Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN MATERNITAS PADA PASIEN


DENGAN TINDAKAN SECTIO CAESAREA INDIKASI
KETUBAN PECAH DINI (KPD)

Untuk Memenuhi Salah Satu Tujuan Praktik


“Keperawatan Maternitas”

Disusun Oleh

YULIA ULFAH 0432950921062

PROGRAM STUDI NERS KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

BANI SALEH

2021
A. Konsep Dasar Sectio Caesarea
1. Definisi
Sectio Caesaria ialah tindakan untuk melahirkan janin dengan
berat badan diatas 500 gram melalui sayatan pada dinding uterus yang
utuh (Cunningham FG, 2015)
Sectio caesaria adalah suatu persalinan buatan dimana janin
dilahirkan melalui suatu insisi pada dinding depan perut dan dinding
rahim dengan syarat rahim dalam keadaan utuh serta berat janin di
atas 500 gram (Nurarif, A.H, 2015)
Sectio caesaria adalah suatu cara melahirkan janin dengan
membuat sayatan pada dinding uterus melalui dinding depan perut
(Israr YA, 2016)
Jadi, sectio caesaria adalah suatu tindakan yang dilakukan untuk
mengeluarkan janin dengan cara melakukan insisi pada dinding uterus
depan perut.
2. Jenis – Jenis Operasi Sectio Caesaria
a. Sectio Caesarea Abdomen
Sectio caesarea transperitonealis
b. Sectio Caesarea Vaginalis
Menurut arah sayatan rahim, sectio caesarea dapat dilakukan
sebagai berikut :
1) Sayatan memanjang (longitudinal) menurut koring
2) Sayatan melintang (tranversal) menurut kerr
3) Sayatan huruf T (T-incision)
c. Sectio Caesarea Klasik (Corporal)
Dilakukan dengan membuat sayatan memanjang pada korpus uteri
kira-kira sepanjang 10 cm, tetapi saat ini teknik ini jarang
dilakukan karena memilki banyak kekurangan namun pada kasus
ini dapat dipertimbangkan.
d. Sectio Caesarea Ismika (Profunda)
Dilakukan dengan membuat sayatan melintang konkaf pada
segmen bawah rahim (low cervical tranfersal) kira-kira sepanjang
10 cm. (SDKI, 2016)
3. Etiologi
a. Etiologi beasal dari ibu
Yaitu pada primigravidarum dengan kelainan letak, primi para tua
disertai kelainan letak ada, disproporsi sefalo pelvik (disproporsi
janin/panggul), ada sejarah kehamilan dan persalinan yang buruk,
terdapat kesempitan panggul, plasenta previa terutama pada
primigravida, solusio plasenta tingkat I-II, komplikasi kehamilan
yaitu preeklampsia-eklampsia, atas permintaan, kehamilan yang
disertai penyakit (jantung, DM), gangguan perjalanan persalinan
(kista ovarium, mioma uteri dan sebagainya.
b. Etiologi yang berasal dari janin
Fetal distress / gawat janin mal presentasi dan mal posisi
kedudukan janin, prolapsus tali pusat dengan pembukaan kecil,
kegagalan persalinan vakum atau forseps ekstraksi (SDKI, 2016)
4. Patofisiologi dan Pathway
5. Manifestasi Klinis
a. Plasenta previa sentralis dan lateralis (posterior)
b. Panggul sempit
c. Disporsi sefalopelvik yaitu ketidakseimbangan antara ukuran
kepala dan ukuran panggul
d. Rupture uteri mengancam
e. Partus lama (prolonged labor)
f. Partus tak maju (obstructed labor)
g. Distosia serviks
h. Preeklampsia dan hipertensi
i. Malpresentasi janin
1) Letak lintang
2) Letak bokong
j. Presentasi dahi dan muka (letak defleksi)
k. Presentasi rangkap jika reposisi tidak berhasil
l. Gemeli (SDKI, 2016)
6. Penatalaksaan (Medis/Keperawatan)
a. Medis
1) Antibiotik
Cara pemilihan dan pemberian antibiotic sangat berbeda-beda
setiap institusi
2) Analgetik dan obat untuk memperlancar kerja saluran
