Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN KASUS

DOKTER INTERNSIP

Manajemen Anestesi Pada Pasien Atonia Uteri dengan Syok


Hemoragik

Disusun oleh:
Nama : dr. Hitasukha Marakata
Wahana : RSUD Gunawan Mangunkusumo Ambarawa
Tanggal : Juli 2020

Pendamping :
dr. Kemalasari

Dokter Staf Ahli Bagian Anestesiologi


dr. Ferra Mayasari, Sp. An

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH GUNAWAN MANGUNKUSUMO


AMBARAWA
KABUPATEN SEMARANG
2020
2

HALAMAN PENGESAHAN

Nama : dr. Hitasukha Marakata

Judul : Manajemen Anestesi Pada Pasien Atonia Uteri dengan Syok Hemoragik

Topik : Kegawat Daruratan

Ambarawa, Juli 2020

Dokter pembimbing I Dokter pembimbing II

dr. Kemalasari dr. Pratiknyo

Mengetahui,

Dokter Staf Ahli Bagian Anestesiologi

dr. Ferra Mayasari, Sp. An


3

BERITA ACARA PRESENTASI LAPORAN KASUS

Pada tanggal Juli 2020 telah dipresentasikan laporan kasus oleh :

Nama : dr. Hitasukha Marakata

Judul : Manajemen Anestesi PAda PAsien Atonia Uteri dengan Syok


Hemoragik

Topik : Kegawat Daruratan

Wahana : RSUD Gunawan Mangunkusumo Ambarawa


No Nama Tanda Tangan
dr. Ferra Mayasari, Sp. An
dr. Pratiknyo
dr. Kemalasari
dr. Amri
dr. Arninda
dr. Dhika
dr. Ervinda
dr. Fenita
dr. Fikri
dr. Firdha
dr. Hitasukha
dr. Nursalam
dr. Rian
dr. Ruth
dr. Sandra
dr. Ully
4

Manajemen Anestesi Pada Pasien Atonia Uteri dengan Syok


Hemoragik

I. Pendahuluan

Pada tahun 2010, kurang lebih sebanyak 287.000 kematian ibu

terjadi diseluruh dunia, terutama pada negara dengan pendapatan rendah

dan pendapatan menengah. Perdarahan pasca melahirkam merupakan

penyebab kematian terbesar dengan presentase 19,7%.1 Perdarahan post

partum didefinisikan sebagai perdarahan lebih dari sama dengan 500 ml

setelah proses melahirkan kala III.2 Atonia uteri merupakan penyebab

paling sering dari perdarahan obstetrik yang terjadi akibat kegagalan dari

uterus untuk berkontraksi setelah proses melahirkan dan menghentikan

perdarahan yang berasa dari pembuluh darah tempat plasenta menempel.2,3

Pada kasus atonia uteri, perdarahan yang terjadi cenderung sedang namun

perdarahan terjadi terus menerus sehingga dapat menyebabkan

hipovolemik yang serius.2 Perdarahan masif dapat menyebabkan

terjadinya ketidak seimbangan antara penghantaran oksigen secara ke

seluruh tubuh dengan konsumsi oksigen4 atau bisa disebut dengan renjatan

akibat perdarahan.5

Penghentian perdarahan merupakan tatalaksana utama dari atonia

uteri. Terdapat beberapa cara untuk menghentikan perdarahan, yaitu

pemberian agen uterotonik; kompresi bimanual; penggunaan tamponade

balon; dan proses pembedahan.2,3 Namun apabila renjatan telah terjadi,

penatalaksanaan pembedahan perlu segera dilakukan. Berdasarkan

ACC/AHA Clinical Practice Guideline prosedur kegawatdaruratan

didefinisikan sebagai keadaan yang mengacam nyawa maupun bagian


5

tubuh lainnya jika tidak dilakukan prosedur pembedahan dalam 6 jam atau

kurang.6 Namun perlu dipahami bahwa penanganan kasus atonia uteri

membutuhkan penanganan anestesi yang sesuai dengan kondisi pasien

dimana pasien memiliki kecenderungan untuk mengalami syok.


