Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH RETENSIO URINE POST PARTUM

Di Susun Oleh :

Kelompok II

Ahmad Syafandi 2020206203410P


Dian Mayasari 2020206203222P
Desi Murtiningrum 2020206203412P
Hendro Susilo 2020206203481P
Nasiyah 2020206203421P
Saifudin 2020206203426P
Suharti 2020206203243P
Tri Sujarwati 2020206203223P
Rahmad Hidayat 2020206203422P

FAKULTAS KESEHATAN PROGRAM STUDI S1 ILMU


KEPERAWATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PRINGSEWU
TAHUN 2021
RETENSIO URINE POSTPARTUM

I. Konsep Dasar Retensio Urine Postpartum


1. Pengertian

Retensio urin postpartum (RUP) adalah ketidakmampuan untuk berkemih


secara spontan atau adekuat setelah melahirkan. Yip dkk., mendefinisikan
RUP sebagai: "ketidakmampuan untuk berkemih secara spontan dalam waktu
enam jam setelah persalinan pervaginam atau enam jam setelah pelepasan
kateter yang menetap setelah operasi caesar".2 Definisi lain mengenai RUPP
ialah “volume residual pasca pengosongan vesika urinaria/ post-void residual
bladder volume (PVRBV) >150 ml setelah berkemih spontan, dibuktikan oleh
ultrasound atau kateterisasi".

2. Etiologi
Retensio urin dapat disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut
- Neurologis; yaitu 1) Lesi di otak 2) Lesi medula spinalis 3) Lesi sistem saraf
autonom 4) Refleks nyeri lokal 5) Stroke, DM
- Farmakologi : Atropine like agents, Ganglionik blocker, Musculotopic
relaxant, Antagonis Kalsium, Antihistamin, Theofilin, Phenothiazine, Trisikli
antidepresan
- Inflamasi; yaitu 1) Uretritis atau sistitis 2) Vulvovaginitis akut 3) Herpes
zoster atau simpleks
- Obstruksi; yaitu 1) Ekstra-mural: Massa pelvik atau vagina 2) Intra-mural:
Prolaps dinding vagina posterior atau uterovaginal 3) Intraluminal 4)
Disinergia detrusor sfingter 5) Uretra: kondisi striktur uretra, batu saluran
kemih, tumor/kanker
- Gangguan medis; yaitu 1) Diabetes melitus 2) Hipotiroid 3) Porfiria 4)
Skleroderma
- Overdistensi: Post-operatif post-partum
- Psikogenik: 1) Non-neurogenic bladder 2) Gangguan psikiatri
- Post-operatif; 1) Operasi pengangkatan bladder neck 2) Prosedur untuk
denervasi vesika urinaria 3) Prosedur yang menyebabkan edema dan nyeri
terlokalisir.

Faktor Risiko
- Faktor risiko obstetrik RUPP adalah primipara, ruptur perineum, persalinan
dengan alat seperti vakum dan forsep, serta persalinan kala II yang lama.
Penggunaan analgesia epidural tidak ditemukan secara bermakna
menyebabkan retensio urin.
- Primipara dapat meningkatkan risiko RUPP dengan OR 2,36. Artinya,
kelompok primipara 2,36 kali lipat lebih berisiko retensio urin dibandingkan
kelompok multipara.
- Trauma perineum menyebabkan retensio urin dengan mengganggu proses
relaksasi uretra.9 Carley et al10 melaporkan persalinan per vaginam
menggunakan alat adalah faktor risiko independen yang bermakna untuk
terjadinya retensio urin dengan OR 3,44. Retensio urin tersebut disebabkan
ketidaksinergisan otot detrusor dengan relaksasi sfingter uretra akibat nyeri
dan edema di sekitar uretra, seperti edema perineum dan kandung kemih.
- Durasi persalinan kala II merupakan faktor risiko yang sangat bermakna.
Persalinan lebih dari 11 jam dan 40 menit berhubungan dengan RUPP.
Persarafan di jaringan lunak sekitar pelvis dipengaruhi oleh penekanan janin
yang lama di dasar panggul sehingga timbul edema atau ketidakseimbangan
otot detrusor akibat neuropraksia.
- Penggunaan analgesia epidural yang lama dikaitkan dengan durasi
kompresi saraf yang lebih lama sehingga dapat menyebabkan RUP
3. Klasifikasi

