Disusun oleh:
KHALIFA RAHMANI
20100310135
HALAMAN PENGESAHAN
Disusun oleh:
Nama: Khalifa Rahmani
No. Mahasiswa: 20100310135
Telah dipresentasikan
Hari/Tanggal:
Disahkan oleh:
Dosen Pembimbing,
BAB I
Kasus
a. Identitas Pasien
Nama
: Tn. K
Umur
: 51 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat
: Tejosari, Ngablak, Magelang
b. Anamnesis
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang dengan keluhan buang air kecil tidak terasa dan keluar darah.
Keluhan disertai rasa nyeri pada peut bagian bawah. Keluhan tersebut dirasakan sejak
pagi hari sebelum masuk Rumah Sakit. Diketahui bahwa sebelumnya pasien pernah
terjatuh dengan posisi duduk.
Riwayat Penyakit Dahulu:
Tidak ada riwayat penyakit dengan keluhan serupa sebelumnya
Tinjauan Sistem:
Umum
Kepala leher
THT
Respirasi
Gastrointestinal
Kardiovaskular
Perkemihan
: BAK tidak terasa dan keluar darah, nyeri perut bagian bagian
bawah.
Sistem Reproduksi
Ekstremitas
Kulit
Buang air kecil tidak terasa (+) dan keluar darah, nyeri pada perut bagian
Pemeriksaan penunjang
Darah Rutin :
Leukosit
Eritrosit
Hemoglobin
Hematokrit
MCV
MCH
MCHC
Trombosit
Kimia Darah Rutin :
GDS
Ureum
Creatinin
SGOT
SGPT
Elektrolit :
Natrium
Kalium
Chlorida
Kalsium
Hbs Ag (rapid)
: 8,48
: 4,46
: 13,2
: 37, 9
: 85
: 29,6
: 34,8
: 254
(N: 4,5-11)
(N: 4,0-5,5)
(N: 14-18)
(N: 40-54)
(N: 86-108)
(N: 28-31)
(N: 30-35)
(N: 150-450)
: 101
: 25
: 0,8
: 23
: 27
(N: 80-144)
(N: 10-50)
(N: 1,0-1,3)
(N: <37)
(N: <42)
: 138
(N: 135-155)
(N: 3,6-5,5)
(N: 95-108)
(N: 8,1-10,4)
N: (-)
: 4,1
: 104
: 8,3
: (-)
A (Assessment)
Trauma salun kemih bagian bawah
DD:
- Trauma buli-buli
- Trauma uretra
P (Planning)
Farmakoterapi
Jenis Terapi
Inf. RL
Ketorolac
As. Tranexamat
Hipobac
Dosis
20 tts/menit
3 x 1 amp
3 x 500 mg
2 x 1 vial
Cara Pemberian
I.V
I.V
I.V
I.V
Non Farmakoterapi
BAB II
Analisa Kritis
Diketahui dari hasil anamnesis bahwa pasien datang dengan keluhan buang air
kecil tidak terasa dan keluar darah. Keluhan disertai rasa nyeri pada perut bagian
bawah. Keluhan tersebut dirasakan sejak pagi hari sebelum masuk Rumah Sakit.
Diketahui bahwa sebelumnya pasien pernah terjatuh dengan posisi duduk. Dari
pemeriksaan fisik, didapatkan nyeri tekan pada regio suprapubik dan nyeri tekan pada
penis.
1. Keluhan buang air tidak terasa
Keluhan buang air kecil tidak terasa dapat disebut juga dengan
inkontinensia, yaitu ketidakmampuan seseorang untuk menahan urin yang keluar
dari buli-buli (vesika urinaria), baik disadari ataupu tidak disadari. Hal ini dapat
terjadi bila terdapat gangguan pada proses berkemih, baik pada organ, otot,
maupun syaraf yang terlibat dalam proses berkemih.