6

II. Kasus

Seorang wanita berusia 39 tahun dengan diagnosis Atonia Uteri post

melahirkan P3A0. Pasien dirujuk dari klinik milik bidan ke IGD RSUD Ambarawa

karena perdarahan post partum.

Anamnesa

Pasien datang di Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Daerah

Ambarawa dengan keluhan utama pendarahan post melahirkan sejak 1 jam

sebelum masuk rumah sakit. Pasien melahirkan anak ketiga secara spontan per

vaginam tanpa adanya penyulit. Proses melahirkan berjalan dengan normal,

namun setelah melewati kala III, perdarahan terus terjadi. Menurut bidan, bidan

sudah memberikan Metergin 1 ampul untuk menangani perdarahan yang terjadi,

namun perdarahan tidak kunjung berhenti, sehingga pasien pun dirujuk ke RSUD.

Proses melahirkan anak pertama dan kedua juga dijalani secara spontan per

vaginam tanpa penyulit.

Pemeriksaan fisik

Kesadaran komposmentis, berat badan kurang lebih 50 kg. Tekanan darah

100/60 mmHg, laju nadi 130 x/menit (reguler), laju nafas 24 x/menit, suhu 37 0 C,

Saturasi O2 98% dengan udara bebas. Dari pemeriksaan fisik didapatkan

konjungtiva pasien anemis; abdomen datar dengan tinggi fundus uteri 2 jari

dibawah pusat, tanpa adanya kontraksi; pada ekstrimitas didapatkan akral dingin,

dengan Capillary Refill Time lebih dari 2 detik.

Pemeriksaan penunjang
7

Laboratorium didapatkan hemoglobin 7.1 gram/dL dengan hematokrit

19.5%, leukosit 26.100/mm3, trombosit 266.000/ mm3. Faktor pembekuan,

elektrolit, gula darah, fungsi hati dan fungsi ginjal masih dalam proses

pemeriksaan. Elektrokardiografi didapatkan gambaran sinus takikardi. Foto toraks

tidak dilakukan.

Pengelolaan Syok Hemoragik

Pasien tiba di IGD kemudian dilakukan pemberian oksigen dengan NRM 8

lpm dan pemberian cairan Ringer Laktat disertai dengan pemberian Oksitosin 2

ampul didalan Ringer Laktat 500 cc. Kemudian dilakukan pemasangan jalur infus

2 untuk resusitasi cairan. Cairan yang dipilih untuk resusitasi awal adalah Ringer

Laktat. Selain resusitasi cairan, diberikan pula Gastrul 4 tablet per rectal. Setelah

mendapatkan 1000 cc Ringer Laktat dari jalur infus 2, dilakukan evaluasi ulang

pada tekanan darah. Tekanan darah yang didapatkan sebanyak 70/50 mmHg,

sehingga dilakukan resusitasi cairan ulang pada jalur 2 dengan Ringer Laktat 1000

cc tetesan cepat. Pasien pun dikonsulkan oleh dokter jaga IGD ke Bagian

Obstetrik dan Gynecology dan mendapatkan advis untuk histerektomi cito dan

konsul ke bagian Anestesi untuk mempersiapkan ruang operasi. Dokter jaga

kemudian konsul ke bagian anestesi dan mendapatkan advis untuk memberikan

resusitasi cairan dengan Haes sebanyak 1000 cc dengan tetesan cepat, kemudian

pasien diantar ke ruang operasi.


8

Pengelolaan anestesi

Penatalaksanaan preoperatif pada kasus kegawatdaruratan, pasien segera

dimasukkan kedalam kamar operasi tanpa melalui proses puasa. Pasien masuk ke

kamar operasi dalam keadaan sopor, dilakukan pemeriksaan tanda vital, tekanan

darah 70/palpasi mmHg, laju nadi 120 x/menit teraba lemah, laju nafas 28-30

x/menit, suhu 370C, Saturasi O2 97 % dengan NRM kanul 8 L/menit.

