Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Croup atau Laringotrakeobronkitis Akut (LTBA) merupakan penyakit

peradangan akut di daerah subglotis laring, trakea, dan bronkus.1 Sindrom croup

adalah istilah umum yang meliputi kelompok heterogen keadaan yang relatif akut

yang ditandai dengan batuk keras dan kasar yang khas atau “croupy”, yang tidak

atau dapat disertai stridor inspirasi, suara parau, dengan atau tanpa adanya tanda-

tanda kegawatan pernapasan yang disebabkan oleh berbagai tingkat obstruksi

laring.2 Penyakit ini sering terjadi pada anak. “croup” berasal dari kata “anglo-

saxon” yang padanan katanya adalah “to cry aloud”. Penyakit ini pertama kali

dikenali pada tahun 1928.3,4

Sekitar 60% kasus croup disebabkan oleh Human parainfluenza virus type

1 (HPIV-1). Sedangkan untuk HPIV-2, HPIV-3, dan HPIV-4 sebagai etiologi

utama ditemukan ada sekitar 75% kasus, bila ditotalkan. Etiologi virus lainnya

yang paling sering adalah virus Influenza A dan B, virus campak, Adenovirus, dan

virus pernapasan/Respiratory Syncytial Virus (RSV). Walaupun jarang ditemukan,

bakteri dan jamur juga dapat menyebabkan croup. Sebagian besar bakteri

yang umum terlibat antara lain Staphylococcus aureus, Streptococcus pyogenes,

Streptococcus hemolyticus, Streptococcus viridians, Haemophillus influenza, dan

Moraxella catarrhalis, serta Pneumococcus.5

1
Sindrom croup ini terjadi sekitar 15% dari anak-anak usia 1-6 tahun dengan

rata-rata usia 18 bulan, dan biasanya terpapar antara usia 6 bulan-3 tahun. Dalam

kasus yang jarang, mungkin terjadi pada anak-anak berumur 3 bulan dan yang tertua

sekitar usia 15 tahun. Perbandingan anak laki-laki dan perempuan yang menderita

penyakit ini dengan rasio 3:2, dan ada peningkatan prevalensi di musim gugur dan

musim dingin. Kekambuhan sering terjadi pada usia 3-6 tahun dan berkurang

sejalan dengan pematangan struktur anatomi saluran respiratori atas. Hampir 15%

pasien sindrom ini mempunyai keluarga dengan riwayat penyakit yang sama. Akan

tetapi, di Indonesia data tidak diperoleh secara jelas.1,3

Diagnosis klinis ditegakkan berdasarkan gejala klinis yang timbul. Pada

pemeriksaan fisik ditemukan suara serak, hidung berair, peradangan faring, dan

frekuensi napas yang sedikit meningkat. Istilah lain untuk croup ini adalah laringitis

akut yang menunjukkan lokasi inflamasi, yang jika meluas sampai trakea disebut

laringotrakeitis, dan jika terjadi sampai ke bronkus digunakan istilah

laringotrakeobronkitis. Tatalaksana utama bagi pasien croup adalah mengatasi

obstruksi jalan napas. Terapi yang digunakan berupa terapi inhalasi, epinefrin,

kortikosteroid, heliox, intubasi endotrakeal atau trakeostomi sesuai dengan

algoritma penatalaksanaan croup pada anak.3,4

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Anatomi dan Fisiologi

Gambar 1. Anatomi saluran pernapasan.9

Sistem pernapasan terlibat dalam pengambilan dan pertukaran oksigen (O2)

dan karbon dioksida (CO2) antara tubuh dengan lingkungan. Saluran pernapasan

pada manusia dibedakan menjadi dua jenis, yaitu saluran pernapasan atas (upper

respiratory tract) dan saluran pernapasan bawah (lower respiratory tract).

Saluran pernapasan atas terdiri atas organ hidung, mulut, faring dan laring.

Saluran pernapasan bawah terdiri atas trakea, bronkus, bronkiolus dan alveolus.

Pada paru-paru, lebih spesifiknya pada alveolus, terjadi pertukaran oksigen dan

karbon dioksida.

3
II.1.1. Laring

II.1.1.1. Anatomi

Gambar 2. Anatomi laring.9

Laring merupakan bagian paling distal saluran pernapasan atas yang terletak

setinggi vertebra C4-C6, dimana pada anak-anak dan wanita letaknya relatif lebih

tinggi. Vaskularisasi utama berasal dari percabangan arteri tiroidea superior dan

inferior, sebagai arteri laringeus superior dan inferior. Sedangkan, innervasinya

berasal dari CN.X yang bercabang membentuk N. Laringeus superior (cabang

interna dan eksterna) dan N. Laringeus recurrent/laringus inferior kiri dan kanan.

Bagian atas laring adalah Aditus laringeus sedangkan kaudalnya adalah kartilago

krikoid. Bagian-bagian utama laring, antara lain:9

1. Aditus Laringeus

Pintu masuk laring yang dibentuk oleh epiglottis, sisi lateral oleh plika

ariepiglotika, sisi posterior dibentuk oleh ujung kartilago kornikulata dan tepi

atas muskulus aritenoideus.

4
2. Rima Vestibuli

Merupakan celah antara pita suara palsu.

3. Rima Glottis

Di bagian depan merupakan celah antara pita suara sejati, di belakang antara

prosesus vokalis dan basis kartilago aritenoidea.