Retensio urin dibagi dua yakni retensio urin akut dan kronik. Dikatakan RUP
akut jika pasien tidak mampu mengeluarkan urin lebih dari 24 jam secara
mendadak tanpa rasa nyeri dan memerlukan kateterisasi yang hasilnya paling
sedikit 50% dari kapasitas sistometri maksimum. Retensio urin kronik adalah
kegagalan pengosongan kandung kemih dan memiliki volume residu urin
>50% kapasitas sistometri maksimum
4. Anatomi Vesika Urinaria
Vesika urinaria terdiri dari dua bagian, yaitu fundus dan leher vesika urinaria.
Bagian leher disebut juga uretra posterior karena berhubungan dengan uretra.
Mukosa vesika urinaria dilapisi oleh epitel transisional yang mengandung
ujung-ujung saraf sensoris. Dibawahnya terdapat lapisan submukosa yang
sebagian besar tersusun dari jaringan ikat dan jaringan elastin. Otot polos
vesika urinaria, disebut juga otot detrusor, membentuk lapisan di luar
submukosa, terdiri atas tiga lapis otot, yaitu otot longitudinal di lapisan luar
dan dalam, serta otot siskuler di lapisan tengahnya. Otot detrusor meluas ke
uretra, membentuk dinding uretra dengan lapisan ototnya mengandung banyak
jaringan elastin. Susunan saraf pusat yang mengatur vesika urinaria, berpusat
pada lobus frontalis pada daerah yang disebut Area Detrusor Piramidal
(Pyramidal Detrusor Area). Beberapa penelitian terakhir meununjukkan
bahwa kontrol terpenting terutama berasal dari daerah yang disebut Pontine
Mesencephatic Reticular Formation, yang kemudian disebut sebagai Pusat
Berkemih Pontin (Pontine Micturition Centre). Sistem ini ditunjang oleh
sistem refleks sakralis yang disebut sebagai Pusat Berkemih Sakralis
(Sacralis Micturition Centre). Jika jalur persarafan antara pusat berkemih
pontine dan sakralis dalam keadaan baik, maka proses berkemih akan
berlangsung baik akibat dari refleks berkemih yang menghasilkan serangkaian
kejadian berupa relaksasi dari otot lurik uretra, kontraksi otot detrusor dan
pembukaan dari leher vesika urinaria dan uretra. Sistem saraf perifer dari
saluran kemih bawah terutama terdiri dari sistem saraf otonom, khususnya
melalui sistim parasimpatis yang mempengaruhi kontraksi detrusor terutama
melalui transmisi kolinergik. Perjalanan parasimpatis melalui nervus pelvikus
dan muncul dari S2S4. Transmisi simpatis muncul dari T10T12, membentuk
nervus hipogastrikus inferior yang bersama-sama dengan saraf parasimpatis
membentuk pleksus pelvikus.
Gambar 1. Persarafan perifer saluran kemih bawah wanita

Otot polos vesika urinaria bersifat involunter. Jika vesika urinaria terisi urin, serabut
otot polos di dindingnya teregang dan menimbulkan kontraksi sehingga meningkatkan
tekanan di dalamnya. Pengisian urin 25 – 50 ml pada vesika urinaria akan
meningkatkan tekanan intra-vesika urinaria 5 – 10 cm air, tetapi sejalan dengan
pengisian, sampai dengan penambahan urin 150 – 300 ml tidak terjadi peningkatan
tekanan yang berarti, sampai tercapai kapasitas vesika urinaria, yaitu sekitar 300 – 400
ml. Rasa penuh vesika urinaria biasanya timbul setelah pengisian vesika urinaria
mencapai 150 ml dan dorongan berkemih akan timbul setelah vesika urinaria terisi
300 – 500 ml urin.22 Proses berkemih normal terjadi ketika ada relaksasi sfingter uretra
dan otot-otot dasar panggul diikuti oleh kontraksi otot detrusor dan peningkatan
tekanan intra-abdomen secara bersamaan. Disfungsi atau kurangnya sinkronisasi salah
satu dari langkah-langkah ini dapat menyebabkan disfungsi berkemih.
5. Tanda dan Gejala
Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang menunjukkan gejala gangguan berkemih antara
lain hesitansi (menunggu untuk memulai kencing), kesulitan mengeluarkan urin,
pancaran lemah atau intermiten, mengedan saat berkemih, dan merasa tidak lampias
setelah berkemih. Pada pemeriksaan RUPP, terdapat sensasi nyeri saat kandung kemih
ditekan atau diraba sedangkan pada pemeriksaan abdomen dan bimanual teraba
kandung kemih yang membesar
6. Patofisiologi
Patofisiologi RUP masih kurang dipahami, tetapi diyakini merupakan hasil dari
kombinasi peristiwa fisiologis traumatis selama kehamilan dan persalinan, termasuk
faktor kerusakan pada saraf, otot panggul dan otot vesika urinaria yang semuanya dapat
berkontribusi pada risiko retensio urin pada periode postpartum.
Selama kehamilan dan periode postpartum, hormon progesteron mengurangi tonus otot
polos, yang menyebabkan dilatasi pelvis ginjal, ureter, dan vesika urinaria. Ketika tonus
pada otot detrusor perlahan menurun, kapasitas vesika urinaria mulai meningkat. Pada
periode pascapersalinan, vesika urinaria cenderung menjadi hipotonik dan tidak
dipengaruhi oleh berat uterus sebelumnya, sehingga menempatkan wanita pada risiko
RUP. Persalinan per vaginam operatif, yang mencakup forsep atau vakum, telah
terbukti menjadi faktor risiko independen yang signifikan pada kejadian RUP, dan
dapat memengaruhi kemampuan sfingter uretra untuk relaksasi.
Persalinan per vaginam operatif yang menyebabkan trauma perineum, juga merupakan
faktor risiko untuk RUP. Mekanisme terjadinya RUP dalam hal ini adalah edema uretra
dan perineum yang menyebabkan peningkatan resistensi terhadap aliran urin.
Kerusakan saraf pudendal juga telah dilaporkan sebagai faktor yang berkontribusi
terhadap RUP, karena saraf pudendal menginervasi sfingter uretra eksternal, dan
gangguan relaksasi sfingter uretra dapat menghasilkan peningkatan resistensi terhadap
aliran urin. Etiologi terjadinya retensio urin postpartum multifaktorial. Kehamilan
ditandai dengan perubahan beberapa organ dan sistem organ. Tidak hanya adanya
perubahan anatomis seperti pelebaran ureter dan kaliks dari ginjal, tetapi juga beberapa
perubahan fungsional seperti peningkatan filtrasi glomerular dan output urin. Kapasitas
vesika urinaria kemungkinan besar beradaptasi dengan perubahan fungsional selama
masa kehamilan,
karena melekat pada rahim, vesika urinaria harus beradaptasi dengan peregangan dan
produksi urin ekstra untuk mencegah overdistensi dan memfasilitasi fungsi
penyimpanan ekstra.
Faktor lain yang mungkin berpengaruh ialah perubahan hormon progesteron dan
relaksin. Relaksin adalah hormon peptida dari famili insulin-like growth factor yang
telah dikaitkan dengan remodeling kolagen dan penyesuaian fisiologi ginjal dan
vasodilatasi pada kehamilan normal. Dalam 48 jam sebelum persalinan, relaksin
menyebabkan depolimerisasi cepat ikatan kolagen ke titik di mana kolagen kehilangan
95% dari kekuatannya, memungkinkan vagina untuk meregang dan struktur
pendukungnya berkembang cukup untuk persalinan per vaginam. Namun tidak
diketahui bahwa relaksin memiliki efek pada vesika urinaria. Progesteron adalah
hormon gestasional yang terkenal tidak hanya penting dalam mempertahankan
kehamilan, tetapi juga mengurangi tonus uretra, peristaltik dan tekanan kontraksi
vesika urinaria, yang berpotensi mengakibatkan peningkatan kapasitas vesika urinaria
di masa nifas
7. Pemeriksaan Diagnostik
- Kateterisasi
Jika pasien memiliki gejala dan tanda yang mengarah ke retensio urin, perlu
dilakukan pengukuran volume residu urin, salah satunya menggunakan kateter.
Pasien diprediksi retensio urin jika volume residu urin >200 mL pada kasus obstetri.

- Ultrasonografi
Saat ini USG translabial/perineal menjadi lebih populer dalam menilai pasien
dengan gejala disfungsi dasar panggul. Penggunaan USG translabial atau perineal
semakin meningkat untuk mengevaluasi pasien inkontinensia dan prolaps, karena
tidak invasif, tidak mahal, tidak sakit, dan tidak mengandung sinar radiasi.
- Portable bladder scan adalah alat yang menggunakan metode ultrasound non-
invasif yang memberikan gambaran 3D kandung kemih dan volume urin yang
tersisa, digunakan pada kasus gangguan frekuensi berkemih, penurunan jumlah urin
yang keluar, distensi kandung kemih, ketidakmampuan berkemih setelah pelepasan
kateter, dan fase awal program kateterisasi intermiten.
- Uroflowmetri
Uroflowmetri menilai fungsi berkemih dengan mengukur volume urin yang
dikeluarkan dan interval waktu yang dibutuhkan untuk mendeteksi abnormalitas
anatomi atau fungsi berkemih.
8. Penatalaksanaan
Clean intermittent catheterization (CIC) dan transurethral indwelling
catheterization (TIC) menjadi perawatan standar. Pada pasien dengan RUP terbuka,
penggunaan CIC merupakan tatalaksana yang direkomendasikan karena presentase
keberhasilan lebih besar (durasi 12 jam), sedangkan durasi penggunaan TIC lebih lama
yaitu 24 jam. CIC juga ditoleransi dengan baik pada pasien dengan RUP terbuka. Selain
itu, 35% pasien dengan CIC dapat berkemih secara spontan dan adekuat setelah
dilakukan kateterisasi tunggal. Keuntungan CIC dapat dikaitkan
dengan bladder training. Dengan drainase intermiten dan pengisian vesika urinaria,
vesika urinaria sebelumnya distimulasi untuk mengidentifikasi perbedaan antara penuh
dan kosong. Sebaliknya, dengan menempatkan kateter yang menetap, stimulasi vesika
urinaria ditunda dan pelatihan vesika urinaria ditunda. CIC dan TIC dapat digunakan
dalam praktik klinis sehari-hari, staf perawat dan medis berpendapat bahwa penggunaan
CIC setelah melahirkan sulit dilakukan, sehingga lebih sering menggunakan TIC.
RUP dapat ditatalaksana dengan
1) Atasi nyeri organ panggul
2) Evaluasi dan ukur urin residu 6 jam postpartum
3) Pemasangan kateter 24 jam untuk partus lama dan distosia Kala II lama
4) Pemberian prostaglandin

Gambar 2. Tatalaksana Retensio Urin Postpartum

9. Komplikasi
Komplikasi RUPP kandung kemih dimulai pada volume residu urin 500-800 mL. Deteksi
dini retensio urin sangat penting karena mengakibatkan kerusakan permanen akibat
peregangan kandung kemih berlebihan. Peregangan berlebih kandung kemih dapat
menimbulkan RUPP persisten dan kerusakan irreversible terhadap otot detrusor dengan
infeksi traktus urinarius berulang dan gangguan berkemih persisten. Pada RUPP sisa urin
dapat menyebabkan sistitis, ruptur kandung kemih spontan, uremia dan sepsis.
10. Pencegahan Retensio Urin Pasca-Persalinan
Pada pasien yang tidak dapat berkemih spontan dalam 6 jam pasca persalinan,
pemeriksaan USG atau kateter dapat mengidentifikasi RUPP secara dini. Pengukuran
volume urin residu menggunakan USG cukup akurat dan dapat digunakan sebagai
panduan apakah kateterisasi transuretral penting untuk dilakukan.

Edukasi kateterisasi intermiten yang berkesinambungan pascapersalinan hingga residu urin


<150 mL sangat penting. Selain itu, pada pasien yang tidak mampu berkemih 6 jam
pascapersalinan perlu dievaluasi volume kandung kemih dengan USG atau kateterisasi untuk
mengidentifikasi apakah diperlukan penatalaksanaan lebih lanjut. Pencegahan RUPP perlu
dilakukan pada pasien yang memiliki faktor risiko yaitu primipara, robekan jalan lahir luas,
persalinan menggunakan alat, dan persalinan kala II lama. Pencegahan tersebut dilakukan
dengan pemasangan kateter folley selama 24 jam setelah persalinan per vaginam. Setelah
kateter dilepas, volume urin residu diukur 6 jam kemudian dan pasien harus minum air putih
100 mL/jam atau 2-3 L/hari. Jika residu urinnya <200 mL maka pasien dikatakan normal,
namun jika >200 mL, maka dilakukan tatalaksana retensio urin sesuai protokol.

II. Asuhan Keperawatan Retensio Urine Postpartum


A. Pengkajian
- Data Umum :
1. Identitas.
2. Data Obstetri, riwayat kehamilan, riwayat persalinan.
3. Riwayat kesehatan.
4. Status emosional dan kebiasaan.
- Data Fokus : Fisiologis (proses involusi, perubahan biophisik sistem tubuh, kesiapan
proses laktasi).
- Pengkajian fisologis segera setelah lahir :
a) Kondisi uterus (Palpasi fundus, kontraksi dan tinggi fundus uteri.
b) Jumlah Darah (inspeksi perineum,laserasi,hematoma).
c) Kandung kemih (ada tidaknya residu).
d) Tanda-tanda Vital
Pengkajian tahap lanjut :
1. Tanda-tanda vital :
1) Suhu : Sedikit meningkat tapi kurang dari 38°c
2) Nadi : Bradikardi 40-70 x/menit masig dalam batas normal selama 6-10
hari post partum.
3) Tensi : Agak menurun tapi tidak mengganggu (orthostatik hipotensi)
Pemeriksaan tanda-tanda vital dilakukan tiap 4-8 jam.
2. Perut dan Fundus :
Sebelum pem.fundus dan perut klien di minta kencing dulu. Bila pada
pemeriksaan uterus lembek lakukan masase dan bayi ditetekkan.
3. Lokhea :
1) Periksa tiap 4-8 jam
2) Perhatikan : frekuensi penggantian duk dan kebiasaan klien.
3) Sifat pengeluaran lokhea (menetes, merember, memancar)
4) Warna lokhea (rubra, serosa, sanguilenta,alba).
4. Eliminasi :
1) Diaphoresis
2) Tanda infeksi kandung kemih,distensi blader
3) Buang air besar (obstipasi karena takut sakit).
5. Buah dada :
1) Bentuk, besar, merah
2) Putting susu--- baik, masuk, lecet, sakit, kebersihan,
3) BH--- penyokong buah dada
4) Laktasi hari ke 2-3 kolostrum meningkat.
6. Perineum
Posisi sim kearah jahitan sehingga perineum terlihat jelas.
7. Ekstrimitas bawah
1) Tromboplebitis dan tromboemboli
2) Edema, Tenderness, suhu kulit meningkat.
8. Psikososial :
1) Sikap, kemampuan, keterampilan memelihara diri, Tingkat kelelahan,
Kepuasan,tugas mengasuh anak.
B. Diagnosa Keperawatan
1) Retensi urin berhubungan dengan trauma perineum
2) Nyeri akut berhubungan dengan trauma perineum
3) Defisist pengetahuan berhubungan dengan kurang pengetahuan
tentang retensi urin

4) Risiko infeksi
C. Perencanaan
Diagnosa Tujuan/Kriteria Intervensi
No
Keperawatan Hasil
Retensi urin Setelah dilakukan Observasi
1
berhubungan tindakan Periksa kondisi pasien
dengan trauma keperawatan (TTV, distensi kandung
perineum selama 1 x 24 jam kemih, daerah perineal)
retensi urine
membaik dengan Terapeutik
kriteria hasil : 1. Siapkan alat dan
1. Distensi bahan pemasangan
kandung kemih kateter
menurun 2. Siapkan pasien
2. Volume residu 3. Pasang sarung tangan
urin menurun 4. Bersihkan daerah
3. Dysuria perineal dengan nacl
menurun atau aquabidest
meningkat 5. Lakukan insersi
4. Hesistensi kateter dengan
menurun prinsip aseptik
6. Sambungkan kateter
dengan urine bag
7. Isi balon dengan nacl
0,9 % sesuai anjuran
pabrik.
8. Fiksasi selang kateter
di paha
9. Beri label waktu
pemasangan

Edukasi
1. Jelaskan tujuan dan
prosedur pemasangan
kateter
2. Anjurkan menarik
nafas saat insersi
kateter

Nyeri akut Setelah dilakukan Observasi


2 berhubungan dengan tindakan 1. Identifikasi skala
trauma perineum keperawatan nyeri
selama 3 jam 2. Identifikasi lokasi,
Nyeri menurun karakteristik, durasi,
dengan kriteria frekuensi, kualitas,
hasil : intensitas nyeri
1. Keluhan nyeri
menurun Terapeutik
2. Perasaan 1. Berikan tehnik
tertekan pada nonfarmakologis
perineum untuk mengurangi
berkurang rasa nyeri, misalnya
aromaterapi
2. Control lingkungan
yang memperberat
rasa nyeri

Edukasi
1. Jelaskan penyebab,
periode, dan pemicu
nyeri.
2. Ajarkan tehnik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri.
Defisit Setelah dilakukan Observasi
3
pengetahuan tindakan Identifikasi kesiapan dan
berhubungan keperawatan kemampuan menerima
dengan kurang selama 1 jam informasi
informasi tentang pengetahuan klien
retensi urin membaik ditandai
dengan : Terapeutik
1. klien mampu 1. Sediakan materi dan
menjelaskan media pendidikan
tentang retensi kesehatan
urine 2. Berikan kesempatan
2. perilaku klien untuk bertanya
sesuai dengan
anjuran
Risiko infeksi Setelah dilakukan Observasi
4
tindakan Monitor TTV
keperawatan
selama 1x24 jam
infeksi tidak Terapeutik
terjadi dengan 1. Atur interval
kriteria hasil pemantauan
1. Tidak ada sesuai kondisi
demam pasien
2. Tidak nyeri 2. Dokumentasikan
hasil pemantauan
Edukasi
1. Jelaskan tujuan
dan prosedur
pemantauan
2. Informasikan
hasil
pemantauan, jika
perlu

D. Implementasi
Implementasi keperawatan merupakan tindakan yang sudah direncanakan
dalam rencana – rencana perawatan (Tarwoto Wartonah, 2006).
E. Evaluasi
Evaluasi merupakan langkah terakhir dari proses keperawatan sebagai
pengukuran dari keberhasilan rencana tindakan keperawatan.
Hasil evaluasi dapat berupa
a. Tujuan tercapai
Jika pasien menunjukkan perubahan sesuai dengan standar yang telah
ditetapkan
b. Tujuan tercapai sebagian
Jika pasien menunjukkan perubahan sebagian dari standart yang telah
ditetapkan
c. Tujuan tidak tercapai
Pasien tidak menunjukkan perubahan dan kemajuan sama sekali bahkan
timbul masalah baru
DAFTAR PUSTAKA

Inas Tsurraya Fl, Ihya Ridlo N, Pribakti B, PPDS Obstetri dan Ginekologi FK Universitas
Lambung Mangkurat Banjarmasin, Divisi Uroginekologi Departemen Obstetri dan Ginekologi
FK Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, Retensio Urine Post Partum, Jurnal
Medika 09 Jul 2020 13:41 Wib

Suskhan Djusad , Departemen Obstetri dan Ginekologi, Fakultas Kedokteran, Universitas


Indonesia – RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Indonesia, Manajeman Retensio Urin
Pasca Persalinan Pervaginam, eJKI Vol. 8, No. 1, April 2020

PPNI (2016) standar diagnosa keperawatan indonesia : definisi dan indikator Diagnostik ,Edisi
1,Jakarta : DPP PPNI

PPNI (2018) standar luaran keperawatan indonesia : definisi dan kriteria Hasil Keperawatan
,Edisi 1,Jakarta : DPP PPNI

PPNI (2018) standar luaran keperawatan indonesia : definisi dan Tindakan Keperawatan
,Edisi 1,Jakarta : DPP PPNI

Anda mungkin juga menyukai