Kemudian dilakukan pemberian Nor Epinephrine 1 amp dalam Hes 500

cc, dan diberikan dalam 40 tetes per menit. Lalu dilakukan preoksigenasi dengan

menggunakan face mask selama 1 menit dengan menggunakan oksigen 100%.

Setelah itu dilakukan induksi anestesi intavena dengan menggunakan Ketamin 50

mg dan Roculax 25 mg. Dilakukan ventilasi menggunakan dengan oksigen

sebanyak 6 L/menit sampai onset pelumpuh otot tercapai lalu dilakukan intubasi

menggunakan pipa endotrakheal kinking dengan balon no. 6,5 kedalaman 20 cm.

Setelah dilakukan fikasi dari ETT dilakukan rumatan anestesi dengan oksigen 6

L/menit dan tanpa menggunakan anestetika volatil. Hemodinamik selama operasi

stabil dengan tekanan darah diastolik berkisar antara 81-131 mmHg, diastolik 47-

73 mmHg, laju nadi 110-120 x/menit, SpO2 94-100%.

Operasi berlangsung selama 1 jam, total perdarahan kurang lebih 1000 cc.

Total cairan intraoperatif koloid Gelafusal 1000 cc dan HES 500 cc. Analgetik

pascaoperasi diberikan fentanil kontinyu 100 µg/jam (syringe pump). Pasien

dipindahkan ke ICU tanpa dilakukan ekstubasi.


9

Pengelolaan pascaoperasi

Keadaan pasien sopor dengan tekanan darah 124/58 (82) mmHg, laju nadi

122 x/menit, laju nafas 12 x/menit, suhu 360C, SpO2 100 % dengan pengaturan

support ventilator MV : AIC, F : 12, PeiO PEEP: 4 FiO2: 80%, dan analgetik

kontinyu fentanil 100 µg/jam. Pasien dirawat di ruang ICU dan mendapatkan

terapi dari bagian Anastesi Ceftriaxone 2 x 1 gram, Metronidazole 3 x 500 mg,

transfusi Whole Blood 4 labu, transfusi PRC 2 labu, Injeksi Vit K 1 x 1 mg,

Injeksi Asam Tranexamat 3 x 500 mg. Kurang lebih 8 jam setelah operasi, pasien

meninggal.
10

III. Pembahasan

Perdarahan post partum merupakan penyebab kematian terbesar pada ibu

hamil di seluruh dunia.1 Atonia uteri merupakan penyebab utama dari perdarahan

post partum yang terjadi. Hal ini ditandai dengan kegagalan uterus untuk

berkontraksi, sehingga perdarahan terjadi dari tempat plasenta menempel. 2 Faktor

resiko penyebab terjadinya atonia uteri antara lain uterus yang terlalu besar saat

kehamilan; partus macet; multiparitas; infeksi intrauterine dan penggunaan obat

untuk merelaksasikan uterus.3 Pada pasien ini, terdapat faktor resiko berupa

multiparitas dimana pasien merupakan G3P2A0.

Tatalaksana yang dapat dilakukan jika terjadi atonia uteri adalah dengan

memberikan obat-obatan uterotonik atau dengan tampon dan kompresi bimanual

jika obat-obatan uterotonik tidak dapat menghentikan perdarahan.2,3 Perdarahan

yang timbul cenderung sedang namun, jika perdarahan tidak dihentikan dapat

menimbulkan renjatan akibat perdarahan.3 Pada pasien ini, tidak diberikannya

obat-obatan uterotonik post partum menyebabkan terjadinya atonia uteri. Selain

itu, dalam proses perujukan ke rumah sakit, kompresi bimanual maupun tampon

tidak dilakukan, sehingga setibanya di rumah sakit, pasien sudah dalam keadaan

syok.

Syok akibat perdarahan dapat diklasifikasikan dalam 4 kelas. Terdapat

berbagai macam parameter yang dapat digunakan untuk menentukan kelas dari

syok hemoragik, yaitu perkiraan kehilangan darah; laju nadi; tekanan darah; pulse

pressure; laju nafas; urin output; skor GCS dan lain-lain. 5 Pada pasien ini,

perdarahan yang terjadi tidak diketahui. Penilaian kelas syok dilakukan

berdasarkan dari kesadaran atau skor GCS, laju nadi, tekanan darah, dan laju
11

nafas. Didapatkan skor GCS E4M6V5 saat tiba di IGD, dengan tekanan darah

100/60 mmHg, laju nadi 130 x/menit (reguler), dan laju nafas 24 x/menit. Pasien

dikategorikan dalam syok hemoragik kelas 3, dimana pasien memerlukan

penanganan, terutama penghentian perdarahan secara cepat. Pasien dalam kategori

ini cenderung memerlukan transfusi darah.5 Pemberian obat uterotonik berupa

oksitosin 2 ampul dilarutkan dalam 500 cc ringer laktat segera diberikan untuk

menghentikan perdarahan. Dilakukan pula pengecekan darah rutin cito serta

pemasangan infus jalur ke 2 untuk membantu memberikan resusitasi cairan

sembari mencari darah untuk transfusi.

Tatalaksana untuk resusitasi cairan pada dewasa adalah dengan pemberian

cairan isotonis sebanyak 1 liter, kemudian dilakukan evaluasi ulang setelah

resusitasi cairan selesai.5 Pada pasien ini, setelah dilakukan resusitasi cairan

sebanyak 1 liter, tidak didapatkan respon yang diinginkan, sehingga resusitasi

ulang dilakukan dengan jumlah cairan yang sama. Dokter jaga Instalasi Gawat

Darurat menghubungi Bagian Obstetrik dan Ginekologi dan segera direncanakan

untuk melakukan operasi emergensi. Kemudian dokter jaga pun menghubungi

bagian Anestesi untuk mempersiapkan operasi emergensi. Pasien pun diberikan

cairan koloid berupa Hes sebanyak 1000 cc untuk mempertahankan tekanan

darah. Kurang lebih 30 menit kemudian, pasien diantar ke kamar operasi.

Setibanya diruang operasi, dilakukan manajemen preoperatif untuk

mengetahui faktor resiko maupun membentuk rencana operasi yang terbaik

berdasarkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik.7 Beberapa hal yang penting

untuk ditanyakan adalah riwayat operasi sebelumnya, alergi, obat-obatan yang

dikonsumsi, riwayat penyakit dahulu, waktu makan terakhir serta keadaan sekitar
12

saat terjadi kecelakaan atau luka.4 Pada pasien ini, kondisi pasien sudah

mengalami perburukan, dimana pasien tidak dalam keadaan kompos mentis saat

tiba di ruang operasi. Didapatkan pemeriksaan fisik pasien yaitu kesadaran sopor,

tekanan darah 71/palpasi, laju nadi sebanyak 120x/menit, laju nafas 28-30 kali per

menit. Sehingga manajemen preoperative dilakukan ke suami pasien. Didapatkan

bahwa pasien tidak memiliki riwayat alergi maupun penyakit apa-apa, dan pasien

tidak mengkonsumsi makanan maupun minuman sejak subuh.