4. Vallecula

Terdapat di antara permukaan anterior epiglottis dengan basis lidah, dibentuk

oleh plika glossoepiglotika medial dan lateral.

5. Plika Ariepiglotika

Dibentuk oleh tepi atas ligamentum kuadringulare yang berjalan dari kartilago

epiglotika ke kartilago aritenoidea dan kartilago kornikulata.

6. Vestibulum Laring

Ruangan yang dibatasi oleh epiglottis, membrana kuadringularis, kartilago

aritenoid, permukaan atas prosesus vokalis kartilago aritenoidea dan muskulus

interaritenoidea.

7. Plika Ventrikularis (Pita suara palsu)

Pita suara palsu yang bergerak bersama-sama dengan kartilago aritenoidea

untuk menutup glottis dalam keadaan terpaksa, merupakan dua lipatan tebal

dari selaput lendir dengan jaringan ikat tipis di tengahnya.

8. Ventrikel Laring Morgagni (Sinus laringeus)

Ruangan antara pita suara palsu dan sejati. Dekat ujung anterior dari ventrikel

terdapat suatu divertikulum yang meluas ke atas di antara pita suara palsu dan

5
permukaan dalam kartilago tiroidea, dilapisi epitel berlapis semu bersilia

dengan beberapa kelenjar seromukosa yang fungsinya untuk melicinkan pita

suara sejati.

9. Plika Vokalis (Pita suara sejati)

Terdapat di bagian bawah laring, dimana 3/5 bagiannya dibentuk oleh

ligamentum vokalis dan celahnya disebut intramembranous portion, dan 2/5

belakang dibentuk oleh prosesus vokalis dari kartilago aritenoidea dan disebut

intercartilagenous portion.

Gambar 3. Vaskularisasi, innervasi, limfatik laring.10

6
II.1.1.2. Fisiologi

a. Proteksi

b. Respirasi

c. Fonasi

II.1.2. Trakea dan Bronkus

II.1.2.1. Anatomi

Gambar 4. Ilustrasi posisi trakea dan bronkus di dalam toraks.11

Trakea merupakan struktur berbentuk tabung yang memiliki panjang sekitar

12 cm dan diameter 2.5 cm, berada disebelah anterior terhadap esofagus. Struktur

trakea ditopang oleh cincin kartilago hialin berbentuk seperti huruf C, yang

beberapa diantaranya dapat dipalpasi dianatar laring dan sternum. Bagian dalam

trakea dilapisi oleh epitel kolumnar pseudostratified yang utamanya tersusun atas

sel-sel goblet penghasil mukus, sel-sel bersilia, dan sel-sel punca basal. Mukus yang

dihasilkan oleh sel goblet berfungsi dalam memerangkap partikel yang terhirup,

dan sel-sel silia mendorong mukus pemerangkap tadi menuju faring. Mekanisme

pembersihan tersebut disebut dengan mucociliary escalator.12

7
Cincin kartilago yang terdapat pada trakea berfungsi memperkuat trakea

agar tidak kolaps ketika menghirup udara. Bagian posterior trakea tidak terdapat

kartilago sehingga memungkinkan esofagus untuk mengembang saat proses

menelan makanan. Pada bagian tersebut terdapat otot polos yang disebut dengan

m. Trachealis. Kontraksi atau relaksasi otot tersebut menyebabkan penyempitan

atau pelebaran trakea sehingga dapat membantu dalam mengatur aliran udara.

Lapisan terluar dari trakea, disebut adventitia, merupakan jaringan ikat fibrosa yang

menyatu dengan adventitia organ mediastinum lainnya.12

Pada ketinggian angulus sternalis dan batas superior dari vertebra T5, trakea

bercabang menjadi bronkus kanan dan bronkus kiri. Kartilago trakea paling bawah

mempunyai struktur internal median ridge yang disebut dengan carina, yang

mengarahkan langsung aliran udara ke kanan dan ke kiri.12

Gambar 5. Struktur trakea dan bronkus.11

8
CROUP

II.2. Definisi

Sindrom croup adalah terminologi umum yang mencakup suatu kelompok

penyakit heterogen yang mengenai laring infra/subglottis, trakea, dan bronkus.

Karakteristik sindrom croup adalah batuk menggonggong, suara serak, stridor

inspirasi, dengan atau tanpa adanya obstruksi jalan napas.2,4 Secara umum, croup

dikelompokkan dalam 2 kelompok, yaitu:

1. Viral croup:

Ditandai dengan gejala prodromal infeksi respiratori; gejala obstruksi saluran

respiratori berlangsung selama 3-5 hari.

2. Spasmodic croup:

Terdapat faktor atopik, tanpa gejala prodromal; anak dapat tiba-tiba mengalami

gejala obstruksi saluran respiratori, biasanya pada waktu malam menjelang

tidur; serangan terjadi sebentar, kemudian normal kembali.

II.3. Epidemiologi

Sindrom croup ini terjadi sekitar 15% dari anak-anak usia 1-6 tahun dengan

rata-rata usia 18 bulan, dan biasanya terpapar antara usia 6 bulan-3 tahun. Dalam

kasus yang jarang, mungkin terjadi pada anak-anak berumur 3 bulan dan yang tertua

sekitar usia 15 tahun. Perbandingan anak laki-laki dan perempuan yang menderita

penyakit ini dengan rasio 3:2, dan ada peningkatan prevalensi di musim gugur dan

musim dingin. Kekambuhan sering terjadi pada usia 3-6 tahun dan berkurang

sejalan dengan pematangan struktur anatomi saluran respiratori atas. Hampir 15%

9
pasien sindrom ini mempunyai keluarga dengan riwayat penyakit yang sama. Akan

tetapi, di Indonesia data tidak diperoleh secara jelas.1,3

II.4. Etiologi

a. Virus

Sekitar 60% kasus disebabkan oleh Human parainfluenza virus type 1 (HPIV-

1), HPIV-2, HPIV-3, dan HPIV-4, virus influenza A dan B, Adenovirus,

Respiratory Syncytial Virus (RSV) dan virus campak. Menurut Ewig, virus

campak dapat menyebabkan croup berat terutama pada anak kurang dari dua

tahun. Gejala croup terjadi paling sering dua hari setelah exanthema,

tetapi dapat terjadi sebelum erupsi kulit. Herpes simplex virus (HSV)

menyebabkan prolonged croup khususnya jika dihubungkan dengan gingivo-

stomatitis/herpetic-stomatitis (infeksi mulut yang menular).1

Gambar 6. Gingivostomatitis.

b. Bakteri

Bakteri juga dapat ditemukan pada penderita croup, jika terjadi infeksi sekuder.

Umumnya Streptococcus pyogenes, S.pneumoniae, Staphylococcus aureus,

Haemophillus influenza, dan Moraxella catarrhalis. Setelah infeksi virus

10
berlangsung, dapat terjadi infeksi virus sekunder oleh organisme yang berasal

dari hidung. Pada biakan bakteri yang paling sering ditemukan yaitu;

Streptococcus hemolyticus, Streptococcus viridians, Staphylococcus aureus,

dan Pneumococcus.1

c. Jamur

Meskipun jarang, pernah juga ditemukan Mycoplasma pneumonia sebagai

etiologi utama croup.5

II.5. Patogenesis

Seperti infeksi respiratori pada umumnya, infeksi virus pada

laringotrakeitis, laringotrakeobronkitis, dan laringotrakeobronkopneumonia

dimulai dari nasofaring dan menyebar ke epitelium trakea dan laring. Peradangan

difus, eritema, dan edema yang terjadi pada dinding trakea menyebabkan

terganggunya mobilitas pita suara serta area subglottis mengalami iritasi. Area

subglotis merupakan bagian yang paling sempit pada saluran napas anak. Area

subglotis dikelilingi oleh kartilago, dan setiap pembengkakan di daerah tersebut

akan berpengaruh terhadap jalan napas dan menyebabkan pengurangan aliran udara

secara bermakna. Penyempitan jalan napas menyebabkan stridor inspirasi, dan

pembengkakan atau edem di daerah pita suara menyebabkan suara serak.1 Iritasi

pada subglotis menyebabkan suara pasien menjadi serak (parau).3 Dengan

berlanjutnya penyakit, lumen trakea menjadI tersumbat oleh sekret yang semula

encer lalu kental, dan menjadi krusta, sehingga penderita menjadi lebih sulit

bernapas. Usaha mengeluarkan krusta tersebut dengan cara membatukkan,

menghasilkan suara batuk yang khas seperti menggonggong (croupy).1 Aliran udara

11
yang melewati saluran respiratori atas mengalami turbulensi sehingga

menimbulkan stridor, diikuti dengan retraksi dinding dada (selama inspirasi).

Pergerakan dinding dada dan abdomen yang tidak teratur menyebabkan pasien

kelelahan serta mengalami hipoksia dan hiperkapnea. Pada keadaan ini dapat terjadi

gagal napas atau bahkan henti napas.3

II.6. Manifestasi Klinis dan Perjalanan Penyakit

Manifestasi klinis biasanya didahului dengan demam yang tidak begitu

tinggi selama 12-72 jam, hidung berair, nyeri menelan, dan batuk ringan. Kondisi

ini akan berkembang menjadi batuk nyaring, suara menjadi parau dan kasar. Gejala

sistemik yang menyertai seperti demam, malaise. Bila keadaan berat dapat terjadi

sesak napas, stridor inspiratori yang berat, retraksi, dan anak tampak gelisah, dan

akan bertambah berat pada malam hari. Gejala puncak terjadi pada 24 jam pertama

hingga 48 jam. Biasanya perbaikan akan tampak dalam waktu satu minggu. Anak

akan sering menangis, rewel, dan akan merasa nyaman jika duduk di tempat tidur

atau digendong.6 Laringotrakeobronkitis akut adalah bentuk angina trakealis yang

paling sering dijumpai, yang pada umumnya disebabkan oleh infeksi virus. Anak

sering kelihatan gelisah dan ketakutan dan demam yang tinggi. Pada penderita,

secara bilateral didapatkan penurunan bunyi pernapasan, ronki dan ronki basah

yang tersebar. Laringitis spasmodic akut atau croup spasmodic merupakan suatu

kesatuan klinik yang berdiri sendiri, yang pada umumnya terjadi pada anak-anak

yang berusia antara 1 sampai 3 tahun, yang penyebabnya belum pasti. Awitan

penyakit paling sering dimulai pada malam hari dan dapat didahului oleh koriza

moderat dan suara serak. Anak terbangun dengan batuk menggonggong dan

12
bersuara metalik yang khas dan bunyi pernapasan yang berisik. Anak menjadi

cemas dan ketakutan. Kesukaran bernapas yang terjadi dapat kita lihat dengan

nyata, disertai retraksi ruang supraklavikular, sternum, dan ruang antar iga. Anak