Proses berkemih diawali oleh buli-buli yang terisi penuh oleh urin,
keadaan ini akan memberikan rangsangan pada saraf aferen yang mengaktifkan
pusat miksi di medulla spinalis segmen S2-4. Hal ini akan menyebabkan kontraksi
otot detrusor pada buli-buli, terbukanya leher buli-buli (uretra posterior) dan
relaksasi sfingter uretra eksterna sehingga terjadilah proses miksi. Jika dalam
proses tersebut terganggu maka dapat mengakibatkan inkontinensia.
Pada dasarnya inkontinensia dapat disebabkan oleh gangguan yang berasal
dari buli-buli maupun sfingter. Kelainan yang berasal dari buli-buli menyebabkan
suatu inkontinensia urge, sedangkan kelaianan dari jalan keluar ((outlet)
memberikan manifestasi berupa inkontinensia stress.
Pada inkontinensia urge pasien mengeluh tidak dapat menahan kencing
segera setelah timbul sensasi ingin kencing. Kelainan dapat berupa overaktivitas
detrusor ataupun karena penurunan kemampuan buli-buli untuk mempertahankam
tekanannya pada saat pengisian urine (komplians).
Gangguan berupa overaktivitas detrussor dapat berupa kelainan neurologis
((hiper-refleksi detrusor) seperti stroke, penyakit Parkinson, cedera korda spinalis,
sklerosis multiple, spina bifida, atau mielitis transversal, dapat pula berupa
kelainan non neurologis (instabilitas detrussor) seperti pada obstruksi infravesika,
pasca bedah intravesika, batu buli-buli, tumor buli-buli, dan sistitis.
Sedangkan gangguan berupa penurunan fungsi komplians buli-buli dapat
disebabkan karena gangguan non neurologis yaitu karena penambahan kandungan
kolagen pada matriks detrusor yang biasanya terdapat pada sisititits tuberkulosa,
sisititis pasca radias, pemakaian kateter menetap dalam jangka waktu lama, atau
obstruksi infravesika karena hyperplasia prostat. Dapat pula disebabkan karena
gangguan neurologis akibat cedera spinal pada region thorakolumbal atau pasca
histerektomi radikal atau reseksi abdomino-perineal atau mielodisplasia yang
dapat mencederai persyarafan yang berfungsi merawat buli-buli.
Pada Inkontinensia urine stress, urin dari uretra akan keluar pada saat
terjadi peningkatan tekanan itra abdomen. Terjadinya inkontiensia ini karena
faktor sfingter uretra yang tidak mampu mempertahankan tekanan intrauretra pada
saat tekanan intravesika meningkat. Pada pria, gangguan disebabkan karena
kerusakan sfingter uretra eksterna pasca prostatectomi. Sedangkan pada wanita
gangguan dapat karena hipermobilitas uretra karena kelemahan otot-otot dasar
panggul atau karena defisiensi sfingter intrinsic.
Selain karena penyebab diatas, inkontinensia dapat pula terjadi akibat
kelemahan otot detrussor yang mengakibatkan urin keluar tanpa dapat dikontrol
pada keadaan volume urin di buli-buli melebihi kapasitasnya. Gangguan ini dapat
disebabkan karena obstruksi uretra, neuropati dabetikum, cedera pada daerah
sacral dari medulla spinalis, defisiensi vit. B 12, efek samping pemakaian obat,
atau pasca bedah pada daerah pelvic.
Inkontinensia tipe lain adalah inkontinensia kontinua, yaitu urin yang
selalu keluar setiap saat dan dalamberbagai posisi, hal ini dapat terjadi bilamana
terjadi fistula sistem urinaria yang menyebabkan urin tidak melewati sfingter
uretra seperti pada fistula vesikovagina atau fistula ureterivagina. Penyebab lain
adalah kelainan bawaan pada anak perempuan berupa ureter ektopik yaitu salah
satu ureter bermuara langsung ke uretra pada bagian distal sfingter uretra eksterna.