Pasien kemudian dipindahkan ke meja operasi, dan diposisikan dalam

posisi supine. Posisi ini dipilih karena mempertimbangkan lokasi operasi dan

dalam supine, hemodinamik pasien lebih stabil. Tangan pasien diposisikan dalam

posisi abduksi kurang dari 90 derajat untuk menghindari cedera dari pleksus

brakialis. Dilakukan pre oksigenasi selama kurang lebih 3 menit sesuai volume

tidal dengan oksigen 100%.4 Kemudian dilakukan induksi dengan ketamine 50 mg

(dosis 1-2 mg/kg BB). Pemilihan obat induksi ketamine didasari oleh efek

kardiovaskular dari ketamine yaitu meningkatkan tekanan darah, denyut jantung

dan cardiac output. Hal ini disebab kan oleh stimulasi dari system saraf simpatik

dan penghambatan reuptake dari norephinephrine.7,8 Rocuronium diberikan

sebanyak 25 mg (dosis 0.45-0.9 mg/kg) sebagai pelumpuh otot untuk intubasi. 7

Kurang lebih setelah 1 menit, setelah pemberian rocuronium, dilakukan intubasi

dengan ETT nomor 6,5. Pemberian gas volatile maupun N2O tidak dilakukan,

karena gas-gas tersebut memiliki efek menurunkan tekanan darah.7 Karena

tekanan darah pasien yang rendah, diberikan pula norepinephrine 1 ampul dalam

500 cc gelafusal, diberikan dalam 40 tpm.


13

Operasi berlangsung selama kurang lebih 1 jam. Total perdarahan selama

operasi kurang lebih 1000 cc. Total cairan intraoperatif koloid Gelafusal 1000 cc

dan HES 500 cc. Pasien belum mendapatkan transfuse darah karena kesulitan

untuk mendapatkan darah. Analgetik pascaoperasi diberikan fentanil kontinyu 100

µg/jam (syringe pump). Pasien dipindahkan ke ICU tanpa dilakukan ekstubasi.


14

IV. Simpulan

Atonia uteri memiliki tantangan tersendiri bagi anestesiologi karena

mudahnya terjadi syok pada pasien. Pemilihan teknik operasi dan obat yang tepat

dalam melakukan tindakan anestesi dapat menentukan prognosis dari operasi.

Evaluasi selama operasi juga menentukan terapi pascaoperasi yang tepat untuk

diberikan pada pasien dalam menjaga keberhasilan operasi.


15

Daftar Pustaka

1. Say L, Chou D, Gemmill A, Tunçalp Ö, Moller A-B, Daniels J, et al. Global


causes of maternal death: a WHO systematic analysis. Lancet Glob Health.
2014 Jun;2(6):e323–33.

2. Cunningham FG, editor. Williams obstetrics. 25th edition. New York:


McGraw-Hill; 2018.

3. Arias F, Bhide AG, S A, Damania K, Daftary SN. Practical Guide to High


Risk Pregnancy and Delivery: a South Asian Perspective [Internet]. 2009
[cited 2020 Jul 5]. Available from:
http://www.vlebooks.com/vleweb/product/openreader?
id=none&isbn=9788131231630

4. Gropper MA, editor. Miller’s anesthesia. 9th ed. Philadelphia: Elsevier; 2019.

5. American College of Surgeons, Committee on Trauma. Advanced trauma life


support: student course manual. 2018.

6. Fleisher LA, Fleischmann KE, Auerbach AD, Barnason SA, Beckman JA,
Bozkurt B, et al. 2014 ACC/AHA Guideline on Perioperative Cardiovascular
Evaluation and Management of Patients Undergoing Noncardiac Surgery: A
Report of the American College of Cardiology/American Heart Association
Task Force on Practice Guidelines. Circulation [Internet]. 2014 Dec [cited
2020 Jul 5];130(24). Available from:
https://www.ahajournals.org/doi/10.1161/CIR.0000000000000106

7. Butterworth JF. Morgan & Mikhail’s clinical anesthesiology. Sixth edition.


Mackey DC, Wasnick JD, Morgan GE, Mikhail MS, editors. New York:
McGraw-Hill; 2018. 1393 p. (A Lange medical book).

8. Ring L, Landau R. Postpartum hemorrhage: Anesthesia management. Semin


Perinatol. 2019 Feb;43(1):35–43.

Anda mungkin juga menyukai