sering afebril.7 Perbandingan antara viral croup (laringotrakeobronkitis) dan

spasmodic croup dapat dilihat pada tabel 1:3

Tabel 1. Perbandingan Viral Croup dan Spasmodic Croup.3


Karakteristik Viral Croup Spasmodic Croup
Usia 6 bulan-6 tahun 6 bulan-6 tahun
Gejala prodromal Ada Tidak jelas
Stridor Ada Ada
Batuk Sepanjang waktu Terutama malam hari
Demam Ada (tinggi) Bisa ada, tidak tinggi
Lama sakit 2-7 hari 2-4 jam
Riwayat keluarga Tidak ada Ada
Predisposisi asma Tidak ada Ada

Tanda-tanda utama yang tampak adalah edema radang, destruksi epitel

bersilia, dan eksudat. Infeksi bakteri sekunder jarang terjadi. Kebanyakan penderita

menderita infeksi pernapasan atas selama beberapa hari sebelum batuk menjadi

jelas. Dengan gangguan saluran pernapasan atas yang progresif, dan terjadi

serangkaian gejala-gejala dan tanda-tanda yang khas. Mula-mula hanya ringan,

batuk keras dan kasar dengan stridor inspiratoir yang intermitten.1 Ketika obstruksi

bertambah, stridor menjadi terus menerus dan disertai penjelekan batuk, pelebaran

lubang hidung dan retraksi suprasternal, infrasternal, dan interkostal. Ketika radang

meluas ke bronkus dan bronkiolus, kesukaran bernapas bertambah, dan fase

ekspirasi pernapasan juga menjadi berat dan lama. Terjadi berbagai tingkat

keterlibatan saluran pernapasan bawah. Suhu tubuh mungkin hanya sedikit naik.

13
Gejala-gejala khas memburuk pada malam hari; jarang mencapai 39-40°C dan

sering kambuh dengan intensitas yang menurun selama beberapa hari. Biasanya

anak yang lebih tua sakitnya tidak serius. Anggota keluarga yang lain dapat

menderita penyakit pernapasan ringan.3 Lama sakit berkisar dari beberapa hari

sampai kadang-kadang beberapa minggu; sering berulang sejak umur 3-6 tahun,

berkurang sejalan dengan pertumbuhan jalan napas. Pemburukan pada sebagian

besar penderita croup hanya sejauh stridor dan sedikit dispnea sebelum mereka

mulai menyembuh. Pada beberapa kasus ada obstruksi yang lebih jelek. Agitasi dan

menangis sangat memperburuk gejala dan tanda-tanda, dan anak lebih suka duduk

tegak di tempat tidur atau dipertahankan tegak.3

Mungkin ada pengurangan suara pernapasan bilateral, ronki, dan krepitasi

tersebar pada kedua lapang paru. Pada gangguan jalan napas lebih lanjut, terjadi

sesak, kegelisahan, dan kemudian terjadi hipoksemia berat, hiperkapnea, dan

kelamahan, disertai dengan pengurangan pertukaran udara dan stridor, takikardi,

dan akhirnya mati karena hipoventilasi. Pada anak hipoksemia akut yang sianosis

ataupun pucat, setiap manipulasi faring, termasuk penggunaan penekan lidah, dapat

mengakibatkan henti kardiorespirasi. Karenanya pemeriksaan ini harus ditunda,

dan oksigen harus diberikan sampai penderita dipindahkan ke tempat di rumah sakit

dimana manajemen optimal jalan napas dan pola syok dimungkinkan. Kadang-

kadang pola laringotrakeobronkitis berat mungkin sukar dibedakan dari epiglotitis,

walaupun biasanya epiglotitis bermula lebih eksplosif dan perjalanan penyakitnya

cepat, ia juga memerlukan tindakan pencegahan yang sama.2

14
II.7. Klasifikasi

Berdasarkan buku saku pelayanan kesehatan anak di rumah sakit, diagnosis

croup dibagi atas ringan dan berat, dengan tanda dan gejala sebagai berikut:7

a. Croup ringan:

Demam, suara serak, batuk menggonggong, stridor yang hanya terdengar jika

anak gelisah.

b. Croup berat:

Stridor terdengar walaupun anak tenang, napas cepat dan tarikkan dinding dada

bagian bawah ke dalam

c. Gagal napas mengancam:

Batuk kadang-kadang tidak jelas, terdengar suara stridor (kadang-kadang

sangat jelas bila pasien beristirahat), gangguan kesadaran, dan letargi.2

Berdasarkan derajat kegawatan, Croup dibagi menjadi empat kelompok

yang dapat dilihat dalam tabel 2. Klasifikasi keparahan batuk penyakit ini juga

dapat diperoleh melalui Westley Croup Score, tabel 3.6

Tabel 2. Derajat Kegawatan Croup.6

Derajat Kegawatan Karakteristik


Kadang-kadang batuk menggonggong, tidak terdengar stridor ketika
Ringan istirahat, retraksi ringan atau tidak ada.
Batuk menggonggong yang sering, stridor yang terdengar pada saat
Sedang istirahat, terdapat retraksi pada saat istirahat, anak tidak gelisah
Batuk menggonggong yang sering, stridor ekspirasi, terdapat retraksi
Berat sternal yang jelas, anak gelisah dan terdapat tanda-tanda distress
Batuk menggonggong, stridor yang terdengar saat istirahat, terdapat
Ancaman gagal napas retraksi sternal, letargi atau terdapat penurunan kesadaran dan
sianosis

