Anda di halaman 1dari 21

REFLEKSI KASUS

TRAUMA SALURAN KEMIH BAGIAN BAWAH

Disusun oleh:
KHALIFA RAHMANI
20100310135

Pembimbing: dr. M. Omar Rusydi, Sp.U

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT BEDAH


PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN DAN
ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
RSUD KOTA SALATIGA

HALAMAN PENGESAHAN

Telah disetujui dan disahkan, refleksi kasus dengan judul

TRAUMA SALURAN KEMIH BAGIAN BAWAH

Disusun oleh:
Nama: Khalifa Rahmani
No. Mahasiswa: 20100310135

Telah dipresentasikan
Hari/Tanggal:

Disahkan oleh:
Dosen Pembimbing,

dr. M. Omar Rusydi, Sp.U

BAB I
Kasus
a. Identitas Pasien
Nama
: Tn. K
Umur
: 51 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat
: Tejosari, Ngablak, Magelang
b. Anamnesis
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang dengan keluhan buang air kecil tidak terasa dan keluar darah.
Keluhan disertai rasa nyeri pada peut bagian bawah. Keluhan tersebut dirasakan sejak
pagi hari sebelum masuk Rumah Sakit. Diketahui bahwa sebelumnya pasien pernah
terjatuh dengan posisi duduk.
Riwayat Penyakit Dahulu:
Tidak ada riwayat penyakit dengan keluhan serupa sebelumnya
Tinjauan Sistem:
Umum

: tidak ada keluhan

Kepala leher

: tidak ada keluhan

THT

: tidak ada keluhan

Respirasi

: tidak ada keluhan

Gastrointestinal

: tidak ada keluhan

Kardiovaskular

: tidak ada keluhan

Perkemihan

: BAK tidak terasa dan keluar darah, nyeri perut bagian bagian
bawah.

Sistem Reproduksi

: tidak ada keluhan

Ekstremitas

: tidak ada keluhan

Kulit

: tidak ada keluhan

c. Riwayat Perjalanan Penyakit Pasien


S (subyektif):

Buang air kecil tidak terasa (+) dan keluar darah, nyeri pada perut bagian

bawah (+), riwayat terjatuh dengan posisi duduk (+).


O (Obyektif)
o Keadaan Umum: CM, cukup
TD
: 173/106 mmHg
Nadi
: 72 x/menit, regular, isi dan tegangan cukup
RR
: 16 x/menit
Suhu
: 36,40C
o Kepala dan Leher :
Normochepal
Konjungtiva pucat -/ JVP : normal
o Cor
Suara S1 dan S2 terdengar regular dan tidak ditemukan bising atau
suara tambahan jantung
o Pulmo
Bentuk paru simetris, tidak terdapat jejas dan kelainan bentuk.
Tidak ada ketinggalan gerak, vocal fremitus tidak ada peningkatan
maupun penurunan.
Tidak ada nyeri tekan pada lapang paru.
Perkusi : sonor
Suara dasar vesikuler : +/+ (positif di lapang paru kanan dan kiri)
Suara rokhi : -/- (tidak terdengar di kedua lapang paru)
Suara wheezing : -/- (tidak terdengar di kedua lapang paru)
o Ekstremitas
Udem : (-) pada kedua ekstremitas superior dan inferior
Akral hangat : (+ ) pada kedua ekstremitas superior dan inferior
CRT (capillary refill time ) : < 2 detik pada kedua ekstremitas superior
dan inferior

Pemeriksaan Status Lokalis Regio Abdomen dan Genitalia


o Abdomen
Abdomen datar (+)
Supel (+)
Peristaltik usus (+) normal
Nyeri tekan (+) pada region suprapubik
Defans muscular (-)
o Genitalia
Jejas (-) discharge (-)
Bengkak (-)
Nyeri tekan pada penis (+)

Pemeriksaan penunjang

Darah Rutin :
Leukosit
Eritrosit
Hemoglobin
Hematokrit
MCV
MCH
MCHC
Trombosit
Kimia Darah Rutin :
GDS
Ureum
Creatinin
SGOT
SGPT
Elektrolit :
Natrium
Kalium
Chlorida
Kalsium
Hbs Ag (rapid)

: 8,48
: 4,46
: 13,2
: 37, 9
: 85
: 29,6
: 34,8
: 254

(N: 4,5-11)
(N: 4,0-5,5)
(N: 14-18)
(N: 40-54)
(N: 86-108)
(N: 28-31)
(N: 30-35)
(N: 150-450)

: 101
: 25
: 0,8
: 23
: 27

(N: 80-144)
(N: 10-50)
(N: 1,0-1,3)
(N: <37)
(N: <42)

: 138

(N: 135-155)
(N: 3,6-5,5)
(N: 95-108)
(N: 8,1-10,4)
N: (-)

: 4,1
: 104
: 8,3
: (-)

A (Assessment)
Trauma salun kemih bagian bawah
DD:
- Trauma buli-buli
- Trauma uretra
P (Planning)
Farmakoterapi
Jenis Terapi
Inf. RL
Ketorolac
As. Tranexamat
Hipobac