Jika dilihat dari riwayat pasien berupa terjatuh dalam posisi terduduk,
maka ada beberapa kemungkinan yang menyebabkan pasien ini mengalami
inkontinensia, yaitu:
1. Riwayat trauma dalam posisi terduduk memungkinkan pasien mengalami
trauma pada daerah sacral, trauma pada daerah sacral ini dapat mengakibatan
cedera pada medulla spinalis yang berada pada daerah sacral, yang berakibat
pada gangguan serabut syaraf sensorik dari kandung kemih ke medulla
spinalis yang bertugas memberikan sinyal bila buli-buli telah penuh terisi,
akibatnya terjadi atonia atau arefleksia m. detrusor pada buli-buli sehingga
pasien tidak mampu mengontrol reflek berkemihnya, sehinga setiap buli-buli
penuh, urin tidak dapat dikosongkan seluruhnya dan tampak urin selalu
menetes dari meatus uretra.
2. Trauma yang terjadi pada pasien mungkin pula dapat mengakibatkan retak
ataupun fraktur pada pelvis yang berakibat pada trauma buli ataupun trauma
uretra. Inkontinensia yang terjadi karena trauma buli bisa terjadi akibat reaksi
peradangan pada buli-buli yang mengakibatkan gangguan fungsi dari buli-buli
(fungsiolesa) yang dapat mengakibatkan instabilitas detrussor atau penuruna
komplians buli-buli yang kemudian mengakibatkan inkontinensia. Sedangkan
pada trauma uretra, inkontinensia dapat disebabkan karena proses peradangan
karena trauma dan mengakibatkan gangguan pada sfingter eksterna sehingga
terjadi inkontinensia.
2. Keluhan BAK keluar darah
Hematuria adalah didapatkannya sel darah merah di dalam urin. Hal ini
perlu dibedakan dengan bloody urethral discharge atau perdarahan per uretrum,
yaitu keluar darah dari meatus uretra eksterna tanpa melalui proses miksi.
Secara visual, terdapatnya sel darah merah di dalam urin dibedakan dalam
2 keadaan, yaitu hematuria makroskopik dn mikroskopik. Hematuria makroskopik
adalah hematuria yang secara kasat mata dapat dilihat sebagai urin yang berwarna
merah. Sedangkan hematuria mikroskopik adalah hematuria yang secara kasat
mata tidak dapat dilihat sebagai urin yang berwarna mera tetapi pada pemeriksaan
mikroskopik diketemukan lebih dari 2 (dua) sel darah merah per lapang pandang.
Hematuria makroskopik yang berlangsung terus menerus dapat
mengakibatkan berbagai macam komplikasi yang dapat mengancam jiwa,
contohnya: terbentuknya gumpalan darah yang dapat menyumbat aliran urin,
eksanguinasi sehingga menimbulkan syok hipovolemik/anemia, dan menimbulkan
urosepsis karena terbukanya akses untuk mikroorganisme menyebar melalui aliran
darah dari pembuluh darah yang terobek pada hematuria.
Hematuria dapat disebabkan oleh berbagai kelainan yang berasal dari
sistem urogenitalia maupun diluar sistem urogenitalia seperti: kelainan
pembekuan darah, SLE, dan kelainan sistem hematologic yang lain. Sedangkan
kelainan yang berasal dari sistem urogenitalia antaralain adalah sebagai berikut:
a. Infeksi/inflamasi antara lain pielonefritis, glomerulonefritis, ureteritis,
sistitis, dan uretritis
b. Tumor jinak atau tumor ganas, yaitu: tumor wilm, tumor grawitz, tumor
pielum, tumor ureter, tumor buli-buli, tumor prostat, dan hyperplasia
prostat jinak (BPH)
c. Kelainan bawaan sistem urogenitala, antara lain kista ginjal dan ren
mobilis
d. Trauma yang mencederai sistem urogenitalua
e. Batu saluran kemih
Karakter suatu hematuria dapat dipakai sebagai pedoman untuk
memperkirakan lokasi penyakit primernya, yaitu porsi hematuria (warna merah
yang dilihat saat berkemih) terjadi pada awal miksi (hematuria inisial) biasanya
gangguan terjadi pada uretra, seluruh proses miksi (hematuria total) bisanya
kelainan terjadi pada buli-buli, ureter atau ginjal, atau akhir miksi (hematuria
terminal) biasanya terjadi pada leher buli-buli.
