Anda di halaman 1dari 12

INAS TSURRAYA FL

IHYA RIDLO N 
PRIBAKTI B
 1
PPDS  Obstetri dan Ginekologi FK Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin
 2
Divisi Uroginekologi Departemen Obstetri dan Ginekologi FK Universitas Lambung Mangkurat,
Banjarmasin

 
Pendahuluan
Retensio urin postpartum (RUP) adalah fenomena umum pada masa nifas, dengan prevalensi
bervariasi antara 1,5% dan 45%.1 Retensio urin postpartum didefinisikan sebagai tidak adanya
proses berkemih spontan atau tidak dapat berkemih spontan yang dimulai 6 jam pasca
persalinan per vaginam, dan tidak didapatkan berkemih spontan 6 jam pasca pelepasan kateter
pada persalinan secara sectio cesarea (24 jam setelah persalinan).2
Retensio urin postpartum memiliki definisi bervariasi dengan gejala klinis nyeri mendadak
disertai ketidakmampuan mengosongkan vesika urinaria secara spontan setelah 24 jam pasca
persalinan per vaginam, dengan volume urin yang lebih besar daripada kapasitas vesika urinaria
sehingga membutuhkan kateterisasi. 2
Angka kejadian retensio urin bervariasi antara 1,7-17,9% akibat bervariasinya definisi dan
metode penelitian.3 Ching-Chung, dkk. melaporkan angka kejadian retensio urin postpartum
adalah 4%.4 Andolf, dkk. dalam sebuah studi case control prospektif menemukan bahwa 8
(1,5%) dari 530 wanita mengalami PUR setelah persalinan pervaginam. 5 Di Indonesia, angka
kejadian RUP sekitar 14,8%. 6 Penelitian Pribakti di RSUD Ulin Banjarmasin melaporkan 11
kasus retensio urin postpartum dari 2.850 persalinan pada tahun 2002-2003, sebanyak 8 kasus
(81,8%) pada persalinan spontan per vaginam, vakum ekstraksi sebanyak 2 kasus (18,2%),
dan sectio cesarea sebanyak 1 kasus (1%).7
Komplikasi lanjut retensio urin yaitu vesika urinaria akan mengembang melebihi kapasitas
maksimal sehingga akan meningkatkan tekanan di dalam lumen dan tegangan dari dindingnya.
Apabila hal ini dibiarkan berlanjut akan menyebabkan terjadinya hidroureter, hidronefrosis dan
lambat laun terjadi gagal ginjal. Retensio urin juga menjadi penyebab terjadinya infeksi saluran
kemih (ISK) dan bila ini terjadi dapat menimbulkan keadaan yang lebih serius seperti pielonefritis
dan urosepsis.8
Secara umum penanganan retensio urin diawali dengan kateterisasi. Beberapa studi
menyatakan bahwa retensio urin juga dapat ditatalaksana secara non invasif berupa
hidroterapi.8 Apabila residu urin lebih dari 200 ml dapat diberikan tatalaksana retensio urin
postpartum. Prognosis baik apabila retensio urin cepat ditangani. Dalam tinjauan pustaka ini
dibahas definisi, klasifikasi, etiologi , faktor risiko, anatomi vesika urinaria, patofisiologi, diagnosis
, tatalaksana, komplikasi dan prognosis kasus retensio urin postpartum.
 
Definisi
Retensio urin postpartum (RUP) adalah ketidakmampuan untuk berkemih secara spontan atau
adekuat setelah melahirkan. 9 Yip dkk., mendefinisikan RUP sebagai: "ketidakmampuan untuk
berkemih secara spontan dalam waktu enam jam setelah persalinan pervaginam atau enam jam
setelah pelepasan kateter yang menetap setelah operasi caesar". 2 Definisi lain mengenai RUP
ialah “volume residual pasca pengosongan vesika urinaria/ post-void residual bladder
volume (PVRBV) >150 ml setelah berkemih spontan, dibuktikan oleh ultrasound atau
kateterisasi".1
 
Klasifikasi
Wanita yang mengalami RUP dapat dibagi menjadi dua kelompok yang berbeda secara klinis; 1)
RUP terbuka/ covert (simtomatik), yaitu ketidakmampuan absolut untuk berkemih secara
spontan dalam beberapa jam setelah melahirkan, 2) RUP terselubung/overt (asimtomatik) yaitu
kemampuan berkemih secara spontan tetapi telah meningkatkan volume residu. 9
Pasien dengan gejala covert RUP umumnya diidentifikasi sejak dini, baik karena
ketidakmampuan berkemih, keluhan nyeri perut atau perdarahan postpartum, sedangkan pasien
dengan overt RUP lebih sulit diidentifikasi karena berkemih spontan memang terjadi tetapi
terdapat volume residu. Dalam kasus covert RUP, perlu kateterisasi karena overdistensi vesika
urinaria berpotensi menyebabkan masalah jangka panjang termasuk berkurangnya kontraktilitas
otot detrusor, infeksi saluran kemih, hidronefrosis sampai gagal ginjal. 9
 