15
Tabel 3. Westley Croup Score.6

Kriteria Karakteristik Nilai


Tidak ada 0
Retraksi Ringan 1
Sedang 2
Berat 3
Normal 0
Masuknya udara Berkurang 1
Sangat berkurang 2

Tidak ada 0
Stridor inspirasi Gelisah 1
Istirahat dengan stetoskop 2
Istirahat tanpa stetoskop 4
Tidak ada 0
Sianosis Gelisah 4
Istirahat 5
Sadar 0
Derajat kesadaran Gelisah, cemas 2
Penurunan kesadaran 5

a. Skor total ≤2, menunjukkan batuk ringan. Batuk menggonggong karakteristik

dan suara serak yang mungkin ada, tetapi tidak ada stridor saat istirahat.

b. Total skor 3-5 diklasifikasikan sebagai croup moderat. Stridor jelas, khas

ditandai dengan retraksi dada.

c. Sebuah nilai total ≥12, menunjukkan adanya kegagalan pernapasan. Batuk

menggonggong dan stridor tidak lagi menonjol pada tahap ini.

II.8. Diagnosis

Diagnosis klinis ditegakkan berdasarkan gejala klinis yang timbul. Pada

pemeriksaan fisis ditemukan suara serak, hidung berair, peradangan faring, dan

frekuensi napas yang sedikit meningkat. Kondisi pasien bervariasi sesuai dengan

derajat stress pernapasan yang diderita. Pemeriksaan langsung area laring pada

pasien croup tidak terlalu diperlukan. Akan tetapi bila diduga terdapat epiglotitis

(serangan akut, gawat napas/respiratory distress, disfagia), maka pemeriksaan

16
tersebut sangat diperlukan.4 Laringoskopi langsung harus dipertimbangkan pada

croup yang tidak membaik dan untuk menyingkirkan penyebab obstruksi lainnya.

Pada laringoskopi langsung tampak daerah subglotis berwarna kemerahan difus,

licin, dan edema serta adanya sekret kental. Daerah glottis dan supraglotis dapat

berwarna kemerahan tetapi umumnya dalam batas normal. Pipa endotrakea dan alat

trakeostomi harus tersedia sebelum laringoskopi dilakukan.1 Pemeriksaan klinis

dapat menemukan adanya nasofaringitis. Meskipun croup merupakan self-limiting

disease, tetapi jika edema subglotis berlanjut akan terjadi kesulitan bernapas yang

ditandai adanya stridor inspirasi.1 Pada pemeriksaan analisis gas darah didapatkan

tekanan parsial CO2 meningkat, tekanan parsial O2 menurun dan pH darah bergeser

ke arah asam.

II.9. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan laboratorium dan radiologis

tidak perlu dilakukan karena diagnosis biasanya dapat ditegakkan hanya dengan

anamnesis, gejala klinis, dan pemeriksaan fisik. Bila ditemukan peningkatan

leukosit >20.000/mm3 yang didominasi oleh PMN, kemungkinan telah terjadi

infeksi, misalnya epiglotitis.4

Pemeriksaan Radiologis dan CT-scan

Pada pemeriksaan radiologis leher posisi postero anterior ditemukan

gambaran udara stepple sign (seperti menara) yang menunjukkan adanya

penyempitan kolumna subglotis (Gambar 1) Gambaran radiologis seperti ini hanya

dijumpai pada 50% kasus. Melalui pemeriksaan radiologis, croup dapat dibedakan

dengan berbagai diagnosis bandingnya. Pemeriksaan CT Scan dapat lebih jelas

17
menggambarkan penyebab obstruksi pada pasien dengan keadaaan klinis yang lebih

berat, seperti adanya stridor sejak usia di bawah enam bulan, atau stridor pada saat

aktivitas. Selain itu, pemeriksaan ini juga dilakukan bila pada gambaran radiologis

dicurigai adanya massa.8 Endoskopi belum memiliki peran yang jelas dalam

diagnosis croup. Adanya pembengkakan pada daerah subglotis merupakan salah

satu pertimbangan untuk tidak melakukan instrumentasi dan sebaiknya hanya

dilakukan pada kecurigaan selain viral/spasmodic croup.8

Gambar 7. Gambaran Stapple Sign.8

18
Gambar 8. Kiri: Gambaran daerah subglotis normal pada foto polos leher anteroposterior.
Kanan: penyempitan subglotis (steeple sign) akibat edema pada foto polos leher
anteroposterior.8

II.10. Diagnosis Banding

a. Epiglotitis akut

Gejala epiglotitis akut berupa nyeri tenggorokan (sore throat), nyeri

menelan (odinofagia) yang mengakibatkan sulit menelan (disfagia), suara berubah

(mulled voice atau hot potato voice), demam sampai menggigil, dan sesak napas

karena sumbatan jalan napas. Anak lebih suka posisi duduk, dagu lebih maju dan

leher hiperekstensi untuk menjaga agar jalan napas tetap terbuka. Kesulitan

menelan yang berlebihan mengakibatkan hipersalivasi. Sumbatan jalan napas yang

berat mengakibatkan stridor inspirasi. Pada epiglotitis akut tidak dijumpai batuk

seperti menggonggong. Dari pemeriksaan klinis didapatkan suhu tubuh meningkat,

takikardi (>100x/m), nyeri leher (neck tenderness), dan pembesaran kelenjar

19
limfe leher (cervical lymphadenopathy). Pada pemeriksaan laringoskopi tampak

epiglottis bengkak dan berwarna merah terang (cherry-red epiglottis). Pemeriksaan

radiologi foto polos soft tissue leher dengan posisi lateral biasanya menunjukkan

pembengkakan epiglottis (thumb sign).

Gambar 9. Gambaran Thumb Sign.13

b. Laringitis difteri

Laringitis difteri mempunyai masa inkubasi 1-7 hari. Penderita mengeluh

badan lemas, panas subfebris, batuk menggonggong yang timbul mendadak diikuti

suara serak dan terasa seperti luka di tenggorok. Pada pemeriksaan dijumpai

keadaan umum penderita tampak lemah, suara serak, sesak dengan gejala sumbatan

jalan napas yang progresif berupa stridor inspirasi. Pada pemeriksaan orofaring

tampak selaput putih keabuan pada tonsil, dan dinding faring. Laring tampak

20
kemerahan, dan ditutupi selaput putih keabuan seperti pada faring. Membran

melekat erat dan bila dilepaskan mudah berdarah (pharyngeal membrane). Pada

beberapa kasus, didapatkan limfadenitis (pembesaran kelenjar limfe) dan

menyerupai gambaran leher banteng (bullneck).1,14

Gambar 10. Kiri: Gambaran membran faringeal pada kasus difteri. Kanan: Gambaran
pembesaran kelenjar limfe leher pada kasus difteri.14

c. Benda asing laring

Aspirasi benda asing biasanya terjadi pada anak umur 6 bulan-2 tahun. Jika

terdapat riwayat tersedak, batuk paroksismal dan tidak ada tanda infeksi

kemungkinan benda asing di laring perlu dipikirkan. Pemeriksaan rontgen serta

endoskopi akan memperjelas diagnosis.1

d. Edema angioneurotik

Edema laring karena proses alergi, mungkin disebabkan karena alergi obat,

reaksi transfusi, gigitan serangga, makanan atau bahan yang diinhalasi. Gejala

21
edema laring karena alergi bersifat progresif, dimulai dengan suara serak, berlanjut

dengan tanda-tanda peningkatan sumbatan jalan napas seperti stridor, retraksi,

takipneu, dan sianosis. Edema laring oleh karena alergi biasanya akut, dengan

riwayat baru saja kontak dengan alergen. Biasanya ditemukan juga urtikaria atau

angioedema di daerah lain seperti wajah, bibir, tangan dan kaki.1

II.11. Tatalaksana

Terapi untuk croup infeksius terutama adalah rumatan atau penyediaan

pertukaran pernapasan yang adekuat dan sebagian tergantung pada lokasi primer

penyakit dan penyebabnya. Pada bentuk infeksi bakteri, terapi antibiotik juga

penting. Sebagian besar anak afebris dengan croup spasmodik akut atau penderita

demam dengan laringotrakeobronkitis ringan biasanya dapat secara aman dan

efektif ditatalaksana di rumah. Pengobatan terhadap refluks gastroesofagus, yang

menjadi dasar penyakit, dan yang tidak sering dicurigai, dapat mencegah croup

spasmodic pada anak yang diketahui rentan terhadapnya.2 Tatalaksana utama bagi

pasien croup adalah mengatasi obstruksi jalan napas. Sebagian besar pasien croup

tidak perlu dirawat di RS, melainkan cukup di rawat di rumah. Pasien dirawat di

RS bila dijumpai salah satu dari gejala-gejala berikut: anak berusia di bawah 6

bulan, terdengar stridor progresif, stridor terdengar ketika sedang beristirahat,

terdapat gejala gawat napas, hipoksemia, gelisah, sianosis, gangguan kesadaran,

demam tinggi, anak tampak toksik, dan tidak ada respon terhadap terapi.3 Pada

semua kasus keputusan untuk rawat inap dibuat karena perlu untuk memerlukan

observasi yang terpercaya dan trakeotomi yang relative aman atau yang lebih

sering, intubasi nasotrakea, jika salah satu dari kedua tindakan ini diperlukan.2

22
Gambar 11. Algoritma penatalaksanaan sindrom croup.3,7

23
Beberapa terapi yang dapat diberikan pada anak dengan croup yaitu:

a. Terapi inhalasi

Sejak abad ke-19, terapi uap telah digunakan untuk mengatasi obstruksi

jalan napas pada sindrom croup. Pemakaian uap dingin lebih baik daripada uap

panas, karena kulit akan melepuh akibat paparan uap panas. Uap dingin akan

melembabkan saluran respiratori, meringankan inflamasi, mengencerkan lendir

pada saluran respiratori, sekaligus memberikan efek yang nyaman dan

menenangkan bagi anak.2,7

Meskipun terapi uap ini dapat menjadi pilihan yang praktis pada sindrom

croup, kelembaban yang ditimbulkan oleh terapi uap dapat pula memperberat

keadaan pada anak dengan bronkospasme yang disertai dengan mengi, seperti

laringotrakeobronkitis atau pneumonia. Saat ini beberapa pusat kesehatan tidak

merekomendasikan pengguanaan terapi uap.

Berdasarkan tiga penelitian yang menggunakan air dingin tersaturasi (cold

water fog), tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa penggunaannya untuk

mengobati croup menguntungkan. Gina, dkk melakukan penelitian RCT dengan

memberikan terapi oksigen lembab (humidified oxygen) pada pasien croup derajat

sedang di UGD. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan

perbaikan klinis antara kelompok yang diberi terapi oksigen lembab dan yang tidak

diberikan.2

Humidifikasi mempunyai efek melunakkan sekret atau me ngurangi

viskositas sekret sehingga lebih mudah dikeluarkan, selain itu juga mempunyai efek

mengurangi inflamasi.

24
Terdapat beberapa jenis terapi humidifikasi yaitu hot mist dan cool mist.

Pada hot mist therapy dulu digunakan ketel croup (croup kettles) atau tenda croup

(croup tents). Tetapi karena efek pemanasan tersebut dapat membakar wajah, anak

menjadi gelisah sehingga mengakibatkan hiperventilasi dan pada akhirnya

memperburuk sumbatan jalan nafas maka saat ini hot mist ditinggalkan dan beralih

ke cool mist therapy.1

b. Epinefrin2

Sindrom croup biasanya cukup diatasi dengan terapi uap saja, tetapi kadang-

kadang membutuhkan farmakoterapi. Nebulasi epinefrin telah digunakan untuk

mengatasi sindrom croup selama hampir 30 tahun, dan pengobatan dengan

epinefrin ini menyebabkan trakeostomi hampir tidak diperlukan. Nebulisasi

epinefrin sebaiknya juga diberikan kepada anak dengan sindrom croup sedang berat

yang disertai dengan stridor saat istirahat dan membutuhkan intubasi serta pada

anak dengan retraksi dan stridor yang tidak mengalami perbaikan setelah diberikan

terapi uap dingin. Nebulasi epinefrin akan menurunkan permeabilitas vascular

epitel bronkus dan trakea, memperbaiki edema mukosa laring, dan meningkatkan

laju udara pernapasan. Pada penelitian dengan metode double blind, efek terapi

nebulisasi epinefrin ini timbul dalam waktu 30 menit dan bertahan selama dua jam.

25
Epinefrin yang dapat digunakan antara lain adalah sebagai berikut:

1. Racemic epinefrin

Dengan dosis 0,5 ml, larutan racemic epinephrine 2,25% yang telah

dilarutkan dalam 3 ml salin normal. Larutan tersebut diberikan melalui nebulizer

selama 20 menit. Racemic epinephrine merupakan pilihan utama, efek terapinya

lebih besar, dan mempunyai sedikit efek terhadap kardiovaskular seperti takikardi

dan hipertensi.

2. L-epinefrin

1:1000 sebanyak 5 ml; diberikan melalui nebulizer. Efek terapi terjadi dalam

dua jam. Nebulisasi epinephrine masih dapat diberikan pada pasien dengan

takikardi dan kelainan jantung seperti Tetralogi of Fallot.

c. Kortikosteroid

Kortikosteroid mengurangi edema pada mukosa laring melalui mekanisme

antiradang. Uji klinik menunjukkan adanya perbaikan pada pasien laringotrakeitis

ringan-sedang yang diobati dengan steroid oral atau parenteral dibandingkan

dengan plasebo.

1. Deksametason

Deksametason diberikan dengan dosis 0,6 mg/kgBB PO/intramuskular

sebanyak satu kali, dan dapat diulang dalam 6-24 jam. Efek klinis akan tampak

2-3 jam setelah pengobatan. Tidak ada penelitian yang menyokong penambahan

dosis. Keuntungan pemakaian kortikosteroid adalah sebagai berikut:

a) Mengurangi rata-rata tindakan intubasi


b) Mengurangi rata-rata lama rawat inap
c) Menurunkan hari perawatan dan derajat penyakit

26
Selain deksametason, dapat juga diberikan prednisone atau prednisolone dengan

dosis 1-2 mg/kgBB.

d. Heliox

Merupakan campuran helium dan oksigen. Helium merupakan gas dengan

densitas dan viskositas rendah; dapat menurunkan tahanan aliran udara,

meningkatkan aliran udara dan menurunkan kerja otot pernapasan. Kombinasi

helium dengan oksigen akan meningkatkan oksigenasi darah. Pasien croup berat

yang menghirup campuran gas helium dan oksigen akan menjadi nyaman dan tidak

memerlukan intubasi.

e. Intubasi endotrakeal atau trakeostomi

Intubasi atau trakeostomi jarang dilakukan sejak penggunaan steroid secara

luas. Intubasi endotrakeal atau trakeostomi dilakukan pada pasien croup berat yang

tidak responsif terhadap pengobatan sebelumnya.1 Keputusan melakukan intubasi

endotrakeal atau trakeostomi berdasar pada kriteria klinik adanya hiperkarbia dan

gagal nafas mengancam termasuk peningkatan stridor inspirasi, frekuensi respirasi,

denyut jantung, adanya retraksi, tanda-tanda sianosis atau terjadi perubahan status

mental. Karena edema laring, maka pipa endotrakeal yang digunakan sebaiknya dua

ukuran lebih kecil daripada yang digunakan untuk anak sehat untuk mencegah

penekanan berlebihan pada trakea yang dapat berakibat nekrosis dan stenosis

subglotis.

27
II.9. Komplikasi

Komplikasi terjadi pada sekitar 15% penderita dengan croup virus. Yang

paling sering adalah perluasan proses infeksi yang melibatkan daerah saluran

pernapasan lainnya, seperti telinga tengah, bronkiolus terminal, atau parenkim paru.

Trakeitis bakteri mungkin merupakan komplikasi croup virus bukannya penyakit

tersendiri. Pneumonia interstisial dapat terjadi, tetapi sukar untuk membedakan

pada rontgenogram daerah bercak atelektasis akibat obstruksi. Bronkopneumonia

tidak lazim kecuali kalau ada aspirasi isi lambung yang telah terjadi selama masa

kegawatan pernapasan berat. Walaupun pneumonia bakteri sekunder tidak lazim,

trakeobronkitis supuratif merupakan komplikasi tambahan pada

laringotrakeobronikitis. Pneumonia, limfadenitis servikal, otitis atau kadang-

kadang meningitis atau artritits septik dapat terjadi selama perjalanan epiglotitis.

Emfisema mediastinum dan pneumotoraks merupakan komplikasi trakeotomi

paling lazim.8

II.10. Prognosis

Sindrom croup biasanya bersifat self limited dengan prognosis yang

baik.4

28
BAB III

KESIMPULAN

Croup adalah terminologi umum yang mencakup suatu grup penyakit

heterogen yang mengenai laring infra/subglottis, trakea, dan bronkus. Karakteristik

sindrom croup adalah batuk yang menggonggong, suara serak, stridor inspirasi,

dengan atau tanpa adanya obstruksi jalan napas. Croup terbagi atas dua, yaitu viral

croup dan spasmodic croup. Sindrom croup biasanya terjadi pada anak berusia

6 bulan-6 tahun, dengan puncaknya pada usia 1-2 tahun.

Manifestasi klinis biasanya didahului dengan demam yang tidak begitu

tinggi selama 12-72 jam, hidung berair, nyeri menelan, dan batuk ringan. Kondisi

ini akan berkembang menjadi batuk nyaring, suara menjadi parau dan kasar. Gejala

sistemik yang menyertai seperti demam, malaise. Bila keadaan berat dapat terjadi

sesak napas, stridor inspiratori yang berat, retraksi, dan anak tampak gelisah, dan

akan bertambah berat pada malam hari.

Diagnosis klinis ditegakkan berdasarkan gejala klinis yang timbul. Pada

pemeriksaan fisik ditemukan suara serak, hidung berair, peradangan faring, dan

frekuensi napas yang sedikit meningkat. Tatalaksana utama pada croup adalah

mengatasi obstruksi saluran napas, terapi yang dapat diberikan yaitu terapi inhalasi,

epinefrin, kortikosteroid, intubasi endotrakeal jika diperlukan dan heliox. Croup

bisanya bersifat self limited dengan prognosis baik.

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Darmawan, A.B, Croup (Laringotrakeobronkitis), Jakarta; Cermin Dunia

Kedokteran vol.35, 2008. H.185-8

2. Orenstein DM, Acute inflammatory upper airway obstruction. In: Nelson

textbook of pediatrics, Behrman RE, Kleigman RM, Jenson HB, editors.

Philadelphia: WB Saunders Company; 2000. 1274-9.

3. Leung K.C. Alexander, Kellner James D, Johnson David W. Viral Croup:

A current Perspective. Journal of Pediatric Health Care. 2004; 297-300.

4. Malhotra Amisha, Krilov Leonard R. Viral Croup. American Academy of

Pediatrics. 2013;1-6.

5. Shah RK. Acute laryngitis.[serial online] 11 Agustus 2014. Didapat dari

http://emedicine.medscape.com/article/864671

6. Bhatt JM. Croup (Laryngotracheobronchitis). Nottingham University

Hospitals.2012;1-5.

7. Yangtjik K, Dadiyanto DW. Croup (laringotrakeobronkitis akut). Dalam

Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku ajar respirologi

anak. Edisi pertama. Jakarta: Badan penerbit IDAI; 2010.h.320-

8. Meadow dan Newell. Lecture Notes: Pediatrika. Jakarta: Penerbit Erlangga;

2010.

9. Martini FH, Nath JL, Bartholomew EF. Fundamentals of Anatomy &

Physiology. 9th ed. USA: Benjamin Cummings; 2012.

30
10. Tucker HM. Anatomy of the larynx. In: Tucker HM, ed. The larynx. 2nd ed.

New York: Thieme Medical Publishers Inc, 1993;1-34

11. Netter FH. Lung. In: Atlas of human anatomy. Philadelhpia: Saunders;

2014. p. 193-207.

12. Saladin KS. The respiratory system. In: Human anatomy. 5th ed. United

States of America: McGraw-Hill Education; 2017. p. 631-652.

13. Casey G. Thumb sign of epiglotitis: New England Journal of

Medicine.2011;365:447.

https://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMicm1009990

14. Hospital Care For Children. Difteri; kondisi yang disertai dengan stridor.

WHO: 2016. http://www.ichrc.org/452-difteri

31

Anda mungkin juga menyukai