Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN PENDAHULUAN

RESPIRASI DISTRESS SYNDROME

OLEH
HANSON JOSHUA
NIM 113063J121018

PROGRAM PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SUAKA INSAN
BANJARMASIN
TAHUN 2021
LEMBAR PERSETUJUAN

Laporan Pendahulan Respirasi Distress Syndrome, ini telah disetujui pada tanggal
Oktober 2021

Menyetujui,
Preceptor Akademik Preceptor Klinik

Sapariah Anggraini, S.Kep., NS., M.Kep Helmina , S.Kep.,Ns

Mengetahui,
Ketua PSIK & Profesi Ners Kepala Ruangan

NRK. ......................... NRK. ........................


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pola pernafasan normal adalah teratur dengan waktu ekspirasi lebih
panjang daripada waktu inspirasi, karena pada inspirasi otot pernafasan
bekerja aktif, sedangkan pada waktu ekspirasi otot pernapasan bekerja
secara pasif. Pada keadaan sakit dapat terjadi beberapa kelainan pola
pernapasan yang paling sering adalah takipneu. Ganguan pernafasan pada
bayi dan anak dapat disebabkan oleh berbagai kelainan organic, trauma,
alargi, insfeksi dan lain- lain. Gangguan dapat terjadi sejak bayi baru lahir.
RDS (Respiratory Distress Syndrome) atau disebut juga Hyaline
membrane disease merupakan hasil dari ketidak maturan dari paru-paru
dimana terjadi gangguan pertukaran gas. Berdasarkan perkiraan 30 % dari
kematian neonatus diakibatkan oleh RDS atau komplikasi yang
dihasilkannya (Behrman, 2011 didalam Leifer 2014). Pada penyakit ini,
terjadi karena kekurangan pembentukan atau pengeluaran surfaktan sebuah
kimiawi paru-paru. Surfaktan merupakan suatu campuran lipoprotein aktif
dengan permukaan yang melapisi alveoli dan mencegah alveoli kolaps
pada akhir ekspirasi. (Bobak, 2005).
Secara klinis bayi dengan RDS menunjukkan takipnea (> 60
x/menit) , pernapasan cuping hidung, retraksi interkosta dan subkosta,
expiratory grunting (merintih) dalam beberapa jam pertama kehidupan.
Tanda-tanda klinis lain, seperti: hipoksemia dan polisitema. Tanda-tanda
lain RDS meliputi hipoksemia, hiperkabia, dan asidosis respiratory atau
asidosis campuran (Bobak, 2014).
Secara tinjauan kasus, di negara-negara Eropa sebelum pemberian
rutin antenatal steroid dan postnatal surfaktan, terdapat angka kejadian
RDS 2-3%, di USA 1,72% dari kelahiran bayi hidup periode 1986-1987.
Sedangkan jaman modern sekarang ini dari pelayanan NICU turun
menjadi 1%.Di negara berkembang termasuk Indonesia belum ada laporan
tentang kejadian RDS.
Respiratory Distress Syndrome (RDS) disebut juga Hyaline
Membrane Disease (HMD), merupakan sindrom gawat napas yang
disebabkan defisiensi surfaktan terutama pada bayi yang lahir dengan
masa gestasi kurang. Manifestasi dari RDS disebabkan adanya atelektasis
alveoli, edema, dan kerusakan sel dan selanjutnya menyebabkan bocornya
serum protein ke dalam alveoli sehingga menghambat fungsi surfaktan.
Penyebab terbanyak dari angka kesakitan dan kematian pada bayi
prematur adalah Respiratory Distress Syndrome (RDS). Sekitar 5 -10%
didapatkan pada bayi kurang bulan, 50% pada bayi dengan berat 501-1500
gram (lemons et al,2014).
Angka kejadian berhubungan dengan umur gestasi dan berat badan
dan menurun sejak digunakan surfaktan eksogen ( Malloy & Freeman
2015). Saat ini RDS didapatkan kurang dari 6% dari seluruh neonatus.
Defisiensi surfaktan diperkenalkan pertamakali oleh Avery dan Mead pada
1959 sebagai faktor penyebab terjadinya RDS. Penemuan surfaktan untuk
RDS termasuk salah satu kemajuan di bidang kedokteran, karena
pengobatan ini dapat mengurangi kebutuhan tekanan ventilator dan
mengurangi konsentrasi oksigen yang tinggi. Hasil-hasil dari uji coba
klinik penggunaan surfaktan buatan (Willkinson,1985), surfaktan dari
cairan amnion manusia (Merrit,1986), dan surfaktan dari sejenis
lembu/bovine (Enhoring,1985) dapat dipertanggungjawabkan dan
dimungkinkan. Surfaktan dapat diberikan sebagai pencegahan RDS
maupun sebagai terapi penyakit pernapasan pada bayi yang disebabkan
adanya defisiensi atau kerusakan surfaktan

.
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Anatomi Fisiologis

Anatomi saluran pernapasan terdiri atas saluran pernapasan bagian atas


(rongga hidung, sinus paranasal, dan faring), saluran pernapasan bagian
bawah( laring, trakhea, bronkhus, dan alveoli), sirkulasi pulmonal (ventrikel
kanan, arteri pulmonar, kapiler pulmonal, arteriola pulmonar, venula pulmonar,
vena pulmonar, dan atrium kiri), paru ( paru kanan 3 lobus dan paru kiri 2 lobus),
rongga pleura, dan otot-otot pernapasan.