Dosis
20 tts/menit
3 x 1 amp
3 x 500 mg
2 x 1 vial

Cara Pemberian
I.V
I.V
I.V
I.V

Non Farmakoterapi

Pemasangan kateter dan dipertahankan selama 1 minggu

BAB II
Analisa Kritis
Diketahui dari hasil anamnesis bahwa pasien datang dengan keluhan buang air
kecil tidak terasa dan keluar darah. Keluhan disertai rasa nyeri pada perut bagian
bawah. Keluhan tersebut dirasakan sejak pagi hari sebelum masuk Rumah Sakit.
Diketahui bahwa sebelumnya pasien pernah terjatuh dengan posisi duduk. Dari
pemeriksaan fisik, didapatkan nyeri tekan pada regio suprapubik dan nyeri tekan pada
penis.
1. Keluhan buang air tidak terasa
Keluhan buang air kecil tidak terasa dapat disebut juga dengan
inkontinensia, yaitu ketidakmampuan seseorang untuk menahan urin yang keluar
dari buli-buli (vesika urinaria), baik disadari ataupu tidak disadari. Hal ini dapat
terjadi bila terdapat gangguan pada proses berkemih, baik pada organ, otot,
maupun syaraf yang terlibat dalam proses berkemih.
Proses berkemih diawali oleh buli-buli yang terisi penuh oleh urin,
keadaan ini akan memberikan rangsangan pada saraf aferen yang mengaktifkan
pusat miksi di medulla spinalis segmen S2-4. Hal ini akan menyebabkan kontraksi
otot detrusor pada buli-buli, terbukanya leher buli-buli (uretra posterior) dan
relaksasi sfingter uretra eksterna sehingga terjadilah proses miksi. Jika dalam
proses tersebut terganggu maka dapat mengakibatkan inkontinensia.
Pada dasarnya inkontinensia dapat disebabkan oleh gangguan yang berasal
dari buli-buli maupun sfingter. Kelainan yang berasal dari buli-buli menyebabkan
suatu inkontinensia urge, sedangkan kelaianan dari jalan keluar ((outlet)
memberikan manifestasi berupa inkontinensia stress.
Pada inkontinensia urge pasien mengeluh tidak dapat menahan kencing
segera setelah timbul sensasi ingin kencing. Kelainan dapat berupa overaktivitas
detrusor ataupun karena penurunan kemampuan buli-buli untuk mempertahankam
tekanannya pada saat pengisian urine (komplians).
Gangguan berupa overaktivitas detrussor dapat berupa kelainan neurologis
((hiper-refleksi detrusor) seperti stroke, penyakit Parkinson, cedera korda spinalis,
sklerosis multiple, spina bifida, atau mielitis transversal, dapat pula berupa
kelainan non neurologis (instabilitas detrussor) seperti pada obstruksi infravesika,
pasca bedah intravesika, batu buli-buli, tumor buli-buli, dan sistitis.
Sedangkan gangguan berupa penurunan fungsi komplians buli-buli dapat
disebabkan karena gangguan non neurologis yaitu karena penambahan kandungan
kolagen pada matriks detrusor yang biasanya terdapat pada sisititits tuberkulosa,

sisititis pasca radias, pemakaian kateter menetap dalam jangka waktu lama, atau
obstruksi infravesika karena hyperplasia prostat. Dapat pula disebabkan karena
gangguan neurologis akibat cedera spinal pada region thorakolumbal atau pasca
histerektomi radikal atau reseksi abdomino-perineal atau mielodisplasia yang
dapat mencederai persyarafan yang berfungsi merawat buli-buli.
Pada Inkontinensia urine stress, urin dari uretra akan keluar pada saat
terjadi peningkatan tekanan itra abdomen. Terjadinya inkontiensia ini karena
faktor sfingter uretra yang tidak mampu mempertahankan tekanan intrauretra pada
saat tekanan intravesika meningkat. Pada pria, gangguan disebabkan karena
kerusakan sfingter uretra eksterna pasca prostatectomi. Sedangkan pada wanita
gangguan dapat karena hipermobilitas uretra karena kelemahan otot-otot dasar
panggul atau karena defisiensi sfingter intrinsic.
Selain karena penyebab diatas, inkontinensia dapat pula terjadi akibat
kelemahan otot detrussor yang mengakibatkan urin keluar tanpa dapat dikontrol
pada keadaan volume urin di buli-buli melebihi kapasitasnya. Gangguan ini dapat
disebabkan karena obstruksi uretra, neuropati dabetikum, cedera pada daerah
sacral dari medulla spinalis, defisiensi vit. B 12, efek samping pemakaian obat,
atau pasca bedah pada daerah pelvic.
Inkontinensia tipe lain adalah inkontinensia kontinua, yaitu urin yang
selalu keluar setiap saat dan dalamberbagai posisi, hal ini dapat terjadi bilamana
terjadi fistula sistem urinaria yang menyebabkan urin tidak melewati sfingter
uretra seperti pada fistula vesikovagina atau fistula ureterivagina. Penyebab lain
adalah kelainan bawaan pada anak perempuan berupa ureter ektopik yaitu salah
satu ureter bermuara langsung ke uretra pada bagian distal sfingter uretra eksterna.
Jika dilihat dari riwayat pasien berupa terjatuh dalam posisi terduduk,
maka ada beberapa kemungkinan yang menyebabkan pasien ini mengalami
inkontinensia, yaitu:
1. Riwayat trauma dalam posisi terduduk memungkinkan pasien mengalami
trauma pada daerah sacral, trauma pada daerah sacral ini dapat mengakibatan
cedera pada medulla spinalis yang berada pada daerah sacral, yang berakibat
pada gangguan serabut syaraf sensorik dari kandung kemih ke medulla
spinalis yang bertugas memberikan sinyal bila buli-buli telah penuh terisi,
akibatnya terjadi atonia atau arefleksia m. detrusor pada buli-buli sehingga
pasien tidak mampu mengontrol reflek berkemihnya, sehinga setiap buli-buli

penuh, urin tidak dapat dikosongkan seluruhnya dan tampak urin selalu
menetes dari meatus uretra.
2. Trauma yang terjadi pada pasien mungkin pula dapat mengakibatkan retak
ataupun fraktur pada pelvis yang berakibat pada trauma buli ataupun trauma
uretra. Inkontinensia yang terjadi karena trauma buli bisa terjadi akibat reaksi
peradangan pada buli-buli yang mengakibatkan gangguan fungsi dari buli-buli
(fungsiolesa) yang dapat mengakibatkan instabilitas detrussor atau penuruna
komplians buli-buli yang kemudian mengakibatkan inkontinensia. Sedangkan
pada trauma uretra, inkontinensia dapat disebabkan karena proses peradangan
karena trauma dan mengakibatkan gangguan pada sfingter eksterna sehingga
terjadi inkontinensia.
2. Keluhan BAK keluar darah
Hematuria adalah didapatkannya sel darah merah di dalam urin. Hal ini
perlu dibedakan dengan bloody urethral discharge atau perdarahan per uretrum,
yaitu keluar darah dari meatus uretra eksterna tanpa melalui proses miksi.
Secara visual, terdapatnya sel darah merah di dalam urin dibedakan dalam
2 keadaan, yaitu hematuria makroskopik dn mikroskopik. Hematuria makroskopik
adalah hematuria yang secara kasat mata dapat dilihat sebagai urin yang berwarna
merah. Sedangkan hematuria mikroskopik adalah hematuria yang secara kasat
mata tidak dapat dilihat sebagai urin yang berwarna mera tetapi pada pemeriksaan
mikroskopik diketemukan lebih dari 2 (dua) sel darah merah per lapang pandang.
Hematuria makroskopik yang berlangsung terus menerus dapat
mengakibatkan berbagai macam komplikasi yang dapat mengancam jiwa,
contohnya: terbentuknya gumpalan darah yang dapat menyumbat aliran urin,
eksanguinasi sehingga menimbulkan syok hipovolemik/anemia, dan menimbulkan
urosepsis karena terbukanya akses untuk mikroorganisme menyebar melalui aliran
darah dari pembuluh darah yang terobek pada hematuria.
Hematuria dapat disebabkan oleh berbagai kelainan yang berasal dari
sistem urogenitalia maupun diluar sistem urogenitalia seperti: kelainan
pembekuan darah, SLE, dan kelainan sistem hematologic yang lain. Sedangkan
kelainan yang berasal dari sistem urogenitalia antaralain adalah sebagai berikut:
a. Infeksi/inflamasi antara lain pielonefritis, glomerulonefritis, ureteritis,
sistitis, dan uretritis
b. Tumor jinak atau tumor ganas, yaitu: tumor wilm, tumor grawitz, tumor
pielum, tumor ureter, tumor buli-buli, tumor prostat, dan hyperplasia
prostat jinak (BPH)

c. Kelainan bawaan sistem urogenitala, antara lain kista ginjal dan ren
mobilis
d. Trauma yang mencederai sistem urogenitalua
e. Batu saluran kemih
Karakter suatu hematuria dapat dipakai sebagai pedoman untuk
memperkirakan lokasi penyakit primernya, yaitu porsi hematuria (warna merah
yang dilihat saat berkemih) terjadi pada awal miksi (hematuria inisial) biasanya
gangguan terjadi pada uretra, seluruh proses miksi (hematuria total) bisanya
kelainan terjadi pada buli-buli, ureter atau ginjal, atau akhir miksi (hematuria
terminal) biasanya terjadi pada leher buli-buli.
Selain melihat dari porsi hematuria, dapat pula melihat dari segi kualitas
warna hematuria, jika berwarna merah segar, kelainan kemungkinan berasal dari
buli-buli, prostat, dan uretra, sedangka hematuria yang berwarna coklat dengan
bentuk seperti cacing (vermiform) biasanya berasal glomerulus.
Keikutsertaan nyeri pada saat terjadi hematuria perlu diperhatkan juga.
Jika hematuria disertai dengan nyeri biasanya merupakan myeri dari saluran
kemih bagian atas berupa kolik atau gejala iritasi dari saluran kemih bagian
bawah. Jika hematuria tanpa disertai nyeri waspadai terhaap kemungkinan adanya
keganasan saluran kemih.
Pada pasien ini diketahui bahwa dia merasa keluar urin tanpa disadarinya
disertai dengan adanya darah. Ada 2 kemungkinan yang terjadi, darah yang keluar
adalah bercampur dengan urin (hematuria) bisa juga terjadi meatal bleeding
namun karena terjadi inkontinensia sulit dibedakan apakah itu hematuria atau
meatal bleeding. Jika itu adalah hematuria, maka yang mungkin terjadi adalah
trauma buli-buli, namun jika ternyata itu adalah meatal bleeding maka yang lebih
mungkin terjadi adalah trauma uretra. Kemungkinan lain pun sebenarnya masih
mungkin terjadi yaitu trauma buli-buli dan trauma uretra yang terjadi bersamaan.
Hematuria pada pasien ini dapat terjadi karena adanya proses trauma pada
saluran kemih terutama bagian bawah yang dapat mengakibatkan laserasi dan
mengakibatkan peradangan, hal ini dapat mengakibatkan robekan vaskuler yang
berada pada saluran kemih bagian bawah sehingga mengakibatkan perdarahan
yang terbawa oleh urin yang keluar.
3. Nyeri suprapubik

