Anda di halaman 1dari 142

LAPORAN PENDAHULUAN

POST OP SEKSIO CASAREA

A. KONSEP DASAR PENYAKIT

1. Pengertian Seksio Cesarea

a. Seksio cesarea berasal dari perkataan Latin “Caedere” yang artinya

memotong. Seksio Cesarea adalah suatu cara melahirkan janin

dengan membuat sayatan pada dinding uterus melalui dinding

depan perut atau vagina (Mochtar, 1998 dalam Maryunani, 2014)

b. Seksio cesarea atau kelahiran sesarea adalah melahirkan janin

melalui irisan pada dinding perut (laparatomi) dan dinding uterus

(histerektomi). Definisi ini tidak termasuk melahirkan janin dari

rongga perut pada kasus rupture uteri atau kehamilan abdominal

(Pritchard dkk, 1991 dalam Maryunani, 2014)

c. Seksio Cesarea adalah proses persalinan melalui pembedahan

dimana irisan dilakukan di perut ibu (laparatomi) dan Rahim

(histerektomi) untuk mengeluarkan bayi (Juditha dan Cynthia, 2009

dalam Maryuani, 2014)

2. Etiologi

Menurut NANDA NIC-NOC (2015)

Sectio caesarea dilakukan atas indikas

A. Etiologi berasal dari Ibu pada primigravida dengan kelainan letak,

primipara tua disertai kelainan letak, disproporsi cepalo pelvik

(disproporsi janin/panggul), ada sejarah kehamilan dan persalinan

yang buruk, terdapat kesempitan panggul, plasenta previa terutama


pada primigravida, komplikasi kehamilan yaitu preeklampsia-

eklampsia, atas permintaan kehamilan yang disertai penyakit

(Jantung, Diabetes Mellitus), gangguan perjalanan persalinan (kista

ovarium, mioma uteri dan sebagainya).

B. Etiologi berasal dari janin seperti Fetal distress/gawat janin, mal

presentasi dan mal posisi kedudukan janin, prolapses tali pusat

dengan pembukan kecil, kegangalan persalinan vakum atau ferseps

ekstraksi.

3. Anatomi fisiologi Seksio Caesarea

SC merupakan tindakan untuk melahirkan bayi dengan berat di atas 500

gr dengan sayatan pada dinding uterus yang masih utuh. Indikasi

dilakukan tindakan ini yaitu distorsi kepala panggul, disfungsi uterus,

distorsia jaringan lunak, placenta previa dll, untuk ibu.

Sedangkan untuk janin adalah gawat janin. Janin besar dan letak

lintang setelah dilakukan SC ibu akan mengalami adaptasi post partum

baik dari aspek kognitif berupa kurang pengetahuan. Akibat kurang

informasi dan dari aspek fisiologis yaitu produk oxsitosin yang tidak

adekuat akan mengakibatkan ASI yang keluar hanya sedikit, luka dari

insisi akan menjadi post de entris bagi kuman. Oleh karena itu perlu

diberikan antibiotik dan perawatan luka dengan prinsip steril. Nyeri

adalah salah utama karena insisi yang mengakibatkan gangguan rasa

nyaman. Sebelum dilakukan operasi pasien perlu dilakukan anestesi bisa

bersifat regional dan umum. Namun anestesi umum lebih banyak

pengaruhnya terhadap janin maupun ibu anestesi janin sehingga kadang-

kadang bayi lahir dalam keadaan upnoe yang tidak dapat diatasi dengan

mudah. Akibatnya janin bisa mati, sedangkan pengaruhnya anestesi bagi


ibu sendiri yaitu terhadap tonus uteri berupa atonia uteri sehingga darah

banyak yang keluar.

Untuk pengaruh terhadap nafas yaitu jalan nafas yang tidak efektif

akibat sekret yan berlebihan karena kerja otot nafas silia yang menutup.

Anestesi ini juga mempengaruhi saluran pencernaan dengan menurunkan

mobilitas usus (Nurjannah Intansari,2010).

Seperti yang telah diketahui setelah makanan masuk lambung akan

terjadi proses penghancuran dengan bantuan peristaltik usus. Kemudian

diserap untuk metabolisme sehingga tubuh memperoleh energi. Akibat dari

mortilitas yang menurun maka peristaltik juga menurun. Makanan yang ada

di lambung akan menumpuk dan karena reflek untuk batuk juga menurun.

Maka pasien sangat beresiko terhadap aspirasi sehingga perlu dipasang pipa

endotracheal. Selain itu motilitas yang menurun juga berakibat pada perubahan

pola eliminasi yaitu konstipasi (Anonim,2010).

4. Komplikasi

Komplikasi utama persalinan seksio cesarea adalah kerusakan

organ-organ seperti vesika urinasia dan uterus saat dilangsungkannya

operasi, komplikasi anestesi, perdarahan, infeksi dan tromboemboli.

Kematian ibu lebih besar pada persalinan seksio cesarea dibandingkan

persalinan pervagina (Rasjidi, 2009).

Menurut Rasjidi (2009) takipneu sesaat pada bayi baru lahir lebih

sering terjadi pada persalinan seksio cesarea, dan kejadian trauma

persalinan pun tidak dapat disingkirkan. Risiko jangka panjang yang dapat

terjadi adalah terjadinya plasenta previa, solusio plasenta, plasenta akreta


dan ruptur uteri.

Sementara itu menurut Leveno (2009) menyatakan bahwa

komplikasi pascaoperasi seksio sesaria meningkatkan morbiditas ibu secara

drastis dibandingkan dengan persalinan pervaginam. Penyebab utamanya

adalah endomiometritis, perdarahan, infeksi saluran kemih, dan

tromboembolisme. Infeksi panggul dan infeksi luka operasi meningkat dan,

meskipun jarang, dapat menyebabkan fasiitis nekrotikans.

5. Penatalaksanaan Post Sectio Caesarea

Perawatan post Sectio Caesarea menurut Rasjidi (2009) yaitu :

a. Ruang Pemulihan

Dalam ruang pemulihan prosedur yang harus dilakukan yaitu

memantau dengan cermat jumlah perdarahan dari vagina dan

palpasi fundus uteri untuk memastikan bahwa uterus berkontraksi

dengan baik.

b. Pemberian Cairan Intravena

Perdarahan yang tidak disadari di vagina selama tindakan dan

perdarahan yang tersembunyi didalam uterus atau keduanya, sering

menyebabkan perkiraan kehilangan darah menjadi lebih rendah

daripada sebenarnya. Cairan intravena yang perlu disiapkan untuk

memenuhi kebutuhan klien yaitu larutan Ringer Laktat atau larutan

Kristaloid ditambah Dektrosa 5%. Bila kadar Hb rendah diiberikan

transfusi darah sesuai kebutuhan.

palpasi fundus uteri untuk memastikan bahwa uterus berkontraksi

dengan baik.

c. Pemberian Cairan Intravena

Perdarahan yang tidak disadari di vagina selama tindakan dan


perdarahan yang tersembunyi didalam uterus atau keduanya, sering

menyebabkan perkiraan kehilangan darah menjadi lebih rendah

daripada sebenarnya. Cairan intravena yang perlu disiapkan untuk

memenuhi kebutuhan klien yaitu larutan Ringer Laktat atau larutan

Kristaloid ditambah Dektrosa 5%. Bila kadar Hb rendah diiberikan

transfusi darah sesuai kebutuhan.

d. Tanda-Tanda Vital

Setelah pulih dari ansetesi, observasi pada klien dilakukan setiap

setengah jam setelah 2 jam pertama dan tiap satu jam selama

minimal 4 jam setelah didapatkan hasil yang stabil. Tanda vital

yang perlu dievaluasi yaitu Tekanan darah, Nadi, Jumlah urin,

Jumlah perdarahan, Status fundus uteri, Suhu tubuh.

e. Analgesik

Pemberian analgesik dapat diberikan paling banyak setiap 3 jam

untuk mengurangi nyeri yang dirasakan. Pemberian analgesik dapat

berupa Meperidin 75-100mg intramuskuler dan morfin sulfat 10-

15mg intramuskuler.
f. Pengawasan fungsi vesika urinaria dan usus

Kateter vesika urinaria biasanya dapat dilepas dalam waktu 12 jam

setelah operasi dilakukan. Sedangkan untuk makanan padat dapat

diberikan kurang lebih 8 jam stelah operasi, atau jika klien tidak

mengalami komplikasi.

g. Pemeriksaan laboratorium

Hematrokit secara rutin diukur pada pagi hari stelah pembedahan.

Pemeriksaan dilakukan lebih dini apabila terdapat kehilangan darah

yang banyak selama operasi atau menunjukkan tanda-tanda lain

yang mengarah ke hipovoemik.

h. Menyusui

Menyusui dilakukan pada hari 0 post Sectio Caesarea. Apabila

klien memutuskan untuk tidak menyusui, dapat diberikan bebat

untuk menopang payudara yang bisa mengurangi rasa nyeri pada

payudara.

i. Pencegahan infeksi pasca operasi

Infeksi panggul pasca operasi merupakan penyebab tersering dari

demam dan tetap terjadi pada 20% wanita walaupun telah diberikan

antibiotik profilaksis. Sejumlah uji klinis acak telah membuktikan

bahwa antibiotik dosis tunggal dapat diberikan saat Sectio

Caesarea untuk menrunkan angka infeksi.


j. Mobilisasi

Mobilisasai dilakukan secara bertahap meliputi miring kanan dan

kiri dapat dimulai sejak 6-10 jam setelah operasi. Hari kedua post

operasi penderita dapat didudukkan selama 5 menit dan diminta

untuk bernafas dalam. Kemudian posisi tidur telentang dapat

diubahmenjadi posisi setengah duduk. Selanjutnya dengan

berturrut-turut selama hari demi hari pasien dianjurkan belajar uduk

selama sehari, belajar berjalan, dan kemudian berjalan sendiri pada

hari ketiga sampai hari kelima pasca operasi sectio caesarea

k. Kateterisasi

Kandung kemih yang penuh menimbulkan rasa nyeri dan tidak

enak pada penderita, meghalangi involusi uterus dan menyebabkan

atonia uteri.

6. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemantauan janin terhadap Kesehatan janin

b. Pemantauan CTG

c. Elektrolit

d. Hemoglobin/ hematokrit

e. Golongan darah

f. Darah lengkap

g. Urinalis

h. Amniosentesis terhadap maturitas paru janin sesuai indikasi


7. Tanda dan gejala

1. Tanda dan Gejala Post Sc


a. Kejang parsial sederhana :
Kesadaran tidak terganggu, dapat mencakup satu atau lebih hal berikut ini:
1) Tanda – tanda motoris, kedutan pada wajah, atau salah satu sisi tubuh;
umumnya gerakan setipa kejang sama.
2) Tanda atau gejala otonomik: muntah, berkeringat, muka merah, dilatasi
pupil.
3) Gejala somatosensoris atau sensoris khusus : mendengar musik, merasa
seakan ajtuh dari udara, parestesia.
4) Gejala psikis : dejavu, rasa takut, visi panoramik.

b. Kejang parsial kompleks


1) Terdapat gangguan kesadaran, walaupun pada awalnya sebagai kejang
parsial simpleks
2) Dapat mencakup otomatisme atau gerakan otomatik : mengecap –
ngecapkan bibir,mengunyah, gerakan menongkel yang berulang – ulang
pada tangan dan gerakan tangan lainnya.
3) Dapat tanpa otomatisme : tatapan terpaku
Kejang umum ( konvulsi atau non konvulsi )

c. Kejang absens
1) Gangguan kewaspadaan dan responsivitas
2) Ditandai dengan tatapan terpaku yang umumnya berlangsung kurang
dari 15 detik
3) Awitan dan akhiran cepat, setelah itu kempali waspada dan konsentrasi
penuh

d. Kejang mioklonik
1) Kedutan – kedutan involunter pada otot atau sekelompok otot yang
terjadi secara mendadak
2) Sering terlihat pada orang sehat selaam tidur tetapi bila patologik
berupa kedutan keduatn sinkron dari bahu, leher, lengan atas dan kaki.
3) Umumnya berlangsung kurang dari 5 detik dan terjadi dalam kelompok
4) Kehilangan kesadaran hanya sesaat.

e. Kejang tonik klonik


1) Diawali dengan kehilangan kesadaran dan saat tonik, kaku umum pada
otot ekstremitas, batang tubuh dan wajah yang berlangsung kurang dari
1 menit
2) Dapat disertai hilangnya kontrol usus dan kandung kemih
3) Saat tonik diikuti klonik pada ekstrenitas atas dan bawah.
4) Letargi, konvulsi, dan tidur dalam fase postictal

f. Kejang atonik
1) Hilngnya tonus secara mendadak sehingga dapat menyebabkan kelopak
mata turun, kepala menunduk,atau jatuh ke tanah.

2) Singkat dan terjadi tanpa peringatan.

8. Pencegahan pasca operasi

1. Nutrisi

2. Personal hygine

3. Luka operasi jangan sampai terkena air

4. Ganti perban penutup luka operasi secara berkala

5. Jaga jahitan supaya tidak robek

6. Minum obat yang telah diresepkan oleh dokter secara teratur


9. Pathway

Sectio Caesarea

Luka Sectio Caesarea Pengaruh anestesi Adaptasi post


spinal partum

Trauma jaringan Tonus otot kandung


kemih menurun

Distensi kandung
Jaringan terputus Jaringan terbuka
kemih

Histamin dan Proteksi kurang Perubahan eliminasi


prostaglandin keluar urin

Merangsang area Invasi bakteri MK : Gangguan


sensorik Eliminasi Urin

MK : Nyeri Akut MK : Resiko infeksi

MK : Hambatan
Mobilitas Fisik

MK : Defisit )
Perawatan Diri
palpasi fundus uteri untuk memastikan bahwa uterus berkontraksi

dengan baik.

a. Pemberian Cairan Intravena

Perdarahan yang tidak disadari di vagina selama tindakan dan

perdarahan yang tersembunyi didalam uterus atau keduanya, sering

menyebabkan perkiraan kehilangan darah menjadi lebih rendah

daripada sebenarnya. Cairan intravena yang perlu disiapkan untuk

memenuhi kebutuhan klien yaitu larutan Ringer Laktat atau larutan

Kristaloid ditambah Dektrosa 5%. Bila kadar Hb rendah diiberikan

transfusi darah sesuai kebutuhan.

b. Tanda-Tanda Vital

Setelah pulih dari ansetesi, observasi pada klien dilakukan setiap

setengah jam setelah 2 jam pertama dan tiap satu jam selama

minimal 4 jam setelah didapatkan hasil yang stabil. Tanda vital

yang perlu dievaluasi yaitu Tekanan darah, Nadi, Jumlah urin,

Jumlah perdarahan, Status fundus uteri, Suhu tubuh.

c. Analgesik

Pemberian analgesik dapat diberikan paling banyak setiap 3 jam

untuk mengurangi nyeri yang dirasakan. Pemberian analgesik dapat

berupa Meperidin 75-100mg intramuskuler dan morfin sulfat 10-

15mg intramuskuler.
d. Pengawasan fungsi vesika urinaria dan usus

Kateter vesika urinaria biasanya dapat dilepas dalam waktu 12 jam

setelah operasi dilakukan. Sedangkan untuk makanan padat dapat

diberikan kurang lebih 8 jam stelah operasi, atau jika klien tidak

mengalami komplikasi.

e. Pemeriksaan laboratorium

Hematrokit secara rutin diukur pada pagi hari stelah pembedahan.

Pemeriksaan dilakukan lebih dini apabila terdapat kehilangan darah

yang banyak selama operasi atau menunjukkan tanda-tanda lain

yang mengarah ke hipovoemik.

f. Menyusui

Menyusui dilakukan pada hari 0 post Sectio Caesarea. Apabila

klien memutuskan untuk tidak menyusui, dapat diberikan bebat

untuk menopang payudara yang bisa mengurangi rasa nyeri pada

payudara.

g. Pencegahan infeksi pasca operasi

Infeksi panggul pasca operasi merupakan penyebab tersering dari

demam dan tetap terjadi pada 20% wanita walaupun telah diberikan

antibiotik profilaksis. Sejumlah uji klinis acak telah membuktikan

bahwa antibiotik dosis tunggal dapat diberikan saat Sectio

Caesarea untuk menrunkan angka infeksi.


h. Mobilisasi

Mobilisasai dilakukan secara bertahap meliputi miring kanan dan

kiri dapat dimulai sejak 6-10 jam setelah operasi. Hari kedua post

operasi penderita dapat didudukkan selama 5 menit dan diminta

untuk bernafas dalam. Kemudian posisi tidur telentang dapat

diubahmenjadi posisi setengah duduk. Selanjutnya dengan

berturrut-turut selama hari demi hari pasien dianjurkan belajar uduk

selama sehari, belajar berjalan, dan kemudian berjalan sendiri pada

hari ketiga sampai hari kelima pasca operasi sectio caesarea

i. Kateterisasi

Kandung kemih yang penuh menimbulkan rasa nyeri dan tidak

enak pada penderita, meghalangi involusi uterus dan menyebabkan

perdarahan. Kateter biasanya terpasang 24-48 jam atau lebih.

B. Nyeri

1. Pengertian Nyeri

Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak

menyenangkan yang disebakan oleh kerusakan jaringan yang aktual

atau potensial. Nyeri adalah alasan utama seseorang untuk mencari

bantuan perawatan kesehatan (Smeltzer, C, & Bare, 2013).

Nyeri diartikan sebagai suatu sensasi yang tidak menyenangkan

baik secara sensori maupun emosional yang berhubungan dengan

adanya suatu kerusakan jaringan atau faktor lain sehingga individu


merasa tersiksa dan menderita yang akhirnya akan mengganggu

aktivitas sehari-hari, psikis dan lain lain (Asmadi, 2008).

Nyeri akut adalah keadaan ketika individu mengalami dan

mengeluh ketidaknyamanan yang hebat atau sensasi yang tidak

menyenangkan selama satu detik hingga kurang dari enam bulan

(Carpenito, Lynda Jual 2013)

Nyeri postoperasi adalah nyeri yang dirasakan akibat dari hasil

pembedahan. Kejadian, intensitas dan durasi nyeri postoperasi berbeda-

beda dari pasien ke pasien, dari operasi ke operasi, dan dari rumah sakit

ke rumah sakit yang lain. Lokasi pembedahaan mempunyai efek yang

sangat penting yang hanya dapat dirasakan oleh pasien yang

mengalami nyeri postoperasi. Aspek dari postoperasi adalah untuk

menyelidiki adanya pengalaman nyeri yang mencakup persepsi dan

perilaku tentang nyeri. Nyeri postoperasi adalah suatu reaksi yang

kompleks pada jaringan yang terluka pada proses pembedahaan yang

dapat dirasakan setelah adanya prosedur operasi (Smeltzer, C & Bare,

2013)

2. Klasifikasi Nyeri

a. Nyeri Berdasarkan Tempatnya

1) Pheriperal pain yaitu nyeri yang dirasakan pada permukaan

tubuh misalnya pada kulit dan mukosa.

2) Deep pain yaitu nyeri yang dirasakan pada permukaan tubuh yang

lebih dalam atau pada organ tubuh visceral.


3) Refered pain yaitu nyeri yang disebabkan karena penyakit pada

salah satu organ atau struktur dalam tubuh yang ditransmisikan ke

daerah bagian tubuh yang berbeda atau bukan daerah asal nyeri.

4) Central pain yaitu nyeri yang terjadi karena perangsangan sistem

syaraf pusat, batang otak, talamus, dan lain lain (Asmadi, 2008).

b. Nyeri Berdasarkan Sifatnya

1) Incidental pain yaitu nyeri yang timbul sewaktu-waktu lalu

menghilang.

2) Steady pain yaitu nyeri yang timbul dan menetap serta dirasakan

dalam waktu yang lama.

3) Paroxymal pain yaitu nyeri yang berintensitas tinggi dan kuat

sekali. Nyeri tersebut biasanya menetap ± 10-15 menit , lalu

menghilang, kemudian timbul lagi (Asmadi, 2008).

c. Nyeri Berdasarkan Lamanya Waktu Serangan

1) Nyeri Akut

Nyeri akut adalah nyeri yang awitanya tiba-tiba dan berkaitan

dengan cedera spesifik. Nyeri akut mengindikasikan bahwa

kerusakan atau cedera telah terjadi (Smeltzer, C, & Bare, 2013).

Nyeri akut adalah nyeri yang dirasakan dalam waktu yang singkat

dan berakhir kurang dari enam bulan, sumber dan daerah nyeri

diketahui dengan jelas. Rasa nyeri adalah sebagai akibat dari luka,

seperti luka operasi atau pada suatu penyakit tertentu (Asmadi,

2008).
2) Nyeri Kronik

Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang

menetap dalam periode waktu tertentu. Nyeri ini berlangsung

diluar waktu penyembuhan yang diperlukan dan tidak dapat

dikaitkan dengan penyebab atau cedera spesifik. Nyeri kronik

tidak mempunyai awitan yang ditetapkan dan sulit untuk diobati

karena nyeri ini tidak memberikan respons terhadap pengobatan

yang diberikan. Nyeri kronik sering didefinisikan sebagai nyeri

yang berlangsung selama enam bulan atau lebih (Smeltzer, C, &

Bare, 2013). Nyeri kronik adalah nyeri yang dirasakan lebih dari

enam bulan. Nyeri ini memiliki pola yang beragam dan

berlangsung selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Pola

yang beragam tersebut diantaranya merupakan nyeri yang timbul

dalam periode waktu tertentu lalu timbul kembali (nyeri berulang)

dan nyeri yang konstan, yaitu nyeri yang dirasakan terus-menerus

dan semakin lama terasa semakin meningkat intensitasnya

walaupun telah diberikan pengobatan (Asmadi, 2008).