1. Saluran pernapasan bagian bawah


a. Laring
Laring terletak di antara faring dan trakhea. Berdasarkan letak
vertebra servikalis, laring berada di ruas ke-4 atau ke-5 dan berakhir di
vertebra servikalis ruas ke-6. Laring di susun oleh 9 kartilago yang
disatukan oleh ligamen dan otot rangka pada tulanh hioid di bagian atas
dan trakhea di bawahnya. Kartilago yang terbesar adalah kartilago tiroid,
dan di depannya terdapat benjolan subkutaneus yang dikenal sebagai jakun
yang terlihat nyata pada pria. Kartilago tiroid dibangun oleh dua lempeng
besar yang bersatu di bagian anterior membentuk sebuah sudut seperti
huruf V yang di sebut tonjolan laringeal.Kartilago krikoid adalah kartilago
berbentukcincin yang terletak di bawah kartilago tiroid. Kartilago aritenoid
adalah sepasang kartilago yang menjulang di belakang krikoid, dan di
atasnya terdapat kartilago kuneiform dan kornikulata yang sangat kecil. Di
atas kartilago tiroid terdapat epiglotis, yang berupa katub dan berfungsi
membantu menutup laring saat menelan makanan.
b. Trakhea
Trakhea adalah sebuah tabung yang berdiameter 2,5 cm dengan
panjang 11 cm. Trakhea terletak setelah laring dan memanjang ke bawah
setara dengan vertebra torakalis ke-5. Ujung trakhea bagian bawah
bercabang menjadi 2 bronkus kanan dan kiri. Percabangan bronkus kanan
dan kiri dikenal sebagai karina. Trakhea tersusun atas 16-20 kartilago
hialin berbentuk C yang melekat pada dinding trakhea dan berfungsi untuk
melindungi jalan udara. Kartilago ini juga berfungsi mencegah terjadinya
kolaps atau ekspansi berlebihan akibat perubahan tekanan udara yang
terjadi dalam sistem pernapasan. Bagian terbuka dari bentuk C kartilago
trakhea ini saling berhadapan secara posterior ke arah esofagus dan
disatukan oleh ligamen elastis dan otot polos.
c. Bronkhus
Bronkhus mempunyai struktur serupa dengan trakhea. Bronkhus
kiri dan kanan tidak simetris. Bronkus kanan lebih pendek, lebih lebar, dan
arahnya hampir vertikal dengan trakhea. Sebaliknya bronkhus kiri lebih
panjang, lebih sempit dan sudutnya pun lebih runcing. Bentuk anatomi
yang khusus ini memiliki implikasi klinis tesendiri jika ada benda asing
yang terinhalasi, maka benda itu lebih memungkinkan berada di bronkhus
kanan di bandingkan dengan bronkhus kiri karena arah dan lebarnya.
d. Alveoli dan Membran Respirasi
Membran respiratorius pada alveoli umumnya dilapisi oleh sel
epitel pipih sederhana. Sel-sel epitel pipih disebut dengan sel tipe
1) Makrofag alveolar bertugas berkeliling di sekitar epitelium untuk
memfagositosis partikel atau bakteri yang masih dapat masuk ke
permukaan alveoli, makrofag ini merupakan pertahanan terakhir pada
sistem pernapasan. Sel lain yang ada dalam membran respiratorius
adalah sel septal atau disebut juga dengan sel surfaktan dan sel Tipe 2.
2) Surfaktan terdiri atas fosfolifid dan lipoprotein.
Surfaktan berperan untuk melapisi epitelium alveolar dan
mengurangi tekanan permukaan yang dapat membuat alveoli kolaps.
Apabila produksi surfaktan tidak mencukupi karena adanya injuri atau
kelainan genetik ( kelahiran prematur), maka alveoli dapat mengalami
kolaps sehingga pola pernapasan menjadi tidak efektif.
3) Sirkulasi Pulmonal
Sirkulasi pulmonal dianggap sebagai sistem tekanan rendah karena
tekanan darah individu dalam posissi tegak, paru dapat di anggap
terbagi menjadi 3 bagian, yaitu bagian atas dengan suplai darah yang
buruk, bagian bawah dengan suplai darah maksimal, dan bagian di
antara keduanya dengan suplai darah sedang. Ketika seseorang baring
dan miring ke salah satu sisi, lebih banyak darah yang melewati paru
terendah. sistolik dalam arteri pulmonalis adalah 20-30 mmHg,tekanan
diastolik di bawah 12 mmHg dan tekanan pulmonal rata-rata kurang
dari 20 mmHg . kapiler pulmonal menerima kurang lebih 75% darah
yang mengalir pada sirkulasi pulmonal selama sistole. Nilai tekanan
yang tepat dalam kapilerpulmonal tidak pasti, hingga saat ini nilai yang
masih dipercaya adalah rentang tekanan arteri dan vena pulmonalis,
sekitar 4-12 mmHg. Tekanan yang rendah ini membuat vaskulator
pulmonal normal dapat meragamkan kapasitas untuk mengakomodasi
aliran darah yang diterimanya. Namun, ketika individu dalam posisi
tegak, tekanan arteri pulmonal tidak cukup besar untuk menyuplai
darah ke bagian apeks paru terhadap kekuatan gaya gravitasi.
B. DEFINISI
Sindrom distress pernapasan adalah perkembangan yang imatur pada
sistem pernapasan atau tidak adekuatnya jumlah surfaktan dalam paru. RDS
dikatakan sebagai hyaline membrane disease (HMD). Penyakit membran
hialin atau idiopathic respiratory distress syndrome (IRSDS) disebabkan oleh
kekurangan surfaktan, suatu zat aktif pada alveoli yang mencengah kolaps
paru. PMH seringkali terjadi pada bayi prematur, karena produksi surfaktan,
yang dimulai sejak kehamilan minggu ke-22, baru mencapai jumlah cukup
menjelang cukup bulan. Makin muda usia kehamilan, makin besar pula
kemungkinan terjadinya PMH. Kelainan ini merupakan penyebab utama
kematian bayi prematur.
RDS adalah gangguan pernafasan yang sering terjadi pada bayi premature
dengan tanda-tanda takipnue (>60 x/mnt), retraksi dada, sianosis pada udara
kamar, yang menetap atau memburuk pada 48-96 jam kehidupan dengan x-ray
thorak yang spesifik (Stark,2014).
Respiratory Distress Syndrome (RDS) disebut juga Hyaline Membrane
Disease (HMD), merupakan sindrom gawat napas yang disebabkan defisiensi
surfaktan terutama pada bayi yang lahir dengan masa gestasi yang kurang
(Mansjoer, 2015).
RDS adalah suatu sindrom kegawatan pada pernafasan yang terdiri atas
gejala dispneu, pernafasan cepat lebih dari 60 kali permenit, sianosis, merintih
pada saat ekspirasi; terdapat retraksi pada suprasternal, interkostal dan
epigastrium. Pada penyakit ini terjadi perubahan paru yaitu berupa
pembentukan jaringan hialin pada membran paru yang rusak.Kerusakan pada
paru timbul akibat kekurangan komponen surfaktan pulmonal. Surfaktan
adalah suatu zat aktif yang memberikan pelumasan pada ruang antar alveoli
sehingga dapat mencegah pergesekan dan timbulnya kerusakan pada alveoli
yang selanjutnya akan mencegah terjadinya kolaps paru. (Yuliani, 2015)
C. ETIOLOGI
RDS terjadi pada bayi prematur atau kurang bulan, karena kurangnya
produksi surfaktan. Produksi surfaktan ini dimulai sejak kehamilan minggu
ke-22, makin muda usia kehamilan, makin besar pula kemungkinan terjadi
RDS. Ada 4 faktor penting penyebab defisiensi surfaktan pada RDS yaitu
prematur, asfiksia perinatal, maternal diabetes, secsiocaesaria.
Surfaktan biasanya didapatkan pada paru yang matur. Fungsi surfaktan
untuk menjaga agar kantong alveoli tetap berkembang dan berisi udara,
sehingga pada bayi prematur dimana surfaktan masih belum berkembang
menyebabkan daya berkembang paru kurang dan bayi akan mengalami sesak
nafas. Gejala tersebut biasanya muncul segera setelah bayi lahir dan akan
bertambah berat.