Epidemiologi
Angka kejadian retensio urin bervariasi antara 1,7-17,9% akibat bervariasinya definisi dan
metode penelitian.3 Ching-Chung, dkk. melaporkan angka kejadian retensio urin postpartum
adalah 4%.4 Andolf, dkk. dalam sebuah studi case control prospektif menemukan bahwa 8
(1,5%) dari 530 wanita mengalami PUR setelah persalinan pervaginam. 5 Di Indonesia, angka
kejadian RUP sekitar 14,8%. 6 Penelitian Pribakti B di RSUD Ulin Banjarmasin melaporkan 11
kasus retensio urin postpartum dari 2.850 persalinan pada tahun 2002-2003, sebanyak 8 kasus
(81,8%) pada persalinan spontan per vaginam, vakum ekstraksi sebanyak 2 kasus (18,2%), dan
sectio cesarea sebanyak 1 kasus (1%). 7 Terdapat 26 kasus RUP pada bulan Mei 2018 –
November 2019 yang tercatat pada register rekam medik di RSUD Ulin Banjarmasin, terdiri dari
persalinan spontan per vaginam sebanyak 23 kasus (88,4%), sectio cesarea sebanyak 2 kasus
(7,6%), dan vakum ekstraksi sebanyak 1 kasus (3,8%).
 
Etiologi
Retensio urin dapat disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut 10,11:

1. Neurologis; yaitu 1) Lesi di otak 2) Lesi medula spinalis 3) Lesi sistem saraf autonom 4)
Refleks nyeri lokal 5) Stroke, DM
2. Farmakologi : Atropine like agents, Ganglionik blocker, Musculotopic relaxant, Antagonis
Kalsium, Antihistamin, Theofilin, Phenothiazine, Trisikli antidepresan 11
3. Inflamasi; yaitu 1) Uretritis atau sistitis 2) Vulvovaginitis akut 3) Herpes zoster atau
simpleks
4. Obstruksi; yaitu 1) Ekstra-mural: Massa pelvik atau vagina 2) Intra-mural: Prolaps dinding
vagina posterior atau uterovaginal 3) Intraluminal 4) Disinergia detrusor sfingter 5)
Uretra: kondisi striktur uretra, batu saluran kemih, tumor/kanker
5. Gangguan medis; yaitu 1) Diabetes melitus 2) Hipotiroid 3) Porfiria 4) Skleroderma
6. Overdistensi: Post-operatif post-partum
7. Psikogenik: 1) Non-neurogenic bladder 2) Gangguan psikiatri
8. Post-operatif; 1) Operasi pengangkatan bladder neck 2) Prosedur untuk denervasi vesika
urinaria 3) Prosedur yang menyebabkan edema dan nyeri terlokalisir.

 
Faktor Risiko
         Durasi yang lebih lama pada kala dua persalinan memberikan tekanan yang
berkepanjangan pada dasar panggul, menyebabkan kerusakan pada jaringan panggul dan
pleksus saraf yang mengarah ke obstruksi aliran keluar dan menuju detrusor neuropraxia. Kekre
dkk. melaporkan bahwa tingkat RUP lebih tinggi pada pasien dengan persalinan kala II yang
berkepanjangan. Salemnic dkk. menyatakan terdapat hubungan antara RUP dan episiotomi
mediolateral.12
Beberapa studi menyebutkan perubahan fisiologis pada kehamilan, persalinan lama,
penggunaan anestesi regional (epidural atau spinal), laserasi perineum luas, dan berat lahir bayi
sebagai faktor risiko RUP.13,14,15 Persalinan pervaginam dapat secara langsung membuat trauma
pada otot dasar panggul dan persarafan, yang kemungkinan akan mengakibatkan penurunan
sensibilitas vesika urinaria. Selain itu persalinan pervaginam juga dapat menyebabkan edema
peri-uretra dan dapat menyebabkan RUP karena obstruksi. 1,16
Penelitian di RS Kandou Manado menyebutkan kejadian RUP berhubungan dengan beberapa
faktor risiko yakni laserasi perineum atau episiotomi, persalinan dengan bantuan alat, durasi
persalinan kala I > 12 jam, durasi persalinan kala II > 1 jam pada multipara, dan berat badan
lahir bayi > 3800 gram.13 Penelitian Polat dkk. menyebutkan retensio urin secara bermakna
dikaitkan dengan lama persalinan >700 menit. 16
Penelitian Kandadai dkk. menunjukkan analisis faktor-faktor yang mempengaruhi RUP, setiap
peningkatan 10 menit pada persalinan kala II menyebabkan naiknya risiko RUP sebanyak 6%,
dan setiap peningkatan 1 menit jarak antara setelah melahirkan dengan berkemih spontan
pertama dapat meningkatkan risiko RUP sebesar 4%. 17 Selain itu, penggunaan analgesik
narkotik pasca operasi pada sectio cesarea juga dikaitkan dengan peningkatan risiko RUP. 18
Penggunaan analgesia epidural yang lama dikaitkan dengan durasi kompresi saraf yang lebih
lama sehingga dapat menyebabkan RUP.16-19 Penggunaan kateterisasi disebutkan dapat
menurunkan risiko RUP. Ada beberapa penjelasan yang menjelaskan hubungan antara
frekuensi kateterisasi dan RUP. Kateterisasi jarang dapat menyebabkan overdistensi vesika
urinaria, sehingga mengurangi aktifitas otot detrusor dan menghambat terjadinya gangguan
berkemih. Selain itu, overdistensi vesika urinaria dapat menyebabkan kerusakan saraf vesika
urinaria dan penghambatan refleks miksi, sehingga penggunaan kateterisasi dapat mengurangi
risiko RUP.18-20 Penelitian Yip dkk. menunjukkan bahwa persalinan yang melebihi 600 menit (11
jam dan 40 menit) memiliki hubungan yang signifikan dengan RUP.21
 
Anatomi Vesika Urinaria
            Vesika urinaria terdiri dari dua bagian, yaitu fundus dan leher vesika urinaria. Bagian
leher disebut juga uretra posterior karena berhubungan dengan uretra. Mukosa vesika urinaria
dilapisi oleh epitel transisional yang mengandung ujung-ujung saraf sensoris. Dibawahnya
terdapat lapisan submukosa yang sebagian besar tersusun dari jaringan ikat dan jaringan
elastin. Otot polos vesika urinaria, disebut juga otot detrusor, membentuk lapisan di luar
submukosa, terdiri atas tiga lapis otot, yaitu otot longitudinal di lapisan luar dan dalam, serta otot
siskuler di lapisan tengahnya. Otot detrusor meluas ke uretra, membentuk dinding uretra dengan
lapisan ototnya mengandung banyak jaringan elastin. 22
         Susunan saraf pusat yang mengatur vesika urinaria, berpusat pada lobus frontalis pada
daerah yang disebut  Area  Detrusor Piramidal (Pyramidal Detrusor Area). Beberapa penelitian
terakhir meununjukkan bahwa kontrol terpenting terutama berasal dari daerah yang
disebut Pontine Mesencephatic Reticular Formation, yang kemudian disebut sebagai Pusat
Berkemih Pontin (Pontine Micturition Centre). Sistem ini ditunjang oleh sistem  refleks sakralis
yang disebut sebagai Pusat Berkemih Sakralis (Sacralis Micturition Centre). Jika jalur persarafan
antara pusat berkemih pontine dan sakralis dalam keadaan baik, maka proses berkemih akan
berlangsung baik akibat dari refleks berkemih yang menghasilkan serangkaian kejadian berupa
relaksasi dari otot lurik uretra, kontraksi otot detrusor dan pembukaan dari leher vesika urinaria
dan uretra.22
         Sistem saraf perifer dari saluran kemih bawah terutama terdiri dari sistem  saraf otonom,
khususnya melalui sistim parasimpatis yang mempengaruhi kontraksi detrusor terutama melalui
transmisi kolinergik. Perjalanan parasimpatis melalui nervus pelvikus dan muncul dari S2S4.
Transmisi simpatis muncul dari T10T12, membentuk nervus hipogastrikus inferior yang bersama-
sama dengan saraf parasimpatis membentuk pleksus pelvikus. 22
Gambar 1. Persarafan perifer saluran kemih bawah wanita 22
            Persarafan parasimpatis dijumpai terutama di vesika urinaria, dindingnya sangat kaya
dengan reseptor kolinergik. Otot detrusor akan berkontraksi atas stimulasi asetil kolin. Serabut
simpatis-adrenergik mempersarafi vesika urinaria dan uretra. Reseptor adrenergik di vesika
urinaria terdiri atas reseptor alpha dan beta. Bagian trigonum vesika urinaria tidak mempunyai
reseptor kolinergik karena bagian ini terbentuk dari mesoderm, akan tetapi kaya dengan reseptor
adrenergik alpha dan sedikit reseptor beta. Sementara itu uretra memiliki ketiga jenis reseptor:
reseptor alpha lebih banyak dari reseptor beta, reseptor kolinergik hanya mempunyai sedikit
peranan.Daerah fundus vesika urinaria didominasi oleh reseptor beta, sedangkan di bagian
dasar dan leher vesika urinaria didominasi oleh reseptor alpha. Stimulasi resptor adrenergik
akan menimbulkan kontraksi otot uretra untuk mencegah kebocoran urin dan pada saat yang
sama fundus vesika urinaria akan berelaksasi untuk mengakomodasi aliran urin dari ureter atas
stimulasi adrenergik beta. Penghambatan reseptor beta akan menimbulkan kontraksi detrusor,
sedangkan hambatan reseptor alpha akan menimbulkan relaksasi uretra. 22
       Otot polos vesika urinaria bersifat involunter. Jika vesika urinaria terisi urin, serabut otot
polos di dindingnya teregang dan menimbulkan kontraksi sehingga meningkatkan tekanan di
dalamnya. Pengisian urin 25 – 50 ml pada vesika urinaria akan meningkatkan tekanan intra-
vesika urinaria 5 – 10 cm air, tetapi sejalan dengan pengisian, sampai dengan penambahan urin
150 – 300 ml tidak terjadi peningkatan tekanan yang berarti, sampai tercapai kapasitas vesika
urinaria, yaitu sekitar 300 – 400 ml. Rasa penuh vesika urinaria biasanya timbul setelah
pengisian vesika urinaria mencapai 150 ml dan dorongan berkemih akan timbul setelah vesika
urinaria terisi 300 – 500 ml urin. 22 Proses berkemih normal terjadi ketika ada relaksasi sfingter
uretra dan otot-otot dasar panggul diikuti oleh kontraksi otot detrusor dan peningkatan tekanan
intra-abdomen secara bersamaan. Disfungsi atau kurangnya sinkronisasi salah satu dari
langkah-langkah ini dapat menyebabkan disfungsi berkemih.
 
Patofisiologis
Patofisiologi RUP masih kurang dipahami, tetapi diyakini merupakan hasil dari kombinasi
peristiwa fisiologis traumatis selama kehamilan dan persalinan, termasuk faktor kerusakan pada
saraf, otot panggul dan otot vesika urinaria yang semuanya dapat berkontribusi pada risiko
retensio urin pada periode postpartum.
Selama kehamilan dan periode postpartum, hormon progesteron mengurangi tonus otot polos,
yang menyebabkan dilatasi pelvis ginjal, ureter, dan vesika urinaria. Ketika tonus pada otot
detrusor perlahan menurun, kapasitas vesika urinaria mulai meningkat. Saat berdiri, uterus yang
terangkat menempatkan peningkatan tekanan pada vesika urinaria, dua kali lipat tekanan vesika
urinaria telah diamati pada wanita dengan kehamilan aterm. 20
Pada periode pascapersalinan, vesika urinaria cenderung menjadi hipotonik dan tidak
dipengaruhi oleh berat uterus sebelumnya, sehingga menempatkan wanita pada risiko RUP.
Persalinan per vaginam operatif, yang mencakup forsep atau vakum, telah terbukti menjadi
faktor risiko independen yang signifikan pada kejadian RUP, dan dapat memengaruhi
kemampuan sfingter uretra untuk relaksasi. 20
Persalinan per vaginam operatif yang menyebabkan trauma perineum, juga merupakan faktor
risiko untuk RUP. Mekanisme terjadinya RUP dalam hal ini adalah edema uretra dan perineum
yang menyebabkan peningkatan resistensi terhadap aliran urin. Kerusakan saraf pudendal juga
telah dilaporkan sebagai faktor yang berkontribusi terhadap RUP, karena saraf pudendal
menginervasi sfingter uretra eksternal, dan gangguan relaksasi sfingter uretra dapat
menghasilkan peningkatan resistensi terhadap aliran urin. 20
Etiologi terjadinya retensio urin postpartum multifaktorial. Kehamilan ditandai dengan perubahan
beberapa organ dan sistem organ. Tidak hanya adanya perubahan anatomis seperti pelebaran
ureter dan kaliks dari ginjal, tetapi juga beberapa perubahan fungsional seperti peningkatan
filtrasi glomerular dan output urin. Kapasitas vesika urinaria kemungkinan besar beradaptasi
dengan perubahan fungsional selama masa kehamilan, karena melekat pada rahim, vesika
urinaria harus beradaptasi dengan peregangan dan produksi urin ekstra untuk mencegah
overdistensi dan memfasilitasi fungsi penyimpanan ekstra. 23
Faktor lain yang mungkin berpengaruh ialah perubahan hormon progesteron dan relaksin.
Relaksin adalah hormon peptida dari famili insulin-like growth factor yang telah dikaitkan dengan
remodeling kolagen dan penyesuaian fisiologi ginjal dan vasodilatasi pada kehamilan normal.
Dalam 48 jam sebelum persalinan, relaksin menyebabkan depolimerisasi cepat ikatan kolagen
ke titik di mana kolagen kehilangan 95% dari kekuatannya, memungkinkan vagina untuk
meregang dan struktur pendukungnya berkembang cukup untuk persalinan per vaginam. Namun
tidak diketahui bahwa relaksin memiliki efek pada vesika urinaria. Progesteron adalah hormon
gestasional yang terkenal tidak hanya penting dalam mempertahankan kehamilan, tetapi juga
mengurangi tonus uretra, peristaltik dan tekanan kontraksi vesika urinaria, yang berpotensi
mengakibatkan peningkatan kapasitas vesika urinaria di masa nifas. 24
 
Diagnosis
Diagnosis klinis RUP tidak mudah, terutama pada kasus yang tidak menunjukkan gejala klinis.
Diagnosis hanya dapat ditegakkan dengan menggunakan kateter dan ultrasonografi. 10 Wanita
yang tidak dapat berkemih dalam waktu enam jam setelah persalinan pervaginam atau
pelepasan kateter setelah sectio cesarea, atau tidak dapat berkemih meskipun ada keinginan
untuk melakukannya, atau mengalami kesulitan berkemih dapat dicurigai sebagai retensio urine.
USG noninvasif atau kateterisasi dapat digunakan sebagai alat diagnostik. Yip dkk. pada tahun
2003 menunjukkan modalitas USG dapat menjadi estimasi akurat sebagai alat diagnostik
noninvasif untuk menentukan indikasi pemakaian kateterisasi. 20 Pemeriksaan dengan
menggunakan ultrasonografi (USG) dimana pada pemeriksaan ini mengukur volume urin tidak
invasive. Adapun diagnosis dari nilai normal fungsi berkemih pada wanita adalah 25:Volume residu
< 50 ml, Keinginan yang kuat timbul setelah pengisian > 250 ml,Kapasitas sistometri 400 – 600
ml ,Tekanan otot detrusor < 50 cm H2O dan Flow  rate  > 15 ml per detik
          Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang menunjukkan gejala gangguan berkemih antara
lain hesitansi (menunggu untuk memulai kencing), kesulitan mengeluarkan urin, pancaran lemah
atau intermiten, mengedan saat berkemih, dan merasa tidak lampias setelah
berkemih.2 Sensitivitas dan spesifisitas gejala klinis dalam penegakan diagnosis retensio urin
hanya sebesar 41,7% dan 99,5%. Tidak ada perbedaan bermakna volume residu urin pada
pasien yang bergejala klinis dan pasien asimptomatik. 23 Gejala kesulitan dan nyeri saat berkemih
spesifik (92,3%) untuk retensio urin, namun sensitivitasnya rendah, yakni 30,6%. 25
Studi Adelowo (2012) pada 641 perempuan menunjukkan bahwa 39,6% subjek melaporkan satu
atau lebih gejala gangguan berkemih, seperti rasa tidak puas saat berkemih (incomplete
voiding), kesulitan dan harus mengejan untuk berkemih, tetesan urin yang lambat, urgensi, dan
inkontinensia. Dari 39,6% tersebut, sebanyak 65,8% diantaranya melaporkan inkontinensia urin
dan 65,4% melaporkan urgensi berkemih, walaupun wanita mengalami minimal 1 gejala
gangguan berkemih memiliki risiko dua kali lipat mengalami retensio urin pascapersalinan
dibandingkan wanita tanpa gejala dan hanya 12,6% wanita yang melaporkan gejala terbukti
retensio urin.10
 
Tatalaksana
Clean intermittent catheterization (CIC) dan transurethral indwelling catheterization (TIC)
menjadi perawatan standar. Pada pasien dengan RUP terbuka, penggunaan CIC merupakan
tatalaksana yang direkomendasikan karena presentase keberhasilan lebih besar (durasi 12 jam),
sedangkan durasi penggunaan TIC lebih lama yaitu 24 jam. CIC juga ditoleransi dengan baik
pada pasien dengan RUP terbuka. Selain itu, 35% pasien dengan CIC dapat berkemih secara
spontan dan adekuat setelah dilakukan kateterisasi tunggal. 9
Keuntungan CIC dapat dikaitkan dengan bladder training. Dengan drainase intermiten dan
pengisian vesika urinaria, vesika urinaria sebelumnya distimulasi untuk mengidentifikasi
perbedaan antara penuh dan kosong. Sebaliknya, dengan menempatkan kateter yang menetap,
stimulasi vesika urinaria ditunda dan pelatihan vesika urinaria ditunda. CIC dan  TIC dapat
digunakan dalam praktik klinis sehari-hari, staf perawat dan medis berpendapat bahwa
penggunaan CIC setelah melahirkan sulit dilakukan, sehingga lebih sering menggunakan TIC. 11
RUP dapat ditatalaksana dengan10:
1) Atasi nyeri organ panggul
2) Evaluasi dan ukur urin residu 6 jam postpartum
3) Pemasangan kateter 24 jam untuk partus lama dan distosia Kala II lama
4) Pemberian prostaglandin
 
Penggunaan kateterisasi25,26
- Urin  residu <500 mL:

 Pemasangan kateter intermitten (tiap 4 jam selama 24 jam), selanjutnya periksa lagi urin
residu pasca berkemih spontan,  minum secukupnya, antibiotika, prostaglandin

- Urin residu 500-1000 mL

 Pemasangan kateterisasi menetap selama 1x24 jam


 Banyak minum 3 liter/hari selama kateter menetap
 Mobilisasi
 Urinalisis
 Antibiotika sesuai kultur
 Prostaglandin (misalnya misoprostol) dapat terus diberikan selama kateter masih
terpasang.
 Kateterisasi buka tutup tiap 4 jam selama 24 jam, kecuali dapat berkemih spontan
 Periksa urin residu pasca berkemih spontan

- Urin residu 1000-2000 mL

 Pemasangan Kateterisasi Menetap 2x24 jam


 Banyak minum 3 liter/hari selama kateter menetap
 Mobilisasi
 Urinalisis
 Antibiotika sesuai kultur
 Prostaglandin (misalnya misoprostol) dapat terus diberikan selama kateter masih
terpasang
 Kateter buka tutup tiap 4 jam selama 24 jam setelah 2x24 jam kateter menetap, kecuali
dapat berkemih spontan
 Periksa urin residu pasca berkemih spontan

