Anda di halaman 1dari 17

ABSTRAK

Dilaporkan kasus manajemen anestesi terhadap seorang pasien wanita umur 34


tahun yang didiagnosa dengan G2P1A0, hamil 14 minggu dengan torsio kista ovarii kanan
dan dilakukan tindakan operasi laparotomy salpingo oovarektomy kanan. Pasien dinilai
status fisik ASA 2 dengan gravid. Pasien direncanakan operasi emergency laparotomy
salpingo oovarektomy kanan dengan menggunakan teknik anestesi regional anestesi
subarachnoid block (SAB). Hemodinamik sebelum operasi stabil dengan tekanan darah 110/
60 mmHg, nadi 84 kali/ menit, respirasi 20 kali/ menit dengan spO2 99%. Operasi
berlangsung selama 45 menit. Pemantauan hemodinamik selama operasi antara lain
tekanan darah cenderung stabil dengan tekanan darah sistole berkisar antara 110-120
mmHg dan tekanan darah diastole berkisar antara 65-70 mmHg, nadi 70-85 kali/ menit,
respirasi 14-20 kali/ menit dan spO2 100%. Setelah selesai operasi, pasien kembali ke
bangsal obsgin.

Kata kunci: hamil, torsio kista, operasi laparotomy salpingo oovarektomy, anestesi SAB

1
ABSTRACT

Had been reported a case of anesthesia management for a 34 years old female
patient which has been diagnosed by an obstetrican with G2P1A0, pregnant 14 weeks and
had a ovarian cyst torsion then had been planned laparotomy salpingo oovarectomy
emergency surgery. We assessed physic status patient as ASA (American Society of
Anesthesia) 2 with gravid. Patient had been planned laparotomy salpingo oovarectomy
emergency surgery with regional anesthesia SAB (Sub Arachnoid Block). Hemodynamic
before surgery had been stable with the blood pressure 110/ 60 mmHg, heart rate 84 times
per minutes, respiration 20 times per minutes and saturation 99%. Surgery lasted for 45
minutes. Hemodynamic monitoring along surgery tend stable, sistolic blood pressure ranged
110-120 mmHg, diastolic blood pressure ranged 65-70 mmHg, heart rate 70-85 times per
minutes, respiration ranged 14-20 times per minutes and saturation 100%. After surgery had
been finished, patient come back to the obsgin room.

2
LAPORAN KASUS

PENDAHULUAN

Manajemen anestesi selama kehamilan pada operasi laparotomy salpingo


oovarektomy merupakan tantangan bagi ahli anestesi karena manajemen anestesi harus
mempertimbangkan kehidupan ibu dan fetus. Manajemen anestesi yang optimal
membutuhkan pemahaman menyeluruh terkait fisiologi ibu dan fetus, perubahan
farmakodinamik dan farmakokinetik obat serta pertimbangan resiko dan keuntungan
intervensi. Tujuan akhirnya adalah memberikan anestesi yang aman bagi ibu serta
meminimalisasi resiko persalinan preterm dan kematian fetus (Taslim, 2013).

Efek teratogenik obat anestesi bagi fetus, asfiksia fetus intra-uterin,


mempertahankan aliran darah uteroplasenta yang adekuat, fenomena tromboemboli,
premature rupture of membrane, abortus spontan dan pencegahan persalinan prematur
merupakan hal penting yang harus diperhatikan oleh ahli anestesi bagi ibu hamil dengan
operasi non obstetrik. Teknik SAB bisa mempercepat onset dan dapat diperoleh blok
anestesi spinal sesuai target organ serta durasi bloknya cukup untuk operasi yang singkat.
Teknik ini biasanya berguna pada operasi yang membutuhkan anestesia di daerah sakral
seperti ginekologi, ekstremitas bawah, obstetrik serta perianal (Mulroy, 2009; Taslim, 2013).

Laporan kasus ini membahas tentang manajemen anestesi terhadap pasien hamil 14
minggu dengan kistoma ovari suspek ganas yang menjalani operasi kistektomi dan frozen
section dengan teknik anestesi regional SAB. Teknik anestesi regional SAB merupakan hal
menarik yang dibahas karena teknik ini bisa menjaga keamanan ibu dan tersedianya sirkulasi
uteroplasenta yang adekuat dengan manajemen perioperatif yang baik. Kasus ini akan
menjelaskan kelebihan dan kekurangan teknik SAB dibandingkan dengan penggunaan teknik
anestesi lainnya jika dilakukan pada wanita hamil dengan operasi non obstetrik.

3
LAPORAN KASUS

Pasien wanita berusia 34 tahun datang ke IGD dengan keluhan tuama nyeri perut
kanan bawah menjalar ke paha kanan dengan keterangan G2P1A0, hamil 14 minggu. Pasien
tidak mengeluhkan perdarahan pervagina serta kenceng-kenceng. Riwayat obstetri pasien
yaitu kehamilan pertama 3 tahun yang lalu melahirkan secara spontan bayi laki-laki dengan
berat bayi lahir 2800 gram. Pasien diketahui memiliki kista ovari berdasarkan pemeriksaan
fisik dan penunjang USG yang telah dilakukan kemudian pasien disarankan untuk mondok
serta direncanakan tindakan laparotomy salpingo oovarectomy emergensi. Pasien
dikonsulkan ke bagian anestesi untuk dilakukan tindakan pembedahan. Riwayat penyakit
dahulu seperti asma, alergi obat-obatan dan makanan, hipertensi, diabetes, kejang serta
sakit jantung disangkal oleh pasien dan keluarga pasien.

Saat di bangsal, pasien dilakukan pemeriksaan fisik “head to toe”. Pada pemeriksaan
tanda vital tidak ditemukan kelainan, tekanan darah 110/ 60mmHg, nadi 76 kali/ menit,
respirasi 20 kali/ menit, suhu tubuh 36,8°C. Pada pemeriksaan kepala dan leher tidak
ditemukan kelainan, pemeriksaan airway malampati 2 dengan jarak tiromental > 6,5 cm dan
tidak ditemukan peningkatan vena juguler. Pada pemeriksaan thorak dan jantung
ditemukan bentuk dinding dada normal, tidak ada retraksi dan ketinggalan gerak, suara
jantung reguler dan tidak ditemukan suara jantung tambahan. Pada pemeriksaan paru
ditemukan suara nafas vesikuler di kedua lapang paru dan tidak ditemukan suara nafas
tambahan.

Pada pemeriksaan abdomen didapatkan perabaan supel, tinggi fundus uteri 1 jari
bawah pusat. Auskultasi abdomen ditemukan bising usus normal dengan motilitas 12 kali/
menit. Pada pemeriksaan ekstremitas atas dan bawah tidak ditemukan kelainan.
Pemeriksaan penunjang laboratorium ditemukan anemia ringan dengan hb 10,8 gr/ dl dan
hematokrit 31,6 %. Hasil laboratorium lainnya dalam batas normal. Pemeriksaan USG
didapatkan janin tunggal intrauteri, denyut jantung janin (+), gerak (-), plasenta di corpus
anterior grade I, taksiran berat fetus 213,86 gram serta tampak massa di adneksa kanan dan
multilokuler dengan diameter 10,8 cm.

Pasien dinilai status fisik menurut American Society of Anesthesiology yaitu ASA 2
dengan gravid. Persiapan operasi sesuai standar operasi di RSUD Murangan Yogyakarta

4
antara lain persetujuan tindakan pembiusan mencakup teknik anestesi yang akan dilakukan
serta komplikasi yang akan terjadi pada ibu dan janinnya kepada pasien dan keluarga pasien
serta tanda tangan pasien atau keluarga pasien beserta saksi, pasien makan minum terakhir
pukul 20.00 malam sebelumnya, pemasangan jalur intravena dengan abocath nomer 18
Gauge dan infus set makro dengan cairan infus RL (ringer laktat) 500 cc jalan 20 tetes per
menit serta permintaan darah sesuai teman sejawat obsgin.

PELAKSANAAN PERIOPERATIF

Sebelum pasien diantar ke kamar operasi, pasien sudah dipastikan terpasang jalur
intravena di tangan kiri dengan abocath nomer 18 Gauge dan cairan infus RL 20 tetes per
menit. Hemodinamik pasien sebelum diantar ke kamar operasi stabil dengan tekanan darah
100/ 60 mmHg, nadi 94 kali/ menit, respirasi 20 kali/ menit, suhu tubuh 37,0°C dengan
berat badan 53 kilogram. Di ruang operasi, peralatan dan obat anestesia yang dibutuhkan
dipersiapkan seperti pengecekan mesin anestesia, persiapan peralatan dan obat anestesi
umum serta peralatan dan obat untuk teknik SAB.

Persiapan peralatan dan obat anestesi umum antara seperti STATICS (stetoskop,
laringoskop machintos nomer 2 dan 3, ETT/ endotracheal tube nomer 7 dan 7,5 serta
oropharingeal airway nomer 2 dan 3, plester untuk fiksasi ETT, stilet/ Introducer, konektor,
selang suction dan spuit cuff. Obat anestesi umum yang dipersiapkan antara lain seperti
midazolam, fentanil, propofol, ketamin, pelumpuh otot rocuronium serta agen volatil.
Peralatan yang dipersiapkan untuk teknik SAB antara lain jarum spinal spinocain 27G, Lokal
anestesi Bupivacaine hiperbarik 0,5%, dan set steril.

Pasien diposisikan duduk dan diatur senyaman mungkin dengan punggung


membungkuk serta dibantu dengan asisten untuk menjaga posisi pasien agar tidak bergerak.
Puncture jarum epidural di lumbal 3-4 dengan target organ ovarium setinggi vertebra
thorakal 10. Setelah cairan serebrospinal keluar dari jarum spinal sebagai penanda
masuknya jarum spinal di ruang subarakhnoid, agen anestesi lokal Bupivacaine 0,5 %
hiperbarik 10mg dimasukkan ke ruang subarakhnoid. Kemudian pasien segera diposisikan
supine. Dilakukan tes pin prick 5 menit kemudian, blockade sensorik dicapai hingga prosesus
xypoideus atau setinggi T6. Kemudian dipersilahkan operator untuk memulai insisi.

5
Pasien juga nampak cemas sehingga kita berikan tambahan sedasi midazolam 3 mg
intravena. Selama operasi, hemodinamik stabil dengan tekanan darah sistol antara 95-120
mmHg dan tekanan darah diastol antara 65-70 mmHg, nadi 70-85 kali/ menit, respirasi 14-
20 kali/ menit dengan saturasi oksigen 100%. Operasi berlangsung selama 40 menit dengan
jumlah perdarahan 50 cc dan urin output 0,8 cc/ kg BB/ jam. Pasien kemudian dilakukan
pengawasan sesudah operasi di ruang pemulihan dengan pemantauan tanda vital, kondisi
umum serta skala nyeri pasien.

Pemantauan dilakukan selama 50 menit dan didapatkan hemodinamik pasien stabil


dengan tekanan darah sistol antara 100-120 mmHg, tekanan darah diastol antara 60-75
mmHg, nadi antara 75-85 kali/ menit dengan saturasi oksigen 100%. Pasien mencapai
bromage score 0 sekitar 50 menit sesudah di ruang pemulihan serta ditandai dengan pasien
dapat melipat lutut dan jari. Penilaian nyeri pasien dengan menggunakan VAS (visual
analogue scale) dan didapatkan VAS berkisar 1-2 dengan Aldrete Score pasien 10 kemudian
pasien dipulangkan ke bangsal perawatan.

PEMBAHASAN

Angka kejadian ibu hamil yang membutuhkan operasi non obstetrik selama periode
kehamilan relatif jarang, diperkirakan terjadi 1-2 % dari seluruh kehamilan. Angka kejadian
mungkin lebih tinggi dari yang dilaporkan karena keadaan ini sering ditemukan sebelum
kehamilan diketahui. Kira-kira 42% kasus ini terjadi pada trimester pertama kehamilan, 35%
selama trimester kedua dan 23% selama trimester ketiga kehamilan. Obat-obat anestesi
yang digunakan pada operasi non obstetrik selama periode kehamilan dapat berpengaruh
terhadap kehamilannya (Taslim, 2013).

Perubahan Fisiologis Saat Kehamilan

Anestesi pada wanita hamil harus mempertimbangkan perubahan fisiologi yang


terjadi. Pada sistem respirasi terjadi perubahan pembesaran kapiler dari membran mukosa
traktus respiratorius, peningkatan ventilasi semenit yang disebabkan peningkatan volume
tidal serta sedikitnya peningkatan frekuensi nafas, penurunan end tidal CO2, penurunan FRC
(fungtional residual capacity) serta peningkatan kebutuhan oksigen. Pada sistem

6
kardiovaskuler terjadi peningkatan curah jantung, peningkatan volume plasma serta terjadi
kompresi aortocava dari uterus gravid sedangkan pada sistem gastrointestinal terjadi
peningkatan volum serta keasaman lambung disebabkan penurunan motilitas gaster dan
penurunan tekanan sfingter gastroesofageal distal. Sistem saraf pusat wanita hamil terjadi
penurunan kebutuhan obat anestesi baik anestesi umum, spinal maupun epidural (Datta,
2010; Morgan, 2013; Miller, 2015).

Resiko Teratogenisitas Agen Anestesi Terhadap Fetus

Obat sedatif dan hipnotik seperti barbiturat telah dipakai sejak lama untuk induksi
pada manusia serta aman digunakan pada wanita hamil. Benzodiazepin tidak teratogenik
dan aman digunakan dosis tunggal namun karena terdapat peningkatan resiko cleft palate
maka penggunaan reguler terutama trimester I sebaiknya dihindari. Berdasarkan beberapa
penelitian mengenai teratogenisitas pemberian narkotik (morfin, meperidin, pentazosin,
hidromorfon) pada hamster yang hamil pada saat perkembangan sistem saraf pusat bayi
menunjukkan adanya anomali fetus sedangkan pada penggunaan pelemas otot tidak ada
bukti adanya efek buruk pada perkembangan fetus. Tidak ada bukti adanya efek teratogenik
pada tikus hamil setelah pemberian anestesi lokal seperti benzocain, procain, tetracain dan
lidokain. Sebaliknya, penggunaan kokain dihubungkan dengan kelainan kongenital fetus
pada hewan dan manusia karena terjadi vasokonstriksi serta hipoksia jaringan fetus
(Chestnut, 2008; Taslim, 2013).

Agen anestesi inhalasi seperti halotan, enfluran dan isofluran pada MAC (minimum
alveolar concentration) yang fisiologis tidak menyebabkan teratogenik. Sampai saat ini
belum ada bukti bahwa obat-obat anestesi (obat premedikasi, induksi intravena, inhalasi
dan anestesi lokal) mempunyai efek teratogenik pada manusia, tetapi kontak fetus dengan
obat anestesi harus dikurangi terutama selama trimester I. Hubungan penggunaan N2O
dengan teratogenisitas masih belum jelas sampai saat ini. Pada manusia, kontak singkat
dengan N2O selama trimester kedua tidak menimbulkan efek buruk. Pemberiaan N2O
dengan konsentrasi lebih dari 50% dapat menimbulkan gangguan pertumbuhan dan
perkembangan tulang fetus. Hal ini dapat dicegah dengan cara menghindari paparan lama
N2O, penggunaan konsentrasi inhalasi kurang dari 50% serta penggunaan kombinasi dengan
halogen yang poten (Taslim, 2013).

7
Teratogenisitas N2O merupakan hasil dari oksidasi vitamin B12 sehingga tidak bisa
berfungsi sebagai koenzim untuk sintesis metionin. Transmetil dari metiltetrahidrofolat
menjadi homosistein memproduksi tetrahidrofolat (THF) dan metionin dikatalisa oleh
metionin sintetase. Penghambat metionin sintetase dapat menurunkan THF sehingga
sintesis DNA menurun dan menurunkan level metionin. N2O secara cepat menyebabkan
metionin sintetase inaktif. Maternal yang terpapar N2O dalam jangka waktu lama akan
menimbulkan gejala neurologi dan hematologi dan bisa menyebabkan penurunan sintesis
DNA. Gejala hematologi dapat dicegah dengan pemberian asam folat saat penggunaan N2O
dengan tujuan memelihara sintesis DNA (Braveman, 2006; Chestnut et all, 2009).

Resiko potensial terhadap fetus akibat anestesi dan prosedur operasi selama
kehamilan meliputi abnormalitas kongenital, abortus spontan, kematian fetus intrauteri
serta persalinan preterm. Kejadian perioperatif yang menyebabkan hipotensi atau

8
hipoksemia berat pada ibu dapat menimbulkan resiko besar pada fetus. Gangguan
metabolisme karbohidrat dan hipertermi juga berefek teratogenik. Obat-obat anestesi
dapat mempengaruhi sinyal intra/ interseluler dan berefek terhadap sintesis DNA serta
pembelahan sel sehingga terjadi keterlambatan pertumbuhan sel. Teratogenisitas obat
anestesi yang diberikan tergantung pada spesies dan waktu fetus terpapar obat karena
masing-masing organ memiliki periode kritis terhadap kerentanan ketika organ terpapar
efek teratogen (Braveman, 2006; Chestnut et all, 2009).

Penelitian yang dilakukan terhadap sejumlah besar ibu hamil yang menjalani
prosedur bedah non obstetrik menunjukkan tidak terdapat peningkatan abnormalitas,
tetapi terdapat peningkatan abortus, restriksi pertumbuhan dan berat badan lahir rendah.
Hal ini menyimpulkan bahwa penyakit primer serta prosedur operasi lebih berpengaruh
dibandingkan paparan obat anestesi. Kejadian ini lebih tinggi pada operasi abdomen bagian
bawah, pelvis dan servik uteri. Obat tokolitik untuk terapi atau profilaksis sering digunakan
untuk mencegah kelahiran prematur (Chestnut, 2008; Taslim, 2013).

Pemberian hipnotik, anestesi lokal, anestesi volatil, opioid, obat induksi, relaksan
otot serta sedatif tidak menimbulkan efek merugikan terhadap embrio atau perkembangan
fetus jika diberikan pada konsentrasi klinis dan dengan mempertahankan fisiologi maternal.
Pengaruh kontak akut obat anestesi terhadap ibu hamil menunjukkan kenaikan kejadian
abortus, tetapi tidak ada efek teratogenik pada fetus. Pada beberapa penelitian
menunjukkan bahwa terdapat peningkatan kejadian abortus spontan pada wanita hamil
trimester I dan II yang mengalami operasi serta tidak ada perbedaan nyata terhadap
kejadian abortus antara anestesi umum dan regional. Pengaruh kontak kronis obat anestesi
terhadap fetus seperti pada perawat kamar operasi, dokter anestesi dan dokter bedah
menunjukkan peningkatan kejadian anomali kongenital dan abortus spontan pada beberapa
penelitian (Chestnut, 2008; Taslim, 2013).

Pemeliharaan Fetal Well Being

Oksigenasi Maternal dan Fetus

Penurunan PaO2 maternal dapat ditoleransi fetus karena konsentrasi hemoglobin


fetus tinggi dan afinitas oksigennya tinggi. Hipoksemia berat pada maternal menyebabkan

9
hipoksia fetus dan jika terjadi terus menerus bisa menyebabkan kematian fetus. Hal yang
bisa menyebabkan hipoksemia maternal antara lain kesulitan intubasi, intubasi esofagus,
aspirasi pneumonia, blok regional tinggi serta toksisitas anestesi lokal sistemik. Kondisi
hiperoksia dapat menyebabkan vasokonstriksi uteroplasenta sehingga menyebabkan
gangguan penghantaran oksigen fetus (Chestnut, 2008; Datta, 2010).

Status Karbondioksida dan Asam Basa

Hiperkapnea maternal bisa menyebabkan asidosis fetus karena PaCO2 fetus


berhubungan dengan PaCO2 maternal. Asidosis berat fetus bisa menyebabkan depresi
miokardium dan hipotensi. Hiperventilasi maternal dengan PaCO2 rendah serta pH tinggi
dapat mengganggu oksigenasi fetus. Alkalosis respiratorik atau metabolik bisa menghambat
transfer oksigen maternal ke fetus karena terjadi vasokokonstriksi arteri umbilicalis dan
terjadi pergeseran kurvadisosiasi oksihemoglobin maternal ke kiri. Hiperventilasi dengan
tekanan positif menyebabkan terjadinya perubahan PaCO2 yang dapat menurunkan aliran
darah uterus serta menyebabkan asidosis fetus. Adanya peningkatan tekanan intrathorak
akan menurunkan venous return dan cardiac output sehingga dapat menurunkan perfusi
uteroplasenta. Hiperventilasi harus dihindari pada anestesi umum dan tetap menjaga nilai
PaCO2 dalam batas normal selama kehamilan (Chestnut, 2008; Datta, 2010).

Aliran Darah Uteroplasenta

UPBF (uteroplasenta blood flow) dirumuskan sebagai berikut :

Semua keadaan yang menurunkan tekanan darah rata-rata ibu atau meningkatkan resistensi
vaskuler uterus akan menurunkan UPBF serta menurunkan umbilical blood flow (UmBF).
UBF normalnya 2% dari curah jantung sedang dalam kehamilan dapat meningkat sampai
20%. UBF biasanya diukur dengan dopler dimana velositas darah pada puncak sisitolik dibagi
rasio SD (sistolik diastolik), hasilnya disebut indeks resistensi dan nilai normalnya 0,58. Bila
indeks resistensi > 3 menunjukkan gangguan perfusi. Pembuluh plasenta berdilatasi secara

10
maksimal sehingga aliran darah plasenta sangat tergantung pada tekanan perfusi (Mursin,
2013).

Sirkulasi uteroplasenta langsung terlibat dengan pertukaran gas respirasi pada


neonatus. Oksigen fetus tergantung pada kadar oksigen dalam vena uterina dan aliran darah
pembuluh umbilikal. Pertukaran CO2 tergantung UBF. Asidosis respiratori akut dapat
disebabkan akumulasi CO2 karena penurunan UBF atau UmBF. Penurunan tekanan arteri
rata-rata ibu akan menurunkan UBF dan akhirnya UPBF juga menurun. Faktor yang dapat
menurunkan UBF antara lain kompresi aortocaval oleh uterus gravid yang besar (posisi
supine), blokade simpatis pada anestesi regional serta hipovolemi karena perdarahan hebat
(Mursin, 2013).

Akibat hipotensi sistemik ibu, tekanan perfusi melalui ruang intervili menurun yaitu
bila tekanan darah sistolik < 100 mmHg atau turun 30 mmHg dari tekanan darah sistolik
semula. Tingkatan dan lamanya hipotensi yang dapat menyebabkan fetal distres sangat

11
bervariasi. Fetal bradikardi dapat terjadi bila tekanan darah ibu < 70 mmHg dan gambaran
denyut jantung fetal yang abnormal sehingga bisa menyebabkan fetal asidosis. Setiap teknik
anestesi atau komplikasi obstetri yang menyebabkan penurunan tekanan darah rata-rata
ibu dapat merugikan fetus, misalnya perdarahan ibu (plasenta previa), hipovolemia atau
dehidrasi, gagal jantung kiri, obat anestesi umum, terapi vasodilatasi pasien preeklampsia
tanpa hidrasi yang adekuat sebelumnya serta blokade simpatis akibat anestesi spinal atau
epidural (Mursin, 2013).

Manajemen Anestesi dan Rekomendasi

Operasi elektif sebaiknya diundur sampai 6 minggu setelah ibu melahirkan supaya
perubahan fisiologi karena kehamilan kembali normal. Pada kasus semielektif, operasi
paling baik diundur sampai melewati trimester I. Pada kasus emergensi, pilihan anestesi
tergantung lokasi dan luasnya operasi. Bila memungkinkan, disarankan menggunakan
anestesi regional seperti blok saraf tepi, spinal, caudal serta epidural tetapi bila diperlukan
dapat menggunakan anestesi umum. Premedikasi dapat menggunakan antasida serta
dianjurkan RSI. Anestesi dapat dipelihara dengan N2O/ O2 dan halogen. Analgetik opioid
seperti morfin, fentanil, sufentanil atau alfentanil dapat digunakan. Hiperventilasi harus

12
dihindari karena dapat mengurangi perfusi uteroplasenta dan kurva disosiasi hemoglobin
ibu bergeser ke kiri (Taslim, 2013).

Jika teknik anestesi regional digunakan untuk operasi non obstetrik pada ibu hamil
maka pemeliharaan tekanan darah dalam batas normal mutlak diperlukan serta dianjurkan
pemberian suplementasi oksigen. Pemantauan rutin tekanan darah, rekam jantung, saturasi
oksigen, kapnogram serta suhu diperlukan baik dengan anestesi umum maupun anestesi
regional. Pamantauan denyut jantung janin juga diperlukan mulaikehamilan 16 minggu.
Tujuan yang harus dicapai oleh ahli anestesi pada prosedur operasi non obstetrik pada ibu
hamil antara lain mempertahankan fungsi fisiologis normal maternal, mempertahankan
aliran darah uteroplasenta serta pengangkutan oksigen, menghindari efek obat yang tidak
diinginkan pada fetus (teratogenik), menghindari stimulasi miometrium (efek oksitosik),
serta jika memungkinkan menggunakan anestesi regional. Keamanan ibu dan tersedianya
sirkulasi uteroplasenta yang adekuat merupakan tujuan utama (Taslim, 2013).

Anestesi regional dapat mencegah resiko potensial kegagalan intubasi dan aspirasi
serta mengurangi terpaparnya fetus dengan teratogen namun terdapat resiko komplikasi
hipotensi. Selama prosedur anestesi dan operasi, fetal well-being dapat dipertahankan
melalui pemeliharaan stabilitas parameter hemodinamik dan oksigenasi maternal serta
dilakukan pemantauan ketat respon fetus terhadap tanda distres respirasi. Pada penilaian
preoperatif, premedikasi untuk menghilangkan ansietas dapat dipertimbangkan, namun
penggunaan diazepam sebaiknya dihindari pada trimester I. Profilaksis terhadap aspirasi
pneumonia dengan antagonis reseptor H2, metoklopramid dan antasida nonpartikuler
sebaiknya diberikan dari 16 minggu gestasi (Taslim, 2013).

Posisi terbaik adalah miring 15° ke kiri untuk memfasilitasi perpindahan uterus.
Perubahan posisi ibu berpengaruh besar terhadap hemodinamik. Posisi trendelenburg atau
reverse trendelenburg selama anestesi dilakukan secara lambat dan hati-hati. Induksi rapid
sequence intravena pada anestesi umum sebaiknya didahului oleh denitrogenasi dengan
oksigen 100% selama 5 menit dan penekanan krikoid yang efektif. Walaupun dianjurkan
intubasi endotrakeal, namun pada kasus kegagalan intubasi dapat digunakan laringeal mask
airway (LMA) dengan aman. Anestesi umum biasanya dipertahankan dengan anestesi volatil

13
(N2O/ O2 atau udara/ oksigen). Ventilasi tekanan positif digunakan hati-hati dan kadar end
tidal karbondioksida dipertahankan dalam batas normal kehamilan (Taslim, 2013).

American College of Obstetricans and Gynecologist Committee on Obstetric Practice


dan American Society of Anesthesiologist Committee on Obstetric Anesthesia memberikan
konsensus untuk operasi non obstetrik pada ibu hamil antara lain tidak menggunakan obat
anestesi yang terbukti teratogenik pada manusia jika diberikan pada konsentrasi standar
serta monitoring denyut jantung fetus dapat membantu manajemen kardiorespirasi dan
posisi ibu serta pengambilan keputusan untuk mengeluarkan fetus. Keberhasilan
manajemen anestesi pada operasi non obstetrik selama kehamilan tergantung kerjasama
multidisiplin, penilaian preoperatif yang komprehensif, perhatian terhadap fisiologi
maternal dan fetus serta perawatan suportif sesudah operasi. Mempertahankan stabiltas
maternal, waktu optimal melakukan tindakan dan pemilihan obat serta teknik anestesi yang
tepat merupakan hal yang sangat penting diperhatikan untuk keamanan ibu dan fetus. Saat
di ruang pemulihan, denyut jantung janin dan aktivitas uterus harus dimonitor. Analgesia
yang adekuat juga harus diberikan seperti penggunaan teknik CSE dengan
mempertimbangkan pemberian analgesia epidural untuk analgesia sesudah operasi serta
menyarankan mobilisasi seawal mungkin untuk menghindari komplikasi tromboemboli
(Pian-Smith et all, 2007; Taslim, 2013).

14
KESIMPULAN

Operasi non obstetrik pada ibu hamil jika bersifat elektif sebaiknya diundur sampai 6
minggu setelah ibu melahirkan supaya perubahan fisiologi karena kehamilan kembali
normal. Pada kasus semielektif, operasi paling baik diundur sampai melewati trimester I.
Pada kasus emergensi, pilihan anestesi tergantung lokasi dan luasnya operasi. Bila
memungkinkan, disarankan menggunakan anestesi regional seperti blok saraf tepi, spinal,
caudal serta epidural tetapi bila diperlukan dapat menggunakan anestesi umum (Taslim,
2013).

Jika teknik anestesi regional digunakan untuk operasi non obstetrik pada ibu hamil
maka pemeliharaan tekanan darah dalam batas normal mutlak diperlukan serta dianjurkan
pemberian oksigen dengan face mask. Pemantauan rutin tekanan darah, rekam jantung,
saturasi oksigen, kapnogram serta suhu diperlukan baik dengan anestesi umum maupun
anestesi regional. Pamantauan denyut jantung janin juga diperlukan mulai kehamilan 16
minggu (Taslim, 2013).

Tujuan yang harus dicapai oleh ahli anestesi pada prosedur operasi non obstetrik
pada ibu hamil antara lain mempertahankan fungsi fisiologis normal maternal,
mempertahankan aliran darah uteroplasenta serta pengangkutan oksigen, menghindari efek
obat yang tidak diinginkan pada fetus, menghindari stimulasi miometrium (efek oksitosik),
menghindari sadar selama anestesi umum serta jika memungkinkan menggunakan anestesi
regional. Keamanan ibu dan tersedianya sirkulasi uteroplasenta yang adekuat merupakan
tujuan utama (Taslim, 2013).

SAB memiliki onset lebih cepat dibandingkan teknik epidural, memberikan analgesia
90% lebih baik, blok motorik yang optimal dibandingkan anestesi epidural serta
menurunkan kejadian terpaparnya maternal dan fetus dari obat anestesi. Teknik ini lebih
adekuat anestesi dan analgesianya dibandingkan dengan penggunaan teknik epidural
dengan resiko minimal perubahan teknik anestesi ke anestesi umum selama operasi.
Hemodinamik cenderung stabil dengan teknik CSE, sedikit efek samping serta pemulihan
yang cepat sesudah operasi (Russell, 2000).

15
DAFTAR PUSTAKA

Braveman, F, 2006, Anesthesia For Non Obstetric Surgery During Pregnancy. Obstetric And
Gynecologic Anesthesia The Requisites In Anesthesiology, Library of Congress
Cataloging in Publication Data; p. 18-24

Chestnut, D, 2008, Nonobstetric Surgery During Pregnancy. Obstetric Anesthesia: Principles


and Practice, 3rd edition, Elsevier Inc; p. 255-268

Chestnut, D, Polley, L, Tsen, L, Wong, C, 2009, Non Obstetric Surgery During Pregnancy.
Chestnut’s Obstetric Anesthesia Principles and Practice Expert, Fourth Edition, Library
of Congress Cataloging in Publication Data; p. 337-358

Datta, S, Shankar, B, Segal, S, 2010, Anesthesia For Non Obstetric Surgery. Obstetric
Anesthesia Handbook Fifth Edition, Springer Science and Business Media; p. 369-386

Miller, R, 2015, Anesthesia For Obstetrics. Miller’s Anesthesia 8th Edition, Library of
Congress Cataloging in Publication Data; p. 2704-2740
Morgan, Mikhail, 2013, Obstetric Anesthesia . Clinical Anesthesiology 5th Edition, Library of
Congress Cataloging in Publication Data; p.843-876

Mulroy, M, Bernards, C, McDonald, S, Salinas, F, 2009, Epidural Anesthesia. Regional


Anesthesia Fourth Edition, Lippincott Williams and Wilkins Philadelphia USA; p. 103-
130

Mursin, C, Marwoto, 2013, Aliran Darah Uteroplasenta. Anestesi Obstetri, Perhimpunan


Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif Indonesia; p. 41-55
Pian-Smith, M, Leffert, L, 2007, Anesthesia For Non-Obstetric Surgery In The Pregnant
Patient. Obstetric Anesthesia Pocket Clinician, Library of Congress Cataloging in
Publication Data; p. 45-51

Russell, R, 2000, Regional Analgesia and Anaesthesia. Fundamentals of Anaesthesia and


Acut Medicine Anaesthesia For Obstetrics and Gynaecology, British Library
Cataloguing In Publication Data; p. 109-177

16
Taslim, E, Mursin, C, 2013, Anestesi Untuk Operasi Lain Selama Kehamilan. Anestesi
Obstetri, Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif Indonesia;
hal.355-368

17

Anda mungkin juga menyukai