RDS merupakan penyebab utama kematian bayi prematur.


Sindrom ini dapat terjadi karena ada kelainan di dalam atau diluar paru,
sehingga tindakan disesuaikan dengan penyebab sindrom ini. Kelainan
dalam paru yang menunjukan sindrom ini adalah pneumothoraks/
pneumomediastinum, penyakit membran hialin (PMH), Faktor-faktornya
antara lain :
1. Faktor ibu
Faktor ibu meliputi hipoksia pada ibu, gravida emmpat atau lebih,
sosial ekonomi rendah maupun penyakit pembuluh darah ibu yang
mengganggu pertukaran gas janin seperti hipertensi, penyakit diabetes
mellitus, dan lain-lain.
2. Faktor plasenta
Faktor plasenta meliputi sulosio plasenta, pendarahan plasenta,
plasenta kecil, plasenta tipis, plasenta tidak menempel pada tempatnya.
3. Faktor janin
Faktor janin atau neonatus meliputi tali pusat menumbung, tali
pusat melilit leher, kompresi tali pusat antara janin dan jalan lahir,
kelainan kongenital pada neonaatus dan lain-lain.
4. Faktor persalinan
Faktor persalinan meliputi partus lama, partus dengan tindakan dan
lain-lain.
D. PATOFISIOLOGI
Berbagai teori telah dikemukakam sebagai penyebab kelainan ini.
pembentukan subtansi surfaktan paru yang tidak sempurna dalam paru,
merupakan alah satu teori yang banyak dianut. Surfaktan ialah zat yang
memegang peranan dalam pengembangan paru dan merupakan suatu
kompleks yang terdiri dari protein, karbohidrat dan lemak. Senyawa utama
zat tersebut ialah lesitin. Zat ini mulai dibentuk pada kehamilan 22-24
minggu dan mencapai maksismum pada minggu ke-35. Fungsi surfaktan
ialah untuk merendahkan tegangan permukaan alveolus hingga tidak
terjadi kolaps dan mampu menahan sisa udara pada akhir ekspirasi.
Defisiensi zat surfaktan yang ditemukan pada PMH akan menyebabkan
kemampuan paru untuk mempertahankan stabilitas menjadi terganggu;
alveolus akan kembali kolaps setiap akhir ekspirasi, sehingga untuk
pernapasan berikutnya dibutuhkan tekanan negatif intratoraks yang lebih
besar dan disertai usaha inspirasi yang lebih kuat. Kolaps paru ini
memnyebabkan terganggunya ventilasi sehingga terjadi hipoksia, retensi
CO², dan asidosis hipoksia akan menimbulkan:
1. Oksigenansi jaringan menurun sehingga terjadi metabolisme anerobik
yang menimbulkan asam laktat dan asam organik yang menyebabkan
terjadinya asidosis metabolik pada bayi.
2. Kerusakan endotel kapiler dan epitel duktus alveolaris yang akan
menyebabkan terjadinya transudasi ke dalam alveoli dan terbentuknya
fibrin, selanjutnya fibrin bersama-sama dengan jaringan epitel yang
nekrotik membentuk suartu lapisan yang disebut membran hialin.
Asidosis dan atelektasis juga menyebabkan gangguan sirkulasi darah
dari jantung. Demuikian pula aliran darah paru akan menurun dan ini
menyebabkan pembentukan zat surfaktan.

Secara singkat patofisiologinya dapat dilukiskan sebagai berikut:


atelektasis→hipksemia→hipoksia→asidosis→transudasi→penurunan
aliran darah paru→hambatan pembentukkan zat surfaktan→atelektasis.
Hal ini ber langsung terus sampai terjadi penyembuhan atau kematian.