- Urin residu >2000 mL

 Pemasangan Kateterisasi Menetap 3x24 jam


 Banyak minum 3liter/hari selama kateter menetap
 Buka tutup kateter/4 jam selama 24 jam setelah 3x 24 jam kateter menetap, kecuali
dapat berkemih spontan
 Periksa urin sisa, bila tetap retensio urin pasang kateter menetap selama 1 minggu
(pertimbangkan kateter silikon untuk mengurangi risiko infeksi), bisa pulang, buka tutup
kateter dilakukan mulai 2 hari sebelum kontrol. Saat kontrol, kateter dilepas dan diperiksa
lagi urin sisa 6 jam kemudian atau setelah berkemih spontan
 Banyak secukupnya saat buka tutup kateter
 Urinalisis
 Mobilisasi
 Antibiotik sesuai kultur
 Prostaglandin (misalnya misoprostol) dapat terus diberikan selama kateter masih
terpasang kateterisasi Buka tutup kateter/4 jam selama 24 jam, kecuali dapat berkemih
spontan
 Periksa urin residu, bila tetap retensio urin pasang kateter menetap selama 1 minggu
(pertimbangkan kateter silikon untuk mengurangi risiko infeksi), bisa pulang, buka tutup
kateter dilakukan mulai 2 hari sebelum kontrol. Saat kontrol, kateter dilepas dan diperiksa
lagi urin residu 6 jam kemudian atau setelah berkemih spontan
 Jika pasien memiliki gejala dan tanda yang mengarah retensio urin, perlu diukur volume
residu urin, antara lain dengan menggunakan kateter. Pasien didiagnosis retensio urin
pada kasus obstetri jika volume urine residu urin lebih dari 200 mL. 26
Gambar 2. Tatalaksana Retensio Urin Postpartum26
 
Durasi kateterisasi ditentukan secara empirik. Pada penelitian Yip dkk., pasien dengan volume
residu urin kurang dari 700 mL tidak memerlukan kateterisasi berulang, namun 14% pasien
dengan volume residu urin 700-999 mL dan 20% pasien dengan volume residu urin lebih 1000
mL memerlukan kateterisasi berulang. Kateterisasi intermiten setiap 4-6 jam direkomendasikan
untuk perempuan yang dirawat inap sampai mampu berkemih dengan residu urin <150 mL. Jika
residu urin persisten >150 mL dipertimbangkan kateter kontinyu. Durasi kateterisasi vesika
urinaria bersifat empiris, dan tidak ada standar yang ditetapkan. 2
Antibiotik profilaksis direkomendasikan untuk menurunkan kemungkinan infeksi saluran kemih,
antara lain nitrofurantoin, ampisilin, atau trimethoprim-sulfamethiazole. 2,10 Obat yang
meningkatkan kontraksi vesika urinaria dan menurunkan resistensi uretra yaitu yang bekerja
pada: 1) Parasimpatis bersifat kolinergik, asetilkolin bekerja di ‘end organ’ menghasilkan efek
muskarinik (contoh: betanekhol, karbakhol, metakholin)”, 2) Simpatis (contoh: fenoksibenzamin),
3) Otot polos mempengaruhi kerja otot destrusor (contoh: prostaglandin
E2/misoprotol).26,27 Pemberian cairan yaitu minum 3 liter/24 jam untuk mencegah kolonisasi
bakteri.19
 
Komplikasi
RUP merupakan kondisi di mana fungsi berkemih kembali normal dalam 2 hingga 6 hari setelah
ditegakkan diagnosis. Retensio urin berkepanjangan yang berlangsung beberapa minggu
dievaluasi urodinamik untuk menentukan apakah retensio bersifat obstruktif atau atonik.
Manajemen jangka panjang RUP dapat disesuaikan dengan tipe spesifik dari disfungsi berkemih.
Pada sebagian besar wanita dengan RUP dalam studi berkelanjutan selama 4 tahun tidak
mengungkapkan insiden yang lebih tinggi dari inkontinensia urin tipe stress, inkontinensia fekal,
frekuensi, nokturia, urgensi atau inkontinensia urin tipe urgensi. 20
Kateterisasi berhubungan dengan meningkatnya risiko bakteriuria, sistitis, pielonefritis, dan
septikemia bakteri gram negatif; insidens infeksi saluran kemih meningkat dengan prevalensi 3-
33%. Kateterisasi juga berhubungan dengan ketidaknyamanan maternal, infeksi, iritasi mukosa,
dan perlukaan pada uretra. 10
Dalam jangka pendek, RUP (jika tidak terdeteksi) akan menyebabkan atonia vesika urinaria dan
infeksi. Komplikasi RUP pada vesika urinaria dimulai pada volume residu urin 500-800 mL
Deteksi dini retensio urin penting karena peregangan vesika urinaria yang berlebihan dapat
menimbulkan kerusakan permanen irreversibel otot detrusor serta infeksi traktus urinarius
berulang.10, 26

Retensio urin postpartum dapat menyebabkan kerusakan permanen otot detrusor dan serat
saraf parasimpatik di dinding vesika urinaria, yang dapat menyebabkan gangguan fungsi otot
detrusor tersebut. Retensio urin berat dapat menyebabkan komplikasi seperti distensi vesika
urinaria persisten, uremia dan sepsis, yang dapat berujung pada kematian. Secara umum,
komplikasi RUP sebagai berikut27,28:
1. Sisa urin dapat menyebabkan sistitis
2. Ruptur buli-buli spontan
3. Uremia dan sepsis
 
