Anda di halaman 1dari 25

MANAJEMEN ANESTESI UNTUK OPERASI

APPENDIKTOMI PERLAPARATOMI PADA PASIEN


HIPERTENSI
MANAGEMENT ANESTHESIA FOR LAPARATOMY
APPENDICTOMY SURGERY IN A PATIENT WITH
HYPERTENSION
Oleh
Muhamad Ibnu
130121120004

LAPORAN KASUS
Untuk memenuhi salah satu syarat ilmiah
Guna memperoleh gelar Spesialis Anestesi
Program Pendidikan Dokter Spesialis -1
Anestesiologi dan Terapi Intensif

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS -1


ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
Tahun 2013
MANAJEMEN ANESTESI UNTUK OPERASI
APPENDIKTOMI PERLAPARATOMI PADA PASIEN
HIPERTENSI

Abstrak

Penyakit kardiovaskular, terutama penyakit jantung hipertensif, iskemik, dan kelainan katup
merupakan penyakit medis yang paling sering ditemui dalam praktik anestesi dan merupakan
2

penyebab utama morbiditas dan mortalitas perioperatif. Tata laksana pasien dengan penyakit ini
akan terus menjadi tantangan bagi anestesiologis. Pada laporan kasus ini akan dibahas mengenai
manajemen anestesia pada seorang lai-laki usia 60 tahun dengan diagnosa Peritonitis difus e.c
appendicitis perforasi yang dilakukan operasi appendiktomi perlaparatomi eksplorasi. Pada
evaluasi preoperatif didapatkan pasien dalam kondisi fisik ASA IIIE. Pasien dioperasi dalam
general anestesi. Operasi berlangsung selama 1 jam 30 menit dan selama operasi tidak terjadi
komplikasi Krisis hipertensi.

kata kunci : Hipertensi, peritonitis, appendiktomi, krisis hipertensi

MANAGEMENT ANESTHESIA FOR LAPARATOMY


APPENDICTOMY SURGERY IN A PATIENT WITH
HYPERTENSION

Abstract

Cardiovascular disease, particularly hypertensive, ischemic, and valvular heart disease are the
medical illnesses most frequently encountered in anaesthesia practice and a major cause of
preioperatif morbidity and mortality. Management of patient with these disease continues to
challenge the ingenuity and resources of the anesthesiologist.
this case report will described about anesthesia management for men 60 years old with Peritonitis
diffus who underwent emergency appendectomy perlaparatomy. in preoperative evaluation,
patient assesment with pisical status asa IIIE, surgical during in general anestesi and last for 1
hour 30 minute.. the complication that occur as Crissis hypertension is not happening.

Keyword : Hypertensive, peritonitis, appendictomy. Crisis hypertensive


PENDAHULUAN

Hipertensi adalah penyakit yang umum dijumpai. Prevalensi dari hipertensi

tergantung dari komposisi ras suatu populasi dan tergantung dari criteria yang

digunakan untuk mendefinisikan hipertensi. Data yang diperoleh dari studi

Framingham menyatakan bahwa pada populasi orang kulit putih hamper

seperlimanya memiliki tekanan darah lebih dari 160/95 mmHg dan hamper

setengahnya memiliki tekanan darah lebih dari 140/90, prevalensi yang lebih
3

tinggi ditemukan pada populasi yang bukan kulit putih.1

Frekuensinya meningkat seiring dengan usia dengan hamper dua pertiga

pasien mengalami hipertensi setelah usia diatas 50 tahun. Sub tipe dari hipertensi

juga dipengaruhi oleh usia, dimana pada indivdu yang lebih muda biasanya

mengalami hipertensi diastolic dan kombinasi sistol dengan diastolic, sedangkan

pada individu yang lebih tua kebanyakan mengalami hipertensi sistolik.1

Respons adrenergik terhadap stimulasi bedah dan efek sirkulasi obat anestesi,

intubasi endotrakeal, ventilasi tekanan-positif, kehilangan darah, pergeseran

cairan, dan perubahan temperatur tubuh akan mengakibatkan beban tambahan

pada sistem kardiovaskular yang sudah terganggu.2

Tatal laksana anestesi yang optimal pada pasien dengan penyakit

kardiovaskular membutuhkan pengetahuan mendalam fisiologi jantung normal,

efek sirkulasi berbagai obat anestesi, dan patofisiologi serta terapi penyakit-

penyakit ini.2

Hipertensi yang tidak terkontrol yang dibiarkan lama akan mempercepat

terjadinya arterosklerosis dan hipertensi sendiri merupakan faktor risiko mayor

terjadinya penyakit-penyakit jantung, serebral, ginjal dan vaskuler. Pengendalian

hipertensi yang agresif akan menurunkan komplikasi terjadinya infark

miokardium, gagal jantung kongestif, stroke, gagal ginjal, penyakit oklusi perifer

dan diseksi aorta, sehingga morbiditas dapat dikurangi. Konsekuensi dari

penggunaan obatobat antihipertensi yang rutin mempunyai potensi terjadinya


4

interaksi dengan obat-obat yang digunakan selama pembedahan.3

LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. P

Jenis Kelamin : Laki - laki

Umur : 60 tahun

Berat Badan : 55 Kg

Alamat : Bandung

Pekerjaan : Pensiunan angkatan udara

Masuk RS : 20 September 2013

Tanggal Operasi : 20 September 2013


5

PRE OPERATIF (20 SEPTEMBER 2013)

Anamnesa :

Sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluh nyeri perut kanan

bawah yang dirasakan terus menerus, sejak 3 jam sebelum masuk rumah sakit

nyeri semakin hebat dan dirasakan pada seluruh bagian perut, pasien mengalami

muntah 1 kali saat tiba di rumah sakit, muntah berisi air dan sedikit sisa makanan.

Keluhan tidak disertai dengan demam. Pasien mengaku terakhir kali makan

sekitar 12 jam yang lalu dan terakhir minum 8 jam yang lalu dengan meminum air

putih. BAB dan BAK tidak ada keluhan.

Pasien memiliki riwayat sakit darah tinggi yang diketahuinya sejak 2 tahun

yang lalu saat pasien sedang memeriksakan dirinya ke PUSKESMAS. Tekanan

darah tertinggi pasien 190/100. Tekanan darah harian pasien setelah diberikan

pengobatan berkisar 140-150/90. Pasien mengkonsumsi obat captopril 3 x

12,5mg, namun sejak 1 bulan terakhir pasien tidak rutin meminum obat. Riwayat

penurunan kesadaran, bicara rero, maupun kelemahan anggota gerak disangkal,

riwayat bengkak pada tungkai bawah disangkal, riwayat sesak maupun nyeri dada

saat aktifitas disangkal, riwayat terbangun pada malam hari karena sesak nafas

disangkal.

Riwayat sakit diabetes mellitus, asma, kejang-kejang, disangkal. Riwayat

alergi obat maupun makanan disangkal.


6

Riwayat operasi sbelumnya disangkal.

Riwayat operasi pada keluarga disangkal.

Pemeriksaan Fisik :

Keadaan umum : Sakit sedang

Kesadaran : Compos Mentis

Tekanan darah : 188/99

Nadi : 110x/menit, reguler, adekuat

Pernafasan : 16x/menit

Suhu : 36,6 oC

Buka mulut : > 3 jari, Leher mobile, Malampati 1, gigi palsu (-)

Mata : konjungtiva anemis -/-, Sklera ikterik -/-

Paru : vbs kanan = kiri, rh -/-, wh -/-

Jantung : BJ 1(+), 2(+), 3(-), 4(-), reguler, murmur (-)

Abdomen : datar, BU (+), Nyeri tekan (+) seluruh region abdomen,

Defans muskuler (+)

Ekstremitas : motorik dan sensorik dalam batas normal, crt < 2"

Pemeriksaan penunjang

Laboratorium tgl 20 September 2013

Hb/ht/leukosit/trombosit : 11,9/34/10700/4,36/242000

Na/K : 136/4,0
7

Ureum/kreatinin : 55/0,93

Toraks foto : Kardiomegali tanpa bendungan paru

EKG : Sinus takikardi, HR 112x/mnt

Status fisik : ASA IIIE

Diagnosis : Peritonitis difus e.c appendicitis perforasi dengan hipertensi tidak

Terkontrol

Instruksi : Inform consent

Lanjutkan puasa

Sedia darah

INTRAOPERATIF (20/9/2013)

Pasien datang ke kamar operasi pada pukul 10.00 WIB

kondisi pasien :

Kesadaran : Compos mentis

Tekanan darah : 188/98

Nadi : 112 x/menit, reguler, adekuat

Pernafasan : 16 x/menit, Saturasi 99% (udara bebas)

Dilakukan loading cairan dengan RL sebanyak 500cc

Tekanan darah : 176/99

Nadi : 102 x/menit, reguler, adekuat


8

Diberikan fentanyl 25 mcg

Tekanan darah : 163/90

Nadi : 91 x/menit, reguler, adekuat

Diberikan Midazolam 2mg

Tekanan darah : 154/85

Nadi : 88 x/menit, reguler, adekuat

Dilakukan Induksi pada pukul 10.20 WIB

Lidocaine 75 mg

Fentanyl 100 ug

Propofol 100 mg

Atracurium 25 mg

Lidocaine spray sesaat sebelum intubasi

Intubasi dengan menggunakan ETT no 7,5 balon dengan kedalaman 21 cm

Tekanan darah : 138/78

Nadi : 72 x/menit, reguler, adekuat

Maintenence dengan isoflurane 1-2% + N2O 50% + O2 50%

Kondisi hemodinamik selama operasi :

Tensi Sistolik : 102 144 mmHg Tensi Diastolik : 59- 83 mmHg


9

Nadi : 68 94 x/menit Respirasi : 12 18 x/menit

Saturasi : 98- 100%

Lama operasi : 1 jam 30 menit

Sesaat sebelum operasi selesai diberikan anestesi infiltrasi dengan bupivacaine,

bolus ketorolak 30mg dan ondansetron 4mg

Total pemberian cairan : kristaloid 1000cc

Total keluaran cairan : perdarahan 120cc

Diuresis : 150cc/1,5 jam

Durante operasi ditemukan pus 60cc dan ditemukan appendiks antecaecal

gangrenous, edematous.

Kondisi postoperatif di ruang pemulihan (12:00 WIB)

Kesadaran : Compos mentis

Tekanan darah : 148/86

Nadi : 78x/menit, reguler, adekuat

Pernafasan : 16x/menit, Saturasi 100% (O2 3lpm dengan BNC)

Pasien pindah ke ruang perawatan pukul 14:00 WIB


10

PEMBAHASAN

Manajemen pre operatif

Penambahan dari pemeriksaan yang rutin dilakukan adalah etiologi dan

derajat berat ringan dari hipertensinya, sub tipe hipertensi, pengobatan yang

sedang dijalani, dan target organ yang didapatkan dari hipertensi yang kronis.1

Penyebab utama dari hipertensi harus disingkirkan, mortalitas pembedahan

relative tinggi pada pasien dengan hipertensi renovaskular. Disamping itu,

kegagalan untuk mendiagnosa adanya feokromositoma preoperative (walaupun

jarang ditemukan) akan berakibat fatal, karena agen anestesi diketahui dapata

menyebabkan krisis pada pasien, sementara itu severitas dari hipertensi dapat

mengubah risiko anestesi.2

Obat anti hipertensi memiliki implikasi anestesi yang berbeda beda. Diuretik

akan menebabkan hipokalemia dan hipomagnesia, dimana akan meningkatkan

risiko terjadinya aritmia, maka dari itu elektrolit preoperatif harus diperiksa.1

Adanya kerusakan target organ pada sistem saraf pusat (SSP), jantung, dan

ginjal menunjukan hipertensi yang tidak terkontrol dalam waktu yang lama.

Namun sayangnya penandaan dari kerusakan organ tersebut hanya dapat terlihat

setelah kerusakannya berlangsung.4

Untuk evaluasi jantung, EKG dan foto toraks merupakan test minimal. EKG

akan sangat membantu, LVH dapat meningkatkan risiko iskemia miokard


11

perioperatif dan ketidak seimbangan antara O2 miokard suplay dan kebutuhan

tanpa memperhatikan ada atau idaknya penyakit arteri koroner sebelumnya.1

Pasien dengan hipertensi yang berat memiliki risiko tinggi untuk terjadinya

dekompensasio kordis dan udema paru.1

Untuk evaluasi ginjal, urinalisi, serum kreatinin dan ureum harus diukur

untuk mencari adanya penyakit parenkim ginjal. Bila ditemukan adanya penyakit

ginjal kronik, maka harus dinilai adanya hiperkalemi dan peningkatan volume

plasma. Evaluasi cerebrovaskulaer, riwayat kejadian cerebrovaskuler dan TIA

juga harus diperiksa.1

Kerusakan organ yang disebabkan oleh karena hipertensi yang kronis antara lain :

Jantung Mata Ginjal Otak


Hipertofi jantung kiri Retinopati hipertensi Nefropati Stroke
Angina atau infarks Retinopati ateroslerosis TIA
Aritmia
Jangtung kongestif
Tabel 1.0 Kerusakan organ akibat hipertensi kronis

Komplikasi hipertensi terhadap penyakit vaskuler kemungkinan melibatkan 3

proses antara lain aliran nadi, disfungsi endotel, dan hipertropi otot polos, ketiga

proses tersebut kemungkinan menyebabkan terjadinya aterosklerosis yang

merupakan konsekuensi dari hipertensi kronis.1

Pertanyaan yang sering muncul dalam praktek anastesi adalah derajat

hipertensi prabedah yang masih dapat diterima untuk pembedahan elektif. Kecuali

pada pasien yang terkontrol optimal, sebagian besar pasien hipertensi yang masuk
12

ke kamar operasi akan mengalami hipertensi dalam derajat bervariasi. Walaupun

data-data statistik menunjukkan hipertensi sedang prabedah (tekanan diastolik <

90110 mmHg) masih belum jelas berhubungan dengan komplikasi pascabedah,

tetapi data lainnya mengindikasikan bahwa hipertensi yang tidak diterapi atau

tidak terkontrol lebih mungkin mengalami episode iskemia miokard, aritmia, atau

hipertensi dan hipotensi intrabedah.(2,5)

Walaupun idealnya pembedahan dilakukan secara elektif hanya jika

normotensif, tetapi hal ini tidak mutlak karena adanya autoregulasi serebral.

Reduksi tekanan darah yang terlalu banyak dapat mengganggu perfusi serebral.

Terlebih lagi, keputusan untuk menunda atau melanjutkan pembedahan sangat

tergantung individu pasien, berdasarkan tingginya peningkatan tekanan darah

prabedah; kemungkinan disertai iskemia miokard, disfungsi ventrikel, atau

komplikasi serebrovaskular atau ginjal; dan prosedur pembedahan (diantisipasi

apakah pembedahan mayor menginduksi perubahan beban awal atau beban akhir

jantung). Pada banyak kasus, hipertensi prabedah disebabkan komplians yang

buruk terhadap obat. Seringkali, terapi obat harus diteruskan hingga saat

pembedahan. Beberapa klinisi menhentikan konsumsi penghambat ACE pagi hari

sebelum operasi karena obat ini sering menyebabkan peningkatan insidens

hipotensi intrabedah; akan tetapi, pemberhentian obat ini juga meningkatkan

risiko hipertensi perioperatif yang cukup tinggi dan perlunya antihipertensi

parenteral. Prosedur pembedahan harus ditunda bila tekanan darah diastolik


13

prabedah yang lebih dari 110 mHg terutama bila disertai bukti kerusakan organ,

operasi ditunda sampai tekanan darah dapat terkontrol dengan baik selama

beberapa hari.(2,6)

Sampai saat ini belum ada protokol untuk penentuan TD berapa sebaiknya

yang paling tinggi yang sudah tidak bisa ditoleransi untuk dilakukannya

penundaan anestesia dan operasi. Namun banyak literatur yang menulis bahwa

TDD 110 atau 115 adalah cut-off point untuk mengambil keputusan penundaan

anestesia atau operasi kecuali operasi emergensi. Kenapa TD diastolik (TDD)

yang dijadikan tolak ukur, karena peningkatan TD sistolik (TDS) akan meningkat

seiring dengan pertambahan umur, dimana perubahan ini lebih dianggap sebagai

perubahan fisiologik dibandingkan patologik. Namun beberapa ahli menganggap

bahwa hipertensi sistolik lebih besar risikonya untuk terjadinya morbiditas

kardiovaskuler dibandingkan hipertensi diastolik. Pendapat ini muncul karena dari

hasil studi menunjukkan bahwa terapi yang dilakukan pada hipertensi sistolik

dapat menurunkan risiko terjadinya stroke dan MCI pada populasi yang berumur

tua. Dalam banyak uji klinik, terapi antihipertensi pada penderita hipertensi akan

menurunkan angka kejadian stroke sampai 35%-40%, infark jantung sampai 20-

25% dan angka kegagalan jantung diturunkan sampai lebih dari 50%. Menunda

operasi hanya untuk tujuan mengontrol TD mungkin tidak diperlukan lagi

khususnya pada pasien dengan kasus hipertensi yang ringan sampai sedang.

Namun pengawasan yang ketat perlu dilakukan untuk menjaga kestabilan


14

hemodinamik, karena hemodinamik yang labil mempunyai efek samping yang

lebih besar terhadap kardiovaskular dibandingkan dengan penyakit hipertensinya

itu sendiri. Penundaan operasi dilakukan apabila ditemukan atau diduga adanya

kerusakan target organ sehingga evaluasi lebih lanjut perlu dilakukan sebelum

operasi. The American Heart Association / American College of Cardiology

(AHA/ACC) mengeluarkan acuan bahwa TDS 180 mmHg dan/atau TDD 110

mmHg sebaiknya dikontrol sebelum dilakukan operasi, terkecuali operasi bersifat

urgensi. Pada keadaan operasi yang sifatnya urgensi, TD dapat dikontrol dalam

beberapa menit sampai beberapa jam dengan pemberian obat antihipertensi yang

bersifat rapid acting. Perlu dipahami bahwa penderita hipertensi cenderung

mempunyai respon TD yang berlebihan pada periode perioperatif. Ada 2 fase

yang harus menjadi pertimbangan, yaitu saat tindakan anestesia dan postoperasi.

Contoh yang sering terjadi adalah hipertensi akibat laringoskopi dan respons

hipotensi akibat pemeliharaan anestesia. Pasien hipertensi preoperatif yang sudah

dikontrol tekanan darahnya dengan baik akan mempunyai hemodinamik yang

lebih stabil dibandingkan yang tidak dikontrol dengan baik.(2,5,6)

Anamnesis harus dapat mencari tahu berapa berat dan durasi hipertensi,

terapi obat yang diresepkan, dan ada tidaknya komplikasi hipertensi. Gejala

iskemia miokard, kegagalan ventrikel, gangguan perfusi serebral, atau penyakit

vaskular perifer harus ditanyakan, begitu juga komplians pasien terhadap regimen

obat. Pertanyaan mengenai nyeri dada, toleransi latihan fisik, sesak napas
15

(terutama pada malam hari), edema, pusing (rasa melayang) postural, sinkop,

amaurosis, dan klaudikasio, harus diperhatikan. Efek samping terapi obat yang

sedang diminum juga harus diidentifikasi.1

Elektrokardiogram (EKG) seringkali normal, tetapi pada pasien dengan

riwayat hipertensi menahun seringkali terdapat tanda-tanda iskemia, abnormalitas

konduksi, dan infark lama, atau hipertrofi ventrikel kiri atau strain. EKG normal

tidak harus mengeksklusi adanya penyakit jantung koroner atau hipertrofi

ventrikel kiri. Begitu pula, ukuran jantung yang normal pada pemeriksaan

radiografi dada bukan berarti tidak ada hipertrofi ventrikel. Ekokardiografi

merupakan pemeriksaan yang lebih sensitif untuk hipertrofi ventrikel kiri dan

dapat digunakan untuk mengevaluasi fungsi sistolik dan fungsi diastolik pasien

dengan gejala gagal jantung. Radiografi dada umumnya baik tetapi mungkin

menunjukkan jantung bentuk sepatu bot (sugestif hipertrofi ventrikel kiri),

kardiomegali yang jelas, atau kongesti vaskular pulmonal.(1,2)

Fungsi ginjal paling baik dievaluasi melalui pengukuran kreatinin serum dan

kadar urea nitrogen darah. Kadar elektrolit serum harus diperiksa pada pasien

yang mengkonsumsi obat diuretik atau digoksin, atau jika pasien menderita gagal

ginjal. Hipokalemia ringan hingga sedang sering terjadi pada pasien dengan

pengobatan diuretik (33,5 mEq/l) tetapi biasanya tidak terlalu berpengaruh

buruk. Penggantian kalium harus dilakukan hanya pada pasien simtomatik atau

pasien yang juga mengkonsumsi digoksin. Hipomagnesemia juga sering terjadi


16

dan mungkin merupakan penyebab penting aritmia perioperatif. Hiperkalemia

dapat ditemukan pada pasien terutama pasien dengan gangguan fungsi ginjal

yang juga mengkonsumsi diuretik hemati kelium atau penghambat ACE.(1,6)

Pada kasus ini hipertensi yang dialami pasien merupakan hipertensi

esensial dan sedang dalam terapui menggunakan obat ACE inhibitor yaitu

captopril. Pada pasien ini target organ yang terjadi adalah kardiomegali yang

terlihat dari foto rontgen toraks, namun secara klinis belum terjadi penurunan

fisiologis dari jantung pasien, karena pasien masih bias melakukan aktifitas sehari

hari, selain itu pada pasien juga belum ditemukan adanya tanda-tanda gagal

jantung maupun iskemia jantung. Dari hasil EKG pun tidak didapatkan adanya

kelainan. Kerusakan organ target lain seperti Susunan saraf pusat dan ginjal tidak

ditemukan pada pasien ini, karena dari anamnesa tidak didapatkan adanya riwayat

stroke maupun TIA (transient ischemic attack). Selain itu hasil pemeriksaan

fungsi ginjal (ureum dan kreatinin) menunjukan hasil yang normal.

Pada kasus ini hipertensi dalam keadaan tidak terkontrol. Karena sudah 1

bulan pasien tidak minum obat captopril secara teratur, dengan tekanan darah

188/98. Tekanan darah yang tinggi tersebut kemungkinan dapat disebabkan oleh

beberapa factor antara lain karena pasien sedang dalam kondisi kesakitan, cemas,

karena penyakit hipertensi itu sendiri.

Menurut klasifikasi AHA apabila tekanan darah sistolik lebih dari atau

sama dengan 180 mmHg, maka tekanan darah harus di control terlebih dahulu.
17

Pada kasus ini operasi tetap dilaksanakan karena operasi bersifat emergensi.

Premedikasi

Premedikasi dapat mengurangi kecemasan prabedah dan sangat disarankan

pada pasien hipertensi. Hipertensi prabedah ringan hingga sedang seringkali

membaik setelah pemberian obat ansiolitik, seperti midazolam. Obat-obat

antihipertensi prabedah juga harus diteruskan sedapat mungkin sampai dekat

jadwal operasi dan dapat diberikan dengan seteguk air. beberapa klinisi

menghentikan konsumsi penghambat ACE karena dapat meningkatkan insidens

hipotensi intrabedah. Agonis adrenergik 2 sentral dapat digunakan sebagai

tambahan terapi premedikasi pasien hipertensi; klonidin (0,2 mg) akan

meningkatkan efek sedasi, menurunkan kebutuhan anestesi intrabedah, dan

mengurangi hipertensi perioperatif. Akan tetapi, pemberian klonidin prabedah

seringkali disertai hipotensi intrabedah yang bermakna dan bradikardia.1

Pada kasus ini diberikan midazolam 2mg sebelum induksi dengn tujuan untuk

mengurangi kecemasan pasien. Pada kasus ini pasien dalam terapi dengan obat

penghambat ACE namun sudah 1 bulan pasien tidak meminum obatnya dengan

teratur.

Induksi

Induksi anesthesia dengan obat .intravena akan menyebabkan penurunan

tekanan darah yang berlebihan akibat vasodilatasi yang diikuti dengan penurunan
18

volume intravascular. Hipotensi saat induksi sering terjadi pada pasien dengan

terapi obat golongan ACEI atau ARB yang dikonsumsi hingga saat operasi

Laringoskopi direk dan intubasi endotrakeal dapat menimbulkan peningkatan

tekanan darah yang signifikan pada pasien dengan hipertensi meskipun pasien

sudah dalam kondisi normotensif sebelum operasi. Kejadian iskemia jantung

kemungkinan dapat terjadi dengan hipertensi dan takikardi yang diakibatkan oleh

laringoskopi dan intubasi.4

Induksi anestesi dan intubasi endotrakheal merupakan periode yang sering

terjadi keadaan hemodinamik yang tidak stabil. Tanpa melihat tingkat tekanan

darah preoperatif, banyak pasien hipertensi menampakkan respon hipotensi yang

menonjol terhadap induksi anestesi serta diikuti respon hipertennsi berlebih saat

intubasi.4

Respon hipotensi menggambarkan efek aditif depresi sirkulasi dari obat

anestesi dan antihipertensi.

Hampir semua obat antihipertensi dan anestesi umum adalah vasodilator,

cardiac depresant atau berefek keduanya. Obat simpatolitik juga memumpulkan/

melemahkan reflek-reflek protektif sirkulasi yang normal, menurunkan tonus

simpatis dan meningkatkan aktivitas vagal. Lebih dari 25 % pasien dapat

menampakkan hipertensi yang berat mengikuti intubasi endotrakheal.(1-2)

Durasi laringoskopi harus sesingkat mungkin, sebaiknya < 15 detik untuk

meminimakan peningkatan tekanan darah.` Peningkatan tekanan darah dan


19

frekwensi nadi terjadi kira-kira 14 detik setelah mulai laringoskopi dan menjadi

maksimal setelah 30-45 detik direct laryngoscopy.2

Beberapa teknik yang digunakan sebelum intubasi untuk rnenumpulkan

respon hipertensi adalah sebagai berikut: 1,2,3

- Anestesi dalam dengan volatile yang poten selama 10-15 menit

- Pemberian narkotik bolus, seperti fentanil (2,5 5 gr/kg), alfentanil (15-25

g/kg) atau sufentanil (0,25-0,5 gr/kg)

- Lidokain 1,5 mg/kg secara intravena atau intratrakheal

- Beta-adrenergic blockade : esmolol 0,3-1,5 gr/kg, propanolol 1-5 mg atau

labetolol 10-50 mg

- Nitroprusid 1-2 gr/kg

- Topical airway anesthesia

Obat-obat rumatan

Cukup aman dilanjutkan dengan obat anestesi volatile tunggal, dengan

N2O, teknik balans (narkotik + N20 + pelemas otot), opioid dosis tinggi atau

teknik TIVA. Vasodilatasi dan depresi miokard yang relatif cepat dan reversibel

dihasilkan oleh efek obat volatile terhadap tekanan darah arteri. Tidak terdapat

teknik anestesi yang khusus atau kombinasi obat yang lebih baik untuk pasien-
20

pasien hipertensi.

Obat anestesi inhalasi yang poten atau narkotik harus dititrasi untuk

mencapai tingkat depresi susunan saraf pusat yang dinginkan. Obat inhalasi yang

poten memberikan kendali terhadap hipertensi yang lebih besar tetapi tampaknya

kurang stabil. Isofuran memiliki keuntungan vasodilatasi perifir yang lebih baik

dan kurang mendepresi jantung.

Enfluran kurang disukai pada pasien yang mendapatkan beta bloker

karena berpotensi lebih besar mendepresi jantung dibandingkan halotan atau

isofluran. Kombinisi N2O deiigan narkotik dosis rendah sampai sedang dan obat

inhalasi yang poten seringkali memberikan keadaan intraoperatif yang stabil.

Banyak pelemas otot yang dapat digunakan, kecuali pancuronium, karena

pancuronium menyebabkan blokade vagal dan melepaskan katekolamin yang

dapat memicu hipertensi pada pasien yang tak terkontrol.(2,4,6)

Hipertensi intraoperatif

Hipertensi pada periode preoperatif mempunyai risiko hipertensi juga pada

periode anestesia maupunsaat pasca bedah.13 Hipertensi intraoperatif yang tidak

berespon dengan didalamkannya anestesia dapat diatasi dengan antihipertensi

secara parenteral (lihat tabel 2), namun faktor penyebab bersifat reversibel atau

bisa diatasi seperti anestesia yang kurang dalam, hipoksemia atau hiperkapnea

harus disingkirkan terlebih dahulu.(2,4)

Pengelotaan Pascaoperatif
21

Hipertensi pascaoperasi sering dijumpai dan harus diantisipasi pada pasien

yang mempunyai riwayat pengobatan yang buruk. Monitoring yang ketat harus

dilanjutkan mulai pada periode segera pasca bedah dan jugsa di ruang pemulihan.

Hipertensi di ruang pemulihan seringkali multifaktorial dan meningkat karena

abnormalitas respirasi, nyeri, volume cairan yang berlebihan atau distensi

kandung kemih.

Penyebab yang berperan harus dikoreksi dan terapi obat antihipertensi

parenteral diberikan bila diperlukan. Nikardipin intravena atau nifedipin

sublingual berguna untuk mengendalikan tekanan darah terutama bila dicurigai

adanya iskhemik miokard and atau bronkhospasme.(2,4)

Hipertensi yang terjadi pada periode pasca operasi sering terjadi pada

pasien yang menderita hipertensi esensial. Hipertensi dapat meningkatkan

kebutuhanoksigenmiokardsehinggaberpotensimenyebabkaniskemiamiokard,

disritmia jantung dan CHF. Disamping itu bisa juga menyebabkan stroke dan

perdarahan ulang luka operasi akibat terjadinya disrupsi vaskuler dan dapat

berkonstribusi menyebabkan hematoma pada daerah luka operasi sehingga

menghambat penyembuhan luka operasi. Penyebab terjadinya hipertensi pasca

operasiadabanyakfaktor,disampingsecaraprimerkarenapenyakithipertensinya

yang tidak teratasi dengan baik, penyebab lainnya adalah gangguan sistem

respirasi, nyeri, overload cairan atau distensi dari kandung kemih. Sebelum

diputuskan untuk memberikan obatobat antihipertensi, penyebabpenyebab


22

sekundertersebutharusdikoreksidulu. Nyerimerupakansalahsatufaktoryang

paling berkonstribusi menyebabkan hipertensi pasca operasi, sehingga untuk

pasienyangberisiko,nyerisebaiknyaditanganisecaraadekuat,misalnyadengan

morfin epidural secara infuskontinyu. Apabila hipertensi masih ada meskipun

nyerisudahteratasi,makaintervensisecarafarmakologiharussegeradilakukan

danperludiingatbahwameskipunpascaoperasiTDkelihatannyanormal,pasien

yang prabedahnya sudahmempunyai riwayat hipertensi, sebaiknya obat

antihipertensi pasca bedah tetapdiberikan.Hipertensi pasca operasi sebaiknya

diterapidenganobatantihipertensisecaraparenteralmisalnyadenganbetablocker

yangterutamadigunakanuntukmengatasihipertensidantakikardiayangterjadi.

Apabilapenyebabnyakarenaoverloadcairan,bisadiberikandiuretikafurosemid

danapabilahipertensinyadisertaidenganheartfailuresebaiknyadiberikanACE

inhibitor. Pasien dengan iskemiamiokard yang aktif secara langsung maupun

tidak langsung dapat diberikannitrogliserin dan betablocker secara intravena

sedangkan untuk hipertensi beratsebaiknya segera diberikan sodium

nitroprusside.Apabila penderita sudah bisamakan dan minum secara oral

sebaiknyaantihipertensisecaraoralsegeradimulai.(2,4)

Pada pasien ini diberikan ondansetron tuntuk antiemetic, lalu bupivacaine

infiltrasi dan ketorolak 30mg sesaat sebelum operasi selesai, dan diberikan

tramadol 200mg disertai dengan ketorolak 30mg dalam 500cc RL tiap 8 jam.

Selama observasi di ruang pemulihan tekanan darah sistolik pasien berkisan 146-
23

155 mmHg dan diastolic 86-91 mmHg

KESIMPULAN

Hipertensi merupakan penyakit yang sering terjadi pada pasien usia lanjut,

Seorang ahli anestesi harus memahami fisiologi dan patofisiologi jantung agar

dapat melakukan manajemen preoperative, duranteoperatif, dan pascaoperatif

yang tepat pada pasien dengan hipertensi yang akan mejalani tindakan operasi.

Agar dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas khususnya pada kasus-kasus

emergensi dimana operasi tidak bisa ditunda.


24

DAFTAR PUSTAKA

1. Yao, F, S., 2008, Anesthesiology, 6thed, Lippincott William & Willkins,


Chennai.
2. Morgan GE, Michail MS, Murray MJ. Anesthesia for patients with
cardiovaskular disease. Clinical Anesthesiology. 4th ed. New York:
McGraw-Hill; 2006.p.444-52.
3. Anderson FL, Salgado LL, Hantler CB. Perioperative hypertension
(HTN). Decision making in anesthesiology-an algorithmic approach. 4th
ed. Philadhelpia: Elsevier; 2007.p.124-6.
4. Wallace MC, Haddadin AS. Systemic and pulmonary arterial hypertension.
In:Hines RL, Marschall KE, editors. Stoeltings anesthesia and co-existing
disease. 5thed. Philadelphia: Elsevier; 2008.p.87-102.
5. Murray MJ. Perioperative hypertension: evaluation and management;
Availableat:http://www.anesthesia.org.cn/asa2002/rcl.source/512Murray.
6. Stier GR. Preoperative evaluation and testing. In: Hines RL, editor.
Adultperioperative anesthesiathe requisites in anesthesiology.
25

Philadelphia: Elsevier;2004.p.3-82.

Anda mungkin juga menyukai