Nyeri suprapubik dirasakan mengindikasikan adanya nyeri di daerah bulibuli, hal ini karena letak

buli-buli yang terisi penuh berada pada daerah

suprasimfisis (suprapubik). Nyeri pada area ini dapat terjadi akibat overdistensi
buli-buli yang mengalami retensi urin, aau terdapat inflamasi pada buli-buli
(sistitis intertisialis, tuberculosis, atau sistosomiasis). Inflamasi buli-buli dirasakan
sebagai perasaan kurang nyaman di daerah suprapubik. Nyeri muncul manakala
buli-buli terisi penuh dan nyeri berkurang pada saat selesai miksi.
Tidak jarang pasien sistitis merasakan nyeri yang sangat hebat seperti
ditusuk-tusuk pada akhir miksi dan kadang kala disertai dengan hematuria,
keadaan ini disebut dengan stranguria.
Pada pasien ini dirasakan nyeri suprapubik dapat mengindikasikan adanya
inflamasi yang terjadi pada buli-buli yang kemungkinan besar merupakan akibat
dari trauma yang terjadi karena diketahui bahwa pasien memiliki riwayat trauma
beruapa jatuh dalam posisi terduduk.
4. Nyeri tekan pada penis
Nyeri yang dirasakan pada daerah penis yang sedang tidak ereksi (flaksid)
biasanya merupakan reffered pain dari inflamasi pada mukosa buli-buli atau
uretra, yang terutama dirasakan pada meatus uretra eksternum. Selain itu,
parafimosis dan peradangan pada preputium maupun glands penis memberikan
rasa nyeri yang terasa pada ujung penis.
Pada pasien ini penyebab yang mungkin adalah terjadinya reffered pain
dari inflamasi mukosa buli-buli atau uretra akibat riwayat trauma yang terjadi
pada pasien.
Berdasarkan analisa hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik pada pasien, dapat
disimpulkan bahwa tanda dan gejala klinis pasien mengarah kepada adanya trauma
pada saluran kemih bagian bawah, namun belum dapat dipastikan apakah trauma
tersebut mengenai organ buli-buli ataupun trauma pada uretra ataupun keduanya.
Berikut adalah gambaran dari kedua gangguan tersebut:
A. Trauma Buli-Buli
Pada waktu lahir hingga usia anak, buli buli terletak di rongga abdomen.
Namun semakin bertambahnya usia, tempatnya akan turun dan terlindungi di
dalam cavum pelvis, sehingga kemungkinan mendapatkan trauma dari luar jarang
terjadi. Angka kejadian trauma pada buli buli di beberapa klinik urologi kurang
lebih sekitar 2% dari seluruh trauma sistem urogenital.

Trauma buli-bulu atau trauma vesika urinaria merupakan keadaan darurat


bedah yang memerlukan penatalaksanaan segera, bila tidak ditanggulangi dengan
segera dapat menimbulkan komplikasi seperti perdarahan hebat, peritonitis dan
sepsis. Secara anatomic buli-buli terletak di dalam rongga pelvis terlindung oleh
tulang pelvis sehingga jarang mengalami cedera. Cedera kandung kemih
disebabkan oleh trauma tumpul atau penetrasi. Kemungkinan cedera kandung
kemih bervariasi menurut isi kandung kemih sehingga bila kandung kemih penuh
akan lebih mungkin untuk menjadi luka daripada saat kosong.
Ruptur kandung kemih terutama terjadi akibat trauma tumpul pada
panggul, tetapi bisa juga karena trauma tembus seperti luka tembak dan luka tusuk
oleh senjata tajam, dan cedera dari luar, cedera iatrogenik dan patah tulang
panggul. Pecahan-pecahan tulang panggul yang berasal dari fraktur dapat
menusuk kandung kemih tetapi rupture kandung kemih yang khas ialah akibat
trauma tumpul pada panggul atas kandung terisi penuh. Tenaga mendadak atas
massa urinaria yang terbendung di dalam kandung kemih yang menyebabkan
rupture. Penyebab iatrogenic termasuk pascaintervensi bedah dari ginekologi,
urolodi, dan operasi ortopedi di dekat kandung kemih. Penyebab lain melibatkan
trauma obstetric pada saat melahirkan.
a) Patofisiologi
Kurang lebih 90% trauma buli buli adalah akibat fraktur pelvis.
Fiksasi buli - buli pada tulang pelvis oleh fasia endopelvik dan diafragma
pelvis sangat kuat sehingga cedera deselerasi terutama jika titik fiksasi fasia
bergerak pada arah berlawanan (seperti pada fraktur pelvis), dapat merobek
buli buli. Robeknya buli buli karena fraktur pelvis juga bisa terjadi akibat
fragmen tulang pelvis merobek dindingnya. Dalam keadaan penuh terisi urine,
buli buli mudah sekali robek jika mendapat tekanan dari luar, berupa
benturan pada perut sebelah bawah. Buli buli akan robek pada daerah fundus
dan menyebabkan ekstravasasi urine ke rongga intraperitoneum.
Tindakan endourologi dapat menyebabkan trauma buli buli iatrogenik
antara lain, pada reseksi buli buli transuretral (TUR Buli buli) atau pada
litotripsi. Demikian pula pada partus kasep atau tindakan operasi di daerah
pelvis dapat menyebabkan trauma iatrogenik pada buli buli. Ruptur buli
buli dapat pula terjadi secara spontan. Hal ini biasanya terjadi jika sebelumnya
terdapat kelainan pada dinding buli buli. Tuberkulosis, tumor buli buli,

atau obstruksi infravesikal kronis dapat menyebabkan perubahan struktur pada


otot buli buli yang menyebabkan kelemahan dinding buli buli yang
nantinya dapat menyebabkan ruptur buli buli spontanea.
b) Klasifikasi
1) Kontusio buli buli
Pada kontusio buli buli hanya terdapat memar pada dinding vesica tanpa
disertai

laserasi

ataupun

ruptur. Mungkin

didapatkan

hematoma

perivesikal, tetapi tidak didapatkan ekstravasasi urin ke luar buli buli.


2) Rupture ekstaperitoneal kandung kemih
Ruptur ekstraperitoenal terjadi sekitar 45 60 % dari seluruh kejadian
ruptur buli

buli. Pada ruptur jenis ini, biasanya berhubungan dengan

fraktur panggul (89%-100%). Sebelumnya , mekanisme cidera diyakini


dari perforasi langsung oleh fragmen tulang panggul. Tingkat cidera
kandung kemih secara langsung berkaitan dengan tingkat keparahan
fraktur.
3) Rupture kandung kemih intraperitoneal.
Rupture kandung kemih intraperitonea merupakan 25 45 % dari seluruh
kejadian trauma buli buli. Ruptur jenis ini digambarkan sebagai
masuknya urine secara horizontal kedalam kompartemen kadung kemih.
Mekanisme cidera adalah peningkatan tingkat tekanan intravesikel secara
tiba-tiba kekandung kemih yang penuh. Kekuatan daya trauma tidak
mampu ditahan oleh kemampuan dinding kandung kemih sehingga terjadi
perforasi dan urine masuk kedalam peritoneum.
4) Kombinasi rupture intraperitoneal dan ekstraperitoneal.
Meknaisme cidera penetrasi memungkinkan cidera menembus kandung
kemih seperti peluru kecepatan tinggi melintasi kandung kemih atau luka
tusuk abdominal bawah. Hal itu akan menyebabkan intraperitoneal,
ekstraperitoneal, cidera, atau gabungan kandung kemih.
c) Gambaran Klinis
Umumnya, trauma buli buli dapat diakibatkan oleh trauma pelvis
bahkan fraktur pelvis ataupun trauma abdomen. Pasien biasanya mengeluh
nyeri pada daerah suprasimfisis, miksi bercampur dengan darah atau mungkin
pasien tidak dapat miksi. Gambaran klinis yang lain, tergantung dari etiologi
trauma dan bagian mana pada buli buli yang mengalami cedera, apakah itu
intra ataupun ekstraperitoneal. Dalam hal ini mungkin didapatkan tanda

fraktur pelvis, shock, hematoma perivesika, atau tampak tanda sepsis seperti
peritonitis atau abses perivesika.
Pada fraktur tulang pelvis biasanya disertai perdarahan hebat, sehingga
tidak jarang pasien datang dalam keadaan anemia bahkan shock. Jika terjadi
trauma abdomen, pada abdomen bagian bawah tampak jejas atau hematom
dan terdapat nyeri tekan di daerah suprapubik di tempat hematom. Pada ruptur
buli buli intraperitoneal, urin akan masuk ke rongga peritoneum. Lesi
ekstraperitoneal memberikan gejala dan tanda infiltrat urin di rongga
peritoneal yang sering menyebabkan septisemia.
d) Diagnosis
Diagnosis trauma buli didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis didapatkan riwayat trauma yang
terjadi, baik trauma pelvis ataupun trauma abdomen. Keluhannya adalah
sebgaimana yang tertulis dalam gejala klinis di atas. Pada pemeriksaan fisik
dapat ditemukan nyeri tekan pada daerah suprapubik, tampak hematom di
perivesika, dan bila terjadi rupture buli yang mengakibatkan ekstravasasi ke
rongga intraperitonium akan Nampak gejala klinis sebagaimana gejala
peritonitis.
Pemeriksaan pencitraan berupa sistografi dapat dilakukan, yaitu
dengan memasukkan kontras ke dalam buli buli sebanyak 300 400 ml
(tanpa tekanan) melalui kateter per-uretram. Kemudian dibuat beberapa foto
yaitu foto pada saat awal buli buli terisi kontras dalam posisi anteroposterior (AP), lalu pada posisi oblik, dan terakhir wash out film yaiut foto
setelah kontras dikeluarkan dari buli buli. Jika didapatkan robekan pada buli
buli, akan terlihat ekstravasasi kontras didalam rongga perivesikal yang
merupakan tanda adanya robekan ekstraperitoneal. Jika terdapat kontras yang
berada di sela sela usus, berarti terdapat robekan buli buli intraperitoneal.
Pada perforasi yang kecil, seringkali tidak tampak adanya ekstravasasi (negatif
palsu) terutama jika kontras yang dimasukkan kurang dari 250 ml.
Sebelum dipasang kateter uretra, harus diyakinkan dahulu bahwa tidak
ada perdarahan yang keluar dari meatus uretra. Keluarnya darah dari meatus
uretra merupakan tanda dari cedera uretra. Kita juga bisa mencurigai
terjadinya ruptur uretra terutama bagian anterior, jika terdapat hematom
scrotalis, dan pada ruptur uretra posterior, pada pemeriksaan Recta Toucher

prostat akan teraba melayang (floating prostat). Jika diduga terdapat cedera
pada saluran kemih bagian atas disamping cedera buli buli, sistografi dapat
diperoleh melalui foto IVU. Bisa juga dilakukan pemeriksaan radiologi
lainnya berupa foto pelvis atau foto polos abdomen, yang dapat memberikan
gambaran fraktur tulang pelvis.
Di daerah yang jauh dari pusat rujukan dan tidak ada sarana untuk
melakukan sistografi, dapat dilakukan uji pembilasan buli buli, yaitu dengan
memasukkan cairan garam fisiologis steril kedalam buli buli sebanyak 300
ml, kemudian cairan tersebut akan dikeluarkan lagi. Jika cairan tidak keluar
atau keluar tetapi kurang dari volume yang dimasukkan, kemungkinan besar
terdapat robekan pada buli buli. Namun cara ini tidak dianjurkan karena
dapat menimbulkan infeksi atau menyebabkan robekan yang lebih luas.
e) Pengobatan
Bila penderita datang dalam keadaan shock, harus diatasi dengan
pemberian cairan intravena atau darah. Bila sirkulasi telah stabil, baru
dilakukan tindakan reparasi buli buli tergantung pada jenis kerusakan yang
terjadi.
Terapi pada cedera buli buli tergantung pada jenis cedera di
antaranya adalah :
1) Contusio buli buli : Pada cedera jenis ini, cukup dilakukan pemasangan
kateter dengan tujuan untuk memberikan istirahat pada buli buli. Dengan
cara ini diharapkan buli buli dapat sembuh sendiri dalam waktu 7 10
hari.
2) Cedera intraperitoneal : pada jenis cedera ini, harus dilakukan ekspolrasi
laparotomi untuk mencari robekan pada buli buli serta kemungkinan
cedera pada organ lain. Jika tidak dioperasi, ekstravasasi urine ke rongga
intraperitoneum dapat menyebabkan peritonitis. Rongga intraperitoneum
dicuci, robekan pada buli buli dijahit 2 lapis, kemudian dipasang kateter
sistotomi yang dilewatkan di luar sayatan laparotomi.
3) Cedera ekstraperitoneal : Robekan yang sederhana (ekstravasasi
minimal) dianjurkan untuk memasang kateter selama 7 10 hari, tetapi
sebagian ahli lain menganjurkan untuk melakukan penjahitan buli buli
dengan

pemasangan

kateter

sistostomi.

Namun,

tanpa

tindakan

pembedahan kejadian kegagalan penyembuhan luka 15 %, dan

kemungkinan untuk terjadinya infeksi pada rongga perivesika sebesar


sebesar 12%. Oleh karena itu, jika bersamaan dengan ruptur buli buli
terdapat cedera organ lain yang membutuhkan operasi, sebaiknya
dilakukan penjahitan buli buli dan pemasangan kateter sistostomi.
Jika terjadi fraktur pelvis, dan ahli ortopedi akan memasang plat untuk
memperbaiki fraktur pelvis, mutlak harus dilakukan penjahitan buli buli
guna menghindari terjadinya pengaliran urine ke fragmen tulang yang telah
dioperasi. Untuk memastikan bahwa buli buli telah sembuh, sebelum
melepas kateter uretra atau kateter sistostomi, terlebih dahulu dilakukan
pemeriksaan sistografi guna melihat kemungkinan masih adanya ekstravasasi
urin. Sistografi dibuat pda hari ke 10 14 pasca trauma. Jika masih ada
ekstravasasi kateter sistostomi dipertahankan sampai kurang lebih 3 minggu.
f) Penyulit
Pada cedera buli buli ekstraperitoneal, ekstravasasi urine ke rongga
pelvis yang dibiarkan dalam waktu lama, dapat menyebabkan infeksi dan
abses pelvis. Yang lebih berat lagi adalah robekan buli buli intraperitoneal,
jika tidak segera dilakukan operasi, dapat menimbulkan peritonitis akibat
ekstravasasi urine pada rongga intra-peritoneum. Kedua keadaan ini dapat
menyebabkan sepsis yang dapat mengancam jiwa. Kadang kadang dapat
pula terjadi penyulit berupa keluhan miksi yaitu frekuensi dan urgensi yang
biasanya akan sembuh dalam waktu kurang lebih 2 bulan.
g) Prognosis
Biasanya prognosis pasien memburuk akibat perdarahan yang terjadi
sehingga pasien jatuh kedalam keadaan shock hipovolemik. Jika tidak
ditangani segera maka kondisi tersebut dapat mengancam jiwa pasien.
Keadaan lain yang bisa terjadi adalah peritonitis akibat ekstravasasi urin ke
rongga intraperitoneal yang jika tidak ditangani akan menyebabkan pasien
jatuh kedalam shock sepsis. Pada intinya, penaganan yang tepat dan segera
pada kejadian trauma dapat memperbaiki prognosis, karena reparasi pada buli
buli memiliki prognosis pemulihan yang tinggi. Terlebih jika hanya terjadi
kontusio pada buli buli yang bisa sembuh hanya dengan pemasangan kateter
dan bed rest, jika tidak disertai penyulit lainnya dalam waktu sekitar 7 10
hari. Pada umumnya prognosis adalah baik.

B. Trauma Uretra.
Secara klinis trauma uretra dibedakan menjadi trauma urtra anterior dan
trauma uretra posterior, hal ini karena keduanya menunjukkan perbedaan dalam
hal etiologi, tanda klinis, pengelolaan, serta prognosisnya.
a) Etiologi
Uretra, sama seperti bladder, dapat mengalami cidera/trauma dari luar
(eksternal) karena fraktur pelvic. Terjatuh dengan benda membentur
selangkangan (stradle injury) dapat menyebabkan contusio, laserasi, bahkan
ruptur pada uretra pars bulbosa. Misalnya saat jatuh dari sepeda. Luka tusuk
dapat pula menyebabkan kerusakan pada uretra.

Pemsangan kateter atau

businasi pada uretra yang kurang hati-hati dapat menimbulkan robekan uretra
karena salah jalan ( false route). Trauma dapat juga terjadi saat intervensi
bedah, misalnya operasi trans-uretra dapat menimbulkan cedera uretra
iatrogenik
b) Gambaran Klinis
Kerusakan uretra ini diindikasikan bila pasien tidak mampu berkemih,
penurunan pancaran urine, atau adanya darah pada meatus. Karena kerusakan
uretra, saat urine melewati uretra, proses berkemih dapat menyebabkan
ekstravasasi saluran urine yang menimbulkan pembengkakan pada scrotum
atau area inguinal yang mana akan menyebabkan sepsis dan nekrosis. Darah
mungkin keluar dari meatus dan mengekstravasasi jaringan sekitarnya
sehingga menyebabkan ekimosis.
Pada trauma uretra yang berat, seringkali pasien mengalami retensi
urin. Pada keadaan ini tidak diperbolehkan melakukan pemasangan kateter
karena dapat mengakibatkan kerusakan uretra yang lebih parah. Diagnosis
ditegakkan melalui foto uretrografi dengan memasukkan kontras melalui
uretra, guna mengetahui adanya rupture uretra.
c) Rupture Uretra Posterior
Rupture uretra posterior paling sering disebabkan oleh fraktur tulang
pelvis. Fraktur yang mengenai ramus atau simfisis pubis dan menimbulkan
kerusakan pada cincin pelvis, menyebabkan robekan uretra pars prostatemembranacea. Fraktur pelvis dan robekan pembuluh darah yang berada di
dalam kavum pelvis menyebabkan hematoma yang luas di cavum retzius
sehingga jika ligamentum pubo-prostatikum ikut terobek, prostat beserta bulibuli akan terangkat ke cranial.

Pasien yang menderita cedera uretra posterior seringkali datang dalam


keadaan syok karena terdapat fraktur pelvis/ cedera organ lain yang
menimbulkan banyak perdarahan. Rupture uretra posterior seringkali
memberikan gambaran yang khas berupa : (1) perdarahan per uretram, (2)
retensi urin, dan (3) pada pemeriksaan colok dubur didpatkan floating prostate
(prostat melayang) di dalam suatu hematom. Pada pemeriksaan uretrografi
retograd mungkin terdapat elongasi uretra atau ekstravasasi kontras pada pars
prostate-membranacea.
Rupture uretra posterior biasanya diikuti oleh tauma mayor pada organ
lain (abdomen dan fraktur pelvis) dengan disertai ancaman jiwa berupa
perdarahan. Oleh karena itu, sebaiknya di bidang urologi tidak perlu
melakukan tindakan yang invasive pada uretra. Tindakan yang berlebihan akan
menyebabkan timbulnya perdarahan yang lebh banyak pada kavum pelvis dan
prostat serta menambah kerusakan pada uretra dan struktur neurovaskuler di
sekitarnya. Kerusakan neurovaskuler

menambah kemungkinan terjadinya

disfungsi ereksi dan inkontinensia.


Pada keadaan akut tindakan yang dilakuka adalah melakukan sististomi
untuk diversi urin. Setelah keadaan stabil dapat dilakukan primary endoscopic
realignment yaitu pemasangan kateter uretra sebagai splint melalui tuntuna
uretroskopi. Dengan cara ini diharapkan kedua ujung uretra yang terpisah
dapat saling didekatkan. Tindakan ini dilakukan sebelum 1 minggu pasca
rupture uretra dan kateter dipertahankan selama 14 hari. Tndakan lain yang
dapat dilakukan adalah dengan mengerjakan reparasi uretra (uretroplasti)
setelah 3 bulan pasca trauma dengan asumsi bahwa jaringan parut pada uretra
telah stabil dan

matang sehingga tindakan rekonstruksi membuahkan hasil

yang lebih baik.


Komplikasi yang terjadi pada rupture uretra adalah striktur uretra yang
seringkali kambuh, disfungsi ereksi, dan inkontinensia urin.
d) Rupture Uretra Anterior
Cedera dari luar yang sering mengakibatkan kerusakan uretra anterior
adalah straddle injury (cedera selangkangan), yaitu uretra tercepit di anatara
tulang pelvis dan benda tumpul. Jenis kerusakan uretra yang terjadi berupa:
kontusio dinding uretra, ruptur parsial, atau rupture total dinding uretra.
a. Patologi
Uretra anterior terbungkusa di dalam korpus spongiosum penis. Korpus
spongiosum bersama dengan corpora kavernosa penis dibungkus oleh fasia

buck dan fasia colles. Jika terjadi rupture uretra beserta korpus
spongiosum, darah dan urin keluar dari uretra tetapi masih terbatas pada
fasia buck, dan secara klinis terlihat hematoma yang terbatas pada penis.
Namun jika fasia buck ikut robek, ekstravasasi urin dan darah hanya
dibatasi oleh fasia colles sehingga darah dapat menjalar hingga scrotum
atau ke dinding abdomen. Oleh karena itu robekan ini memberikan
gambaran seperti kupu-kupu sehingga disebut butterfly hematoma atau
hematoma kupu-kupu.
b. Diagnosis
Pada kontusio uretra, pasien mengeluh adanya perdarahan uretrum atau
hematuria. Jika terdapat robekan pada korpus spongiosum, terlihat adanya
hematom pada penis atau hematom kupu-kupu. Pada keadaan ini
seringkali pasien tidak dapat miksi. Pemeriksaan uretrografi retrograde
pada kontusio uretra tidak menunjukkan adanya ektravasasi kontras,
sedangkan pada rupture uretra menunjukkan adanya ekstravasasi kontras
di pars bulbosa.
c. Tindakan
Kontusio uretra tidak memerlukan terapi khusus, tetapi mengingat cedera
ini dapat menimbulkan komlikasi berupa striktur uretra di kemudian hari,
maka setelah 4-6 bulan perlu dilakukan pemeriksaan uretrografi ulang.
Pada rupture uretra parsial dengan ekstravasasi ringan, cukup dilakukan
sistostomi untuk mengalihkan aliran urin. Kateter sistostomi dipertahankan
sampai 2 minggu, dan dilepas setelah diyakini melalui pemeriksaan
uretrografi bahwa sudah tidak ada ekstravasasi kontras atau tidak timbul
striktur uretra. Namun jika timbul dtriktur uretra, dilakukan reparasi
uretra atau sachse. Tidak jarang rupture uretra anterior disertai dengan
ekstravasasi urin dan hematom yang luas sehingga diperlukan debridement
dan insisi hematom untuk mencegah infeksi. Reparasi uretra dilakukan
setelah luka menjadi lebih baik.
Dari penjelasan mengenai trauma buli-buli dan trauma uretra di atas, pasien ini
belum dapat didiagnosis sepenuhnya sebagai trauma buli-buli atau trauma uretra.
Namun melalui penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa mungkin pasien
mengalami kontusio buli atau kontusio utetra anterior dengan disertai hematuria dan
inkontinensia karena curiga adanya kerusakan neurovascular akibat trauma.

Dalam menegakkan diagnosis pada pasien ini diperlukan pemeriksaan


tambahan berupa sistografi dan uretrografi untuk mengetahui dimanakah letak
gangguan yang terjadi akibat trauma yang terjadi pada pasien, apakah di buli-buli atau
di uretra atau di keduanya. Serta diperlukan pula Foto rontgen region pelvic untuk
mengetahui adakah fraktur pada os. pelvis mengingat posisi terjatuh pasien dan faktor
resiko pasien yang sudah berumur 72 tahun.
Penanganan yang dapat dilakukan adalah pemberian terapi cairan untuk
mengoreksi ada tidaknya dehidrasi, analgetik untuk mengurangi nyeri akibat reaksi
inflamasi yang terjadi akibat trauma, serta antibiotic sebagai profilaksis terjadinya
infeksi karena adanya akses bagi mikroorganisme untuk masuk ke dalam tubuh
melalui robeknya pembuluh darah yang mengakibatkan hematuria.
Pemasangan kateter disini dibutuhkan untuk mengistirahatkan buli-buli karena
kemungkinan terjadinya kontusio buli-buli dan tidak dicurigai adanya ekstravasasi
pada uretra sehingga tidak masalah dengan pemasangan kateter.

BAB III
Kesimpulan
1. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang, diagnosis
kerja atau diagnosis sementara untuk pasien ini adalah trauma saluran kemih bagian
bawah dengan differential diagnosis : trauma buli (kontusio buli) dan trauma uretra
(kontusio uretra).
2. Diperlukan pemeriksaan penunjang lain untuk menegakkan diagnosis bagi pasien ini
yaitu: sistigrafi dan uretrografi. Sehingga dengan diagnosis yang pasti akan dapat
diberikan penatalaksanaan yang tepat bagi pasien ini.
3. Terapi sementara yang dapat dilakukan adalah dengan: pemberian cairan, pemberian
analgetik, pemberian antibiotic serta pemasangan kateter untuk mengistirahatkan bulibuli dengan minimalnya kecurigaan adanya ekstravasasi uretra.

BAB IV
Daftar Pustaka
- Guyton, Arthur C., Hall, John E., 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11.
-

Jakarta: EGC.
Purnomo B,.B,.2011. Dasar-dasar Urologi. Edisi Ketiga. Jakarta : CV Sagung Seto.
Tanagho E.A., Mc Annich J.W., Smiths General Urology 16th ed, TheMcGraw Hill
Companies 2004

Anda mungkin juga menyukai