Pencegahan
Buang air kecil sebelum proses persalinan dapat menjadi faktor pencegahan untuk terjadinya
RUP.23 Pencegahan pada wanita yang tidak dapat berkemih spontan dalam 6 jam postpartum.
Identifikasi RUP secara dini menjadi penting, dapat digunakan pemeriksaan kateter atau
ultrasonografi. Pengukuran volume urin residu menggunakan ultrasonografi cukup akurat, dan
dapat digunakan sebagai panduan perlunya kateterisasi transuretral. 10
Penggunaan kateterisasi vesika urinaria intermiten sistematik segera setelah melahirkan dapat
dapat juga mencegah RUP. Pengosongan vesika urinaria teratur mungkin mengurangi
traumatisme vesika urinaria akibat persalinan dan kompresi oleh kepala janin sehingga dapat
mengurangi terjadinya RUP.14,28
Kunci untuk pencegahan RUP adalah perawatan vesika urinaria selama persalinan
dikombinasikan dengan deteksi dini dan manajemen. Deteksi dini risiko tinggi RUP berdasarkan
faktor-faktor risiko juga mencegah terjadinya RUP. Overdistensi vesika urinaria dapat
menghasilkan kerusakan permanen pada otot detrusor, sehingga sangat penting deteksi dini
RUP dilakukan.20
Pencegahan RUP dilakukan pada pasien yang memiliki faktor risiko, antara lain primipara,
robekan jalan lahir luas, persalinan dengan alat, dan persalinan kala 2 lama. Pencegahan
tersebut dilakukan dengan cara sebagai berikut: 29

1. Pasien diobservasi hingga 6 jam postpartum lalu diminta berkemih spontan, kemudian
volume urin residu diukur, jika volume >200mL, lakukan protokol tatalaksana retensio
urin. Jika volume residu urin <200 mL maka dikatakan normal.
2. Pada pasien dengan faktor risiko RUP, dipasang kateter Foley selama 24 jam setelah
persalinan pervaginam. Setelah kateter dilepas, 6 jam kemudian volume urin residu
diukur; selama itu pasien mengonsumsi air putih 100 mL/jam atau 2-3 L/hari. Jika residu
urinnya <200 mL pasca berkemih spontan maka dikatakan normal, namun jika lebih dari
200 mL dilakukan tatalaksana retensio urin.Terdapat model skoring retensio urin
dengan rumus sebagai berikut30:

 
SKOR RU: 14U + 20P + 15LK2 + 13RP + 10VU
 
 
 

Keterangan
RU         : Retensio Urin
U            : Umur (1= ≤ 25 tahun; 0= > 25 tahun)
P            : Paritas (1= Primipara; 0= Multipara)
LK2       : Lama Kala II (1= ≥ 20 Menit; 0 = < 20 Menit)
RP          : Rupture Perineum (Robekan Jalan Lahir) (1= Berat ; 0= Ringan)
VU         : Volume Urin Kala III ( 1 = ≤ 100 ml; 0 = > 100 ml)
                  

Gambar 3. Aplikasi skor prediksi RUP30


  
Prognosis
Prognosis retensio urin postpartum baik jika ditangani secara dini, untuk mencegah peregangan
berlebihan yang mengakibatkan kerusakan ireversibel otot detrusor dan infeksi saluran kemih
berulang.2,4
 
Kesimpulan
Retensio urin postpartum adalah gangguan uroginekologi yang umum, namun mekanisme
patofisiologisnya masih belum dipahami dengan baik. Diagnosis RUP melalui pengukuran urin
residu dengan kateter atau ultrasonografi. Penatalaksanaannya adalah kateterisasi dengan
durasi tergantung volume residu urin inisial serta pencegahan infeksi saluran kemih dengan
antibiotik profilaksis. Retensio urin postpartum selain dapat mengakibatkan kerusakan
irreversibel otot detrusor  juga  infeksi saluran kemih berulang.
 
