik (15%).22

Dalam tatalaksana TB milier anak OAT diberikan selama 2 bulan, sedangkan INH
dan rifampisin dilanjutkan sampai 6-10 bulan. Pemberian vitamin B6 dimaksudkan untuk
mencegah efek samping INH berupa neuritis perifer yang timbul akibat inhibisi
kompetitif pada metabolisme piridoksin. Prednison diberikan sampai 1 bulan, kemudian
ditappering off selama 2-6 minggu.6,8

Setelah 2 bulan pengobatan anak, dilakukan evaluasi terhadap pengobatan TB.


Evaluasi yang terpenting adalah evaluasi klinis, yaitu menghilang atau membaiknya
kelainan klinis yang sebelumnya ada pada awal pengobatan. Pada pasien ini demam
tidak ada, batuk tidak ada, nafsu makan membaik dan berat badan mengalami
peningkatan sebesar 2,5 kg.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Nelson LJ, Wells CD. Global epidemiology of childhood tuberculosis. Int


J Tuberc Lung Dis 2004;8:636-47.
2. World Health Organization. Global Tuberculosis Control 2010. WHO,
Geneva, Switzerland,2010.
3. Cruz AT, Starke JR. Pediatric tuberculosis. Pediatrics in Review
2010;31:13-26.
4. Maltezau HO, Spyridis P, Kafetzis DA. Extra-pulmonary tuberculosis in
children. Arch Dis Child. 2000;83:342-46.
5. Departemen kesehatan Republik Indonesia. Dalam: Buku pedoman
nasional penanggulangan tuberkulosis. Edisi ke-2, cetakan I. Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, 2006.
6. Kartasasmita CB, Basir D. Tuberkulosis. Dalam: Rahajoe NN, Supriyatno
B, Setyanto DB, penyunting. Buku ajar respirologi anak. Edisi pertama.
Jakarta. IDAI;2008.h.162-261.

25
7. Starke JR. Tuberculosis. Dalam: Behrman RE, Kliegman R, Jenson HB,
penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia;
Saunders;2011.h.960-71.
8. Rahajoe NN, Basir D, Makmuri MS, Kartasasmita CB. Pedoman nasional
tuberkulosis anak. Edisi ke-2. Jakarta: UKK Respirologi IDAI;2007.
9. WHO. Anti tuberculosis treatment in children. Dalam: Guidance for
national tuberculosis programmes on the management of tuberculosis in
children. Geneva: World Health Organization;2006;1205-11.
10. International Union Against Tuberculosis and Lung Disease. Diagnostic
ATLAS of intrathoracic tuberculosis in children. Paris;2003.
11. Grossman M. Tuberculosis. Dalam: Rudolph AM, Hoffman JIE, Rudolph
CD, penyunting. Buku ajar Pediatri Rudolph. Edisi ke-20.
EGC;1997.h.687-97.
12. Schlesinger LS. Phagositosis and toll-like receptors in tuberculosis.
Dalam: Rom W, Garay SM, Levitzky, penyunting. Pulmonary
pathophysiology. Edisi ke-5. Volume I;2004.
13. Ardiana D, Wuryaningrum W, Widjaja ES. Skrofuloderma pada Dada.
Disampaikan pada Pertemuan Berkala Ilmu Penyakit Kulit & Kelamin
XIV. Surabaya. 1 April, 2002.
14. Kenyorini, Suradi, Surjanto E. Uji Tuberkulin. Jurnal Tuberkulosis
Indonesia 2010;3(2):1-5.
15. Rogelio Hernández-Pando, Rommel Chacón-Salinas, Jeanet Serafín-
López, and Iris Estrada. Immunology, pathogenesis, virulence. In:
tuberculosis 2007 from basic science to patient care. 2007:157-205.
Diunduh dari www.tuberculosistextbook.com.
16. Barreto ML, et al. Neonatal BCG protection against tuberculosis lasts for
20 years in Brazil. Int Tuberc Lung Dis 2005;10:1171-3.
17. Gunadi D, Lubis B, Rosdiana N. Terapi dan suplementasi besi pada anak.
Sari Pediatri 2009;11(3):207-11.
18. Subagyo A, Aditama TY, Sutoyo DK, Partakusuma LG. Pemeriksaan
Interferon-gamma Dalam Darah Untuk Deteksi Infeksi Tuberkulosis.
Jurnal Tuberkulosis Indonesia 2010;3(2):6-19.
19. Roth JG, Baker SK. Miliary tuberculosis. Dalam: Rom WN, Garay SM,
penyunting. Tuberculosis. Edisi ke-2. Philadelphia;2003.h.960-71.

26
20. Kirks DR. The pediatric ER chest: what every radiologist should know.
Dalam: Nash DH, Petterson H, penyunting. Pediatric Radiology. Edisi
pertama. London: Merit Communications,1992:h.165-75.
21. Guidi R, Bolli V, Lanza C, Biagetti C, Osimani P, Benedictis FM.
Macronodular hepatosplenic tuberculosis. Acta Radiologica Short Reports
2012;1:21
22. Weir RE. Persistence of the immune response induced by BCG
vaccination. BMC Infectious Diseases 2008;8:1-9.
23. Sterne JA, Rodrigues LC, Guedes. Does the efficacy of BCG decline with
time since vaccination? Int tuberc Lung Dis 1998;3:200-7.
24. Muhammad A, Sianipar O. Telaah pustaka. Penentuan defisiensi besi
anemia penyakit kronis menggunakan peran indeks sTfR-F. Indonesian
Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory.2005;12:9-15.

27

Anda mungkin juga menyukai