pencernaan
- Supositoria = ketopropen sup 2x/24 jam
- Oral = tramadol tiap 6 jam atau paracetamol
- Injeksi = penitidine 90-75 mg diberikan setiap 6 jam bila
perlu
3) Obat – obat lain
Untuk meningkatkan vitalitas dan keadaan umum penderita
dapat diberikan caboransia seperti neurobian I vit. C
4) Pemberian cairan
Karena 24 jam pertama penderita puasa pasca operasi, maka
pemberian cairan perintavena harus cukup banyak dan
mengandung elektrolit agar tidak terjadi hipotermi, dehidrasi,
atau komplikasi pada organ tubuh lainnya. Cairan yang biasa
diberikan biasanya DS 10%, garam fisiologi dan RL secara
bergantian dan jumlah tetesan tergantung kebutuhan. Bila
kadar Hb rendah diberikan transfusi darah sesuai kebutuhan.
b. Keperawatan
1) Diet
Pemberian cairan perinfus biasanya dihentikan setelah
penderita flatus lalu dimulailah pemberian minuman dan
makanan peroral. Pemberian minuman dengan jumlah yang
sedikit sudah boleh dilakukan pada 6 - 10 jam pasca operasi,
berupa air putih dan air teh.
2) Mobilisasi
Mobilisasi dilakukan secara bertahap :
- Miring kanan dan kiri dapat dimulai sejak 6 - 10 jam
setelah operasi
- Latihan pernafasan dapat dilakukan penderita sambil tidur
telentang sedini mungkin setelah sadar
- Hari kedua post operasi, penderita dapat didudukkan
selama 5 menit dan diminta untuk bernafas dalam lalu
menghembuskannya.
- Kemudian posisi tidur telentang dapat diubah menjadi
posisi setengah duduk (semifowler)
- Selanjutnya selama berturut-turut, hari demi hari, pasien
dianjurkan belajar duduk selama sehari, belajar berjalan,
dan kemudian berjalan sendiri pada hari ke-3 sampai hari
ke5 pasca operasi.
3) Kateterisasi
Kandung kemih yang penuh menimbulkan rasa nyeri dan tidak
enak pada penderita, menghalangi involusi uterus dan
menyebabkan perdarahan. Kateter biasanya terpasang 24 - 48
jam / lebih lama lagi tergantung jenis operasi dan keadaan
penderita.
4) Perawatan luka
Kondisi balutan luka dilihat pada 1 hari post operasi, bila
basah dan berdarah harus dibuka dan diganti
5) Perawatan rutin
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan adalah
suhu, tekanan darah, nadi,dan pernafasan. (Manuaba, 1999)
6) Edukasi
- Gurita/korset dipakai selama 3 bulan.
- Boleh hamil setelah 2-3 tahun.
- Coitus boleh dilakukan pada post operasi setelah 8 minggu.
- Jika section caesaria dilakukan karena panggul sempit
maka persalinan berikutnya section caesaria lagi.
(Prawirohardjo,S, 2017)
7. Pemeriksaan Penunjang
a. Hemoglobin atau hematokrit (HB/Ht) untuk mengkaji perubahan
dari kadar pra operasi dan mengevaluasi efek kehilangan darah
pada pembedahan.
b. Leukosit (WBC) mengidentifikasi adanya infeksi
c. Tes golongan darah, lama perdarahan, waktu pembekuan darah
d. Urinalisis / kultur urine
e. Pemeriksaan elektrolit (Prawirohardjo,S, 2017)
8. Komplikasi
a. Pada ibu
1) Komplikasi Periferal.
Komplikasi yang bersifat ringan seperti peningkatan suhu
tubuh dan bias bersifat peritonitis dan sepsis.
2) Perdarahan.
Perdarahan banyak bisa timbul pada waktu pembedahan jika
cabang-cabang uteri ikut terpotong atau karena atonia uteri.
3) Komplikasi lain seperti luka pada blass, embolisme paru dan
lain-lain.
4) Kurang kuatnya parut dinding uterus sehingga pada
kehamilan berikutnya bisa terjadi ruptur uteri.
b. Pada anak