Daftar Pustaka

1. Mulder FE, Hakvoort RA, Schoffelmeder MA, Limpens J, Van der Post JAM, Roovers
JPWR. Postpartum urinary retention: a systematic review of adverse effects and
management. The International Urogynecological Association. 2014.
2. Yip SK, Sahota D, Pang MW, Chang A. Postpartum urinary retention. Acta obstetricia et
gynecologica Scandinavica 2004;8(10):881-91.
3. Saultz JW, Toffler WL, Shackles JY. Shackles. Postpartum urinary retention. J Am Board
Fam Pract 1991;4(5): 341-4.
4. Ching-Chung L, Shuenn-Dhy C, Ling-Hong T, Ching-Chang H, Chao-Lun C, Po-Jen.
Postpartum urinary retention: Assessment of contributing factors and long-term clinical
impact. Australian and New Zealand journal of obstetrics and gynaecology 2002; 42(4):
367-70.
5. Andolf E. Iosif CS. Jorgensen C. Rydhstrom H. Insidious urinary retention after vaginal
delivery: prevalence and symptoms at follow-up in a population-based study. Gynecol
Obstet Invest 1994; 38(1): 51-53.
6. Errufana MP. Kapasitas kandung kemih postpartum [Thesis]. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, 1996.
7. Pribakti B. Tinjauan Kasus Retensio Urin Postpartum di RSUD Ulin Banjarmasin (2002-
2003). Dexa Media 2006;19(1): 10-13.
8. Sari WA, Ekwantini RD, Prayogi AS. Pengaruh pemberian kompres hangat suprapubik
terhadap pemulihan reflek vesica urinaria pada pasien post spinal anestesi di RSU PKU
Muhammadiyah Bantul. Jurnal Teknologi Kesehatan 2017; 13(2): 94-99.
9. Mulder FEM, Hakvoort RA, Bruin JP, Van der Post JAM, Roovers JPWR. Comparison of
clean intermittent and transurethral indwelling catheterization for the treatment of overt
urinary retention after vaginal delivery: a multicentre randomized controlled clinical trial.
International Urogynecology Journal 2018; 29. 1281-1287.
10. Anugerah I, Wulan AI, Tiarma UP, Febriansyah D, Bintari P, Sanny S, Finekri A, Judi JE.
Tatalaksana Retensio Urin Pasca-Persalinan. CDK 2017; 44(8): 531-536.
11. Verhamme KM, Sturkenboom MC, Stricker BH, Bosch R. Drug-induced urinary retention:
Incidence, management and prevention. Drug Saf 2008;31(5): 373-88.
12. Oh JJ, Kim SH, Shin JS, Shin SJ. Risk factors for acute postpartum urinary retention
after vaginal delivery: focus on episiotomy direction. J Matern Fetal Neonatal Med 2015:
1-4.
13. Bayu B, Lengkong R, Wantania J. Postpartum urinary retention after vaginal delivery.
Indones J Obstet Gynecol 2019; 7(2):142-145
14. Neron M, Allegre  Lucie, Huberlant S, et al. Impact of systematic urinary catheterization
protocol in delivery room on covert postpartum urinary retention: a before-after study.
Scientific Report 2017; 7.
15. Kekre AN, Vijayanand S, Dasgupta R, et al. Postpartum urinary retention after vaginal
delivery. International Journal of Gynecology and Obstetrics. 2011; (112): 112-115.
16. Polat M, Senturk MB, Pulatugou C, Dogan O, Kilicci C, Budak MS. Postpartum urinary
retention: Evaluation of risk factors. Turkish Journal of Obstetrics and Gynecology 2018;
(15).
17. Kandadai P, Kandadai V, Saini J, O’Dell K, Patterson D, Flynn MK. Acute urinary
retention after caesarean delivery : a case control study. Wolters Kluwer Health 2014: 20
(5).
18. Gursoy AY, Kiseli M, Tangal S, Caglar GS, Haliloglu AH, Cengiz SD. Prolonged
postpartum urinary retention:  A case report and review of the literature. SAJOG. 2015;
21(2): 48-49.
19. Tiberon A,  Carbonnel M, Vidart A, Halima MB, Deffieux X, Ayoubi JM. Risk factors and
management of persistent postpartum urinary retention. Jounal of Gynecology Obstetri
Human Reproduction. 2018; 47: 437-441
20. Mehta S, Anger J. Evaluation and Management of Postpartum Urinary Retention. Current
Bladder Dysfuntion Reproduction. 2012; (7).
21. Rosenberg M, Many A, Shinar S. Risk factors for overt postpartum urinary retention—the
effect of the number of catheterizations during labor. International Urogynecology
Journal. 2019.
22. Berek JS et al. Incontinence, Prolaps, and Disorder of The Pelvic Floor, In: Novak
Gynecology. 12th ed. Williams & wilkins, Maryland USA. 1996. 636 p.
23. Mulder FE, Hakvoort RA, Bruin JP. Long-term micturition problems of asymptomatic
postpartum urinary retention: a prospective case–control study. International
Urogynecology Journal; 2018 (29).
24. Omli R, Skotnes LH, Mykletun A, Bakke AM, Kuhry E. Residual urine as a risk factor for
lower urinary tract infection: A 1-year follow-up study in nursing homes. J Am Geriatr
Soc. 2008;56(5):871-4.
25. Panduan Praktik Klinis Retensio Urin Pospartum, SMF Obstetri Ginekologi , FK
ULM/RSUD Ulin Banjarmasin, 2015.
26. Djusad S. Penatalaksanaan retensi urin pasca bedah. Buku ajar uroginekologi. Jakarta:
Subbagian Uroginekologi Rekonstruksi Bagian Obstetri dan Ginekologi FKUI/ RSUPN-
CM; 2002.
27. Kamilya G, Seal SL, Mukherji J, Bhattacharyya SK, Hazra A. A randomized controlled
trial comparing short versus long-term catheterization after uncomplicated vaginal
prolapse surgery. J Obstet Gynaecol Res. 2010;36(1):154-8.
28. Evron S, Dimitrochenko V, Khazin V, Sherman A, Sadan O, Boaz M, Ezri T. The effect of
intermittent versus continuous bladder catheterization on labor duration and postpartum
urinary retention and infection: A randomized trial. J Clin Anesth. 2008;20(8):567-72.
29. Mevcha A, Drake MJ. Etiology and management of urinary retention in women. Indian J
Urol. 2010;26(2):230-5.
30. Djusad S. Deteksi Dini Retensio Urin Postpartum. Simposium Urdate Jakarta 2018.

Anda mungkin juga menyukai