Selain melihat dari porsi hematuria, dapat pula melihat dari segi kualitas
warna hematuria, jika berwarna merah segar, kelainan kemungkinan berasal dari
buli-buli, prostat, dan uretra, sedangka hematuria yang berwarna coklat dengan
bentuk seperti cacing (vermiform) biasanya berasal glomerulus.
Keikutsertaan nyeri pada saat terjadi hematuria perlu diperhatkan juga.
Jika hematuria disertai dengan nyeri biasanya merupakan myeri dari saluran
kemih bagian atas berupa kolik atau gejala iritasi dari saluran kemih bagian
bawah. Jika hematuria tanpa disertai nyeri waspadai terhaap kemungkinan adanya
keganasan saluran kemih.
Pada pasien ini diketahui bahwa dia merasa keluar urin tanpa disadarinya
disertai dengan adanya darah. Ada 2 kemungkinan yang terjadi, darah yang keluar
adalah bercampur dengan urin (hematuria) bisa juga terjadi meatal bleeding
namun karena terjadi inkontinensia sulit dibedakan apakah itu hematuria atau
meatal bleeding. Jika itu adalah hematuria, maka yang mungkin terjadi adalah
trauma buli-buli, namun jika ternyata itu adalah meatal bleeding maka yang lebih
mungkin terjadi adalah trauma uretra. Kemungkinan lain pun sebenarnya masih
mungkin terjadi yaitu trauma buli-buli dan trauma uretra yang terjadi bersamaan.
Hematuria pada pasien ini dapat terjadi karena adanya proses trauma pada
saluran kemih terutama bagian bawah yang dapat mengakibatkan laserasi dan
mengakibatkan peradangan, hal ini dapat mengakibatkan robekan vaskuler yang
berada pada saluran kemih bagian bawah sehingga mengakibatkan perdarahan
yang terbawa oleh urin yang keluar.
3. Nyeri suprapubik
Nyeri suprapubik dirasakan mengindikasikan adanya nyeri di daerah bulibuli, hal ini karena letak
suprasimfisis (suprapubik). Nyeri pada area ini dapat terjadi akibat overdistensi
buli-buli yang mengalami retensi urin, aau terdapat inflamasi pada buli-buli
(sistitis intertisialis, tuberculosis, atau sistosomiasis). Inflamasi buli-buli dirasakan
sebagai perasaan kurang nyaman di daerah suprapubik. Nyeri muncul manakala
buli-buli terisi penuh dan nyeri berkurang pada saat selesai miksi.
Tidak jarang pasien sistitis merasakan nyeri yang sangat hebat seperti
ditusuk-tusuk pada akhir miksi dan kadang kala disertai dengan hematuria,
keadaan ini disebut dengan stranguria.
Pada pasien ini dirasakan nyeri suprapubik dapat mengindikasikan adanya
inflamasi yang terjadi pada buli-buli yang kemungkinan besar merupakan akibat
dari trauma yang terjadi karena diketahui bahwa pasien memiliki riwayat trauma
beruapa jatuh dalam posisi terduduk.
4. Nyeri tekan pada penis
Nyeri yang dirasakan pada daerah penis yang sedang tidak ereksi (flaksid)
biasanya merupakan reffered pain dari inflamasi pada mukosa buli-buli atau
uretra, yang terutama dirasakan pada meatus uretra eksternum. Selain itu,
parafimosis dan peradangan pada preputium maupun glands penis memberikan
rasa nyeri yang terasa pada ujung penis.
Pada pasien ini penyebab yang mungkin adalah terjadinya reffered pain
dari inflamasi mukosa buli-buli atau uretra akibat riwayat trauma yang terjadi
pada pasien.
Berdasarkan analisa hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik pada pasien, dapat
disimpulkan bahwa tanda dan gejala klinis pasien mengarah kepada adanya trauma
pada saluran kemih bagian bawah, namun belum dapat dipastikan apakah trauma
tersebut mengenai organ buli-buli ataupun trauma pada uretra ataupun keduanya.