Bayi lahirpremature
Lapisan lemak
belum
Inadekuat surfaktan terbentuk

Alveolus kolaps Gangguan tertermoregulasi

Ventilasi berkurang hipoksia


Pembentukan
Peningkatan usaha napas Cedera paru membran hialin
Mengendap di
Alveolus kolaps edema alveoli
Ketidakefektifan
pola napas takipnea Gg. Pertukaran gas
E. MANIFESTASI KLINIK
Umumnya terjadi pada bayi prematur dengan berat badan 1000-2000 gram
atau 30- 36 minggu. Jarang pada bayi cukup bulan, dan sering disertai dengan
riwayat asfiksia pada waktu lahir atau tanda gawat janin pada akhir kehamilan.
Gangguan pernapasan mulai tampak dalam 6-8 jam pertama setelah lahir dan
gejala yang karakteristik mulai terlihat pada umur 24-72 jam. Bila keadaan
membaik maka gejala akan menghilang pada akhir minggu pertama. Bayi
tampak dispenia dan hiperpnea, sianosis karena pirau vena- arteri dalam apru
dan jantung; retraksi suprasternal, epibradikardia,hipotensi,
kardiomegali,edema terutama didaerah dorsal tangan dan kaki,hiportemia, dan
tonus otot yang menurun. Gejala sentral dapat terlihat bila terjadi komplikasi.
Tanda dan gejala yang muncul biasanya adalah:
1. Manifestasi klinis respirasi
a. Takipnea : laju napas > 60 kali per menit (normal laju napas 40 kali per
menit)
b. Sianosis sentral pada suhu kamaryang menetap atau memburuk pada
48-96 jam kehidupan dengan x-ray thorak yang spesifik
c. Retraksi : cekungan pada sternum dan kosta pada saat inspirasi
d. Grunting : suara merintih saat ekspirasi
e. Pernapasan cuping hidung
f. Krepitasi inspirasi halus
g. Dyspnea
2. Manifestasi ketika penyakit berkembang
a. Apnea
b. Flaksiditas
c. Tidak bergerak
d. Tidak berespons
e. Suara nafas berkurang
f. Bercak-bercak
g. Manifestasi berhubungan dengan penyakit berat
h. Keadaan seperti syok
i. Penurunan retum jantung dan bradikardia
j. Tekanan darah sistemik rendah
Tabel evaluasi gawat napas dengan skor downes
Pemeriksaan skor
0 1 2
Frekuensi napas <60x/menit 60-80x/menit >80x/menit
Retraksi Tidak ada retraksi Retraksi ringan Retraksi berat
Sianosis Tidak ada Sianosis Sianosis menetap
hilang
sianosis walaupun dengan
dengan O2
O2
Air entry Udara masuk Penurunan Tidak ada udara
ringan udara masuk
masuk

Merintih Tidak merintih Dapa Dapat didengar


tanpa alat bantu
didengar
dengan
stetoskop
Evaluasi:
< 3 =gawat napas ringan
4-5 = gawat napas sedang >
6 = gawat napas berat
F. PENATALAKSANAAN
Setelah manajemen umum segera lakukan manajemen lanjut sesuai dengan
kemungkinan penyebab dan jenis atau derajat gangguan nafas. Manajemen
spesifik dan manajemen lanjut antara lain :
1. Pentalaksanaa pada gangguan nafas ringan (Sudarti dan Endang
Khoirunnisa, 2014) Gangguan nafas ringan pada bayi yang mengalami
gangguan nafas ringan disebut Transient Tacypnea of the Newborn (TTN)
yang biasanya terjadi karena bedah sesar. Kondisi ini dapat normal kembali
tanpa adanya pengobatan. Gangguan nafas ringan merupakan tanda awal
dari infeksi sistemik.
a. Amati pernafasan bayi setiap 2 jam selama 6 jam berikutnya.
b. Bila pernafasan memburuk atau timbul gejala sepsis, terapi untuk
mengurangi sepsis.
c. Berikan ASI bila bayi mampu menyusui, jika tidak mampu peras ASI.
d. Kurangi pemberian 02 secara bertahap bila ada perbaikan gangguan
nafas, hentikan pemberian 02 jika frekuensi nafas antara 30-6-
kali/menit.
e. Amati bayi selama 24 jam selanjutnya, jika frekuensi nafas menetap
antaran 30-60 kali/menit, tidak ada sepsis, dan tidak ada masalah lain
yang memerlukan perawatan bayi dapat dipulangkan.
2. Gangguan nafas sedang (Sudarti dan Endang Khoirunnisa, 2014)
a. Lanjutkan pemberian 02 dengan kecepatan aliran sedang
b. Bayi tidak diberikan minum
c. Ambil sampel darah untuk kultur dan berikan antibiotic (ampisilin dan
gentamisin) untuk terapi kemungkinan besar sepsis jika tidak ada
tanda- tanda sebagai berikut :
1) Suhu aksiler 390C
2) Air ketuban bercampur mekonium
3) Riwayat infeksi intrauterine, demam curiga infeksi berat atau
ketuban pecah dini (>18 jam)
d. Bila suhu aksiler 34-36,50C atau 37,5-390C tangani untuk masalah suhu
abnormal dan ulang setelah 2 jam.
1) Bila suhu masih belum stabil atau gangguan pernafasan masih
belum ada perbaikan, ambil sampel darah dan berikan antibiotik
untuk terapi kemungkinan sepsis.
2) Jika suhu abnormal, teruskan amati bayi. Jika suhu kembali
abnormal ulangi tahapan diatas.
e. Bila tidak ada tanda-tanda ke arah sepsis, nilai kembali bayi setelah 2
jam. Apabila bayi tidak menunjukan perbaikan atau tanda-tanda
perburukan setelah 2 jam, terapi untuk kemungkinan besar sepsis.
f. Bila bayi mulai menunjukan tanda-tanda perbaikan (frekuensi nafas
menurun, tarikan dinding dada berkurang atau suara merintih
berkurang)
1) Kurangi terapi 02 secara bertahap - Pasang pipa lambung dan
berikan ASI peras setiap 2 jam
2) Bila pemberian 02 tidak diperlukan lagi, bayi mulai dilatih
menyusui
g. Amati bayi selama 24 jam setelah pemberian antibiotik dihentikan.
Jika bayi kembali tampak kemerahan tanpa pemberian 02 selama 3
hari, bayi dapat dipulangkan dan bayi sudah bisa diberikan ASI
3. Gangguan Napas Berat
Semakin kecil bayi kemungkinan terjadi gangguan nafas semakin sering
dan semakin berat. Pada bayi kecil ( berat lahir <2500 gram atau kehamilan
kurang dari 37 minggu) gangguan nafas kering memburuk dala waktu 3648
jam pertama dan tidak banyak terjadi perubahan dalam satu dua hari
berikutnya dan kemudian akan membaik pada hari ke 4-7.
a. Tentukan pemberian O2 dengan kecepatan aliran sedang (antara
rendah dan tinggi)
b. Tangani sebagai kemungkinan besar sepsis.
c. Bila bayi menunjukkan tanda pemburukan atau terhadap terhadap
sianosis sentral,naikan pemberian O2 pada kecepatan aliran tinggi. Jika
gangguan nafas bayi semakin berat dan sianosis sentral menetap
walaupun diberikan O2 100% bila kemungkinan segera rujuk bayi
kerumah sakit rujukan atau ada fasilitas dan mampu memakai
ventilator mekanik.
d. Jika gangguan nafas masih menetap selama 2 jam, pasang pipa
lambung untuk mengosongkan cairan lambung dan udara.
e. Nilai kondisi bayi 4 kali sehari apa bila ada tanda perbaikan.
f. Jika bayi mulai menunjukkan tanda perbaikan (frekuensi nafas
menurun,tarikan dinding dada berkurang, warna kulit membaik), maka
1) Kurangi pemberian O2, Jangan meneruskan pemberian O2 bila
tidak perlu hentikan pemberian O2 bila bayi diletakkan pada udara
ruangan tanpa pemberian O2 tidak mengalami gangguan nafas dan
tampak kemerahan.
2) Mulailah pemberian ASI peras melalui pipa lambunng.
3) Bila pemberian O2 tak diperlukan lagi,bayi mulai dilatih dengan
menggunakan salah satu alternafif cara pemberian minum.

G. PENCEGAHAN
Tindakan pencegahan yang harus dilakukan untuk mencegah komplikasi
pada bayi resiko tinggi adalah mencegah terjadinya kelahiran prematur,
mencegah tindakan. seksio sesarea yang tidak sesuai dengan indikasi medis,
melaksanakan manajemen yang tepat terhadap kehamilan dan kelahiran bayi
resiko tinggi. Tindakan yang efektif utntuk mencegah RDS adalah:
1. Mencegah kelahiran kurang bulan (premature)
2. Mencegah tindakan seksio sesarea yang tidak sesuai dengan indikasi medis
3. Management yang tepat.
4. Pengendalian kadar gula darah ibu hamil yang memiliki riwayat DM.
5. Optimalisasi kesehatan ibu hamil.
6. Kortikosteroid pada kehamilan kurang bulan yang mengancam.
H. KOMPLIKASI
1. Komplikasi jangka pendek ( akut ) dapat terjadi :
a. Ruptur alveoli
Bila dicurigai terjadi kebocoran udara (pneumothorak,
pneumomediastinum, pneumopericardium, emfisema intersisiel ), pada
bayi dengan RDS yang tiba-tiba memburuk dengan gejala klinis
hipotensi, apnea, atau bradikardi.
b. Dapat timbul infeksi yang terjadi karena keadaan penderita yang
memburuk dan adanya perubahan jumlah leukosit dan
thrombositopeni. Infeksi dapat timbul karena tindakan invasiv seperti
pemasangan jarum vena, kateter, dan alat respirasi.
c. Perdarahan intrakranial dan leukomalacia periventricular
Perdarahan terjadi pada 20-40% bayi prematur dengan frekuensi
terbanyak pada bayi RDS dengan ventilasi mekanik.
d. PDA dengan peningkatan shunting dari kiri ke kanan merupakan
komplikasi bayi dengan RDS terutama pada bayi yang dihentikan
terapi surfaktannya.
2. Komplikasi jangka panjang yang sering terjadi :
a. Bronchopulmonary Dysplasia (BPD)
Merupakan penyakit paru kronik yang disebabkan pemakaian oksigen
pada bayi dengan masa gestasi 36 minggu.BPD berhubungan dengan
tingginya 14 volume dan tekanan yang digunakan pada waktu
menggunakan ventilasi mekanik, adanya infeksi, inflamasi, dan
defisiensi vitamin A.
b. Retinopathy premature
Kegagalan fungsi neurologi, terjadi sekitar 10-70% bayi yang
berhubungan dengan masa gestasi, adanya hipoxia, komplikasi
intrakranial, dan adanya infeksi
I. Pemeriksaan Diagnostik
1. Gambaran radiologis
Diagnosis yang tepat hanya dapat dibuat dengan pemeriksaan foto
rontgen toraks. Pemeriksaan ini juga sangat penting untuk menyingkirkan
kemungkinan penyakit lain yang diobati dan mempunyai gejala yang
mirip penyakit membran hialin, misalnya pneumotoraks, hernia
diafragmatika dan lain-lain. Gambaran klasik yang ditemukan pada foto
rontgen paru ialah adanya bercak difus berupa infiltrate retikulogranuler
ini, makin buruk prognosis bayi. Beberapa sarjana berpendapat bahwa
pemeriksaan radiologis ini dapat dipakai untuk mendiagnosis dini
penyakit membran hialin, walaupun manifestasi klinis belum jelas.
2. Gambaran laboratorium
Kelainan yang ditemukan pada pemeriksaan laboratorium diantaranya
adalah :
a. Pemeriksaan darah
Kadar asam laktat dalam darah meninggi dan bila kadarnya lebih
dari 45 mg%, prognosis lebih buruk, kadar bilirubin lebih tinggi bila
dibandingkan dengan bayi normal dengan berat badan yang sama.
Kadar PaO2 menurun disebabkan kurangnya oksigenasi di dalam paru
dan karena adanya pirau arteri-vena. Kadar PaO2 meninggi, karena
gangguan ventilasi dan pengeluaran CO2 sebagai akibat atelektasis
paru. pH darah menurun dan defisit biasa meningkat akibat adanya
asidosis respiratorik dan metabolik dalam tubuh.

b. Pemeriksaan fungsi paru


Pemeriksaan ini membutuhkan alat yang lengkap dan pelik,
frekuensi pernapasan yang meninggi pada penyakit ini akan
memperhatikan pula perubahan pada fungsi paru lainnya seperti ‘tidal
volume’ menurun, ‘lung compliance’ berkurang, functional residual
capacity’ merendah disertai ‘vital capacity’ yang terbatas. Demikian
pula fungsi ventilasi dan perfusi paru akan terganggu.
c. Pemeriksaan fungsi kardiovaskuler
Penyelidikan dengan kateterisasi jantung memperhatikan beberapa
perubahan dalam fungsi kardiovaskuler berupa duktus arteriosus paten,
pirau dari kiri ke kanan atau pirau kanan ke kiri (bergantung pada
lanjutnya penyakit), menurunnya tekanan arteri paru dan sistemik.
3. Gambaran patologi/histopatologi
Pada otopsi, gambaran dalam paru menunjukkan adanya atelektasis
dan membran hialin di dalam alveolus dan duktus alveolaris. Di samping
itu terdapat pula bagian paru yang mengalami enfisema. Membran hialin
yang ditemukan yang terdiri dari fibrin dan sel eosinofilik yang mungkin
berasal dari darah atau sel epitel ductus yang nekrotik.
J. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan medik tindakan yang perlu dilakukan
a. Memberikan lingkungan yang optimal, suhu tubuh bayi harus selalu
diusahakan agar tetap dalam batas normal (36,50C -370C) dengan cara
meletakkan bayi dalam inkubator. Kelembaban ruangan juga harus
adekuat (70-80%).
b. Pemberian oksigen. Pemberian oksigen harus dilakukan dengan
hatihati karena berpengaruh kompleks terhadap bayi prematur.
Pemberian O2 yang terlalu banyak dapat menimbulkan komplikasi
seperti : fibrosis paru, kerusakan retina (fibroplasias retrolental), dll.
c. Pemberian cairan dan elektrolit sangat perlut untuk mempertahankan
homeostasis dan menghindarkan dehidrasi. Pada permulaan diberikan
glukosa 5-10% dengan jumlah yang disesuaikan dengan umur dan
berat badan ialah 60-125 ml/kg BB/hari. asidosis metabolik yang selalu
dijumpai harus segera dikoreksi dengan memberikan NaHCO3 secara
intravena.
d. Pemberian antibiotik. Bayi dengan PMH perlu mendapatkan antibiotik
untuk mencegah infeksi sekunder. Dapat diberikan penisilin dengan
dosis 50.000-100.000 u/kg BB/hari atau ampisilin 100 mg/kg BB/hari,
dengan atau tanpa gentamisin 3-5 mg/kg BB/hari.
e. Kemajuan terakhir dalam pengobatan pasien PMH adalah pemberian
surfaktan eksogen (surfaktan dari luar), obat ini sangat efektif, namun
harganya amat mahal.
2. Penatalaksanaan keperawatan
Bayi dengan PMH adalah bayi prematur kecil, pada umumnya
dengan berat badan lahir 1000-2000 gram dan masa kehamilan kurang
dari 36 minggu. Oleh karena itu, bayi ini tergolong bayi berisiko tinggi.
Apabila menerima bayi baru lahir yang demikian harus selalu waspada
bahaya yang dapat timbul. Masalah yang perlu diperhatikan ialah bahaya
kedinginan (dapat terjadi cold injury), risiko terjadi gangguan pernapasna,
kesuakran dalam pemberian makanan, risiko terjadi infeksi, kebutuhan
rasa aman dan nyaman (kebutuhan psikologik) (Ngastiyah, 2005).
3. Pencegahan
Faktor yang dapat menimbulkan kelainan ini ialah pertumbuhan
paru yang belum sempurna karena itu salah satu cara untuk
menghindarkan penyakit ini ialah mencegah kelainan bayi yang maturitas
parunya belum sempurna. Maturitas paru dapat dikatakan sempurna bila
produksi dan fungsi surfaktan telah berlangsung baik. Gluck (1971)
memperkenalkan suatu cara untuk mengetahui maturitas paru dengan
menghitung perbandingan antara lesitin dan sfingomielin dalam cairan
amnion. Bila perbandingan lesitin/sfingomielin sama atau lebih dari 2,
bayi yang akan lahir tidak akan menderita penyakit membran hialin,
sedangkan bila perbandingan tadi kurang dari 2 berarti paru bayi belum
matang dan akan mengalami penyakit membran hialin. Pemberian
kortikosteroid oleh beberapa sarjana dianggap dapat merangsang
terbentuknya surfaktan pada janin. Penelitian mengenai hal ini masih
terus dilakukan saat ini. Cara yang paling efektif untuk menghindarkan
penyakit ini ialah mencegah prematuritas dan hal ini tentu agar sulit
dikerjakan pada beberapa komplikasi kehamilan tertentu.
K. ASUHAN KEPERAWATAN RDS (RESPIRATORY DISTRESS
SYNDROME)
1. Pengkajian
a. Identitas klien Meliputi nama, jenis kelamin, suku bangsa, tanggal
lahir, alamat, agama, tanggal pengkajian.
b. Riwayat kesehatan
1) Riwayat maternal: Menderita penyakit seperti diabetes mellitus,
kondisi seperti perdarahan plasenta, tipe dan lamanya persalinan,
stress fetal atau intrapartus.
2) Status infant saat lahir Prematur, umur kehamilan, apgar score
(apakah terjadi asfiksia), bayi lahir melalui operasi caesar.
c. Data dasar pengkajian
1) Cardiovaskuler
a) Bradikardia (< 100 x/menit) dengan hipoksemia berat
b) Murmur sistolik
c) Denyut jantung DBN
2) Integumen
a) Pallor yang disebabkan oleh vasokontriksi peripheral
b) Pitting edema pada tangan dan kaki
c) Mottling
3) Neurologis
a) Immobilitas, kelemahan
b) Penurunan suhu tubuh d. Pulmonary
4) Pulmonary
a) Takipnea (> 60 x/i, mungkin 30-100 x/i)
b) Nafas grunting
c) Pernapasan cuping hidung
d) Pernapasan dangkal
e) Retraksi suprasternal dan substernal
f) Sianosis
g) Penurunan suara napas, crakles, episode apnea
5) Status behavioral
a) Letargi
3) Pemeriksaan Doagnostik
a) Sert rontgen dada : untuk melihat densitas atelektasi dan elevasi
diafragma dengan over distensi duktus alveolar
b) Bronchogram udara : untuk menentukan ventilasi jalan napas
c) Data laboratorium :
(1) Profil paru, untuk menentukan maturitas paru, dengan
bahan cairan amnion (untuk janin yang mempunyai
predisposisi RDS)
(2) Lesitin/spingomielin (L/S) ratio 2 : 1 atau lebih
mengindikasikan maturitas paru
(3) Phospatidyglicerol : meningkat saat usia gestasi 35 minggu
(4) Tingkat phospatydylinosito
(5) AGD : PaO2< 50 mmHg, PaCO2> 50 mmHg, saturasi
oksigen 92%-94%, pH 7,3- 7,45.
(6) Level potassium : meningkat sebagai hasil dari release
potassium dari sel alveolar yang rusak
2. Analisa Data
No Data Etiologi Masalah
1. DO : Surfaktan menurun Gangguan
1) Hiperkapnea pertukaran gas

2) Hipoksia Tegangan permukaan alveolus
3) Takipnea menngkat Ketidakseimbangan
4) Sianosis infasi saat inspirasi
5) Letargi ↓
6) Dispnea Kolaps alveoli
7) GDA ↓
abnormal Gangguan ventilasi pulmonal
8) Pucat ↓
Hipoksia, Retensi CO2,
peningkatan pulmonary vaskular

Hipoperfusi jaringan paru, erusakan
endotel dan epitel duktus
arteriousus

Gangguan pertukaran gas
2. DO : Surfaktan menurun Ketidakefektifan
1) Dispnea; pola napas

takipne Janin tidak dapat menjaga rongga
2) Periode apnea paru tetap Mengembang
3) Pernapasan ↓
cuping Usaha inspirasi lebih kuat
4) hidung ↓
5) Retraksi Sukar bernapas, Dispnea, Retraksi
dinding dada dinding dada, Kelelahan,
6) Sianosis Pernapasan cuping hidung
7) Mendengkur ↓
8) Napas grunting Ketidakefektifan pola napas
9) Kelelahan

3. DO : Metabolisme anaerob Ketidakefektifan


1) Hipotermia ↓ Termoregulasi
2) Letargi Timbunan asam laktat Asidosis
3) Aterosianosis metabolik
4) Takipnea; ↓
apnea Kurangnya cadangan glikogen dan
5) Turgor lemak
kulit buruk

6) Hipoglikemia Respons menggigil pada bayi
kurang/tidak ada

Bayi kehilangan panas tubuh/tidak
dapat meningkatkan panas tubu

Ketidakefektifan Termoregulasi

3. Diagnosa Keperawatan (NANDA NIC NOC, 2015)


a. Diagnosa : Gangguan pertukaran gas
1) Definisi :kelebihan atau defisit pada oksigenasi dan/atau eliminasi
karbon dioksida pada membran alveolar-kapiler 2) Batasan
Karakteristik :
a) Diaforesis
b) Dispnea
c) Gangguan pengelihatan
d) Gas darah arteri abnormal
e) Gelisah
f) Hiperkapnia
g) Hipoksemia
h) Hipoksia
i) Iritabilitas
j) Konfusi
k) Nafas cuping hidung
l) Penurunan karbon dioksida
m) pH arteri abnormal
n) Pola pernafasan abnormal (mis., kecepatan, irama,
kedalaman)
o) Sianosis
p) Somnolen
q) Takikardia
r) Warna kulit abnormal (mis., pucat, kehitaman ) 3) Faktor
yang berhubungan :
a) Ketidakseimbangan ventilasi perfusi
b) Perubahan membran alveolar kapiler
b. Ketidakefektifan Pola Nafas (Breathing Pattern, Ineffective)

Definisi : inspirasi dan/atau ekspirasi yang tidak yang tidak memberi


ventilasi yang adekuat.

1) Batasan Karakteristik :
a) Bradipnea
b) Dispnea
c) Fase ekspirasi memanjang
d) Ortopnea
e) Penggunaan otot bantu pernafasan
f) Penggunaan posisi tiga titik
g) Peningkatan diameter anterior-posterior
h) Penurunan kapasitas vital
i) Penurunan tekanan ekspirasi
j) Penurunan tekanan inspirasi
k) Penurunan ventilasi semenit
l) Pernafasan bibir
m) Pernafasan cuping hidung
n) Pernafasan ekskursi dada
o) Pola nafas abnormal (mis., irama, frekuensi, kedalaman)
p) Takipne
2) Faktor yang berhubungan
a) Ansietas
b) Cedera medulaspinalis
c) Deformitas dinding dada
d) Deformitas tulang
e) Keletihan
f) Hiperventilasi
g) Sindrom hipoventilasi
h) Gangguan musculoskeletal
i) Kerusakan neurologis
j) Imaturitas neurologis
k) Disfungsi
l) Keletihan otot pernapasan
m) Cedera medulla spinalis
c. Diagnosa : ketidakefektifan termoregulasi
1) Definisi : fruktuasi suhu diantara hipotermi dan hipertermia 2)
Batasan karakteristik :
a) Dasar kuku sianostik
b) Fruktuasi suhu tubuh diatas dan dibawah kisaran normal
c) Kulit kemerahan
d) Hipertensi
e) Peningkatan suhu tubuh diatas normal
f) Peningkatan frekuensi pernafasan
g) Sedikit menggigil, kejang
h) Pucat sedang
i) Piloereksi
j) Penurunan suhu tubuh dbawah normal
k) Kulit dingin. Kulit hangat
l) Pengisian ulang kapiler lambat
m) Taikardi
3) Faktor yang berhubungan :
a) Usia yang ekstrem
b) Fluktuasi suhu lingkungan
c) Penyakit
d) Taruma
4. Perencanaan Keperawatan (NANDA NIC NOC, 2015)
1. Diagnosa : Gangguan Pertukaran Gas
a. Tujuan dan Kriteria hasil :
NOC
1) Cardiac Pump Effectiveness
2) Circulation Status
3) Vital sign status
b. Kriteria Hasil :
1) Tanda vital dalam rentang normal (TD, Nadi, Respirasi)
2) Tidak ada edema paru, perifer, dan tidak ada asites
3) Tidak ada penurunan kesadaran
c. Intervensi (NIC)
Monitoring Respirasi:
1) Monitor frekuensi, irama, kedalaman pernapasan,
pernapasan, dan upaya napas R/ .Berguna dalam derajat
distres pernapasan atau kronisnya proses penyakit
2) Monitor kemampuan batuk efektif
R/ Kental, tebal, dan banyaknya banyaknya sekresi sekresi
adalah sumber utama gangguan pertukaran pertukaran gas
pada jalan napas kecil, penghisapan dibutuhkan bila batuk
tidak efektif.
3) Auskultasi bunyi napas
R/ Bunyi napas mugkin redup karena penurunan aliran udara
atau area konsolidasi, adanya mengi mengindikasikan spasme
bronkus/ bronkus/ tertahannya tertahannya sekret. Krekels
basah menyebar menunjukan cairan pada intertisial/
dekompensasi jantung
4) Awasi tingkat kesadaran / status mental
R/ Gelisah dan ansietas adalah manifestasi umum hipoksia.
AGD yang memburuk disertai bingung bingung menunjukan
menunjukan disfungsi serebral yang berhubungan
berhubungan dengan hipoksemia.

Terapi Oksigen

1) Monitor tanda-tanda hipoventilasi


R/ Untuk mengetahui pernapasan pernapasan sudah normal
apa belum

2) Pertahankan kepatenan dan bersihan jalan napas


R/ Sumbatan pada jalan napas merupakan sumber utama
gangguan pertukaran gas
3) Berikan oksigen tambahan, jika perlu
R/ Pemberian oksigen tambahan dapat memperbaiki dan
mencegah memburuknya hipoksia
4) Kolaborasi dalam pemberian bronkodilator,
bronkodilator, jika perlu
R/Merilekskan otot halus dan menurunkan kongesti lokal,
menurunkan spasme jalan napas, mengi, dan produksi mukosa
2. Diagnosa : Ketidakefektifan Pola Napas
a. Tujuan dan Kriteria Hasil
NOC
1) Respiratory status : Ventilation
2) Respiratory status : Airway Patenci
3) Vital sign
b. Kriteria Hasil :
1) Irama pernafasan teratur/ tidak sesak
2) Pernafasan dalam batas normal (dewasa: 16-20x/menit)
3) Kedalaman pernafasan normal
4) Suara perkusi jaringan paru normal (sonor)
c. Intervensi (NIC)
Label : Airway Management
1) Posisikan pasien semi fowler
R/ Untuk memaksimalkan potensial ventilasi
2) Auskultasi suara nafas, catat hasil penurunan daerah ventilasi
atau tidak adanya suara nafas tambahan R/ Memonitor
kepatenan jalan napas
3) Monitor pernapasan dan status oksigen yang sesuai R/
Memonitor respirasi dan keadekuatan oksigen

Oxygen Therapy
1) Mempertahankan jalan napas paten
R/ Menjaga keadekuatan ventilasi
2) Kolaborasi dalam pemberian oksigen terapi
R/ Meningkatkan ventilasi dan asupan oksigen
3) Monitor aliran oksigen
R/ Menjaga aliran oksigen mencukup

Respiratory Monitoring

1) Monitor kecepatan, ritme, kedalaman dan usaha pasien saat


bernafas
R/ Monitor keadekuatan pernapasan
2) Catat pergerakan dada, simetris atau tidak, menggunakan otot
bantu pernafasan
R/ Melihat apakah ada obstruksi di salah satu bronkus atau
adanya gangguan pada ventilasi
3) Monitor suara nafas seperti snoring
R/ Mengetahui adanya sumbatan pada jalan napas
4) Monitor pola nafas: bradypnea, tachypnea, hiperventilasi,
respirasi kussmaul, respirasi cheyne-stokes dll R/ Memonitor
keadaan pernapasan klien
3. Diagnosa : Ketidakefektifan Termoregulasi
a. Tujuan dan Kriteria Hasil
NOC
1) Hidration
2) Adherence behavior
3) Immune status
4) Rusk control
5) Risk detektion
b. Kriteria Hasil :
1) Keseimbangan antara produksi panas yang diterima dan
kehilangan panas

2) Seimbang antara produksi panas, panas yang diterima dan


kehilangan panas selama 28 hari pertama kehidupan
3) Keseimbangan asam basa bayi baru lahir
4) Temperaatur stabil 36-370C
5) Tidak ada kejang
6) Tidak ada perubahan warna kulit
7) Glukosa darah stabil
8) Pengendalian resiko hipertemia, hypotermia
c. Intervensi (NIC) :
Temperature regulation (pengaturan suhu)
1) Monitor suhu minimal tiap 2 jam
R/ untuk mengetahui suhu pasien seca pasien secara intensif
2) Rencanakan monitoring suhu secara kontinyu R/ agar suhu teta
terpantau secara maksimal
3) Monitor (TD, nadi, dan suhu)
R/ untuk mengetahui keadaan umum pasien
4) Monitor warna dan suhu kulit
R/ untuk mengetahui perubaha perubahan warna dan suhu
klien
5) Monitor tanda-tanda hipertermi dan hipotermi
R/ untuk memberikan pengobat pengobatan secara cepat
apabila terjadi hipotermi dan hipertemi
6) tingkatkan intake cairan dan nutrisi
R/ untuk mencegah kekurangan volume cairan
7) Selimuti psien untuk mencegah hilangnya kehangatan tubuh
R/ mencegah pasien agar tidak kedinginan
8) Diskusi tentang pentingnya pengatura pengaturan suhu dan
kemungkin efek negative dari kedinginan
R/ Agar pasien data paham dan mengerti tentang efek negative
dari kedinginan
9) Ajarkan indikasi dari hipotermi dan penangan penanganan
yang diperlukan

R/ agar pasien dapat melakukan penanganan dengan


benar apabila terjadi hipotermi
10) Berikan anti piretik jika perlu
R/ untuk mempercepat penyemb penyembuhan pasien
Daftar Pustaka

Amin Huda. H, Hardhi Kusuma. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan


Berdasarkan Diagnosa Medis NANDA NIC NOC. Jogjakarta : Mediaction

Doenges dan Moorhouse. (2001). Rencana Perawatan Maternal/Bayi : Pedoman


untuk Perencanaan dan Dokumentasi Perawatan Klien Edisi 2. Jakarta :
EGC.

Nelson. (1999). Ilmu Kesehatan Anak. Volume I. Edisi 15. Jakarta : EGC.

Ngastiyah. (2005). Perawatan Anak Sakit Edisi 2. Jakarta : EGC.

Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. (1985). Buku Kuliah 3. Ilmu
Kesehatan Anak. Jakarta : Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran UI.

Surasmi, A, dkk. (2003). Perawatan Bayi Risiko Tinggi. Jakarta : EGC.

Suriadi & Yuliani. (2006). Buku Pegangan Praktik Klinik Asuhan keperawatan
pada Anak Edisi 2. Jakarta : Sagung Seto. Wong L.

Donna. (2003). Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai