Kata kunci: hamil, torsio kista, operasi laparotomy salpingo oovarektomy, anestesi SAB
1
ABSTRACT
Had been reported a case of anesthesia management for a 34 years old female
patient which has been diagnosed by an obstetrican with G2P1A0, pregnant 14 weeks and
had a ovarian cyst torsion then had been planned laparotomy salpingo oovarectomy
emergency surgery. We assessed physic status patient as ASA (American Society of
Anesthesia) 2 with gravid. Patient had been planned laparotomy salpingo oovarectomy
emergency surgery with regional anesthesia SAB (Sub Arachnoid Block). Hemodynamic
before surgery had been stable with the blood pressure 110/ 60 mmHg, heart rate 84 times
per minutes, respiration 20 times per minutes and saturation 99%. Surgery lasted for 45
minutes. Hemodynamic monitoring along surgery tend stable, sistolic blood pressure ranged
110-120 mmHg, diastolic blood pressure ranged 65-70 mmHg, heart rate 70-85 times per
minutes, respiration ranged 14-20 times per minutes and saturation 100%. After surgery had
been finished, patient come back to the obsgin room.
2
LAPORAN KASUS
PENDAHULUAN
Laporan kasus ini membahas tentang manajemen anestesi terhadap pasien hamil 14
minggu dengan kistoma ovari suspek ganas yang menjalani operasi kistektomi dan frozen
section dengan teknik anestesi regional SAB. Teknik anestesi regional SAB merupakan hal
menarik yang dibahas karena teknik ini bisa menjaga keamanan ibu dan tersedianya sirkulasi
uteroplasenta yang adekuat dengan manajemen perioperatif yang baik. Kasus ini akan
menjelaskan kelebihan dan kekurangan teknik SAB dibandingkan dengan penggunaan teknik
anestesi lainnya jika dilakukan pada wanita hamil dengan operasi non obstetrik.
3
LAPORAN KASUS
Pasien wanita berusia 34 tahun datang ke IGD dengan keluhan tuama nyeri perut
kanan bawah menjalar ke paha kanan dengan keterangan G2P1A0, hamil 14 minggu. Pasien
tidak mengeluhkan perdarahan pervagina serta kenceng-kenceng. Riwayat obstetri pasien
yaitu kehamilan pertama 3 tahun yang lalu melahirkan secara spontan bayi laki-laki dengan
berat bayi lahir 2800 gram. Pasien diketahui memiliki kista ovari berdasarkan pemeriksaan
fisik dan penunjang USG yang telah dilakukan kemudian pasien disarankan untuk mondok
serta direncanakan tindakan laparotomy salpingo oovarectomy emergensi. Pasien
dikonsulkan ke bagian anestesi untuk dilakukan tindakan pembedahan. Riwayat penyakit
dahulu seperti asma, alergi obat-obatan dan makanan, hipertensi, diabetes, kejang serta
sakit jantung disangkal oleh pasien dan keluarga pasien.
Saat di bangsal, pasien dilakukan pemeriksaan fisik “head to toe”. Pada pemeriksaan
tanda vital tidak ditemukan kelainan, tekanan darah 110/ 60mmHg, nadi 76 kali/ menit,
respirasi 20 kali/ menit, suhu tubuh 36,8°C. Pada pemeriksaan kepala dan leher tidak
ditemukan kelainan, pemeriksaan airway malampati 2 dengan jarak tiromental > 6,5 cm dan
tidak ditemukan peningkatan vena juguler. Pada pemeriksaan thorak dan jantung
ditemukan bentuk dinding dada normal, tidak ada retraksi dan ketinggalan gerak, suara
jantung reguler dan tidak ditemukan suara jantung tambahan. Pada pemeriksaan paru
ditemukan suara nafas vesikuler di kedua lapang paru dan tidak ditemukan suara nafas
tambahan.
Pada pemeriksaan abdomen didapatkan perabaan supel, tinggi fundus uteri 1 jari
bawah pusat. Auskultasi abdomen ditemukan bising usus normal dengan motilitas 12 kali/
menit. Pada pemeriksaan ekstremitas atas dan bawah tidak ditemukan kelainan.
Pemeriksaan penunjang laboratorium ditemukan anemia ringan dengan hb 10,8 gr/ dl dan
hematokrit 31,6 %. Hasil laboratorium lainnya dalam batas normal. Pemeriksaan USG
didapatkan janin tunggal intrauteri, denyut jantung janin (+), gerak (-), plasenta di corpus
anterior grade I, taksiran berat fetus 213,86 gram serta tampak massa di adneksa kanan dan
multilokuler dengan diameter 10,8 cm.
Pasien dinilai status fisik menurut American Society of Anesthesiology yaitu ASA 2
dengan gravid. Persiapan operasi sesuai standar operasi di RSUD Murangan Yogyakarta
4
antara lain persetujuan tindakan pembiusan mencakup teknik anestesi yang akan dilakukan
serta komplikasi yang akan terjadi pada ibu dan janinnya kepada pasien dan keluarga pasien
serta tanda tangan pasien atau keluarga pasien beserta saksi, pasien makan minum terakhir
pukul 20.00 malam sebelumnya, pemasangan jalur intravena dengan abocath nomer 18
Gauge dan infus set makro dengan cairan infus RL (ringer laktat) 500 cc jalan 20 tetes per
menit serta permintaan darah sesuai teman sejawat obsgin.
PELAKSANAAN PERIOPERATIF
Sebelum pasien diantar ke kamar operasi, pasien sudah dipastikan terpasang jalur
intravena di tangan kiri dengan abocath nomer 18 Gauge dan cairan infus RL 20 tetes per
menit. Hemodinamik pasien sebelum diantar ke kamar operasi stabil dengan tekanan darah
100/ 60 mmHg, nadi 94 kali/ menit, respirasi 20 kali/ menit, suhu tubuh 37,0°C dengan
berat badan 53 kilogram. Di ruang operasi, peralatan dan obat anestesia yang dibutuhkan
dipersiapkan seperti pengecekan mesin anestesia, persiapan peralatan dan obat anestesi
umum serta peralatan dan obat untuk teknik SAB.
Persiapan peralatan dan obat anestesi umum antara seperti STATICS (stetoskop,
laringoskop machintos nomer 2 dan 3, ETT/ endotracheal tube nomer 7 dan 7,5 serta
oropharingeal airway nomer 2 dan 3, plester untuk fiksasi ETT, stilet/ Introducer, konektor,
selang suction dan spuit cuff. Obat anestesi umum yang dipersiapkan antara lain seperti
midazolam, fentanil, propofol, ketamin, pelumpuh otot rocuronium serta agen volatil.
Peralatan yang dipersiapkan untuk teknik SAB antara lain jarum spinal spinocain 27G, Lokal
anestesi Bupivacaine hiperbarik 0,5%, dan set steril.
5
Pasien juga nampak cemas sehingga kita berikan tambahan sedasi midazolam 3 mg
intravena. Selama operasi, hemodinamik stabil dengan tekanan darah sistol antara 95-120
mmHg dan tekanan darah diastol antara 65-70 mmHg, nadi 70-85 kali/ menit, respirasi 14-
20 kali/ menit dengan saturasi oksigen 100%. Operasi berlangsung selama 40 menit dengan
jumlah perdarahan 50 cc dan urin output 0,8 cc/ kg BB/ jam. Pasien kemudian dilakukan
pengawasan sesudah operasi di ruang pemulihan dengan pemantauan tanda vital, kondisi
umum serta skala nyeri pasien.
PEMBAHASAN
Angka kejadian ibu hamil yang membutuhkan operasi non obstetrik selama periode
kehamilan relatif jarang, diperkirakan terjadi 1-2 % dari seluruh kehamilan. Angka kejadian
mungkin lebih tinggi dari yang dilaporkan karena keadaan ini sering ditemukan sebelum
kehamilan diketahui. Kira-kira 42% kasus ini terjadi pada trimester pertama kehamilan, 35%
selama trimester kedua dan 23% selama trimester ketiga kehamilan. Obat-obat anestesi
yang digunakan pada operasi non obstetrik selama periode kehamilan dapat berpengaruh
terhadap kehamilannya (Taslim, 2013).
6
kardiovaskuler terjadi peningkatan curah jantung, peningkatan volume plasma serta terjadi
kompresi aortocava dari uterus gravid sedangkan pada sistem gastrointestinal terjadi
peningkatan volum serta keasaman lambung disebabkan penurunan motilitas gaster dan
penurunan tekanan sfingter gastroesofageal distal. Sistem saraf pusat wanita hamil terjadi
penurunan kebutuhan obat anestesi baik anestesi umum, spinal maupun epidural (Datta,
2010; Morgan, 2013; Miller, 2015).
Obat sedatif dan hipnotik seperti barbiturat telah dipakai sejak lama untuk induksi
pada manusia serta aman digunakan pada wanita hamil. Benzodiazepin tidak teratogenik
dan aman digunakan dosis tunggal namun karena terdapat peningkatan resiko cleft palate
maka penggunaan reguler terutama trimester I sebaiknya dihindari. Berdasarkan beberapa
penelitian mengenai teratogenisitas pemberian narkotik (morfin, meperidin, pentazosin,
hidromorfon) pada hamster yang hamil pada saat perkembangan sistem saraf pusat bayi
menunjukkan adanya anomali fetus sedangkan pada penggunaan pelemas otot tidak ada
bukti adanya efek buruk pada perkembangan fetus. Tidak ada bukti adanya efek teratogenik
pada tikus hamil setelah pemberian anestesi lokal seperti benzocain, procain, tetracain dan
lidokain. Sebaliknya, penggunaan kokain dihubungkan dengan kelainan kongenital fetus
pada hewan dan manusia karena terjadi vasokonstriksi serta hipoksia jaringan fetus
(Chestnut, 2008; Taslim, 2013).
Agen anestesi inhalasi seperti halotan, enfluran dan isofluran pada MAC (minimum
alveolar concentration) yang fisiologis tidak menyebabkan teratogenik. Sampai saat ini
belum ada bukti bahwa obat-obat anestesi (obat premedikasi, induksi intravena, inhalasi
dan anestesi lokal) mempunyai efek teratogenik pada manusia, tetapi kontak fetus dengan
obat anestesi harus dikurangi terutama selama trimester I. Hubungan penggunaan N2O
dengan teratogenisitas masih belum jelas sampai saat ini. Pada manusia, kontak singkat
dengan N2O selama trimester kedua tidak menimbulkan efek buruk. Pemberiaan N2O
dengan konsentrasi lebih dari 50% dapat menimbulkan gangguan pertumbuhan dan
perkembangan tulang fetus. Hal ini dapat dicegah dengan cara menghindari paparan lama
N2O, penggunaan konsentrasi inhalasi kurang dari 50% serta penggunaan kombinasi dengan
halogen yang poten (Taslim, 2013).
7
Teratogenisitas N2O merupakan hasil dari oksidasi vitamin B12 sehingga tidak bisa
berfungsi sebagai koenzim untuk sintesis metionin. Transmetil dari metiltetrahidrofolat
menjadi homosistein memproduksi tetrahidrofolat (THF) dan metionin dikatalisa oleh
metionin sintetase. Penghambat metionin sintetase dapat menurunkan THF sehingga
sintesis DNA menurun dan menurunkan level metionin. N2O secara cepat menyebabkan
metionin sintetase inaktif. Maternal yang terpapar N2O dalam jangka waktu lama akan
menimbulkan gejala neurologi dan hematologi dan bisa menyebabkan penurunan sintesis
DNA. Gejala hematologi dapat dicegah dengan pemberian asam folat saat penggunaan N2O
dengan tujuan memelihara sintesis DNA (Braveman, 2006; Chestnut et all, 2009).
Resiko potensial terhadap fetus akibat anestesi dan prosedur operasi selama
kehamilan meliputi abnormalitas kongenital, abortus spontan, kematian fetus intrauteri
serta persalinan preterm. Kejadian perioperatif yang menyebabkan hipotensi atau
8
hipoksemia berat pada ibu dapat menimbulkan resiko besar pada fetus. Gangguan
metabolisme karbohidrat dan hipertermi juga berefek teratogenik. Obat-obat anestesi
dapat mempengaruhi sinyal intra/ interseluler dan berefek terhadap sintesis DNA serta
pembelahan sel sehingga terjadi keterlambatan pertumbuhan sel. Teratogenisitas obat
anestesi yang diberikan tergantung pada spesies dan waktu fetus terpapar obat karena
masing-masing organ memiliki periode kritis terhadap kerentanan ketika organ terpapar
efek teratogen (Braveman, 2006; Chestnut et all, 2009).
Penelitian yang dilakukan terhadap sejumlah besar ibu hamil yang menjalani
prosedur bedah non obstetrik menunjukkan tidak terdapat peningkatan abnormalitas,
tetapi terdapat peningkatan abortus, restriksi pertumbuhan dan berat badan lahir rendah.
Hal ini menyimpulkan bahwa penyakit primer serta prosedur operasi lebih berpengaruh
dibandingkan paparan obat anestesi. Kejadian ini lebih tinggi pada operasi abdomen bagian
bawah, pelvis dan servik uteri. Obat tokolitik untuk terapi atau profilaksis sering digunakan
untuk mencegah kelahiran prematur (Chestnut, 2008; Taslim, 2013).
Pemberian hipnotik, anestesi lokal, anestesi volatil, opioid, obat induksi, relaksan
otot serta sedatif tidak menimbulkan efek merugikan terhadap embrio atau perkembangan
fetus jika diberikan pada konsentrasi klinis dan dengan mempertahankan fisiologi maternal.
Pengaruh kontak akut obat anestesi terhadap ibu hamil menunjukkan kenaikan kejadian
abortus, tetapi tidak ada efek teratogenik pada fetus. Pada beberapa penelitian
menunjukkan bahwa terdapat peningkatan kejadian abortus spontan pada wanita hamil
trimester I dan II yang mengalami operasi serta tidak ada perbedaan nyata terhadap
kejadian abortus antara anestesi umum dan regional. Pengaruh kontak kronis obat anestesi
terhadap fetus seperti pada perawat kamar operasi, dokter anestesi dan dokter bedah
menunjukkan peningkatan kejadian anomali kongenital dan abortus spontan pada beberapa
penelitian (Chestnut, 2008; Taslim, 2013).
9
hipoksia fetus dan jika terjadi terus menerus bisa menyebabkan kematian fetus. Hal yang
bisa menyebabkan hipoksemia maternal antara lain kesulitan intubasi, intubasi esofagus,
aspirasi pneumonia, blok regional tinggi serta toksisitas anestesi lokal sistemik. Kondisi
hiperoksia dapat menyebabkan vasokonstriksi uteroplasenta sehingga menyebabkan
gangguan penghantaran oksigen fetus (Chestnut, 2008; Datta, 2010).
Semua keadaan yang menurunkan tekanan darah rata-rata ibu atau meningkatkan resistensi
vaskuler uterus akan menurunkan UPBF serta menurunkan umbilical blood flow (UmBF).
UBF normalnya 2% dari curah jantung sedang dalam kehamilan dapat meningkat sampai
20%. UBF biasanya diukur dengan dopler dimana velositas darah pada puncak sisitolik dibagi
rasio SD (sistolik diastolik), hasilnya disebut indeks resistensi dan nilai normalnya 0,58. Bila
indeks resistensi > 3 menunjukkan gangguan perfusi. Pembuluh plasenta berdilatasi secara
10
maksimal sehingga aliran darah plasenta sangat tergantung pada tekanan perfusi (Mursin,
2013).
Akibat hipotensi sistemik ibu, tekanan perfusi melalui ruang intervili menurun yaitu
bila tekanan darah sistolik < 100 mmHg atau turun 30 mmHg dari tekanan darah sistolik
semula. Tingkatan dan lamanya hipotensi yang dapat menyebabkan fetal distres sangat
11
bervariasi. Fetal bradikardi dapat terjadi bila tekanan darah ibu < 70 mmHg dan gambaran
denyut jantung fetal yang abnormal sehingga bisa menyebabkan fetal asidosis. Setiap teknik
anestesi atau komplikasi obstetri yang menyebabkan penurunan tekanan darah rata-rata
ibu dapat merugikan fetus, misalnya perdarahan ibu (plasenta previa), hipovolemia atau
dehidrasi, gagal jantung kiri, obat anestesi umum, terapi vasodilatasi pasien preeklampsia
tanpa hidrasi yang adekuat sebelumnya serta blokade simpatis akibat anestesi spinal atau
epidural (Mursin, 2013).
Operasi elektif sebaiknya diundur sampai 6 minggu setelah ibu melahirkan supaya
perubahan fisiologi karena kehamilan kembali normal. Pada kasus semielektif, operasi
paling baik diundur sampai melewati trimester I. Pada kasus emergensi, pilihan anestesi
tergantung lokasi dan luasnya operasi. Bila memungkinkan, disarankan menggunakan
anestesi regional seperti blok saraf tepi, spinal, caudal serta epidural tetapi bila diperlukan
dapat menggunakan anestesi umum. Premedikasi dapat menggunakan antasida serta
dianjurkan RSI. Anestesi dapat dipelihara dengan N2O/ O2 dan halogen. Analgetik opioid
seperti morfin, fentanil, sufentanil atau alfentanil dapat digunakan. Hiperventilasi harus
12
dihindari karena dapat mengurangi perfusi uteroplasenta dan kurva disosiasi hemoglobin
ibu bergeser ke kiri (Taslim, 2013).
Jika teknik anestesi regional digunakan untuk operasi non obstetrik pada ibu hamil
maka pemeliharaan tekanan darah dalam batas normal mutlak diperlukan serta dianjurkan
pemberian suplementasi oksigen. Pemantauan rutin tekanan darah, rekam jantung, saturasi
oksigen, kapnogram serta suhu diperlukan baik dengan anestesi umum maupun anestesi
regional. Pamantauan denyut jantung janin juga diperlukan mulaikehamilan 16 minggu.
Tujuan yang harus dicapai oleh ahli anestesi pada prosedur operasi non obstetrik pada ibu
hamil antara lain mempertahankan fungsi fisiologis normal maternal, mempertahankan
aliran darah uteroplasenta serta pengangkutan oksigen, menghindari efek obat yang tidak
diinginkan pada fetus (teratogenik), menghindari stimulasi miometrium (efek oksitosik),
serta jika memungkinkan menggunakan anestesi regional. Keamanan ibu dan tersedianya
sirkulasi uteroplasenta yang adekuat merupakan tujuan utama (Taslim, 2013).
Anestesi regional dapat mencegah resiko potensial kegagalan intubasi dan aspirasi
serta mengurangi terpaparnya fetus dengan teratogen namun terdapat resiko komplikasi
hipotensi. Selama prosedur anestesi dan operasi, fetal well-being dapat dipertahankan
melalui pemeliharaan stabilitas parameter hemodinamik dan oksigenasi maternal serta
dilakukan pemantauan ketat respon fetus terhadap tanda distres respirasi. Pada penilaian
preoperatif, premedikasi untuk menghilangkan ansietas dapat dipertimbangkan, namun
penggunaan diazepam sebaiknya dihindari pada trimester I. Profilaksis terhadap aspirasi
pneumonia dengan antagonis reseptor H2, metoklopramid dan antasida nonpartikuler
sebaiknya diberikan dari 16 minggu gestasi (Taslim, 2013).
Posisi terbaik adalah miring 15° ke kiri untuk memfasilitasi perpindahan uterus.
Perubahan posisi ibu berpengaruh besar terhadap hemodinamik. Posisi trendelenburg atau
reverse trendelenburg selama anestesi dilakukan secara lambat dan hati-hati. Induksi rapid
sequence intravena pada anestesi umum sebaiknya didahului oleh denitrogenasi dengan
oksigen 100% selama 5 menit dan penekanan krikoid yang efektif. Walaupun dianjurkan
intubasi endotrakeal, namun pada kasus kegagalan intubasi dapat digunakan laringeal mask
airway (LMA) dengan aman. Anestesi umum biasanya dipertahankan dengan anestesi volatil
13
(N2O/ O2 atau udara/ oksigen). Ventilasi tekanan positif digunakan hati-hati dan kadar end
tidal karbondioksida dipertahankan dalam batas normal kehamilan (Taslim, 2013).
14
KESIMPULAN
Operasi non obstetrik pada ibu hamil jika bersifat elektif sebaiknya diundur sampai 6
minggu setelah ibu melahirkan supaya perubahan fisiologi karena kehamilan kembali
normal. Pada kasus semielektif, operasi paling baik diundur sampai melewati trimester I.
Pada kasus emergensi, pilihan anestesi tergantung lokasi dan luasnya operasi. Bila
memungkinkan, disarankan menggunakan anestesi regional seperti blok saraf tepi, spinal,
caudal serta epidural tetapi bila diperlukan dapat menggunakan anestesi umum (Taslim,
2013).
Jika teknik anestesi regional digunakan untuk operasi non obstetrik pada ibu hamil
maka pemeliharaan tekanan darah dalam batas normal mutlak diperlukan serta dianjurkan
pemberian oksigen dengan face mask. Pemantauan rutin tekanan darah, rekam jantung,
saturasi oksigen, kapnogram serta suhu diperlukan baik dengan anestesi umum maupun
anestesi regional. Pamantauan denyut jantung janin juga diperlukan mulai kehamilan 16
minggu (Taslim, 2013).
Tujuan yang harus dicapai oleh ahli anestesi pada prosedur operasi non obstetrik
pada ibu hamil antara lain mempertahankan fungsi fisiologis normal maternal,
mempertahankan aliran darah uteroplasenta serta pengangkutan oksigen, menghindari efek
obat yang tidak diinginkan pada fetus, menghindari stimulasi miometrium (efek oksitosik),
menghindari sadar selama anestesi umum serta jika memungkinkan menggunakan anestesi
regional. Keamanan ibu dan tersedianya sirkulasi uteroplasenta yang adekuat merupakan
tujuan utama (Taslim, 2013).
SAB memiliki onset lebih cepat dibandingkan teknik epidural, memberikan analgesia
90% lebih baik, blok motorik yang optimal dibandingkan anestesi epidural serta
menurunkan kejadian terpaparnya maternal dan fetus dari obat anestesi. Teknik ini lebih
adekuat anestesi dan analgesianya dibandingkan dengan penggunaan teknik epidural
dengan resiko minimal perubahan teknik anestesi ke anestesi umum selama operasi.
Hemodinamik cenderung stabil dengan teknik CSE, sedikit efek samping serta pemulihan
yang cepat sesudah operasi (Russell, 2000).
15
DAFTAR PUSTAKA
Braveman, F, 2006, Anesthesia For Non Obstetric Surgery During Pregnancy. Obstetric And
Gynecologic Anesthesia The Requisites In Anesthesiology, Library of Congress
Cataloging in Publication Data; p. 18-24
Chestnut, D, Polley, L, Tsen, L, Wong, C, 2009, Non Obstetric Surgery During Pregnancy.
Chestnut’s Obstetric Anesthesia Principles and Practice Expert, Fourth Edition, Library
of Congress Cataloging in Publication Data; p. 337-358
Datta, S, Shankar, B, Segal, S, 2010, Anesthesia For Non Obstetric Surgery. Obstetric
Anesthesia Handbook Fifth Edition, Springer Science and Business Media; p. 369-386
Miller, R, 2015, Anesthesia For Obstetrics. Miller’s Anesthesia 8th Edition, Library of
Congress Cataloging in Publication Data; p. 2704-2740
Morgan, Mikhail, 2013, Obstetric Anesthesia . Clinical Anesthesiology 5th Edition, Library of
Congress Cataloging in Publication Data; p.843-876
16
Taslim, E, Mursin, C, 2013, Anestesi Untuk Operasi Lain Selama Kehamilan. Anestesi
Obstetri, Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif Indonesia;
hal.355-368
17