Berikut adalah gambaran dari kedua gangguan tersebut:
A. Trauma Buli-Buli
Pada waktu lahir hingga usia anak, buli buli terletak di rongga abdomen.
Namun semakin bertambahnya usia, tempatnya akan turun dan terlindungi di
dalam cavum pelvis, sehingga kemungkinan mendapatkan trauma dari luar jarang
terjadi. Angka kejadian trauma pada buli buli di beberapa klinik urologi kurang
lebih sekitar 2% dari seluruh trauma sistem urogenital.
laserasi
ataupun
ruptur. Mungkin
didapatkan
hematoma
fraktur pelvis, shock, hematoma perivesika, atau tampak tanda sepsis seperti
peritonitis atau abses perivesika.
Pada fraktur tulang pelvis biasanya disertai perdarahan hebat, sehingga
tidak jarang pasien datang dalam keadaan anemia bahkan shock. Jika terjadi
trauma abdomen, pada abdomen bagian bawah tampak jejas atau hematom
dan terdapat nyeri tekan di daerah suprapubik di tempat hematom. Pada ruptur
buli buli intraperitoneal, urin akan masuk ke rongga peritoneum. Lesi
ekstraperitoneal memberikan gejala dan tanda infiltrat urin di rongga
peritoneal yang sering menyebabkan septisemia.
d) Diagnosis
Diagnosis trauma buli didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis didapatkan riwayat trauma yang
terjadi, baik trauma pelvis ataupun trauma abdomen. Keluhannya adalah
sebgaimana yang tertulis dalam gejala klinis di atas. Pada pemeriksaan fisik
dapat ditemukan nyeri tekan pada daerah suprapubik, tampak hematom di
perivesika, dan bila terjadi rupture buli yang mengakibatkan ekstravasasi ke
rongga intraperitonium akan Nampak gejala klinis sebagaimana gejala
peritonitis.
Pemeriksaan pencitraan berupa sistografi dapat dilakukan, yaitu
dengan memasukkan kontras ke dalam buli buli sebanyak 300 400 ml
(tanpa tekanan) melalui kateter per-uretram. Kemudian dibuat beberapa foto
yaitu foto pada saat awal buli buli terisi kontras dalam posisi anteroposterior (AP), lalu pada posisi oblik, dan terakhir wash out film yaiut foto
setelah kontras dikeluarkan dari buli buli. Jika didapatkan robekan pada buli
buli, akan terlihat ekstravasasi kontras didalam rongga perivesikal yang
merupakan tanda adanya robekan ekstraperitoneal. Jika terdapat kontras yang
berada di sela sela usus, berarti terdapat robekan buli buli intraperitoneal.
Pada perforasi yang kecil, seringkali tidak tampak adanya ekstravasasi (negatif
palsu) terutama jika kontras yang dimasukkan kurang dari 250 ml.
Sebelum dipasang kateter uretra, harus diyakinkan dahulu bahwa tidak
ada perdarahan yang keluar dari meatus uretra. Keluarnya darah dari meatus
uretra merupakan tanda dari cedera uretra. Kita juga bisa mencurigai
terjadinya ruptur uretra terutama bagian anterior, jika terdapat hematom
scrotalis, dan pada ruptur uretra posterior, pada pemeriksaan Recta Toucher
prostat akan teraba melayang (floating prostat). Jika diduga terdapat cedera
pada saluran kemih bagian atas disamping cedera buli buli, sistografi dapat
diperoleh melalui foto IVU. Bisa juga dilakukan pemeriksaan radiologi
lainnya berupa foto pelvis atau foto polos abdomen, yang dapat memberikan
gambaran fraktur tulang pelvis.
Di daerah yang jauh dari pusat rujukan dan tidak ada sarana untuk
melakukan sistografi, dapat dilakukan uji pembilasan buli buli, yaitu dengan
memasukkan cairan garam fisiologis steril kedalam buli buli sebanyak 300
ml, kemudian cairan tersebut akan dikeluarkan lagi. Jika cairan tidak keluar
atau keluar tetapi kurang dari volume yang dimasukkan, kemungkinan besar
terdapat robekan pada buli buli. Namun cara ini tidak dianjurkan karena
dapat menimbulkan infeksi atau menyebabkan robekan yang lebih luas.
e) Pengobatan
Bila penderita datang dalam keadaan shock, harus diatasi dengan
pemberian cairan intravena atau darah. Bila sirkulasi telah stabil, baru
dilakukan tindakan reparasi buli buli tergantung pada jenis kerusakan yang
terjadi.
Terapi pada cedera buli buli tergantung pada jenis cedera di
antaranya adalah :
1) Contusio buli buli : Pada cedera jenis ini, cukup dilakukan pemasangan
kateter dengan tujuan untuk memberikan istirahat pada buli buli. Dengan
cara ini diharapkan buli buli dapat sembuh sendiri dalam waktu 7 10
hari.
2) Cedera intraperitoneal : pada jenis cedera ini, harus dilakukan ekspolrasi
laparotomi untuk mencari robekan pada buli buli serta kemungkinan
cedera pada organ lain. Jika tidak dioperasi, ekstravasasi urine ke rongga
intraperitoneum dapat menyebabkan peritonitis. Rongga intraperitoneum
dicuci, robekan pada buli buli dijahit 2 lapis, kemudian dipasang kateter
sistotomi yang dilewatkan di luar sayatan laparotomi.
3) Cedera ekstraperitoneal : Robekan yang sederhana (ekstravasasi
minimal) dianjurkan untuk memasang kateter selama 7 10 hari, tetapi
sebagian ahli lain menganjurkan untuk melakukan penjahitan buli buli
dengan
pemasangan
kateter
sistostomi.
Namun,
tanpa
tindakan
B. Trauma Uretra.
Secara klinis trauma uretra dibedakan menjadi trauma urtra anterior dan
trauma uretra posterior, hal ini karena keduanya menunjukkan perbedaan dalam
hal etiologi, tanda klinis, pengelolaan, serta prognosisnya.
a) Etiologi
Uretra, sama seperti bladder, dapat mengalami cidera/trauma dari luar
(eksternal) karena fraktur pelvic. Terjatuh dengan benda membentur
selangkangan (stradle injury) dapat menyebabkan contusio, laserasi, bahkan
ruptur pada uretra pars bulbosa. Misalnya saat jatuh dari sepeda. Luka tusuk
dapat pula menyebabkan kerusakan pada uretra.
businasi pada uretra yang kurang hati-hati dapat menimbulkan robekan uretra
karena salah jalan ( false route). Trauma dapat juga terjadi saat intervensi
bedah, misalnya operasi trans-uretra dapat menimbulkan cedera uretra
iatrogenik
b) Gambaran Klinis
Kerusakan uretra ini diindikasikan bila pasien tidak mampu berkemih,
penurunan pancaran urine, atau adanya darah pada meatus. Karena kerusakan
uretra, saat urine melewati uretra, proses berkemih dapat menyebabkan
ekstravasasi saluran urine yang menimbulkan pembengkakan pada scrotum
atau area inguinal yang mana akan menyebabkan sepsis dan nekrosis. Darah
mungkin keluar dari meatus dan mengekstravasasi jaringan sekitarnya
sehingga menyebabkan ekimosis.
Pada trauma uretra yang berat, seringkali pasien mengalami retensi
urin. Pada keadaan ini tidak diperbolehkan melakukan pemasangan kateter
karena dapat mengakibatkan kerusakan uretra yang lebih parah. Diagnosis
ditegakkan melalui foto uretrografi dengan memasukkan kontras melalui
uretra, guna mengetahui adanya rupture uretra.
c) Rupture Uretra Posterior
Rupture uretra posterior paling sering disebabkan oleh fraktur tulang
pelvis. Fraktur yang mengenai ramus atau simfisis pubis dan menimbulkan
kerusakan pada cincin pelvis, menyebabkan robekan uretra pars prostatemembranacea. Fraktur pelvis dan robekan pembuluh darah yang berada di
dalam kavum pelvis menyebabkan hematoma yang luas di cavum retzius
sehingga jika ligamentum pubo-prostatikum ikut terobek, prostat beserta bulibuli akan terangkat ke cranial.
buck dan fasia colles. Jika terjadi rupture uretra beserta korpus
spongiosum, darah dan urin keluar dari uretra tetapi masih terbatas pada
fasia buck, dan secara klinis terlihat hematoma yang terbatas pada penis.
Namun jika fasia buck ikut robek, ekstravasasi urin dan darah hanya
dibatasi oleh fasia colles sehingga darah dapat menjalar hingga scrotum
atau ke dinding abdomen. Oleh karena itu robekan ini memberikan
gambaran seperti kupu-kupu sehingga disebut butterfly hematoma atau
hematoma kupu-kupu.
b. Diagnosis
Pada kontusio uretra, pasien mengeluh adanya perdarahan uretrum atau
hematuria. Jika terdapat robekan pada korpus spongiosum, terlihat adanya
hematom pada penis atau hematom kupu-kupu. Pada keadaan ini
seringkali pasien tidak dapat miksi. Pemeriksaan uretrografi retrograde
pada kontusio uretra tidak menunjukkan adanya ektravasasi kontras,
sedangkan pada rupture uretra menunjukkan adanya ekstravasasi kontras
di pars bulbosa.
c. Tindakan
Kontusio uretra tidak memerlukan terapi khusus, tetapi mengingat cedera
ini dapat menimbulkan komlikasi berupa striktur uretra di kemudian hari,
maka setelah 4-6 bulan perlu dilakukan pemeriksaan uretrografi ulang.
Pada rupture uretra parsial dengan ekstravasasi ringan, cukup dilakukan
sistostomi untuk mengalihkan aliran urin. Kateter sistostomi dipertahankan
sampai 2 minggu, dan dilepas setelah diyakini melalui pemeriksaan
uretrografi bahwa sudah tidak ada ekstravasasi kontras atau tidak timbul
striktur uretra. Namun jika timbul dtriktur uretra, dilakukan reparasi
uretra atau sachse. Tidak jarang rupture uretra anterior disertai dengan
ekstravasasi urin dan hematom yang luas sehingga diperlukan debridement
dan insisi hematom untuk mencegah infeksi. Reparasi uretra dilakukan
setelah luka menjadi lebih baik.
Dari penjelasan mengenai trauma buli-buli dan trauma uretra di atas, pasien ini
belum dapat didiagnosis sepenuhnya sebagai trauma buli-buli atau trauma uretra.
Namun melalui penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa mungkin pasien
mengalami kontusio buli atau kontusio utetra anterior dengan disertai hematuria dan
inkontinensia karena curiga adanya kerusakan neurovascular akibat trauma.
BAB III
Kesimpulan
1. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang, diagnosis
kerja atau diagnosis sementara untuk pasien ini adalah trauma saluran kemih bagian
bawah dengan differential diagnosis : trauma buli (kontusio buli) dan trauma uretra
(kontusio uretra).
2. Diperlukan pemeriksaan penunjang lain untuk menegakkan diagnosis bagi pasien ini
yaitu: sistigrafi dan uretrografi. Sehingga dengan diagnosis yang pasti akan dapat
diberikan penatalaksanaan yang tepat bagi pasien ini.
3. Terapi sementara yang dapat dilakukan adalah dengan: pemberian cairan, pemberian
analgetik, pemberian antibiotic serta pemasangan kateter untuk mengistirahatkan bulibuli dengan minimalnya kecurigaan adanya ekstravasasi uretra.
BAB IV
Daftar Pustaka
- Guyton, Arthur C., Hall, John E., 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11.
-
Jakarta: EGC.
Purnomo B,.B,.2011. Dasar-dasar Urologi. Edisi Ketiga. Jakarta : CV Sagung Seto.
Tanagho E.A., Mc Annich J.W., Smiths General Urology 16th ed, TheMcGraw Hill
Companies 2004