Seperti ibunya. nasib anak yang dilahirkan dengan section
caesaria banyak tergantung pada keadaan yang menjadi alasan
untuk melakukan sectio caesaria. (Prawirohardjo,S, 2017)
B. Konsep Dasar Ketuban Pecah Dini (KPD)
1. Definisi
Ketuban pecah dini (KPD) adalah keadaan pecahnya selaput
ketuban sebelum persalinan. Bila ketuban pecah dini sebelum usia
kehamilan 37 minggu disebut ketuban pecah dini pada kehamilan
premature. Dalam keadaan normal 8 – 10 % wanita hamil aterm akan
mengalami ketuban pecah dini (Prawirohardjo, 2017)
Ketuban pecah dini adalah pecahnya selaput ketuban sebelum
adanya tanda-tanda persalinan. Sebagian besar ketuban pecah dini
terjadi diatas 37 minggu kehamilan, sedangkan dibawah 36 minggu
tidak terlalu banyak (Manuaba, 2010).
Ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban sebelum inpartu,
yaitu bila pembukaan pada primipara < 3 cm dan pada multipara <5
cm. Hal ini dapat terjadi pada akhir kehamilan maupun jauh sebelum
waktunya melahirkan. KPD preterm adalah KPD sebelum usia
kehamilan 37 minggu. KPD yang memanjang adalah KPD yang
terjadi lebih dari 12 jam sebelum waktunya melahirkan (Manumba,
2010).
Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa ketuban
pecah dini adalahpecahnya ketuban sebelum waktunya melahirkan
atau sebelum inpartu pada pembukaan < 4 cm (fase laten) yang terjadi
setelah kehamilan berusia 22 minggu 
2. Etiologi
Ketuban pecah dini disebabkan oleh kurangnya kekuatan
membrane atau meningkatnya tekanan intra uterin atau oleh kedua
faktor tersebut. Berkurangnya kekuatan membrane disebabkan oleh
adanya infeksi yang dapat berasal dari vagina dan serviks.
Penyebabnya juga disebabkan karena inkompetensi servik.
Polihidramnion / hidramnion, mal presentasi janin (seperti letak
lintang) dan juga infeksi vagina serviks (Prawirohardjo, 2017).
Adapun yang menjadi faktor resiko terjadinya ketuban pecah dini
adalah : (Prawirohardjo, 2017)
a. Infeksi (amnionitis atau korioamnionitis)
Korioamnionitis adalah keadaan pada ibu hamil dimana
korion, amnion dan cairan ketuban terkena infeksi bakteri.
Korioamnionitis merupakan komplikasi paling serius bagi ibu dan
janin, bahkan dapat menjadi sepsis. Infeksi, yang terjadi secara
langsung pada selaput ketuban maupun asenderen dari vagina
atau infeksi pada cairan ketuban bisa menyebabkan terjadinya
KPD.
b. Servik yang inkompeten
Serviks yang inkompeten, kanalis servikalis yang selalu
terbuka oleh karena kelainan pada serviks uteri (akibat persalinan,
curettage). Serviks yang tidak lagi mengalami kontraksi
(inkompetensia), didasarkan pada adanya ketidakmampuan
serviks uteri untuk mempertahankan kehamilan. Inkompetensi
serviks sering menyebabkan kehilangan kehamilan pada trimester
kedua. Kelainan ini dapat berhubungan dengan kelainan uterus
yang lain seperti septum uterus dan bikornis. Sebagian besar
kasus merupakan akibat dari trauma bedah pada serviks pada
konisasi, produksi eksisi loop elektrosurgical, dilatasi berlebihan
serviks pada terminasi kehamilan atau laserasi obstetrik.
c. Trauma
Trauma juga diyakini berkaitan dengan terjadinya ketuban
pecah dini. Trauma yang didapat misalnya hubungan seksual saat
hamil baik dari frekuensi yang ≥4 kali seminggu, posisi koitus
yaitu suami diatas dan penetrasi penis yang sangat dalam sebesar
37,50% memicu terjadinya ketuban pecah dini, pemeriksaan
dalam, maupun amnosintesis dapat menyebabkan terjadinya
ketuban pecah dini karena biasanya disertai infeksi.
d. Ketegangan intra uterin
Perubahan volume cairan amnion diketahui berhubungan erat
dengan hasil akhir kehamilan yang kurang bagus. Ketegangan
intra uterin yang meninggi atau meningkat secara berlebihan
(overdistensi uterus) misalnya trauma, hidramnion, gamelli.
e. Kelainan letak
Misalnya sungsang sehingga tidak ada bagian terendah yang
menutupi pintu atas panggul serta dapat menghalangi tekanan
terhadap membran bagian bawah.
f. Paritas
Faktor paritas, terbagi menjadi primipara dan multipara.
Primipara adalah wanita yang pernah hamil sekali dengan janin
mencapai titik mampu bertahan hidup. Ibu primipara yang
mengalami ketuban pecah dini berkaitan dengan kondisi
psikologis, mencakup sakit saat hamil, gangguan fisiologis seperti
emosi dan termasuk kecemasan akan kehamilan. Selain itu, hal ini
berhubungan dengan aktifitas ibu saat hamil yaitu akhir triwulan
kedua dan awal triwulan ketiga kehamilan yang tidak terlalu
dibatasi dan didukung oleh faktor lain seperti keputihan atau
infeksi maternal. Sedangkan multipara adalah wanita yang telah
beberapa kali mengalami kehamilan dan melahirkan anak hidup.
Wanita yang telah melahirkan beberapa kali dan mengalami
ketuban pecah dini pada kehamilan sebelumnya serta jarak
kelahiran yang terlampau dekat, diyakini lebih beresiko akan
mengalami ketuban pecah dini pada kehamilan berikutnya.
g. Usia kehamilan
Persalinan preterm terjadi tanpa diketahui penyebab yang
jelas, infeksi diyakini merupakan salah satu penyebab terjadinya
KPD dan persalinan preterm (Prawirohardjo, 2010). Pada
kelahiran <37 minggu sering terjadi pelahiran preterm, sedangkan
bila ≥47 minggu lebih sering mengalami KPD (Manuaba, 2010).
Komplikasi paling sering terjadi pada ketuban pecah dini sebelum
usia kehamilan 37 minggu adalah sindroma distress pernapasan,
yang terjadi pada 10-40% bayi baru lahir. Risiko infeksi
meningkat pada kejadian ketuban pecah dini, selain itu juga
terjadinya prolapsus tali pusat. Risiko kecacatan dan kematian
janin meningkat pada ketuban pecah dini preterm. Hipoplasia
paru merupakan komplikasi fatal yang terjadi pada ketuban pecah
dini preterm. Kejadiannya mencapai 100% apabila ketuban pecah
dini preterm terjadi pada usia kehamilan kurang dari 23 minggu.
h. Riwayat KPD sebelumnya
Riwayat KPD sebelumnya beresiko 2-4 kali mengalami KPD
kembali. Patogenesis terjadinya ketuban pecah dini secara singkat
ialah akibat adanya penurunan kandungan kolagen dalam
membrane sehingga memicu terjadinya ketuban pecah dini dan
ketuban pecah dini preterm terutama pada pasien risiko tinggi.
Wanita yang mengalami ketuban pecah dini pada kehamilan atau
menjelang persalinan maka pada kehamilan berikutnya wanita
yang telah mengalami ketuban pecah dini akan lebih beresiko
mengalaminya kembali antara 3-4 kali dari pada wanita yang
tidak mengalami ketuban pecah dini sebelumnya, karena
komposisi membran yang menjadi mudah rapuh dan kandungan
kolagen yang semakin menurun pada kehamilan berikutnya. 
3. Patofisiologi dan Pathway
Mekanisme terjadinya ketuban pecah dini menurut Manuaba (2010)
adalah :
a. Terjadinya pembukaan premature serviks
b. Membran terkait dengan pembukaan terjadi devaskularisasi serta 
nekrosis dan dapat diikuti pecah spontan
c. Jaringan ikat yang menyangga membran ketuban makin
berkurang
d. Melemahnya daya tahan ketuban dipercepat dengan infeksi yang
mengeluarkan enzim proteolotik dan enzim kolagenase.
4. Manifestasi Klinis
Menurut Manuaba (2010), tanda dan gejala pada kehamilan yang
mengalami KPD adalah keluarnya cairan ketuban merembes melalui
vagina. Aroma air ketuban berbau amis dan tidak seperti bau amoniak,
mungkin cairan tersebut masih merembes atau menetes, dengan ciri
pucat dan bergaris warna darah. Cairan ini tidak akan berhenti atau
kering karena terus diproduksi sampai kelahiran. Tetapi bila
duduk/berdiri, kepala janin yang sudah terletak di bawah biasanya
mengganjal atau menyumbat kebocoran untuk sementara. Demam,
bercak vagina yang banyak, nyeri perut, denyut jantung janin
bertambah cepat merupakan tanda infeksi yang terjadi.
5. Komplikasi
Komplikasi yang terjadi pada KPD meliputi mudah terjadinya
infeksi intra uterin, partus prematur, dan prolaps bagian janin terutama
tali pusat (Manuaba, 2009). Terdapat tiga komplikasi utama yang
terjadi pada KPD yaitu peningkatan morbiditas neonatal oleh karena
prematuritas, komplikasi selama persalinan dan kelahiran, dan resiko
infeksi baik pada ibu maupun janin. Risiko infeksi karena ketuban
yang utuh merupakan penghalang penyebab infeksi (Prawirohardjo,
2017).
Ketuban Pecah Dini yang terjadi terlalu dini menyebabkan
pertumbuhan janin terhambat, kelainan disebabkan kompresi muka
dan anggota badan janin, serta hipoplasi pulmonal. Komplikasi akibat
KPD kepada bayi diantaranya adalah IUFD, asfiksia dan prematuritas.
Sedangkan pada ibu diantaranya adalah partus lama, infeksi
intrauterin, atonia uteri, infeksi nifas, dan perdarahan post partum
(Manumba,2010).
6. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
1) Cairan yang keluar dari vagina perlu diperiksa : warna,
konsentrasi, bau dan pH nya
2) Cairan yang keluar dari vagina ini ada kemungkinan air
ketuban, urine atau secret vagina
3) Secret ibu hamil pH: 4-5, dengan kertas nitrazin tidak
berubah warna tetap kuning.
4) Tes lakmus (nitrazin), jika kertas lakmus merah berubah
menjadi biru menunjukan adanya air ketuban (alkalis). pH air
ketuban 7-7,5, darah dan infeksi vagina dapat menghasilkan
tes yang positif palsu.
5) Mikroskopik (tes pakis), dengan meneteskan air ketuban pada
gelas objek dan dibiarkan kering. Pemeriksaan mikroskopik
menunjukan daun pakis. (Manumba,2010)
b. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk melihat jumlah cairan
ketuban dalam kavum uteri. Pada kasus KPD terlihat jumlah
cairan ketuban yang sedikit. Namun sering terjadi kesalahan pada
penderita oligohidramnion (Manumba,2010).
7. Penatalaksanaan Medis
Sebagai gambabaran umum untuk tatalaksana ketuban pecah dini
dapat dijabarkan sebagai berikut: (Manuaba, 2010)
a. Mempertahankan kehamilan sampai cukup matur khususnya
maturitas paru sehingga mengurangi kejadian kegagalan
perkembangan paru yang sehat.
b. Terjadi infeksi dalam rahim, yaitu korioamnionitis yang menjadi
peicu sepsis, meningitis janin, dan persalinan prematuritas.
c. Dengan perkiraan janin sudah cukup besar dan persalinan
diharapkan berlangsung dalam waktu 72 jam dapat diberikan
kortikosteroid, sehingga kematangan paru janin dapat terjamin.

Kehamilan ≥47 minggu, induksi dengan oksitosin. Bila gagal


seksio sesarea. Dapat pula diberikan misoprostol 25µg – 50µg
intravaginal tiap 6 jam maksimal 4 kali. Bila skor pelvic < 5, lakukan
pematangan serviks, kemudian induksi. Jika tidak berhasil, akhiri
persalinan dengan seksio sesarea. Bila skor pelvic > 5, induksi
persalinan (Prawirohardjo, 2010).
Berikut bagan penatalaksaan ketuban pecah dini menurut
Manuaba (2010) sebagai berikut :
C. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Identitas klien meliputi nama, umur, pendidikan, pekerjaan, status
perkawinan, alamat, identitas penanggung jawab, no RM.
b. Riwayat keperawatan
1) Keluhan utama: keluhan yang diungkapkan klien sehingga
mendatangi pelayanan kesehatan.
2) Keluhan saat dikaji: keluhan yang diungkapkan klien saat
dilakukan pengkajian.
c. Riwayat obstetric
1) Riwayat menstruasi
2) Riwayat kehamilan, persalinan, dan nifas yang lalu
3) Genogram
4) Post partum sekarang
5) Kesanggupan dan pengetahuan dalam merawat bayi
6) Riwayat lingkungan meliputi kebersihan dan bahaya yang
terdapat di lingkungan tempat tinggal klien.
7) Aspek psikososial meliputi persepsi ibu setelah bersalin,
perubahan kehidupan sehari-hari, orang terpenting bagi ibu,
sikap anggota keluarga terhadap keadaan saat ini dan
kesiapan mental menjadi ibu.
d. Kebutuhan dasar khusus meliputi pola nutrisi, pola eliminasi, pola
personal hygiene, pola istirahat tidur, pola aktivitas dan latihan,
pola kebiasaan yang mempengaruhi kesehatan
e. Pemeriksaan fisik meliputi keadaan umum, kesadaran, tanda-
tanda vital, dan pengkajian head to toe meliputi:
1) Kepala dan rambut: kaji kebersihan,distribusi dan adanya lesi
2) Mata: kaji kelopakmata, gerakan, konjungtiva dan sclera
klien
3) Hidung: kaji kesulitan pernafasan, nafas cuping hidung dan
reaksi alergi
4) Mulut dan tenggorokan: kaji mukosa bibir, kebersihan gigi,
mulut dan tonsil
5) Telinga: kaji adanya lesi ataupun nyeri tekan
6) Leher: kaji ada tidaknya pembesaran kelenjar tiroid dan limfe
serta bendungan vena jugularis
7) Dada dan axila: kaji kesimetrisan, mammae membesar atau
tidak, papilla menonjol atau tidak, adanya hiperpigmentasi,
dan pengeluaran ASI
8) Pernafasan: kaji jalan nafas, suara nafas serta ada atau
tidaknya otot bantu pernafasan
9) Sirkulasi jantung: kaji irama dan kelainan bunyi jantung
10) Abdomen: kaji bentuk abdomen, adanya linea dan striae, luka
bekas operasi, tanda-tanda infeksi, ukur TFU, kontraksi
bagus atau tidak, turgor kulit, nyeritekan pada abdomen,
kebersihan, distensi kandung kemih.
11) Genito urinary: kaji adanya ruftur dan efisiotomy, edema,
keadaan genitalia, warna dan bau lochea
12) Ekstremitas: kaji adanya oedema, kelemahan otot, turgor
kulit dan adanya varises
2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri berhubungan dengan agen cedera fisik dibuktikan dengan

tampak meringis.

b. Resiko infeksi berhubungan dengan kerusakan integritas kulit.

c. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan imobilitas dibuktikan

dengan merasa lemah.

d. Deficit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan fisik

dibuktikan dengan tidak mampu mandi/berpakaian secara mandiri.


3. Intervensi Keperawatan

No Diagnosa Tujuan dan Kriteria hasil Intervensi Keperawatan


Keperawatan (SDKI) (SLKI) (SIKI)
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera Setelah dikakukan tindakan Observasi :
fisik dibuktikan dengan tampak meringis keperawatan 1x24 jam diharapkan  Identifikasi lokasi, karakteristik,
Tingkat nyeri menurun. frekuensi, intensitas nyeri
 Identifikasi skala nyeri
Kriteria Hasil :  Identifikasi factor penyebab nyeri
 Keluhan nyeri menurun (5)  Monitor efek samping penggunaan
 Tampak meringis menurun analgetik
(5)
 Sikap protektif menurun (5) Terapeutik :
 Berikan teknik nonfarmakologis
(tarik nafas dalam, kompre hangat
atau dingin)
 Kontrok lingkungan yang
memperberat rasa nyeri (suhu,
pencahayaan, kebisingan)
 Fasilitas istirahat dan tidur

Edukasi :
 Jelaskan penyebab dan pemicu nyeri
 Jelaskan strategi pereda nyeri
 Anjurkan monitor nyeri secara
mandiri
 Anjurkan teknik nonfarkamkologis
untuk mengurangi nyeri

Kolaborasi :
 Kolaborasi pemberian analgetik
(jika perlu)
2. Resiko infeksi berhubungan dengan kerusakan Setelah melakukan tindakan Observasi :
integritas kulit. keperawatan 1x 8 jam diharapkan
Tingkat infeksi menurun.  Monitor tanda dan gejala infeksi
local dan sistemik
Kriteria Hasil :
Terapeutik :
 Kebersihan tangan meningkat
(5)  Batasi jumlah pengunjung
 Kebersihan badan meningkat  Berikan perawatan kulit pada area
(5) edema
 Nyeri menurun (5)  Cuci tangan sebelum dan sesudah
kontak dengan pasien dan
lingkungan pasien
 Pertahankan teknikn aseptic pada
pasein beresiko tinggi
Edukasi :

 Jelaska tanda dan gejala infeksi


 Ajarkan cuci tangan dengan benar
 Anjurkan meningkatkan asupan
nutrisi
 Anjurkan meningkatkan asupan
cairan
Kolaborasi :

 Kolaborasi pemberian antibiotok


ataupun imusisasi (jika perlu)

3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan Setelah melakukan tindakan Observasi :


imobilitas dibuktikan dengan klien merasa keperawaran 1x24 jam
lemah. diharapkan Toleransi aktivitas  Identifikasi keterbatasan fungsi dan
meningkat. gerak sendi
Kriteria Hasil :  Monitor lokasi dan sifat
ketidaknyamanan atau rasa sakit
 Kemudahan dalam melakukan selama bergerak atau beraktivitas
aktivitas sehari-hari meningkat
(5) Terapeutik :
 Kecepatan berjalan meningkat
(5)  Lakukan pengendalian nyeri
 Jarak berjalan meningkat (5) sebelum memulai latihan
 Perasaan lemah menurun (5)  Berikan posisi tubuh optimal untuk
gerakan sendimpasif atau aktif
 Fasilitasi menyusun jadwal latihan
rentang gerak aktif atau pasif
 Berikan penguatan positif untuk
melakukan latihan bersama
Edukasi :

 Jelaskan kepada pasien atau keluarga


tujuan dan rencanakan latihan
bersama
 Anjurkan pasien duduk ditempat
tidur, disisi tempat tidur (menjuntai)
atau di kursi
 Anjurkan melakukan latihan rentang
gerak pasif dan aktif secara
sistematis
4. Deficit perawatan diri berhubungan dengan Setelah dikakukan tindakan Observasi :
kelemahan fisik dibuktikan dengan tidak keperawatan 1x24 jam diharapkan
mampu mandi/berpakaian secara mandiri. Perawatan diri meningkat.  Monitor tingkat kemandirian
 Identifikasi kebutuhan alat bantu
Kriteria Hasil : dlam melakukan kebersihan diri,
berpakaian, berhias, dan makan.
 Kemampuan mandi meningkat  Monitor integritas kulit pasien.
(5)
 Kemampuan mengenakan Terapeutik :
pakaian secara mandiri
meningkat (5)  Dampingi dalam melakukan
 Mempertahankan kebersihan perawatan diri
diri meningkat (5)  Fasilitasi kemandirian klien
 Jadwalkan rutinitas perawatan diri
Edukasi :

 Anjurkan melakukan perawatan diri


secara konsisten sesuai kemampuan
 Anjurkan ke toilet secara mandiri
4. Implementasi Keperawatan
Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana
keperawatan yang telah di susun pada tahap perencanaan. Ukuran
intervensi keperawatan yang diberikan kepada klien terkait dengan
dukungan, pengobatan, tindakan untuk memperbaiki kondisi,
pendidikan untuk klien-keluarga, atau tindakan untuk mencegah
masalah kesehatan yang muncul dikemudian hari.
5. Evaluasi
Evaluasi asuhan keperawatan pada pasien dengan persalinan normal
berdasarkan kriteria hasil pada tujuan keperawatan yaitu :
a. Nyeri pasien teratasi dan pasienterlihat rileks tanpa adanya nyeri
b. Pasien bisa melakukan mobilisasi secara mandiri tanpa dibantu
orang lain
c. Pasien terlihat bersih dan persola hygiene pasien baik.
DAFTAR PUSTAKA

Cunningham FG, Gant FN, Leveno KJ, dkk. 2015. Obstetri Williams Edisi 21.
Jakarta : EGC.
Israr YA, Irwan M, Lestari, dkk. 2016. Arrest of Decent-Cephalopelvic
Disproportion (CPD). Jakarta : EGC
Manumba,RJ.2010.Ilmu Kebidanan dan Kandungan. Jakarta : EGC
Nurarif, A.H dan Kusuma, Hardhi. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatn
Berdasarkan Diagnosa Medis dan NANDA Jilid 1. Jogjakarta: Mediaction
Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI). 2016. Standar Diagnosis
Keperawatan Indonesia Definisi (SDKI) dan Indikator Diagnostik. Jakarta
Selatan: Dewan Pengurus Pusat PPNI
Prawirohardjo,S., 2017. Ilmu Kebidanan. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai