Anda di halaman 1dari 25

REFERAT

ACUTE RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME

Oleh :
Fajri Rozi Kamaris
1102012081

Pembimbing :
dr. Johnson Manurung, Sp.PD

KEPANITERAAN KLINIK SMF INTERNA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
RSUD. Dr. Slamet GARUT
Periode 30 Juni 2016- 5 Agustus 2016
1

Kata Pengantar

Assalamualaikum Wr.Wb.
Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan karunia-Nya kami
dapat

menyelesaikan

referat

yang

berjudul

ACUTE

RESPIRATORY

DISTRESS

SYNDROME dengan baik.


Referat ini disusun untuk memenuhi sebagian syarat dalam mengikuti dan menyelesaikan
kepaniteraan klinik SMF Penyakit Dalam di RSUD Dr.Slamet Garut. Dalam kesempatan ini
penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. dr. Johnson Manurung, Sp.PD, selaku dokter pembimbing.
2. Para Perawat dan Pegawai di Bagian SMF Penyakit Dalam RSUD Dr.Slamet Garut.
3. Teman-teman sejawat dokter muda di lingkungan RSUD Dr.Slamet Garut.
Segala daya upaya telah di optimalkan untuk menghasilkan referat yang baik dan
bermanfaat, dan terbatas sepenuhnya pada kemampuan dan wawasan berpikir penulis. Pada
akhirnya penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis
mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca agar dapat menghasilkan tulisan yang lebih
baik di kemudian hari.
Akhir kata penulis mengharapkan referat ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca,
khususnya bagi para dokter muda yang memerlukan panduan dalam menjalani aplikasi ilmu.
Wassalamualaikum Wr. Wb.

Garut, Juni 2016

Penulis

DAFTAR ISI

1. COVER........................................................................................................................1
2. KATA PENGANTAR..............2
3. DAFTAR ISI..........3
4. PENDAHULUAN......4
5. ACUTE RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME...................................................10
6. DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................34

BAB I
PENDAHULUAN

Acute Respiratory Distress Syndrome adalah salah satu penyakit paru yang
memerlukan perawatan di Intensive care unit (ICU) dan mempunyai angka
kematian yang tinggi yaitu mencapai 60%. Secara definisi pertama kali
dikemukakan oleh Asbaugh dkk (1967) sebagai hipoksemia berat yang onsetnya
akut, infiltrat bilateral yang difus pada foto thoraks dan penurunan compliance atau
daya regang paru. (1)
Penyebab spesifik ARDS masih belum pasti, banyak faktor, banyak faktor
penyebab yang dapat berperan pada gangguan ini menyebabkan ARDS tidak
disebut sebagai penyakit tetapi sebagai sindrom. Sepsis merupakan faktor resiko
yang paling tinggi, mikroorganisme dan produknya (endotoksin) bersifat sangat
toksik bagi parenkim paru dan merupakan faktor resiko terbesar kejadian ARDS
berkisar antara 30-50%.
Insidensi ARDS di Amerika Serikat sebesar 100.000-150.000 jumlah
penduduk pertahun. Sebanyak 16% dari pasien yang di rawat di ICU menggunakan
ventilator selama lebih dari 24 jam atau lebih dapat berkembang menjadi ARDS.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1

Anatomi dan Fisiologi Paru

CAVUM THORAX
Organ paru terletak pada cavum thorax pada kedua sisi lateral mediastinum.
Batas atas cavum thorax : aperture thoracis superior yang dibentuk oleh incisura
jugularis sterni, iga 1 dan corpus vertebrae Th 1. Batas bawah cavum thorax :
aperture thoracis inferior yang dibentuk oleh processus xiphoideus, arcus costarum
dan vertebrae Th 12.
Pada dada terdapat 12 pasang costae dibagi atas :
1. Costae verae (1 pasang) : iga 2 melekat pada manubrium sterni
2. Costae spuriae ( 6 pasang) : iga 2-7 melekat pada corpus sterni
Costae iga 8-10 menyatu membentuk arcus costarium yang melekat pada iga
7 pada corpus sterni
3. Costae fluctuantes : iga 11 dan 12 yang melayang tidak melekat pada
sternum atau iga lain

Paru berbentuk kerucut dan dibungkus oleh jaringan ikat kuat yang disebut
pleura. Lapisan luar yang melapisi dinding dada yang terletak dibawah fascia
endothoracica adalah Pleura Parietalis dan di bagian yang melekat ke jaringan paru
disebut Pleura Visceralis. Diantara kedua pleura tersebut terapat ruangan yang
mengandung sedikit cairan pleura disebut cavum pleura(cavitas pleuralis). Cairan
tersebut dihasilkan oleh lapisan pleura parietalis uang berfungsi sebagai pelumas
untuk mengurangi friksi antar kedua pleura.

Bagian atas paru yang tumpul, menonjol ke atas leher sekitar 2,5 cm diatas
clavicula disebut apex pulmonis. Apex ditutupi oleh cupula pleura. Bagian bawah
paru adalah basis pulmonis, berbentuk konkaf dan ditutupi oleh pleura diafragma.
Di pertengahan facies mediastinalis terdapat hilum pulmonalis yaitu suatu
cekungan tempat keluar masuknya bronchus, vasa da nervus. Alat-alat penting
yang keluar masukparu di bagian posterior medial paru pada Hillus pulmonalis
adalah :
1. Alat yang masuk pada hillus pulmonalis : bronchus primer, arteria
pulmonalis, arteri bronchialis, dan serabut saraf
2. Alat yang keluar hillus pulmonalis : vena pulmonalis, vena bronchialis, dan
vasa limfatisi
Perdarahan Paru :
Yang mendarahi organ paru adalah Arteri Bronchialis cabang aorta
thoracalis, dan vena bronchialis mengalirkan darah ke vena azygos dan

hemiazygos. Jadi arteri pumonalis tidak mendarahi paru, dia hanya berfungsi untuk
respirasi.
Persarafan Paru :
Serabut afferent dan efferent visceralis berasal dari truncu

symphaticus (th 3,4,5) dan serabut para symphaticus berasal dari nervus vagus :
1.

Serabut symphatis : untuk relaksi tunica muscularis dan


menghambat sekresi bronchus

2.

Serabut parasymphatis : untuk kontraksi tunica muscularis


akibatnya lumen menyempit dang merangsang sekresi bronchus

Mekanisme pernafasan
Proses terjadinya pernafsan terbagi menjadi 2 bagian,yaitu :
- Menarik nafas ( inspirasi)
- Menghembus nafas ( ekspirasi)

Bernafas berarti melakukan inspirasi dan ekspirasi secara bergantian, teratur,


berirama, dan terus-menerus.bernafas merupakan gerakan reflex yang terjadi pada
otot-otot pernafasan. Reflex bernafas ini diatur oleh pusat pernafasan yang terletak
di medulla oblongata. Oleh karena seseorang dapat menahan,mempercepat,atau
memperlambat nafasnya,ini berarti bahwa reflex nafas juga dibawah pengaruh
korteks serebri. Pusat pernafasan sangat peka terhadap kelebihan kadar C02 dalam
darah dan kekurangan O2 dalam darah.
Inspirasi merupakan

proses aktif, disini kontraksi otot-otot inspirasi akan

meningkatkan tekanan di dalam ruang antara paru-paru dan dinding dada (tekanan
intrakranial)
8

Inspirasi terjadi bila m.diafragma telah mendapat rangsangan dari n.prenikus


sehingga m.diafragma mendjadi datar (berkontraksi) m. Intercostalis juga
berkonstraksi setelah mendapat rangsangan sehingga jarak antarasternum dan
vertebra semakin luas dan lebar dan rongga dada membesar-pleura akan tertarikmenarik paru-paru-tekanan di dalam paru-paru rendah-udara dari luar masuk ke
paru-paru
Ekspirasi merupakan proses pasif yang tidak memerlukan otot untuk menurunkan
inrtrakranial. Ekspirasi terjadi apabila pada saat otot diafragma dan m.intercostalis
berelaksasi-rongga dada kembali ke ukuran awal-udara di dorong keluar.
MEKANIKA PERNAPASAN
Udara cenderung mengalir dari daerah dengan tekanan tinggi ke daerah dengan
tekanan rendah, yaitu menuruni gradient tekanan. Terdapat 3 tekanan yang
berperan penting dalam ventilasi.
1. tekanan atmosfer (barometrik). Tekanan ini berkurang seiring dengan
penambahan ketinggian di atas permukaan laut.
2. tekanan intra-alveolus atau tekanan intraparu yaitu tekanan di dalam alveolus.
3. tekanan intrapleura adalah tekanan di dalam kantung pleura atau tekanan intra
thoraks yaitu tekanan yang ditimbulkan di luar paru dalam rongga thoraks.
Biasanya lebih rendah dari tekanan atmosfer.
RONGGA THORAX
Rongga thoraks lebih besar dari paru yang tidak teregang, tetapi dua gaya daya
rekat cairan intrapleura (molekul polar dan saling tarik menarik) dan gradien
tekanan transmural menahan dinding thoraks dan paru saling berdekatan,
9