3. Etiologi Nyeri

Asmadi (2008) mengklasifikasikan penyebab nyeri ke dalam dua

golongan yaitu penyebab yang berhubungan dengan fisik dan penyebab

yang berhubungan dengan psikis. Secara fisik, misalnya trauma

(trauma mekanik, kimiawi, termis, maupun elektrik), neoplasma, dan


peradangan. Secara psikis nyeri dapat terjadi karena adanya trauma

psikologis.

Trauma mekanik menimbulkan nyeri karena ujung-ujung saraf

bebas mengalami kerusakan akibat benturan, gesekan, ataupun luka.

Trauma termis menimbulkan nyeri karena ujung saraf reseptor

mendapat rangsangan akibat panas dan dingin. Trauma kimiawi terjadi

karena tersentuh zat asam atau basa yang kuat. Sedangkan trauma

elektrik dapat menimbulkan nyeri karena pengaruh aliran listrik yang

kuat mengenai reseptor rasa nyeri.

Neoplasma menyebabkan nyeri karena terjadinya tekanan atau

kerusakan jaringan yang mengandung reseptor nyeri dan karena

tarikan, jepitan atau metastase. Nyeri karena peradangan terjadi karena

kerusakan ujung-ujung saraf reseptor akibat adanya peradangan atau

terjepit karena adanya pembengkakan. Dengan demikian disimpulkan

bahwa nyeri yang disebabkan karena faktor fisik disebabkan karena

terganggunya serabut saraf reseptor nyeri. Serabut saraf ini terletak dan

tersebar pada lapisan kulit dan jaringan-jaringan tertentu.

Nyeri yang disebabkan oleh faktor psikologis dirasakan bukan

karena penyebab organik, melainkan akibat trauma psikologis dan

pengaruhnya terhadap fisik. Kasus ini dapat dijumpai pada kasus yang

termasuk kategori psikomotik. Nyeri karena faktor ini juga disebut

pula dengan psikogenic pain.


4. Fisiologi Nyeri

Nyeri mempunyai empat proses fisiologis dari nyeri nosiseptif

(saraf-saraf yang menghantarkan stimulus nyeri ke otak) yaitu

transduksi transmisi, persepsi dan modulasi.

Stimulus suhu, kimia atau mekanik, biasanya dapat

menyebabkan nyeri. Energi dari stimulus-stimulus ini dapat diubah

menjadi energi listrik. Perubahan energi ini dinamakan transduksi.

Transduksi dimulai dari perifer, ketika stimulus terjadinya nyeri

mengirim impuls yang melewati serabut perifer yang terdapat di panca

indera, maka akan menimbulkan potensial aksi. Setelah transduksi

selesai, transmisi impuls nyeri dimulai.

Kerusakan sel dapat disebabkan oleh stimulus suhu, mekanik

atau kimiawi yang mengakibatkan pelepasan neurotransmitter eksitator

seperti prostaglandin, bradikinin, kalium, histamin, dan substansi P.

Substansi yang peka terhadap nyeri yang terdapat disekitar serabut

nyeri di cairan ekstraseluler, menyebarkan inflamasi. Serabut nyeri

memasuki medula spinalis melalui tulang belakang dan melalui

beberapa rute hingga berakhir di grey matter medulla spinalis.

Substansi P dilepaskan di tulang belakang yang menyebabkan

terjadinya transmisi sinapsis dari saraf perifer eferen ke sistem saraf

spinotalamik, impuls – impuls nyeri berjalan melintasi medula

spinalis. Setelah impuls nyeri naik ke medula spinalis, thalamus

menstransmisikan informasi ke pusat yang lebih tinggi ke otak,


termasuk pembentukan jaringan, sistem limbik, korteks somatosensori

dan gabungan korteks. Ketika stimulus nyeri sampai ke korteks

serebral maka otak akan mengintepretasikan kualitas nyeri dan

memproses informasi dari pengalaman yang telah lalu, pengetahuan

serta faktor budaya yang berhubungan dengan persepsi nyeri.

Persepsi merupakan salah satu poin dimana seseorang sadar

akan timbulnya nyeri. Korteks somatosensori mengidentifikasikan

lokasi dan intensitas nyeri dan gabungan korteks terutama sistem

limbik yang menentukan bagaimana seseorang merasakan nyeri.

Dengan kata lain, pusat nyeri tidak pernah berjumlah satu.

Bersamaan dengan seseorang menyadari adanya nyeri maka

reaksi kompleks mulai terjadi. Faktor – faktor psikologis dan kognitif

berinteraksi dengan neurofisiologi dalam mempersepsikan nyeri.

Persepsi memberikan seseorang perasaan sadar dan makna terhadap

nyeri sehingga membuat orang tersebut kemudian bereaksi. Sesaat

setelah otak menerima adanya stimulus nyeri, terjadi pelepasan

neurotransmitter inhibitor yang bekerja untuk menghambat transmisi

impuls nyeri merupakan fase keempat dari proses nosiseptif yang

dikenal sebagai modulasi (Potter dan Perry, 2010).

5. Faktor – Faktor Yang Dapat Mempengaruhi Nyeri

Rasa nyeri merupakan suatu hal yang bersifat kompleks,

mencakup pengaruh psikologis, fisiologis, spiritual dan budaya. Oleh

karena itu pengalaman nyeri masing-masing orang berbeda (Potter dan


Perry, 2010). Berikut faktor yang dapat mempengaruhi nyeri menurut

Perry dan Potter (2010) dan Smeltzer (2013):

a. Usia

Usia merupakan variabel penting yang mempengaruhi nyeri,

khususnya pada anak dan lansia. Anak kecil mempunyai kesulitan

memahami nyeri dan prosedur yang dilakukan perawat yang

menyebabkan nyeri. Anak-anak juga mengalami kesulitan secara

verbal dalam mengungkapkan dan mengekspresikan nyeri.

Sedangkan persepsi nyeri pada lansia mungkin berkurang sebagai

akibat dari perubahan patologis berkaitan dengan beberapa penyakit

seperti diabetes, tetapi pada individu lansia yang sehat persepsi nyeri

mungkin tidak berubah

b. Jenis kelamin

Beberapa kebudayaan yang mempengaruhi jenis kelamin

misalnya menganggap bahwa seorang anak laki-laki harus berani

dan tidak boleh menangis, sedangkan anak perempuan boleh

menangis dalam situasi yang sama. Namun secara umum, pria dan

wanita tidak berbeda secara bermakna dalam berespon terhadap

nyeri.

c. Kebudayaan

Beberapa kebudayaan yakin bahwa memperlihatkan nyeri adalah

suatu yang alamiah. Kebudayaan lain cenderung untuk melatih

perilaku yang tertutup (introvert). Sosialisasi budaya mementukan


perilaku psikologis. Karena dari manusia berasal dari kebudayaan

yang berbeda satu sama lain, karena orang dari budaya yang berbeda

yang mengalami nyeri dengan intensitas yang sama dapat tidak

melaporkannya atau berespon terhadap nyeri tersebut dengan cara

yang sama.

d. Makna Nyeri

Individu akan mempersepsikan nyeri yang berbeda-beda apabila

nyeri tersebut memberi kesan ancaman, suatu kehilangan, hukuman

dan tantangan. Makna nyeri mempengaruhi pengalaman nyeri dan

cara seseorang beradaptasi terhadap nyeri

e. Perhatian

Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri

dapat mempengaruhi persepsi nyeri. Perhatian yang meningkat

dihubungkan dengan nyeri yang meningkat sedangkan upaya

pengalihan (distraksi) dihubungkan dengan respon nyeri yang

menurun

f. Ansietas

Ansietas sering kali meningkatkan persepsi nyeri, tetapi nyeri

juga dapat menimbulkan suatu perasaan ansietas. Apabila rasa

cemas tidak mendapat perhatian dapat menimbulkan suatu masalah

penatalaksanaan nyeri yang serius


g. Keletihan

Rasa kelelahan menyebabkan sensai nyeri semakin intensif dan

menurunkan kemampuan koping sehingga meningkatkan persepsi

nyeri

h. Pengalaman sebelumnya

Setiap individu belajar dari pengalaman nyeri sebelumnya namun

tidak selalu berarti bahwa individu tersebut akan menerima nyeri

dengan lebih mudah di masa yang akan datang.

Pengalaman masa lalu dengan nyeri adalah menarik untuk

berharap dimana individu yang mempunyai pengalaman multipel

dan berkepanjangan dengan nyeri akan lebih sedikit gelisah dan

lebih toleran terhadap nyeri dibanding orang yang mengalami sedikit

nyeri. Cara seseorang berespon terhadap nyeri adalah akibat dari

banyak kejadian nyeri selama rentang kehidupannya. Bagi beberapa

orang, nyeri masa lalu dapat saja menetap dan tidak terselesaikan,

seperti pada nyeri berkepanjangan dan persisten. Individu yang

mengalami nyeri selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun dapat

menjadi mudah marah, menarik diri dan depresi

i. Gaya koping

Individu yang memiliki lokus kendali internal mempersepsikan

diri mereka sebagai individu yang dapat mengendalikan lingkungan

mereka dan hasil akhir suatu peristiwa seperti nyeri. Sebaliknya,

individu yang memiliki lokus kendali eksternal mempersepsikan


faktor lain di dalam lingkungan mereka seperti perawat sebagai

individu yang bertanggung jawab terhadap hasil akhir suatu

peristiwa

j. Dukungan keluarga dan sosial

Kehadiran orang-orang terdekat pasien dan bagaimana sikap

mereka terhadap pasien mempengaruhi respon nyeri. Pasien dengan

nyeri memerlukan dukungan, bantuan dan perlindungan walaupun

nyeri tetap dirasakan namun kehadiran orang yang dicintai akan

meminimalkan kesepian dan ketakutan

k. Efek plasebo

Efek plasebo terjadi ketika seseorang berespon terhadap

pengobatan atau tindakan lain karena suatu harapan bahwa

pengobatan atau tindakan tersebut akan memberikan hasil bukan

karena tindakan atau pengobatan tersebut benar-benar bekerja.

Menerima pengobatan atau tindakan efektif saja sudah memberikan

efek positif

6. Skala Nyeri

Skala intensitas nyeri menurut Potter dan Perry (2010) adalah sebagai

berikut:

a. Skala intensitas nyeri Numerik ( Numerik Pain Rating Scales )

Skala penilaian NPRS ( Numerik Pain Rating Scales ) lebih

digunakan sebagai pengganti alat pendiskripsi kata. Dalam hal ini,

klien menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Skala ini


paling efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan

sesudah intervensi terapeutik. Apabila digunakan skala untuk

menilai nyeri, maka direkomendasikan patokan 10 cm

b. Skala nyeri Wong & Baker

Merupakan skala bergambar ekspresi wajah dari ekspresi senyum

atau gembira sampai ekspresi menangis yang menunjukkan nyeri

yang sangat hebat. Pasien dapat menentukan sendiri gambaran

ekspresi dari skala untuk menggambarkan intensitas nyeri yang

dialami.

7. Respon Terhadap Nyeri

Potter dan Perry (2010) membagi respon klien terhadap nyeri,

diantaranya sebagai berikut :

a. Respon fisiologis

1) Stimulasi simpatik : (nyeri ringan, moderat, dan superficial)

a) Dilatasi saluran bronkhial dan peningkatan respirasi rate

b) Peningkatan nadi

c) Vasokontriksi perifer, peningkatan Blood Pressure


d) Peningkatan nilai gula darah

e) Diaphoresis

f) Peningkatan kekuatan otot

g) Dilatasi pupil

h) Penurunan motilitas Gastrointestinal

2) Stimulus Parasimpatik (nyeri berat dan dalam)

a) Muka pucat

b) Otot mengeras

c) Penurunan Heart Rate dan Blood


Pressure

d) Nafas cepat dan ireguler

e) Nausea dan vomitus

f) Kelelahan dan keletihan

b. Respon perilaku

Sensasi nyeri terjadi ketika merasakan nyeri. Gerakan tubuh

yang khas dan ekspresi wajah yang mengindikasikan nyeri dapat

ditunjukkan oleh pasien sebagai respon perilaku terhadap nyeri.

Respon tersebut seperti mengkerutkan dahi, gelisah, memalingkan

wajah ketika diajak bicara.

Respon perilaku terhadap nyeri mencakup :

1) Pernyataan verbal (mengaduh, menangis, sesak nafas,

mendengkur).

2) Ekspresi wajah ( meringis, menggeletukkan gigi, menggigit

bibir).
3) Gerakan tubuh (gelisah, imobilisasi, ketegangan otot, peningkatan

gerakan jari dan tangan).

4) Kontak dengan orang lain / interaksi sosial ( menghindari

percakapan, menghindari kontak sosial, penurunan rentang

perhatian, fokus pada aktivitas menghilangkan nyeri)

8. Dampak Nyeri pada Klien

a. Tanda dan Gejala Fisik

Adanya respons fisiologis terhadap nyeri dapat menunjukkan

keberadaan dan sifat nyeri. Saat nyeri berlangsung, denyut jantung,

tekanan darah, dan frekuensi pernapasan akan meningkat. Hal

tersebut terjadi karena nyeri akan menginisiasi atau memacu

peningkatan aktivitas saraf simpatis (Kozier & Erb, 2009). Hal

tersebut jika tidak dikelola dengan baik akan menyebabkan dampak

lain yang lebih serius. Peningkatan tekanan darah dan nadi akan

menyebabkan curah jantung meningkat dan peningkatan tekanan

vaskuler serebral yang bisa mengakibatkan pecahnya pembuluh

darah otak yang berakibat stroke dan kelumpuhan (Smeltzer, C, &

Bare, 2013), sedangkan peningkatan pernafasan akan

mengakibatkan nafas menjadi pendek sehingga klien akan

mengalami sesak napas dan menyebabkan pemenuhan kebutuhan

oksigenasi klien menjadi terganggu (Edward R, 2012).

Nyeri juga dapat mempengaruhi respon emosi seperti cemas,

takut, depresi, dan tidak mempunyai harapan. Hal tersebut terjadi


karena klien yang mengalami nyeri yang berat cenderung

mengalami keputusasaan dan ketidakberdayaan karena berbagai

pengobatan tidak membantu pengurangan nyerinya sehingga akan

berdampak pada gangguan psikososial seperti menarik diri dan

menganggap dirinya tidak berarti (Smeltzer, C, & Bare, 2013).

b. Efek Perilaku

Apabila seseorang mengalami nyeri, perawat akan mengkaji

kata-kata yang diucapkan klien seperti respon verbal, ekspresi

wajah, dan gerakan tubuh serta interaksi sosial. Merintih kesakitan

dan menangis merupakan contoh respon verbal yang digunakan

klien untuk mengekspresikan nyeri. Sedangkan ekspresi wajah atau

gerakan tubuh yang tidak terlalu ditunjukan oleh klien seringkali

lebih menunjukan karakteristik nyeri daripada pertanyaan yang

akurat. Misalnya klien yang meringis dan menggulingkan tubuhnya

ke kiri dan ke kanan, ekspresi wajah yang gelisah dan gerakan untuk

melindungi bagian tubuh yang nyeri (Potter & Perry, 2010).

c. Pengaruh pada Aktivitas Sehari-hari

Klien yang mengalami nyeri kurang mampu untuk

berpastisipasi dalam aktivitas rutin. Klien mungkin menemukan

kesulitan untuk tidur, dan nyeri yang muncul dapat membangunkan

klien saat malam hari dan membuat klien sulit untuk tidur kembali.

Selanjutnya klien juga akan kesulitan dalam melakukan hiegene

normal, tergantung pada lokasi nyeri (Potter & Perry, 2010)


C. Pengelolaan Nyeri Akut Post Secsio Caesarea

1. Terapi Nyeri Farmakologis

Beberapa agens farmakologis digunakan untuk menangani nyeri.

Analgesik merupakan metode yang paling umum untuk mengatasi

nyeri. Ada 3 jenis analgesik diantaranya : non narkotik dan obat anti

inflamasi nonsteroid (NSAID), analgesik narkotik atau opait, dan obat

tambahan (adjuvan) atau koanalgesik. NSAID umumnya

menghilangkan nyeri ringan dan nyeri sedang. Biasanya terapi pada

nyeri pascaoperasi ringan sampai sedang dimulai dengan menggunakan

terapi NSAID. Nonsteroid bekerja pada reseptor saraf perifer untuk

mengurangi transmisi dan resepsi stimulus nyeri. Tidak seperti opiat,

NSAID tidak menyebabkan sedasi atau depresi pernapasan dan tidak

mengganggu fungsi berkemih atau defekasi. Analgesik opiat atau

narkotik umumnya digunakan untuk nyeri yang sedang sampai berat

seperti nyeri pascaoperasi dan maligna. Sedangkan adjuvan atau

koanalgesik seperti sedatif, anti cemas, dan relaksan otot akan

meningkatkan kontrol nyeri dan menghilangkan gejala lain yang terkait

dengan nyeri (Potter & Perry, 2010).


2. Terapi Nyeri Non Farmakologis

a. Teknik Distraksi

Distraksi adalah memfokuskan perhatian klien pada sesuatu hal yang

lain, sehingga menurunkan kewaspadaan terhadap nyeri. Distraksi

dapat menurunkan persepsi nyeri dengan menstimulasi sistem

kontrol desenden yang mengakibatkan stimuli nyeri yang

ditransmisikan ke otak berkurang (Smeltzer, C, & Bare 2013).

Prosedur teknik distraksi berdasarkan jenisnya antara lain :

1) Distraksi Visual

Distraksi visual dilakukan dengan menonton televisi,membaca

buku atau koran,melihat pemandangan, dan melihat gambar

(Prasetyo,2010).

2) Distraksi Pendengaran

Distraksi pendengaran dilakukan dengan mendengarkan musik

yang disukai,suara burung dan gemercik air. Klien dianjurkan

untuk memilih musik yang disukai dan musik yang tenang seperti

musik klasik. Klien diminta untuk memfokuskan perhatian pada

lirik dan irama lagu dan klien diperbolehkan untuk menggerakkan

tubuh mengikuti irama lagu seperti bergoyang dan mengetukkan

kaki maupun jari (Tamsuri, 2007).

3) Distraksi Pernafasan

Klien dianjurkan untuk memejamkan mata atau memandang

fokus pada satu objek, lalu melakukan inhalasi perlahan melalui


hidung dengan hitungan satu sampai empat (dalam hati).

Anjurkan klien untuk berkonsentrasi pada sensasi pernafasan dan

terhadap gambar atau pemandangan yang memberi ketenangan,

lanjutkan teknik ini hingga terbentuk pola pernafasan ritmik

(Widyastuti, 2010).

4) Distraksi Intelektual

Distraksi intelektual dapat dilakukan dengan mengisi teka-teki

silang, bermain kartu, dan melakukan kegemaran (di tempat tidur)

seperti mengumpulkan perangko dan menulis cerita (Widyastuti,

2010).

b. Teknik Relaksasi

Relaksasi adalah cara yang paling efektif dalam menurunkan

nyeri pascaoperasi. Tehnik relaksasi merupakan tehnik penanganan

nyeri non farmakologi yang dapat membantu memperlancar sirkulasi

darah sehingga suplai oksigen meningkat dan dapat membantu

mengurangi tingkat nyeri serta mempercepat proses penyembuhan

luka pada pasien post operasi (Urden et al, 2010).

Ada bermacam-macam teknik relaksasi diantaranya adalah

relaksasi otot skeletal. Relaksasi otot skeletal dapat menurunkan

nyeri dengan merilekskan ketegangan otot yang menunjang adanya

nyeri. Selanjutnya adalah relaksasi nafas abdomen dengan frekuensi

lambat dan berirama. Klien dapat memejamkan matanya dan

bernapas dengan perlahan dan nyaman. Irama yang konstan dapat


dilakukan dengan mengitung di dalam hati dan lambat bersama

setiap inhalasi dan ekshalasi (Smeltzer, C, & Bare 2013).

Langkah-langkah teknik relaksasi otot skeletal menurut Kozier

dan Erb (2009) sebagai berikut :

1) Bantu klien pada posisi yang nyaman dan rileks (pastikan seluruh

bagian tubuh disangga dan sendi agak fleksi tanpa ada tegangan

atau tarikan pada otot (misalnya : tangan atau kaki tidak boleh

bersilang).

2) Mendorong klien untuk mengistirahatkan pikiran dengan

meminta klien untuk memandang sekeliling ruangan secara

perlahan (latihan ini akan memfokuskan pikiran diluar tubuh dan

akan membuat klien berkonsentrasi).

3) Minta klien untuk menegangkan dan kemudian merelaksasi setiap

kelompok otot (dimulai dari tangan, dahi, wajah, leher, dada,

bahu, punggung atas, abdomen, paha, otot betis dan kaki).

4) Dorong klien untuk bernafas perlahan dan dalam lalu berfokus

pada setiap kelompok otot yang sedang mengalami peregangan

dan relaksasi.

5) Bicara dengan suara yang tenang dan pimpin klien untuk berfokus

pada setiap otot (misalnya : “buat kepalan tangan yang kuat”,

“genggam kepalanya dengan sangat kuat”, “tahan tegangan

selama 5-7 detik”, “lepaskan seluruh tegangan”, dan “nikmati

perasaan saat ototmu menjadi rileks dan mengendur”.


6) Minta klien untuk menyebutkan apabila masih ada otot yang

tegang dan anjurkan klien untuk mengulangi prosedur untuk

kelompok otot yang tegang tersebut.

7) Akhiri latihan relaksasi secara perlahan dengan menghitung

mundur dari 4 hingga 1.

8) Minta klien menggerakan badan secara perlahan (pertama tangan

dan kaki, kemudian lengan dan tungkai, dan terakhir kepala dan

leher).

c. Tirah Baring

Tirah baring merupakan tindakan untuk membatasi klien agar

tetap berada di tempat tidur dalam rangka untuk tujuan terapeutik.

Tujuan tirah baring yaitu untuk mengurangi aktivitas fisik klien,

mengurangi nyeri yang meliputi nyeri pasca operasi, memungkinkan

klien yang lemah untuk beristirahat dan mengembalikan kekuatanya,

dan memberi kesempatan kepada klien untuk beristirahat tanpa

adanya ganggua (Potter & Perry, 2010). Namun apabila tirah baring

dilakukan dalam jangka waktu yang lama akan mempunyai risiko

gangguan integritas kulit pada klien. Gangguan tersebut diakibatkan

karena terlalu lama berbaring di tempat tidur akan menyebabkan

tekanan yang dapat mengiritasi kulit bagian tubuh belakang

sehingga akan menimbulkan adanya luka dekubitus. Maka dari itu

klien dianjurkan untuk miring kanan dan miring kiri setiap beberapa
menit untuk mencegah adanya gangguan integritas kulit (Retno,

2013).
D. Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian

a. Pola Pengkajian Pola Fungsional Dongoes (2001) dan Kozier & Erb

(2009)

1) Aktivitas dan istirahat

Gejala : kelemahan dan keletihan, keterbatasan dalam ambulasi,

perubahan pola istirahat, dan jam tidur pada malam hari, adanya

faktor mempengaruhi tidur misalnya nyeri dan ansietas.

2) Sirkulasi darah

Kehilangan darah selama prosedur pembedahan kurang lebih 600-

800 ml. Volume darah menurun seperti sebelum hamil.

3) Integritas ego

Gejala : faktor stress ( keuangan, pekerjaan, dan perubahan peran

) masalah dalam penampilan, misalnya lesi dalam pembedahan,

masalah tentang keluarga, penolakan terhadap keadaan saat ini,

perasaan tidak berdaya, putus asa, tidak bermakna, rasa bersalah

dan depresi.

Tanda : ansietas, terjadi penolakan, menyangkal, menarik diri,

marah, harga diri rendah.

4) Eliminasi

Kateter urinarius mungkin terpasang dengan urine berwarna

jernih pucat. Pasien yang tidak terpasang kateter tetap diajnurkan

untuk melakukan kateterisasi rutin kira-kira 12 jam pasca bedah,


kecuali jika pasien dapat buang air kecil sebanyak 100 cc atau

lebih dalam suatu jangka. Pasien kemungkinan mengalami

konstipasi dengan tanda adanya perubahan bising usus dan

distensi abdomen.

5) Makanan atau cairan

Gejala : membran mukosa yang kering ( pembatasan masukan

atau periode puasa pre operatif dan post operatif ) anoreksia,

mual, muntah, haus.

Tanda : antopometri

A : BB: TB:

B : Hemoglobin : Hematokrit(HCT)

: C : mukosa bibir kering

D:-

6) Neurosensori

Kerusakan gerakkan dan sensasi dibawah tingkatan anastesi

spinal epidural. Setalah 24 jam pasien boleh duduk, miring ke

kanan, miring ke kiri serta melipat kaki agar perdarahan lancar.

7) Nyeri atau ketidaknyamanan

Terdapat beberapa cara untuk mengkaji klien dengan nyeri.

Diantaranya adalah (pengkajian PQRST) :

a) Lokasi Nyeri
Untuk memastikan lokasi nyeri yang dialami klien, perawat

harus meminta klien menunjukan daerah yang dirasakan

tidak nyaman bagi klien.

b) Skala Intensitas atau Tingkat Nyeri

Penggunaan skala intensitas nyeri adalah metode yang

mudah dalam menentukan intensitas nyeri klien. Sebagian

besar skala menggunakan rentang 0-10 dengan 0

mengindikasikan “tidak nyeri” dan nomor tertinggi

mengindikasikan “kemungkinan nyeri terhebat” bagi klien

tersebut. Dimasukanya kata-kata penjelas pada skala dapat

membantu beberapa klien yang mengalami kesulitan dalam

menentukan nilai nyerinya. Klien diminta untuk

menunjukkan skala nilai yang paling baik mewakili intesitas

nyerinya.

Tidak semua klien dapat mengerti atau menghubungkan

nyeri yang dirasakan pada skala intensitas nyeri berdasarkan

angka. Anak-anak yang tidak dapat mengkomunikasikan

ketidaknyamanan secara verbal dan klien lansia yang

mengalami kerusakan kognitif atau sulit berkomunikasi tidak

dapat menghubungkan nyeri yang dirasakan pada skala

intensitas nyeri berdasarkan angka. Maka dari itu skala

tingkat nyeri wajah adalah cara yang efektif untuk klien

tersebut. Skala wajah memiliki skala nomor pada tiap


ekspresi sehingga intensitas nyeri dapat didokumentasikan.

Jelaskan pada klien bahwa setiap wajah adalah wajah

seseorang, yang terlihat bahagia karena ia tidak merasa nyeri

(sakit) dan yang terlihat sedih karena ia merasakan nyeri

(sakit).

c) Kualitas Nyeri

Penjelasan dengan kata sifat membantu orang untuk

mengkomunikasikan kualitas nyeri. Beberapa istilah yang

sering digunakan klien untuk menggambarkan nyeri

misalnya terasa seperti terbakar, seperti tertusuk, panas, tidak

dapat ditahan dll. Perawat perlu mencatat kata-kata

sebenarnya yang digunakan klien dalam menggambarkan

nyeri karena kata-kata klien lebih akurat dan deskriptif.

d) Pola Nyeri

Pola nyeri meliputi waktu awitan, durasi, dan kapan nyeri

berulang. Perawat perlu menanyakan kepada klien saat kapan

nyeri terjadi, berapa lama nyeri berlangsung, dan apakah

terjadi nyeri berulang.

e) Faktor Presipitasi

Aktivitas tertentu terkadang dapat mengakibatkan nyeri.

Seperti aktivitas-aktivitas yang berat pada seseorang yang

berisiko mengalami nyeri akan menyebabkan nyeri terjadi.

Faktor lingkungan seperti kondisi dingin atau panas yang


ekstrem dan kelembaban yang ekstrem dapat mempengaruhi

terjadinya nyeri. Selain itu stressor fisik dan emosional juga

dapat menyebabkan nyeri terjadi.

f) Faktor yang Meringankan Nyeri

Perawat meminta kien untuk menjelaskan apa saja yang

sudah klien lakukan untuk membantu meringankan nyeri

misalnya dengan obat tradisional atau dengan

memperbanyak istirahat. Perawat perlu mengkaji efek dari

setiap tindakan yang dilakukan terhadap nyeri, apakah

tindakan tersebut dapat meringankan nyeri atau justru

memperburuk nyeri.

g) Gejala Terkait

Gejala terkait seperti mual, muntah, pusing dan diare juga

termasuk dalam penilaian klinis nyeri. Gejala tersebut dapat

berhubungan dengan awitan nyeri dan akan menyebabkan

terjadinya nyeri.

h) Respons Perilaku dan Fisiologis

Terdapat bermacam-macam respon yang dilakukan klien

terhadap nyeri. Ekspresi wajah seringkali merupakan respons

perilaku seseorang terhadap nyeri. Respon fisiologis

bervariasi sesuai dengan asal dan durasi nyeri. Pada saat

nyeri berlangsung sistem saraf simpatis terstimulasi yang

akan mengakibatkan respons fisiologis seperti peningkatan


tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi napas, pucat,

diaforesis dan dilatasi pupil.

i) Respons Afekif

Respons afektif terjadi berdasarkan situasi, derajat, durasi

nyeri, dan interpretasi nyeri. Perawat perlu mengeksplorasi

dan memahami perasaan klien misalnya rasa cemas, takut,

kelelahan, dan depresi. Karena banyak klien dengan nyeri

yang kronik menjadi depresi karena nyeri yang dialaminya

tidak kunjung reda.

j) Efek Nyeri pada Aktifitas Sehari-hari

Perawat meminta klien untuk menjelaskan bagaimana nyeri

telah mempengaruhi aktivitas sehari-harinya seperti tidur,

konsentrasi, bekerja, hubungan interpersonal, hubungan

perkawinan atau seks, aktivitas rumah tangga, aktivitas di

waktu luang, dan status emosional. Dengan mengetahui

bagaimana efek nyeri terhadap aktivitas sehari-hari klien

dapat membantu perawat memahami prespektif klien

terhadap keparahan nyerinya.

k) Sumber Koping

Setiap individu akan menunjukkan koping mereka terhadap

nyeri. Perawat dapat mendorong cara yang digunakan klien

untuk dapat meringankan nyeri. Strategi tersebut dapat


berupa penggunaan distraksi, berdoa, kegiatan keagamaan,

maupun dukungan dari orang terdekat.

8) Pernafasan

Bunyi paru jelas dan vesikuler

9) Keamanan

Balutan abdomen tampak sedikit atau kering dan utuh. Jalur

parenteral bila digunakan, paten dan sisi bebas aritmia, bengkak

dan nyeri tekan.

10) Seksualitas

Fundus kontraksi kuat dan terletak di umbilikus. Terjadi

pengeluaran lokhea yaitu lokhea rubra pada hari pertama sampai

ke tiga masa post partum, lokhea serosa pada hari kelima sampai

hari ke sembilan post partum, serta lokhea alba pada hari

kesepuluh sampai enam minggu post partum.

11) Pembelajaran

Respon klien terhadap ketidaktahuan

12) Higiene

Dilakukan personal higiene yang mungkin dibantu pihak keluarga

b. Pemeriksaan fisik

1) Keadaan umum : baik, sedang, atau buruk.

2) Tingkat kesadaran : composmentis, sopor atau somnolen.

3) Tanda-tanda vital
a) Tekanan Darah : Mengetahui faktor risiko hipertensi atau

hipotensi. Batas normal tekanan darah adalah 110/60-140/90

mmHg.

b) Nadi : Mengetahui denyut nadi pasien sehabis operasi,

denyut nadi akan lebih cepat. Batas normal denyu nadi 50-90

x/menit.

c) Suhu : Mengetahui suhu badan apakah ada peningkatan atau

tidak, jika terjadi kenaikan suhu diatas 37°C, kemungkinan

terjadi infeksi. Batas normal 35,6-37,7°C.

d) Respirasi : Mengetahui frekuensi pernafasan pasien yang

dihitung dalam 1 menit. Batas normal 18-24x/menit.

4) Kepala : perlu dikaji untuk mengetahui bentuk kepala dan

kebersihan rambut

5) Mata : perlu dikaji untuk mengetahui keadaan mulut, kebersihan

mulut.

6) Hidung : perlu dikaji untuk mengetahui adanya polip atau tidak.

7) Telinga : perlu dikaji untuk mengetahui ada serumen atau tidak.

8) Mulut : perlu dikaji untuk mengetahui keadaan mulut dan

kebersihan mulut.

9) Leher : perlu dikaji untuk mengetahui adanya pembesaran

kelenjar tiroid.

10) Dada : mengetahui kesimetrisan, massa, lesi, dan suara paru, dan

keadaan jantung.
11) Mammae : perlu dikaji untuk mengetahui adanya pembesaran

atau tidak, puting susu menonjol atau tidak.

12) Abdomen : perlu dikaji untuk mengetahui luka post operasi dan

DRA (Diastasis Rektus Abdominis). Pemeriksaaan diastasis

rectie yaitu tujuannya untuk mengetahui apakah pelebaran otot

perut normal atau tidak.

13) Ekstremitas : perlu dikaji untuk mengetahui terdapat edema,

varises, dan reflek pattela, nyeri tekan, atau panas pada betis.

Adanya tanda Homan, caranya dengan meletakkan 1 tangan pada

lutut ibu dan dilakukan tekanan ringan agar lutut tetap lurus. Bila

ibu merasakan nyeri pada betis, disimpulkan terdapat tanda

homan.

14) Genetalia : perlu dikaji untuk mengetahui kebersihan pada

genetalia. Adanya perdarahan pada vagina.

c. Pemeriksaan penunjang

1) Pemindaian CT

Untuk mendeteksi perbedaan kecepatan jaringan

2) Magneti Resonance Imaging (MRI)

Menghasilkan bayangan dengan menggunakan lapangan

magnetik dan gelombang radio, berguna untuk memperlihatkan

daerah-daerah otak yang tidak jelas terlihat bila menggunakan

pemindaian CT
3) Pemindaian positron emission tomography (PET)

Untuk mengevaluasi kejang yang membandel dan membantu

menetapkan lokasi lesi, perubahan metabolik, atau aliran darah

dalam otak

4) Uji laboratorium

a) Fungsi lumbal

Menganalisis cairan serebrovaskular

b) Hitung darah lengkap

Mengevaluasi trombosit dan hematokrit

c) Panel elektrolit

d) AGD

e) Kadar kalsium darah

f) Kadar natrium darah

g) Kadar magnesium darah

2. Diagnosa Keperawatan

a. Nyeri Akut (00132)

Definisi

Pengalaman sensori dan emosional tidak menyenangkan yang

muncul akibat kerusakan jaringan actual atau potensial atau yang

digambarkan sebagai kerusakan (International Association for the

Study of Pain); awitan yang tiba-tiba atau lambat dari intensitas

ringan hingga berat dengan akhir yang dapat diantisipasi atau

diprediksi.
Batasan karakteristik

1) Bukti nyeri dengan menggunakan standar daftar periksa nyeri

untuk pasien yang tidak dapat mengungkapkannya

2) Diaphoresis

3) Dilatasi pupil

4) Ekspresi wajah nyeri (mis., mata kurang bercahaya, tampak

kacau, gerakan mata berpencar atau tetap pada satu focus,

meringis)

5) Focus menyempit (mis., persepsi waktu , proses berpikir,

interaksi dengan orang dan lingkungan)

6) Focus pada diri sendiri

7) Keluhan tentang intensitas menggunakan standar skala nyeri

8) Keluhan tentang karakteristik nyeri dengan menggunakan standar

instrument nyeri

9) Laporan tentang perilaku nyeri/perubahan aktivitas

10) Mengekspresikan perilaku (mis., gelisah, merengek, menangis,

waspada)

11) Perilaku distraksi

12) Perubahan pada parameter fisiologis (mis., tekanan darah.

Frekuensi jantung, frekuensi pernapasan, saturasi oksigen, dan

endtidal karbon dioksida [CO2])

13) Perubahan posisi untuk menghindari nyeri

14) Perubahan selera makan


15) Putus asa

16) Sikap melindungi area nyeri

17) Sikap tubuh melindungi

Factor yang berhubungan

1) Agens cedera biologis (mis., infeksi, iskemia, neoplasma)

2) Agens cedera fisik (mis., abses, amputasi, luka bakar, terpotong,

mengangkat berat, prosedur bedah, trauma, olahraga berlebihan)

3) Agens cedera kimiawi (mis., luka bakar, kapsaisin, metilen

klorida, agens mustard)

(NANDA, 2015)

b. Risiko infeksi (00004)

Definisi

Beresiko tinggi terhadap invasi organisme pathogen

Factor risiko

1) Ketidakadekuatan pertahanan primer (kulit rusak, jaringan

trauma, penurunan kerja silia stasis cairan tubuh, perubahan

sekresi pH, perubahan peristaltis)

2) Ketidakadekuatan pertahanan sekunder (mis., penurunan

hemoglobin, leukopenia, supresi respons inflamasi)

3) Ketidakadekuatan imunitas didapat ; imunosupresi

4) Kerusakan jaringan ; peningkatan pajanan lingkungan terhadap

pathogen; prosedur invasive

5) Penyakit kronis, malnutrisi, trauma


6) Agens farmakologis (mis., imunosupresan [terapi antibiotik])

7) Ketuban pecah

8) Ketidakcukupan pengetahuan untuk menghindari pajanan

terhadap pathogen (Doengoes, dkk, 2014)

c. Deficit perawatan diri : mandi, berpakaian (00108)

Definisi

Mandi : Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan

aktivitas mandi secaa mandiri.

Berpakaian : Hambatan kemampuan untuk melakukan atau

menyelesaikan aktivitas berpakaian secara mandiri.

Batasan karakteristik

Mandi :

1) Ketidakmampuan membasuh tubuh

2) Ketidakmampuan mengakses kamar mandi

3) Ketidakmampuan mengambil perlengkapan mandi

4) Ketidakmampuan mengatur air mandi

5) Ketidakmampuan mengeringkan tubuh

6) Ketidakmampuan menjangkau sumber air

Berpakaian :

1) Hambatan memilih pakaian

2) Hambatan mempertahankan penampilan yang memuaskan

3) Hambatan mengambil pakaian

4) Hambatan mengenakan pakaian pada bagian tubuh atas


5) Hambatan mengenakan pakaian pada bagian tubuh bawah

6) Hambatan menggunakan alat bantu

7) Hambatan menggunakan resleting

8) Ketidakmampuan melepaskan atribut pakaian (mis., blus, kaus

kaki, sepatu)

9) Ketidakmampuan memadupadankan pakaian

10) Ketidakmampuan mengancingkan pakaian

11) Ketidakmampuan mengenakan atribut pakaian (mis., blus, kaus

kaki, sepatu)

Factor yang berhubungan

Mandi :

1) Ansietas

2) Gangguan fungsi kognitif

3) Gangguan musculoskeletal

4) Gangguan neuromuscular

5) Gangguan presepsi

6) Kelemahan

7) Kendala lingkungan

8) Ketidakmampuan merasakan bagian tubuh

9) Ketidakmampuan merasakan hubungan spasial

10) Nyeri

11) Penurunan

motivasi Berpakaian :
1) Ansietas

2) Gangguan fungsi kognitif

3) Gangguan musculoskeletal

4) Gangguan neuromuscular

5) Gangguan presepsi

6) Kelemahan

7) Keletihan

8) Kendala lingkungan

9) Ketidaknyamanan

10) Nyeri

11) Penurunan

motivasi (NANDA,

2015)

d. Hambatan mobilitas di tempat tidur (00091)

Definisi

Keterbatasan pergerakan mandiri dari satu posisi ke posisi lain di

tempat tidur.

Batasan karakteristik

1) Hambatan kemampuan bergerak antara posisi duduk lama

dantelentang

2) Hambatan kemampuan bergerak antara posisi telentang dan

duduk

3) Hambatan kemampuan bergerak antara posisi telungkup dan

telentang
4) Hambatan kemampuan bergerak untuk reposisi dirinya sendiri di

tempat tidur

5) Hambatan kemampuan untuk miring kanan dan kiri

Factor yang berhubungan

1) Agens farmaseutikal

2) Fisik tidak bugar

3) Gangguan fungsi kognitif

4) Gangguan musculoskeletal

5) Gangguan neuromuscular

6) Kekuatan otot tidak memadai

7) Keterbatasan lingkungan (mis., ukuran tempat tidur, tipe tempat

tidur, peralatan terapi, restrain)

8) Kurang pengetahuan tentang strategi mobilitas

9) Nyeri

10) Obesitas

(NANDA, 2015)

3. Intervensi

a. NOC (Nursing Outcome Clasification)

Menurut Moorhead dkk, (2016) Nursing Outcome Clasification

(NOC) yaitu :

1) Nyeri Akut

a) Kontrol Nyeri (1605)

02 Mengenali kapan nyeri terjadi 12345


01 Menggambarkan faktor penyebab 12345

04 Menggunakan tindakan pengurangan [nyeri] tanpa

analgesik 12345

05 Menggunakan analgesik yang direkomendasikan 12345

13 Melaporkan perubahan terhadap gejala nyeri pada

profesional kesehatan 12345

07 Melaporkan gejala yang tidak terkontrol pada profesioal

kesehatan 12345

08 Menggunakan sumber daya yang tersedia 12345

09 Mengenali apa yang terkait dengan gejala nyeri 12345

10 Melaporkan nyeri yang terkontrol 12345

Keteranagan :

1= tidak pernah menunjukan, 2= jarang menunjukan, 3=

kadang-kadang menunjukan, 4= sering menunjukan, 5=

secara konsiten menunjukan

2) Defisisit perawatan diri : mandi, berpakaian

a) Perawatan diri : mandi (0301)

01 Masuk dan keluar kamar mandi 12345

02 Mengambil alat/ bahan mandi 12345

03 Mendapat air mandi 12345

06 Mengatur aliran air 12345

08 Mandi di bak mandi 12345

09 Mandi dengan bersiram 12345


13 Mencuci wajah 12345

14 Mencuci badan bagian atas 12345

15 Mencuci badan bagian bawah 12345

11 Mengeringkan badan 12345

Keterangan :

1= sangat terganggu, 2= banyak terganggu, 3= cukup

terganggu, 4= sedikit terganggu, 5= tidak terganggu

b) Perawatan diri : berpakaian (0302)

01 Memilih pakaian 12345

03 Mengambil pakaian 12345

04 Memakai pakaian bagian atas 12345

05 Memakai pakaian bagianb bawah 12345

06 Mengancingkan baju 12345

11 Membuka baju bagian atas 12345

14 Membuka baju bagian bawah 12345

Keterangan :

1= sangat terganggu, 2= banyak terganggu, 3= cukup

terganggu, 4= sedikit terganggu, 5= tidak terganggu

3) Risiko infeksi

a) Keparahan infeksi (0703)

01 Kemerahan 12345

02 Vesikel yang tidak mengeras permukaannya 12345

03 Cairan [luka] purulent 12345


05 Drainase purulent 12345

07 Demam 12345

29 Hipotermia 12345

30 Ketidakstabilan suhu 12345

33 Nyeri 12345

34 Jaringan lunak 12345

11 Malaise 12345

12 Menggigil 12345

31 Lethargy 12345

32 Hilang nafsu makan 12345

26 Peningkatan jumlah sel darah putih 12345

27 Depresi jumlah sel darah putih 12345

Keterangan :

1= berat, 2= cukup berat, 3= sedang, 4= ringan, 5= tidak ada

b) Control risiko (1902)

20 Mengidentifikasi factor risiko 12345

01 Mengenali factor risiko individu 12345

02 Memonitor factor risiko lingkungan 12345

03 Memonitor factor risiko individu 12345

16 Mengenali perubahan status kesehatan 12345

17 Memonitor perubahan status kesehatan 12345

Keterangan :
1= tidak pernah menunjukkan, 2= jarang menunjukkan, 3=

kadang-kadang menunjukkan, 4= sering menunjukkan, 5=

secara konsisten menunjukkan

4) Hambatan mobilitas fisik

a) Posisi tubuh : berinisiatif sendiri (0203)

11 Berpindah dari satu sisi ke sisi yang lain sambil berbaring

12345

01 Bergerak dari depan ke belakang sambil berbaring

12345 13 Bergerak dari belakang ke depan sambil

berbaring 12345 Keterangan :

1= sangat terganggu, 2= banyak terganggu, 3= cukup

terganggu, 4= sedikit terganggu,5= tidak terganggu

b) Koordinasi pergerakan (0212)

01 Kontraksi kekuatan otot 12345

03 Kecepatan gerak 12345

04 Kehalusan gerak 12345

05 Control gerak 12345

06 Kemantapan gerakan 12345

09 Gerakan kea rah yang diinginkan 12345

Keterangan :

1= sangat terganggu, 2= banyak terganggu, 3= cukup

terganggu, 4= sedikit terganggu, 5= tidak terganggu


b. NIC (Nursing Outcome Clasification)

Menurut Bulechek dkk, (2016) Nursing Intervention Clasification

(NIC) yaitu:

1) Nyeri Akut

a) Manajemen Nyeri (1400)

(1) Lakukan pengkajian nyeri komperhensif yang meliputi

lokasi, karateristik, onset/durasi, kualitas, intensitas atau

beratnya nyeri dan faktor pencetus

(2) Observasi adanya petunjuk nonverbal mengenai

ketidaknyaman terutama pada mereka yang tidak bisa

berkomunikasi secara efektif

(3) Gali pengetahuan dan kepercayaan pasien mengenai nyeri

(4) Gali bersama klien faktor - faktor yang dapat menurunkan

atau memperberat nyeri

(5) Evaluasi pengalaman nyeri di masa lalu yang meliputi

riwayat nyeri kronik individu atau keluarga atau nyeri yang

menyebabkan disabilitas / ketidakmampuan / kecacatan,

dengan tepat

(6) Evaluasi dengan klien dan tim kesehatan lain, mengenai

efektivitas tindakan pengontrolan nyeri yang pernah

digunakan sebelumnya
(7) Berikan informasi mengenai nyeri, seperti penyebab nyeri,

berapa lama nyeri akan dirasakan, dan antisipasi dari

ketidaknyaman akibat prosedur

(8) Kendalikan faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi

respon klien terhadap ketidaknyaman (misal, suhu ruangan,

pencahayaan, suara bising)

(9) Pertimbangkan keinginan klien untuk berpartisispasi

kemampuan berpartisipasi kecenderungan, dukungan dari

orang terdekat terhadap metode atau kontradiksi ketika

memilih strategi penurunan nyeri

(10) Ajarkan teknik non farmakologi (seperti biofeedback,

TENS, hypnosis, relaksasi, bimbingan antisipatif , terapi

musik,terapi bermain, terapi aktivitas, akupressur, aplikasi

panas/dingin pijat, sebelum, sesudah, dan jika

memungkinkan, ketika melakukan aktivitas yang

menimbulkan nyeri)

b) Pemberian Analgesik (2210)

(1) Cek perintah pengobatan meliputi, obat, dosis, dan

frekuensi obat anagesik yang diresepkan.

(2) Cek adanya riwayat alergi.

(3) Monitor tanda vital sebelum dan setelah memberikan

analgesik narkotik pada pemberian dosis pertama kali atau

jika ditemukan tanda-tanda yag tidak biasanya.


(4) Evaluasi keefektifan analgesik dengan interval yang teratur

pada pemberian pertama kali, dan observasi tanda dan

gejala efek samping (misal depresi pernafasan, mual,

muntah,mulut kering, mual).

(5) Dokumentasikan respon terhadap analgesik dan adanya

efek samping.

(6) Lakukan tindakan untuk menurunkan efek samping

analgesik ( misal, iritasi lambung, dan konstipasi).

(7) Kolaborasikan dengan dokter apakah obat,dosis,rute

pemberian, atau perubahan interval dibutuhkan, buat

rekomendasi khusus berdasarkan prinsip analgesic.

2) Risiko infeksi

a) Perawatan area sayatan (3440)

(1) Jelaskan prosedur pada pasien, gunakan persiapan sensorik

(2) Periksa daerah sayatan terhadap kemerahan, bengkak, atau

tanda-tanda dehiscence atau eviserasi

(3) Catat karakteristik drainase

(4) Monitor proses penyembuhan di daerah sayatan

(5) Bersihkan mulai dari area yang bersih ke area yang kurang

bersih

(6) Monitor sayatan untuk tanda dan gejala infeksi

(7) Arahkan pasien cara merawat luka insisi selama mandi


(8) Arahkan pasien dan/atau keluarga cara merawat luka insisi,

termasuk tanda-tanda dan gejala infeksi

b) Kontrol infeksi (6540)

(1) Bersihkan lingkungan dengan baik setelah digunakan untuk

setiap pasien

(2) Batasi jumlah pengunjung

(3) Anjurkan pasien mengenai teknik mencuci tangan dengan

tepat

(4) Anjurkan pengunjung untuk mencuci tangan pada saat

memasuki dan meninggalkan ruangan pasien

(5) Cuci tangan sebelum dan sesudah kegiatan perawatan

pasien

(6) Dorong intake cairan yang sesuai

(7) Dorong intake nutrisi yang tepat

c) Perawatan postpartum (6930)

(1) Pantau tanda-tanda vital

(2) Monitor lokia terkait dengan warna, jumlah, bau, dan

adanya gumpalan

(3) Minta pasien untuk mengosongkan kandung kemih secara

rutin sebelum pemeriksaan postpartum dan sesudahnya

(4) Pantau perineum atau luka operasi dan jaringan sekitarnya

(yaitu, memantau adanya kemerahan, edema, ekinosis,

cairan/nanah, dan perkiraan tepi luka)


(5) Berikan analgesic sesuai kebutuhan

3) Defisit perawatan diri : mandi, berpakaian

a) Memandikan (1610)

(1) Bantu memandikan pasien

(2) Mandi dengan air yan mempunyai suhu yang nyaman

(3) Monitor kondisi kulit saat mandi

(4) Monitor fungsi kemampuan saat mandi

b) Bantuan perawatan diri : mandi/kebersihan (1801)

(1) Letakkan handuk, sabun, deodorant, alat brcukur, dan

asesoris lain yang diperlukan disisi tempat tidur atau kamar

mandi

(2) Sediakan barang pribadi yang diinginkan

(3) Sediakan lingkungan yang terapeutik dengan memastikan

kehangatan, suasana rileks, privasi dan pengalaman pribadi

c) Berpakaian (1630)

(1) Identifikasikan area dimana pasien membutuhkan bantuan

dalam berpakaian

(2) Monitor kemampuan pasien untuk berpakaian sendiri

d) Bantuan perawatan diri (1800)

(1) Monitor kemampuan perawatan diri secara mandiri

(2) Berikan bantuan sampai pasien mampu melakukan

perawatan diri mandiri


(3) Bantu pasien menerima kebutuhan [pasien] terkait dengan

kondisi ketergantungan[nya]

4) Hambatan mobilitas fisik

a) Perawatan tirah baring (0740)

(1) Jelaskan alas an diperlukannya tirah baring

(2) Hindari menggunakan kain linen kasur yang teksturnya

kasar

(3) Jaga kain linen kasur tetap bersih, kering, dan bebas

kerutan

(4) Monitor kondisi kulit [pasien]

(5) Ajarkan latihan di tempat tidur, dengan cara yang tepat

b) Pengaturan posisi (0840)

(1) Tempatkan pasien diatas matras/tempat tidur terapeutik

(2) Berikan matras yang lembut

(3) Dorong pasien untuk terlibat dalam perubahan posisi

(4) Monitor sattus oksigenasi [pasien sebelum dan setelah

perubahan posisi]

(5) Tempatkan pasien dalam posisi terapeutik yang sudah

dirancang

(6) Jangan menempatkan pasien pada posisi yang bias

meningkatkan nyeri jangan memposisikan [pasien] dengan

penekanan pada luka


(7) Tempatkan barang secara berkala dalam jangkauan

[pasien]

(8) Tempatkan lampu pemanggil dalam jangkauan [pasien]

4. Evaluasi

Evaluasi merupakan kegiatan yang membandingkan antara hasil

implementasi dengan kriteria dan standar yang telah ditetapkan untuk

melihat keberhasilannya.
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Penulisan karya tulis ilmiah dalam studi kasus ini menggunakan

rancangan penulisan deskriptif, yaitu dengan menggambarkan proses

pelaksanaan asuhan keperawatan dengan memfokuskan pada salah satu

masalah penting dalam kasus yang diambil yaitu asuhan keperawatan

post sectio caesarea dengan fokus studi pengelolaan nyeri akut di

RSUD Djojonegoro Kabupaten Temanggung.

B. Subjek Penelitian

1. Pada penelitian ini yang menjadi kriteria inklusi adalah :

a. Klien post sectio caesarea

b. Klien dengan gangguan rasa nyaman nyeri

c. Klien bersedia menjadi responden

d. Klien dan keluarga kooperatif

2. Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah :

a. Klien yang mengalami gangguan jiwa

b. Klien yang memiliki gangguan pendengaran

C. Fokus Studi

Fokus studi pada perawatan ibu post sectio caesarea dalam

studi kasus ini adalah pengelolaan nyeri akut.


D. Definisi Operasional

Asuhan keperawatan ibu post sectio caesarea dengan fokus

studi pengelolaan nyeri akut adalah serangkaian tindakan pada proses

asuhan keperawatan yang diberikan pada ibu post sectio caesarea dan

dilakukan secara berkesinambungan untuk melakukan pemecahan

masalah nyeri akut meliputi pengkajian, diagnosa, intervensi,

implementasi, dan evaluasi terhadap tindakan keperawatan.

E. Tempat dan Waktu

1. Lokasi penelitian

Pelaksanaan asuhan keperawatan pengelolaan nyeri akut pada ibu

post sectio caesarea di RSUD Djojonegoro Kabupaten

Temanggung.

2. Waktu penelitian

Penelitian dilaksanakan pada tanggal 1 Oktober 2017 sampai

dengan 30 Maret 2018.

F. Pengumpulan data

Dalam studi kasus ini teknik pengumpulan data yang penulis

lakukan adalah sebagai berikut :

1. Wawancara

Pada studi kasus ini penulis melakukan proses wawancara atau

anamnesa secara langsung dan menyeluruh pada klien tentang

keluhan dan penyakitnya.


2. Observasi langsung

Penulis mengamati langsung keadaan klinis klien yang bertujuan

untuk mendapatkan data objektif tentang permasalahan yang

diakibatkan oleh sectio caesarea. Dilakukan penelitian akan tingkat

nyeri yang dirasakan, faktor yang memperberat dan memperingan

nyeri, pengetahuan tentang nyeri, mengobservasi reaksi nonverbal.

3. Studi dokumentasi

Studi dokumentasi adalah metode pengumpulan data dengan cara

mengumpulkan berbagai sumber catatan medis serta pemeriksaan

penunjang klien ibu post sectio caesarea dengan masalah nyeri akut

G. Analisa dan Penyajian Data

Analisis data yang dilakukan adalah untuk membandingkan

respon dua klien yang menjadi responden setelah dilakukan asuhan

keperawatan. Analisis data dalam studi kasus asuhan keperawatan ibu

post sectio caesarea dengan masalah nyeri akut ini dilakukan secara

deskriptif yang disajikan secara narasi. Teknik analisis yang digunakan

untuk membuat narasi diperoleh dari proses asuhan keperawatan yang

telah dilakukan dimulai dari pengkajian, diagnosa, intervensi,

implementasi sampai evaluasi.

H. Etika Penulisan

Etika penulisan bertujuan untuk menjaga kerahasiaan identitas

responden akan kemungkinan terjadinya ancaman terhadap responden.

Dalam studi kasus tercantum etika yang ditekankan antara lain. Dalam
penelitian ini peneliti menggunakan beberapa prinsip penelitian yang

bertujuan agar hak responden sebagai manusia terpenuhi. Prinsip

tersebut diantaranya :

1. Informed Consent (Lembar Persetujuan menjadi Responden)

Yaitu bentuk persetujuan untuk menjadi responden dilakukan

secara tertulis dengan tidak ada dorongan atau paksaan dari pihak

lain.

2. Anonimity (Tanpa Nama)

Dalam studi kasus ini penulis menggunakan nama inisial klien,

yang bertujuan untuk menjaga keamanan dan keselamatan klien.

3. Confidentiality (Kerahasiaan)

Data klien hanya digunakan untuk studi kasus pengelolaan ibu post

sectio caesarea dengan masalah nyeri akut. Kerahasiaan mengenai

rekam medis klien dijamin oleh penulis dan hanya data-data

tertentu yang dilaporkan dalam hasil penelitian.

4. Peneliti memberikan kebebasan, tidak memaksa, tidak memberikan

atau menimbulkan kekerasan pada klien, tidak menjadikan klien

untuk dieksploitasi.

5. Peneliti menjunjung tinggi keadilan dengan menghargai hak atau

memberikan pengobatan secara adil, dan selalu menjaga privasi

klien.
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

1. Pengkajian

a. Kasus 1

Penulis melakukan pengkajian pada tanggal 9 Januari 2018

pukul 09.20 WIB, pada klien Ny. S dengan masalah nyeri akut post

sectio caesarea di Ruang Mawar RSUD Djojonegoro Kabupaten

Temanggung. Sumber data diperoleh dari wawancara langsung

dengan klien dan keluarga, observasi secara langsung kondisi klien,

serta melihat data penunjang klien berdasarkan status klien.

1) Anamnesa

a) Biodata

Klien pertama bernama Ny. S berumur 28 tahun,

berjenis kelamin perempuan. Klien beragama Islam yang

bekerja sebagai ibu rumah tangga, pendidikan terakhir Ny.

S yaitu SMP. Klien bertempat tinggal di Grembul Jragan

Kabupaten Temanggung. Klien masuk rumah sakit pada

tanggal 8 Januari 2018 pukul 16.40 WIB dengan riwayat

G2P1A0 indikasi serotinus dan janin besar. Penanggung

jawab klien yaitu suami klien yang bernama Tn. S yang

berumur 33 tahun, beragama Islam yang bekerja sebagai

petani, penddikan terakhir SMP. Tn. M beralamat di


Grembul Jragan Kabupaten Temanggung Caruban

Kabupaten Temanggung.

b) Alasan kunjungan

Ny. S datang ke rumah sakit karena usia kandungan

sudah post term yaitu 43 minggu, namun belum merasakan

kenceng-kenceng. Ketika datang ke rumah sakit jalan lahir

belum mengeluarkan lendir, darah, maupun cairan. Klien

memeriksakan diri ke bidan, didapatkan hasil pemeriksaan

yang menunjukkan janin besar.

c) Keluhan utama

Keluhan utama Ny. S saat dilakukan pengkajian

pada tanggal 9 Januari 2018 pukul 09.20 WIB yaitu nyeri

pada abdomen karena post sectio caesarea atas indikasi

serotinus dan janin besar.

d) Riwayat kesehatan

(1) Kesehatan ibu

Ny. S mengatakan belum pernah mengalami

hipertensi, infeksi saluran kemih, epilepsi, kejang-

kejang, nyeri kepala kronis, depresi, kecemasan, atau

penyakit jiwa.

(2) Riwayat kesehatan sekarang

Ny. S dalam keadaan umum baik, namun terlihat

pucat
(3) Riwayat kesehatan keluarga

Klien Ny. S menyangkal adanya keluarga yang

mempunyai penyakit menular seperti TBC, hepatitis.

Klien juga menangkal adanya penyakit keturunan seperti

DM dan hipertensi, tidak terdapat keluarga yang

mengalami gangguan jiwa.

(4) Riwayat pernikahan

Ny. S menikah pada usia 18 tahun, dan suami

klien menikah pada usia 23 tahun. Merupakan

pernikahan pertama Ny. S dan Tn. S. Usia pernikahan

klien sudah berjalan selama 10 tahun.

e) Riwayat obstetri

(1) Riwayat menstruasi

Klien Ny. S mengalami menarche pada usia 12

tahun dengan siklus teratur tiap 26-28 hari selama

kurang lebih 7 hari. Selama pemakaian KB implant

menstruasi terjadi tidak menentu.

(2) Riwayat kehamilan

Kehamilan dan persalinan pertama Ny. S

dilakukan secara fisiologis 9 tahun yang lalu, bayi lahir

berjenis kelamin laki-laki dengan berat 3790 gram di

bidan. Kehamilan dan persallinan Ny. S sekarang


merupakan kehamilan kedua dengan G2P1A0 , selama

hamil rutin melakukan ANC di bidan. HPHT

diperkirakan tanggal 16 Desember 2017. Persalinan

kedua dilakukan secara SC dengan indikasi serotinus

dan janin besar. Bayi lahir hidup dengan jenis kelamin

laki-laki, panjang 42 cm, berat bayi 5200 gram, tidak

terdapat cacat, payudara Ny. S belum mengeluarkan ASI

namun sudah terasa nyeri. Nifas hari pertama

mengeluarkan lokhea rubra berwarna merah, berbau

khas.

(3) Riwayat KB

Klien Ny. S menggunakan KB implant yang

dilepas 3 tahun yang lalu.

2) Pengkajian data fokus

Pengkajian data dasar menurut Doengoes (2001) serta

Kozier & Erb (2009), diperoleh sebagai berikut :

Aktivitas dan istirahat Ny. S : klien mengatakan untuk

memenuhi kebutuhan seperti mandi, berpakaian, dan ambulasi

dibantu keluarga dengan skala ketergantungan 2 yaitu dibantu

orang lain. Klien mengatakan untuk kebutuhan toileting klien

terpasang kateter dan bantuan keluarga dibutuhkan untuk

membuang urine pada urine bag yang penuh dengan skala

ketergantungan 3 yaitu dibantu alat dan orang lain, sedangkan


untuk makan dan minum klien mnegatakan bisa melakukannya

sendiri dengan skala ketergantungan 0 yaitu mandiri selama

makanan dan minuman dalam jangkauan. Klien mengatakan

istirahat malam pada hari 0 operasi hanya bisa tidur tiga jam.

Sirkulasi Ny. S : didapatkan data tekanan darah 110/70

mmHg, suhu 360 C, nadi 78 kali/menit, RR 20 kali/menit, akral

hangat, CRT < 2 detik.

Integritas ego Ny. S : klien mengatakan setelah

dilakukan SC merasa lega karena bayinya sudah lahir. Klien

berharap luka operasi segera kering dan sembuh sehingga dapat

beraktivitas secara normal kembali. Klien tidak menunjukkan

tanda gejala baby blues syndrome.

Eliminasi Ny. S : klien mengatakan setelah selesai

operasi sudah flatus, namun belum bisa BAB, untuk BAK klien

terpasang kateter dengan urine output 600 ml/8 jam. Klien tidak

memiliki riwayat hemoroid.

Makanan atau cairan Ny. S : setelah operasi klien

mampu menghabiskan 1 porsi makan dari rumah sakit, klien

tidak merasakan mual atau muntah.. klien minum sebanyak 2

L/8 jam air putih. Klien mengatakan tidak mengalami kesulitan

dalam menelan makanan atau minuman.

A : BB: 92 TB: 160 cm

B : Hemoglobin : 11,2 g/dL Hematokrit(HCT) : 34 %


C : mukosa bibir kering

D:-

Neurosensori Ny. S : klien mengatakan tidak merasakan

nyeri kepala ataupun sakit kepala. Nyeri atau ketidaknyamanan

: P : nyeri post sectio caesarea, Q : terasa seperti ditusuk-tusuk ,

R : abdomen, S : skala 5, T : hilang timbul selama 30 menit.

Klien mengatakan nyeri pada luka operasi, nyeri bertambah

parah dirasakan bila melakukan mobilisasi ditambah dengan

berat tubuhnya yang menyulitkan untuk mobilisasi. Klien

mengatakan tidak melakukan hal tertentu untuk menurunkan

rasa nyeri yang dirasakan. Klien sesekali tampak meringis

menahan nyeri, klien bergerak secara hati-hati dan memegangi

luka operasi. Klien dalam menghadapi nyeri tidak menunjukkan

kecamasan dan ketakutan, klien mengatakan nyeri yang

dirasakan tidak terlalu mengganggu tidurnya. Klien tidak

mengatasi nyeri dengan teknik tertentu. Nyeri yang dirasakan

klien tidak disertai dengan mual, muntah, pusing, dan diare.

Pernafasan Ny. S : klien tidak mengunakan 0 2, tidak

mengeluh sesak nafas.

Keamanan : klien mengalami keterbatasan gerak karena

luka operasi dan keharusan imobilisasi pasca operasi.

Seksualitas : klien mengatakan darah nifas yang keluar

sedikit. Dengan frekuensi 300 cc/8 jam.


Pembelajaran : klien mengatakan belum mengetahui

tentang manajemen nyeri, klien mengatakan belum mengetahui

tahapan mobilisasi pasca operasi sectio caesarea.

Higiene : personal higiene klien dibantu oleh keluarga

dan petugas kesehatan yang bertugas di Ruang Mawar.

3) Pemeriksaan fisik

Data yang didapatkan pada pemeriksaan fisik Ny. S

yaitu keadaan umum baik, tingkat kesadaran compos mentis

dengan GCS 15, tanda-tanda vital untuk tekanan darah 110/70

mmHg, nadi 84 kali/menit, RR 20 kali/menit, suhu 360 C. Berat

badan klien sebelum melahirkan 97 kg. Pemeriksaan kepala

pada klien tidak ditemukan adanya lesi dengan bentuk simetris,

bentuk kepala mesochepal, rambut bersih berwarna hitam.

Pemeriksaan mata tidak didapatkan sklera yang ikterik,

konjungtiva tidak anemis. Pemeriksaan hidung tidak terdapat

pembesaran polip, bersih, tidak terdapat sekret, bentuk hidung

simetris. Pemeriksaan telinga klien, telinga klien tampak

simetris, bersih, dan tidak terdapat serumen. Pemeriksaan

mukosa bibir tampak kering dan pucat.

Pemeriksaan leher Ny. S tidak terdapat pembesaran

kelenjar tiroid, dan tidak terdapat pembesaran vena jugularis.


Pemeriksaan jantung Ny. S, inspeksi : ictus cordis tidak

tampak, palpasi : ictus cordis tidak teraba, perkusi : redup,

auskultasi : S1 dan S2 reguler.

Pemeriksaan paru-paru Ny. S, inspeksi : dada simetris,

palpasi : taktil fremitus sama, tidak terdapat nyeri tekan, perkusi

: resonan, auskultasi : vesikuler.

Pemeriksaan abdomen Ny. S, inspeksi : panjang luka

horizontal + 10 cm, dibalut verban, tidak terdapat kemerahan di

daerah sekitar luka, auskultasi : terdengar bising usus 15

x/menit, palpasi : terdapat nyeri tekan, perkusi : timpani.

Pemeriksaan payudara Ny. S, payudara kanan dan kiri

tampak simetris, tidak terdapat lesi, puting susu menonjol, air

susu ibu belum keluar, payudara terasa nyeri.

Genetalia Ny. S : tampak darah nifas berwarna merah

segar, dengan frekuensi darah kurang lebih 300 cc, gumpalan

darah berwarna merah dan berbau amis yang merupakan lokhea

rubra, perineum tidak terdapat laserasi, tidak terdapat hemoroid

pada anus, klien terpasang DC.

Ekstremitas atas Ny. S : terpasang infus Triofusin 12

tpm pada tangan kiri, tidak terdapat oedem, kekuatan otot 5/5.

Ekstremitas bawah Ny. S : kekuatan otot 5/5, tidak terdapat

oedem.

4) Data penunjang
a) Hasil laboratorium

Tabel 4.1

Hasil pemeriksaan laboratorium Ny. S tanggal 7

Januari 2018

Parameter Hasil Normal

Hemoglobin 11.2 11.7 – 15.5


Hematokrit 34 35 – 47

Leukosit 11.3 3.6 – 11.0

Eritrosit 3.67 3.90 – 5. 20

Trombisit 303 150 – 440

MCV 92.9 80.0 – 100.0

MCH 30.5 26.0 – 34.0

MCHC 32.8 32.0 - 36.0

Limfosit 16.3 25.0 - 40.0

Netrofil 77.5 50.0 – 70.0

Ureum 10.6 10.0 – 50.0

Kreatinin 0.71 0.60 – 1.2

b) Terapi obat :

(1) Injeksi Ketorolac 1 A/8 jam merupakan analgesik non

narkotik dengan indikasi pemberian unutk

penatalaksanaan jangka pendek terhadap nyeri akut

sedang sampai berat setelah prosedur bedah.


(2) Drip fentanyl 1 A digunakan sebagai anti nyeri setelah

operasi besar dan bahkan bisa digunakan sebagai

antinyeri jangka panjang pada kanker.

(3) Obat oral ketoprofen 3 x 100 mg merupakan Obat Anti

Inflamasi Non Steroid (OAINS) dengan efek

antiinflamasi, analgesik dan antipiretik, indikasi

pemberian untuk mengobati gejala-gejala artritis

rematoid, ankilosing spondilitis, gout akut dan

osteoartritis serta kontrol nyeri dan inflamasi akibat

operasi ortopedik.

b. Kasus 2

Tanggal 9 Januari 2018 pukul 10.20 WIB penulis

melakukan pengkajian pada Ny. J dengan masalah nyeri akut post

sectio caesarea di Ruang Mawar RSUD Djojonegoro Kabupaten

Temanggung, dimana sumber data diperoleh dari wawancara

langsung dengan klien dan keluarga, observasi secara langsung

kondisi klien, serta melihat data penunjang klien berdasarkan status

klien

1) Anamnesa

a) Biodata

Klien bernama Ny. J berumur 33 tahun, berjenis

kelamin perempuan. Klien beragama Islam yang bekerja

sebagai ibu rumah tangga, pendidikan terakhir Ny. J yaitu


SD. Klien bertempat tinggal di Balun Rt 01/Rw02

Kecamatan Caruban Kabupaten Temanggung. Klien masuk

rumah sakit pada tanggal 9 Januari 2018 pukul 11.30 WIB

dengan riwayat G2P1A0 indikasi DKP. Penanggung jawab

klien yaitu suami klien yang bernama Tn.M yang berumur

36 tahun, beragama Islam yang bekerja sebagai buruh,

penddikan terakhir SMP. Tn. M beralamat di Balun Rt

01/Rw02 Kecamatan Caruban Kabupaten Temanggung.

b) Alasan kunjungan

Ny. J datang ke rumah sakit karena merasa sudah

cukup bulan namun belum merasakan kenceng-kenceng.

Jalan lahir belum mengeluarkan lendir, darah, maupun

cairan. Klien memeriksakan diri ke dr. Miftah SpoG,

didapatkan hasil pemeriksaan yang menunjukkan panggul

sempit dan direncanakan SC.

c) Keluhan utama

Keluhan utama Ny. J saat dilakukan pengkajian pada

tanggal 10 Januari 2018 pukul 10.20 WIB yaitu nyeri pada

abdomen karena post sectio caesarea atas indikasi DKP.

d) Riwayat kesehatan

(1) Kesehatan ibu

Ny. J mengatakan belum pernah mengalami

hipertensi namun cenderung hipotensi, infeksi saluran


kemih, epilepsi, kejang-kejang, nyeri kepala kronis,

depresi, kecemasan, atau penyakit jiwa.

(2) Riwayat kesehatan sekarang

Ny. J dalam keadaan umum baik dan terlihat

pucat.

(3) Riwayat kesehatan keluarga

Klien Ny. J menyangkal adanya keluarga yang

mempunyai penyakit menular seperti TBC, hepatitis.

Klien juga menangkal adanya penyakit keturunan seperti

DM dan hipertensi, tidak terdapat keluarga yang

mengalami gangguan jiwa.

(4) Riwayat pernikahan

Ny. J menikah pada usia 15 tahun, dan suami

klien menikah pada usia 18 tahun. Merupakan

pernikahan pertama Ny. J dan Tn. M. Usia pernikahan

klien sudah berjalan selama 18 tahun.

e) Riwayat obstetri

(1) Riwayat menstruasi

Klien Ny. J mengalami menarche pada usia 12

tahun dengan siklus teratur tiap 26-28 hari selama

kurang lebih 7 hari. Selama pemakaian KB suntik klien

tidak pernah menstruasi.

(2) Riwayat kehamilan


Kehamilan dan persalinan pertama Ny. J

dilakukan secara SC 17 tahun yang lalu, berjenis

kelamin perempuan dengan berat 3200 gram. Kehamilan

dan persallinan sekarang merupakan kehamilan kedua

dengan G2P1A0 , selama hamil rutin melakukan ANC

di bidan dan 3 kali di SpoG. HPL kehamilan ini yaitu

bulan Mei 2017, sedangkan HPHT diperkirakan tanggal

17 Januari 2018. Persalinan kedua dilakukan secara SC

dengan indikasi DKP. Bayi lahir hidup dengan jenis

kelamin laki-laki, panjang 43 cm, berat bayi 2700 gram,

lingkar kepala 32 cm, lingkar dada 31 cm, tidak terdapat

cacat, payudara Ny. J belum mengeluarkan ASI. Nifas

hari pertama mengeluarkan lokhea rubra berwarna

merah, berbau khas.

(3) Riwayat KB

Klien Ny. J menggunakan KB suntik pada tahun

2001-2007.

2) Pengkajian Data Fokus

Aktivitas dan istirahat Ny. J : klien mengatakan untuk

memenuhi kebutuhan seperti mandi, berpakaian, dan ambulasi

dibantu keluarga dengan skala ketergantungan 2 yaitu dibantu

orang lain. Klien mengatakan untuk kebutuhan toileting klien

terpasang kateter dan bantuan keluarga dibutuhkan untuk


membuang urine pada urine bag yang penuh dengan skala

ketergantungan 3 yaitu dibantu alat dan orang lain, sedangkan

untuk makan dan minum klien mnegatakan bisa melakukannya

sendiri dengan skala ketergantungan 0 yaitu mandiri selama

makanan dan minuman dalam jangkauan. Klien mengatakan

istirahat malam pada hari 0 operasi hanya bisa tidur satu

setengah jam.

Sirkulasi Ny. J : didapatkan data tekanan darah 110/60 mmHg,

suhu 36.50 C, nadi 72 kali/menit, RR 20 kali/menit, akral

hangat, CRT < 2 detik.

Integritas ego Ny. J : klien mengatakan setelah

dilakukan SC merasa lega karena berjalan dengan lancar dan

bayi lahir sehat. Klien berharap luka operasi segera kering dan

sembuh sehingga dapat beraktivitas secara normal kembali.

Klien tidak menunjukkan tanda gejala baby blues syndrome.

Eliminasi Ny. J : klien mengatakan setelah selesai

operasi sudah flatus, namun belum bisa BAB, untuk BAK klien

terpasang kateter dengan urine output 500 ml/8 jam. Klien tidak

memiliki riwayat hemoroid.

Makanan atau cairan Ny. J : setelah operasi klien hanya

menghabiskan ½ porsi makan dari rumah sakit, klien tidak

merasakan mual atau muntah.. klien minum sebanyak 1,5 L/8


jam air putih. Klien mengatakan tidak mengalami kesulitan

dalam menelan makanan atau minuman.

A : BB: 57 TB: 155 cm

B : Hemoglobin : 12.2 g/dL Hematokrit(HCT) : 36 %

C : mukosa bibir kering

D:-

Neurosensori Ny. J : klien mengatakan tidak merasakan

nyeri kepala ataupun sakit kepala. Nyeri atau ketidaknyamanan

: P : nyeri post sectio caesarea, Q : terasa seperti ditusuk-tusuk

dan terbakar, R : abdomen, S : skala 6, T : hilang timbul selama

30 menit. Klien mengatakan nyeri pada luka operasi, nyeri

bertambah parah dirasakan bila melakukan mobilisasi miring

kanan kiri. Klien mengatakan nyeri yang dirasakan dialihkan

dengan mengurangi aktivitas yang dapat memperberat nyeri.

Klien tampak meringis menahan nyeri, terlihat cemas, klien

bergerak secara hati-hati dan memegangi luka operasi. Klien

dalam menghadapi nyeri menunjukkan kecemasan dan sedikit

ketakutan, klien mengatakan nyeri yang dirasakan mengganggu

tidurnya dan membuat kllien enggan beraktivitas. Klien tidak

mengatasi nyeri dengan teknik tertentu. Klien mengatakan nyeri

yang dirasakan dialihkan dengan istirahat walaupun sering

terbangun. Nyeri yang dirasakan klien tidak disertai dengan

mual, muntah, pusing, dan diare.


Pernafasan Ny. J : klien tidak mengunakan 0 2, tidak

mengeluh sesak nafas. Keamanan : klien mengalami

keterbatasan gerak karena luka operasi dan keharusan

imobilisasi pasca operasi. Seksualitas : klien mengatakan darah

nifas yang keluar sedikit. Dengan frekuensi 250 cc/8 jam.

Pembelajaran : klien mengatakan belum mengetahui tentang

manajemen nyeri, klien mengatakan belum mengetahui tahapan

mobilisasi pasca operasi sectio caesarea. Higiene : personal

higiene klien dibantu oleh keluarga dan petugas kesehatan yang

bertugas di Ruang Mawar.

3) Pemeriksaan Fisik

Data yang didapatkan pada pemeriksaan fisik Ny. J

yaitu keadaan umum baik, tingkat kesadaran compos mentis

dengan GCS 15, tanda-tanda vital untuk tekanan darah 110/60

mmHg, nadi 72 kali/menit, RR 20 kali/menit, suhu 37 0 C. Berat

badan klien sebelum melahirkan 57 kg. Pemeriksaan kepala

pada klien tidak ditemukan adanya lesi dengan bentuk simetris,

bentuk kepala mesochepal, rambut bersih berwarna hitam.

Pemeriksaan mata tidak didapatkan sklera yang ikterik,

konjungtiva tidak anemis. Pemeriksaan hidung tidak terdapat

pembesaran polip, bersih, tidak terdapat sekret, bentuk hidung

simetris. Pemeriksaan telinga klien, telinga klien tampak


simetris, bersih, dan tidak terdapat serumen. Pemeriksaan

mukosa bibir tampak kering dan pucat.

Pemeriksaan leher Ny. J tidak terdapat pembesaran

kelenjar tiroid, dan tidak terdapat pembesaran vena jugularis.

Pemeriksaan jantung Ny. J, inspeksi : ictus cordis tidak

tampak, palpasi : ictus cordis tidak teraba, perkusi : redup,

auskultasi : S1 dan S2 reguler.

Pemeriksaan paru-paru Ny. J, inspeksi : dada simetris,

palpasi : taktil fremitus sama, tidak terdapat nyeri tekan, perkusi

: resonan, auskultasi : vesikuler.

Pemeriksaan abdomen Ny. J, inspeksi : panjang luka

horizontal + 10 cm, dibalut verban, tidak terdapat kemerahan di

daerah sekitar luka, auskultasi : terdengar bising usus 12

x/menit, palpasi : terdapat nyeri tekan, perkusi : timpani.

Pemeriksaan payudara Ny. J, payudara kanan dan kiri

tampak simetris, tidak terdapat lesi, puting susu menonjol, air

susu ibu belum keluar, payudara terasa nyeri.

Genetalia Ny. J : tampak darah nifas berwarna merah

segar, dengan frekuensi darah kurang lebih 250 cc, gumpalan

darah berwarna merah dan berbau amis yang merupakan lokhea

rubra, perineum tidak terdapat laserasi, tidak terdapat hemoroid

pada anus, klien terpasang DC.


Ekstremitas atas Ny. J: terpasang infus Triofusin 12 tpm

pada tangan kiri, tidak terdapat oedem, kekuatan otot 5/5.

Ekstremitas bawah Ny. J : kekuatan otot 5/5, tidak terdapat

oedem.

4) Data Penunjang

Tabel 4.2

Hasil pemeriksaan laboratorium Ny. J tanggal 8 Januari 2018

Parameter Hasil Normal

Hemoglobin 12.2 11.7 – 15.5


Hematokrit 36 35 – 47

Leukosit 9.0 3.6 – 11.0

Eritrosit 2.92 3.90 – 5. 20

Trombisit 198 150 – 440

MCV 90.8 80.0 – 100.0

MCH 31.1 26.0 – 34.0

MCHC 34.1 32.0 – 36.0

Ureum 9.8 10.0 – 50.0

Kreatinin 0.48 0.60 – 1.2

a) Terapi obat :

(1) Injeksi Ketorolac 1 A/ 8 jam merupakan analgesik non

narkotik dengan indikasi pemberian unutk


penatalaksanaan jangka pendek terhadap nyeri akut

sedang sampai berat setelah prosedur bedah.

(2) Asam mefenamat 3 x 500 mg dengan indikasi

pemberian sakit kepala, sakit gigi, nyeri

muskuluskeletal, nyeri traumatik (terpukul, terbentur,

teriris), nyeri setelah operasi, nyeri setelah melahirkan,

dysminorrhea (nyeri saat haid), nyeri rematik, nyeri

pada punggung bagian bawah & demam.

2. Diagnosa Keperawatan

a. Kasus 1

Diagnosa Ny. S Nyeri akut berhubungan dengan agens

cedera fisik (00132) prosedur pembedahan ditandai dengan DS :

klien mengatakan nyeri pada luka operasi, nyeri bertambah

dirasakan bila melakukan mobilisasi ditambah dengan berat

tubuhnya yang menyulitkan untuk mobilisasi. Klien mengatakan

tidak melakukan hal tertentu untuk menurunkan rasa nyeri yang

dirasakan. Klien mengatakan tidak mengatasi nyeri dengan teknik

tertentu. P : nyeri post sectio caesarea, Q : terasa seperti ditusuk-

tusuk dan terbakar, R : abdomen, S : skala 5, T : hilang timbul

selama 30 menit. DO : Klien sesekali tampak meringis menahan

nyeri, klien bergerak secara hati-hati dan memegangi luka operasi.

Klien dalam menghadapi nyeri tidak menunjukkan kecamasan dan

ketakutan.
b. Kasus 2

Diagnosa Ny. J Nyeri akut berhubungan dengan agens

cedera fisik (00132) prosedur pembedahan ditandai dengan DS :

klien mengatakan nyeri pada luka operasi, nyeri bertambah

dirasakan bila melakukan mobilisasi miring kanan kiri. Klien

mengatakan nyeri yang dirasakan dialihkan dengan mengurangi

aktivitas yang dapat memperberat nyeri. Klien mengatakan nyeri

yang dirasakan mengganggu tidurnya dan membuat klien enggan

beraktivitas. Klien tidak mengatasi nyeri dengan teknik tertentu.

Klien mengatakan nyeri yang dirasakan dialihkan dengan istirahat

walaupun sering terbangun. P : nyeri post sectio caesarea, Q :

terasa seperti ditusuk-tusuk dan terbakar, R : abdomen, S : skala 6,

T : hilang timbul selama 30 menit. DO : Klien tampak meringis

menahan nyeri, klien nampak cemas, klien bergerak secara hati-hati

dan memegangi luka operasi. Klien dalam menghadapi nyeri

menunjukkan kecamasan dan sedikit ketakutan.

3. Intervensi Keperawatan

Intervensi keperawatan yang penulis rencanakan kepada kedua

klien sama dikarenakan kedua klien memiliki masalah keperawatan

yang hampir serupa yaitu nyeri akut berhubungan dengan agens cedera

fisik pada Ny. S dan Ny. J diharapkan teratasi setelah dilakukan


tindakan keperawatan selama 3x24 jan dengan kriteria hasil klien

melaporkan nyeri yang terkontrol dengan skala nyeri berkurang, klien

dapat beradaptasi dengan nyeri, komunikasi nonverbal klien nampak

rileks atau tidak nampak meringis menahan nyeri, klien tidak

memegangi bagian luka operasi saat akan melakukan pergerakan.

Intervensi keperawatan yang dilakukan dalam mengatasi

masalah keperawatan nyeri akut berhubungan dengan agens cedera

fisik yaitu : yang pertama dengan manajemen nyeri (1400) yaitu kaji

karakteristik nyeri secara komprehensif, observasi respon nonverbal,

gali pengetahuan dan kepercayaan klien mengenai nyeri, gali faktor

yang dapat memperberat dan menurunkan nyeri, evaluasi pengalaman

nyeri di masa lalu jika klien memiliki riwayat nyeri yang sama,

evaluasi dengan klien dan tim kesehatan lain mengenai efektifitas

tindakan pengontrolan nyeri, beri informasi mengenai nyeri, seperti

penyebab nyeri, berapa lama nyeri akan dirasakan, dan antisipasi dari

ketidaknyamanan akibat prosedur, ajarkan teknik non farmakologis

(relaksasi). Yang kedua berupa pemberian analgesik (2210) yaitu cek

perintah pengobatan meliputi obat, dosis dan frekuensi obat analgetik

yang diresepkan, cek adanya alergi, monitor TTV sebelum dan sesudah

pemberian analgesik, kolaborasi dengan dokter apakah obat, dosis, rute

pemberian, atau perubahan interval dibutuhkan, buat rekomendasi

khusus berdasarkan prinsip analgesik.


4. Tindakan keperawatan

a. Tindakan keperawatan pada Ny. S untuk mengatasi masalah

keperawatan nyeri akut berhubungan dengan agens cedera fisik

(00132) dilakukan selama 3 hari perawatan sebagai berikut :

1) Selasa, 9 Januari 2018

Tindakan pertama pada masalah keperawatan nyeri akut

berhubugan dengan agens cedera fisik dilakukan pada pukul

09.30 WIB mengkaji karakteristik nyeri didapatkan data

subjektif : klien mengatakan nyeri pada luka operasi, nyeri

bertambah dirasakan bila melakukan mobilisasi ditambah

dengan berat tubuhnya yang menyulitkan untuk mobilisasi.

Klien mengatakan tidak melakukan hal tertentu untuk

menurunkan rasa nyeri yang dirasakan. Klien mengatakan tidak

mengatasi nyeri dengan teknik tertentu. P : nyeri post sectio

caesarea, Q : terasa seperti ditusuk-tusuk dan terbakar, R :

abdomen, S : skala 5, T : hilang timbul selama 30 menit. DO :

Klien sesekali tampak meringis menahan nyeri, klien bergerak

secara hati-hati dan memegangi luka operasi. Klien dalam

menghadapi nyeri tidak menunjukkan kecamasan dan

ketakutan.

Tindakan yang kedua dilakukan pada pukul 09.35 WIB

mengobservasi respon nonverbal dari ketidaknyamanan,


didapatkan data subyektif klien mengatakan nyeri pada

abdomen di luka operasi. Data obyektif klien sesekali tampak

meringis menahan nyeri disertai dengan memegang area nyeri.

Tindakan ketiga pada pukul 09.40 mengkaji

pengetahuan klien mengenai nyeri, didapatkan data subyektif

klien mengatakan nyeri karena obat bius saat operasi sudah

hilang sehingga timbul rasa nyeri.

Tindakan keempat pukul 09.50 WIB mengkaji faktor-

faktor yang dapat menurunkan atau memperberat nyeri, data

subyektif yang diperoleh klien mengatakan belum tahu cara

mengatasi nyeri, data obyektif klien tampak agak bingung.

Tindakan kelima pukul 11.00 WIB mengobservasi TTV,

didapatkan data obyektif TD 100/70 mmHg, suhu 36o C, nadi

84 x/menit, RR 20 x/menit.

Tindakan keenam pukul 11.30 WIB mengajarkan teknik

relaksasi nafas dalam, didapatkan data subyektif klien

mengatakan mau diajari teknik nafas dalam, data obyektif klien

memperhatikan dengan antusias, dan mencoba untuk

mempraktekkan di depan penulis.

Tindakan ketujuh pukul 12.30 WIB memberikan terapi

injeksi ketorolac 1 A dan cefriaxone 1 gram, yang dilakukan

dengan Prisip Enam Benar Obat yaitu benar pasien, benar obat,

benar dosis, benar cara, benar waktu, benar dokumentasi.


Diperoleh data obyektif injeksi masuk dengan baik melalui

intraselang tanpa reaksi alergi dari klien.

2) Rabu, 10 Januari 2018

Tindakan pertama pukul 14.30 WIB mengkaji

karakteristik nyeri dan didapatkan data subyektif bahwa klien

mengatakan nyeri masih dirasakan pada luka operasi dengan

skala yang lebih rendah. Klien mengatakan sering

mempraktekkan nafas dalam. P : nyeri post sectio caesarea, Q :

terasa seperti ditusuk-tusuk, R : abdomen, S : skala 3, T : hilang

timbul selama 1 jam. Data obyektif : Klien nampak bisa

beradaptasi dengan nyerinya. Sedikit meringis menahan nyeri,

klien bergerak secara hati-hati. Klien sudah bisa melakukan

mobilisasi duduk.

Tindakan yang kedua dilakukan pada pukul 14.35 WIB

mengobservasi respon nonverbal dari ketidaknyamanan,

didapatkan data subyektif klien mengatakan nyeri masih

dirasakan pada abdomen di luka operasi. Data obyektif klien

tampak lebih rileks, namun sesekali masih meringis menahan

nyeri.

Tindakan ketiga pada pukul 14.40 mengkaji

pengetahuan klien mengenai nyeri, didapatkan data subyektif

klien mengatakan setelah dilakukan operasi akan terasa nyeri.


Tindakan keempat pukul 15.20 WIB mengobservasi

TTV, didapatkan data obyektif TD 110/80 mmHg, suhu 36.2o

C, nadi 104 x/menit, RR 20 x/menit.

Tindakan kelima pukul 15.30 WIB mengevaluasi teknik

non farmakologis nafas dalam yang telah penulis ajarkan pada

hari sebelumnya, didapatkan data subyektif klien mengatakan

klien sering mempraktekkan nafas dalam ketika nyeri terjadi,

data obyektif klien nampak mempraktekkan relaksasi nafas

dalam dengan benar.

Tindakan keenam pukul 16.00 WIB memberikan terapi

injeksi ketorolac 1 A yang dilakukan dengan Prisip Enam Benar

Obat yaitu benar pasien, benar obat, benar dosis, benar cara,

benar waktu, benar dokumentasi. Diperoleh data obyektif

injeksi masuk dengan baik melalui intraselang tanpa reaksi

alergi dari klien.

3) Kamis, 11 Januari 2018

Tindakan pertama pukul 14.30 WIB mengkaji

karakteristik nyeri dan didapatkan data subyektif bahwa klien

mengatakan nyeri luka operasi sudah jarang dirasakan, klien

mengatakan akan menggunakan teknik relaksasi nafas dalam

apabila nyeri datang. P : nyeri post sectio caesarea, Q : terasa

seperti ditusuk-tusuk, R : abdomen, S : skala 1 , T : hilang

timbul selama 3-4 jam. Data obyektif : Klien nampak bisa


beradaptasi dengan nyerinya, nampak rileks. Kateter sudah

dilepas. Klien sudah dapat turun dari tempat tidur dan jalan ke

kamar mandi sendiri.

Tindakan yang kedua dilakukan pada pukul 14.30 WIB

mengobservasi respon nonverbal dari ketidaknyamanan,

didapatkan data subyektif klien mengatakan nyeri sudah jarang

dirasakan pada abdomen di luka operasi. Data obyektif Klien

sudah dapat turun dari tempat tidur dan jalan ke kamar mandi

sendiri.

Tindakan ketiga pada pukul 15.20 WIB mengobservasi

TTV, didapatkan data obyektif TD 130/80 mmHg, suhu 36 o C,

nadi 100 x/menit, RR 22 x/menit.

Tindakan keempat pukul 15.30 WIB mengevaluasi

teknik non farmakologis nafas dalam yang telah penulis

ajarkan, didapatkan data subyektif klien mengatakan sudah

jarang mempraktekkan lagi relaksasi nafas, data obyektif klien

nampak mempraktekkan relaksasi nafas dalam dengan benar.

Tindakan kelima pukul 14.00 WIB memberikan obat

oral ketoprofen 100 mg, cefroduoxyl 500 mg, prenemia, yang

dilakukan dengan Prisip Enam Benar Obat yaitu benar pasien,

benar obat, benar dosis, benar cara, benar waktu, benar

dokumentasi. Diperoleh data obyektif obat masuk dengan baik

secara oral tanpa mual dan muntah.


b. Tindakan keperawatan pada Ny. J untuk mengatasi masalah

keperawatan nyeri akut berhubungan dengan agens cedera fisik

(00132) dilakukan selama 3 hari perawatan sebagai berikut :

1) Rabu, 10 Januari 2018

Tindakan pertama pada masalah keperawatan nyeri akut

berhubugan dengan agens cedera fisik dilakukan pada pukul

15.40 WIB mengkaji karakteristik nyeri didapatkan data

subjektif : klien mengatakan nyeri pada luka operasi, nyeri

bertambah dirasakan bila melakukan mobilisasi miring kanan

kiri. Klien mengatakan nyeri yang dirasakan dialihkan dengan

mengurangi aktivitas yang dapat memperberat nyeri. Klien

mengatakan nyeri yang dirasakan mengganggu tidurnya dan

membuat kllien enggan beraktivitas. Klien tidak mengatasi

nyeri dengan teknik tertentu. Klien mengatakan nyeri yang

dirasakan dialihkan dengan istirahat walaupun sering terbangun.

P : nyeri post sectio caesarea, Q : terasa seperti ditusuk-tusuk

dan terbakar, R : abdomen, S : skala 6, T : hilang timbul selama

30 menit. Data obyektif : Klien tampak meringis menahan

nyeri, klien nampak cemas, klien bergerak secara hati-hati dan

memegangi luka operasi. Klien dalam menghadapi nyeri tidak

menunjukkan kecamasan dan ketakutan berlebih.

Tindakan yang kedua dilakukan pada pukul 15.45 WIB

mengobservasi respon nonverbal dari ketidaknyamanan,


didapatkan data subyektif klien mengatakan nyeri pada

abdomen di luka operasi. Data obyektif klien tampak meringis

menahan nyeri disertai dengan memegang area nyeri.

Tindakan ketiga pada pukul 15.50 mengkaji

pengetahuan klien mengenai nyeri, didapatkan data subyektif

klien mengatakan sebelumnya tidak terasa nyeri karena obat

bius yang diberikan saat operasi belum hilang, namun ketika

efek obat bius hilang akan mulai terasa nyeri, sehingga timbul

rasa nyeri. Data obyektif klien tampak menahan nyeri.

Tindakan keempat pukul 15.55 WIB mengkaji faktor-

faktor yang dapat menurunkan atau memperberat nyeri, data

subyektif yang diperoleh klien mengatakan belum tahu cara

mengatasi nyeri, data obyektif klien tampak agak bingung.

Tindakan kelima pukul 16.00 WIB mengobservasi TTV,

didapatkan data obyektif TD 100/70 mmHg, suhu 36.5 o C, nadi

72 x/menit, RR 20 x/menit.

Tindakan keenam pukul 16.15 WIB mengajarkan teknik

relaksasi nafas dalam, didapatkan data subyektif klien

mengatakan mau diajari teknik nafas dalam, data obyektif klien

memperhatikan dengan antusias, dan mencoba untuk

mempraktekkan di depan penulis.

Tindakan ketujuh pukul 17.00 WIB memberikan terapi

injeksi cefriaxone 1 gram, ketorolac 1 A, yang dilakukan


dengan Prisip Enam Benar Obat yaitu benar pasien, benar obat,

benar dosis, benar cara, benar waktu, benar dokumentasi.

Diperoleh data obyektif injeksi masuk dengan baik melalui

intraselang tanpa reaksi alergi dari klien.

2) Kamis, 11 Januari 2018

Tindakan pertama pukul 15.35 WIB mengkaji

karakteristik nyeri dan didapatkan data subyektif bahwa klien

mengatakan nyeri masih dirasakan pada luka operasi, nyeri

masih dirasakan bila melakukan mobilisasi miring kanan kiri

dengan skala yang lebih rendah. Klien mengatakan

mempraktekkan nafas dalam jika nyeri muncul. P : nyeri post

sectio caesarea, Q : terasa seperti ditusuk-tusuk, R : abdomen,

S : skala 4, T : hilang timbul selama 1 jam. Data obyektif :

Klien nampak bisa beradaptasi dengan nyerinya. Sesekali masih

meringis menahan nyeri, klien bergerak secara hati-hati dan

memegangi luka operasi dengan lebih rileks. Saat nyeri muncul

ketika dilakukan pergerakan klien terlihat melakukan nafas

dalam. Klien sesekali melakukan mobilisasi duduk.

Tindakan yang kedua dilakukan pada pukul 15.40 WIB

mengobservasi respon nonverbal dari ketidaknyamanan,

didapatkan data subyektif klien mengatakan nyeri masih

dirasakan pada abdomen di luka operasi. Data obyektif klien


tampak lebih rileks, namun sesekali masih meringis menahan

nyeri disertai dengan memegang area nyeri.

Tindakan ketiga pada pukul 15.45 mengkaji

pengetahuan klien mengenai nyeri, didapatkan data subyektif

klien mengatakan nyeri yang dirasakan wajar terjadi setelah

dilakukan operasi.

Tindakan keempat pukul 16.00 WIB mengobservasi

TTV, didapatkan data obyektif TD 110/70 mmHg, suhu 36.5o

C, nadi 80 x/menit, RR 20 x/menit.

Tindakan kelima pukul 16.10 WIB mengevaluasi teknik

non farmakologis nafas dalam yang telah penulis ajarkan pada

hari sebelumnya, didapatkan data subyektif klien mengatakan

klien sudah mempraktekkan nafas dalam ketika nyeri terjadi,

namun terkadang lupa, data obyektif klien nampak

mempraktekkan relaksasi nafas dalam dengan sedikit

mengingat-ingat tahap demi tahap prosedur relaksasi nafas

dalam.

Tindakan keenam pukul 17.00 WIB memberikan terapi

injeksi cefriaxone 1 gram, ketorolac 1 A, yang dilakukan

dengan Prisip Enam Benar Obat yaitu benar pasien, benar obat,

benar dosis, benar cara, benar waktu, benar dokumentasi.

Diperoleh data obyektif injeksi masuk dengan baik melalui

intraselang tanpa reaksi alergi dari klien.


3) Jum’at, 12 Januari 2018

Tindakan pertama pukul 14.30 WIB mengkaji

karakteristik nyeri dan didapatkan data subyektif bahwa klien

mengatakan nyeri luka operasi sudah tidak sering dirasakan,

klien mengatakan akan menggunakan teknik relaksasi nafas

dalam apabila nyeri datang. P : nyeri post sectio caesarea, Q :

terasa seperti ditusuk-tusuk, R : abdomen, S : skala 2, T : hilang

timbul selama 2-3 jam. Data obyektif : Klien nampak bisa

beradaptasi dengan nyerinya, nampak rileks. Klien masih

bergerak secara hati-hati dan memegangi luka operasi. klien

sudah mobilisasi duduk lebih sering.

Tindakan yang kedua dilakukan pada pukul 14.30 WIB

mengobservasi respon nonverbal dari ketidaknyamanan,

didapatkan data subyektif klien mengatakan sesekali nyeri

masih dirasakan pada abdomen di luka operasi. Data obyektif

klien nampak berhati-hati melakukan moblisasi yang dilakukan

dengan rileks.

Tindakan ketiga pada pukul 15.20 WIB mengobservasi

TTV, didapatkan data obyektif TD 110/60 mmHg, suhu 37 o C,

nadi 80 x/menit, RR 20 x/menit.

Tindakan keempat pukul 15.30 WIB mengevaluasi

teknik non farmakologis nafas dalam yang telah penulis

ajarkan, didapatkan data subyektif klien mengatakan tidak


sering mempraktekkan lagi relaksasi nafas dalam karena nyeri

yang dirasakan sudah tidak seseriing saat hari 0 dan hari 1 post

operasi, data obyektif klien nampak mempraktekkan relaksasi

nafas dalam dengan benar.

Tindakan kelima pukul 17.00 WIB memberikan obat

oral Asam mefenamat 500 mg, Cefroduoxyl 500 mg, prenamia,

yang dilakukan dengan Prisip Enam Benar Obat yaitu benar

pasien, benar obat, benar dosis, benar cara, benar waktu, benar

dokumentasi. Diperoleh data obyektif obat diminum dan masuk

dengan baik secara oral tanpa mual dan muntah.

5. Evaluasi

Hasil data yang diperoleh berdasarkan respon subyektif dan

respon obyektif pada setiap tindakan keperawatan untuk mengatasi

masalah keperawatan nyeri akut berhubungan dengan agens cedera

fisik (00132).

a. Evaluasi kasus 1

Evaluasi tanggal 9 Januari 2018 pukul 20.00 WIB dengan

evaluasi subyektif : klien mengatakan nyeri pada luka operasi, nyeri

bertambah dirasakan bila melakukan mobilisasi miring kanan kiri,

P : nyeri post sectio caesarea, Q : terasa seperti ditusuk-tusuk dan

terbakar, R : abdomen, S : skala 5, T : hilang timbul selama 30

menit. Klien mengatakan tidak mengatasi nyeri dengan teknik

tertentu. klien mengatakan nyeri karena obat bius saat operasi sudah
hilang sehingga timbul rasa nyeri. Klien mengatakan belum tahu

cara mengatasi nyeri, klien mengatakan mau diajari teknik nafas

dalam. Adapun evaluasi obyektif : Klien tampak meringis menahan

nyeri, klien bergerak secara hati-hati dan memegangi luka operasi,

klien dalam menghadapi nyeri tidak menunjukkan kecamasan dan

ketakutan berlebih. TD 100/70 mmHg, suhu 36.5o C, nadi 72

x/menit, RR 20 x/menit. klien tampak agak bingung. klien

memperhatikan dengan antusias, dan mencoba untuk

mempraktekkan di depan penulis. Injeksi masuk dengan baik

melalui intraselang tanpa reaksi alergi dari klien.

Evaluasi tanggal 10 Januari 2018 pukul 19.00 WIB, dengan

evaluasi subyektif : klien mengatakan nyeri masih dirasakan pada

luka operasi, nyeri masih dirasakan bila melakukan mobilisasi

miring kanan kiri dengan skala yang lebih rendah. Klien

mengatakan mempraktekkan nafas dalam jika nyeri muncul. P :

nyeri post sectio caesarea, Q : terasa seperti ditusuk-tusuk, R :

abdomen, S : skala 3, T : hilang timbul selama 1 jam. Klien

mengatakan nyeri yang dirasakan wajar terjadi setelah dilakukan

operasi. Klien mengatakan klien sudah mempraktekkan nafas dalam

ketika nyeri terjadi, namun terkadang lupa. Sedangkan untuk

evaluasi obyektif : Klien nampak bisa beradaptasi dengan nyerinya.

Sesekali masih meringis menahan nyeri, klien bergerak secara hati-

hati dan memegangi luka operasi dengan lebih rileks. Saat nyeri
muncul ketika dilakukan pergerakan klien terlihat melakukan nafas

dalam. Klien sesekali melakukan mobilisasi duduk. TD 110/70

mmHg, suhu 36.5o C, nadi 80 x/menit, RR 20 x/menit. Klien

nampak mempraktekkan mempraktekkan relaksasi nafas dalam

dengan sedikit mengingat-ingat tahap demi tahap prosedur relaksasi

nafas dalam. Injeksi masuk dengan baik melalui intraselang tanpa

reaksi alergi dari klien.

Evaluasi tanggal 11 Januari 2018 pukul 20.00 WIB

didapatkan evaluasi subyektif : klien mengatakan nyeri luka operasi

sudah tidak sering dirasakan, klien mengatakan akan menggunakan

teknik relaksasi nafas dalam apabila nyeri datang. P : nyeri post

sectio caesarea, Q : terasa seperti ditusuk-tusuk, R : abdomen, S :

skala 1 , T : hilang timbul selama 2-3 jam. Klien mengatakan

sesekali nyeri masih dirasakan pada abdomen di luka operasi. Klien

mengatakan tidak sering mempraktekkan lagi relaksasi nafas dalam

karena nyeri yang dirasakan sudah tidak sesering saat hari 0 dan

hari 1 post operasi. Evaluasi data obyektif : Klien nampak bisa

beradaptasi dengan nyerinya, nampak rileks. Klien masih bergerak

secara hati-hati dan memegangi luka operasi. klien sudah

mobilisasi duduk lebih sering. Klien nampak berhati-hati

melakukan moblisasi yang dilakukan dengan rileks. TD 110/60

mmHg, suhu 37o C, nadi 80 x/menit, RR 20 x/menit. Klien nampak

mempraktekkan mempraktekkan relaksasi nafas dalam dengan


benar. Obat diminum dan masuk dengan baik secara oral tanpa

reaksi alergi dari klien.

b. Evaluasi kasus 2

Evaluasi tanggal 10 Januari 2018 pukul 20.00 WIB dengan

evaluasi subyektif : klien mengatakan nyeri pada luka operasi, nyeri

bertambah dirasakan bila melakukan mobilisasi miring kanan kiri,

P : nyeri post sectio caesarea, Q : terasa seperti ditusuk-tusuk dan

terbakar, R : abdomen, S : skala 6, T : hilang timbul selama 30

menit. Klien mengatakan tidak mengatasi nyeri dengan teknik

tertentu. Klien mengatakan nyeri pada abdomen di luka operasi.

klien mengatakan nyeri karena obat bius saat operasi sudah hilang

sehingga timbul rasa nyeri. Klien mengatakan belum tahu cara

mengatasi nyeri, klien mengatakan mau diajari teknik nafas dalam.

Adapun evaluasi obyektif : Klien tampak meringis menahan nyeri,

klien nampak cemas, klien bergerak secara hati-hati dan

memegangi luka operasi, klien dalam menghadapi nyeri tidak

menunjukkan kecamasan dan ketakutan berlebih. TD 100/70

mmHg, suhu 36.5o C, nadi 72 x/menit, RR 20 x/menit. klien

tampak agak bingung. klien memperhatikan dengan antusias, dan

mencoba untuk mempraktekkan di depan penulis. Injeksi masuk

dengan baik melalui intraselang tanpa reaksi alergi dari klien.

Evaluasi tanggal 11 Januari 2018 pukul19.00 WIB, dengan

evaluasi subyektif : klien mengatakan nyeri masih dirasakan pada


luka operasi, nyeri masih dirasakan bila melakukan mobilisasi

miring kanan kiri dengan skala yang lebih rendah. Klien

mengatakan mempraktekkan nafas dalam jika nyeri muncul. P :

nyeri post sectio caesarea, Q : terasa seperti ditusuk-tusuk, R :

abdomen, S : skala 4, T : hilang timbul selama 1 jam. Klien

mengatakan nyeri yang dirasakan wajar terjadi setelah dilakukan

operasi. Klien mengatakan klien sudah mempraktekkan nafas dalam

ketika nyeri terjadi. Sedangkan untuk evaluasi obyektif : Klien

nampak bisa beradaptasi dengan nyerinya. Sesekali masih meringis

menahan nyeri, klien bergerak secara hati-hati dan memegangi luka

operasi dengan lebih rileks. Saat nyeri muncul ketika dilakukan

pergerakan klien terlihat melakukan nafas dalam. Klien sesekali

melakukan mobilisasi duduk. TD 110/70 mmHg, suhu 36.5o C, nadi

80 x/menit, RR 20 x/menit. Klien nampak mempraktekkan

mempraktekkan relaksasi nafas dalam dengan sedikit mengingat-

ingat tahap demi tahap prosedur relaksasi nafas dalam. Injeksi

masuk dengan baik melalui intraselang tanpa reaksi alergi dari

klien.

Evaluasi tanggal 12 Januari 2018 pukul 20.00 WIB

didapatkan evaluasi subyektif : klien mengatakan nyeri luka operasi

sudah tidak sering dirasakan, klien mengatakan akan menggunakan

teknik relaksasi nafas dalam apabila nyeri datang. P : nyeri post

sectio caesarea, Q : terasa seperti ditusuk-tusuk, R : abdomen, S :


skala 2, T : hilang timbul selama 2-3 jam. Klien mengatakan

sesekali nyeri masih dirasakan pada abdomen di luka operasi. Klien

mengatakan tidak sering mempraktekkan lagi relaksasi nafas dalam.

Evaluasi data obyektif : Klien nampak bisa beradaptasi dengan

nyerinya, nampak rileks. Klien masih bergerak secara hati-hati dan

memegangi luka operasi. klien sudah mobilisasi duduk lebih

sering. Klien nampak berhati-hati melakukan moblisasi yang

dilakukan dengan rileks. TD 110/60 mmHg, suhu 37o C, nadi 80

x/menit, RR 20 x/menit. Klien nampak mempraktekkan

mempraktekkan relaksasi nafas dalam dengan benar. Obat diminum

dan masuk dengan baik secara oral tanpa reaksi alergi dari klien.

B. Pembahasan

Membahas masalah yang munsul selama melakukan perawatan 3 x

24 jam kepada Ny. S dan Ny. J dengan masalah keperawatan nyeri akut

berhubungan dengan cedera fisik post sectio caesarea di ruang Mawar

RSUD Djojonegoro RSUD Temanggung Kabupaten Temanggung dari

tanggal 9-12 Januari 2018. Pembahasan ini bertujuan untuk memberikan

informasi tentang pengertian dari diagnosa keperawatan, dasar-dasar

diagnosa ditegakkan, bagaimana masalah keperawatan tersebut bisa

muncul. Akibat dari masalah keperawatan yang muncul apabila tidak

teratasi, tindakan keperawatan yang telah diberikan serta masalah

keperawatan yang seharusnya muncul tetapi tidak diangkat oleh penulis


serta kesenjangan teori, perbedaan respon dari kedua klien, dan

pelaksanaannya di rumah sakit.

1. Pengkajian

Penulis melakukan pengkajian pada Ny. S pada tanggal 9

Januari 2018 dan Ny. J pada tanggal 10 Januari 2018 di Ruang Mawar

RSUD Djojonegoro Kabupaten Temanggung. Ny. S dipindahkan ke

dalam kamar nifas setelah dilakukan operasi sectio caesarea sejak

pukul 16.30 WIB tanggal 8 Januari 2018. Ny. J dipindahkan ke kamar

nifas pada pukul 23.30 WIB tanggal 9 Januari 2018.

Ny. S melahirkan secara sectio caesarea dengan riwayat

kehamilan G2P1A0 43 minggu atas indikasi janin besar. Sebelum Ny.

S dibawa ke RSUD Djojonegoro Kabupaten Temanggung, klien

sempat dibawa ke bidan desa karena merasa sudah cukup bulan namun

belum mersakan kenceng-kenceng dan akhirnya dirujuk ke RSUD

Djojonegoro Kabupaten Magelang dengan diagnosa kehamilan

G2P1A0 43 minggu atas indikasi janin besar. Ny. J melahirkan secara

sectio caesarea dengan riwayat kehamilan G2P1A0 atas indikasi DKP.

Dimana kehamilan pertama juga dilakukan secara sectio caesarea atas

indikasi DKP.

Berdasarkan Aprina dan Anita (2016) dalam Jurnal Kesehatan

indikasi dilakukannya sectio caesarea yang menjadikan klien harus

dilakukan operasi sectio caesarea, bisa karena masalah di pihak ibu

maupun bayi. Terdapat dua keputusan bedah caesar. Pertama,


keputusan bedah caesar yang sudah didiagnosa sebelumnya.

Penyebabnya antara lain, ketidak-seimbangan ukuran kepala bayi dan

panggul ibu (panggul sempit, anak besar, letak dahi, letak muka, dsb),

keracunan kehamilan yang parah, preeklampsia berat atau eklampsia,

kelainan letak bayi (sungsang, lintang), sebagian kasus mulut rahim

tertutup plasenta (plasenta previa), bayi kembar, kehamilan pada ibu

berusia lanjut, sejarah bedah caesarpada kehamilan sebelumnya, ibu

menderita penyakit tertentu, infeksi saluran persalinan dan sebagainya

Yang kedua adalah keputusan yang diambil tiba-tiba karena tuntutan

kondisi darurat.

Respon nyeri yang dirasakan oleh Ny. S yaitu nyeri terasa

seperti ditusuk-tusuk dengan skala 5, dalam menghadapi nyeri klien

tidak menunjukkan kecemasan dan ketakutan. Sementara respon yang

ditunjukkan Ny. J terhadap nyeri yaitu nyeri terasa seperti ditusuk-

tusuk dan terbakar dengan skala 6, klien menghadapi nyeri dengan

menunjukkan kecemasan dan sedikit ketakutan. Teori Barbara (2002)

menjelaskan bahwa tindakan pembedahan dan nyeri akibat

pembedahan merupakan ancaman potensial maupun aktual pada

integeritas seseorang yang dapat membangkitkan kecemasan. Gill

(2002) mengatakan bahwa nyeri bisa menyebabkan kecemasan, karena

rasa nyeri sangat mengganggu kenyamanan seseorang sehingga

menimbulkan rasa cemas. Rasa cemas tersebut timbul akibat seseorang


merasa terancam dirinya atau adanya akibat yang lebih buruk dari nyeri

tersebut.

Pengkajian pada Ny. J didapatkan bahwa persalinan pertama

dilakukan secara SC, sehingga Ny. J pernah merasakan pengalaman

nyeri post sectio caesarea. Faktor yang mempengaruhi pengalaman

nyeri seseorang terhadap nyeri dapat meningkatkan atau menurunkan

persepsi nyeri pasien , toleransi terhadap nyeri mempengaruhi reaksi

terhadap nyeri (Le Mone & Burke, 2008). Faktor yang dapat

mempengaruhi nyeri tersebut antara lain : faktor kepribadian, jenis

kelamin, usia, budaya, perhatian serta kewaspadaan. Setiap orang

memiliki toleransi nyeri yang berbeda-beda. Persepsi nyeri tiap orang

tak akan sama persis sama (Intan, 2016) . Ny. J yang sudah memiliki

pengalaman nyeri masih merasakan skala nyeri yang lebih tinggi

dibandingkan dengan Ny. S hal ini dapat dipengaruhi karena toleransi

nyeri Ny. J lebih tinggi yaitu skala 6 dan toleransi nyeri Ny. S skala 5,

selain itu persepsi Ny. J terhadap nyeri yang dirasakan disertai dengan

kecemasan sehingga menambah rasa nyeri yang dirasakan Ny. J.

Pengkajian data dasar menurut Doengoes (2001) serta Kozier &

Erb (2009) yang penulis bahas dalam pembahasan yaitu jika ada data

senjang antara teori dan kenyataan yang dialami klien, yang pertama

meliputi waktu istirahat klien, dimana Ny. S hanya tidur tiga jam

sedangkan Ny. J tidur satu setengah jam. Merupakan data senjang

dengan teori, karena normal tidur orang dewasa menurut Robby dkk
(2015) membutuhkan 7-8 jam setiap hari, faktor internal seperti nyeri

memiliki pengaruh terhadap kualitas tidur seseorang.

2. Diagnosa Keperawatan

Berdasarkan pengkajian keperawatan tanggal 9-10 Januari 2018

penulis dapat menggangkat satu diagnosa prioritas sesuai

pengelompokan data dari pengkajian pasien, maka muncul diagnosa

keperawatan sebagai berikut :

Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik, yang dapat

diartikan sebagai pengalaman sensori dan emosional tidak

menyenangkan yang muncul akibat kerusakan jaringan aktual atau

potensian, atau yang digambarkan sebagai kerusakan (International

Association For The Study Of Pain) ; awitan yang tiba-tiba atau lambat

dari intensitas ringan hingga berat dengan akhir yang dapat diatisipasi

atau diprediksi (NANDA,2015), ditandai dengan DS : Ny. S

menyatakan nyeri pada luka operasi, nyeri bertambah parah dirasakan

bila melakukan mobilisasi ditambah dengan berat tubuhnya yang

menyulitkan untuk mobilisasi. P : nyeri post sectio caesarea, Q : terasa

seperti ditusuk-tusuk dan terbakar, R : abdomen, S : skala 5, T : hilang

timbul selama 30 menit. Klien mengatakan tidak melakukan hal

tertentu untuk menurunkan rasa nyeri yang dirasakan. DO : Klien

sesekali tampak meringis menahan nyeri, klien bergerak secara hati-

hati dan memegangi luka operasi. Klien dalam menghadapi nyeri tidak
menunjukkan kecamasan dan ketakutan klien mengatakan nyeri yang

dirasakan tidak terlalu mengganggu tidurnya.

Ny. J menyatakan DS : P : nyeri post sectio caesarea, Q : terasa

seperti ditusuk-tusuk dan terbakar, R : abdomen, S : skala 6, T : hilang

timbul selama 30 menit. Klien mengatakan nyeri pada luka operasi,

nyeri bertambah parah dirasakan bila melakukan mobilisasi miring

kanan kiri. Klien mengatakan nyeri yang dirasakan dialihkan dengan

mengurangi aktivitas yang dapat memperberat nyeri. DO : Klien

tampak meringis menahan nyeri, terlihat cemas, klien bergerak secara

hati-hati dan memegangi luka operasi. Klien dalam menghadapi nyeri

menunjukkan kecamasan dan sedikit ketakutan, klien mengatakan nyeri

yang dirasakan mengganggu tidurnya dan membuat kllien enggan

beraktivitas. Klien tidak mengatasi nyeri dengan teknik tertentu. Klien

mengatakan nyeri yang dirasakan dialihkan dengan istirahat walaupun

sering terbangun.

Data subyektif dapat penulis jabarkan dengan respon kedua

klien yang menyatakan tidak menggunakan teknik tertentu untuk

mengatasi nyeri yang dirasakannya, selain itu pada data obyektif

terdapat respon dari kedua klien yang belum bisa beradaptasi dengan

nyeri yang dirasakannya, maka perlu adanya pengkajian khusus yang

dapat memanajemen nyari agar tidak mempengaruhi kondisi dan proses

penyembuhan luka sayatan klien (Dzulyadjaeni, S, 2010)


Masalah keperawatan nyeri akut berhubungan dengan agen

cedera fisik perlu dilakukan penanganan, karena nyeri yang dirasakan

klien membuat klien merasa tidak nyaman dan membuat ruang gerak

klien terbatas, nyeri merupakan ganggauan rasa nyaman yang harus

segera ditangani karena berhubungan dengan kebutuhan dasar manusia

akan perlunya rasa aman dan nyaman (Abraham, Maslow, 1976)

3. Intervensi

Masalah keperawatan nyeri akut berhubungan dengan agens

cedera fisik yang terjadi diatasi oleh penulis dengan berpedoman pada

NOC-NIC 2016. intervensi keperawatan untuk mengatasi masalah

keperawatan nyeri akut berhubungan dengan agens cedera fisik yaitu:

yang pertama dengan manajemen nyeri (1400) yaitu dengan kaji nyeri

komperhensif PQRST, observasi adanya petunjuk nonverbal mengenai

ketidaknyaman klien terhadap nyeri, gali pengetahuan dan kepercayaan

pasien mengenai nyeri, gali bersama klien faktor - faktor yang dapat

menurunkan atau memperberat nyeri, evaluasi pengalaman nyeri di

masa lalu yang meliputi riwayat nyeri kronik individu atau keluarga

atau nyeri yang menyebabkan disabilitas / ketidakmampuan /

kecacatan, dengan tepat, evaluasi dengan klien dan tim kesehatan lain,

mengenai efektivitas tindakan pengontrolan nyeri yang pernah

digunakan sebelumnya, beri informasi mengenai nyeri, seperti

penyebab, berapa lama nyeri akan dirasakan, dan antisipasi dari

ketidaknyamanan akibat prosedur, kendalikan faktor lingkungan yang


dapat mempengaruhi respon klien terhadap ketidaknyamanan (misal,

suhu ruangan, pencahayaan, suara bising), ajarkan teknik non

farmakologi (seperti biofeedback, TENS, hypnosis, relaksasi,

bimbingan antisipatif , terapi musik,terapi bermain, terapi aktivitas,

akupressur, aplikasi panas/dingin pijat, sebelum, sesudah, dan jika

memungkinkan, ketika melakukan aktivitas yang menimbulkan nyeri).

Intervensi yang kedua yaitu pemberian analgesik (2210) yaitu

dengan cek perintah pengobatan meliputi, obat, dosis, dan frekuensi

obat anagesik yang diresepkan, cek adanya riwayat alergi, monitor

tanda vital sebelum dan setelah memberikan analgesik narkotik pada

pemberian dosis pertama kali atau jika ditemukan tanda-tanda yag tidak

biasanya, evaluasi keefektifan analgesik dengan interval yang teratur

pada pemberian pertama kali, dan observasi tanda dan gejala efek

samping (misal depresi pernafasan, mual, muntah,mulut kering, mual),

dokumentasi respon terhadap analgesik dan adanya efek samping,

kolaborasi dengan dokter apakah obat, dosis, rute pemberian, atau

perubahan interval dibutuhkan, buat rekomendasi khusus berdasarkan

prinsip analgesic.

4. Implementasi

Nyeri dapat diatasi dengan penatalaksanaan nyeri yang

bertujuan untuk meringankan atau mengurangi rasa nyeri sampai

tingkat kenyamanan yang dirasakan oleh klien. Ada dua cara

penatalaksanaa nyeri yaitu farmakologis dan non-farmakologis. Secara


farmakologis dapat diatasi dengan menggunakan obat-obatan analgesic

misalnya, morphine sublimaze, stadol, Demerol dan lain lain (Tamsuri,

2007). Ada beberapa teknik non farmakologis yang dapat diterapkan

dalam mengatasi nyeri yaitu teknik pernafasan, aromaterapi,

audionalgesia, akupuntur, transcutaneus electric nerve stimulations

(TENS), kompres dengan suhu dingin panas, sentuhan pijatan dan

hipnotis (Gondo, 2011)

Penulis melakukan tindakan keperawatan pada masalah

keperawatan nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik dengan

intervensi manajemen nyeri (1400) dan pemberian analgesik (2210)

yang dilaksanakan sesuai tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam

mulai tanggal 9-11 Januari 2018 pada Ny. S dan tanggal 10-12 Januari

2018 pada Ny. J. Manajemen nyeri non farmakologis yang penulis

lakukan adalah dengan teknik pernafasan, dalam hal ini berupa teknik

relaksasi nafas dalam. Tekik relaksasi nafas dalam dilakukan dengan

mengajarkan bagaimana relaksasi nafas dalam yang benar kemudian

meminta klien untuk mempraktekkan relaksasi nafas dalam saat nyeri

luka post operasi terasa, selain itu dilakukan pula evaluasi teknik

relaksasi nafas dalam yang dilakukan klien setiap harinya.

Implementasi nyeri terhadap kedua klien penulis samakan,

walaupun dalam responnya, kasus 2 nyeri disertai dengan kecemasan.

Hal ini penulis lakukan berdasarkan teori Barbara (2002) yang

menyatakan bahwa tindakan pembedahan dan nyeri akibat pembedahan


merupakan ancaman potensial maupun aktual pada integeritas

seseorang yang dapat membangkitkan kecemasan. Berdasarkan Gill

(2002) bahwa nyeri bisa menyebabkan kecemasan, karena rasa nyeri

sangat mengganggu kenyamanan seseorang sehingga menimbulkan

rasa cemas. Rasa cemas tersebut timbul akibat seseorang merasa

terancam dirinya atau adanya akibat yang lebih buruk dari nyeri

tersebut.

Teknik relaksasi dapat dilakukan untuk mengintervensi

kecemasan. Keadaan relaksasi akan meningkatkan sekresi hormon

endorfin dari dalam tubuh pasien. Relaksasi juga akan membuat tubuh

pasien menjadi relaks, kerja otot berkurang dan denyut jantung teratur

(Aizid, 2011).

Manfaat tehnik relaksasi adalah dapat meregangkan otot dan

mengurangi stres, efektif dalam mengurangi nyeri, dapat mengurangi

ketakutan dan kecemasan (Smith dkk, 1996). Dari teori tersebut dapat

disimpulkan bahwa manfaat dari tehnik relaksasi diantaranya

mengurangi kecemasan dan mengurangi nyeri, sedangkan tanda-tanda

kecemasan diantaranya adalah sukar untuk tidur ataupun sebaliknya

(Mustiah dan Agus, 2015) oleh sebab itu penulis mengatasi kecemasan

klien dengan mengajarkan dan menganjurkan relaksasi yang dalam hal

ini merupakan nafas dalam.

Penulis melakukan kedua intervensi keperawatan yang

direncanakan oleh penulis yaitu manajemen nyeri dan pemberian


analgetik, namun dalam setiap tindakan keperawatan dalam intervensi

tidak semuanya dilakukan. Penulis melakukan tindakan keperawatan

yang sama kepada kedua klien, hal ini dikarenakan penulis ingin

memfokuskan pada bagaimana perbedaan respon kedua klien terhadap

tindakan keperawatan yang sama.

Tindakan keperawatan yang dilakukan oleh penulis pada kedua

klien yaitu mengkaji nyeri komperhensif PQRST, mengobservasi

adanya petunjuk nonverbal mengenai ketidaknyaman klien terhadap

nyeri, menggali pengetahuan dan kepercayaan pasien mengenai nyeri,

menggali bersama klien faktor - faktor yang dapat menurunkan atau

memperberat nyeri, mengajarkan teknik non farmakologi , mengecek

perintah pengobatan meliputi, obat, dosis, dan frekuensi obat anagesik

yang diresepkan, memonitor tanda vital sebelum dan setelah

memberikan analgesik narkotik pada pemberian dosis pertama kali atau

jika ditemukan tanda-tanda yag tidak biasanya, mengevaluasi

keefektifan analgesik dengan interval yang teratur pada pemberian

pertama kali, dan mengobservasi tanda dan gejala efek samping (misal

depresi pernafasan, mual, muntah,mulut kering, mual),

mendokumentasikan respon terhadap analgesik dan adanya efek

samping. Hal tersebut diatas penulis rasa cukup untuk mewakili asuhan

keperawatan nyeri pada kedua klien karena penulis sudah

melaksanakan sebagian besar dari intervensi keperawatan yang

disusun.
Implementasi yang penulis lakukan untuk mengurangi skala

nyeri yang dirasakan kedua klien yaitu dengan teknik farmakologis dan

non farmakologis. Teknik non farmakologis yang penulis lakukan

adalah dengan melakukan teknik relaksasi, yang merupakan tindakan

eksternal yang mempengaruhi respon internal individu terhadap nyeri.

Teknik relaksasi merupakan tindakan pereda nyeri non invasive, teknik

relaksasi yang teratur dapat bermanfaat untuk mengurangi keletihan

dan ketegangan otot yang dapat menurunkan kualitas nyeri (Brunner &

Suddarth, 2002). Teknik relaksasi efektif dilakukan pada pasien-pasien

yang mengalami nyeri kronis ataupun pasca operasi. (Brunner dan

Suddarth, 2002).

Manajemen nyeri dengan tindakan relaksasi mencakup relaksasi

otot, nafas dalam, masase, meditasi dan perilaku. Teknik relaksasi

nafas dalam merupakan suatu bentuk asuhan keperawatan, yang dalam

hal ini perawat mengajarkan kepada klien bagaimana cara melakukan

nafas dalam, nafas lambat (menahan inspirasi secara maksimal) dan

bagaimana menghembuskan nafas secara perlahan. Selain dapat

menurunkan intensitas nyeri, teknik relaksasi nafas dalam juga dapat

meningkatkan ventilasi paru dan meningkatkan oksigenisasi darah

(Smeltzer & Bare, 2013).

Kelebihan latihan teknik relaksasi dibandingkan dengan teknik

lain adalah teknik relaksasi lebih mudah dilakukan bahkan dalam


kondisi apapun serta tidak memiliki efek samping apapun (Daelon,

1999 dalam Novitasari dan Aryana, 2013).

Beberapa intervensi keperawatan yang disusun oleh penulis

tidak direalisasikan menjadi implementasi keperawatan, masing-masing

dari intervensi yang tidak dilaksanakan menjadi implementasi

mempunyai alasan yang berbeda, intervensi dan alasannya yaitu :

memberi informasi mengenai nyeri, hal ini tidak dilakukan penulis

karena penulis menilai klien sudah memahami garis besar dari nyeri

yang dirasakan. Mengecek adanya riwayat alergi, tidak dilakukan

penulis karena sudah dilakukan dalam perawatan preoperasi. Penulis

tidak melakukan tindakan kolaborasi dengan dokter apakah obat, dosis,

rute pemberian, atau perubahan interval dibutuhkan, membuat

rekomendsi khusus berdasarkan prinsip analgetik karena menurut

kebijakan rumah sakit tempat penulis melakukan studi kasus kebijakan

memberi dan merubah therapy hanya boleh dilakukan oleh dokter

selaku dokter penanggung jawab pasien.

Kesenjangan implementasi yang penulis temukan yaitu adanya

perbedaan terapi obat antara kedua klien. Ny. S mendapatkan terapi

injeksi ketorolac 1 A/ 8 jam, drip fentanyl 1 A, dan pada hari ketiga

klien mendapat obat oral ketoprofen 3 x 100 mg. Ny. J mendapat terapi

obat injeksi ketorolac 1 A / 8 jam, pada hari ketiga klien mendapat obat

oral asam mefenamat 3 x 500 mg. Perbedaan terapi berupa adanya drip

Fentanyl dan obat oral ketoprofen 3 x 100 mg, sementara Ny. J tidak
diberikan drip fentanyl sedangkan untuk analgetik oral yang diberikan

untuk Ny. J berupa asam mefenamat 3 x 500 mg. Berdasarkan

Berhimpong (2015) Fentanyl dapat digunakan sebagai anti nyeri

setelah operasi besar dan bahkan bisa digunakan sebagai antinyeri

jangka panjang pada kanker. Ketoprofen adalah turunan asam

propionat yang mempunyai aktivitas antiinflamasi, analgesik, dan

antipiretik (Setyawan dkk, 2014). Asam mefenamat merupakan derifat

fenamat yang menghambat COX-1 dan COX-2, maka menghambat

pembentukan prostaglandin. Asam mefenamat memiliki efek anti nyeri

lebih besar daripada efek anti inflamasi (Pangalila dkk, 2016). Dari

penjelasan diatas penulis menyimpulkan bahwa respon skala nyeri yang

dirasakan oleh Ny. S yaitu skala 5 lebih rendah daripada Ny. J dengan

skala 6 dikarenakan adanya penambahan terapi analgetik berupa drip

fentanyl yang berfungsi sebagai antinyeri. Drip fentanyl yang diberikan

kepada Ny. S disebabkan karena adanya keluhan dari Ny. S akan nyeri

berat yang dirasakannya 2 jam setelah tindakan operasi selesai

dilakukan, hal ini menunjukkan ambang nyeri yang rendah dari Ny. S

jika tidak diberi drip fentanyl. Kesimpulan yang dapat diambil

selanjutnya yaitu obat oral ketoprofen dan asam mefenamat

mempunyai fungsi yang hampir sama yaitu sebagai antinyeri, sehingga

pengaruh dari kedua obat tersebut terhadap nyeri sama, maka dari itu

penulis tidak mempermasalahkan hal tersebut.


Sebab adanya keterbatasan tenaga penulis, implementasi

keperawatan yang penulis lakukan dalam sehari hanya dilakukan

selama 8 jam atau 1x shift, agar asuhan keperawatan pada kedua klien

tetap berjalan 3 x 24 jam penulis melakukan pendelegasian tugas

kepada perawat yang berjaga di shift selanjutnya. Pendelegasian tugas

meliputi pengkajian nyeri secara komprehensif, pengkajian respon non

verbal, dan pemberian therapy sesuai advice dokter.

Selama perawatan nyeri pada Ny. S penulis tidak mendapati

waktu untuk memberikan terapi drip fentanyl dikarenakan waktu dinas

penulis yang tidak bertepatan dengan pergantian infus Ny. S.

Penulis dalam melakukan implementasi dari tanggal 9-12

Januari 2018 mendapatkan kesenjangan bahwa pemberian analgetik

ketorolac 1 A dan antibiotik cefriaxone 1 gram diberikan melalui

injeksi intraselang tidak benar waktu, karena dalam prinsip pemberian

obat (Manuaba, 1992), efektifitas pemberian obat benar waktu dengan

durasi onset waktu 8 jam selisih waktu ketika sudah diberikan terapi

injeksi dan akan diberikan terapi injekasi berkelanjutan. Pemberian

injeksi itraselang pada kedua klien dengan selisih waktu kurang lebih 6

jam saja jika terus berlanjut dapat mengurangi efektifitas kerja obat

tersebut, karena adanya onset waktu penumpukan kerja obat, dan onset

waktu kekurangan kerja obat (Ahmad Fuadi, 2014). Penulis

mendiskusikan hal ini dengan bidan yang bertugas di bangsal mawar

RSUD Djojonegoro Kab. Temanggung, namun hal ini tidak dianggap


serius oleh petugas kesehatan khususnya bidan yang bertugas di

bangsal Mawar, ini dikarenakan advice dokter, kebiasaan, dan beban

kerja dari setiap petugas yang menjadikan petugas kesehatan di bangsal

Mawar sering melaksanakan injeksi tidak benar waktu.

Pemberian injeksi ketorolac 1 A/8 jam intraselang kepada kedua

klien diberikan hingga hari kedua post operasi masing-masing klien,

kemudian dilanjutkan dengan pemberian obat anti nyeri secara oral.

Untuk Ny. S diberikan ketoprofen dan uttuk Ny. J diberikan asam

mefenamat. Ketoprofen adalah turunan asam propionat yang

mempunyai aktivitas antiinflamasi, analgesik, dan antipiretik

(Setyawan dkk, 2014). Indikasi diberikannya ketoprofen yaitu untuk

mengobati tanda- tanda dan gejala penyakit arthiritis dan oestoarthiritis,

baik akut maupun kronis. Obesitas dan kadar asam urat mempunyai

hubungan yang signifikan, dimana semakin tinggi tingkat obesitas

maka semakin tinggi pula kadar asam urat darah, sebaliknya semakin

rendah tingkat obesitas semakin rendah pula kadar asam urat darah.

Obesitas meningkatkan risiko terjadinya penyakit gout (Fitriyah dkk,

2011). Ny. S mendapatkan obat oral ketoprofen dikarenakan berat

badan Ny. S mencapai 95 kg dengan IMT 37.1 yang masuk dalam

kategori obesitas II, pemberian ketoprofen pada Ny. S dikarenakan

untuk mengantisipasi terjadinya asam urat atau gout pada Ny. S.

Asam mefenamat merupakan derifat fenamat yang menghambat

COX-1 dan COX-2, maka menghambat pembentukan prostaglandin.


Asam mefenamat memiliki efek anti nyeri lebih besar daripada efek

anti inflamasi. Indikasi diberikannya asam mefenamat yaitu sakit

kepala, sakit gigi, nyeri muskuloskeletal, nyeri traumatik (terpukul,

terbentur, teriris), nyeri setelah operasi, nyeri setelah melahirkan,

dysmenorrhea (nyeri saat haid), nyeri rematik, nyeri pada punggung

bagian bawah & demam (Pangalila dkk, 2016).. Adanya nyeri pasca

operasi yang dirasakan oleh Ny. J menjadi indikasi diberikannya asam

mefenamat pada Ny. J.

Kesenjangan berikutnya yang penulis temukan pada

implementasi hari ketiga pada kedua klien dengan skala nyeri ringan

masih diberi terapi oral analgetik dengan alasan dokter belum

memberikan advice untuk menghentikan pemberian terapi analgetik.

Sementara dalam jurnal penelitian Sri Sulaminingsih (2014)

mengatakan bahwa jika seseorang dalam pengalamannya nyeri dengan

skala ringan sudah tidak diberikan terapi analgetik karena dapat

menyebabkan retensi kerja obat terhadap mekanisme metabolik tubuh.

5. Evaluasi

Asuhan keperawatan dilakukan selama 3 x 24 jam tetapi tidak

dilakukan selama 24 jam penuh oleh penulis, hanya dilakukan 8 jam

dalam sehari untuk selanjutnya didelegasikan pada petugas kesehatan

khususnya bidan yang berjaga pada shift selanjutnya.

Perbedaan respon skala nyeri yang dirasakan kedua klien

penulis simpulkan karena salah satu klien yaitu Ny. S mendapat


tambahan terapi antinyeri berupa drip fentanyl. Menurut Berhimpong

(2015) Fentanyl dapat digunakan sebagai anti nyeri setelah operasi

besar dan bahkan bisa digunakan sebagai antinyeri jangka panjang pada

kanker.

Evaluasi kedua klien menunjukkan kriteria outcome yang

menjadi tujuan asuhan keperawatan, enam outcome ditunjukkan oleh

kedua klien dari sembilan outcome yang menjadi kriteria asuhan

keperawatan tercapai.

Dalam evaluasi penulis tidak menemukan adanya kesenjangan

dari masalah keperawatan nyeri akut berhubungan dengan agen cedera

fisik dengan teori, karena intervensi dan respon klien berjalan satu arah

tanpa adanya reaksi alergi dari obat yang diberikan pada klien saat

implementasi pemberian analgetik (1400), dan tahap penolakan respon

klien terhadap penulis pada implementasi manajemen nyeri (2210)

(NIC, 2016)

C. Keterbatasan

Terdapat beberapa hambatan dalam pelaksanaan asuhan

keperawatan nyeri akut post sectio caesarea yang penulis alami. Hambatan

yang pertama terdapat pada tidak dilakukannya prinsip benar waktu pada

kedua klien dalam pemberian obat, serta tidak dilakukan tindak lanjut akan

hal tersebut. Hambatan yang kedua yaitu jarak waktu dalam melakukan

pengkajian setelah selesai operasi antara kedua klien tidak dilakukan dalam

rentang waktu yang sama, hal ini dapat mempengaruhi respon nyeri yang
dirasakan kedua klien. Hambatan yang ketiga yaitu tidak dapat

dilakukannya asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam yang dilakukan oleh

penulis sehingga dilakukan pendelegasian tugas kepada petugas kesehatan

yang bertugas pada shift berikutnya.


BAB V

SIMPULAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan asuhan keperawatan Ny. S dengan masalah

keperawatan nyeri akut pada post sectio caesarea atas indikasi serotinus

dan janin besar, dan pada Ny. J atas indikasi DKP di bangsal Mawar

RSUD Djojonegoro Kab. Temanggung dari tanggal 9-12 Januari 2018

dapat disimpulkan telah dilakukan pengelolaan keperawatan pada klien

post sectio saesarea dengan masalah nyeri akut berdasarkan prinsip etik

legal patient safety dan kearifan lokal meliputi proses keperawatan yang

dimulai dari pengkajian, diagnosa, intervensi, implementasi dan evaluasi

keperawatan yang telah penulis cantumkan pada Bab I Pendahuluan.

1. Pengkajian

Pengkajian pada kasus 1 dilakukan pada 9 Januari 2018

sedangkan kasus 2 dilakukan pada 10 Januari 2018. Terdapat

perbedaan respon skala nyeri pada kedua klien, dimana Ny. S merespon

nyeri dengan skala 5 sementara Ny. J merespon nyeri dengan skala 6

disertai kecemasan, kecemasan yang dialami klien ini merupakan

akibat yang ditimbulkan oleh nyeri yang klien rasakan. Selain itu

terdapat perbedaan terapi kedua klien dimana kasus 1 mendapat terapi

drip fentanyl sehingga respon skala nyeri lebih rendah. Dari pengkajian

didapatkan pula waktu tidur kedua klien pasca operasi kurang dari 7-8
jam, kedua klien hanya tidur 1-3 jam, namun petugas kesehatan tidak

menganggap serius hal ini yang merupakan kebutuhan dasar manusia.

2. Diagnosa

Hasil pengkajian yang penulis dapatkan dilakukan analisa data

yang kemudian didapatkan masalah keperawatan nyeri akut

berhubungan dengan agen cedera fisik (00132).

3. Intervensi

Intervensi keperawatan yang dilakukan dalam mengatasi

masalah keperawatan nyeri akut berhubungan dengan agens cedera

fisik yaitu manajemen nyeri (1400) dan pemberian analgesik (2210).

Beberapa intervensi keperawatan yang disusun oleh penulis tidak

direalisasikan menjadi implementasi keperawatan, karena terdapat

beberapa intervensi yang sudah dilakukan sebelum pelaksanaan operasi

yaitu memberi informasi mengenai nyeri, hal ini tidak dilakukan

penulis karena penulis menilai klien sudah memahami garis besar dari

nyeri yang dirasakan. Mengecek adanya riwayat alergi, tidak dilakukan

penulis karena sudah dilakukan dalam perawatan preoperasi. Penulis

tidak melakukan tindakan kolaborasi dengan dokter apakah obat, dosis,

rute pemberian, atau perubahan interval dibutuhkan, membuat

rekomendsi khusus berdasarkan prinsip analgetik karena menurut

kebijakan rumah sakit tempat penulis melakukan studi kasus kebijakan

memberi dan merubah therapy hanya boleh dilakukan oleh dokter

selaku dokter penanggung jawab pasien.


4. Implementasi

Implementasi keperawatan juga hanya dilakukan selama 8 jam

per hari oleh penulis yang selanjutnya di lakukan pendelegasian tugas

kepada petugas kesehatan shift selanjutnya. Hal ini dilakukan penulis

agar sesuai dengan lahan rumah sakit tempat studi kasus.

Implementasi keperawatan yang penulis temukan terdapat

kesenjangan pemberian analgetik ketorolac dan antibiotik cefriaxon

tidak benar waktu, pemberian terapi yang seharusnya berselang 8 jam

dilakukan dalam selang waktu 6 jam dan tidak dianggap serius oleh

tenaga kesehatan di bangsal rumah sakit tempat klien mengambil kasus.

Kesenjangan selanjutnya yang penulis dapatkan yaitu tidak adanya

tindak lanjut atas keluhan kurangnya tidur kedua klien pada hari ke 0

post operasi oleh petugas kesehatan bangsal mawar.

5. Evaluasi

Evaluasi klien yang penulis lakukan menunjukkan perbedaan

respon skala nyeri, dimana hal ini bisa dikarenakan adanya

penambahan terapi antinyeri pada klien dengan skala nyeri lebih rendah

berupa fentanyl.

Dari hasil evaluasi dapat penulis simpulkan masalah

keperawatan nyeri akut berhubungan dengan agens cedera fisik (00132)

dapat teratasi setelah 3 hari kelolaan. Kriteria hasil yang berhasil

dicapai dimana menjadi acuan keberhasilan keperawatan yaitu klien

mampu melaporkan nyeri yang terkontrol dan skala nyeri berkurang,


klien dapat beradaptasi dengan nyeri, klien menunjukkan reaksi non

verbal rileks, klien tidak lagi memegangi bagian luka operasi saat

melakukan pergerakan.

B. Saran

1. Bagi rumah sakit

Diharapkan adanya peningkatan pelayanan keperawatan yang

mendukung bagi klien untuk mengatasi keluhan yang dirasakannya,

terlebih pada prinsip 6 benar obat dan kebutuhan istirahat tidur klien

agar lebih di perhatikan dan terpenuhi, sehingga tidak terjadi kerugian

pada klien.

2. Bagi pasien dan keluarga

Diharapkan klien dan keluarga mampu ikut berpartisipasi aktif

melakukan teknik non farmakologi dalam mengatasi nyeri yang terasa

tanpa tergantung dengan obat farmakologi.

3. Bagi institusi dan penulis lain

Diharapkan karya tulis ini dapat menjadi acuan referensi lain serta

acuan untuk dikembangkan dalam memberikan asuhan keperawatan

nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik. Diharapkan pada

penulis lain dapat melakukan pengkajian dengan rentang waktu pasca

operasi yang sama, dapat lebih baik dalam melakukan keperawatan 24

jam pada klien, serta melaksanakan tanggung jawabnya dengan

sebenar-benarnya.
DAFTAR PUSTAKA

Aprina dan Anita. (2016). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan


Persalinan Sectio Caesarea . Jurnal Kesehatan, 8 (1), 90-99

Aizid, R (2011). Sehat dan cerdas dengan terapi musik. Jogjakarta: laksana

Asmadi. (2008). Teknik Prosedural Keperawatan : Aplikasi Kebutuhan Dasar


Klien. Jakarta : Salemba Medika

Barbara. (2002). Paradigma for Psychopatology. Jakarta: EGC

Berhimpong, M dkk. (2015). Perbandingan premedikasi fentanyl i mcg IV dan


2 mcg IV terhadap tekanan darah dan nadi akibat intubasi jalan
nafas pada pasien yang menjalani pembedahan elektif. Jurnal e-
Clinic (eCl), 3 (1)

Bulechek, GM, dkk. (2016). Nursing Intervention Classification (NIC), edisi 5.


Jakarta : Elsevier

Cahyono. (2014). Pengaruh Relaksasi Progresif Terhadap Penurunan Nyeri


Pada Pasien Post Operasi Sectio Caesarea Pada Hari Ke 1-2. Jurnal
AKP, 5 (2), 13-18

Carpenito, L. J. (2013). Diagnosa Keperawatan : Aplikasi pada Praktek Klinik


(Terjemahan) Edisi 6. Jakarta: EGC

Doengoes, ME, dkk. (2014). Manual Diagnosis Keperawatan : rencana,


intervensi & dokumentasi asuhan keperawatan. Jakarta : EGC

Dongoes. (2001). Asuhan Keperawatan Doengoes Edisi 3. Jakarta : EGC

Dzulyadjaeni, S, (2010). Sectio caesarea dalam penatalaksanaaan medis.


Surabaya : Mahesa Jaya

Edward R. (2012). Praktik Nafas Dalam. Kesehatan Anak, (16), 231–237

Gill. ( 2002 ). Berhasil Mengatasi Nyeri. Jakarta : Arcan

Fitriyah, Pipit C dkk. (2011). Hubungan Obesitas Dengan Kadar Asam Urat
Darah. Surya 2 (9)

Gondo, H.K. (2011). Pendekatan nonfarmakologis untuk mengurangi nyeri


saat persalinan. Jurnal CDK 185 38 (4)
Kozier, Erb, (2009). Buku Ajar Keperawatan Klinis Kozier & Erb. Edisi 5.
Jakarta: EGC
Leveno, Kenneth J. (2009). Obstetri Williams : panduan ringkas, Edisi 21.
Jakarta : EGC

Liu, David T.Y. (2007). Manual Persalinan, Edisi 3. Jakarta : EGC

Maryuani, A. (2014). Perawatan Luka Seksio Caesarea (SC) dan Luka


Kebidanan Terkini. Bogor : IN Media

Moorhead, S, dkk. (2016). Nursing Outcomes Classification (NOC), edisi 5.


Jakarta : Elsevier

NANDA. (2015). NANDA International Diagnosis Keperawatan : Definisi &


klasifikasi 2015-2017, edisi 10. Jakarta : EGC

Novitasari, D., & Aryana, K.O. (2013). Pengaruh tehnik relaksasi benson
terhadap penurunan tingkat stres lansia di unit rehabilitas sosial
wening wardoyo ungaran. Jurnal keperawatan jiwa 1(2)

Oxorn, Harry dan William R.F. (2010). Ilmu Kebidanan : Patologi & Fisiologi
Persalinan. Yogyakarta : C.V Andi Offset

Pangalila, Kartika dkk. (2016). Perbandingan Efektivitas Pemberian Asam


Mefenamat Dan Natrium Diklofenat Sebelum Pencebutan Gigi
Terhadap Durasi Ambang Nyeri Setelah Pencabutan Gigi. Jurnal e-
GiGi (eG), 4 (2)

Prasetyo, S. N. (2010). Konsep dan Proses Keperawatan Nyeri. Yogyakarta :


Graha Ilmu

Potter, P. A., & Perry, A, G. (2009). Fundamental of Nursing, 7th Edition.


Singapura : Elsevier Pte Ltd

Retno . (2013). Tekanan Interface Pada Pasien Tirah Baring . THE SUN,
2(1), 60-67

Prawirohardjo. (2010). Ilmu Kandungan. Jakarta : PT Bina Pustaka Sarwono


Prawirohardjo

Rasjidi, Imam. (2009). Manual Seksio Sesarea & Laparatomi Kelainan


Adneksa. Jakarta : C.V Sugeng Seto

Robby, dkk. (2015). Kualitas Tidur Pasien Praoperasi Di Ruang Rawat Inap.
Jurnal Kesehatan Komunitas Indonesia, 11 (2)
Smeltzer, S, C., & Bare, B, G. 2013. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth. Jakarta : EGC

Sulaminingsih, Sri (2014). Efektifitas Pengaruh Kerja Obat Analgetik


Ketorolac Pada Post Sectio Caesarea. Jurnal Penelitian. Vol. 5

Suzanne & Soliigter. (2010). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta :
EGC

Tamsuri. (2007). Konsep dan Penatalaksanaan Nyeri. Jakarta : EGC

Urden, LD, Stacy, KM & Lough, ME. (2009). Critical Care Nursing:
Diagnosis and Management 6thedition. Mosby, Maryland Heights,
Missouri

Vierga, B. S. (2008). Patofidiologi Kedokteran dan Tenaga Medis. Yogyakarta


: PT. Gramedia

Wagiyo, Putrono. (2016). Asuhan Keperawatan Antenatal, Intranatal, dan


Bayi Baru Lahir Fisiologis dan Patologis. Yogyakarta : CV. ANDI
OFFSET

Yuliana, A, dkk. (2015). Efektivitas Relaksasi Benson Terhadap Penurunan


Nyeri Pada Ibu Postpartumsectio Caesarea. JOM, 2 (2), 944-952.

Yulistiani, Mustiah & Agus Santosa. (2015). Teknik Relaksasi Untuk


Menurunkan Gejala Kecemasan Pada Pasien Pre Operasi. Seminar
Nasional Hasil - Hasil Penelitian dan Pengabdian LPPM Universitas
Muhammadiyah Purwokerto, Sabtu, 26 September 2015
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

A. IDENTITAS PRIBADI
1. Nama Lengkap : Lailia Ainuhikma
2. NIM : P1337420515082
3. Tanggal Lahir : 8 Pebruari 1997
4. Tempat Lahir : Temanggung
5. Jenis Kelamin : Perempuan
6. Alamat Rumah
a. Dusun : RT 03 RW 07 Banjaran
b. Kelurahan : Gowak
c. Kecamatan : Pringsurat
d. Kab/kota : Temanggung
e. Provinsi : Jawa Tengah
7. Telepon
a. Hp 081567654736
b. Email : ilalailia01@gmail.com
B. Riwayat pendidikan
1. Pendidikan SD : MI Nurul Huda Gowak, lulus tahun
2009
2. Pendidikan SMP : MTs Negeri Grabag, lulus tahun 2012
3. Pendidikan SMA : SMAIT Ihsanul Fikri, lulus tahun 2015

Magelang, Maret 2018

Lailia Ainuhikma
P1337420515082
LEMBAR BIMBINGAN
PENULISAN KARYA TULIS ILMIAII
PROGRAM STUDI D HI KEPERAWATAN
JURUSAN KEPERAWATAN - POLTEKKES KEMENKES SEMARANG

Nama Mahasiswa : Lailia


Ainuhikma NIM :
P1337420515082
Nama Pembimbing : Wiwin Renny Rahinawati, SST.SPd.MKes
Judul KTI : Asuhan Post 5eC/fo Cuesarca Dengan Fokus Studi Pengelolaan Nyeri
Akut di RSUD Djojonegoro Kabupaten Temanggung Keperawatan

NO HARI MATERI SARAN TTD MNTR


/TGL BIMBIN PEMBIM KAPRODI
GAN BING

@#f§af/’ 9m b TQn ed t f9n


y,y #qp f0So V#° &’
Sm&

¿ G(4}(D $D@tV "” "’ "” ”'

u "’ ’””

Kettia Program Studi D


III Kepera tan
Magelang

He ant Tri ed eki S Ke Ns M Kes •


NIP. 19690222 198803 2 001
LEMBAR BIMBINGAN
PENULISAN KARL.’A TULIS ILMIAH
PROGRA$I STUD I D III KEPERAWATAN
JURUSAN KEPERA\YATAN — POLTEKKES KEMENKES SEM ORANG

Nama Mahasisiva
:Lailia Ainuhikma
NlM
P1337420515082
Nama Pembimbing
Lulut Handayani, S.Kep., Ns., MKes
Judul KTI
:Asuhan Post Sectio Cciesarea Dengan Fokus Studi Pengelolaan N yeri
Akut di RSUD Djojonegoro Kabupaten Teinanggung Keperawatan

NO HARI MATERI SARAN TTD IINTR


/ TGL BIMBIN PEMBIM KAPRODI
GAN BING

Ketua Program Studi D


III Kepera tan
Magelang

Hermani Triredjeki, S.Kep., Ns., M.Kes


NIP. 19690222 198803 2 001

Anda mungkin juga menyukai