meregangkan paru untuk mengisi rongga thoraks yang lebih besar. Karena adanya
gradien tekanan transmural yang ada pada kedua sisi dinding paru.
GRADIEN TEKANAN TRANSMURAL
Tekanan intra-alveolus sama dengan tekanan atmosfer namun lebih besar daripada
tekanan intrapleura sehingga tekanan yang menekan keluar dinding paru lebih
besar daripada tekanan yang mendorong ke dalam dan terjadi distensi paru atau
mendorong paru keluar.
Gradien tekanan berfungsi mencegah paru tertarik ke dalam dan menahan rongga
thoraks menjauh. Terdapat ruang vakum di ruang yang sangat kecil di rongga
pleura yang sedikit mengembang yang tidak ditempati cairan sehingga terjadi
penurunan kecil tekanan intrapleura di bawah tekanan atmosfer.
TEKANAN INTRA-ALVEOLUS
Tekanan intra-alveolus dapat diubah dengan Hukum Boyle dengan mengubah
volume paru. Hukum Boyle mengatakan pada suhu konstan, tekanan yang
ditimbulkan suatu gas berbanding terbalik dengan volume gas. Lalu kerja otot-otot
pernapasan mengubah volume paru lewat rongga thoraks.
1. PERMULAAN RESPIRASI: KONTRAKSI OTOT INSPIRASI
Otot-otot lemas, tidak ada udara yang mengalir, dan tekanan intra-alveolus
sama dengan tekanan atmosfer. Otot inspirasi utama (pada saat tenang) yaitu
diafragma dan m. intercostal external. Diafragma distimulasi oleh nervus phrenicus
dari medulla spinalis cervical 3,4,dan 5, dan mereka melakukan kerja 75% untuk
pembesaran rongga thoraks. M. intercostal external distimulasi oleh nervus
intercostal.

10

Di awal inspirasi, rongga thoraks membesar sehingga membuat paru juga


membesar dan volume paru membesar, membuat tekanan intraalveolus menurun
(759 mmHg) serta tekanan intrapleura menurun menjadi 754 mmHg akibat
ekspansi thoraks.
2. OTOT INSPIRASI TAMBAHAN
Inspirasi dalam membutuhkan inspirasi yang kuat dan otot pernapasan biasa
mengaktifkan otot tambahan (aksesorius) untuk semakin memperbesar rongga
thoraks. Otot tambahan bekerja mengangkat sternum dan 2 iga pertama.
3. PERMULAAN EKSPIRASI: RELAKSASI OTOT INSPIRASI
Saat otot inspirasi melemas, sangkar iga turun karena gravitasi.
Menyebabkan dinding dada dan paru recoil lalu tekanan intra-alveolus meningkat
(761 mmHg) karena volumenya menurun, sehingga aliran udara keluar dan
berhenti saat tekanan intra-alveolus sama dengan tekanan atmosfer dan tidak ada
gradien tekanan lagi.
4. EKSPIRASI PAKSA (AKTIF): KONTRAKSI OTOT EKSPIRASI
Otot ekspirasi yang paling penting adalah otot dinding abdomen. Saat
kontraksi maka tekanan intra abdomen meningkat dan gaya mengangkat diafragma
ke atas. Otot intercostal internal bertugas untuk menarik iga turun dan masuk,
mendatarkan dinding dada.
Saat kontraksi aktif maka volume rongga thoraks menurun, menyebabkan volume
paru juga ikut menurun dan tekanan intra-alveolus meningkat. Tekanan intrapleura
akan lebih besar daripada tekanan atmosfer tetapi paru tidak kolaps karena masih
lebih tinggi dari tekanan intra-alveolus.

11

2.2

Acute Respiratory Distress Syndrome

2.2.1 Definisi
ARDS adalah suatu keadaan gagal nafas yang ditandai dengan hipoksemia
berat, penurunan komplains paru atau daya regang yang buruk dan infiltrat
bilateral yang difus pada pemeriksaan radiology. ARDS dikenal sebagai
manifestasi atau bagian dari suatu inflamasi sistemik seperti SIRS. Karena definisi
ARDS sesungguhnya tidak spesifik. Adanya infiltrate yang bilateral pada paru
dapat pula disebabkan oleh berbagai hal seperti pneumonia, kontusio paru, trauma
dada, aspirasi, kelainan autoimun, inhalasi, perdarahan intrapulmonum, dan
kondisi non pulmonum. Saat ini disepakati bahwa ARDS merupakan keadaan akhir
yang paling parah dari spektrum Acut Lung Injury sebagai suatu dampak dari
pertukaran gas yang buruk. Dalam hal ini perlu dicari penyakit yang mendasarinya
baik langsung maupun tak langsung 2.

2.2.2 Klasifikasi
ARDS merupakan variasi dari insufisiensi akut sistem pernafasan yang secara
patogenesis tidak disertai dengan edema paru. Untuk meningkatkan diagnostik
ARDS, sebuah bentuk klasifikasi dikembangkan di V. A. Negovsky research
institue of General Reanimatology pada tahun 2007 untuk memberikan tatalaksana
awal yang tepat serta meningkatkan outcome pasien.(3)

12

Tabel 2.1 Klasifikasi ARDS(3)

2.2.3 Etiologi
Penyebab spesifik ARDS masih belum pasti, banyak faktor penyebab
yang dapat berperan pada gangguan ini menyebabkan ARDS tidak disebut
sebagai penyakit tetapi sebagai sindrom. Sepsis merupakan faktor risiko
yang paling tinggi, mikroorganisme dan produknya (terutama endotoksin)
bersifat sangat toksik terhadap parenkim paru dan merupakan faktor risiko
terbesar kejadian ARDS, insiden sepsis menyebabkan ARDS berkisar antara
30-50%.(1)

13

Aspirasi cairan lambung menduduki tempat kedua sebagai faktor


risiko ARDS (30%). Aspirasi cairan lambung dengan pH<2,5 akan
menyebabkan penderita mengalami chemical burn pada parenkim paru dan
menimbulkan kerusakan berat pada epitel alveolar.(1)
Tabel 2.2 Faktor Resiko Klinik ARDS (1)

2.2.4 Epidemiologi
Insidensi ARDS di Amerika Serikat sebesar 100.000-150.000 jumlah
penduduk pertahun. Sebanyak 16% dari pasien yang di rawat di ICU menggunakan
ventilator selama lebih dari 24 jam atau lebih dapat berkembang menjadi ARDS 4.
Tingkat

mortalitas yang disebabkan oleh ARDS mencapai 31%-71%.

Penyebab kematian biasanya bukan berasal dari sistem pernafasan itu sendiri,
kematian yang kurang dari 72 jam biasanya berasal dari penyakit yang diderita
atau trauma yang dialami. Setelah melewati 72 jam pasien biasanya meninggal
disebabkan oleh sepsis atau kegagalan multiorgan. 6%-19% kematian dilaporkan
disebabkan oleh gagal nafas pada pasien dengan ARDS 4.

14

2.2.5 Patogenesis
Epitelium alveolar dan endotelium mikrovaskular mengalami kerusakan
pada ARDS. Kerusakan ini menyebabkan peningkatan permeabilitas barier
alveolar dan kapiler sehingga cairan masuk ke dalam ruang alveolar. Derajat
kerusakan epithelium alveolar ini menentukan prognosis (1).
Epitelium alveolar normal terdiri dari 2 tipe sel, yaitu sel pneumosit tipe I
dan sel pneumosit tipe II. Permukaan alveolar 90% terdiri dari sel pneumosit tipe I
berupa sel pipih yang mudah mengalami kerusakan. Fungsi utama sel pneumosit
tipe I adalah pertukaran gas yang berlangsung secara difusi pasif. Sel pneumosit
tipe II meliputi 10% permukaan alveolar terdiri atas sel kuboid yang mempunyai
aktivitas metabolik intraselular, transport ion, memproduksi surfaktan dan lebih
resisten terhadap kerusakan.(1).
Kerusakan epitelium alveolar yang berat menyebabkan kesulitan dalam
mekanisme perbaikan paru dan menyebabkan fibrosis. Kerusakan pada fase akut
terjadi pengelupasan sel epitel bronkial dan alveolar, diikuti dengan pembentukan
membran hialin yang kaya protein pada membran basal epitel yang gundul (dapat
dilihat pada gambar). Neutrofil memasuki endotel kapiler yang rusak dan jaringan
interstitial dipenuhi cairan yang kaya akan protein (1).
Keberadaan mediator anti inflamasi, interleukin-1-receptor antagonists,
soluble tumor necrosis factor receptor, auto antibodi yang melawan Interleukin/IL8 dan IL-10 menjaga keseimbangan alveolar (1).

15

2.2.6 Patofisiologi
Perubahan patofisiologi yang terjadi pada ARDS adalah edema paru
interstistial dan penurunan kapasitas residu fungsional (KRF) karena atelektasis
kongestif difus. Keadaan normal, filtrasi cairan ditentukan oleh hukum Starling

16

yang menyatakan filtrasi melewati endotel dan ruang intertisial adalah selisih
tekanan osmotik protein dan hidrostatik (1).
Q = K (Pc-Pt) D (c-t)
Q : kecepatan filtrasi melewati membran kapiler
Pt : tekanan hidrostatik interstitial
K : koefisien filtrasi
c : tekanan onkotik kapiler
D : koefisien refleksi
t : tekanan onkotik interstitial
Pc : tekanan hidrostatik kapiler
Perubahan tiap aspek dari hukum Starling akan menyebabkan terjadinya
edema paru. Tekanan hidrostatik kapiler (Pc) meningkat akibat kegagalan fungsi
ventrikel kiri akan menyebabkan peningkatan filtrasi cairan dari kapiler ke
interstitial. Cairan kapiler tersebut akan mengencerkan protein intertsitial sehingga
tekanan osmotik interstitial menurun dan mengurangi pengaliran cairan ke dalam
vena (1).
Kerusakan endotel kapiler atau epitel alveoli atau keduanya pada ARDS
menyebabkan peningkatan permeabilitas membran alveoli-kapiler (terutama sel
pneumosit tipe I) sehingga cairan kapiler merembes dan berkumpul didalam
jaringan interstitial, jika telah melebihi kapasitasnya akan masuk ke dalam rongga
alveoli (alveolar flooding) sehingga alveoli menjadi kolaps (mikroatelektasis) dan
compliance paru akan lebih menurun. Merembesnya cairan yang banyak

17

mengandung protein dan sel darah merah akan mengakibatkan perubahan tekanan
osmotik (1).
Cairan bercampur dengan cairan alveoli dan merusak surfaktan sehingga
paru menjadi kaku, keadaan ini akan memperberat atelektasis yang telah terjadi.
Mikroatelektasis akan menyebabkan shunting intrapulmoner, ketidakseimbangan
(mismatch) ventilasi-perfusi (VA/Q) dan menurunnya KRF, semua ini akan
menyebabkan terjadinya hipoksemia berat dan progresivitas yang ditandai dengan
pernapasan cepat dan dalam. Shunting intrapulmoner menyebabkan curah jantung
akan menurun 40%.(1).
Hipoksemia diikuti asidemia, mulanya karena pengumpulan asam laktat
selanjutnya merupakan pencerminan gabungan dari unsur metabolik maupun
respiratorik akibat gangguan pertukaran gas. Penderita yang sembuh dapat
menunjukan kelainan faal paru berupa penurunan volume paru, kecepatan aliran
udara dan khususnya menurunkan kapasitas difusi (1).

Gambar 2. Gerakan diafragma saat inspirasi dan ekspirasi

18

1.2.7 Manifestasi Klinis


Pada fase akut gejala yang dapat ditandai dyspnea dengan onset yang cepat,
hypoxemia, gagal nafas, infiltrat pada kedua lapang paru yang dibuktikan melalui
foto thoraks dengan disertai edem paru. Pada gagal nafas dibutuhkan alat ventilator
mekanis yang penyebabnya multifaktorial seperti arterial hypoxemia menyebabkan
alveolus terisi oleh protein dan menyebabkan edema paru, penurunan daya regang
paru disebabkan oleh edema intertitial, alveolar dan disfungsi surfaktan. (5)

Beberapa pasien dapat mengalami gagal nafas yang persisten ditandai dengan
gejala klinis seperti hypoxemia dan penurunan daya regang paru (compliance) dan
secara histologis ditemukan fibrosis pada parenkim paru dan dijumpai dengan
gejala kegagalan atrium kanan.

Udem paru adalah gambaran karakteristik ALI pada tahap awal, sebagai akibat dari
adanya proses inflamasi yang terjadi pada mikrosirkulasi paru yang menyebabkan
peningkatan permiabilitas alveolar-capillary barrier. Dampak dari masuknya cairan
kedalam alveolus adalah atelektasis, komplain paru yang buruk, abnormalitas
pertukaran gas dan hipertensi pulmonal. Proses inflamasi ini akan diikuti dengan
perbaikan berupa pembentukan jaringan fibrosis yang akan merusak arsitektur
paru2 yang normal sehingga menjadi emfisematous, juga terjadi obliterasi
mikravaskular dan peningkatan jumlah dead space.(6)

Derajat dari kerusakan epitel alveolar merupakan prediktor yang sangat penting
untuk menentukan hasil akhir serta mempunyai banyak konsekuens yaitu derajat
udem, berkurangnya surfaktans. Keadaan ini merupakan predisposis untuk
terjadinya infeksi bakteri sehingga timbul pneumonia yang dapat mengarah pada
19

syok sepsis dan timbulnya jaringan fibrosis. Yang banyak berperan pada tahap
awal ini adalah Neutrofil- PMN yang dijumpai pada alveoli. Pada ARDS reaksi
inflamasi diawali dengan adanya kerjasama yang kompleks dari jaringan dan
sitokin diantaranya IL-8, IL-, IL-10 serta beberapa mediator lokal yang dihasilkan
oleh berbagai macam sel. Reaksi lain melibatkan sistem koagulasi dan surfaktan.
Keadaan merupakan celah bagi upaya penangulangan ARDS, dengan cara
memberikan antikoagulan dan surfaktan.(6)

2.2.8 Pemeriksaan Laboratorium dan Diagnostik


o Pemeriksaan AGD (Analisa Gas Darah) dipakai sebagai parameter
keberhasilan dan panduan terapi. Walaupun demikian hasillnya tidak
harus mencapai nilai normal. Contohnya adalah kadar CO2 diperboleh
kan sedilit melebihi 50 cmH20 atau disebut sebagai permissive
hypercapnia; dan ternyata masih dapat memberikan hasil akhir yang
lebih baik. Demikian juga saturasi O2 cukup bila mencapai 92%.

20

Gambaran Foto Toraks pada penderita ARDS dengan infiltrat bilateral(4)

2.2.9 Penatalaksanaan
Pendekatan terapi terkini untuk ARDS adalah meliputi perawatan suportif,
bantuan ventilator dan terapi farmakologis. Prinsip umum perawatan suportif bagi
pasien ARDS dengan atau tanpa multiple organ dysfungsi syndrome (MODS)
meliputi:
o Pengidentifikasian dan terapi penyebab dasar ARDS dengan cara misalnya
drainase pus, antibiotika, fiksasi bila ada fraktur tulang panjang.
o Menghindari cedera paru sekunder misalnya aspirasi, barotrauma, infeksi
nosokomial atau toksisitas oksigen.
o Mengurangi cairan didalam paru meningkatkan oksigenasi dengan memberikan
cairan, obat vasodilator/konstriktor, inotropik, atau diuretikum.
o Mempertahankan penghantaran oksigen yang adekuat ke end-organ dengan
cara meminimalkan angka metabolik.
21

o Mengoptimalkan fungsi kardiovaskuler serta keseimbangan cairan tubuh.


o Dukungan nutrisi.
o Kortikosteroid dosis tinggi dimaksudkan unutk mengurangi reaksi inflamasi
pada jaringan paru , tapi sayangnya hasilnya tidak memuaskan, sehingga tidak
direkomendasikan pada ARDS terutama pada fase awal.
Terapi Ventilasi
o Tergantung tingkat keparahannya, maka penderita dapat diberi non invasive
ventilation seperti CPAP, BIPAP atau Positive Pressure Ventilation. Walaupun
demikian metode ini tidak direkomendasikan bagi penderita dengan penurunan
kesadaran atau dijumpai adanya peningkatan kerja otot pernafasan disertai
peningkatan laju nafas dan PCO2 darah arteri.
o Ventilasi mekanik dengan intubasi endotrakheal merupakan terapi yang
mendasar pada penderita ARDS bila ditemukan laju nafas > 30x/min atau
terjadi peningkatan kebutuhan FiO2 > 60% (dengan menggunakan masker
wajah) untuk mempertahankan PO2 sekitar 70 mmHg atau lebih dalam
beberapa jam
o Lebih spesifik lagi dapat diberikan ventilasi dengan rasio I:E terbalik disertai
dengan

PEEP

(positive

end

expiratory

pressure)

untuk

membantu

mengembalikan cairan yang membanjiri alveolus dan memperbaiki atelektasis


sehingga memperbaiki ventilasi dan perfusi (V/Q).(7)

22

2.2.11 Prognosis
Prognosis tergantung dari penyebab, adanya disfungsi organ lain, usia
dan penyakit kronik penderita. Mortalitas ARDS mencapai 30%-40%, bila
ditambah dengan multi organ dysfunction syndrome dari organ lain maka angka
kematian mencapai > 60%, Keadaan ini belum banyak perbaikan dalam 20
tahun terakhir ini. Pada penderita yang sembuh, walaupun asimtomatik tetapi
kelainan test fungsi paru masih dapat ditemukan. Dalam penelitian lain selama
1 tahun pada penderita yang sembuh dari ARDS ternyata beberapa penderita
bahkan masih mempunyai gejala sisa fisik dan psikis secara bermakna akibat
fibrosis dan dapat berkembang menjadi menjadi penyakit paru obstruktif,
sedangkan sebagian lainnya fungsi parunya kembali normal dalam 6-12
bulan.(6)

23

BAB III
KESIMPULAN

ARDS tidak disebut sebagai penyakit tetapi sebagai sindrom yang ditandai dengan
hipoksemia berat, penurunan komplains paru atau daya regang yang buruk dan
infiltrat bilateral yang difus pada pemeriksaan radiology. Tingkat mortalitas yang
disebabkan oleh ARDS mencapai 31%-71%. ARDS secara patofisiologi memiliki
3 fase yaitu eksudatif, proliferatif, dan fibrosis. Pendekatan terapi terkini untuk
ARDS adalah meliputi perawatan suportif, bantuan ventilator dan terapi
farmakologis. Penderita yang sembuh dapat menunjukan kelainan faal paru berupa
penurunan volume paru, kecepatan aliran udara dan khususnya menurunkan
kapasitas difusi.

24

DAFTAR PUSTAKA
1.

Susanto YS, Sari FR. Penggunaan Ventilasi Mekanis Invasif Pada Acute
Respiratory Distress Syndrome ( ARDS ). 2012;32(1):4452.

2.

Hermayanti E. Basic And Advances In The Management Of Acute


Respiratory Distress. 2010;

3.

Moroz V, Goloubev A, Kuzovlev AN. Acute Respiratory Distress


Syndrome: New Classification. 2010;

4.

Al-haddad M. Acute lung injury and acute respiratory distress syndrome.


2009;9(5):1526.

5.

Ware LB. Pathophysiology of Acute Lung Injury and the Acute Respiratory
Distress Syndrome. 2006;1(212):33749.

6.

Pranggono E. Basic And Advances In The Management Of Acute


Respiratory Distress. 2008;

7.

Setiati S, Alwi I, editors. Buku Ajar Imu Penyakit dalam. VI. Jakarta:
InternaPublishing; 2014.

25

Anda mungkin juga menyukai